Fahrudin Nasrulloh
http://www.jawapos.co.id/
JALAN menulis bagi siapa pun ibarat kelokan bercabang dari sehampar cerita manusia. Seakan di pedalamannya tersimpan setangkup ”kitab kehidupan” yang terus berpendaran dan menggelitik untuk diamati dan dilacak, meski tak bakal pernah selesai. Selalu ada sisa di balik yang tersembunyi. Oase hening, tapi sayup-sayup dari kejauhan masih nyaring. Seberkas kenangan, dari ratusan tulisannya, yang kini semangat menulisnya itu terus berdetak.
Dialah Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun. Saya selalu geringgingan, ketawa-ketiwi, dan berdecak saat membaca karya-karyanya yang terbit sekitar ’80-an dan ’90-an. Hingga sekarang, dia masih tetap menulis, meski sudah tidak begitu intens.
Barangkali ”Kitab Garing” atau lebih spesifik dunia menulis, bagi Cak Nun sudah selesai dalam tataran jika untuk sekadar ”mati-matian” dipertahankan sebagai jalan hidup. Dia pernah menulis esai, Sastra Dewa, Sastra Macan, Sastra Tank di majalah Tempo, 28 Agustus 1982. Di situ dia berkata: Sastra barangkali hanya semacam Sekolah Rakyat yang ikut berproses, diproses, dan memproses kehidupan: tak perlu dilebihkan atau dimatikan. Ia mungkin bersahaja, tapi tetap sesuatu. Ia misteri, bukan karena ”kekaburan”-nya, tapi justru karena ia bukan sekadar kata, ia suatu gerak kehidupan.
Cak Nun barangkali telah melampaui dunia ”Kitab Garing” ini, dunia yang tampak dari perspektif lahiriah. Dan kini pada tahap ”Kitab Teles”: menguliti, menelusuri, atau berlelaku secara Ilahi dalam segala aspek kehidupan nyata. Ya, seperti penggalan sajak W.S. Rendra: Rasanya setelah mati berulangkali, tak ada lagi yang mengagetkan di dalam hidup ini (Hai, Ma!). Tentu saja, bukan kematian berkali-kali pada diri Cak Nun. Namun, kesadarannya menyelami intisari keilahian hidup ini bagai berproses menjalani ”seribu kehidupan menuju Tuhan” sebagaimana nyanyian Simurgh dalam Mantiq al-Thair-nya Fariduddin Attar. Membagi kesadaran berislam dan berbangsa selama 13 tahun lalu bersama jamaah pengajian Padang Bulan di Menturo, Jombang. Pun jamaah Maiyyah di Kasihan, Bantul, Jogja.
Tak ada yang tidak fenomenal, bahkan subversif, dari cetusan pemikiran Cak Nun. Membaca ketidakpastian situasi Indonesia detik ini ibarat menonton dagelan yang bisa meledakkan tawa sekaligus kepahitan yang mendesak dada. Di sinilah Emha mengocok permenungan kita. Seperti getar air bah, lakonnya terus bergerak seiring perubahan waktu. Terbukti, penyair dan budayawan itu juga menyimpan empati yang tanpa henti terhadap nasib bangsanya yang remek dan mengalami kebangkrutan jati diri. Bak Kiai Slilit, Emha mengorek slilit sekisar keruwetan bangsa dengan analisis yang tajam, luwes, aktual-progresif, jernih, cemerlang, bebal, ngludruk, dan menohok, mulai soal kemiskinan sampai kebobrokan institusi-institusi pemerintah yang tak becus mengatur negara.
Kita bisa melongok buku Kiai Bejo, Kiai Untung, Kiai Hoki. Buku tersebut merupakan rekaman yang memuat 43 percikan permenungan Emha. Ada yang pendek, ada yang panjang. Dia mengulik problematik sosial dalam sejumlah esainya. Misalnya, Wong Cilik dan Dendam Rindu Jakarta; SDM Vs Manusia Indonesia Seutuhnya; Buruh Itu Kekasih; Kasih Sayang dan Reformasi Internal; Gunung Jangan Pula Meletus; dan Kiai Bejo, Kiai Untung, Kiai Hoki. Tentu tak lepas dari karisma ketokohan Emha yang serba-empatik menyikapi problem umat dan kebangsaan, juga keterlibatannya dalam penyelesaian masalah ganti rugi korban lumpur Lapindo.
Dari tulisan Kiai Bejo, Kiai Untung, Kiai Hoki itulah, Emha terus berikhtiar mengungkai watak kotor kesombongan manusia bangsa ini. Terkait dengan ketakaburan orang berkuasa, kesombongan orang kaya, kesombongan orang pandai, dan kesombongan orang saleh. Proposisi ini diawali dari identifikasi sederhana bahwa semua orang adalah rakyat, tapi kalau ada penguasa, yang kita maksud dengan rakyat tentulah mereka yang dikuasai. Sebab itu, rakyat adalah yang miskin, yang bodoh, dan yang selalu belum saleh. Rakyat akhirnya hanya dipandang sebagai organisme rapuh-lemah yang mesti diberdayakan dari ketertinggalan ekonomi, diselamatkan dari kemiskinan, dan dientaskan dari keterpurukan.
Bagi Cak Nun, ”Pandangan ini sangat laknat terhadap kenyataan bahwa sesungguhnya rakyat adalah pemilik kekayaan sangat melimpah dari tanah rahmat Tuhan Republik Indonesia, namun kekayaan rakyat itu dijadikan langganan perampokan oleh setiap penguasa. Dan, setiap penguasa itu selalu tidak tahu diri berlagak menjadi pahlawan yang akan mengubah kondisi miskin rakyat menuju tidak miskin.” Karena itu, tegas Emha, siapa pun yang bertengger dalam struktur pemerintah negeri ini adalah Kiai Bejo, Kiai Untung atau Kiai Hoki. Mereka mendapatkan keuntungan meski tanpa bekerja. Salah satu pemeo membuat rumus: orang bodoh kalah oleh orang pandai, orang pandai kalah oleh orang berkuasa, orang berkuasa kalah oleh orang kaya, orang kaya kalah oleh orang bejo. Setiap pemerintah Indonesia tidak terlibat dalam konstelasi pemeo itu. Sebab, mereka sekaligus pandai, berkuasa, kaya, dan bejo.
Maka, dampak secara keseluruhan atas kondisi culas itu terasa sungguh memedihkan bagi wong cilik. Sebab, ”kegiatan utama kebanyakan pejabat adalah mengacaukan stabilitas kesejahteraan rakyat, menikusi administrasi keuangan negara milik rakyat, mencuri secara berjamaah dengan modus-modus yang makin kasat mata. Namun, ‘ubet’ ekonomi rakyat, budaya ‘kaki lima’ yang cair dan longgar menciptakan semacam ‘pernapasan dalam’ yang membuat rakyat terus survive, meskipun tak ada suplai udara dari negara.”
Kepusparagaman tema dari kumpulan tulisan itu cukup inspiratif. Misal, isu santri sebagai agen teroris, SDM bangsa, buruh, ekspor ibu-ibu asuh, poligami, fundamentalisme, kriteria kepemimpinan, narkotika kebudayaan.
Situasi bangsa yang karut-marut dan terempas seabrek bencana tak kunjung menyadarkan kita untuk berupaya memupuk tenggang rasa dan keprihatinan sosial. Generasi bangsa yang memimpin negara ini dilukiskan Emha seperti bocah ”Si Gundul Pacul” yang nakal pol, mblunat, mbetik, mbeling, cengengesan, sok benar, dan tak mau belajar. Kelakuannya seenak udelnya sendiri. Petentang-petenteng. Tak beres menjadi pemerintah. Risi berbuat kebajikan. Bisanya, membikin program kebaikan demi kesejahteraan perutnya sendiri. Ketika ribut memelototi bokong Inul yang ngebor pun goyangan Dewi Persik yang naudzubillah itu, juga riwayat santer si kanibal Sumanto, secara kualitatif, di situlah sebenarnya tampang asli rai-remek kita. Tapi, Sumanto hanyalah kanibal kelas teri. Dia cuma bernyali makan mayat. Itu pun mayat nenek-nenek yang dicolongnya dari kuburan. Sumanto tak berani makan rakyat sebagaimana yang dilakukan pengurus negara yang menguras dan nyesep habis kehidupan rakyatnya.
Apa yang terjadi dengan masyarakat kita yang sepintas terlihat teguh dan semarak beragama ini? Warga kita yang telanjur dikenal religius, juga aparatur pemimpinnya, kok bisa-bisanya ruwet mendefinisikan dan mensterilkan mental dan jati diri. Semuanya kok bertopeng. Memang dampak modernitas dan globalisasi berimbas pada cara berpikir kita yang cenderung berpola industrial alias instan. Kondisi masyarakat demikianlah yang diparabi Cak Nun sebagai ”Generasi Kempong”. Kita kelabakan digeruduk modernisme yang sejatinya ”hantu” sosial yang tersamar. Kebudayaan kita jadi instan. Minya instan. Lagunya juga instan. Sinetron dan filmnya instan. ”Kalau bisa,” gojek Emha, ”gak kerja tapi punya uang buanyak. Bahkan jika perlu, ndak usah ada Indonesia, ndak usah ada Nabi, ndak usah ada Tuhan juga ndak apa-apa, asal kurukan duit banyak.”
Daya gugah dan sentilan Cak Nun yang menerobos batas hingga ke wilayah persoalan-persoalan keseharian kita yang paling renik itulah yang jarang dibabah oleh kebanyakan tokoh kebudayaan kita. Dan, ini hanya soal ritme atau strategi budaya. Toh, dunia sastra, yang dilakoninya sejak awal, akan jadi biang narsis jika dijalani dengan methentheng di benteng ”menara gading”, mengumpulkan dan meracik ampas rohani yang tujuan akhirnya dapat menelurkan karya sastra yang adiluhung. Bagi Cak Nun, perkara berkarya mungkin tidak melulu melahirkan karya. Tapi, laku sosial dengan spirit punakawan ”Petruk si Kantong Bolong”: yang tak mengharap dapat apa dan menetaskan apa. Itulah yang lebih penting demi kemanfaatan manusia secara luas. Khairun nas anfauhum lin nas: sebaik-baik manusia adalah mereka yang paling berguna bagi manusia lain. (*)
*) Fahrudin Nasrulloh bergiat di Komunitas Lembah Pring Jombang
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Musthafa
A Rodhi Murtadho
A Wahyu Kristianto
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Wachid BS
Abdullah al-Mustofa
Abdullah Khusairi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimanyu
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Maulani
Adek Alwi
Adhi Pandoyo
Adrian Ramdani
Ady Amar
Afrizal Malna
Agnes Rita Sulistyawati
Aguk Irawan Mn
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Subiyakto
Agus Sulton
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahm Soleh
Ahmad Farid Tuasikal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Luthfi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadie Thaha
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rasyid
AJ Susmana
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander Aur
Alexander G.B.
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Rif’an
Aliela
Alimuddin
Alit S. Rini
Alunk Estohank
Ami Herman
Amich Alhumami
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminudin TH Siregar
Ammilya Rostika Sari
An. Ismanto
Anaz
Andaru Ratnasari
Andhi Setyo Wibowo
Andhika Prayoga
Andong Buku #3
Andrenaline Katarsis
Andri Cahyadi
Angela
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Sudibyo
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Zulkifli
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayu Utami
Azyumardi Azra
Babe Derwan
Bagja Hidayat
Balada
Bandung Mawardi
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Bernadette Lilia Nova
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Bhakti Hariani
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budi Winarto
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Bustan Basir Maras
Camelia Mafaza
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Choirul Rikzqa
D. Dudu A.R
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Darmanto Jatman
Dedy Tri Riyadi
Delvi Yandra
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Anggraeni
Dian Basuki
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dian Yanuardy
Diana AV Sasa
Dinar Rahayu
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Warsidi
Edy Firmansyah
EH Kartanegara
Eka Alam Sari
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil Amir
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
F. Budi Hardiman
Fadly Rahman
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fani Ayudea
Fariz al-Nizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatkhul Aziz
Felix K. Nesi
Film
Fitri Yani
Franditya Utomo
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Garna Raditya
Gde Artawan
Geger Riyanto
Gendhotwukir
George Soedarsono Esthu
Gerakan Surah Buku (GSB)
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Tri Atmojo
H. Supriono Muslich
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim H.D.
Hamberan Syahbana
Hamidah Abdurrachman
Han Gagas
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Helwatin Najwa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendriyo Widi Ismanto
Hepi Andi Bastoni
Heri Latief
Heri Listianto
Herry Firyansyah
Heru Untung Leksono
Hikmat Darmawan
Hilal Ahmad
Hilyatul Auliya
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husnun N Djuraid
I Nyoman Suaka
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilenk Rembulan
Ilham khoiri
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Budi Santosa
Imelda
Imron Arlado
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Margareta
Indra Darmawan
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ingki Rinaldi
Insaf Albert Tarigan
Intan Hs
Isbedy Stiawan ZS
Ismail Amin
Ismi Wahid
Ivan Haris
Iwan Gunadi
Jacob Sumardjo
Jafar Fakhrurozi
Jajang R Kawentar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean-Marie Gustave Le Clezio
JJ. Kusni
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Julika Hasanah
Julizar Kasiri
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kadir Ruslan
Kartika Candra
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Ketut Yuliarsa
KH. Ma'ruf Amin
Khaerudin
Khalil Zuhdy Lawna
Kholilul Rohman Ahmad
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Krisandi Dewi
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kuswinarto
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lenah Susianty
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
M Shoim Anwar
M. Arman A.Z.
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Harya Ramdhoni
M. Kasim
M. Latief
M. Wildan Habibi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria hartiningsih
Maria Serenada Sinurat
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Marsus Banjarbarat
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masriadi
Mawar Kusuma Wulan
Max Arifin
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Mezra E. Pellondou
Micky Hidayat
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Moh Samsul Arifin
Moh. Syafari Firdaus
Mohamad Asrori Mulky
Mohammad Afifuddin
Mohammad Fadlul Rahman
Muh Kholid A.S.
Muh. Muhlisin
Muhajir Arifin
Muhamad Sulhanudin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Azka Fahriza
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naskah Teater
Nezar Patria
Nina Setyawati
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noor H. Dee
Noval Maliki
Nunuy Nurhayati
Nur Haryanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurudin
Octavio Paz
Oliviaks
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Panda MT Siallagan
Pandu Jakasurya
PDS H.B. Jassin
Philipus Parera
Pradewi Tri Chatami
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rahmat Sutandya Yudhanto
Raihul Fadjri
Rainer Maria Rilke
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridha al Qadri
Ridwan Munawwar
Rikobidik
Riri
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rizky Andriati Pohan
Robert Frost
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Romi Febriyanto Saputro
Rosihan Anwar
RR Miranda
Rudy Policarpus
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Gerilyawan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra
SelaSastra ke #24
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Subhan SD
Suci Ayu Latifah
Sulaiman Djaya
Sulistiyo Suparno
Sunaryo Broto
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunudyantoro
Suriali Andi Kustomo
Suryadi
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Susilowati
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Bahri
Syam Sdp
Syarif Hidayatullah
Tajuddin Noor Ganie
Tammalele
Tan Malaka
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Tengsoe Tjahjono
Th Pudjo Widijanto
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Joko Susilo
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi
Umar Kayam
Undri
Uniawati
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Vyan Tashwirul Afkar
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyudin
Wannofri Samry
Warung Boenga Ketjil
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Web Warouw
Wijang Wharek
Wiko Antoni
Wina Bojonegoro
Wira Apri Pratiwi
Wiratmo Soekito
Wishnubroto Widarso
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Wing King
WS Rendra
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yosi M. Giri
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Yuyu AN Krisna
Zaki Zubaidi
Zalfeni Wimra
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhaenal Fanani
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Zulhasril Nasir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar