(Disarikan dari hasil wawancara mendalam oleh Franditya Utomo)
Abdul Hadi WM
http://haideakiri.wordpress.com/2007/11/26/
Perempuan seni dalam dimensi patriarki masyarakat Madura, telah menciptakan kelonggaran relasi gender. Seni pertunjukan yang tidak meninggalkan tradisi diasporik masyarakat Madura telah memposisikan perempuan dan laki-laki sebagai elemen pembentuk harmonisasi.
Dengan demikian, rentang sejarah yang panjang telah menjadikan perempuan seni di Madura teruji menjadi subjek dalam formasi sosial masyarakat Madura.
Terkadang, faktor ekologis sebuah wilayah bisa menjadi faktor utama pembentukan kultur sebuah masyarakat. Tradisi diasporik masyarakat Madura, berawal dari sejarah kelangkaan ekologis (ecological scarcity) yang panjang pada abad ke-18, yang memaksa penduduknya untuk berimigrasi ke daerah lain terutama pulau Jawa. Jika melakukan pendekatan sejarah ekologi (eko-historikal) pada masyarakat Madura untuk menemukan pola atau formasi sosial serta perubahan sosialnya, maka motif ekonomi terlihat sebagai sebuah kesadaran yang mengembalikan sentimen kooperatif masyarakat Madura pada awal abad ke-20.
Migrasi dan Pembentukan Tradisi
Sejarah Madura selama hampir seabad (1850-1940) memperlihatkan saling keterkaitan antara pengaruh faktor ekologis dengan pelaku sejarah dalam membentuk sebuah masyarakat dan nasib masyarakat itu. Ekotipe ladang kering yang menetap atau ekotipe tegal telah menghasilkan unit eko-historikal tersendiri, berbeda dengan ekotipe sawah di Jawa dan ekotipe perladangan di Indonesia bagian Timur (Kompas, 24 Februari 2005).
Penelitian Kuntowijoyo (2002) tentang pengaruh ekologi pada formasi sosial di Madura, melihat bahwa migrasi ke pulau Jawa merupakan bagian dari sejarah orang Madura. Dibukanya perkebunan di Jawa Timur menarik orang Madura untuk menjadi buruh di perkebunan. Pada tahun 1930, lebih dari separuh keseluruhan etnis Madura tinggal di Jawa, kebanyakan di pojok bagian Timur. Di Jawa Timur, sebagai kelompok mayoritas (kecuali Banyuwangi), orang Madura aktif berperan dalam pergerakan nasional di kota dan di lingkungan kelompok etnis Madura umumnya (Kuntowijoyo, 2002: 75-81).
Salah satu penyebab mobilitas orang Madura yang didasari oleh kondisi pertanian yang miskin adalah, dibentuknya organisasi militer dengan nama barisan yang memiliki misi mendampingi Belanda dalam berbagai perang dan ekspedisi untuk melawan pemberontakan-pemberontakan yang muncul di kepulauan Indonesia. Barisan adalah sebuah kekuatan militer kerajaan-kerajaan Madura yang ditujukan untuk melayani kepentingan-kepentingan penguasa Kolonial. Organisasi militer yang berbasis pada kekuatan rakyat Madura itu merupakan manifestasi politik para penguasa Madura (aliansi militer antara madura dan Belanda) atas jasa Belanda yang melindungi Madura melepaskan diri dari hegemoni Mataram.
“…tetapi dalam kondisi tanah pertanian yang miskin itu, barisan juga merupakan sebuah lapangan pekerjaan yang mendatangkan penghasilan pokok bagi orang-orang kebanyakan, bergabung dalam barisan berarti pula: pekerjaan, penghasilan, penghargaan, dan yang terpenting berkesempatan untuk mobilitas sosial…” (Kuntowijoyo 2002: 145-150).
Karena perubahan struktur sosial dan ekonomi, masyarakat Madura bermata pencaharian sebagai pedagang, bukan petani. Karena para pedagang itu tipologinya suka bepergian, maka masyarakat Madura tidak terlampau memerlukan seni pertunjukan dalam budayanya. Berbeda dengan masyarakat Jawa yang lebih banyak menetap dan bertani. Sehingga artikulasi kesenian masyarakat Madura tertuang dalam bentuk kerajinan lukisan dan patung.
Untuk memahami posisi kesenian di Madura, pertama-tama kita harus memahami bahwa tradisi Islam dalam melihat seni (pertunjukan) tidak terlalu penting, selayaknya kaum Hindu yang mengadopsi unsur-unsur kesenian di dalam melakukan upacara keagamaan. Karena seni pertunjukan tidak menjadi bagian dari agama, maka orang Madura lebih melihat agama ketimbang tradisi. Agama lebih mengikat daripada tradisi, kalau bicara tradisi orang Madura bisa saja mengikuti tradisi Jawa. Berbeda dengan masyarakat Bali, yang memiliki pelindung dari kepunahan budaya, karena tradisi Bali sudah lebur menjadi tradisi Hindu. Sebaliknya, masyarakat Madura bisa menjadi orang lain ketika budayanya musnah.
Orang Madura bisa menjadi siapa saja, karena yang menjadi tolok ukur orang Madura adalah agama (Islam). Syarat menjadi orang Madura itu adalah, ia harus Islam. Bukan hanya identik tapi harus mutlak Islam. Lain dengan masyarakat Jawa, yang bisa memeluk berbagai macam agama dan kepercayaan. Hal inilah yang menjadi masalah pada masyarakat Madura. Tradisi itu dibentuk oleh mazhab Syafii sebagai mazhab dominan yang bersumber dari dalil akal dan dalil fikih. Ketika sebuah permasalahan muncul dan tidak bisa diselesaikan secara akal maka mekanisme penyelesaian dikembalikan pada kitab fikihnya. Mazhab Syafii mengutamakan dalil fikih yang sarat dengan kultur agraris feodal, hal ini lebih disebabkan pembentukan budaya masyarakat Jawa Timur pasca jatuhnya kerajaan Mataram yang kemudian dilanjutkan oleh VOC. Saat itu sempat ada kekosongan kekuasaan, sehingga tidak ada sosok di dalam masyarakat feodal yang bisa dijadikan pimpinan, kecuali ulama.
Hukum yang bersumber pada mazhab Syafii dibuat untuk masyarakat agraris feodal. Mazhab Syafii ini tidak terlalu memperdulikan seni. Bagi mereka seni itu hanya untuk hiburan saja, bukan sebagai kontemplasi. Kalau di Jawa bagian tengah, orang berkesenian sebagai sarana kontemplasi, yang sifatnya sangat meditatif. Kebanyakan kesenian Jawa bagian timur berfungsi sebagai media hiburan. Jadi di Madura hanya ada kesenian rakyat yang bersifat populis. Pada tingkatan ini agama tidak campur tangan, agama hanya memberikan larangan, misalnya, karena perempuan tidak boleh tampil di depan umum maka kesenian-kesenian ini pada umumnya ditampilkan oleh laki-laki. Namun sekarang sudah berubah, inilah yang kemudian menimbulkan masalah gender.
Kenyataan bahwa seorang kiai (ulama) mampu memobilisasi pengikutnya, menunjukkan bahwa kedudukan kiai bertambah penting menjelang abad ke-20. Peran kiai mengalami evolusi, dari pemimpin ritual keagamaan semata-mata, kemudian menjadi pemimpin masyarakat ke pemimpin politik (Kuntowijoyo, 2002). Hal ini sangat berbeda dengan tradisi kepemimpinan di Mataram, di Jawa bagian timur pada abad ke-17 tidak ada keraton yang mendominasi, maka pada saat itu ketundukan orang Madura adalah pada kiai atau ulama. Sesudah direbutnya Madura, baik barat maupun timur, banyak sekali tawanan perang pria, wanita, dan anak-anak yang diangkut dari pulau Madura ke Gersik dan Jawa bagian tengah untuk dipekerjakan oleh para pemenang. Raja-raja Mataram memerintahkan dan melaksanakan pemindahan secara besar-besaran kelompok petani dan buruh dari daerah-daerah pendudukan ke pusat kerajaan mereka. Pemindahan penduduk dalam negeri, yang berabad-abad telah dilakukan oleh para raja terhadap kelompok-kelompok suku di Jawa dan Madura itu, berakibat leburnya tradisi lama suku-suku setempat maupun hubungan perkawinan penduduk desa (De Graaf 2003: hal. 195-199).
Di beberapa daerah di Madura bagian utara, dominasi kiai pada kesenian tradisional pada umumnya kurang kuat, dan ada sisa-sisa kekuatan keraton yang membatasi pengaruh ulama. Sejak lama keraton didominasi oleh kekuatan gabungan antara santri dan kaum feodal. Suami dari pemimpin saat itu rata-rata adalah kiai, jadi di Madura tidak ada permasalahan dengan santri dan abangan seperti di Jawa.
Di Madura itu sudah lama tidak ada feodalisme. Mereka mengenal pemimpin administratif seperti bupati yang merupakan warisan kolonial Belanda. Di Madura tidak ada yang bisa dieksploitasi oleh Belanda, karena untuk itu sebagian besar penduduk Madura dijadikan pekerja perkebunan. Kesenian tradisional di Madura hidupnya di desa, bukan di kota. Ludruk adalah salah satu kesenian rakyat yang hidup di desa. Kesenian Madura mengalami puncaknya di bidang seni rupa dan seni sastra, misalnya kaligrafi atau seni hias.
Meski pernah mengalami puncak di bidang seni rupa dan sastra, saat ini sastra Madura itu sudah terbunuh oleh budaya modern. Sastra Madura mengalami puncak pencapaian tertinggi ketika keraton Sumenep belum menjadi keresidenan. Namun kemudian mengalami kemunduran. Meskipun demikian orang Madura tidak merasa kehilangan karena bagi mereka yang disebut sebagai budaya Madura itu adalah gabungan antara budaya Jawa dan Melayu. Jadi untuk mendeteksi kebudayaan Madura, tinggal melihat kebudayaan Jawa dan Melayu saja, inilah keuntungan orang Madura.
60 persen kosa-kata bahasa Madura berasal dari bahasa Melayu. Sementara tata bahasanya serupa dengan bahasa Jawa. Meski begitu, dibandingkan dengan bahasa Using, bahasa Madura lebih jelas tatanannya. Sampai pertengahan abad ke-18, sastra Madura masih memakai bahasa Jawa madya. Barulah kemudian pada akhir abad ke-18 menggunakan bahasa Madura tinggi, dan itupun tidak begitu berbeda dengan bahasa Jawa. Bedanya hanya cara mengucapkan saja. Bangsawan-bangsawan di sana rata-rata mengetahui bahasa Jawa.
Bukti-bukti otentik mengenai sejak kapan sastra Madura berkembang masih belum ditemukan. Sebuah bukti yang terdapat di Kebon Agung, sebelah Barat Sumenep, hanya menunjukkan bahwa pada zaman kerajaan Singasari di Madura sudah dikenal tulis menulis. Inskripsi menunjukkan angka tahun 1280 atau tahun saka 1212, dan tahun 1438 atau tahun saka 1360 (Zawawi Imron dalam Huub de Jonge (ed.), 1989: 181-205). Ada beberapa jenis bentuk sastra Madura, antara lain: Dungngeng, berisi tentang budi pekerti, cerita fabel, dan legenda serta cerita kepahlawanan seperti, Joko Tole, dan Trunojoyo. Lok-Alok, sebuah jenis sastra lisan yang terdapat pada pacuan sapi atau karapan sapi.
Kemudian sastra lisan berbentuk puisi mainan anak-anak, yang berupa kumpulan kata-kata yang bisa ditafsirkan bebas dengan unsur bunyi yang cukup dominan, mensaratkan lompatan-lompatan imajinasi. Selain itu sastra lisan Madura juga tertuang di dalam puisi ritual, yang digunakan sebagai sarana tolak bala, biasanya terdapat di desa-desa terpencil atau tepi pantai. Sampai pada tembang, pengaruh kesusasteraan Jawa pada awal abad ke-20 terlihat sangat kental. Tembang biasanya berisi tentang kisah atau hikayat zaman dahulu.
Perempuan Seni di Madura
Perempuan merupakan bagian dari masyarakat. Kalau tidak ada perempuan maka tidak akan ada masyarakat. Namun demikian kalau tidak ada laki-laki juga tidak akan ada masyarakat. Jadi keduanya merupakan sesuatu yang inklusif dan merupakan bagian integral dari masyarakat.
Untuk konteks Indonesia, jika kita lihat sebagian sejarah Indonesia, perempuan memegang peranan penting. Misalnya, Teuku Malahayati pada abad ke-7 sudah menjadi panglima angkatan laut di Aceh. Selanjutnya, lima orang raja Aceh itu adalah perempuan. Melayu juga punya raja perempuan yang punya kekuasaan. Sehingga permasalahan ketimpangan gender bukanlah menyoal tentang ketertidasan perempuan oleh patriarki (laki-laki) saja, akan tetapi lebih pada penindasan antara kasta yang satu dengan kasta yang lain.
Misalnya saja di keraton-keraton Jawa, perempuan-perempuan bangsawan itu juga menindas perempuan lainnya. Jadi persoalannya bukan gender, melainkan kelas. Di Eropa memang pernah mengalami fase penindasan yang berbasis pada gender, karena setelah revolusi industri timbul suatu masalah ketika lapangan perkerjaan yang seharusnya dikerjakan bersama (perempuan), malah dipegang oleh laki-laki. Hal tersebut terjadi karena masih ada anggapan yang bias gender, karena laki-lakilah yang bisa melakukan pelayaran jauh, bisa kemana-mana. Sementara perempuan tidak bisa, karena perempuan tugasnya adalah reproduksi. Di dalam perang juga demikian, kalau perempuan ikut berperang, maka habislah penduduk. Jadi karena perempuan jarang yang ikut berperang, maka proses reproduksi tetap berlanjut.
Dikaitkan dengan permasalahan di atas, perempuan di Madura juga tidak sepenuhnya mengalami masalah ketimpangan gender. Perempuan di Madura memang tidak dijunjung seperti di Bugis, tapi dia punya hak yang tinggi. Seorang istri bahkan bisa mengusir suami ketika misalnya si suami ini tidak pernah memberi nafkah dan pergi selama tiga bulan. Selain itu dia juga punya ilmu santet, sehingga kalau seorang suami pergi jauh dan berhubungan dengan perempuan lain, sang istri bisa membuatnya menjadi impoten. Jadi perempuan dan laki-laki di Madura sangat berbeda daya seksnya. Perempuan Madura lebih tinggi daya seksnya. Hal ini disebabkan karena adanya pendidikan seks yang diberikan sedari kecil. Anak-anak perempuan usia 12 tahun menjelang pernikahan sudah tahu ramuan-ramuan, serta pola gaya berhubungan seks. Pendidikan ini memang sifatnya informal dari nenek atau ibu.
Mereka punya konsep kering atau basah. Kalau kering itu dianggap sehat, kalau basah atau becek itu malah tidak sehat. Jadi perempuan yang akan menikah jangan makan timun atau makanan yang mengandung banyak air karena tidak bagus. Jadi daya seksnya dijaga.
Selain itu, perempuan Madura juga bekerja. Kalau misalnya suaminya berlayar, maka istrinya di rumah akan membatik. Inilah yang kemudian berkembang jadi seni rupa. Perempuan juga mengukir, sebagai aktifitas seni dan produksi. Persentase laki-laki Madura yang menikah dengan perempuan dari luar jauh lebih banyak dibandingkan dengan perempuan Madura yang menikah dengan laki-laki dari luar. Perempuan itu adalah tempat pemurnian, kalau ibunya orang Madura, maka dia akan dikatakan sebagai orang Madura murni. Kalu ibunya Jawa maka artinya tidak murni berdarah Madura. Jadi kebudayaannya lebih bersifat matrilinial. Kalau menikah maka pasangan itu akan tinggal di rumah orang tua perempuan. Pengawasan yang ketat pada perempuan di Madura, menyebabkan perempuan kurang bisa berpartisipasi dalam seni pertunjukan. Dalam hal ini, sinden dan tandha’ muncul sebagai anomali dalam ruang tradisi patriarki yang kaku di Madura.
Kekakuan masyarakat patriarki Madura, salah satunya ditunjukkan dengan pola kekerasan, carok, yang dilegitimasi secara kultural untuk menjadi sebuah jalan peneyelesaian masalah. Carok sendiri biasanya disebabkan oleh tiga hal. Pertama masalah perempuan, istri atau tunangan. Kedua adalah soal tanah dan ketiga adalah soal ternak. Tradisi carok ini berawal pada zaman kerajaan di Sumenep, ketika setiap orang diharuskan untuk memelihara ternak. Kalau ternaknya diganggu dia akan kena sanksi pajak. Kemudian pada saat itu jumlah laki-laki jauh lebih banyak dari perempuan, sehingga konflik yang dipicu oleh harga diri terhadap perempuan sering memunculkan carok. Yang ketiga, jumlah tanah sangat sedikit sehingga menjadi sangat berharga. Jadi carok juga disebabkan oleh kondisi politik dan kondisi ekonomi. Dalam Islam sendiri carok tidak diperbolehkan. Tapi kenapa dilakukan, karena ini adalah soal tradisi bukan agama. Persoalan tradisi itu, kadang-kadang bisa merembes ke permasalahan yang lebih konkrit, seperti seorang perempuan yang memilih profesi tandha’ yang cukup stigmatis, lantaran dorongan ekonomi.
Kalau kita lihat kesenian-kesenian yang ada di kota, pada umumnya yang menyanyi perempuan, hal itu tidak menjadi masalah karena tidak ada larangan agama. Begitu juga dengan sinden. Bahkan ada tempat pelacuran yang terdiri dari bekas tandha’ yang sengaja dilokalisasikan. Masyarakat tidak merasa khawatir karena aktifitas yang berbau seksual tersebut sudah dilokalisasi. Fenomena ini sudah terjadi dari zaman raja-raja dulu dan ditaati sampai sekarang, masyarakat pun tidak akan terganggu.
Jadi hal ini dilindungi secara kultur sehingga tidak diapa-apakan. Mereka biasanya punya rumah sendiri yang jauh dari masyarakat. Kemudian di rumah itu juga ada penjaganya. Tempatnya berada di satu kompleks kecil dan sudah berlangsung turun temurun. Mereka umumnya bekas tandha’ dan profesional sehingga dibayar mahal. Mereka betul-betul dididik seperti Geisha di Jepang, mereka bisa bermain gamelan dan nyinden.
Sejarah masyarakat Madura telah menunjukkan betapa mereka begitu tangguh, bertahan hidup (meski harus berimigrasi) dalam menghadapi kondisi alam dan ekologinya. Sehingga kesenian dan karya sastra yang menjadi produk kebudayaannya, telah meletakkan perempuan pada posisi tinggi dan memiliki peran vital dalam formasi sosial masyarakat Madura. Dalam hal ini, sejarah pergulatan perempuan seni tradisi di Madura bisa menjadi sebuah blue print perjuangan pembebasan perempuan dari kungkungan patriarki yang multiface. []
[sumber: http://haideakiri.wordpress.com/2007/11/26/madura-sejarah-sastra-dan-perempuan-seni/]
Dijumput dari: http://mediamadura.wordpress.com/2010/12/17/madura-sejarah-sastra-dan-perempuan-seni/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Musthafa
A Rodhi Murtadho
A Wahyu Kristianto
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Wachid BS
Abdullah al-Mustofa
Abdullah Khusairi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimanyu
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Maulani
Adek Alwi
Adhi Pandoyo
Adrian Ramdani
Ady Amar
Afrizal Malna
Agnes Rita Sulistyawati
Aguk Irawan Mn
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Subiyakto
Agus Sulton
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahm Soleh
Ahmad Farid Tuasikal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Luthfi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadie Thaha
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rasyid
AJ Susmana
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander Aur
Alexander G.B.
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Rif’an
Aliela
Alimuddin
Alit S. Rini
Alunk Estohank
Ami Herman
Amich Alhumami
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminudin TH Siregar
Ammilya Rostika Sari
An. Ismanto
Anaz
Andaru Ratnasari
Andhi Setyo Wibowo
Andhika Prayoga
Andong Buku #3
Andrenaline Katarsis
Andri Cahyadi
Angela
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Sudibyo
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Zulkifli
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayu Utami
Azyumardi Azra
Babe Derwan
Bagja Hidayat
Balada
Bandung Mawardi
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Bernadette Lilia Nova
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Bhakti Hariani
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budi Winarto
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Bustan Basir Maras
Camelia Mafaza
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Choirul Rikzqa
D. Dudu A.R
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Darmanto Jatman
Dedy Tri Riyadi
Delvi Yandra
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Anggraeni
Dian Basuki
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dian Yanuardy
Diana AV Sasa
Dinar Rahayu
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Warsidi
Edy Firmansyah
EH Kartanegara
Eka Alam Sari
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil Amir
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
F. Budi Hardiman
Fadly Rahman
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fani Ayudea
Fariz al-Nizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatkhul Aziz
Felix K. Nesi
Film
Fitri Yani
Franditya Utomo
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Garna Raditya
Gde Artawan
Geger Riyanto
Gendhotwukir
George Soedarsono Esthu
Gerakan Surah Buku (GSB)
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Tri Atmojo
H. Supriono Muslich
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim H.D.
Hamberan Syahbana
Hamidah Abdurrachman
Han Gagas
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Helwatin Najwa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendriyo Widi Ismanto
Hepi Andi Bastoni
Heri Latief
Heri Listianto
Herry Firyansyah
Heru Untung Leksono
Hikmat Darmawan
Hilal Ahmad
Hilyatul Auliya
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husnun N Djuraid
I Nyoman Suaka
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilenk Rembulan
Ilham khoiri
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Budi Santosa
Imelda
Imron Arlado
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Margareta
Indra Darmawan
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ingki Rinaldi
Insaf Albert Tarigan
Intan Hs
Isbedy Stiawan ZS
Ismail Amin
Ismi Wahid
Ivan Haris
Iwan Gunadi
Jacob Sumardjo
Jafar Fakhrurozi
Jajang R Kawentar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean-Marie Gustave Le Clezio
JJ. Kusni
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Julika Hasanah
Julizar Kasiri
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kadir Ruslan
Kartika Candra
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Ketut Yuliarsa
KH. Ma'ruf Amin
Khaerudin
Khalil Zuhdy Lawna
Kholilul Rohman Ahmad
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Krisandi Dewi
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kuswinarto
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lenah Susianty
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
M Shoim Anwar
M. Arman A.Z.
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Harya Ramdhoni
M. Kasim
M. Latief
M. Wildan Habibi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria hartiningsih
Maria Serenada Sinurat
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Marsus Banjarbarat
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masriadi
Mawar Kusuma Wulan
Max Arifin
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Mezra E. Pellondou
Micky Hidayat
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Moh Samsul Arifin
Moh. Syafari Firdaus
Mohamad Asrori Mulky
Mohammad Afifuddin
Mohammad Fadlul Rahman
Muh Kholid A.S.
Muh. Muhlisin
Muhajir Arifin
Muhamad Sulhanudin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Azka Fahriza
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naskah Teater
Nezar Patria
Nina Setyawati
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noor H. Dee
Noval Maliki
Nunuy Nurhayati
Nur Haryanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurudin
Octavio Paz
Oliviaks
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Panda MT Siallagan
Pandu Jakasurya
PDS H.B. Jassin
Philipus Parera
Pradewi Tri Chatami
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rahmat Sutandya Yudhanto
Raihul Fadjri
Rainer Maria Rilke
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridha al Qadri
Ridwan Munawwar
Rikobidik
Riri
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rizky Andriati Pohan
Robert Frost
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Romi Febriyanto Saputro
Rosihan Anwar
RR Miranda
Rudy Policarpus
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Gerilyawan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra
SelaSastra ke #24
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Subhan SD
Suci Ayu Latifah
Sulaiman Djaya
Sulistiyo Suparno
Sunaryo Broto
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunudyantoro
Suriali Andi Kustomo
Suryadi
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Susilowati
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Bahri
Syam Sdp
Syarif Hidayatullah
Tajuddin Noor Ganie
Tammalele
Tan Malaka
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Tengsoe Tjahjono
Th Pudjo Widijanto
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Joko Susilo
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi
Umar Kayam
Undri
Uniawati
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Vyan Tashwirul Afkar
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyudin
Wannofri Samry
Warung Boenga Ketjil
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Web Warouw
Wijang Wharek
Wiko Antoni
Wina Bojonegoro
Wira Apri Pratiwi
Wiratmo Soekito
Wishnubroto Widarso
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Wing King
WS Rendra
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yosi M. Giri
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Yuyu AN Krisna
Zaki Zubaidi
Zalfeni Wimra
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhaenal Fanani
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Zulhasril Nasir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar