Malkan Junaidi
Saya
pernah percaya puisi merupakan sejenis politik bahasa, pernah meyakini
bahwa dengan seperangkat teori, sejumlah peranti linguistik, saya bisa
menyiasati bahasa, dapat melakukan kerja arsitektural mewujudkan sebuah
bangunan menawan bernama puisi. Namun waktu menyuapi dengan paksa
kenyataan yang lain; misalnya betapa ternyata puisi tak selalu bisa saya
tulis setiap hari, sering tak dapat saya selesaikan pada tenggat yang
saya inginkan. Meski saya pada waktu yang bersangkutan merasa tak kurang
teori, tak kehilangan sedikit pun peranti yang saya pikir saya
butuhkan.