Muhidin M Dahlan
Judul Buku: Interpreter of Maladies
Penulis: Jhumpa Lahiri
Diterjemahkan: Penerbit Jalasutra dan akubaca (2002 dan 2003)
Tebal: 188 halaman
“Untuk menjadi seorang penulis profesional,
berusahalah menulis tentang renik di ranah apa pun, setiap hari.”
–Jhumpa Lahiri
Nama Jhumpa Lahiri mungkin tidak akan dikenal publik sastra Indonesia secara luas andai saja karyanya yang berjudul Interpreter of Maladies: Stories (London: Flamingo, 1999; 198 halaman) tidak diterjemahkan. Sekadar catatan, kumpulan cerita Jhumpa yang kemudian diterjemahkan oleh dua penerbit sekaligus dengan dua judul yang berbeda: Jalasutra-Yogyakarta (Benua Ketiga dan Terakhir, akhir 2002) dan Akubaca-Jakarta (Penafsir Kepedihan, awal 2003), berhasil menyabet penghargaan bergengsi Pulitzer Prize untuk Fiksi—yang kemudian disusul berturut-turut the New Yorker Prize untuk Buku Kesatu Terbaik, the P.E.N./Hemingway Award, dan kandidat untuk the Los Angeles Times Award.
Tapi siapakah Jhumpa Lahiri?
Jhumpa Lahiri adalah perempuan pascakolonial: orangtua asal Bengali (Calcutta, India), lahir pada 1967 di London (Inggris), dibesarkan di Rhode Island (Amerika Serikat), dan kini tinggal dengan suaminya, Alberto Bush, wartawan Time, di New York. Dengan darah hidup dan lingkungan bercampur-baur sedemikian rupa itu, sah kiranya bila Jhumpa masuk dalam kategori manusia “diasporic culture”.
Di mana-mana, manusia bergenetik “diasporic culture” selalu merasa berada dalam jentik keterasingan (alienasi), yang selalu berada dalam kurungan “sense of exile”. Keterasingan kerap membawa seorang manusia gamang dalam mencobai hidup yang berhadapan dengan pelbagai ragam budaya yang serbabaru. Tapi keterasingan bukan untuk ditinggalkan, tapi dijalani. Benturan-benturan “diasporic culture” itulah yang menjadi tema utama semua penulis yang lahir dan besar dalam kapsul ranah pascakolonial, seperti Salman Rushdie, R.K. Narayan, V.S. Naipaul, Michael Ondaatje, Arundhati Roy, dan lain-lain.
Demikian pula dengan Jhumpa Lahiri. Tapi Jhumpa tidak seperti Edward W. Said yang menggelontorkan teori relasi dan perembesan kuasa kolonial, melainkan memperlihatkan secara langsung kehidupan yang sesungguh-sungguhnya yang dialami manusia pascakolonial (semua tokoh cerita Jhumpa adalah orang India perantauan). Ia memaparkan semua itu sedemikian detailnya, terutama interaksi dan tarikan-tarikan kebudayaan manusia yang “terjebak” dalam kapsul dualisme kebudayaan (sembilan cerita dalam antologi ini gonta-ganti mengambil seting India-Amerika).
Tema keterasingan itu sudah kita jumpai sejak cerita pertama dalam antologi ini: “A Temporary Matter”. Dengan mengambil seting Boston, USA, dan tokoh utama pasangan suami-istri: Shukumar dan Shoba, pembaca diajak berkelana di ruang keluarga kecil imigran yang memosisikan dirinya dalam arus besar kota Boston—tanpa tamu, tanpa kenalan yang berarti. Karena itu dialog yang terjadi dalam lima hari lima malam yang gulita—tanpa penerangan karena pemadaman listrik dalam kota—terisolasi hanya melulu di seputar keluarga. Sudah bisa kita bayangkan bagaimana sunyinya jiwa-jiwa manusia pascakolonial yang terisolasi di dalam “rumah [asal]”nya itu.
Keterasingan yang serupa kita bisa temukan dalam cerita terakhir: “The Third and Final Continent”. Cerita ini dengan elegan berkisah tentang tokoh “aku” yang terdampar di tiga benua: India, lalu pada 1964 pindah ke London, dan menetap di Boston. Cerita semi-autobiografis ini, selain berisi catatan perjalanan, juga di dalamnya kita temukan benturan kebudayaan dan identitas kepahlawanan. Dikisahkan bagaimana “aku” setiap masuk ke apartemen “rasis” (hanya mahasiswa Harvard University yang diizinkan tinggal) dan dijaga oleh seorang nenek berusia seabad, harus mengucapkan kata: “Rruaarr biasa!” ketika nenek tua itu berteriak, “Ada bendera Amerika di bulan.” Di sini, mau tak mau tokoh “aku”, walaupun sungkan, harus tahu diri bahwa kakinya sedang berjejak di ranah rantau yang sama sekali berbeda dengan tradisi asalnya.
“Interpreter of Maladies” yang kemudian dijadikan banner judul antologi Jhumpa, berkisah tentang keluarga asal India yang sudah bertahun-tahun meninggalkan tanah asalnya ke Amerika Serikat. Dan kini, dengan dipandu seorang guide yang memiliki pekerjaan sebagai penerjemah penyakit di sebuah klinik Gujarat, mereka melancong kembali ke tanah asalnya. Sebagaimana umumnya wisatawan Barat, betapa tercengangnya mereka dengan pesona oriental seperti kuil, cerita-cerita dewa yang disodorkan oleh tanah asalnya yang itu semua mereka tidak dapatkan di negeri-negeri oksidental.
Ada satu ciri khas cerita Jhumpa Lahiri: ceritanya bertumpu pada tuturan yang cermat dalam pengungkapan detail dan kesederhanaan bahasa dan narasi. Dalam sembilan cerita dalam antologinya ini, kita tidak menemukan cerita-cerita besar dan pengungkapan yang njlimet. Tidak pula mengungkap pergulatan manusia berhadapan dengan masalah-masalah kekuasaan ataupun ideologi besar. Elegansi cerita Jhumpa terletak dalam pengungkapan yang detail dan cermat. Dan umumnya detail itu bergerak dan menari-nari dalam lingkup sehari-hari yang umumnya privatif: keluarga, makanan, dapur, kampus, dan gedung-gedung kota. Maka, istilah-istilah pakaian, lipstik, sederet nama-nama makanan (baik makanan Amerika [hotdog, cornflake, …] maupun India [miju-miju…]), dan hampir semua alat dapur berdentingan di sekujur tubuh ceritanya.
Betapa terampilnya Jhumpa mengulak-alik ingatan negeri asal dan negeri rantauan dalam ranah mikrokultura (subjek budaya renik) lewat metafora makanan. Artikel Asha Choubey, pengajar Kanya Mahavidyalaya, India, di sebuah web pascakolonial, jelas-jelas menunjuk bagaimana lewat makanan, tergambar potongan-potongan pola putaran kehidupan manusia pascakolonial, manusia yang berada di “pintu gerbang”. Di sana, makanan tidak lagi dipandang sebagai makanan an sich, tapi telah menjadi budaya, menjadi bahasa, dan menjadi subjek yang menunjuk pada identitas etnik tertentu. Pendeknya, “Food becomes a motivating force in these stories,” tulis Choubey.
Ambil kisah “Mrs. Sen’s” yang di sana Jhumpa menggambarkan gerilya kerinduan akan ranah asal lewat tokoh Nyonya Sen. Suatu hari, Nyonya Sen kebelet ingin membeli ikan yang menjadi makanan utamanya ketika masih tinggal di Bengali dahulu. Tapi apa daya, di Amerika (ranah rantauan) sulit mendapatkannya. Kalaupun ada, rasanya begitu hambar. Saking kebeletnya, ia berkeliling mencarinya di setiap sudut kota dengan berkendara mobil. Tapi apes, bukan ikan yang didapat malah kecelakaan. Atau “The Third and Final Continent” yang mengisahkan “aku”—laki-laki rantauan asal Bengali—yang walaupun sudah akrab dengan makanan Amerika yang mengharuskan memakai sendok, tetap saja ia lebih senang makan dengan tangan telanjang sebagaimana kebiasaan masyarakat Asia Selatan.
“Ritual” di meja makan juga bisa kita baca dalam “When Mr. Pirzda Came to Dine” dan Treatment of Bibi Haldar”.
Tentu saja kisah-kisah itu tidak sekadar cerita tentang makanan, melainkan juga memotret usaha seorang manusia pascakolonial mempertahankan identitas asalnya dengan menghadirkan apa saja yang berbau asal dalam ranah eksilnya, walaupun itu hanya sekadar makanan (salah satu renik dalam ikon mikrokultura).
Kesahajaan cerita dan usaha yang gigih menjembatani benturan tradisi di ranah pascakolonial dengan jalan membalut isu-isu mikrokultura dalam urat nadi cerita itulah yang menyebabkan karya Jhumpa Lahiri mendapat tempat terhormat di kancah sastra internasional. Maka tahulah kita, bahwa untuk mendapatkan “pengakuan”, tidak mesti membuat cerita-cerita yang “aneh” sebagaimana Rowling, Tolkien, atau bahkan insan-insan muda sastra yang membanjiri ranah sastra Indonesia terkini dengan pengucapan yang kerap “dirumit-rumitkan”.
Jhumpa tidak perlu beraneh-aneh dalam pengungkapan dan pilihan tema-tema besar dan wah dalam bercerita. Ia hanya mengisahkan soal-soal kecil, sepele, remeh-temeh, yang dihadapi seorang manusia di dua kebudayaan yang berimpitan, dengan pemecahan masalah yang “wajar-wajar” saja. Namun Jhumpa sangat bersungguh-sungguh dan telaten mengelola jalinan detail mikrokultura itu. Dan kesungguhan dan ketelatenan itu tampaknya sudah lebih dari cukup untuk mengantarkannya duduk dalam jajaran sastrawan-sastrawan berkelas seperti Naipaul, Narayan, Hemingway, Raymond Carver, dan lain-lain.
Dijumput dari: http://resensiresensi.blogspot.com/2007/07/jhumpa-lahiri-mikrokultura-dalam-sastra.html
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Musthafa
A Rodhi Murtadho
A Wahyu Kristianto
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Wachid BS
Abdullah al-Mustofa
Abdullah Khusairi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimanyu
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Maulani
Adek Alwi
Adhi Pandoyo
Adrian Ramdani
Ady Amar
Afrizal Malna
Agnes Rita Sulistyawati
Aguk Irawan Mn
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Subiyakto
Agus Sulton
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahm Soleh
Ahmad Farid Tuasikal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Luthfi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadie Thaha
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rasyid
AJ Susmana
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander Aur
Alexander G.B.
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Rif’an
Aliela
Alimuddin
Alit S. Rini
Alunk Estohank
Ami Herman
Amich Alhumami
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminudin TH Siregar
Ammilya Rostika Sari
An. Ismanto
Anaz
Andaru Ratnasari
Andhi Setyo Wibowo
Andhika Prayoga
Andong Buku #3
Andrenaline Katarsis
Andri Cahyadi
Angela
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Sudibyo
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Zulkifli
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayu Utami
Azyumardi Azra
Babe Derwan
Bagja Hidayat
Balada
Bandung Mawardi
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Bernadette Lilia Nova
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Bhakti Hariani
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budi Winarto
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Bustan Basir Maras
Camelia Mafaza
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Choirul Rikzqa
D. Dudu A.R
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Darmanto Jatman
Dedy Tri Riyadi
Delvi Yandra
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Anggraeni
Dian Basuki
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dian Yanuardy
Diana AV Sasa
Dinar Rahayu
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Warsidi
Edy Firmansyah
EH Kartanegara
Eka Alam Sari
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil Amir
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
F. Budi Hardiman
Fadly Rahman
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fani Ayudea
Fariz al-Nizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatkhul Aziz
Felix K. Nesi
Film
Fitri Yani
Franditya Utomo
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Garna Raditya
Gde Artawan
Geger Riyanto
Gendhotwukir
George Soedarsono Esthu
Gerakan Surah Buku (GSB)
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Tri Atmojo
H. Supriono Muslich
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim H.D.
Hamberan Syahbana
Hamidah Abdurrachman
Han Gagas
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Helwatin Najwa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendriyo Widi Ismanto
Hepi Andi Bastoni
Heri Latief
Heri Listianto
Herry Firyansyah
Heru Untung Leksono
Hikmat Darmawan
Hilal Ahmad
Hilyatul Auliya
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husnun N Djuraid
I Nyoman Suaka
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilenk Rembulan
Ilham khoiri
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Budi Santosa
Imelda
Imron Arlado
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Margareta
Indra Darmawan
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ingki Rinaldi
Insaf Albert Tarigan
Intan Hs
Isbedy Stiawan ZS
Ismail Amin
Ismi Wahid
Ivan Haris
Iwan Gunadi
Jacob Sumardjo
Jafar Fakhrurozi
Jajang R Kawentar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean-Marie Gustave Le Clezio
JJ. Kusni
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Julika Hasanah
Julizar Kasiri
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kadir Ruslan
Kartika Candra
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Ketut Yuliarsa
KH. Ma'ruf Amin
Khaerudin
Khalil Zuhdy Lawna
Kholilul Rohman Ahmad
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Krisandi Dewi
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kuswinarto
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lenah Susianty
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
M Shoim Anwar
M. Arman A.Z.
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Harya Ramdhoni
M. Kasim
M. Latief
M. Wildan Habibi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria hartiningsih
Maria Serenada Sinurat
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Marsus Banjarbarat
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masriadi
Mawar Kusuma Wulan
Max Arifin
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Mezra E. Pellondou
Micky Hidayat
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Moh Samsul Arifin
Moh. Syafari Firdaus
Mohamad Asrori Mulky
Mohammad Afifuddin
Mohammad Fadlul Rahman
Muh Kholid A.S.
Muh. Muhlisin
Muhajir Arifin
Muhamad Sulhanudin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Azka Fahriza
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naskah Teater
Nezar Patria
Nina Setyawati
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noor H. Dee
Noval Maliki
Nunuy Nurhayati
Nur Haryanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurudin
Octavio Paz
Oliviaks
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Panda MT Siallagan
Pandu Jakasurya
PDS H.B. Jassin
Philipus Parera
Pradewi Tri Chatami
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rahmat Sutandya Yudhanto
Raihul Fadjri
Rainer Maria Rilke
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridha al Qadri
Ridwan Munawwar
Rikobidik
Riri
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rizky Andriati Pohan
Robert Frost
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Romi Febriyanto Saputro
Rosihan Anwar
RR Miranda
Rudy Policarpus
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Gerilyawan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra
SelaSastra ke #24
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Subhan SD
Suci Ayu Latifah
Sulaiman Djaya
Sulistiyo Suparno
Sunaryo Broto
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunudyantoro
Suriali Andi Kustomo
Suryadi
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Susilowati
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Bahri
Syam Sdp
Syarif Hidayatullah
Tajuddin Noor Ganie
Tammalele
Tan Malaka
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Tengsoe Tjahjono
Th Pudjo Widijanto
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Joko Susilo
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi
Umar Kayam
Undri
Uniawati
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Vyan Tashwirul Afkar
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyudin
Wannofri Samry
Warung Boenga Ketjil
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Web Warouw
Wijang Wharek
Wiko Antoni
Wina Bojonegoro
Wira Apri Pratiwi
Wiratmo Soekito
Wishnubroto Widarso
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Wing King
WS Rendra
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yosi M. Giri
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Yuyu AN Krisna
Zaki Zubaidi
Zalfeni Wimra
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhaenal Fanani
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Zulhasril Nasir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar