Senin, 08 Oktober 2012

Pembaca Menggonggong Penulis Berlalu

Malkan Junaidi
 
Saya pernah percaya puisi merupakan sejenis politik bahasa, pernah meyakini bahwa dengan seperangkat teori, sejumlah peranti linguistik, saya bisa menyiasati bahasa, dapat melakukan kerja arsitektural mewujudkan sebuah bangunan menawan bernama puisi. Namun waktu menyuapi dengan paksa kenyataan yang lain; misalnya betapa ternyata puisi tak selalu bisa saya tulis setiap hari, sering tak dapat saya selesaikan pada tenggat yang saya inginkan. Meski saya pada waktu yang bersangkutan merasa tak kurang teori, tak kehilangan sedikit pun peranti yang saya pikir saya butuhkan.

Dalam perjalanan juga kemudian saya dengan sengaja ataupun tidak menemukan beberapa orang yang memiliki kegemaran membuat asersi-asersi subyektif dan sentimentil, men-judge karya-karya orang lain dengan pseudo-kritik, berlagak seolah ia paus sastra dengan puluhan karya monumental, yang berwenang memberi tahbis dan legitimasi predikatif pada seseorang, misalnya sebagai seorang penyair. “Tak ada kebaruan, gelap, nir-koherensi, sekedar curhat, prosa belaka, tak ada sedikitpun kemungkinan untuk dapat disebut sebagai puisi.” Asersi-asersi semacam ini mau tak mau kemudian membangunkan kembali pertanyaan klise “Apa itu puisi?” dari tidur siangnya. Pertanyaan yang mungkin kita sangka telah mendapat jawaban yang mapan dan pasti, dan oleh karenanya membuat kita kehilangan rasa penasaran untuk menguliknya lagi.
***

Puisi, saya percaya, merupakan salah satu ranting kesusasteraan (lisan maupun tulis) yang paling tua. “Epos Gilgamesh” yang dicipta sekitar 3.000 tahun SM cukuplah menjadi bukti. Sebuah puisi “Ia yang Melihat Kedalaman" (ša nagbu amāru) dari epik tersebut bagian awalnya berbunyi: “Ia telah melihat segala sesuatu, sudah mengalami segala rasa, dari kegembiraan yang meluap-luap hingga harapan yang remuk-redam, Ia diberkahi penglihatan untuk menyelami misteri besar, tempat-tempat rahasia, hari-hari purba sebelum Air Bah. Ia telah berkelana ke ujung dunia dan pulang dengan selamat. Kelelahan tetapi tetap utuh. Ia telah mengukir kisahnya di lempeng-lempeng batu.”. Apakah kita bisa menyebut terjemahan ini sebagai puisi? Jawabannya bisa beragam. Yang jelas sejak itu puisi berkembang, menyebar, dan mengalami hibridisasi estetis seiring persebaran dan percampuran manusia di seluruh penjuru dunia.

Kita yang hidup di akhir abad 19 dan awal abad 20 kiranya cukup beruntung sekaligus mungkin terkutuk mendapati kenyataan betapa puisi di masa ini mengalami mutasi genetis sedemikian rupa sehingga ia muncul di hadapan kita sebagai salah satu ras kesusasteraan yang paling heterogen dan ruwet karakteristik-nya. Kita pernah percaya puisi adalah wilayah yang dibatasi oleh kehadiran-kehadiran rima, irama, larik, dan bait. Namun kehadiran Guillaume Apollinaire (Perancis), misalnya, dengan puisi-puisi visual/konkret-nya, juga Afrizal Malna (Indonesia) dengan puisi-puisi prosa posmo dan surealis-nya menggetarkan dan meremukkan kepercayaan ini. Kita pernah mendapati keagungan dan kesakralan puisi yang diperkenalkan Khalil Gibran (Lebanon-Amerika) dan Rabindranath Tagore (Bengali). Tetapi Charles Baudelaire (Perancis) dan Binhad Nurrohmat (Indonesia), misalnya, membuat kepercayaan ini goyah dan limbung akibat banjir kata tabu dan tema profan dalam puisi-puisi mereka. Kita mengenal Chairil Anwar dengan puisi-puisi padat dan lantangnya, WS Rendra dengan balada-balada dan pamfletnya, Sutardji Calzoum Bachri dengan mantra-mantranya, Joko Pinurbo dengan parodi tubuhnya.

Jadi, apa itu puisi? Sekali lagi saya dibuat blangkemen (kesulitan bicara) oleh pertanyaan pendek ini. Begitu banyak jawaban di luar, namun juga sering tak memuaskan hati. Pada akhirnya saya cuma bisa membayangkan beberapa penulis puisi; kenapa mereka menulis dalam bentuk ini dan bukannya bentuk itu, kenapa menulis dengan gaya ini, bukannya gaya itu. Saya bertanya (lebih sering pada diri sendiri) bukan untuk mencari kebenaran sejati, namun sekedar untuk menggaruk rasa gatal yang mengusik sekian masa, sekedar melerai rasa penasaran yang menganggu sekian waktu.

Pertama, saya melihat (mungkin dalam suasana kepahaman yang remang-remang) puisi sebagai entitas yang getol menyuguhkan berbagai pesta ambiguitas dan paradoks; seakan saya dimasukkan ke dalam semacam rumah yang sengaja tak diselesaikan pembangunannya, atau didamparkan di semacam jalan multi-simpang tanpa rekomendasi arah mana yang mesti ditempuh, atau didudukkan di bawah semacam pohon yang akarnya menghunjam ke batok langit sedang cabang-cabang dan dedaunnya menelusuri dan melebati rabu bumi. Sungguh keadaan yang membuat saya merasa sangat istimewa dan idiot sekaligus.

Kedua, saya memandang penyair sebagai salah satu spesies yang paling serius dalam mengoptimalkan pendayagunaan otak kanannya. Ia memandang dan menilai segala sesuatu tidak hanya dengan logika matematis, namun juga (bahkan lebih sering) dengan rasio estetis. Impresi-impresi inderawi dalam diri penyair bertransformasi sedemikian rupa menjadi pengalaman puitik. Di sini penguasaan teknis-teoritis kepenulisan mengambil peran menentukan berhasil tidaknya pengalaman tersebut diderivasi/diturunkan menjadi apa yang kita sebut sebagai puisi. Sayang, tak ada yang bisa menjamin bahwa setiap kesan inderawi akan bisa dikonversi menjadi bentuk verbal dan literer bernama puisi. Ada banyak variabel dan determinan yang mempengaruhi terciptanya kondisi ideal kreatifitas kepuisian. Karena itu masuk akal jika tak setiap hari puisi bisa ditulis. Pengalaman puitik pun, bagai hantu, kerap muncul dan hilang tanpa disangka dan diharap. Ia mungkin tak benar-benar hilang, hanya bagai folder yang ter-hidden secara otomatis oleh sejenis virus. Tak heran jika penyair mengalami “macet ide” secara tiba-tiba. Kadang baru bisa melanjutkan lagi tulisannya setelah sekian hari, bulan, bahkan mungkin tahun.

Ketiga, saya menilai kedudukan dan sikap pembaca dalam merespons sebuah teks sangat menentukan predikat apa yang akan disandang teks tersebut; apakah puisi, igauan di siang bolong, atau sekedar curahan hati. Pembaca pun biasanya memiliki tendensi tertentu; ada yang hanya ingin mengapresiasi, ada yang ingin menyalurkan hobi-menghujat-dan-mencela, dan ada pula yang ingin memberi kritik yang fair. Saya percaya untuk melakukan ketiganya secara sukses orang butuh bakat, nyali, dan keahlian. Khusus untuk memberi kritik yang bertanggung jawab tentu seseorang butuh pengetahuan yang cukup akan sejarah sastra, linguistik, psikologi, filsafat, teologi, dan tentunya agama dan politik.

Seseorang tak bisa memberikan penilaian (baca: kritik) hanya berdasarkan selera dan kecenderungan pribadi. Seorang juga tak bisa memakai metode dan standar estetis yang sama persis saat berhadapan dengan dua atau lebih karya dari jenis yang berbeda. Di dunia lukis misalnya kita tak bisa menilai Pablo Picasso dari sudut pandang Salvador Dali atau Vincent Van Gogh, karena ketiganya berada di relnya masing-masing. Pembaca tak bisa mengapresiasi Afrizal Malna dengan cara yang sama saat mengapresiasi Sapardi Djoko Damono. Pembaca yang semantic oriented kemungkinan akan gagal saat menghadapi teks-teks surealis yang berisi juxtaposition dan non sequitur, lalu tergesa menilainya sebagai permainan metafora yang absurd, bahkan lebih lanjut menuduh penulisnya menghindar dari tanggung jawab moral atas nasib dan kondisi kontemporer masyarakatnya. Pembaca semacam ini biasanya juga akan menolak keras pernyataan bahwa penyair adalah jubir dirinya sendiri, bukan jubir masyarakat.
***

Hubungan penulis dan pembaca bukanlah hubungan hierarkis di mana yang satu lebih tinggi dan unggul dibanding yang lain, namun hubungan timbal-balik yang sejajar dan saling menguntungkan (mutualisme). Toh pada dasarnya tak ada yang berhak menentukan definisi final dan valid dari puisi. Setiap yang ditulis dengan maksud sebagai puisi berhak disebut sebagai puisi, meski tidak puitis kecuali bagi seorang pembaca saja. Inilah kemerdekaan bagi penulis. Lantas di mana letak kemerdekaan pembaca? Setelah sebuah karya di-publish, maka di situlah dimulai the death of the author di mana pembaca mendapatkan kuasa yang nyaris mutlak untuk melakukan penilaian sesuai dengan radius pemahaman yang dimilikinya. Bagaimana dengan etika kritik? Etika kritik dirasa perlu hanya ketika sebuah karya dipandang sebagai bagian inheren dan integral dari kemanusiaan. Jika tidak maka yang terjadi adalah “pembaca menggonggong penulis berlalu”.

Puisi bisa sangat sederhana, bisa pula sangat pelik. Puisi kadang pula tak berbeda dari daftar menu di sebuah restoran atau jadwal keberangkatan kereta di sebuah stasiun. Yang membedakan pada akhirnya adalah siapa pembacanya. Puisi akan mendapatkan kepenuhan eksistensialisnya saat berada di depan pembaca yang membuka diri sedemikian rupa terhadap teks, yang bersedia melakukan korespondensi memori secara total. Pembaca yang me-lewat-i dan meng-atas-i referensi leksikal setiap kata, yang merespon setiap ujaran tidak cuma dengan rasio empiris, namun juga rasio estetis. Hal ini tentu tak menafikan adanya standar nilai dalam seni, namun bahwa standar adalah perkara yang relatif dan tak begitu saja bisa semena-mena, haruslah juga jadi fakta yang diterima. Kritik struktural memang keren, namun sering tak manusiawi dan tentunya a-historis. Pembaca yang menutup diri dari mengenal siapa penulis sebuah karya (laki-laki atau perempuan, dewasa atau masih kanak-kanak, mahasiswa atau murid SD, tinggal di kota atau di pegunungan, dsb dst) pada hakekatnya sedang menyulap dirinya sendiri menjadi badut sastra. Karena bukankah sangat lucu menagih murid kelas 3 SMP menulis semengesankan WS Rendra?

Salam.
Blitar, 16 November 2011.
Dijumput dari:  http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=8087987619226174397#editor/src=dashboard

Tidak ada komentar:

A Musthafa A Rodhi Murtadho A Wahyu Kristianto A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Wachid BS Abdullah al-Mustofa Abdullah Khusairi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimanyu Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Maulani Adek Alwi Adhi Pandoyo Adrian Ramdani Ady Amar Afrizal Malna Agnes Rita Sulistyawati Aguk Irawan Mn Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Subiyakto Agus Sulton Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahm Soleh Ahmad Farid Tuasikal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Luthfi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadie Thaha Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rasyid AJ Susmana Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander Aur Alexander G.B. Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Rif’an Aliela Alimuddin Alit S. Rini Alunk Estohank Ami Herman Amich Alhumami Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminudin TH Siregar Ammilya Rostika Sari An. Ismanto Anaz Andaru Ratnasari Andhi Setyo Wibowo Andhika Prayoga Andong Buku #3 Andrenaline Katarsis Andri Cahyadi Angela Anies Baswedan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Sudibyo Anton Wahyudi Anwar Holid Anwar Siswadi Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Zulkifli Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayu Utami Azyumardi Azra Babe Derwan Bagja Hidayat Balada Bandung Mawardi Bayu Agustari Adha Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Bernadette Lilia Nova Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Bhakti Hariani Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budi Winarto Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Bustan Basir Maras Camelia Mafaza Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cecep Syamsul Hari Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Choirul Rikzqa D. Dudu A.R D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Dantje S Moeis Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Darmanto Jatman Dedy Tri Riyadi Delvi Yandra Denny JA Denny Mizhar Dewi Anggraeni Dian Basuki Dian Hartati Dian Sukarno Dian Yanuardy Diana AV Sasa Dinar Rahayu Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi Warsidi Edy Firmansyah EH Kartanegara Eka Alam Sari Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil Amir Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Evan Ys F. Budi Hardiman Fadly Rahman Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fani Ayudea Fariz al-Nizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatkhul Aziz Felix K. Nesi Film Fitri Yani Franditya Utomo Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Garna Raditya Gde Artawan Geger Riyanto Gendhotwukir George Soedarsono Esthu Gerakan Surah Buku (GSB) Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Tri Atmojo H. Supriono Muslich H.B. Jassin Hadi Napster Halim H.D. Hamberan Syahbana Hamidah Abdurrachman Han Gagas Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Priyatna Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasan Junus Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Helwatin Najwa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendriyo Widi Ismanto Hepi Andi Bastoni Heri Latief Heri Listianto Herry Firyansyah Heru Untung Leksono Hikmat Darmawan Hilal Ahmad Hilyatul Auliya Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur Husnun N Djuraid I Nyoman Suaka Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilenk Rembulan Ilham khoiri Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Budi Santosa Imelda Imron Arlado Imron Tohari Indiar Manggara Indira Margareta Indra Darmawan Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ingki Rinaldi Insaf Albert Tarigan Intan Hs Isbedy Stiawan ZS Ismail Amin Ismi Wahid Ivan Haris Iwan Gunadi Jacob Sumardjo Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean-Marie Gustave Le Clezio JJ. Kusni Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Julika Hasanah Julizar Kasiri Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kadir Ruslan Kartika Candra Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Ketut Yuliarsa KH. Ma'ruf Amin Khaerudin Khalil Zuhdy Lawna Kholilul Rohman Ahmad Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Krisandi Dewi Kritik Sastra Kucing Oren Kuswinarto Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lenah Susianty Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto M Shoim Anwar M. Arman A.Z. M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Harya Ramdhoni M. Kasim M. Latief M. Wildan Habibi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria hartiningsih Maria Serenada Sinurat Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Marsus Banjarbarat Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masriadi Mawar Kusuma Wulan Max Arifin Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Mezra E. Pellondou Micky Hidayat Mihar Harahap Misbahus Surur Moh Samsul Arifin Moh. Syafari Firdaus Mohamad Asrori Mulky Mohammad Afifuddin Mohammad Fadlul Rahman Muh Kholid A.S. Muh. Muhlisin Muhajir Arifin Muhamad Sulhanudin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Azka Fahriza Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Nafi’ah Al-Ma’rab Naskah Teater Nezar Patria Nina Setyawati Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noor H. Dee Noval Maliki Nunuy Nurhayati Nur Haryanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurudin Octavio Paz Oliviaks Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pamusuk Eneste Panda MT Siallagan Pandu Jakasurya PDS H.B. Jassin Philipus Parera Pradewi Tri Chatami Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R Sutandya Yudha Khaidar R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rahmat Sutandya Yudhanto Raihul Fadjri Rainer Maria Rilke Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridha al Qadri Ridwan Munawwar Rikobidik Riri Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rizky Andriati Pohan Robert Frost Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Romi Febriyanto Saputro Rosihan Anwar RR Miranda Rudy Policarpus Rukardi S Yoga S. Jai S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Gerilyawan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra SelaSastra ke #24 Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Subhan SD Suci Ayu Latifah Sulaiman Djaya Sulistiyo Suparno Sunaryo Broto Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunudyantoro Suriali Andi Kustomo Suryadi Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Susilowati Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Bahri Syam Sdp Syarif Hidayatullah Tajuddin Noor Ganie Tammalele Tan Malaka Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Tengsoe Tjahjono Th Pudjo Widijanto Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Joko Susilo Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Umar Kayam Undri Uniawati Universitas Indonesia UU Hamidy Vyan Tashwirul Afkar W Haryanto W.S. Rendra Wahyudin Wannofri Samry Warung Boenga Ketjil Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Web Warouw Wijang Wharek Wiko Antoni Wina Bojonegoro Wira Apri Pratiwi Wiratmo Soekito Wishnubroto Widarso Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Wing King WS Rendra Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yosi M. Giri Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Yuyu AN Krisna Zaki Zubaidi Zalfeni Wimra Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhaenal Fanani Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar Zulhasril Nasir