Putu Wijaya
http://www.jawapos.co.id/
MENJELANG pertempuran terakhir yang menentukan, kami semua, para prajurit, bersiap. Mengumpulkan tenaga, mengerahkan jiwa-raga untuk mengakhiri habis-habisan benturan yang sudah berlangsung ratusan tahun ini.
Aku duduk di batang pohon kelapa yang mati disambar geledek. Di pangkuanku senjata, sisa-sisa peluru, rasa sakit, dan lelah yang sudah tidak aku pedulikan lagi. Bila subuh pecah dan matahari menyerakkan bara di langit timur, kami harus menyerbu. Hidup atau mati itu soal nanti. Roda sejarah ini tidak boleh berhenti.
Kawan-kawanku ada yang berbaring tidur untuk menikmati mimpinya yang mungkin tidak akan pernah lagi kembali. Ada yang menulis surat buat keluarganya meskipun dia tahu semua itu tidak akan pernah sampai. Di depan nyala api, komandan termenung seperti membaca apa yang akan terjadi.
Waktu itulah sebuah tangan menepuk pundakku. Setan datang dengan wajah yang gemilang. Lebih cantik dari semua bintang layar kaca atau bidadari di kelir wayang yang pernah aku tonton. Senyumnya menghancurkan seluruh duka yang bersembunyi di balik tulang dan urat-uratku yang sudah patah dan rengat. Dan baunya bukan main harum. Semerbak sehingga medan pertempuran yang anyir oleh bau darah itu berubah jadi kamar hotel berbintang sembilan yang sensual.
”Bang,” suaranya mendesah membasahi telinga.
Aku tak berani menoleh. Imanku sudah runtuh mendengar sapa yang menyengatkan listrik ribuan voltase itu.
”Bang, aku datang membawa pesan untukmu. Abang punya waktu sebentar aku ganggu?”
”Pesan apa?”
”Jangan memandang ke depan hanya sebatas pandang.”
”Kenapa? Apa yang bisa aku lakukan, aku hanya manusia biasa yang sudah bertahun-tahun tidak sempat tidur.”
”Kalau Abang hanya melihat yang ada di depan Abang, Abang hanya akan melihat sebuah tiang bendera. Paling banter Abang hanya akan kepingin menaiki tiang itu untuk mengibarkan bendera.”
”Betul, memang begitu.”
”Paling banter Abang hanya akan menikmati bendera itu mengibas-ngibas ditiup oleh angin yang bertiup membawa asap knalpot, sampah pabrik, dan debu-debu kotor yang penuh penyakit. Dalam waktu sekejap Abang akan sakit.”
”Tidak apa. Aku sudah biasa sakit. Tambah sakit lagi tidak akan berarti apa-apa. Sebentar lagi ini akan berakhir. Begitu rona merah menebarkan api di langit, pertempuran yang tidak seimbang ini akan memusnahkan kami semua. Tapi tidak apa. Demi merdeka jiwa-raga harus rela dikorbankan.”
”Itu bodoh. Itu tidak perlu terjadi. Abang harus terus hidup untuk mengalami apa yang akan terjadi. Untuk apa berjuang kalau hanya untuk mati?”
”Untuk merdeka.”
”Abang sudah tertipu! Lihatlah ke depan. Enam puluh lima tahun lagi, kalau Abang merdeka, Abang akan menyesali apa yang sudah Abang lakukan.”
”Kenapa?”
”Enam puluh tahun lagi dari sekarang, pohon-pohon itu akan ditebangi jadi jalan dan mall. Pencakar-pencakar langit akan menancap di setiap jengkal tanah di seluruh tubuh kota. Jalan layang melilit kota, tidak ada lagi yang akan sempat melihat pagi dan senja merah, karena langit sudah dihancurkan oleh dosa-dosa pembangunan. Di jalanan tidak ada lagi ruang bagi pejalan kaki dan sepeda, semua direbut oleh kendaraan mewah punya para konglomerat. Kehidupan ini bukan milik rakyat, tapi para pemimpin, ketua-ketua partai, dan para cerdik pandai yang nenjadi selebriti karena teori-teori kemanusiaannya yang luar biasa cerdas, tetapi tak pernah berpihak kepada kemanusiaan. Uang adalah dewa yang paling tinggi yang ingin dimiliki oleh semua orang dengan segala macam cara. Termasuk menipu, menindas, membunuh, juga mempergunakan ideologi, ilmu pengetahuan, kesenian, dan agama. Karena itu, terimalah ini. Aku diminta menyampaikan ini kepada Abang. Buanglah senjata yang tidak akan sempat meletus itu, karena senjata-senjata kuman sudah terlebih dahulu akan mematuk nyawa Abang. Kecuali kalau Abang terima ini!”
Setan mengulurkan sebuah cek.
”Berapa saja angka yang Abang taruh di atasnya, cek ini akan bunyi tetapi dengan satu syarat.”
”Aku harus meletakkan senjata? Tidak!”
”O tidak, tidak! Abang tak perlu meletakkan senjata, itu melanggar janji seorang prajurit. Tetap saja angkat senjata Abang dan kemudian tembakkan. Karena itulah gunanya senjata itu diberikan. Tapi jangan menembak ke arah depan. Karena musuh yang sebenarnya bukan di depan, tetapi di samping dan di belakang. Terutama di dalam diri Abang sendiri. Tembak semuanya itu, bersihkan musuh-musuh dalam selimut yang sudah membuat enam puluh lima tahun merdeka itu lebih neraka dari apa yang ada sekarang.”
Aku tercengang.
”Menembak ke dalam diriku sendiri?”
”Ke samping dan ke belakang juga.”
”Tapi, itu bunuh diri.”
”Bukan. Itu pembersihan rohani!”
”Itu berarti aku akan membunuh teman-teman seperjuanganku sendiri.”
”Bukan. Mereka itu musuh dalam selimut.”
Aku terkejut.
”Bagaimana, berkenan? Mohon jangan menolak, karena aku akan kecewa dan sedih.”
Setan tidak menunggu jawabanku. Dia langsung menjatuhkan diri ke pelukanku. Lalu mencium dengan mulutnya menempel seperti bekicot. Ciuman lengket itu membuat tubuhku meleleh. Pagutan tangannya adalah lengan-lengan gurita yang mengurung dan membelit sukma sehingga aku ringsek total.
Senjata itu terlepas dari tanganku, sementara cek yang diselusupkan ke kantung bajuku seperti tangan nakal yang merogoh liar kegairahanku, sehingga dalam ketegangan yang tak tertahan, aku tidak bisa bilang tidak. Aku terpanggang di dalam api setan. Aku melambung dilalap kenikmatan yang belum pernah kualami.
Apa yang lebih berharga lebih dari rasa bahagia. Apa aku harus menolak apa yang dikejar oleh semua orang dengan mengorbankan jiwa-raga dan kehormatannya, apalagi ia datang menyerahkan diri kepadaku tanpa syarat.
Aku kelenger. Belum pernah aku menikmati kenikmatan yang begitu panjang dan seakan-akan tidak akan pernah berakhir. Aku hanyut dan menyerah. Aku ingin berada di puncak kebahagiaan itu selama-lamanya.
Tetapi, tiba-tiba sebuah tangan menepuk pundakku. Ketika aku terbangun, aku terperanjat. Di depanku, sahabat karibku berlumuran darah. Wajahnya begitu dekat, sehingga aku tepercik oleh darah yang menetes dari lubang peluru di dahinya. Ia membuka mulutnya tetapi begitu lemah, sehingga aku menempelkan telingaku untuk mendengar.
Bangun, tembak, jangan tidur, mereka menyerbu sebelum kita sadar, katanya, lalu langsung roboh. Aku gugup tapi berdiri. Sekitarku sudah menjadi lautan mayat. Semua temanku sudah tertembak mati. Tinggal aku sendiri yang luput karena sudah bermimpi atau memang aku disisihkan supaya katut menang, karena setan sudah memilih.
Lupa pada cek yang ada di kantung. Lupa pada gambar yang sudah ditempelkan setan di benakku tentang kebobrokan 65 tahun yang akan datang, aku angkat senjata. Tapi mana senjataku. Tanganku kosong, senjata entah di mana. Aku berteriak histeris, tapi suaraku ditelan kebekuan kalah. Aku berontak. Aku angkat tanganku, tapi tidak bisa, tanganku kaku. Aku menadahkan muka ke atas menjerit minta pertolongan.
Tiba-tiba, di atas sana aku lihat bendera sang saka berkibar di puncak tiang. Gagah dan bergelora dikibas-kibaskan angin. Negeriku sudah merdeka. Rakyat bebas. Aku meledak. Kesedihanku berubah jadi kegembiraan. Aku terlempar ke 65 tahun yang akan datang di tahun 2010. Terima kasih Tuhan!
Tapi, ketika memandang di sekitar, aku terperanjat. Hutan dan gunung gundul. Sungai kering dan laut terpolusi. Musim hujan tidak karuan. Bencana alam menghantam. Hujan, banjir, longsor tetapi hutan terbakar, gunung meletus, sumur bumi muncrat menenggelamkan kota dalam kubangan lumpur. Demam berdarah, flu babi, narkoba, kemiskinan, korupsi, gontok-gontokan agama, disintegrasi. Rakyat kelaparan sementara para pejabat sibuk bertengkar saling menyalahkan dan menghasut dialah yang paling tepat memimpin. Keos!
Lalu aku dengar setan tertawa.
Betul tidak, betul tidak apa yang aku aku katakan, kata setan. Tidak ada gunanya kemerdekaan. Kemerdekaan hanya buat orang kaya dan yang berkuasa. Kalian, 220 juta kawula, akan tetap menjadi budak yang tidak punya masa depan. Bukan kalian yang akan menulis sejarah tapi para konglomerat, petualang-petualang politik dan para elite yang melihat kehidupan dari balik teori-teori akademisnya yang abstrak.
Setan tertawa ngakak.
Aku jadi muak! Benci! Marah! Sumpek! Aku sumpahi, ludahi, hajar habis semua kebiadaban itu. Aku malu, aku luka, aku sakit!
Tiba-tiba sebuah tangan menepuk pundakku. Ketika kubuka mata, anakku, Taksu, berdiri di depanku dan berbisik.
”Kalau kubiarkan dan pelihara terus kekesalan dan kebencian kepada para penindas, mereka yang pernah menderaku selama 27 tahun itu akan terus menyandera diri dan jiwaku. Aku ingin menjadi orang yang merdeka. Karenanya aku buang semua kebencian itu, sehingga aku benar-benar merasa sebagai orang yang bebas dan merdeka.”
Aku terkejut. Kupandang Taksu seperti melihat terowongan gelap.
”Apa? Coba ulangi!”
Taksu mengucapkan sekali lagi, sementara aku memejamkan mata. Kalimat-kalimat itu seperti ujung jarum yang menembus kuping dan masuk langsung ke hulu hatiku. Jantungku yang robek dijahitnya kembali. Sedang hulu hatiku yang tertutup dibukanya lebar-lebar agar udara yang segar berembus masuk mencuci pikiranku yang sumpek.
Begitu Taksu selesai bicara, kubuka mata seperti orang baru sadar dari pingsan. Aku seperti dilahirkan lagi. Segar, bersemangat, dan penuh dengan harapan. Entah dari mana perasaan yang indah itu begitu saja merasukiku. Itu pemaknaan yang baru terhadap kemerdekaan yang membuat horison menjadi berbeda. Luas, tak terbatas, dan siap untuk ditempuh sekali lagi. Luar biasa!
Aku tatap anakku dengan kagum.
”Kamu hebat sekali, Taksu! Sejak kapan kamu berpikir mulia begitu?”
Taksu membuka HP.
”Itu pesan Facebook dari Yulie Panthi, salah satu kawanku di FB.”
”Waduh, hebat sekali dia!”
”Itu kutipan dari ucapan Nelson Mandela.”
”Pemimpin Afrika Selatan itu?”
”Betul!”
”Wah, wah, wah! Hebat!”
”Yang hebat Nelson Mandela!”
”Tidak! Teman kamu dan kamu juga hebat! Hanya orang-orang yang hebat mengerti makna-makna yang hebat. Itu pemahaman kemerdekaan yang luar biasa, dewasa, dan mulia, yang sangat perlu direnungkan oleh seluruh bangsa Indonesia sekarang yang hatinya penuh benci, dengki, marah, dan berangasan!”
Taksu ketawa mengejek.
”Berarti Bapak juga hebat dong sebab memuji kalimat itu setinggi langit. Buat aku sih biasa-biasa saja. Kuno! Kata-kata mutiara bisa dibuat seratus biji dalam satu menit, tetapi bukan itu yang kita perlukan. Kita memerlukan tindakan. Indonesia di usia 65 sudah inflasi kata-kata mutiara. Sekecil apa pun, tetapi tindakan selalu lebih konkret dari kata-kata yang hanya akan menenggelamkan Bapak ke dalam mimpi siang! Good-bye!”
Sebaliknya, daripada membantah aku memejamkan mata kembali. Nelson Mandela sudah meniupkan angin baru yang membuat aku bebas, lega, dan lapang dada.
”Sekarang aku mengerti,” gumanku ketika istriku lewat mau ke dapur.
Seperti aku harapkan, dia berhenti.
”Mengerti apa?”
”Apa sejatinya makna kemerdekaan.”
”Apa?”
”Bebas.”
”Memang dari dulu begitu kan? Masak baru tahu? Makanya Bung Karno dan Bung Hatta memproklamirkan kemerdekaan kita. Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal mengenai pemindahan kekuasan dan lain-lain akan diselenggarakan dengan seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.”
”Dan apa sejatinya makna kebebasan?!”
”Apa?”
”Melupakan!”
Istriku terkejut.
”Melupakan? Masak?”
”Ya! Kelihatannya tidak mungkin, bahkan sepele. Tetapi nyatanya Nelson Mandela sudah membuktikan itu. Tak mungkin orang besar dari Afrika Selatan itu mampu bertahan disekap puluhan tahun di penjara, padahal usianya sudah uzur, sehingga ketika dibebaskan dia masih sehat jasmani dan rohani sehingga mampu memimpin sebagai presiden pertama Afrika Selatan!”
Lalu kuulangi Mandela seperti yang aku dengar dari Taksu.
”Kalau kubiarkan dan pelihara terus kekesalan dan kebencian kepada para penindas, mereka yang pernah menderaku selama 27 tahun itu, akan terus menyandera diri dan jiwaku. Aku ingin menjadi orang yang merdeka. Karenanya aku buang semua kebencian itu, sehingga aku benar-benar merasa sebagai orang yang bebas dan merdeka.”
Dewi, istriku, manggut-manggut.
”Hebat, mulia, dan sangat agung pikirannya kan, Bu?”
”Ya, iyalah Pak, orang besar memang pikirannya juga harus besar!”
”Lho, bukan orang besar saja. Orang kecil, rakyat jelata, seperti kita juga harus meneladani apa yang ditemukan oleh orang-orang besar itu. Karena itulah kita sebut dia pemimpin. Bukan hanya karena dia berdiri paling depan kalau kita berperang, itu sih wayang. Tetapi karena dia membuka makna-makna di dalam kehidupan, sehingga kita bisa melihat apa sebenarnya inti baik, buruk, adil, dan khususnya kemerdekaan itu. Tidak seperti kita sekarang di Indonesia ini yang sibuk membenci orang lain, meskipun memang pantas dibenci!”
Istriku termenung.
”Jadi Bapak setuju pada Mandela?”
”Lho bukan hanya aku yang sudah tua bangka ini, Bu. Bukan hanya kita yang sudah bangkotan karena kebanyakan makan garam ini saja. Anak kita, si Taksu yang masih mentah itu, juga setuju. Justru dia yang tadi membacakan pikiran agung Nelson Mandela itu kepadaku, sehingga aku seperti mendapat pencerahan. Begitu hebatnya arti kata-kata. Hanya kata-kata, tetapi cukup bisa mengubah perasaanku. Itu dia kehebatan seni. Pikiranku seperti dicuci bersih, plong sekarang oleh kebenaran yang diulurkan Mandela. Umpama Ibu hanya masak tempe-tahu atau ikan asin tok seperti biasanya, suamimu ini tidak akan sambat lagi. Perasaanku jadi tenang setelah mendapat siraman kebenaran dari Mandela. Batu pun rasanya sekarang enak!”
”Ah, Bapak kalau lagi senang suka melebih-lebihkan begitu.”
”Lho, aku serius! Ini penting sekali. Perubahan itu tidak dimulai dari penampakan jasmani, tetapi rohani. Kalau di dalam sini sudah bener, semuanya akan jalan. Tapi kalau di hati sudah rusuh dan kotor, apa saja, yang baik dan sudah adil juga jadi salah. Ya nggak?”
”Jadi Bapak sekarang pengikut Nelson Mandela?”
”Bukan, bukan, ini bukan kultus individu. Nelson Mandela tidak usah dipuja-puja. Dia juga manusia biasa. Tetapi pikirannya tentang kemerdekaan dan kebebasan itu sangat agung, perlu, harus, wajib, dan mesti kita laksanakan, kalau mau mengubah keadaan baik di Indonesia maupun di batin kita sendiri. Kita harus menjadi manusia yang merdeka, bebas, sehat, dan waras!”
Dewi menganguk-angguk.
”Sekarang aku ke tetangga dulu dan menyebarkan virus kemerdekaan dan kebebasan Nelson Mandela ini. Hal-hal yang baik tidak ada gunanya kalau tidak disosialisasikan! Ini ibadah!”
Aku bergegas keluar. Kutumpahkan ucapan Nelson Mandela itu, lengkap dengan kecap manisku. Aku pujikan usaha berpikir positif, yang konkret dan arif-bijaksana itu.
Tak cukup kepada beberapa tetangga, kusamper warung dekat rumah. Aku tularkan konsep kemerdekaan yang membebaskan perasaan itu kepada semua orang. Yang menyenangkan, hampir semua, setelah diberi penjelasan, keplok tangan, sepakat menganggap Nelson Mandela sudah memasok rumusan penting untuk membuka citra baru tentang apa itu merdeka.
Sore hari baru aku pulang. Ketika membuka pintu, terdengar suara azan dan beduk tanda buka puasa. Tepat sekali. Aku bergegas masuk, lalu nyruput teh manis panas yang sudah dihidangkan istriku. Nikmat. Tak ada yang lebih indah dari seteguk teh panas manis di ujung puasa. Perutku langsung gemeletuk minta diisi. Tapi ketika membuka tutup meja makan aku terkejut.
Tempe, tahu, dan ikan asin lagi.
”Kok hanya tempe-tahu dan ikan asin tok? Beribu-ribu kali aku sudah makan tempe-tahu dan ikan asin, Masak aku mesti makan semuanya itu sekali lagi sekarang sesudah 12 jam tidak makan dan minum? Mana pecel lelenya?”
Istriku cepat datang.
”Kenapa Pak?”
”Kenapa tempe-tahu dan ikan asin lagi. Tempe-tahu dan ikan asin tiap hari. Mana pecel lelenya? Aku kan sudah minta sekali ini pecel lele? Aku kan minta pecel lele?”
”Ya!”
”Mana?”
”Tapi?”
”Jangan tetapi! Pecel lele! Mana? Aku kan minta pecel lele, bukan tempe-tahu dan ikan asin! Pecel lele!”
”Ya Bapak memang minta pecel lele, tapi setelah itu Bapak bilang …”
”Pecel lele!”
”Tidak! Setelah minta pecel lele, Bapak bilang, kalau hati sudah plong, bersih, merdeka, dan lapang, apa pun jadi baik. Batu pun jadi enak!”
Aku tertegun.
”Aku bilang begitu?”
”Ya, Bapak bilang begitu!”
Aku terhenyak.
”Ya, ya sudah, kalau aku sudah bilang begitu, memang harus begitu. Nggak ada masalah. Tempe-tahu dan ikan asin juga enak kalau batu saja enak!”
Kontan kulupakan pecel lele, kembali pada Nelson Mandela. Tempe-tahu dan ikan asin itu aku andaikan dalam hati ikan reca-reca. Dengan garang aku lahap tempe-tahu dan ikan asin itu dengan nikmat. Peluh berleleran dari kepalaku. Istriku takjub seperti tak percaya.
”Bener nikmat?”
Nikmat sekali. Lalu aku berbisik mesra untuk membuktikan kenikmatanku.
”Besok pagi kita kabulkan permintaan Taksu yang sudah dua tahun kita tunda, karena khawatir dia ketularan budaya kemewahan. Kita belikan dia motor baru. Ibu tarik semua uang kita yang dipinjam oleh tetangga-tetangga, karena memang sudah lama betul belum dikembalikan.”
”Tidak bisa!”
”Lho, kenapa tidak? Tiga bulan lalu mestinya sudah mereka kembalikan!”
”Itu dia, Pak. Daripada aku tekanan batin sampai malas keluar rumah ketemu tetangga, karena kesal dicurigai mau nagih hutang-nagih hutang melulu, setiap aku keluar mau bersilaturahmi mereka langsung mencelup masuk, seperti ada hantu, takut akan aku tagih! Sudah berapa hari ini aku jadi segan keluar rumah. Supaya bisa bebas dari tekanan batin dan merdeka lagi, tadi aku datangi mereka dan bilang pada semuanya, ya sudah, hutang-hutangnya dilupakan saja semua. Jadi, sekarang aku sudah bisa tenang lagi seperti kata Nelson Mandela.”
Aku langsung berhenti makan. Tempe-tahu dan ikan asin itu terasa sekeras batu. Batu-batu itu mengganjal kerongkonganku sehingga aku tercekik.
”Ya Tuhan, alangkah beratnya memperjuangkan kemerdekaa. Tapi seberat-beratnya berjuang merebut kemerdekaan, ya Tuhan, alangkah beratnya hidup sesudah merdeka!” ***
Jakarta, 19 Agustus 2010
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Senin, 09 April 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Musthafa
A Rodhi Murtadho
A Wahyu Kristianto
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Wachid BS
Abdullah al-Mustofa
Abdullah Khusairi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimanyu
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Maulani
Adek Alwi
Adhi Pandoyo
Adrian Ramdani
Ady Amar
Afrizal Malna
Agnes Rita Sulistyawati
Aguk Irawan Mn
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Subiyakto
Agus Sulton
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahm Soleh
Ahmad Farid Tuasikal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Luthfi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadie Thaha
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rasyid
AJ Susmana
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander Aur
Alexander G.B.
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Rif’an
Aliela
Alimuddin
Alit S. Rini
Alunk Estohank
Ami Herman
Amich Alhumami
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminudin TH Siregar
Ammilya Rostika Sari
An. Ismanto
Anaz
Andaru Ratnasari
Andhi Setyo Wibowo
Andhika Prayoga
Andong Buku #3
Andrenaline Katarsis
Andri Cahyadi
Angela
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Sudibyo
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Zulkifli
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayu Utami
Azyumardi Azra
Babe Derwan
Bagja Hidayat
Balada
Bandung Mawardi
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Bernadette Lilia Nova
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Bhakti Hariani
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budi Winarto
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Bustan Basir Maras
Camelia Mafaza
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Choirul Rikzqa
D. Dudu A.R
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Darmanto Jatman
Dedy Tri Riyadi
Delvi Yandra
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Anggraeni
Dian Basuki
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dian Yanuardy
Diana AV Sasa
Dinar Rahayu
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Warsidi
Edy Firmansyah
EH Kartanegara
Eka Alam Sari
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil Amir
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
F. Budi Hardiman
Fadly Rahman
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fani Ayudea
Fariz al-Nizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatkhul Aziz
Felix K. Nesi
Film
Fitri Yani
Franditya Utomo
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Garna Raditya
Gde Artawan
Geger Riyanto
Gendhotwukir
George Soedarsono Esthu
Gerakan Surah Buku (GSB)
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Tri Atmojo
H. Supriono Muslich
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim H.D.
Hamberan Syahbana
Hamidah Abdurrachman
Han Gagas
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Helwatin Najwa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendriyo Widi Ismanto
Hepi Andi Bastoni
Heri Latief
Heri Listianto
Herry Firyansyah
Heru Untung Leksono
Hikmat Darmawan
Hilal Ahmad
Hilyatul Auliya
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husnun N Djuraid
I Nyoman Suaka
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilenk Rembulan
Ilham khoiri
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Budi Santosa
Imelda
Imron Arlado
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Margareta
Indra Darmawan
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ingki Rinaldi
Insaf Albert Tarigan
Intan Hs
Isbedy Stiawan ZS
Ismail Amin
Ismi Wahid
Ivan Haris
Iwan Gunadi
Jacob Sumardjo
Jafar Fakhrurozi
Jajang R Kawentar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean-Marie Gustave Le Clezio
JJ. Kusni
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Julika Hasanah
Julizar Kasiri
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kadir Ruslan
Kartika Candra
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Ketut Yuliarsa
KH. Ma'ruf Amin
Khaerudin
Khalil Zuhdy Lawna
Kholilul Rohman Ahmad
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Krisandi Dewi
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kuswinarto
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lenah Susianty
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
M Shoim Anwar
M. Arman A.Z.
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Harya Ramdhoni
M. Kasim
M. Latief
M. Wildan Habibi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria hartiningsih
Maria Serenada Sinurat
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Marsus Banjarbarat
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masriadi
Mawar Kusuma Wulan
Max Arifin
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Mezra E. Pellondou
Micky Hidayat
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Moh Samsul Arifin
Moh. Syafari Firdaus
Mohamad Asrori Mulky
Mohammad Afifuddin
Mohammad Fadlul Rahman
Muh Kholid A.S.
Muh. Muhlisin
Muhajir Arifin
Muhamad Sulhanudin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Azka Fahriza
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naskah Teater
Nezar Patria
Nina Setyawati
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noor H. Dee
Noval Maliki
Nunuy Nurhayati
Nur Haryanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurudin
Octavio Paz
Oliviaks
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Panda MT Siallagan
Pandu Jakasurya
PDS H.B. Jassin
Philipus Parera
Pradewi Tri Chatami
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rahmat Sutandya Yudhanto
Raihul Fadjri
Rainer Maria Rilke
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridha al Qadri
Ridwan Munawwar
Rikobidik
Riri
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rizky Andriati Pohan
Robert Frost
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Romi Febriyanto Saputro
Rosihan Anwar
RR Miranda
Rudy Policarpus
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Gerilyawan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra
SelaSastra ke #24
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Subhan SD
Suci Ayu Latifah
Sulaiman Djaya
Sulistiyo Suparno
Sunaryo Broto
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunudyantoro
Suriali Andi Kustomo
Suryadi
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Susilowati
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Bahri
Syam Sdp
Syarif Hidayatullah
Tajuddin Noor Ganie
Tammalele
Tan Malaka
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Tengsoe Tjahjono
Th Pudjo Widijanto
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Joko Susilo
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi
Umar Kayam
Undri
Uniawati
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Vyan Tashwirul Afkar
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyudin
Wannofri Samry
Warung Boenga Ketjil
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Web Warouw
Wijang Wharek
Wiko Antoni
Wina Bojonegoro
Wira Apri Pratiwi
Wiratmo Soekito
Wishnubroto Widarso
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Wing King
WS Rendra
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yosi M. Giri
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Yuyu AN Krisna
Zaki Zubaidi
Zalfeni Wimra
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhaenal Fanani
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Zulhasril Nasir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar