Putri Utami
__Radar Mojokerto, 18 Maret 2012
Saya menjumpai Mbah Tajib secara kebetulan ketika nyambangi bayi dan sekaligus mencari bahan untuk tugas skripsi pada Jum’at, 2 Maret 2012, ke rumah seniman senior yang akrab dipanggil Mbah Catur dan Riris D. Nugraini yang kini menjabat kepala desa Mojowarno Jombang. Di tengah perbincangan dengan tuan rumah, terdengar sayup suara siter menggalun. Mbah Catur menebak bahwa itu pasti Mbah Tajib pengamen siter langganannya yang sering mampir. Mbah Catur pun memanggil Mbah Tajib ke ruang tamu, dari peristiwa itulah catatan ini tertuang.
Bagi desa-desa di kawasan antara Cukir hingga Mojowarno tidak asing lagi dengan sosok Mbah Tajib, seorang yang berperawakan tanggung, bergigi ompong, memakai kopyah dan menenteng alat musik tradisional siter. Kakek lanjut usia yang mengaku kelahiran tahun 1930 tersebut kesehariannya berjalan mengamen keliling desa. Sesuai dengan alat musiknya, Mbah Tajib selalu menyanyikan tembang-tembang Jawa, parikan dan gandangan tidak ubahnya pelawak ludruk atau pesinden.
Yang menarik dari sosok Mbah Tajib sebagai seniman tradisional kelahiran desa Mengantuh, kecamatan Mojowarno tersebut dalam kiprah mengamennya tidak hanya menembang, tetapi diselingi dengan cerita semasa hidupnya. Maka tidak heran jika di tengah menyanyikan tembang Mbah Tajib seketika brebes mili (berlinangan air mata) karena teringat jaman susah waktu penjajahan Jepang dan Belanda. Pada tembang Caping Gunung misalnya, Mbah Tajib menceritakan kondisi tentara pejuang gerilya Indonesia yang tersebar di setiap desa “mergo Suroboyo dibom,” (cerita Mbah Tajib mengenang peristiwa 10 Nopember 1945). Tentara yang menginap di perkampungan hanya mengharap makan dari jatah pemberian warga desa yang dipandang mampu (baca:kaya) waktu itu. “Saking kepingine ngucapno maturnuwun nyang wargo deso, tentara gerilya sering ujar; besok lek wes merdeko, kulo tak dolan mriki. Tapi ora iso, obo wes merdeko poro tentara keburu dipensiun. Mulane nyipto lagu Caping Gunung, supoyo eling jaman berjuang biyen,” cerita Mbah Tajib di sela melantunkan lagu Caping Gunung.
Inilah yang membedakan Mbah Tajib dengan penyanyi moderen dalam membawakan lagu. Meski beberapa tahun belakangan tembang Caping Gunung digarap dengan musik orkes melayu, tetapi tidak bisa membuat pendengar tersentuh hatinya. Sebab penyanyi moderen tidak mengalami memori sejarah sebagaimana yang dialami Mbah Tajib selama hidupnya. Selain itu, sebagai orang lawas, Mbah Tajib tidak bersedia menyanyikan lagu-lagu moderen. Ia mempunyai alasan tersendiri, “mergo syair sakniki boten cocok kaleh geguritane Sunan Kalijogo, kulo boten wantun, mergo tembang niku isine piwulang.” Itulah alasan Mbah Tajib hanya menyanyikan lagu Jawa.
Pemandangan serupa Mbah Tajib pasti dijumpai di berbagai wilayah Indonesia. Kengenesan khas nasib seniman yang hidup di negara dengan iklim pemerintahan kurang mendukung kiprah seniman, kecuali sebatas kepentingan. Meski Mbah Tajib tidak setenar WS. Rendra, namun bergaris nasib sama, yakni jiwa kesenimanannya tidak dihargai oleh pemerintahan negara yang dihuni dan dipatriotinya. Keterjungkirbalikan sikap pemerintah Indonesia tergambar dalam potret peristiwa meninggalnya WS. Rendra yang tidak dilayat oleh kepala negara. Padahal meninggalnya Mbah Surip, seniman yang kondang dadakan di akhir hayatnya justru dihadiri presiden. Sedangkan Mbah Surip selama hidupnya mondok di bengkel kesenian yang dibangun WS. Rendra.
Demikian juga keterpurukan nasib yang dialami WS. Rendra dan Mbah Tajib tidak sebanding Leo Tholstoy. Jiwa militansi berkesenian Leo Tolstoy hingga ditentang keluarga dan bercerai dengan istri sebab hartanya didermakan untuk penerbitan buku murah dalam rangka meringankan minat baca. Akhirnya Leo Tolstoy meninggal di trotoar jalan sebagai gelandangan.
Kesamaan Mbah Tajib dengan Mbah Surip justru pada kepolosannya dalam berkesenian. Seperti dirumuskan oleh Tjahyono Widijanto (sastrawan bersaudara kembar Tjahyono Widarmanto asal Ngawi yang keduanya kini mendosen di STKIP setempat) dalam esai bertema Mbah Surip (dimuat DAMAR, majalah kampus, edisi September 2009), Tjahyono Widijanto menilai bahwa kepolosan dan kegampangan lagu Mbah Surip nyata menghenyakkan hukum panggung hiburan yang selama ini terkesan: waow, klip mewah, rapi, indah, jelimet, gemerlap, mendayu, bernarasi cinta putri raja, mimpi, ilusi dll, yang kesemuanya meninabobokan masyarakat. Kehadiran Mbah Surip dengan penampilan sederhana, gampang, tidak ngoyo, rilek, tidak ber-make up diri, menjadikan masyarakat seperti berkaca pada problematika keseharian. Masyarakat yang mengaca pada dirinya sendiri.
Begitu juga kepolosan Mbah Tajib, gigi palsu yang dibelikan anaknya membuat tidak nyaman dalam bernyanyi. “Lanek damel untu palsu niku, obahe lambe boten enak disawang tiyang.”
Pada misinya Mbah Tajib juga mengeksplorasi beberapa bahasa selain Jawa. Dengan harapan supaya gampang menjelaskan artikulasi bahasa yang dinyanyikan ke yang dipandang memerlukan. Cara demikian disebabkan jam terbang Mbah Tajib yang kerap ditanggap anak pondok Tebuireng, terutama santri dari luar Jawa. Teori adaptasi dengan kawan bergaul tersebut, Mbah Tajib meniru cara Jepang dan Belanda yang juga menjajahkan bahasanya di Jawa. Untuk mencontohkan pengaruh bahasa penjajah, Mbah Tajib lalu menyanyikan lagu berbahasa Jepang dan Belanda yang dinyanyikan prajurit dalam latihan baris-berbaris (saya sulit mencatatnya).
Selaku orang tua yang kenyang makam garam, isi cerita Mbah Tajib tergolong berbobot, menyikapi penjajahan Belanda dan Jepang misalnya, ia menyimpulkan “mulane politik iku sampek akhir jaman, gak iso entek! Lanek gak gelem politik, yo ayo ngamen koyo aku iki!”
Jiwa berkesenian Mbah Tajib berpengaruh pada keharmonisan rumahtangganya, terhitung hingga melewati usia 80 tahun, ia tetap kompak dengan istri dalam menyelesaikan masalah. Namun sang istri tidak diajak riwa-riwi berkesenian seperti dulu lagi. Sang istri kini menekuni pekerjaan sebagai jasa tukang pijat. Menyuplik sikap pengertian sang istri yang ditirukan Mbah Tajib, “owala pakne, riko wes ojo ngamen, suworo riko iku wes gak penak, dungaknoae aku sedino oleh pasien ping pindo, cukup tak gae ngingoni riko.”
Tidak hanya jiwa kesenimanan Mbah Tajib yang loyal, kedalaman spiritualitas juga tegar. Ini terdengar ketika ia mengudal wirid, “sejatine ingsun iku dzatulloh, sifatulloh…dst, aku lanang iki yo mergo dzatulloh, sifatulloh,” ilmu thariqat yang dilakoninya dari KH. Adlan Ali Tebuireng.
Ganjil rasanya menyimak keberadaan Mbah Tajib jika dihadapkan dengan ketimpangan wakil rakyat di Indonesia. Alangkah bernilainya jika satu waktu ia diundang dan ditanggap menyanyi di hadapan seluruh wakil rakyat daripada sekedar acara sidang anggota dewan yang ujung-ujungnya hanya mengatur aliran uang ke kantong sendiri.
___________________
*) Putri Utami, sedang mendalami Bahasa dan Sastra Indonesia di kampus STKIP PGRI Jombang, angkatan 2008. Beralamat rumah di: JL. Agus Salim, desa Losari, kecamatan Ploso-Jombang (PO. Primus).
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Musthafa
A Rodhi Murtadho
A Wahyu Kristianto
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Wachid BS
Abdullah al-Mustofa
Abdullah Khusairi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimanyu
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Maulani
Adek Alwi
Adhi Pandoyo
Adrian Ramdani
Ady Amar
Afrizal Malna
Agnes Rita Sulistyawati
Aguk Irawan Mn
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Subiyakto
Agus Sulton
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahm Soleh
Ahmad Farid Tuasikal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Luthfi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadie Thaha
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rasyid
AJ Susmana
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander Aur
Alexander G.B.
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Rif’an
Aliela
Alimuddin
Alit S. Rini
Alunk Estohank
Ami Herman
Amich Alhumami
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminudin TH Siregar
Ammilya Rostika Sari
An. Ismanto
Anaz
Andaru Ratnasari
Andhi Setyo Wibowo
Andhika Prayoga
Andong Buku #3
Andrenaline Katarsis
Andri Cahyadi
Angela
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Sudibyo
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Zulkifli
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayu Utami
Azyumardi Azra
Babe Derwan
Bagja Hidayat
Balada
Bandung Mawardi
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Bernadette Lilia Nova
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Bhakti Hariani
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budi Winarto
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Bustan Basir Maras
Camelia Mafaza
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Choirul Rikzqa
D. Dudu A.R
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Darmanto Jatman
Dedy Tri Riyadi
Delvi Yandra
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Anggraeni
Dian Basuki
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dian Yanuardy
Diana AV Sasa
Dinar Rahayu
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Warsidi
Edy Firmansyah
EH Kartanegara
Eka Alam Sari
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil Amir
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
F. Budi Hardiman
Fadly Rahman
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fani Ayudea
Fariz al-Nizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatkhul Aziz
Felix K. Nesi
Film
Fitri Yani
Franditya Utomo
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Garna Raditya
Gde Artawan
Geger Riyanto
Gendhotwukir
George Soedarsono Esthu
Gerakan Surah Buku (GSB)
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Tri Atmojo
H. Supriono Muslich
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim H.D.
Hamberan Syahbana
Hamidah Abdurrachman
Han Gagas
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Helwatin Najwa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendriyo Widi Ismanto
Hepi Andi Bastoni
Heri Latief
Heri Listianto
Herry Firyansyah
Heru Untung Leksono
Hikmat Darmawan
Hilal Ahmad
Hilyatul Auliya
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husnun N Djuraid
I Nyoman Suaka
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilenk Rembulan
Ilham khoiri
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Budi Santosa
Imelda
Imron Arlado
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Margareta
Indra Darmawan
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ingki Rinaldi
Insaf Albert Tarigan
Intan Hs
Isbedy Stiawan ZS
Ismail Amin
Ismi Wahid
Ivan Haris
Iwan Gunadi
Jacob Sumardjo
Jafar Fakhrurozi
Jajang R Kawentar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean-Marie Gustave Le Clezio
JJ. Kusni
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Julika Hasanah
Julizar Kasiri
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kadir Ruslan
Kartika Candra
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Ketut Yuliarsa
KH. Ma'ruf Amin
Khaerudin
Khalil Zuhdy Lawna
Kholilul Rohman Ahmad
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Krisandi Dewi
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kuswinarto
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lenah Susianty
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
M Shoim Anwar
M. Arman A.Z.
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Harya Ramdhoni
M. Kasim
M. Latief
M. Wildan Habibi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria hartiningsih
Maria Serenada Sinurat
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Marsus Banjarbarat
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masriadi
Mawar Kusuma Wulan
Max Arifin
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Mezra E. Pellondou
Micky Hidayat
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Moh Samsul Arifin
Moh. Syafari Firdaus
Mohamad Asrori Mulky
Mohammad Afifuddin
Mohammad Fadlul Rahman
Muh Kholid A.S.
Muh. Muhlisin
Muhajir Arifin
Muhamad Sulhanudin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Azka Fahriza
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naskah Teater
Nezar Patria
Nina Setyawati
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noor H. Dee
Noval Maliki
Nunuy Nurhayati
Nur Haryanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurudin
Octavio Paz
Oliviaks
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Panda MT Siallagan
Pandu Jakasurya
PDS H.B. Jassin
Philipus Parera
Pradewi Tri Chatami
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rahmat Sutandya Yudhanto
Raihul Fadjri
Rainer Maria Rilke
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridha al Qadri
Ridwan Munawwar
Rikobidik
Riri
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rizky Andriati Pohan
Robert Frost
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Romi Febriyanto Saputro
Rosihan Anwar
RR Miranda
Rudy Policarpus
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Gerilyawan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra
SelaSastra ke #24
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Subhan SD
Suci Ayu Latifah
Sulaiman Djaya
Sulistiyo Suparno
Sunaryo Broto
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunudyantoro
Suriali Andi Kustomo
Suryadi
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Susilowati
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Bahri
Syam Sdp
Syarif Hidayatullah
Tajuddin Noor Ganie
Tammalele
Tan Malaka
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Tengsoe Tjahjono
Th Pudjo Widijanto
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Joko Susilo
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi
Umar Kayam
Undri
Uniawati
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Vyan Tashwirul Afkar
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyudin
Wannofri Samry
Warung Boenga Ketjil
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Web Warouw
Wijang Wharek
Wiko Antoni
Wina Bojonegoro
Wira Apri Pratiwi
Wiratmo Soekito
Wishnubroto Widarso
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Wing King
WS Rendra
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yosi M. Giri
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Yuyu AN Krisna
Zaki Zubaidi
Zalfeni Wimra
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhaenal Fanani
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Zulhasril Nasir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar