Jumat, 04 Desember 2015

Pengaruh Kesusasteraan Asing dalam Kesusastraan Indonesia

Sastri Sunarti
badanbahasa.kemdikbud.go.id

1. Pendahuluan

Ketika kita membicarakan pengaruh kesusastraan asing dalam kesusasteraan Indonesia, kita harus melihat vista sastra Indonesia dari masa lalu hingga masa kini. Sebagai langkah awal, kita dapat melayangkan pandangan jauh ke belakang, ke masa Hamzah Fansuri mula bersyair dan bernazam atau ke zaman Nuruddin Ar-Raniry ketika melahirkan Bustanul Sallatin (Taman Raja-Raja) dan ketika Raja Ali Haji melahirkan Bustanul Katibin (Taman Para Penulis).
Hasil kesusastraan di zaman itu lebih sering disebut oleh sarjana sastra Indonesia-Melayu sebagai bagian dari sastra lama Indonesia dan dilanjutkan dengan sastra baru (modern) Indonesia yang dimulai sejak munculnya percetakan di Hindia Belanda dan diramaikan oleh kelompok Pujangga Baru. Meskipun demikian, patut diketahui bahwa sastra baru Indonesia pun sudah dipelopori oleh penulis Tionghoa peranakan yang mula pertama memperkenalkan cerpen dalam kesusastraan Indonesia modern.

Karya sastra Indonesia (Nusantara) lama itu sudah dimulai sejak abad ke-16 pada zaman Hamzah Fansuri, Nuruddin Ar-Raniry, dan Syamsuddin Al-Sumatrani hingga periode para wali di Jawa yang banyak menghasilkan suluk sebagai pengaruh budaya Islam. Namun, di Jawa jauh sebelum Islam masuk pun sudah memiliki karya sastra kakawin yang mendapat pengaruh dari India. Kesusastraan asing yang paling berpengaruh dalam kesusastraan Indonesia lama adalah kesusastraan Arab dan Parsi (Persia). Jejaknya itu dapat kita baca pada naskah lama yang ditulis dalam aksara Arab Melayu dan tersebar luas hingga ke seluruh wilayah Nusantara. Karya sastra dari Arab dan Parsi itu banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu serta meninggalkan bentuk hikayat, syair, gazal, rubai, gurindam, masnawi, dan barzanzi dalam khazanah sastra Indonesia lama.

Sesudah berlalunya tradisi pernaskahan di Indonesia, pengarang Indonesia modern, yang dimulai oleh penulis Cina Peranakan, masih menulis syair dan pantun dalam karya cetak. Pada tahun 1912, misalnya, sudah mulai ditemukan cerita pendek yang awal dalam buku cerita Warna Sari yang terbit di Surabaya. Cerita pendek yang dimuat itu berjudul “Si Marinem” karya H.F.R. Kommer dan ditulis dalam ragam bahasa Melayu rendah (Sastri, 2012).

Pada masa Angkatan Pujangga Baru perkenalan para penulis dan pembaca karya sastra dengan karya sastra Eropa, khususnya Belanda, semakin mudah diperoleh, baik melalui buku pelajaran di sekolah maupun melalui karya saduran. Jika sebelumnya karya sastra asing, seperti Arab dan Parsi, diperoleh melalui hubungan perdagangan, karya sastra Eropa diperoleh melalui dunia pendidikan pada masa Hindia- Belanda.

Pada zaman Jepang, pengaruh kesusastraan asing, seperti Jepang, tidak terlalu banyak berarti dalam kesusastraan Indonesia. Hal itu disebabkan singkatnya masa pendudukan Jepang dan tidak adanya upaya penerjemahan karya sastra Jepang ke dalam bahasa Indonesia pada saat itu. Penerjemahan karya sastra Jepang ke dalam bahasa Indonesia dimulai pada tahun 1972 ketika Anas Ma’ruf menerjemahkan novel Yukiguni karya Yasunari Kawabata ke dalam versi Indonesia dengan judul Negeri Salju (Pustaka Jaya, 1972).

Sesudah kemerdekaan, sekitar tahun 1960-an, pengaruh kesusastraan asing dalam karya sastra Indonesia lebih disebabkan pengaruh ideologi, seperti komunisme dari Uni Soviet. Hal itu dapat kita temukan pada karya para penulis Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang banyak menerjemahkan karya sastra Rusia yang beraliran kiri.

2. Jejak Kesusastraan Parsi dan India dalam Kesusastraan Indonesia Lama

Boleh dikatakan bahwa karya Hamzah Fansuri yang sangat terkenal, yakni Hikayat Burung Pingai, ditengarai oleh beberapa ahli mendapat pengaruh dari karya sastra Parsi yang berjudul Manttiq at-Tayr (Percakapan Burung-Burung). Karya Hamzah Fansuri yang lain, sebagaimana yang dicatat oleh Al-Attas (1970), memperlihatkan pengaruh puisi sufi dari Parsi. Di antara karya Hamzah yang terpenting itu adalah Syarab al-Asyiqin (Anggur Orang-Orang Pengasih), Asrar al-Arifin (Rahasia Orang-Orang Arif), dan Al-Muntahi (Sang Ahli Ma’rifat). Karya yang terakhir itu merupakan kutipan dari lusinan penyair Parsi yang ternama, seperti Attar, Rumi, Iraqi, Shabistari, Shah Ni’matullah, dan Maghribi.

Persinggungan negeri di bawah angin (istilah yang ditemukan di naskah Hikayat Raja-Raja Pasai dan Sejarah Melayu untuk menyebut wilayah Asia Tenggara dari Sumatra Utara sampai dengan Maluku) dengan pedagang Arab dan Parsi pada masa lampau yang berdagang hingga ke Pansur memungkinkan juga dibawanya karya sastra Arab dan Parsi ke wilayah Nusantara sehingga kita dapat pula melihat jejak kesusastraan Parsi itu pada puluhan karya sastra Indonesia lama lainnya. Braginsky (2009: 59--102) mencatat di antara karya Parsi yang sangat dikenal di Indonesia, antara lain, Hikayat-i Muhammad-i Hanafiyah, Qis-sai Amir Hamzah, Hikayat Indraputra, Hikayat Isma Yatim, dan Hikayat Nur Muhammad. Sebelumnya, Djamaris (1983) menjelaskan pula bahwa Hikayat Nur Muhammad ditengarai terpengaruh salah satu bab kitab Rauzat al-Ahbab (Taman Sorga Para Pengasih) karya Attaullah ibn Fazlullah dari Parsi. Selain itu, kita juga mengenal cerita berbingkai, seperti Hikayat Kalilah dan Dimnah (Kalila wa Dimna) dan Hikayat Bayan Budiman (Tuti-namah) yang semuanya berasal dari Parsi.

Pengaruh kesusastraan India terhadap karya sastra Indonesia dapat kita temukan pada karya sastra Hikayat Seri Rama, Ramayana, Mahabarata, Hikayat Panji, Hikayat Cekel Weneng Pati, Barathayudha, dan Kakawin Arjunawiwaha. Bahkan, dalam tradisi pewayangan Jawa, kisah Mahabharata dan Ramayana sudah diadaptasi menjadi karya sastra Jawa dan merupakan kisah pewayangan yang sudah dianggap sebagai kebudayaan adiluhung dan menjadi bagian dari sistem nilai orang Jawa.

3. Jejak Kesusastraan Eropa dalam Kesusastraan Indonesia Modern

Ketika percetakan mulai masuk ke Hindia Belanda, kesusastraan asing semakin mudah diakses oleh kaum terpelajar bumiputra. Kehadiran buku sastra dunia ditemukan dengan mudah dan menjadi bahan bacaan yang disampaikan di sekolah Belanda pada masa lalu. Sebelum periode Balai Pustaka, kita telah mengenal sebuah karya yang fenomenal dari Multatuli yang berjudul Max Havelaar (1860). Sastrowardojo (1989: 138) menyebutkan bahwa karya Multatuli itu pernah diakui mendapatkan ilham dan pengaruh setelah membaca Pondok Paman Tom (Uncles’s Tom Cabin, 1852) karya Harriet Beecher Stowe. Penerjemahan cerita pendek Eropa dalam surat kabar awal di Hindia Belanda, baik yang dilakukan oleh penulis Indo-Eropa maupun Cina Peranakan dan Pribumi, turut berkontribusi dalam masuknya pengaruh bacaan Eropa dalam kesusastraan Melayu-Indonesia pada masa itu. Salah satunya adalah masuknya genre cerpen, seperti yang telah disinggung di atas.

Pengaruh gerakan kesusastraan di Belanda sekitar tahun 1880, yang dikenal dengan de Tachtigers atau Angkatan 1880, pada pengarang Pujangga Baru merupakan salah satu faktor yang memudahkan masuknya pengaruh karya sastra Eropa dalam kesusastraan Indonesia modern (Teeuw, 1980). Salah seorang penyair Pujangga Baru Indonesia yang sangat terpengaruh dan memuja penyair Angkatan 1880 itu adalah J.E Tatengkeng. Ia menulis sajak religiusnya dengan mengacu gaya kepenulisan Frederik van Eeden dan Willem Kloos dari Belanda, seperti sajaknya yang berjudul “KataMu Tuhan”. Bahkan, sebagai wujud kekagumannya kepada penyair Angkatan 1880 tersebut, Tatengkeng pernah menulis satu sajak yang khusus ditujukan kepada Willem Kloos (Sunarti, 2012). Jika Tatengkeng memuja penyair Belanda, Sanusi Pane adalah salah seorang pengarang angkatan Pujangga Baru yang mengagumi karya sastra pujangga India, Rabidranath Tagore. Ia pernah menulis adaptasi cerita Gitanjali ke dalam bahasa Indonesia. Merari Siregar juga melakukan hal yang sama, yakni pernah menyadur karya sastra Belanda ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Tjerita Si Djamin dan Si Djohan (1918). Karya itu disadur dari roman Jan Smees karya Justus van Maurik (Teeuw,1994: 142--172). Teeuw pernah menjelaskan dengan panjang lebar mengenai kedua roman itu dan bagaimana cerita itu dapat disadur oleh Merari Siregar menjadi versi Indonesia dengan latar cerita dan nama para tokohnya disesuaikan dengan kondisi di Hindia-Belanda pada masa itu. Menurut Teeuw, pengaruh komisi bacaan rakyat (Balai Pustaka) juga ikut menjadi andil bagi penyaduran cerita itu.

Satu pengaruh negatif dari proses sadur-menyadur karya asing ke dalam bahasa Indonesia ini adalah munculnya polemik terhadap karya sastra hasil saduran itu dengan tudingan sebagai karya plagiat. Kasus itu muncul pada novel Tenggelamnya Kapal van der Wijck (1938) karya Hamka. Sebagai pengarang yang banyak membaca karya sastra dalam bahasa Arab, Hamka sangat mengagumi karya seorang penulis Mesir yang bernama Mustafa Lutfi al-Manfaluthi yang hidup dari tahun 1876-1942. Penulis dari Mesir itu pernah menerbitkan sebuah novel saduran dari Prancis yang berjudul Sous Les Tilleuls karya Jean-Baptiste Alphonse Karr yang diberinya judul dalam bahasa Arab Madjulin. Ketika novel Tenggelamnya Kapal van der Wijck mengalami cetakan yang ketujuh, seorang penulis bernama Abdullah S.P. menulis tudingan bahwa karya Hamka menjiplak karya saduran Al-Manfaluthi. Karya saduran Al-Manfaluthi kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu dengan judul Magdalena. Berapa bagian dari karya itu setelah dibandingkan dengan karya Hamka ternyata memang memiliki persamaan. Akan tetapi, menurut Teeuw (1980: 105), persamaan itu dapat timbul karena penerjemahan ke dalam bahasa Melayu dan jelas karya Hamka memiliki isi yang sama sekali berbeda dengan karya saduran Al-Manfaluthi tersebut. Bahkan, ada kesan novel Tenggelamnya Kapal van der Wijck merupakan semi autobiografi dari penulisnya yang berbeda sama sekali dengan akhir dari novel Madjulin yang disadur oleh Manfaluthi.

Masalah tuduhan plagiarisme juga pernah dihadapi oleh Chairil, yakni dituduh sebagai plagiat ketika melakukan penyaduran karya asing ke bahasa Indonesia. Hal itu disebabkan minat Chairil yang sangat tinggi terhadap karya penyair Eropa, seperti J. Slauerhoff (Belanda), Hendrik Marsman (Belanda), dan Rainer Maria Rilke (Jerman), sehingga amat memengaruhi sajaknya. Sajak J. Slauerhoff yang berjudul “Woning Looze” memengaruhi puisi Chairil Anwar yang berjudul “Rumahku”, kemudian “Karawang-Bekasi” dituduh plagiarisme dari The Young Dead Soldier karya Archibald Madeisch. Tudingan itu tidak dapat dibuktikan. Akan tetapi, karena tuntutan ekonomi, tindakan plagiarisme memang pernah dilakukan oleh Chairil pada beberapa tulisan yang lain, bukan pada sajak Karawang-Bekasi yang autentik milik Chairil. Pengucapan puitik Chairil dianggap memiliki nilai baru dalam struktur dan pilihan katanya yang sama sekali berbeda dan bahkan dianggap lebih baik dari sajak penyair Eropa, khususnya Belanda, yang disadurnya.

Pengaruh asing dalam sajak Chairil dapat juga kita temukan pada isi sajaknya, misalnya pada kata ahasveros dan sisipus, yang menggambarkan pengetahuannya mengenai kebudayaan Eropa. Beberapa diksi dalam sajaknya juga tidak terlepas dari pengaruh kata Belanda, seperti baris sajaknya yang berbunyi: Hilang sonder pusaka, sonder kerabat. Semangat individualisme yang masih asing pada masa Chairil juga menjadi ciri pembeda sajaknya dengan pendahulunya, seperti Amir Hamzah, yang masih kuat terikat pantun dan syair. Kedua sastrawan itu mewariskan syair dan pantun sebagai bagian puisi lama yang banyak dipakai pada awal kehadiran sastra Indonesia baru. Gaya itu kemudian ditinggalkan sama sekali oleh Chairil Anwar dalam sajaknya sehingga ia dianggap sebagai tokoh pendobrak zaman lama tersebut.

Keahlian Chairil melakukan penyaduran sajak-sajak asing ke dalam bahasa Indonesia juga diakui oleh kritikus sebagai karya saduran yang baik seperti yang dilakukannya pada sajak Huesca karya Rupert John Cornford dari Inggris dan pada tahun 1967 sajak yang sama diterjemahkan oleh Taslim Ali dengan judul Sajak.

Sesudah Chairil Anwar tiada, pengaruh kesusastraan asing pada karya sastra Indonesia semakin dipertajam melalui beberapa karya penyair Indonesia modern yang notabene mendapat pendidikan Barat. Sapardi (1983:5) menyebutkan beberapa nama pengarang Indonesia yang karyanya memperlihatkan pengaruh asing (sastra Barat), seperti Pramoedya Ananta Toer, Basuki Gunawan, Iwan Simatupang, Sitor Situmorang, Ajip Rosidi, W.S. Rendra, Mochtar Lubis, dan P. Sengodjo. Namun, penulis lebih cenderung memberikan pilihan lain yang tidak disinggung oleh Sapardi dalam tulisannya itu, di antaranya Subagio Sastrowardoyo, Goenawan Mohamad, Darmanto Jatman, W.S. Rendra, dan Sapardi Djoko Damono.

Pengaruh asing pada karya Subagio Sastrowardoyo terlihat, antara lain, dalam esai dan sajaknya. Karyanya itu memperlihatkan kuatnya nilai keagamaan dan kerohanian yang menjadi argumen dasar dalam tulisannya.

Pada Goenawan Mohamad, sajaknya memperlihatkan pergulatan untuk menjadi penyair yang hendak lepas dari nilai tradisi. Pengaruh asing pada karyanya terlihat lebih pada tataran ide, bukan pada bentuk. Isi sajaknya menggambarkan hubungan personal yang sangat luas dengan tokoh dan penyair dunia sehingga kita menemukan penggalan kisah yang menggambarkan pertemuan Goenawan dengan tokoh dunia dan tempat asing yang disinggahinya. Namun, berbeda dengan Chairil yang menulis puisi sebagai upaya pemberontakan terhadap bentuk dan struktur puisi Indonesia lama, Goenawan dengan sadar memanfaatkan rima pantun dalam sajaknya untuk memperlihatkan “pertemuan” tradisi dan budaya luar yang dikenalnya.

Semakin modern cara berpikir seseorang, seperti Goenawan, ternyata semakin sadar akan jati diri dan identitasnya sebagai penyair yang tidak mungkin melepaskan diri dari akar budayanya. Dari tangan Goenawan dilahirkan tafsiran baru atas nilai tradisi dalam wujud sajak modern, seperti “Gatoloco”, “Pariksit”, dan “Persetubuhan Kunthi”. Kita juga akan menemukan semangat dunia dan kosmopolitan dalam sajaknya yang memperlihatkan kecenderungannya pada persoalan sosial dan politik di Indonesia. Hal itu dapat kita lihat pada sajaknya yang berjudul “Internationale” dan sajak “Permintaan Seorang yang Tersekap di Nanking, Selama Lima Tahun” (untuk Agam Wispi). Sajak itu disampaikan dengan semangat puitika Barat yang tidak mudah dipahami oleh pembacanya di Indonesia.

Pernah pada satu masa, penyair W.S. Rendra, sangat menyukai menulis sajak dalam bentuk balada. Sebagai contoh, tulisan itu dapat kita temukan pada sajaknya yang berjudul “Bersatulah Para Pelacur Ibukota”, “Balada Terbunuhnya Atmo Karpo”, Balada Anak Mencari Bapa”, dan “Balada Suku Naga”. Bentuk balada atau ballade dalam sajak Rendra tersebut memperlihatkan pengaruh kesusastraan asing, khususnya pengaruh dari karya balada penyair Federico Garcia Lorca yang banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia pada tahun 1950-an.

Pada Darmanto Jatman, pengaruh kesusastraan asing, terutama Inggris, terlihat dalam kumpulan sajaknya Bangsat. Darmanto telah mencapai gaya pribadi sendiri, tetapi ia tidak terlepas dari pengaruh sajak Inggris yang umumnya bercorak arif (sophisticated), cendikia (intellectual), dan jenaka (witty). Dengan mengambil gaya pengucapan yang demikian, Darmanto telah meninggalkan suasana romantik saja yang menjadi ciri umum persajakan Indonesia (Sastrowardoyo, 1989:206).

Dalam sajak Sapardi, pengaruh kesusastraan asing itu dapat dilihat bukan hanya pada struktur luar (bentuk), melainkan juga pada isi sajaknya. Pengaruh kesusastraan asing terekam dalam sajak awalnya yang memperlihatkan struktur haiku, ‘sajak pendek’ Jepang. Sweeney dalam percakapan langsung dengan penulis pernah mengomentari bahwa Sapardi sesungguhnya menulis puisi barat, tetapi menggunakan bahasa Indonesia. Sastrowardoyo (1989: 191) melihat sajak Sapardi, terutama dalam antologi Mata Pisau, secara keseluruhan boleh dikatakan bertolak dari pertanyaan tentang makna dan tujuan akhir dari hidup. Pertanyaannya itu bersentuhan dengan masalah dasar yang pernah dirumuskan oleh Paul Gauguin sewaktu melukis di Haiti. Di sebuah kanvas yang besar—yang disangkanya akan merupakan lukisannya yang terakhir sebelum pelukis Prancis itu berniat menghabisi nyawanya sendiri—dibubuhkan judul berupa pertanyaan “Dari mana kita datang? Siapakah kita? Ke mana kita pergi?” Kesadaran akan masalah hidup yang inti itu biasanya timbul dalam kemelut, suatu situasi krisis yang bisa dialami suatu kelompok masyarakat atau manusia orang-seorang. Pertanyaan yang menyangkut pangkal hidup yang pernah menghantui jiwa Gauguin itu telah melahirkan sajak Sapardi dalam Mata Pisau.

4. Penutup

Pengaruh asing dalam karya sastra Indonesia merupakan hasil sintesis pergaulan dan pergulatan sastrawan Indonesia dari masa ke masa. Hal itu juga menunjukkan keluasan pengetahuan dan minat penulis Indonesia terhadap karya sastra dunia. Pengaruh asing dalam kesusastraan Indonesia (Melayu Nusantara) dapat terjadi berkat adanya hubungan perdagangan, seperti yang terlihat dalam puisi lama/tradisional Melayu karya Hamzah Fansuri hingga Amir Hamzah. Pada masa Pujangga Baru pengaruh itu dimungkinkan terjadi melalui dunia pendidikan Hindia Belanda yang mengenalkan karya sastra Eropa dan Belanda khususnya. Sesudah perang kemerdekaan, pengaruh kesusastraan asing terjadi melalui indoktrinasi ideologi komunis, seperti yang terlihat dalam karya sastra zaman Lekra dan juga melalui pergaulan internasional, seperti yang diperlihatkan dalam karya WS. Rendra, sajak pendek (haiku) Sapardi, atau dalam pemikiran ajaran Kristen sebagaimana yang digambarkan oleh Darmanto Jatman dan Subagio Sastrowardoyo.

Daftar Pustaka:

Braginsky, Vladimir. 2009. “Jalinan dan Khazanah Kutipan: Terjemahan dari Bahasa Parsi dalam Kesusastraan Melayu, Khususnya yang Berkaitan dengan “Cerita-Cerita Parsi,” hal. 59-111, dalam Sadur: Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia. (ed) Henri Chambert-Loir. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Damono, Sapardi Djoko.1983. Kesusastraan Indonesia Modern: Beberapa Catatan. Jakarta. Gramedia

Djamaris, Edwar. 1983. Hikayat Nabi Mikraj, Hikayat Nur Muhammad, dan Hikayat Darma Tasiya. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Mohammad, Goenawan. 2001. Sajak-Sajak Lengkap: 1961-2001. Jakarta: Metaphor Publishing.

Sastrowardoyo, Subagio. 1989. Pengarang Modern Sebagai Manusia Perbatasan: Seberkas Catatan Sastra. Jakarta: Balai Pustaka.

Sunarti, Sastri. 2012. “Romantisisme Puisi-Puisi Indonesia tahun 1935-1939 dalam Majalah
Pujangga Baru” Jurnal Puitika, No.1.Volume 8. Februari 2012. hal. 19-40. Padang: FIB Universitas Andalas Padang.

Suyono dkk. 2008. “Cerita Pendek Indonesia” Penelitian Tim Subbidang Pengkajian Sastra, Badan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nasional, Jakarta.

Teeuw. A. 1980. Sastra Baru Indonesia. Ende-Flores: Nusa Indah.
----------- 1983. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
----------- 1988. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya Girimukti Pasaka.

Dijumput dari: http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/artikel/1346

Tidak ada komentar:

A Musthafa A Rodhi Murtadho A Wahyu Kristianto A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Wachid BS Abdullah al-Mustofa Abdullah Khusairi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimanyu Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Maulani Adek Alwi Adhi Pandoyo Adrian Ramdani Ady Amar Afrizal Malna Agnes Rita Sulistyawati Aguk Irawan Mn Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Subiyakto Agus Sulton Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahm Soleh Ahmad Farid Tuasikal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Luthfi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadie Thaha Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rasyid AJ Susmana Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander Aur Alexander G.B. Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Rif’an Aliela Alimuddin Alit S. Rini Alunk Estohank Ami Herman Amich Alhumami Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminudin TH Siregar Ammilya Rostika Sari An. Ismanto Anaz Andaru Ratnasari Andhi Setyo Wibowo Andhika Prayoga Andong Buku #3 Andrenaline Katarsis Andri Cahyadi Angela Anies Baswedan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Sudibyo Anton Wahyudi Anwar Holid Anwar Siswadi Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Zulkifli Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayu Utami Azyumardi Azra Babe Derwan Bagja Hidayat Balada Bandung Mawardi Bayu Agustari Adha Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Bernadette Lilia Nova Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Bhakti Hariani Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budi Winarto Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Bustan Basir Maras Camelia Mafaza Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cecep Syamsul Hari Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Choirul Rikzqa D. Dudu A.R D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Dantje S Moeis Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Darmanto Jatman Dedy Tri Riyadi Delvi Yandra Denny JA Denny Mizhar Dewi Anggraeni Dian Basuki Dian Hartati Dian Sukarno Dian Yanuardy Diana AV Sasa Dinar Rahayu Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi Warsidi Edy Firmansyah EH Kartanegara Eka Alam Sari Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil Amir Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Evan Ys F. Budi Hardiman Fadly Rahman Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fani Ayudea Fariz al-Nizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatkhul Aziz Felix K. Nesi Film Fitri Yani Franditya Utomo Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Garna Raditya Gde Artawan Geger Riyanto Gendhotwukir George Soedarsono Esthu Gerakan Surah Buku (GSB) Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Tri Atmojo H. Supriono Muslich H.B. Jassin Hadi Napster Halim H.D. Hamberan Syahbana Hamidah Abdurrachman Han Gagas Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Priyatna Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasan Junus Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Helwatin Najwa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendriyo Widi Ismanto Hepi Andi Bastoni Heri Latief Heri Listianto Herry Firyansyah Heru Untung Leksono Hikmat Darmawan Hilal Ahmad Hilyatul Auliya Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur Husnun N Djuraid I Nyoman Suaka Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilenk Rembulan Ilham khoiri Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Budi Santosa Imelda Imron Arlado Imron Tohari Indiar Manggara Indira Margareta Indra Darmawan Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ingki Rinaldi Insaf Albert Tarigan Intan Hs Isbedy Stiawan ZS Ismail Amin Ismi Wahid Ivan Haris Iwan Gunadi Jacob Sumardjo Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean-Marie Gustave Le Clezio JJ. Kusni Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Julika Hasanah Julizar Kasiri Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kadir Ruslan Kartika Candra Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Ketut Yuliarsa KH. Ma'ruf Amin Khaerudin Khalil Zuhdy Lawna Kholilul Rohman Ahmad Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Krisandi Dewi Kritik Sastra Kucing Oren Kuswinarto Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lenah Susianty Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto M Shoim Anwar M. Arman A.Z. M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Harya Ramdhoni M. Kasim M. Latief M. Wildan Habibi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria hartiningsih Maria Serenada Sinurat Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Marsus Banjarbarat Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masriadi Mawar Kusuma Wulan Max Arifin Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Mezra E. Pellondou Micky Hidayat Mihar Harahap Misbahus Surur Moh Samsul Arifin Moh. Syafari Firdaus Mohamad Asrori Mulky Mohammad Afifuddin Mohammad Fadlul Rahman Muh Kholid A.S. Muh. Muhlisin Muhajir Arifin Muhamad Sulhanudin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Azka Fahriza Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Nafi’ah Al-Ma’rab Naskah Teater Nezar Patria Nina Setyawati Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noor H. Dee Noval Maliki Nunuy Nurhayati Nur Haryanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurudin Octavio Paz Oliviaks Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pamusuk Eneste Panda MT Siallagan Pandu Jakasurya PDS H.B. Jassin Philipus Parera Pradewi Tri Chatami Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R Sutandya Yudha Khaidar R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rahmat Sutandya Yudhanto Raihul Fadjri Rainer Maria Rilke Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridha al Qadri Ridwan Munawwar Rikobidik Riri Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rizky Andriati Pohan Robert Frost Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Romi Febriyanto Saputro Rosihan Anwar RR Miranda Rudy Policarpus Rukardi S Yoga S. Jai S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Gerilyawan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra SelaSastra ke #24 Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Subhan SD Suci Ayu Latifah Sulaiman Djaya Sulistiyo Suparno Sunaryo Broto Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunudyantoro Suriali Andi Kustomo Suryadi Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Susilowati Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Bahri Syam Sdp Syarif Hidayatullah Tajuddin Noor Ganie Tammalele Tan Malaka Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Tengsoe Tjahjono Th Pudjo Widijanto Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Joko Susilo Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Umar Kayam Undri Uniawati Universitas Indonesia UU Hamidy Vyan Tashwirul Afkar W Haryanto W.S. Rendra Wahyudin Wannofri Samry Warung Boenga Ketjil Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Web Warouw Wijang Wharek Wiko Antoni Wina Bojonegoro Wira Apri Pratiwi Wiratmo Soekito Wishnubroto Widarso Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Wing King WS Rendra Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yosi M. Giri Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Yuyu AN Krisna Zaki Zubaidi Zalfeni Wimra Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhaenal Fanani Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar Zulhasril Nasir