Jumat, 25 Januari 2013

Pemberontakan Komunis 1926

Ditulis oleh Tan Malaka (1948)
militanindonesia.org 18 Juli 2011

Lebih dari dua puluh tahun — bahkan sampai sekarang — setelah pemberontakan PKI terhadap penjajah Belanda pada tahun 1926 yang menemui kegagalan besar dan menyebabkan dibantainya dan dipenjaranya ribuan kader-kader PKI, nama Tan Malaka kerap dihubungkan dengan insiden ini secara negatif. Dari yang menuduhnya sebagai pihak yang bertanggung jawab atas kegagalan pemberontakan ini sampai yang mencibirnya sebagai pemimpin yang pesimis dan tidak mendukung pemberontakan rakyat.
Berikut ini adalah tesis pembelaan dan pandangan Tan Malaka mengenai Pemberontakan PKI 1926, yang disadur dari “Thesis” karyanya pada tahun 1948. Pendeknya, Tan Malaka tidak setuju dengan pemberontakan tersebut karena ini bersifat avonturis dan pada akhirnya justru menyebabkan hancurnya satu generasi kader PKI, dimana semenjak kegagalan pemberontakan tersebut PKI de fakto hancur dan menghilang dari panggung politik selama lebih dari dua dekade. Menurut Tan Malaka, PKI saat itu harusnya tidak terprovokasi dan mundur untuk membangun kekuatannya supaya bisa menyerang pada saat yang tepat di hari depan. Kemampuan untuk bisa mundur secara teratur adalah sama pentingnya dengan kemampuan untuk bisa maju menyerang.

Banyak orang di Indonesia ini, terutama di antara “komunis” sendiri yang menyalahkan saya dan menimpakan kegagalan percobaan menggulingkan pemerintah Belanda di tahun itu pada bahu saya. Apalagi pemuda sekarang yang pada masa itu baru atau belum lahir selalu dikeruhkan kepalanya oleh satu golongan teristimewa anti Tan Malaka. Golongan anti Tan malaka ini bekerja keras di jaman Belanda, Jepang apalagi sekarang, di jaman Republik Sukarno-Hatta ini.

Perkara anti dan pro itu sudah tentu semestinyalah dalam satu perjuangan politik. Sedangkan dalam perjuangan agama yang semestinya suci itu dan perjuangan science, ilmu yang mestinya objektif tenang itu golongan anti dan pro itu tiadalah sedikit banyaknya. Sudahlah cukup disebut, bahwa Nabi Isa mengenal Yudas dan para pendeta Yahudi ialah musuh yang mengirimnya ketiang gantungan. Nabi Muhammad bermusuh mati-matian dengan Abu Jahil. Lenin pernah dituduh sebagai spion Jerman oleh musuhnya.

Cuma lucunya dalam propaganda anti Tan malaka itu mereka yang dikatakan berlawanan dengan saya itu adalah mereka yang saya sendiri tiada sangka atau percaya begitu saja akan berlaku begitu. Sdr. Musso yang katanya mengadakan anti propaganda terhadap saya, lebih kurang 10 tahun sesudah kejadian tahun 1926 itu, belum sampai saya kenal diri. Anehnya Sdr. Musso selalu saya kemukakan di luar Indonesia, dalam surat di Manila, sebagai salah seorang pahlawan Indonesia yang berjuang menentang imperialisme Belanda. Alimin adalah tiga kali datang menjumpai saya di luar negeri, sebagai utusan PKI dan atas anjuran saya sendiri. Alimin berada di samping saya di Manila ketika putusan mengadakan revolusi itu dikirimkan kepada saya. Sdr. Aliminlah yang membawa putusan saya sebagai thesis dan Aliminlah yang menjadi utusan saya.

Mesti diperingatkan di sini, bahwa di masa itu keduanya Sdr. Alimin dan Musso baru saja meninggalkan Serikat Islam di bawah pimpinan Almarhum Cokroaminoto dan Haji Agoes Salim, dan memasuki PKI. Para Komunis lama, yang dianggap tahu seluk-beluknya PKI seperti Sdr. Semaoen, Darsono, Soebakat dan saya sendiri berada di luar Indonesia serta Almarhum Soenono mati dalam bui. PKI berada di bawah pimpinan kebanyakan orang muda atau baru dan kurang pengalaman.

Berhubung dengan beberapa hal yang bisa menyinggung-nyinggung aksi komunis di luar negeri dan karena saya sendiri memang tak suka memperdulikan tuduhan yang saya tahu bohong, tak beralasan dan semata-mata provokasinya musuh, maka selama ini semua tuduhan itu saya biarkan saja. Saya percaya bahwa sejarah ada di pihak saya. Dari semua pihak yang saya percayai, saya dengar, bahwa sikap saya pada tahun 1926-27 itu 100% dibenarkan oleh instansi (tingkat) yang tertinggi. Dengan mereka yang tak tahu seluk-beluknya kedudukan satu Partai Komunis pada satu negara sebagai seksi, cabang Komintern atau Internasional III, tuduhan yang berhubungan dengan tahun 1926 itu, selamanya ini saya pikir baik dibiarkan saja. Apalagi “resminya” Internasional III atau Komintern sudah dibubarkan pada tahun 1943. Lagi pula selalu saya pikir, bahwa tiadalah rasanya membikin lebih enak perasaan ratusan teman seperjuangan saya sendiri, yang hampir 20 tahun menderita sengsara hidup karena akibatnya keributan tahun 1926 itu di Digoel yang sekarang kembali ke tempatnya masing-masing, kalau mereka insaf, bahwa mereka adalah korban provokasi musuh! Kelak kalau mereka perlu dibicarakan kembali, hal itu tak ada orang akan lebih bergembira dari pada saya sendiri. Cuma perkara itu mesti dibicarakan oleh badan yang kompeten, bevoegd, berhak membicarakannya dan tentulah mestinya satu Hakim Komisi Internasional.

Tetapi sebab dalam revolusi Indonesia sekarang ini, Agen NICA dan korbannya orang Indonesia bergiat mengadakan propaganda anti Tan Malaka itu, maka saya perlu mengemukakan beberapa hal. Bukan sebagai pleidoi, pembebasan yang sempurna, sebab si penuduh yang sebenarnya, saksi yang sebenarnya tak ada apalagi Hakim yang berhak, ialah yang ditetapkan oleh Komintern sendiri, melainkan sebagai petunjuk, suggestion, kepada yang berkepentingan dan bisa berpikir tenang-saksama. Perkara yang saya anggap intern, perkara dalam, masih terpaksa ditunda sampai berhadapan dengan Hakim yang sah. Dan rahasia saya itu pastilah hebat.

Putusan mengadakan pemberontakan itu diambil oleh 11 wakil PKI pada 25 Desember tahun 1925, di Candi Prambanan, Yogyakarta buat dilakukan pada tanggal 18 bulan Juni 1926. Keributan itu terjadi pada 12/13 November 1926, jadi hampir satu tahun di belakang putusan Prambanan tadi. Putusan itu didesak oleh ancaman Belanda yang berniat melarang PKI. Tidak boleh dikatakan semuanya atau sebagian besar para pemimpin (cabang) diajak berembuk masak-masak lebih dahulu sebelum putusan diambil.

Buat memendekan uraian ini putusan itu saya namai saja Putusan Prambanan.

Beberapa suggestion saya akan kemukakan di bawah ini, ialah:

1. Perkara Serba-serbi.

Putusan Prambanan itu saya terima di Manila pada permulaan bulan Maret. Saya diundang datang ke Singapura! Tetapi bukan buat merundingkan siap apa tidaknya PKI buat memimpin revolusi pada satu jajahan. Apa corak Politik-Ekonomi yang dituju. Juga bukan buat merundingkan caranya memimpin pemberontakan pada jajahan tersebut.

Saya diundang datang ke Singapura buat pergi ke Moskow bersama Sdr. Musso untuk meminta bantuan (bantuan lahir semata-mata!) oleh karena putusan semacam itu saya anggap terlanjur bertentangan dengan aturan Komintern, dan saya sendiri masih memerlukan perawatan dokter yang istimewa, serta akhirnya Sdr. Alimin patut cukup dan menyanggupkan pergi ke Singapura sebagai wakil saya buat sementara waktu maka perjalanan saya ditunda sampai keadaan mengizinkan. Saya tiba di Singapura pada 6 Mei 1926. tetapi malangnya, barusan saja Sdr. Alimin dan Musso berangkat ke Moskow. Saya dapati Sdr. Subakat tak diajak berembuk, thesis dan usul saya tak sampai pada Sdr. Musso dan Sdr. Soegono merasa sama sekali belum siap untuk memimpin satu pemberontakan. Bahkan Sdr. Soegono sendiri yang ingin berjumpa dengan saya, Soegono sendiri ketua VSTP yakin, bahwa mogok umum pun masih susah buat diadakan di masa itu (VSTP kumpulan Spoor dan tram personel), adalah salah satu kumpulan yang mempunyai sejarah yang paling tua dan paling gemilang di Indonesia. Kumpulan itu mulanya dipimpin oleh Sosial Demokrat Belanda seperti Sneevliet, Baars, Dekker, Bergsma dan oleh Sdr. Semaoen dan Kadarisman. VSTP mempunyai sejarah revolusioner yang gemilang belum ada taranya tentangan organisasinya di Indonesia kita ini. di bawah pimpinan lama pernah mempunyai anggota-membayar-kontribusi sampai 17.000, mempunyai gedung buat kantor, percetakan, propagandis dan surat kabar yang amat rapi aturannya. Tetapi di bawah pimpinan Soegono tahun 1926 itu, disebabkan sebagian besar oleh fraksi dan akhirnya karena memang krisis sudah lalu maka anggota VSTP merosot sampai 4 atau 5.000 (yang aktif saja).

Ditinggalkan oleh Sdr. Alimin dan Musso, kami (Sdr. Subakat buruan di Singapura, saya dan Sdr. Jamaludin Tamim yang baru datang dari Jakarta buat menjalankan instruksi pimpinan PKI) melanjutkan pekerjaan kami.

Kami berada di Singapura sampai sehabis keributan Bantan dan Silungkang. Sdr. Alimin dan Musso kembali dari Moskow sehabisnya keributan itulah pula!

2. Perkara Otoritas Instansi

Pada tahun 1923, saya oleh Komintern diberi surat kuasa mengawasi pergerakan Komunis di semua negeri Selatan, Indonesia, Filipina, Birma, Siam, Malaka dan Indo China. Oleh Provintern dan dengan persetujuan Konferensi Canton, tahun 1924 buat memimpin Secretariaat dan Majalah “The Dawn” untuk kaum pelaut seluruhnya Pasifik termasuk Hindustan dan Jepang. Saya langsung bertanggung jawab terhadap Komintern dalam gerakan Komunisme dan terhadap Provintern dalam gerakan pelaut di tempat tersebut. Tak ada instansi yang lebih rendah berada di Asia tempat saya bertanya. Ini dijelaskan benar oleh wakil Komintern dan Provintern kepada saya dimestikan mengambil keputusan sendiri dan bertanggung jawab sendiri kepada Komintern dan Provintern. Kepercayaan dan tanggung jawab sebesar itu tentulah mengandung resiko yang besar pula, apalagi terhadap diri saya sendiri. Banyak pemimpin lain yang lebih tua dan lebih berpengalaman dari pada saya baik orang Eropa ataupun orang Asia di masa itu. Hal ini tentulah menguntungkan pula. Tetapi buruk baik pekerjaan sayalah yang menangung langsung ke Moskow! Kurang pengalaman sendiri mengerjakan pekerjaan internasional di samping mereka yang lebih berpengalaman memperteguh rasa tanggung jawab terhadap kedua organisasi dunia tersebut.

Keduanya Komintern dan Provintern mempunyai Anggaran Dasar tertentu. Aturan bekerja tertentu, Program tertentu, Taktik-Strategi tertentu yang mesti dicocokkan pula dengan dua atau tiga Kongres di Moskow di masa lampau dan akhirnya dengan garis besar yang sudah dirancang oleh Marx-Engels. Mengawasi gerakan Partai Komunis dan Vakbon di Indonesia, berarti menjaga supaya dijalankannya gerakan itu jangan menyimpang dari garis besarnya seperti tersebut di atas. Membiarkan Partai Komunis Indonesia, yang adalah ialah seksi cabang dari Komintern, menyimpang dari aturan atau dasar Komintern artinya saya sebagai pengawas bisa dipecat, di-Royeer oleh Komintern. Tanggung jawab saya yang pertama sekali sebagai wakil dari Komintern tentulah terhadap Komintern sendiri, bukan kepada PKI. Dalam thesis ke-sekian (49?) yang diterima Kongres ke (3?) di Moskow, ditetapkan bahwa wakil Komintern itu terhadap seksi mempunyai hak mengusul, mengkritik, bahkan hak VETO (melarang sesuatu putusan).

Nah! Sekarang memutuskan membikin revolusi enam bulan di waktu depan itu oleh beberapa pemimpin saja, oleh satu Partai Komunis sebagai seksi Komintern di tempat terpenting di dunia ini, ialah Indonesia saya anggap bertentangan dengan kekuasaan (autoritiet) PKI sebagai seksi dari Komintern. Pertama sekali saya pikir bahwa hal penting yang mengenai seluruh dunia itu mesti diputuskan di Moskow bersama Partai Komunis lainnya. Di Moskowlah mestinya bersama-sama diperiksa apakah organisasi, class struggle (dalam organisasi), kesiapan anggota PKI dalam hal Komunisme dan percobaan klas, serta kesiapan partai Komunis lain buat menyambut dan membantu revolusi Indonesia di bawah pimpinan PKI itu semuanya sudah siap sedia. Perkara senjata adalah barang tersambil, tak mengenai dasar serta organisasi dan taktik-strategi gerakan komunisme. Senjata itu memang boleh dicari ke semua tempat dan di segenap tempo. Tetapi senjata komunis yang sebenarnya ialah rancangan politik, organisasi, semboyan dan propaganda-agitasi. Senjata yang dipegang oleh balatentara imperialisme Belanda itu dalam keadaan yang sungguh revolusioner mudah direbut dengan lidah, pena dan tangan dan bambu-runcing. Bacalah “Semangat Muda” tentang hal senjata itu. Sekarang nyata kebenarannya!

Seandainya pemberontakan Indonesia akan “diterbitkan” dan dipimpin oleh satu partai nasionalis atau ke-islaman, maka PKI sebagai seksi Komintern sudah tentu tak perlu bertanggung jawab terhadap Komintern. Tetapi dalam hal ini PKI bisa juga membantu dengan langsung atau tak langsung dengan tiada perlu langsung bertanggung jawab terhadap Komintern.

Maka berhubung dengan kedudukan PKI sebagai seksi cabang dan kedudukan saya sendiri sebagai wakil Komintern maka saya yakin betul, bahwa saya wajib mengambil sikap yang tepat-cepat. Tetapi sikap itu tiadalah sampai menjatuhkan Veto, ialah hak melarang. Melainkan mengusulkan, supaya lebih dahulu sebelum pergi ke Moskow, meminta bantuan itu, kita mengadakan konferensi di Singapura, yang diwakili oleh semua cabang yang penting. Di sana akan dibicarakan, sikap dan aksi apakah yang pantas diadakan buat menyambut larangan terhadap PKI. Sikap dan aksi itu mesti revolusioner, tetapi mesti cocok dengan kekuatan diri sendiri yang ada dan tersembunyi dan cocok pula dengan kekuatan musuh yang ada dan tersembunyi. (Lihatlah Menuju Republik Indonesia, Semangat Muda, dan Aksi di Indonesia yang ditulis di masa itu). Larangan Belanda semacam itu tak boleh menyebabkan putus asa atau mata gelap seorang Marxist, Leninist.

Sekali-kali tak boleh memberi kesempatan pada percobaan provokasi musuh. Partai Komunis Jerman dll, negeri Barat, bahkan Rusia sendiri sering berhadapan dengan larangan ini dan itu. Tetapi tiada perlu satu larangan itu dibalas dengan pemberontakan.

Berapa kali Partai Komunis Jerman atau Rusia terpaksa lari bekerja ke bawah tanah, sampai tempo dan tempatnya buat keluar dan menyerang datang. Itulah yang dinamai elastis dalam gerakan komunis. Organisasi, taktik-strategi mesti dicocokkan dengan pekerjaan terbuka atau tertutup. Kalau perlu maka HQ (Pusat Pimpinan) bisa dipindahkan buat sementara tempo ke lain tempat. Saya mengusul supaya di Singapura diadakan reserve HQ.

Jadi bukan maksud, sikap dan aksi saya pada tahun 1926, buat melarang aksi revolusioner, melainkan menarik kembali sikap dan tindakan yang saya rasa tidak tepat (Putusan Prambanan) ke sikap dan tindakan yang tepat ialah cocok dengan dasar komunisme dan Putusan Kongres yang sudah diambil beberapa kali di Moskow, dan cocok dengan otoritas Komintern dalam gerakan yang mengenai dunia Internasional.

Tetapi sebelumnya pergerakan PKI di bawah kembali ke jalan komunisme (pengunduran teratur) haruslah lebih dahulu dicabut kembali Putusan Prambanan yang saya anggap bukannya kekuasaan otoritas PKI sebagai seksi cabang Komintern, semata-mata.

Pencabutan Putusan Prambanan itulah langkah pertama. Langkah kedua ialah menentukan sikap yang komunistis, berdasarkan Massa Aksi dengan tuntutan yang nyata-dirasa, yang kalau kekuatan, keadaan organisasi mengizinkan, naik terus sampai dengan revolusi nasional dan sosial. Sebelum Putusan Prambanan itu dicabut, maka kekacauan sajalah yang akan menimpa pergerakan revolusioner Indonesia.

Sebagai wakil Komintern saya anggap saya berhak dan wajib mengusulkan cabut-kembali, Putusan Prambanan, karena putusan itu tiada diambil dengan persetujuan, bahkan tiada dengan pengetahuan Komintern ataupun wakilnya lebih dahulu. Putusan Prambanan tiada dicabut kembali. Akibatnya aksi yang dilakukan oleh PKI menurut Putusan Prambanan dengan tiada persetujuan lebih dahulu dari Komintern, ialah instansi yang saya anggap perlu diberitahukan lebih dahulu dalam perkara sepenting itu, saya tolak seluruhnya kalau ditimpakan kepada saya.

Kewajiban saya buat mengusulkan mencabut kembali putusan yang tiada sah itu sudah saya jalankan. Juga cukup usul dari pihak saya dan teman seperjuangan seperti Subakat dll. di luar dan di dalam Indonesia. Buat membawa kembali PKI ke jalan Massa-Aksi dan komunisme. Dalam hal ini saya rasa saya cuma menjalankan kewajiban dan tanggung jawab saya terhadap Rakyat Indonesia, PKI, dan Komintern.

Mungkin ada yang berkhianat kepada PKI ataupun Komintern, atau dengan sadar atau tidak menjerumuskan Rakyat Indonesia dan PKI ke jurusan malapetaka. Saya katakan sekali lagi mungkin; saya tak tahu orangnya. Tetapi saya sanggup mempertahankan sikap saya di hadapan mahkamah Revolusioner Internasional yang sah, di tempat dan tempo manapun juga di hari depan.

3. Perkara Cooperasi (kerja bersama) Internasional

Kaum buruh sedunia bersatulah!

Inilah seruan Manifesto Komunis lebih kurang 100 tahun lampau. Komintern adalah Badan Proletar revolusioner sedunia yang menjadi pelaksana seruan kaum buruh di bawah pimpinan Marx dan Enges tadi. PKI sebagai Seksi Komintern wajib menterjemahkan dan melaksanakan persatuan itu dalam suasana Indonesia dan dunia sekitarnya pada tahun 1926.

Adakah pimpinan PKI cukup memperhatikan hal itu?

Seandainya PKI belum menggabungkan diri dalam sesuatu badan Internasional sebagai Partai Komunis, sepatutnyalah dia lebih dahulu menduga keadaan di dalam dan di luar Indonesia kalau mengambil satu tindakan! Cara berpikir ialah Materialisme Dialektis. Menurut filsafatnya Materialisme Dialektis maka kodrat revolusioner dari masa murba itu turun naik dengan turun dan naiknya keadaan ekonomi. Di waktu krisis hebat memuncak, maka hebat memuncaklah pula keinsyafan, perasaan serta kemajuan kaum proletariat. Di masa ini mungkin kapitalis Internasional bercakar-cakar, pecah belah atau bermusuhan dan kekuatan proletariat dalam dan luar negeri lebih mudah dipersatukan. Inilah masanya buat proletariat sesuatu negeri buat mengadakan menurut kekuatan dalam dan luar! Sebaliknya di masa Hoch Konjuktur, di masa makmur, di masa produksi memuncak, di masa hampir semua kaum buruh mendapat pekerjaan, maka kendorlah keinsyafan, perasaan dan kemauan revolusioner itu di golongan proletariat sendiri kecuali pada sebagian kecil, ialah golongan pelopornya. Di masa semacam ini kapitalis Internasional sedang membagi-bagi untungnya dan proletariat di dalam dan di luar negeri lebih susah dipersatukan dan dikerahkan buat menyerang musuh bersama secara revolusioner. Bukahlah di masa makmur itu saat yang paling baik buat mengadakan serangan revolusioner terhadap kapitalisme. Aksi menambah gaji memanglah baik buat dijalankan. Tetapi semua aksi revolusioner biasanya kandas, karena kelemahan nafsu berkorban.

Bagaimanakah keadaan nasional dan internasional pada tahun 1926.

Kita ketahui bahwa krisis hebat mengamuk pada tahun 1918 sampai 1922. Pada tahun 1926 itu roda ekonomi sedang berputar menuju ke puncak kemakmuran. Tahun 1929 krisis mengamuk kembali di seluruh dunia. Hal ini tidak diharapkan pada tahun 1917-1922, tetapi hal ini benar terjadi. Hal ini di Rusia dirasa amat penting sekali. Berhubung dengan hal ini apakah revolusi dunia mesti didorong ataukah Rusia baik membelok dahulu ke perusahaan membangun. Inilah pertanyaan yang timbul dalam kepala tiap-tiap komunis di mana-mana terutama di Rusia. Mendorong revolusi dunia artinya mempersulit kedudukan Rusia di dunia Internasional dan membangunkan kembali semangat kapital dunia memblokir dan menyerang Soviet Rusia. Beginilah paham satu pihak di masa ini. kita masih ingat bagaimana “Surat Zinoviev” dipakai oleh kaum reaksioner Inggris buat memukul kaum kiri dalam pemilihan umum di Inggris. Pada masa itu Zinoviev, yang katanya mengirimkan surat pada kaum buruh Inggris, adalah ketua Komintern. Sekarang nyata pada kita, bahwa Partai Komunis Rusia tiada mengambil tindakan yang disangsikan hasilnya. Rusia membelok menukar ke lapangan membangun, ialah menjalankan Rencana Ekonomi 5 tahun. Ini dijalankan dengan jaya. Rencana Ekonomi 5 tahun sudah tentu membutuhkan damai buat pertukaran barang dengan dunia kapitalis. Rusia menjual minyak dan gandum dan membeli mesin dari negara kapitalis. Tuduhan dunia kapitalis bahwa Komintern adalah alat pemerintah Rusia selalu dijawab: bahwa Komintern adalah satu Badan yang terpisah dari Pemerintah Soviet Rusia.

Adakah PKI memperhatikan keadaan Internasional di masa itu?

Saya tak mendengar hal itu diperundingkan di rapat manapun juga. Juga tiada dikaji masak-masak ataupun diperundingkan keadaan ekonomi di dalam negeri. Sudah diketahui sekarang bahwa hampir semua pabrik gula pada tahun 1926 dibuka kembali. Kebon getah, teh, kopi, kina, palm-olie (minyak sawit), tembakau dll, serta tambang emas, intan, timah dan minyak sedang asyik bekerja mengeluarkan hasil bertimbun-timbun. Kereta dan kapal sedang giat mengangkut hasil kapitalis melimpah-limpah. Sebagian besar proletariat tanah dan mesin bisa bekerja dengan upah yang menghidupkan mereka sebagai kuli. Bukanlah pada masa ini memuncaknya keinsyafan, perasaan dan kemauan proletariat buat diorganisir dan dikerahkan menyerang kapitalisme Belanda yang pada saat itu tentulah siap buat dibantu oleh kapital Inggris, Perancis, dan Amerika Serikat di sekitar dunia.

Saya selalu mendapat laporan dari PKI di masa ini! Almarhum Aliarcham, ketua PKI selambat-lambatnya seminggu sekali melaporkan aktivitasnya, usahanya partai di mana saja saya berada. Demikian pula saudara Sekretaris Partai di masa itu. Tetapi sebelumnya surat Putusan Prambanan itu dikirimkan kepada saya, tiadalah ada satu patah katapun diarahkan kepada perundingan buat memeriksa kemungkinan sesuatu percobaan revolusi langsung di bawah bendera PKI sebagai seksi Komintern. Tiba-tiba saya menerima Putusan Prambanan dan undangan ke Moskow buat meminta bantuan. Malangnya pula beberapa hari sebelumnya saya menerima surat “undangan” itu saya menerima surat bahwa Almarhum Aliarcham sudah ditangkap dan dibuang.

Almarhum Aliarcham di masa itu baru sedikit umurnya di atas 20 tahun. Dia ingin keluar berjumpa dengan saya. Laporannya kepada saya membuktikan kecerdasan dan semangat revolusioner yang menyala-nyala. Bukti pula menyatakan, bahwa sikap komunis ada padanya, ialah berani mengakui kesalahan dan ikhlas pula mencabut kembali langkah yang sudah terlanjur. Kehilangan Aliarcham buat partai seperti juga kehilangan komunis-lama, seperti Soegono, di masa itu dan sekarang pun saya anggap satu kehilangan yang sungguh merugikan.

Ringkasnya kemungkinan jaya atau gagalnya satu revolusi yang langsung dipimpin PKI yang sudah tentu membawa pusatnya ialah Komintern, tiadalah diperundingkan dengan para teman yang berkepentingan. Akibatnya aksi PKI sebagai cabang Komintern, yang tentu akan membawa-bawa Rusia pula tiada diperundingkan. Juga tiada perundingan bagaimana dan berapa jauhnya kaum revolusioner di Filipina, Annam dll. dan partai komunis di Amerika, Perancis, dan Inggris bisa memberi bantuan. Kalau hal ini diperundingkan di Moskow lebih dahulu, sudahlah pasti putusan seperti di Prambanan tak akan berlaku ataupun timbul.

Semua uraian kita di atas tiada berarti bahwa gerakan revolusioner bahkan revolusi pun umpamanya revolusi yang bersifat anti-imperialsme untuk nasional tidak mungkin. Ini memangnya mungkin. Saya sendiri selalu memajukan kemungkinan itu baik di Moskow ataupun di Asia ini. tetapi program, organisasi, taktik-strategi serta semboyan pun mesti dicocokkan dengan keadaan dan kekuatan yang nyata atau tersembunyi baik di dalam maupun di luar negeri Indonesia.

4. Perkara Organisasi

Banyak pekara yang berhubungan dengan organisasi yang sudah saya uraikan dalam tiga BROSUR terdahulu di sekitarnya tahun 1926 itu. Uraian itu tak perlu diulang lagi.

Saya pikir, bahwa organisasi PKI tahun 1926 masih banyak mengandung kekurangan. Maka kekurangan itu banyak pula mempengaruhi PKI terdorong ke jurusan PUTCH, ialah aksi bersandarkan semata-mata senjata kemiliteran. Bukannya bersandar pada Massa-Aksi yang bersandar pada murba yang bergerak terus menerus disebabkan terutama oleh keadaan politik-ekonomi, menuju kepada tuntutan yang berjiwa hak politik-ekonomi pula.

Apakah motive-force, kodrat penggeraknya sesuatu partai komunis?

Hasrat sesuatu Partai Komunis, ialah mengubah masyarakat yang berdasarkan produksi kapitalis, ialah penghasilan dengan cara memeras (exploitation) tenaga buruh, untuk, dua tiga lusin kapitalis, melalui jalan Massa-Aksi-Teratur, menjadi masyarakat sosialis, pada tingkat permulaan, yakni mengadakan hasil secara rasional (terkendali) buat seluruhnya masyarakat yang kerja menuju ke masyarakat komunis. Di dunia sosialis isepan (exploitation) itu dilenyapkan. Di dunia Komunis, maka Staat, Negara sebagai alat penindas kaum buruh lenyaplah pula.

Golongan apakah yang lebih pantas lagi dalam masyarakat buat menjalankan perubahan masyarakat kapitalis itu menjadi masyarakat sosialis (nanti Komunis) selainnya dari pada golongan yang sehari-hari diisap dan ditindas dalam pekerjaannya dalam semua perusahaan kapitalis? Dalam perusahaan kapitalis, yang menghasilkan besar-besaran dengan alat mesin modern dan administrasi secara modern pulalah terdapat proletariat modern. Di sinilah proletariat diikatkan pada mesin modern, diorganisir dan di-disiplin secara modern, scientific menurut ilmu.

Di dalam perusahaan modern inilah sesuatu partai komunis harusnya mencari calon buat motive-force, kodrat-penggerak revolusi sosial. Tingkat pertama yang baiknya ditempuh oleh pekerja-murba dalam dunia organisasi ialah serikat buruh. Sebagian (tak semuanya) pekerja yang insyaf akan keadaan hidupnya mempersatukan diri buat maksud yang pertama ialah memperbaiki nasib hidupnya (tambahan gaji, kekurangan lama kerja, hak mogok dll). Dari serikat buruh sebagai organisasi buruh tingkat pertama inilah partai komunis seharusnya mencari calon buat anggotanya. Dari anggota serikat buruh-lah disaring para anggota partai komunis, yakni pelopor, kodrat-penggerak, motive-force dalam revolusi sosial. Tak pula perlu banyak asal saja cerdas, jujur, aktif dan bisa memimpin atau mempengaruhi seluruh serikat buruh tadi.

Syahdan dalam gerakan Rakyat berperang, maka kita lihat pertama kader-opsir, yang memimpin tentara tetap. Di sekitarnya tentara tetap di bawah pimpinan kader-opsir, itu kita lihat reserve dan seluruh rakyat.

Tak berapa bedanya dengan itu maka kita wujudkan dalam gerakan revolusi sosial partai komunis sebagai kader opsir yang memimpin serikat buruh. serikat buruh itu seolah-olah tentara tetapdi atas tadi. Di sekitarnya serikat buruh, yang memimpin oleh partai komunis kita lihat pekerja seluruhnya dan Rakyat lainnya.

Memang para saudagar kecil bangsa Indonesia terdesak oleh saudagar asing. Majikan perusahaan kecil Indonesia (perusahaan batik umpamanya) terdesak majikan perusahaan asing. Semuanya pedagang kecil, tukang warung kecil, sampai penjual sate dan gado-gado, disampingnya warga-kota yang kecil seperti juru-tulis, tukang, intelligensia-miskin, yang semuanya kita namai saja warga-miskin, terdesak sungguh oleh kapital asing. Tetapi tiada langsung terdesaknya. Mereka berada di luar kebun, tambang, pabrik, kereta, dan perkapalan asing. Mereka tiada diikat oleh mesin, administrasi, organisasi dan disiplin-nya kapital asing dalam satu perusahaan asing. Sebab itulah, maka tak tepat kalau mereka dijadikan motive-force dalam gerakan komunis. Setengah atau satu lusin di antara mereka yang cerdas, jujur, dan berani yang terikat oleh filsafat materialisme dialektis dan rasa tanggung jawab terhadap masyarakat tentulah patut diterima di dalam partai komunis. Tetapi umumnya mereka warga-miskin ini berhasrat dan berfilsafat hidup yang berlainan dari pada proletariat modern. Memasukkan mereka terlampau banyak ke dalam partai komunis niscaya akan memperlemah dasar tujuan partai komunis. Mayoritas, lebih dari setengahnya banyak warga kecil dalam partai komunis mudah membelokkan partai komunis ke lapangan anarkisme atau oportunisme, putsch atau kontra-revolusi. Mayoritas sebagian besar dari pada anggota sesuatu partai komunis buat menjaga kesehatannya partai itu harus terdiri dari proletariat industri. Para pekerja industri beratlah yang sepatutnya mendapat perhatian pertama buat dijadikan anggota partai komunis.

Sebermula, maka harus diinsafkan lebih dahulu, oleh para pemimpin Komunis Indonesia, bahwa Indonesia ini (pada tahun 1926 itu!) adalah satu jajahan. Kapitalisme di sini ialah kapitalisme penjajahan dan penjajah yang amat terbelakang pula dalam per-industrian berat di negaranya sendiri Belanda! Perusahaan Indonesia sebagian besar terdiri dari perusahaan bahan, seperti getah, timah, dan kina, perusahaan barang mewah seperti teh, gula, kopi, tembakau. Memang ada perusahaan penting (vital) seperti minyak bumi dan arang, di samping pengangkutan modern, seperti perkongsian kereta api dan perkapalan. Tetapi perindustrian berat seperti tambang besi, perusahaan baja dan mesin, perusahaan barang kimia dan listrik dan akhirnya industri mesin bikin mesin, atau industri induk, belum lagi muncul sama sekali, walaupun bahan serta tenaga melimpah di kepulauan Indonesia ini. Lantaran semangat ahli-keju dan tukang warung serta kedudukan perekonomian sebagai jongos Inggris, maka pikiran dan perhatian Belanda tak sampai dan tak mungkin sampai kepada industri induk tadi.

Indonesia belum sampai ke tingkat perindustrian berat dan baru berada pada pemulaan industri enteng, seperti perusahaan kain, kertas, tinta dan pena. Tetapi perkebunan, pertambangan, pengangkutan serta perdagangan sudah dijalankan secara modern sekali dan mempunyai sifat internasional. Pada perusahaan yang sudah sampai ke tingkat tertinggi dalam perusahaan yang adalah seharusnya PKI memperedarkan matanya. Kepada perusahaan yang paling modern mesinnya, yang paling up-to-date (baru) administrasinya, yang paling penting hasilnya buat dalam dan luar Indonesia dan akhirnya kepada buruh yang paling banyak terpusat, paling tersusun terdisiplin, jadinya mereka yang paling merasa pula isepan dan tindasannyalah perhatian dan usaha yang pertama seharusnya ditujukan.

Dengan jalan terbuka kalau bisa dan jalan tertutup kalau terpaksa, PKI seharusnya memusatkan semua perhatian usaha dan tenaganya terutama sekali kepada buruh minyak di Cepu, Wonokromo, Palembang, Deli, Balikpapan dan Tarakan. Di sinilah terkumpulnya 120.000 atau mungkin lebih proletariat tulen-modern-produktif, menghasilkan barang penting buat dunia seharusnya. Di sini PKI baru boleh dikatakan mendapat kemenangan tentangan pengaruh dan organisasi kalau bisa mengikat separuh atau lebih proletariat otak dan tangan. Setelah serikat buruh tertanam di semua sumber minyak tersebut, dan setelah mendapatkan cukup calon buat didik dan disiplin oleh PKI sebagai para anggotanya, barulah bisa PKI berkata, bahwa dia sudah mempunyai pimpinan atas proletariat minyak. Kalau kelak bendera PKI cabang Komintern dikibarkan di atas tambang dan pabrik minyak tersebut, dan kapitalis Belanda-Inggris dan Amerika mengirimkan kapal perang dan pesawat udaranya buat membela “harta bendanya” di semua tempat tersebut dan pasti akan dibelanya maka barulah boleh dikatakan ada jaminan, bahwa revolusi sosial (termasuk nasional) di sana akan dibela, mati-matian secara Komunis, cocok dengan Organisasi Program, Taktik-Strategi-nya, Otoritas dan Namanya Komintern.

Sepadan dengan kepentingan perusahaan minyak tanah, maka perusahaan lain-lainnya pun mesti mendapat perhatian sepenuhnya pula. Perusahaan itu ialah perusahaan besi dan bengkel seperti Bengkel Manggari di Jakarta, ACW di Bandung, Braat dan Nagel & Co di Surabaya, 180 atau kurang pabrik gula di Jawa, tambang arang di Sawah Lunto (+ 40.000 buruh kontrak dan rantai!) tambang timah di Bangka dan Belitung, tambang emas di Bengkulu dan Minangkabau. Haruslah pula dimasuki ratusan kebun modern dan pabrik kecil-kecil di mana-mana. Setelah proletariat yang menghasilkan barang ini tersusun dalam serikat buruh dan saringannya dilatih, diuji dan akhirnya diterima sebagai anggota aktif dalam PKI maka dijalankan pula atau disampingkan pula pekerjaan dalam perusahaan kereta-api, perkapalan, kantor, sekolah dan polisi serta tentara.

Patut diperingatkan di sini bahwa bukannya Serikat Rakyat yang mestinya dijadikan onderbouw, ialah lantai bawahnya PKI, melainkan serikat buruh, menurut kepentingan buruhnya dalam dunia perekonomian. Sebaliknya tidak pula Serikat Rakyat mesti dimatikan otomatis, menurut salah satu putusan Kongres PKI di Yogya, Desember 1924! Ini juga bertentangan dengan putusan Komintern pada ketika saya berada di Asia. Saya sendiri tidak mengetahui putusan mematikan Serikat Rakyat, sebelumnya saya mengetahui putusan Komintern tadi. Menurut pikiran saya Serikat Rakyat berhak dan patut berdiri di samping PKI dan di bawah pimpinan semangat (spiritual leadership) PKI seperti mudah dimaklumi warga-miskin adalah hasil imperialisme dan kapitalisme juga, dan bermusuhan terus dengan kapital imperialis sebelumnya Negara Nasional Indonesia didirikan. Memang semangat ke-revolusioneran-nya turun naik menurut kemakmuran dan krisis ekonomi di Indonesia: turun semangat memberontak sebagai golongan dalam waktu kemakmuran, dan naik di waktu krisis. Ini adalah hal biasa! Juga terjadi di antara golongan proletariat.

Dari Almarhum Aliarcham sendiri saya menerima laporan tentang mematikan (sendirinya) Serikat Rakyat. Saya tentu tidak setuju, Saya sedang berkirim-kiriman surat (dari Manila) membereskan persoalan Serikat Rakyat itu. Tetapi malangnya pula Sdr. Aliarcham ditangkap dan dibuang.

Di Moskow laporan saya tentang banyak anggota PKI pada tahun 1922 selalu mendapat gangguan saja kiri kanan “Bagaimana” tanya para komunis dari beberapa negara dari yang muda remaja sampai beruban, bagaimana bisa 40.000 banyaknya anggota PKI. Sedangkan Amerika di masa itu baru mempunyai 2 atau 3000. Tiongkok paling banyak 100 orang dan Hindustan cuma beberapa lusin saja? Apakah industri yang ada di Ternate, yang beruntung mempunyai 1.300 anggota yang aktif dan taat itu tanya mereka itu pula.

Dari salah satu buku statistik (Yaarboek?) di Balai Pembacaan Jakarta kita bisa baca berapa orang di antara mereka revolusioner di Digul yang boleh dinamai proletariat yang dimaksudkan di Moskow dan dunia Barat. Kalau saya tak silap cuma beberapa orang saja. Sebagian besar adalah pedagang kecil dan guru sekolah dasar atau langgar.

Kaum pemberontak di Silungkang anggota PKI terdiri dari para saudagar yang masuk golongan kaya buat perdagangan Indonesia, seperti para saudagar di Lawean (solo), di Kota Gede (Yogyakarta) dan di Kudus. Di samping Silungkang terdapat tambang arang Sawah-Lunto, perusahaan terbesar buat seluruhnya Indonesia, dengan + 40.000 buruh tambang yang paling terhina, terperas dan tertindas. Tetapi PKI belum lagi bisa mengatasi kesulitan mengorganisir buruh tambang itu. Asistent Residen di sana daya memperkosa percobaan mendirikan serikat buruh.

Para pemberontak Silungkang tentulah tiada memakai materialiasme dialektis sebagai obor pergerakan melainkan dalam hakekatnya perasaan kebangsaan. Tiadalah mementingkan murba dan massa aksi melainkan keberanian dan senjata. Tiadalah pula mementingkan tuntutan politik-ekonomi yang nyata melainkan kebencian pada pemerintah asing dan kapitalisme asing.

Para pemberontak Banten pula menjadi anggota PKI tentulah pula dalam filsafat hidup dan perjuangannya tiada berdasarkan Materialisme Dialektis, melainkan keteguhan kepercayaan pada Allah (Jimat). Tiadalah mementingkan murba dan massa aksi teratur melainkan iman dan ketabahan, bahkan tak memperdulikan senjata “lahir” sama sekali atau taktik strategi berjuang sama sekali. Bukanlah tuntutan Politik-Ekonomi yang nyata yang dituju, melainkan Masyarakat berdasarkan ke Islaman.

Tak kurang memang tak perlu kurang artinya kaum saudagar dan kaum Islam dalam masyarakat kita. Tak pula mestinya kurang kejujuran, keberanian dan ketabahan mereka dalam perjuangan kemerdekaan. Tetapi pencaharian hidup yang berlain-lain yang menimbulkan wujud, muslihat dan minat berjuang berlain-lain pula. Berhubungan dengan hal ini sepatutnyalah para saudagar, alim-ulama dan umat Islam umumnya mempunyai Partai istimewa yang bergandengan tangan dengan Partai Komunis, dalam satu gabungan Nasional.

Pikiran saya, bahwa dalam Partai Komunis terlampau banyak beranggota non-proletariat dan terlampau sedikit proletariat (mesin) dan mungkin belum lagi 1% kaum proletariat mesin dan tanah, pabrik, tambang dan kebun yang jumlahnya barang kali lebih kurang 3.000.000 di masa itu masuk ke dalam serikat buruh, amat disetujui oleh Almarhum Aliarcham.

Sdr. Aliarcham memasuki pabrik gula di daerah Surabaya. Menurut laporannya terakhir sudah mempunyai serikat buruh beranggota 200.000 orang. Tetapi ini berarti memasuki sarang macan. Laporan inilah yang terakhir saya terima dari Sdr. Aliarcham. Ditangkap dan dibuang. Semuanya menunjukkan bahwa PKI tidak mempunyai kader yang proletaris tulen. Belum mempunyai reserve ialah serikat buruh yang mengikat, umpamanya setengah saja dari proletariat mesin dan tanah. Dengan begitu maka PKI mudah akan terdorong oleh non-proletariat kelaparan putsch.

5. Saat menerkam dan kesimpulan

Dalam “Naar de Republik Indonesia” (1924) dan Massa Aksi (1926) sudah luas dalam saya uraikan siasat massa aksi. Di sini cuma sedikit tambahan saja akan disampaikan.

Baik dalam perjuangan dua orang jago silat ataupun dua tim sepak bola, apalagi dalam peperangan negara dan negara maka saat bila akan menerkam itu amat penting sekali buat diperhatikan.

Saat itu pada instansi, tingkat terakhirnya, ialah ketika kita mempunyai kekuatan sebesar-besarnya dan musuh sekecil-kecilnya. Pada saat itulah bisa dilakukan pukulan terakhir (strategic-blow).

Maksud pukulan terakhir itu ialah dengan cepat, sekonyong-konyong dan dengan kekuatan sebesar-besarnya menerkam rantai terlemah tentara musuh dengan maksud memutuskan rantai organisasinya serta akhirnya menghancur-leburkan seluruhnya tentara musuh itu.

Saat menerkam itu teramat penting pula dalam perjuangan revolusioner berdasarkan massa-aksi-teratur. Pukulan terakhir itulah pula yang diwujudkan oleh massa aksi teratur itu.

Tetapi ada banyak perbedaan antara tentara perang dengan tentara revolusi. Yang paling mencolok mata di antara perbedaan yang banyak itu ialah: Pertama, Tentara Perang itu sudah lebih dahulu bisa dihitung banyak prajuritnya, baikpun kader, Tentara tetap atau reservenya. Tetapi tentara revolusi itu tak bisa ditetapkan Partai, Serikat buruh dan lain-lain kumpulan serta rakyat revolusioner yang akan membantu dengan pasti. Kedua, bahwa latihan tentara perang sudah bisa dilakukan seluas-luasnya dan sedalam-dalamnya di waktu damai. Latihan partai, serikat buruh dan kumpulan Rakyat tiadalah bisa dilatih betul kalau tidak ada krisis ekonomi atau politik. Ketiga, senjata tentara perang sesuatu negara bisa ditentukan lebih dahulu, baik di waktu damai ataupun tambahnya di waktu perang dengan jalan membeli atau membikin sendiri. Tetapi tentara revolusi sudahlah tentu tentaranya golongan orang miskin, pastilah pula amat sedikit di waktu damai, tetapi mungkin amat banyak di musim reovlusi (contoh revolusi Perancis, Rusia dan Indonesia sekarang).

Baik perkara banyak orang (massa), latihan berjuang ataupun persenjataan satu golongan pemberontak, boleh dikatakan sama sekali tergantung pada psychology , ialah jiwanya Rakyat murba pada sesuatu negara.

Menurut filsafat berdasarkan Materialisme, kebendaan, maka jiwa murba tadi terombang-ambing lantaran keadaan lahir, kebendaan, ialah susah mudahnya mendapatkan makanan, pakaian, perumahan dll. Dalam dunia kapitaisme keadan lahir ini berpusat pada susah-mudahnya mendapatkan pekerjaan ialah jalan mendapatkan upah, ialah jalan pula mendapatkan makanan, pakaian dan perumahan tadi. Di musim rodanya kapitalisme berputar lancar, mudahlah mendapatkan benda, matter, keperluan hidup itu. Karena mudahnya itu, maka yang revolusioner-pun bisa menjadi lembek, lena, lalai. Di musim rodanya kapitalisme berhenti berputar, atau krisis susahlah atau mustahillah mendapatkan benda tadi buat keperluan hidup. Sesabar-sabar dan sealimnya orang dia bisa menjadi mata gelap, merasa sendiri dan melihat anak istri kelaparan, bertelanjang dan bergelandangan di hujan panas. Kaum berpikir bisa menjadi revolusioner di masa krisis seperti itu.

Menurut filsafat Materialisme yang bersandar pada Dialektisme, pertentangan, maka pikiran revolusioner itu melantun (terugkaatsenrebound) kembali kepada MATTER, kebendaan, seperti penghidupan, produksi-distribusi, akhirnya kepada negara dan produksi-distribusi (ekonomi) lama dan membangunkan yang baru. Jiwa semacam ini dinamai revolusioner.

Ringkasnya di musim krisislah bisa diharapkan tentara revolusioner yang besar, giat-berlatih secara massa-aksi seperti mogok-demonstrasi yang mempunyai maksud yang pasti-terbatas disertai oleh tuntutan pasti-terbatas pula (clear-cut-aim). Dalam latihan itu kelak bisa ternyata berapa jauhnya murba yang beraksi itu bisa dipimpin dengan selamat, ialah supaya pengorbanan bisa sekecil-kecilnya dan hasil yang diperoleh adalah sebesar-besarnya. Kalau krisis memangnya mendalam, berhubungan dengan itu jiwa Rakyat memangnya positive revolusioner, maka jiwa Rakyat Murba Indonesia yang menyala-nyala itu pastilah akan menjilat-jilat benteng pertahanan imperialisme Belanda, dan memasuki sanubarinya serdadu yang bersenjata dalam benteng itu. Senjata yang disimpan oleh serdadu yang berdiam dalam benteng Cimahi, Magelang, dan Bandung itu, akan dikembalikan kepada Rakyat revolusioner buat diganti menjadi prajurit revolusioner dari penjual kepala bertukar menjadi pahlawan revolusi.

Bila saatnya menerkam, sampai bila pukulan terakhir bisa dijatuhkan dan saatnya benteng imperialisme Belanda menyerah bulat-bulat dengan serdadu dan senjatanya tergantung pada beberapa faktor:

1. Keadaan ekonomi (ada tidaknya krisis).

Di atas tadi sudah diterangkan bahwa tahun 1926, ialah musim (cyclus) naiknya kapitalisme dunia (Hoch-Konjucktur). Getah, minyak, timah, emas, intan, gula, kopi, teh, kina dll laku lagi. Kaum buruh sebagian besar terisap lagi oleh perusahaan pabrik, tambang, kabun dan pengangkutan. Semangat revolusioner buat seluruhnya Rakyat terpukul oleh kemakmuran sementara itu. Dibanding dengan tahun 1945, sesudah perang dunia 5 ½ tahun dan Rakyat Indonesia diisap, dirampoki mesin, emas-intan-berlian, padi dan gadisnya: ditindas, ditampar dan dibunuh serdadu perampoknya Tenno Haika, maka kemakmuran dan ketentaraman tahun 1926 kalau dibandingkan dengan kemakmuran dan ketentraman tahun 1946 adalah benar-benar seperti perbedaan bumi dengan langit. Jiwa Rakyat (semangat revolusioner) perbandingannya cocok dengan perbandingan keadaan lahir itu.

Walaupun demikian dalam tulisan saya (Naar de Repulik Indonesia, Massa-Aksi dan Semangat Muda) saya akui penuh keadaan dan semangat revolusioner di Indonesia. Lebih revolusioner daripada di beberapa negara lain karena seperti saya tulis dalam “Naar de Republik Indonesia” di Indonesia seluruhnya Rakyat tak akan kehilngan apa-apa dalam revolusi, kecuali belenggunya. Lantaran di Indonesia lemah sekali kaum tengah yang bisa menghambat gelombang revolusi Indonesia, kalau betul-betul murbanya bersatu dan berdisiplin menuju ke satu program yang sesuai dengan kekuatan dirinya sendiri.

2. Partai Berdisiplin.

Partai Komunis ialah pelopornya revolusi. Di negara merdeka, demokratis-kapitalis, maka partai komunis itu terutama memimpin proletariat meruntuhkan negara kapitalis itu, sambil me-netralisir kaum tengah (menjaga jangan sampai sebagian kaum tengah dipakai melawan proletariat, bahkan sebaliknya sebagian lagi bisa digerakkan membantu proletariat).

Di negara setengah feodalis setengah kapitalis, maka partai komunis memimpin revolusi pada tingkat pertama ke negara demokratis, dan menurut keadaan dalam dan luar negeri seberapa bisa mendorong ke revolusi sosial.

Di negara jajahan yang kapitalis, maka partai komunis pada tingkat pertama memimpin revolusi anti imperialisme buat mendirikan negara demokratis, serta selanjutnya menurut keadaan dalam dan luar negeri mendorong ke revolusi sosial, ialah seberapa bisa pula.

Taktik strategi perjuangan di negara setengah feodalis dan setengah kapitalis dan di negara jajahan itu amat kompleks, sulit dan berhubungan dengan itu partai komunis, mestinya amat elastis: sanggup menyesuaikan dirinya dengan keadaan dan tingkatnya (phase) revolusi dengan tiada boleh melupakan ke-revolusionerannya. Bagaimana memimpin golongan yang sekarang revolusioner (borjuis tengah dan bawah) dan besoknya sebelum atau sesudahnya mencapai kemerdekaan demokratis bisa dengan sekejap mata membalik menjadi kontra-revolusioner, inilah persoalan yang sukar dalam keadaan begini.

Dalam perjuangan maju-mundur itu, dengan teman seperjuangan (kaum borjuis atas, tengah dan bawah) yang sekarang kawan, besoknya bisa menjadi lawan itu, maka disiplin partai komunis itu mestinya tegap seperti baja. Putusan yang diambil dengan persetujuan suara lebih dalam perundingan demokratis, serta masak-masak, mesti dijalankan oleh seluruhnya partai, bahkan oleh suara kurang pun (minoritas) ……….. Perhatikan suara lebih dan perundingan demokratis!

Disiplin itu mudah dijalankan kalau memang sebagian besar anggotanya sendiri terdiri dari proletariat industri modern yang sudah paham benar atas Materialisme Dialektis. Susah atau mustahil dijalankan kalau sebagian besar anggotanya terdiri dari bojuis tengah (Silungkang dll.) serta Islam revolusioner (Banten, Minangkabau dll.).

Lebih mudah disuruh maju di waktu krisis, kalau terlampau banyak beranggota warga miskin, yang umumnya condong kepada fasisme atau anarkisme itu. Lebih mudah disuruh mundur di waktu kemakmuran, kalau terlampau banyak ber-anggota warga miskin dan tengah, karena mereka umumnya condong oportunisme.

3. Seluruhnya Rakyat di bawah pimpinan (disiplin partai komunis).

Hampir seluruhnya Rakyat Rusia Proletariat mesin dan tanah, serta sebagian besar kaum tengahnya — sesudah mendapat pengalaman yang berharga dalam perjuangan yang lama yang mundur maju semenjak dari tahun 1905 sampai tahun 1917 — akhirnya di bulan Nopember 1917 itu sudah sampai mengakui otoritasnya Partai Komunis Rusia. Terkaman terakhir pada bulan Nopember tahun 1917 diadakan sesudah partai komunis mendapat kemenangan yang nyata dalam pemogokan, demonstrasi, pemilihan kota, daerah dan nasional dan akhirnya di kalangan tentara, ialah kaum buruh tani yang bersenjata.

Seperti disebut di atas, maka disamping PKI yang sebagian besar dari anggotanya itu bukanlah proletariat mesin dan tanah, cuma berada beberapa serikat buruh yang mengikat paling banyaknya 1% saja dari seluruhnya proletariat. Yang paling teguh organisasinya bukanlah pula buruh produktif, mengadakan hasil, melainkan buruh pengangkutan (VSTP). Buruh pabrik, tambang dan kebun masih cerai sahaja.

Pada tahun 1926, maka Serikat Islam masih berdiri terus dan belum mendapat kecocokan dengan PKI. Serikat Budi Utomo, Pasundan, Sumatera, Minahasa, dan Ambon masih berdiri sebagai benteng propinsialisme

Dengan demikian, maka pertama PKI belum bisa secara organisatoris, tersusun mengikat seluruhnya golongan proletariat dengan perantaraan serikat buruh. Kedua belum pula bisa mengikat warga miskin, yang banyak terdapat di bawah pimpinan atau seluruhnya Serikat Islam, apalagi kaum tengah, seperti saudagar atasan, Pamong Praja (BB) dan intelligensia miskin. Ketiga propinsialisme belum lagi ditarik ke jurusan nasionalisme secara organisatoris.

Sedikit saja pemberontakan, kalau berlaku, mendapat perlawanan dari imperialisme Belanda, maka semua golongan atas dan tengah yang dipengaruhi Islamisme dan propinsialisme itu bisa disusun dan dipakai oleh imperialisme Belanda menentang pemberontakan di bawah pimpinan PKI.

Sekarang saja (May 1946) sudah Rakyat Indonesia 3 ½ tahun lamanya menyaksikan dengan matanya sendiri kelemahan Belanda terhadap Jepang, menyaksikan dengan matanya sendiri kerendahan watak budi pekerti, bahkan moralnya Belanda ….bekas Tuan dan Nyonya Besar serta Noni …… dan mendirikan Republik merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, masih bisa Belanda memakai agama dan propinsialisme, bahkan nasionalisme dan sosialisme buat meruntuhkan Republik Indonesia dan mengembalikan Indonesia ke Status penjajahan.

Cuma partai komunis, beranggota sebagian besar proletariat mesin, yang memimpin atau mempengaruhi serikat buruh dan Sarekat Rakyat Miksin; Partai komunis, yang berfilsafat Materialisme Dialektis dan menjalankan putusan yang diambil oleh Kongres Komintern-lah yang mempunyai pengharapan buat memimpin gerakan revolusioner di Indonesia sampai ke tingkat yang cocok dengan kekuatan dalam dirinya sendiri dan bantuan diplomasi dan moril dari dunia luar.

Seluruhnya Rakyat baru boleh dikatakan berada di bawah pimpinan Partai Komunis itu jikalau Rakyat seluruhnya bisa dimajukan — kalau saatnya tiba dan dimundurkan kalau terpaksa — dengan tiada mengurangi kepercayaan rakyat murba pada Partai Komunis itu. Takut mencabut kembali sesuatu putusan yang sudah diambil beberapa pemimpin, karena takut Rakyat akan marah berarti bahwa Rakyat itu belum lagi di bawah pimpinannya Partai tadi.

4. Tuntutan yang nyata dan semboyan

Membentuk tuntutan politik dan ekonomi yang nyata dan dirasa oleh Rakyat umumnya dan klas proletariat khususnya, adalah satu perbuatan yang amat sulit. Cuma mereka yang sudah paham betul tentangan dasarnya filsafat Materialisme Dialektis dan cukup paham tentangan sejarah, kebudayaan, penghidupan dan jiwanya Rakyat Indonesia-lah yang bisa membentuk tuntutan politik ekonomi serta semboyan yang nyata dan terasa itu buat Rakyat Indonesia ini. tuntutan yang nyata dan terasa itu yang bisa menggetarkan jiwa seluruhnya murba berjuang itu, memperteguh imannya dan menimbulkan keikhlasan berkorban.

Semboyan yang tepatlah yang menggetarkan jiwa Rakyat Perancis dalam masa pemberontakan tahun 1789 terhadap feodalisme, yang mendorong mereka berkorban menanam Kemerdekaan, Persamaan, dan Persaudaraan (Liberte, Egalite, Fraternite) di seluruh benua Eropa.

Semboyan dan tuntutan yang konkrit, nyata terasa, yang dibentuk oleh satu partai proletariat yang sudah lolos dalam beberapa ujian Massa-Aksi, besar-kecil, politik dan ekonomi partai yang cakap bijaksana mencocokkan semboyan dan tuntutan itu dengan jiwanya proletariat mesin dan tani di Rusia pada tiap-tiap fase perjuangan itulah pula perkara yang maha penting dalam revolusi di Rusia.

Tuntutan dan semboyan yang nyata terasa itu adalah tercantum pula dalam salah satu putusan dalam salah satunya Kongres Komintern.

Apabila salah seorang dari kami menanyakan pada seorang pemimpin PKI apakah semboyan dan tuntutan yang akan dimajukan kalau kelak Putusan Prambanan dijalankan, maka dijawabnya: “Bunuh Belanda”.

Memangnya perang Jambi (1916) juga memajukan semboyan semacam itu. Tetapi semboyan Komunis hendaknya lain dari itu.

Apabila salah seorang dari pada mereka yang hendak menjalankan Putusan Prambanan itu ditanyai pula, apakah ujian buat seseorang, yang sudah berjanji ikut menyerbu itu, maka dijawabnya: “Siapa berani majulah ke depan! “.

Di Silungkang banyak kejadian aneh, setelah dentuman bedil sebenarnya terdengar serta pasukan serdadu sebenarnya dilihat oleh “would be” bakal pemeberontak itu!

5. Semangat Prajurit.

Salah seorang ahli jiwa memajukan tiga perkara yang umumnya ditakuti oleh manusia yakni: 1. ular, 2. darah manusia mengalir, 3. mayat. Tiap-tiap pembaca bisalah memeriksa kebenaran perkatannya itu.

Tiadalah seorang pula bisa menyangkal kebenaran satu pepatah yang bunyinya: Habis geli karena digelitik. Hilanglah geli telapak kaki kalau selalu digelitik (raba) atau bergeseran dengan tanah. Hilanglah pula ketakutan pada ular, darah atau mayat itu kalau selalu melihatnya. Tukang potong sapi apalagi algojo tentu tak begitu takut sama darah mengalir seperti seorang vegetarian (tak makan daging) berasal dari Dravide (keling) umpamanya.

350 tahun bangsa Indonesia diperas, ditindas dan dilucuti senjata serta dilemahkan semangat perangnya. Memang sebelumnya imperialisme Belanda masuk, bangsa Indonesialah salah satu bangsa pelaut yang paling berani di seluruh dunia ini. Darah pemberani itu tidak hilang di jaman Belanda itu, tetapi terpendam, karena tidak ada lagi latihan perang. Apalagi di kota-kota besar di mana si-inlander menghamba sebagai juru-tulis, jongos dan kuli. Semangat keprajuritan itu dan latihan bertempur itu boleh dikatan hilang sama sekali. Taktik muslihat perang yang sangat dikenal dan digemari oleh nenek moyang kita, silat dengan pisau atau kelewang tak berapa dikenal oleh sebagian besar bangsa Indonesia.

Pada tahun 1926 itu sering saya dengar, memang bisa berjanji ini atau itu sebelumnya musuh sebenarnya kelihatan, tetapi berapa orang yang bisa menembak, kalau Moskow umpamanya besok mengirimkan lebih banyak senjata dari yang ada di tangannya Belanda. Siapa yang bisa terbang di antara orang PKI kalau Moskow seandainya mengirimkan pesawat penggempur ataupun pengebom.

Jangan dilupakan, bahwa bangsa Perancis, tahun 1789, adalah satu bangsa yang paling war-like, bersemangat perang di masa revolusi itu. Bangsa Rusia seluruh lelaki yang kuat memanggul senapan dan sudah berperang selama 3 ½ tahun ketika mengibarkan bendera merah pada tahun 1917 itu.

Sekarang kita bisa membandingkan semangat keprajuritan bangsa Indonesia 1926 dengan kaum revolusioner di Perancis dan Rusia itu, bahkan lebih tepat dengan keprajuritan di masa sekarang tahun 1946. Memang Jepang melatih, mungkin 2.000.000 pemuda (Keibodan, Seinendan, Pelopor Heiho, Peta, Jibakutai) buat memperluas kerajaan Dai Nippon. Tetapi memangnya pula perkataan Marx: Kapitalisme itu menggali kuburnya sendiri.

Kalau tak ada latihan Jepang yang hebat, lebih hebat dan jitu dari pada latihan Belanda, Inggris atau Amerika selama dua tiga tahun itu, maka mustahil prajurit Indonesia dengan “bambu runcing” saja bisa merebut bedil, tank, pesawat dan kapal perang seperti di Surabaya. Masakan prajurit Indonesia bisa 7 bulan sampai sekarang menahan serangan udara, laut dan darat di Surabaya dan Semarang itu. Masakan prajurit Indonesia dengan senjata sedikit yang direbutnya itu sering menghalaukan Nica, Inggris, Ghurka, bahkan gurunya sendiri ialah yang paling berani dan cakap berperang di antara 4 bangsa itu: Jepang. Masakan Krawang dan Bandung bisa dipertahankan sekuat-kuatnya! Semuanya akan lebih nyata, kalau diplomasi ulung, yang berdasarkan “perhitungan” itu tidak dijalankan, yakni menghentikan perang kalau Inggris-Gurka-Nica terkepung, dan pasti menemui ajalnya kalau diteruskan.

6. Pertentangan dalam Internasional Kapitalisme sendiri.

Soal pertentangan yang ada di antara beberapa negara kapitalis satu dengan lainnya amat besar pula artinya buat Rusia dan sangat diperhatikan oleh Partai Bolshevik. Apabila Rusia merobohkan Tsarisme dan menyita harta benda kapital asing (Perancis, Inggris, Jerman) maka mereka yang empunya pabrik dan tambang di Rusia, dan berpiutang kepada Tsar itu satu sama lainnya tak saja bertentangan melainkan sudah berperang. Inggris, Perancis dan Jerman tak bisa bersatu menuntut pinjaman uang, pabrik, dan tambangnya, karena satu sama lainnya lemah melemahkan dengan akibat melemahkan kedua pihak yang berperang terhadap Revolusi Rusia. Rusia pada permulaan revolusi mendapat banyak keuntungan dari pertentangan kapital internasional tadi.

Imperialisme Inggris, Belanda, Perancis dan Amerika yang semuanya tentu akan menentang habis-habisan satu revolusi Indonesia yang akan dipimpin oleh PKI seksi Komintern pada tahun 1926 itu amat rapat bersatu. Mereka sedang rapat bersatu menentang Komintern dan Rusia yang masih dalam keadaan lemah dalam ekonomi dan teknik yang belum lagi menjalankan rencana 5 tahunnya, belum lagi mempunyai bomber penggempur dan armada itu. Mereka tak akan membiarkan satu negara baru yang terang-terangan dipimpin oleh satu seksi Komintern berdiri terus.

Mereka sekarang pun tak akan membiarkan begitu saja berdrinya satu negara yang terang-terangan menegakkan Republik Komunis di Indonesia, tetapi persatuan di antara empat imperialisme di atas tadi tidak seperti di tahun 1926 lagi, dan Soviet Rusia bukan lagi bayi melainkan Negara Komunis yang sudah akil-balig. Tegasnya perbandingan kekuatan kawan-kawan di tahun 1926 jauh berlainan dari pada di masa ini. Dahulu amat merugikan Indonesia. Berhubungan dengan itu, maka program (minimum dan maksimum), serta taktik-strateginya revolusi di tahun 1926 mesti dicocokkan betul dengan perbandingan kekuatan lawan dan kawan itu, tersembunyi ataupun terbuka.

Menjawab pertanyaan di atas, yaitu bilakah saat menerkam itu tiba, maka berhubung dengan enam perkara yang dimajukan di atas, 1. Tahun 1926 bukannya tahun krisis, 2 Partai belum cukup berdisiplin, 3. Belum lagi seluruhnya Rakyat berada di bawah pimpinan (disiplin) PKI, 4. Tuntutan yang nyata dan semboyan tak dipikirkan, 5. Semangat keprajuritan Rakyat Indonesia memangnya kendor sekali, dan 6. Imperialisme Internasional bersatu menentang yang berbau Komunisme, tentulah belum bisa dijawab begitu saja.

Baru bisa dijawab dalam pengalaman. Sesudah PKI di-proletarirkan, serikat buruh dimajukan, warga-miskin disusun pula dalam sususan istimewa, dan aksi ekonomi serta politik yang berjiwa pada tuntutan yang nyata-terasa dijalankan baikpun secara terbuka atau tertutup, maka barulah kelak bisa diketahui bila pukulan terakhir, ialah saat menerkam dilakukan.

Syahdan saat menerkam dengan pukulan terakhir itu sama artinya dengan saat mendapatkan suara terbanyak, dalam partai, kumpulan Rakyat, serikat buruh dan seluruhnya Rakyat, termasuk serdadu.

Ini pasti tak bisa ditentukan 6 bulan lebih dahulu! Cuma Joyo Boyo yang katanya bisa menentukan bulan dan tanggal kejadian di hari depan itu. Pemimpin Komunis besar di Baratpun sering gagal mengenal “psychological moment” saat-jiwa memuncak itu dalam massa aksi yang teratur yang sudah ada. Apalagi mengenal 6 bulan di depan! Perhitungan yang berdasarkan Materialisme Dialektis bukanlah ramalan Pak Belalang.

Apalagi perkara “mengadakan” revolusi! Barangkali malaikat bisa “mengadakan” revolusi itu tetapi kaum komunis cuma bisa mempersiapkan diri dan menyambut datangnya revolusi, sebagai “resultante” (hasil dan akibat) dari 1001 perkara. Yang bisa dicetak itu ialah “putsch”.

KESIMPULAN

Kedudukan PKI terhadap Komintern, tanggung jawab saya kepada Komintern, Rakyat Indonesia dan semua anggota PKI sendiri, memaksa saya mencocokkan Putusan Prambanan, ialah “mengadakan” pemberontakan 6 bulan di hari depan itu (pecahnya hampir setahun di belakang!) dengan dasar Komunisme umumnya dan dengan semua putusan Kongres Komintern khususnya.

Pendapat saya tentang Putusan Prambanan.

1. Berhubung dengan otoritas dan kebiasaan maka tindakan itu melanggar otoritas Komintern. Tindakan sepenting itu, karena mengenai dunia internasional, wajib dirundingkan lebih dahulu dengan Komintern. Sekurangnya dengan wakil Komintern di Asia ini, ialah saya sendiri.

2. Berhubung dengan kerja bersama, cooperation, maka putusan sepenting itu sebaiknyalah kalau diperundingkan dengan wakil beberapa Partai Komunis yang bisa langsung atau tak langsung bisa memberi usul, kritik atau bantuan seperti dengan partai komunis Australia, Belanda, Inggris, Amerika dan Annam.

3. Berhubung dengan organisasi, maka saya anggap sosial-structure (susunan golongan) dalam PKI jauh dari pada tepat. Keinsyafan atau filsafatnya pertarungan kelas masih kurang, serta disiplin masih amat lemah. Disampingnya itu kaum buruh industri, kaum warga-miskin (aliran nasionalisme dan ke-Islaman) belum lagi terikat dalam organisasi yang pantas.

4. Berhubung dengan taktik-strategi, maka dipengaruhi oleh aliran anarkisme, oportunisme dan fanatisme. Taktik-strategi bersandarkan massa aksi, program, tuntutan, serta semboyan yang nyata belum cukup dipahamkan. Kekuatan lawan-kawan kurang diperhatikan, serta kekuatan semuanya amat dipusatkan pada kekuatan senjata saja.

Maka berhubung dengan semua perkara di ataslah maka saya rasa ada kewajiban saya mengusulkan adanya konferensi lengkap di Singapura. Di sini akan dibicarakan perkara patut apa tidaknya dicabut kembali putusan, yang saya pikir terlanjur dan di belakangnya amat menggelisahkan dan mengacaukan beberapa cabang PKI yang heran mendengarkan putusan tersebut. Sesudahnya itu baru dibicarakan sikap dan tindakan yang mesti diambil yang cocok dengan keadaan, kekuatan sendiri dan putusan Kongres Komintern. Salah satunya dari pada usul saya itu ialah mendirikan pusat sebagai reserve di Singapura.

Usul saya yang dibawa oleh Sdr. Alimin disebabkan beberapa hal (yang belum bisa disebutkan) tak sampai ke tangan yang sepatutnya. Setiba saya di Singapura sebenarnya masih banyak tempo buat memperbaiki yang kurang tetap dan mengembalikan PKI ke jalan komunisme. Tetapi disebabkan banyak hal yang tak perlu dan belum bisa dituliskan di sini, maka usaha Almarhum Subakat (Komunis tua dan mati dalam bui), Djamaloedin Tamim (diperintahkan menjalankan Putusan Prambanan di Sumatera), dan saya sendiri akan membawa PKI ke jalan komunisme dan ke massa aksi itu cuma sebagian saja jaya.

PKI terdorong oleh satu organisasi baru disampingnya ialah DO yang dipimpin oleh darah muda yang didorong oleh nafsu terbaru. Beberapa teman di Banten yang sudah kembali dari Digul dengan panjang lebar sekarang bisa menceritakan aksi yang memberi akibat sedih semacam itu. Banyak pula hal yang belum bisa dituliskan berhubung dengan aksi DO yang menyedihkan itu. Perlu disebutkan di sini bahwa kecurangan hati, kalau ada sedikit sekali terdapat di antara para anggota PKI dan DO umumnya mereka sangat jujur dan cukup merasa tanggung jawab. Tetapi kesulitan berhubungan, darah panas, belum cukup memahamkan arti Massa Aksi dan kerja tertutup, maka provokasi Belanda, bisa menjerumuskan ribuan anggota kader revolusi Indonesia ke rumah penjara di beberapa tempat dan ke Digul sarang malaria itu. Pasti PKI akan membikin sejarah yang jauh lebih gemilang kalautak mendapat tamparan sebesar itu dan mempunyai kebijakan memimpin seluruhnya partai ke bawah tanah. Semua Partai Nasionalis sesudah PKI ternyata kini cuma perkumpulan buat mempersiapkan diri menerima bintang dan pertintah Tenno Haika saja.

PARI, Partai Republik Indonesia, didirikan lama sesudahnya keributan tahun 1926 selesai. Alasan terutama ialah karena:

1. Hampir semua pemimpin PKI yang bertanggung jawab sesudah dimasukkan ke bui atau dibuang ke Digul. Perhitungan tepat atau tidaknya tindakan yang sudah diambil pada tahun 1926 seperti wajib dan lazim dijalankan oleh Partai Komunis di Barat tak bisa kami jalankan lagi.

Mengeritik tindakan yang lampau, mengakui kesalahan kalau perlu, adalah satu sikap yang paling diutamakan oleh Partai Komunis Rusia. Tetapi memakai terus nama PKI yang tiada mengemukakan kesalahan di masa lampau kami rasa tidaklah akan menambah perbaikan jalannya pergerakan revolusi Indonesia. Sesudah kesalahan diketahui dan diakui barulah langkah baru bisa dijalankan! Begitulah pula sikap kaum Komunis di Barat!

2. Habisnya anggota PKI yang kami kenal dari luar negeri dan putusnya perhubungan memberi kemungkinan kelak ada mereka yang akan meneruskan pekerjaan PKI lama dengan tersembunyi dan dengan hati curang. Bahaya provokasi semacam ini kami anggap besar sekali. Mungkin karena sengaja berniat jahat atau tidak berniat jahat begitu. Tetapi lantaran kurang paham dan pengalaman maka mungkin PKI karena popular namanya disesatkan kepada paham dan aksi yang bertentangan dengan dasar komunisme umumnya dan Putusan Kongres Komintern Khususnya.

Pengalaman Indonesia dengan PKI yang dikenalkan oleh V.d Plas PKI di bawah pimpinan Jepang, PKI dengan Mr. Joesoef sebagai ketua, PKI tahun 1936, PKI tahun 1941 dll. semua membuktikan berapa susahnya memimpin satu Partai Komunis di sesuatu jajahan seperti Indonesia. 1001 kejadian yang menyedihkan dan menyeramkan yang berhubungan dengan provokas Jepang terhadap PKI. Nama PKI yang mempunyai sejarah baik dari tahun 1917 sampai tahun 1926 memang bisa menarik murba dan menjerumuskan murba, cerdas dingin, serta hati yang sabar-jujur penuh dengan rasa tanggung jawab terhadap proletariat dan rakyat Indonesia, proletariat internasional dan dasar Komunis sendiri.

3. Komunisme dan PKI karena populernya sudah sampai ke tingkat menimbulkan fanatisme di antara Rakyat, terutama yang buta huruf. Lebih tepat lagi kalau dikatakan sudah sampai dia mengganti fanatisme terhadap Islam dan Turki dengan fanatik kepada Komunisme dan Rusia. Pada tiap-tiap pemberontakan di Sumatera di masa lampau, mesti diperhubungkan berita bohong bahwa kapal perang Turki sudah berlabuh di pesisir buat membantu kaum muslimin. Pada pemberontakan PKI di Jawa dan Sumatera kapal perang Rusialah yang menjadi buah berita bohong itu. Jepang memakai tipu semacam itu pula dan dapat memperangkap dan membunuh “komunis” yang kerja tertutup kabarnya puluhan banyaknya.

Semangat berjuang yang didorong oleh fanatisme pun ada tempatnya dalam lapangan revolusi. Tetapi Partai Komunis, seperti Cabang Komintern, wajib dihindarkan daripada cara berpikir yang tidak berdasarkan barang yang nyata.

Sembarang fanatisme sudah membawa seseorang pergerakan revolusi ke jurang oportunisme, fasisme ataupun putsch.

4. Kekuasaan yang diberikan Komintern pada saya (tahun 1922) di daerah yang meliputi beberapa negara, yang praktisnya boleh dinamakan Aslia memberi suggestion, petunjuk kepada diri saya, bahwa semua negara ini memangnya mesti digabung menjadi satu. Teori bangsa (oleh Haddon, Smith, Bastian, CR Logan dll.) membuktikan kesatuan bangsa di Aslia itu. Tanah dan iklim memperkuat pula kesatuan itu. Sejarah Sriwijaya dan Majapahit sudah menuju tepat ke situ. Jepang buat keperluan rampokan dan perampok serta bajak lautnya sudah mempraktekkan kesatuan itu. Dahulu dalam “perantauan” saya di Aslia itu saya sudah mendapat keyakinan bahwa kesatuan bumi-iklim, kebangsaan, perekonomian, kejiwaan (psychology) diperkuat oleh kesatuan musuh imperialis di bawah tali pengendalinya imperialisme Inggris, dengan Singapura sebagai pusat perdagangan dan strategi, bahwa kesatuan Aslia itu mesti dibentuk dengan jalan revolusioner berdasarkan ekonomi dan proletariat menuju ke internasional.

Bahwasanya atas empat dasar saya terutama di atas ini, maka barang siapa yang tak menunggu emas jatuh dari langit, melainkan berjalan dengan mata terbuka di atas tanah yang kesat (kasar) ini sekarang sudah bisa menyaksikan kebenaran PARI dalam hampir semua garis dasarnya.

Nama dan isi kata Republik itu sudah mempengaruhi dunia intelligensia semenjak lebih dari 10 tahun lampau. Pengaruh itu kelihatan memuncak di waktu republik hendak didirikan, 17 Agustus 1945. Di sekitarnya buku saya “Naar de Republik Indonesia” (tahun 1924), “Ke arah Indonesia Merdeka” (tahun 1932 oleh Drs. Moh. Hatta), “Mencapai Indonesia Merdeka” (tahun 1932 oleh Ir. Soekarno) adalah perhubungan erat yang kelak oleh ahli sejarah akan diuraikan (Ktr. Moh Yamin). Komiter van Actie, bermarkas besar di Menteng 31, bukanlah berasingan dengan PARI, walaupun kami sendiri tak kenal mengenal di waktu itu (keterangan lanjut oleh Sdr. Soekarni!).

Nyatalah sudah bahwa Republik adalah satu nama yang tepat buat Indonesia pada tingkat nasional dan internasional sekarang. Nama Republik itu kelak gampang ditambah dengan perkataan seperti Demokratis, Sosialis, ataupun Komunis, ialah menurut keadaan dan kekuataan lawan dan kawan di dalam dan di luar negeri Indonesia dan menurut sifatnya Republik itu sebagai hasil perjuangan yang sebenarnya. Dalam salah satu surat kabar Inggris maka dalam pidatonya Stalin (Ktr. Sajoeti Malik) dapat dibaca kalimat yang pendek, tetapi tepat menyinggung keributan tahun 1926. Di sana disebut “the Indonesian Communist Party wrongly aroused the Soviet power” atau PKI salah mengemukakan kekuasaan Soviet. Memang begitu pendirian Moskow yang saya dengar sesudah tahun 1926.

Saya baru sekarang mendengar keterangan Sdr. Sajoeti Melik yang menambah kepastiannya itu. Tetapi pendirian itulah yang saya pegang serta menambah mendorong saya mendirikan PARI, Partai Republik Indonesia, (Juni 1927). Sedikit orang yang tahu dan mau tahu terutama di Asia ini, bahwa kekuasaan Soviet itu adalah pelaksanaan Revolusi Komunis, seterusnya Revolusi Komunis itu tiadalah bisa dilakukan pada sembarang tempat dan sembarang tempo saja. Cukuplah sudah, bahkan sudah lebih dari cukup kalau pada permulaan revolusi di sesuatu jajahan seperti Indonesia ini, Revolusi itu dipimpin oleh satu partai dengan nama apapun juga. Asal pimpinan itu berada dalam obor Komunisme (Materialisme Dialektis). Pada salah satu daerah luas di Asia saya kenal satu kumpulan besar yang mengikat seluruhnya Rakyat. Kumpulan itu dinamai “The Road to Heaven ” atau “Jalan ke Surga”. Kumpulan itu diakui oleh Komintern sebagai symphatizer, bersimpati. Nama kumpulan itu bukanlah nama ejekan atau kedok! Memang daerah itu dikuasai oleh pendeta Budha dan seluruh rakyat beragama Budha. Tetapi sebab sifatnya memang revolusioner maka Komintern yang bukannya gerombolan orang doktriner atau Fanatis, maka kumpulan “Jalan ke Surga ” pun boleh dianggap satu kekuatan revolusioner.

Cuma mereka yang lebih mengindahkan nama dari pada isi, yang fanatik sama nama dan tak mengindahkan isi saja yang lekas menuduh berkhianat atau Trotskyist kalau seorang merasa bahwa nama itu buat sementara baik ditukar!

Tetapi mereka terutama memperhatikan metode (cara) berpikir revolusioner, untuk aksi revolusioner dalam massa revolusioner, lekas bisa tahu siapa yang sungguh revolusioner dan siapa yang lidahnya saja memberontak. Kita sekarang (Revolusi Solo 2 Juni) sudah sampai ke tingkat kedua. Dimana kelihatan dua barisan bersenjata di tangan sedang berhadapan satu dengan lainnya: Pihak buruh-Tani-Marhaen Indonesia berhadapan dengan Nica, feodalisme dan Inlanders-alat-alat Belanda.

Siapa yang bersandar pada kedua pihak akan kehilangan kepercayaan dari kedua pihak itu dan akhirnya jatuh terlentang sendirinya. Dan siapa yang mau diam berdiri di tengah-tengah akan diam mati terjepit di antara dua pihak itu pula. Seperti kata pepatah: Gajah berjuang sama gajah, pelanduk (sang kancil) mati di tengah!

Akhirulkalam:

Pertama sekali: Sikap saya pada tahun 1926, ialah menarik kembali PKI ke jalan komunisme. Putusan Prambanan saya anggap bertentangan dengan dasar organisasi, taktik, dan strategi Komintern dan beberapa putusan dalam Kongres Komintern.

Menurut keterangan yang saya terima Putusan Prambanan itupun tak dibenarkan Komintern. Para utusan PKI ke Moskow tak mendapatkan yang dimaksud melainkan membawa (terlambat datangnya) program yang cocok sekali dengan usul yang saya kirimkan ke Moskow sebelumnya mereka berangkat.

Kalau sikap saya menuntut dicabut kembali putusan yang saya anggap bertentangan dengan dasar komunisme dan putusan Kongres Komintern, maka saya, sebagai wakil Komintern pada tahun 1926 itu kalau dianggap pengkhianat terhadap proletariat dan rakyat Indonesia, terhadap PKI dan Komintern dan akhirnya pada proletariat Internasional maka saya akan berkhianat sekali lagi kalau berhadapan dengan persoalan semacam itu pula.

Saya sanggup kelak berhadapan dengan hakim Internasional yang sah dan Komunis buat memeriksa siapa yang sebenarnya bersalah dan kalau perlu yang patut dihukum berhubung dengan keributan tahun 1926 dan semua akibatnya itu.

Kedua: Semenjak hampir 20 tahun PARI berdiri sudah terbukti banyak kebenaran dalam garis besarnya. Juga di sini nyata kebenarannya pepatah: The proof of the pudding is in the eating, atau pengalaman itulah hakim yang sebenarnya.

Terbuktilah sudah bahwa dasarnya PARI banyak yang sudah dilaksanakan dalam revolusi sekarang. Banyak anggota PARI yang mengambil bagian dalam revolusi yang sebenarnya ini. Terbuktilah pula benarnya taksiran PARI 20 tahun lampau, bahwa dalam perjuangan akan datang boleh jadi sekali rakyat Indonesia akan terpaksa bersandar pada kekuatan dirinya sendiri. PARI menang bersandar pada dasar “zelf help” tolong diri sendiri.

Memangnya karena bermacam-macam hal terpaksa begitu. Sudah sepuluh bulan rakyat serta pemuda Indonesia menentang perampok Internasional (Inggris, Gurka, Jepang, Nica) dengan otak sendiri, kepercayaan atas diri sendiri, dengan bambu runcing sebagai modal senjata yang pertama!

Perjuangan sekarang dan di hari depan pastilah pula akan melaksanakan dasar tujuan PARI yang ke arah “Aslia” – Asia australia. Syahdan Semenanjung Malaka di benua Asia sudah seratus persen berdiri di atas tuntutan Indonesia ialah: pergabungan dengan Republik Indonesia yang merdeka 100%.

Australia menuju kecerdasan dan sikap yang jujur – konsekuen. Baru ini di London Australia menolak sikap Inggris dan Belanda menjajah Indonesia dan mempermalukan keinginannya sendiri membikin persekutuan perang dengan Popular Government (Pemerintahan Rakyat) dalam Indonesia merdeka 100%.

Dua tiga pasukan pun fanatis, doktriner, atau dogmatis tak akan bisa menahan arus banjir ke jurusan Aslia itu selama undang-undang politik ekonomi berlaku.

Ketahuilah bahwa kaum komunis yang membentuk Rusia sampai menjadi negara seperti di masa ini, bukanlah kaum dogmatis melainkan revolusioner, yang bisa mencocokkan teori komunisme dengan keadaan: yang memakai Komunisme, bukan sebagai dogma, kaji hapalan, melainkan sebagai guide, penunjuk jalan buat aksi.

Dengan hakim komunis internasional yang sah, saya juga sanggup berhadapan buat membela berdirinya PARI. Perkara nama itu, kalau memang kelak masanya sampai saya sendiri akan bergembira mengembalikan nama yang sebenarnya, seperti saya bergembira bisa melemparkan nama Hasan, Fuentes, Tan Ming Seng, Howard Low dan sebagainya dan mendapat nama sekarang di masa berterang-terangan ini.

Di samping PID Belanda memakai nama Tan Malaka palsu, demikianlah dia mempropagandakan dengan s.k Menara Merah-nya bahwa Tan Malaka yang sebenarnya sudah di-royeer (dipecat) oleh Komintern.

Saya sendiri baru sekarang mendengar kabar yang mengherankan itu! Tetapi sekarang sudah boleh saya umumkan bahwa tahun 1932 saya masih mendapat kepercayaan Komintern. Penangkapan di Hongkong (10 Oktober 1932) menurut kabar Inggris, ialah ketika saya dalam perjalanan ke Siam. Tetapi bukanlah Siam yang menjadi tujuan, bahkan Hindustan, British India yang dikangkangi Inggris itu sendiri.

Saya lepas dari semua perangkap yang dipasang di masa dan sesudahnya tangkapan itu tetapi semenjak tahun 1932 sampai 25 Agustus 1935, saya lepas pula dari semua perhubungan dengan teman yang saya kenal di Indonesia, Asia dan Eropa. Saya terpaksa kerja sendiri di mana saya berada.

Saya tahu Komintern belum pernah me-royeer seorang utusan atau anggota yang pernah diberinya kepercayaan penuh sebelum bertemu dengan orang itu sendiri dan terbukti kesalahannya. Saya yang pernah menjadi wakil Komintern itu dan juga wakil Provintern (ini tak perlu dirahasiakan lagi) tak mungkin akan di-royeer begitu saja sebelum saya dipanggil dan diperiksa tuduhan kalau ada. Tak mungkin Komintern akan bertindak atas hasutan atau tuduhan palsu saja, zonder dikonfontirkan orang yang dianggapnya bersalah itu. Saya sendiri tak pernah dikonfrontir oleh siapapun juga, dimanapun juga, berhubung dengan tuduhan apapun juga. Bahkan menerima surat pun tidak, karena seperti saya sebutkan di atas putus perhubungan tadi dan hidup terumbang-ambing karena kemiskinan dan kesehatan amat terganggu.

Kepada si penuduh yang bisa tahu tempat tinggal saya saja, di mana saya di-royeer itu saya akan hadiahkan jamu urat syaraf yang paling manjur sekali sebagai upah kecakapannya yang luar biasa itu dan obat urat syarafnya yang rupanya amat terganggu itu.

Saya sendiri yakin, bahwa penyiar kabar royeeran itu tak tahu di mana saya ketika itu. Tetapi saya yakin pula, bahwa mestinya dia tahu di mana Tan Malaka palsu, di mana Tan Malaka sebenarnya diroyeer itu!

Dijumput dari: http://www.militanindonesia.org/teori/sejarah/8205-pemberontakan-komunis-1926.html

Tidak ada komentar:

A Musthafa A Rodhi Murtadho A Wahyu Kristianto A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Wachid BS Abdullah al-Mustofa Abdullah Khusairi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimanyu Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Maulani Adek Alwi Adhi Pandoyo Adrian Ramdani Ady Amar Afrizal Malna Agnes Rita Sulistyawati Aguk Irawan Mn Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Subiyakto Agus Sulton Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahm Soleh Ahmad Farid Tuasikal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Luthfi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadie Thaha Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rasyid AJ Susmana Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander Aur Alexander G.B. Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Rif’an Aliela Alimuddin Alit S. Rini Alunk Estohank Ami Herman Amich Alhumami Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminudin TH Siregar Ammilya Rostika Sari An. Ismanto Anaz Andaru Ratnasari Andhi Setyo Wibowo Andhika Prayoga Andong Buku #3 Andrenaline Katarsis Andri Cahyadi Angela Anies Baswedan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Sudibyo Anton Wahyudi Anwar Holid Anwar Siswadi Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Zulkifli Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayu Utami Azyumardi Azra Babe Derwan Bagja Hidayat Balada Bandung Mawardi Bayu Agustari Adha Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Bernadette Lilia Nova Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Bhakti Hariani Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budi Winarto Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Bustan Basir Maras Camelia Mafaza Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cecep Syamsul Hari Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Choirul Rikzqa D. Dudu A.R D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Dantje S Moeis Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Darmanto Jatman Dedy Tri Riyadi Delvi Yandra Denny JA Denny Mizhar Dewi Anggraeni Dian Basuki Dian Hartati Dian Sukarno Dian Yanuardy Diana AV Sasa Dinar Rahayu Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi Warsidi Edy Firmansyah EH Kartanegara Eka Alam Sari Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil Amir Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Evan Ys F. Budi Hardiman Fadly Rahman Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fani Ayudea Fariz al-Nizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatkhul Aziz Felix K. Nesi Film Fitri Yani Franditya Utomo Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Garna Raditya Gde Artawan Geger Riyanto Gendhotwukir George Soedarsono Esthu Gerakan Surah Buku (GSB) Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Tri Atmojo H. Supriono Muslich H.B. Jassin Hadi Napster Halim H.D. Hamberan Syahbana Hamidah Abdurrachman Han Gagas Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Priyatna Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasan Junus Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Helwatin Najwa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendriyo Widi Ismanto Hepi Andi Bastoni Heri Latief Heri Listianto Herry Firyansyah Heru Untung Leksono Hikmat Darmawan Hilal Ahmad Hilyatul Auliya Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur Husnun N Djuraid I Nyoman Suaka Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilenk Rembulan Ilham khoiri Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Budi Santosa Imelda Imron Arlado Imron Tohari Indiar Manggara Indira Margareta Indra Darmawan Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ingki Rinaldi Insaf Albert Tarigan Intan Hs Isbedy Stiawan ZS Ismail Amin Ismi Wahid Ivan Haris Iwan Gunadi Jacob Sumardjo Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean-Marie Gustave Le Clezio JJ. Kusni Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Julika Hasanah Julizar Kasiri Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kadir Ruslan Kartika Candra Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Ketut Yuliarsa KH. Ma'ruf Amin Khaerudin Khalil Zuhdy Lawna Kholilul Rohman Ahmad Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Krisandi Dewi Kritik Sastra Kucing Oren Kuswinarto Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lenah Susianty Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto M Shoim Anwar M. Arman A.Z. M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Harya Ramdhoni M. Kasim M. Latief M. Wildan Habibi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria hartiningsih Maria Serenada Sinurat Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Marsus Banjarbarat Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masriadi Mawar Kusuma Wulan Max Arifin Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Mezra E. Pellondou Micky Hidayat Mihar Harahap Misbahus Surur Moh Samsul Arifin Moh. Syafari Firdaus Mohamad Asrori Mulky Mohammad Afifuddin Mohammad Fadlul Rahman Muh Kholid A.S. Muh. Muhlisin Muhajir Arifin Muhamad Sulhanudin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Azka Fahriza Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Nafi’ah Al-Ma’rab Naskah Teater Nezar Patria Nina Setyawati Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noor H. Dee Noval Maliki Nunuy Nurhayati Nur Haryanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurudin Octavio Paz Oliviaks Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pamusuk Eneste Panda MT Siallagan Pandu Jakasurya PDS H.B. Jassin Philipus Parera Pradewi Tri Chatami Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R Sutandya Yudha Khaidar R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rahmat Sutandya Yudhanto Raihul Fadjri Rainer Maria Rilke Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridha al Qadri Ridwan Munawwar Rikobidik Riri Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rizky Andriati Pohan Robert Frost Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Romi Febriyanto Saputro Rosihan Anwar RR Miranda Rudy Policarpus Rukardi S Yoga S. Jai S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Gerilyawan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra SelaSastra ke #24 Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Subhan SD Suci Ayu Latifah Sulaiman Djaya Sulistiyo Suparno Sunaryo Broto Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunudyantoro Suriali Andi Kustomo Suryadi Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Susilowati Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Bahri Syam Sdp Syarif Hidayatullah Tajuddin Noor Ganie Tammalele Tan Malaka Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Tengsoe Tjahjono Th Pudjo Widijanto Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Joko Susilo Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Umar Kayam Undri Uniawati Universitas Indonesia UU Hamidy Vyan Tashwirul Afkar W Haryanto W.S. Rendra Wahyudin Wannofri Samry Warung Boenga Ketjil Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Web Warouw Wijang Wharek Wiko Antoni Wina Bojonegoro Wira Apri Pratiwi Wiratmo Soekito Wishnubroto Widarso Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Wing King WS Rendra Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yosi M. Giri Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Yuyu AN Krisna Zaki Zubaidi Zalfeni Wimra Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhaenal Fanani Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar Zulhasril Nasir