Jumat, 20 Januari 2012

Madura: Sejarah, Sastra, dan Perempuan Seni

(Disarikan dari hasil wawancara mendalam oleh Franditya Utomo)
Abdul Hadi WM
http://haideakiri.wordpress.com/2007/11/26/

Perempuan seni dalam dimensi patriarki masyarakat Madura, telah menciptakan kelonggaran relasi gender. Seni pertunjukan yang tidak meninggalkan tradisi diasporik masyarakat Madura telah memposisikan perempuan dan laki-laki sebagai elemen pembentuk harmonisasi.

Dengan demikian, rentang sejarah yang panjang telah menjadikan perempuan seni di Madura teruji menjadi subjek dalam formasi sosial masyarakat Madura.

Terkadang, faktor ekologis sebuah wilayah bisa menjadi faktor utama pembentukan kultur sebuah masyarakat. Tradisi diasporik masyarakat Madura, berawal dari sejarah kelangkaan ekologis (ecological scarcity) yang panjang pada abad ke-18, yang memaksa penduduknya untuk berimigrasi ke daerah lain terutama pulau Jawa. Jika melakukan pendekatan sejarah ekologi (eko-historikal) pada masyarakat Madura untuk menemukan pola atau formasi sosial serta perubahan sosialnya, maka motif ekonomi terlihat sebagai sebuah kesadaran yang mengembalikan sentimen kooperatif masyarakat Madura pada awal abad ke-20.

Migrasi dan Pembentukan Tradisi

Sejarah Madura selama hampir seabad (1850-1940) memperlihatkan saling keterkaitan antara pengaruh faktor ekologis dengan pelaku sejarah dalam membentuk sebuah masyarakat dan nasib masyarakat itu. Ekotipe ladang kering yang menetap atau ekotipe tegal telah menghasilkan unit eko-historikal tersendiri, berbeda dengan ekotipe sawah di Jawa dan ekotipe perladangan di Indonesia bagian Timur (Kompas, 24 Februari 2005).

Penelitian Kuntowijoyo (2002) tentang pengaruh ekologi pada formasi sosial di Madura, melihat bahwa migrasi ke pulau Jawa merupakan bagian dari sejarah orang Madura. Dibukanya perkebunan di Jawa Timur menarik orang Madura untuk menjadi buruh di perkebunan. Pada tahun 1930, lebih dari separuh keseluruhan etnis Madura tinggal di Jawa, kebanyakan di pojok bagian Timur. Di Jawa Timur, sebagai kelompok mayoritas (kecuali Banyuwangi), orang Madura aktif berperan dalam pergerakan nasional di kota dan di lingkungan kelompok etnis Madura umumnya (Kuntowijoyo, 2002: 75-81).

Salah satu penyebab mobilitas orang Madura yang didasari oleh kondisi pertanian yang miskin adalah, dibentuknya organisasi militer dengan nama barisan yang memiliki misi mendampingi Belanda dalam berbagai perang dan ekspedisi untuk melawan pemberontakan-pemberontakan yang muncul di kepulauan Indonesia. Barisan adalah sebuah kekuatan militer kerajaan-kerajaan Madura yang ditujukan untuk melayani kepentingan-kepentingan penguasa Kolonial. Organisasi militer yang berbasis pada kekuatan rakyat Madura itu merupakan manifestasi politik para penguasa Madura (aliansi militer antara madura dan Belanda) atas jasa Belanda yang melindungi Madura melepaskan diri dari hegemoni Mataram.

“…tetapi dalam kondisi tanah pertanian yang miskin itu, barisan juga merupakan sebuah lapangan pekerjaan yang mendatangkan penghasilan pokok bagi orang-orang kebanyakan, bergabung dalam barisan berarti pula: pekerjaan, penghasilan, penghargaan, dan yang terpenting berkesempatan untuk mobilitas sosial…” (Kuntowijoyo 2002: 145-150).

Karena perubahan struktur sosial dan ekonomi, masyarakat Madura bermata pencaharian sebagai pedagang, bukan petani. Karena para pedagang itu tipologinya suka bepergian, maka masyarakat Madura tidak terlampau memerlukan seni pertunjukan dalam budayanya. Berbeda dengan masyarakat Jawa yang lebih banyak menetap dan bertani. Sehingga artikulasi kesenian masyarakat Madura tertuang dalam bentuk kerajinan lukisan dan patung.

Untuk memahami posisi kesenian di Madura, pertama-tama kita harus memahami bahwa tradisi Islam dalam melihat seni (pertunjukan) tidak terlalu penting, selayaknya kaum Hindu yang mengadopsi unsur-unsur kesenian di dalam melakukan upacara keagamaan. Karena seni pertunjukan tidak menjadi bagian dari agama, maka orang Madura lebih melihat agama ketimbang tradisi. Agama lebih mengikat daripada tradisi, kalau bicara tradisi orang Madura bisa saja mengikuti tradisi Jawa. Berbeda dengan masyarakat Bali, yang memiliki pelindung dari kepunahan budaya, karena tradisi Bali sudah lebur menjadi tradisi Hindu. Sebaliknya, masyarakat Madura bisa menjadi orang lain ketika budayanya musnah.

Orang Madura bisa menjadi siapa saja, karena yang menjadi tolok ukur orang Madura adalah agama (Islam). Syarat menjadi orang Madura itu adalah, ia harus Islam. Bukan hanya identik tapi harus mutlak Islam. Lain dengan masyarakat Jawa, yang bisa memeluk berbagai macam agama dan kepercayaan. Hal inilah yang menjadi masalah pada masyarakat Madura. Tradisi itu dibentuk oleh mazhab Syafii sebagai mazhab dominan yang bersumber dari dalil akal dan dalil fikih. Ketika sebuah permasalahan muncul dan tidak bisa diselesaikan secara akal maka mekanisme penyelesaian dikembalikan pada kitab fikihnya. Mazhab Syafii mengutamakan dalil fikih yang sarat dengan kultur agraris feodal, hal ini lebih disebabkan pembentukan budaya masyarakat Jawa Timur pasca jatuhnya kerajaan Mataram yang kemudian dilanjutkan oleh VOC. Saat itu sempat ada kekosongan kekuasaan, sehingga tidak ada sosok di dalam masyarakat feodal yang bisa dijadikan pimpinan, kecuali ulama.

Hukum yang bersumber pada mazhab Syafii dibuat untuk masyarakat agraris feodal. Mazhab Syafii ini tidak terlalu memperdulikan seni. Bagi mereka seni itu hanya untuk hiburan saja, bukan sebagai kontemplasi. Kalau di Jawa bagian tengah, orang berkesenian sebagai sarana kontemplasi, yang sifatnya sangat meditatif. Kebanyakan kesenian Jawa bagian timur berfungsi sebagai media hiburan. Jadi di Madura hanya ada kesenian rakyat yang bersifat populis. Pada tingkatan ini agama tidak campur tangan, agama hanya memberikan larangan, misalnya, karena perempuan tidak boleh tampil di depan umum maka kesenian-kesenian ini pada umumnya ditampilkan oleh laki-laki. Namun sekarang sudah berubah, inilah yang kemudian menimbulkan masalah gender.

Kenyataan bahwa seorang kiai (ulama) mampu memobilisasi pengikutnya, menunjukkan bahwa kedudukan kiai bertambah penting menjelang abad ke-20. Peran kiai mengalami evolusi, dari pemimpin ritual keagamaan semata-mata, kemudian menjadi pemimpin masyarakat ke pemimpin politik (Kuntowijoyo, 2002). Hal ini sangat berbeda dengan tradisi kepemimpinan di Mataram, di Jawa bagian timur pada abad ke-17 tidak ada keraton yang mendominasi, maka pada saat itu ketundukan orang Madura adalah pada kiai atau ulama. Sesudah direbutnya Madura, baik barat maupun timur, banyak sekali tawanan perang pria, wanita, dan anak-anak yang diangkut dari pulau Madura ke Gersik dan Jawa bagian tengah untuk dipekerjakan oleh para pemenang. Raja-raja Mataram memerintahkan dan melaksanakan pemindahan secara besar-besaran kelompok petani dan buruh dari daerah-daerah pendudukan ke pusat kerajaan mereka. Pemindahan penduduk dalam negeri, yang berabad-abad telah dilakukan oleh para raja terhadap kelompok-kelompok suku di Jawa dan Madura itu, berakibat leburnya tradisi lama suku-suku setempat maupun hubungan perkawinan penduduk desa (De Graaf 2003: hal. 195-199).

Di beberapa daerah di Madura bagian utara, dominasi kiai pada kesenian tradisional pada umumnya kurang kuat, dan ada sisa-sisa kekuatan keraton yang membatasi pengaruh ulama. Sejak lama keraton didominasi oleh kekuatan gabungan antara santri dan kaum feodal. Suami dari pemimpin saat itu rata-rata adalah kiai, jadi di Madura tidak ada permasalahan dengan santri dan abangan seperti di Jawa.

Di Madura itu sudah lama tidak ada feodalisme. Mereka mengenal pemimpin administratif seperti bupati yang merupakan warisan kolonial Belanda. Di Madura tidak ada yang bisa dieksploitasi oleh Belanda, karena untuk itu sebagian besar penduduk Madura dijadikan pekerja perkebunan. Kesenian tradisional di Madura hidupnya di desa, bukan di kota. Ludruk adalah salah satu kesenian rakyat yang hidup di desa. Kesenian Madura mengalami puncaknya di bidang seni rupa dan seni sastra, misalnya kaligrafi atau seni hias.

Meski pernah mengalami puncak di bidang seni rupa dan sastra, saat ini sastra Madura itu sudah terbunuh oleh budaya modern. Sastra Madura mengalami puncak pencapaian tertinggi ketika keraton Sumenep belum menjadi keresidenan. Namun kemudian mengalami kemunduran. Meskipun demikian orang Madura tidak merasa kehilangan karena bagi mereka yang disebut sebagai budaya Madura itu adalah gabungan antara budaya Jawa dan Melayu. Jadi untuk mendeteksi kebudayaan Madura, tinggal melihat kebudayaan Jawa dan Melayu saja, inilah keuntungan orang Madura.

60 persen kosa-kata bahasa Madura berasal dari bahasa Melayu. Sementara tata bahasanya serupa dengan bahasa Jawa. Meski begitu, dibandingkan dengan bahasa Using, bahasa Madura lebih jelas tatanannya. Sampai pertengahan abad ke-18, sastra Madura masih memakai bahasa Jawa madya. Barulah kemudian pada akhir abad ke-18 menggunakan bahasa Madura tinggi, dan itupun tidak begitu berbeda dengan bahasa Jawa. Bedanya hanya cara mengucapkan saja. Bangsawan-bangsawan di sana rata-rata mengetahui bahasa Jawa.

Bukti-bukti otentik mengenai sejak kapan sastra Madura berkembang masih belum ditemukan. Sebuah bukti yang terdapat di Kebon Agung, sebelah Barat Sumenep, hanya menunjukkan bahwa pada zaman kerajaan Singasari di Madura sudah dikenal tulis menulis. Inskripsi menunjukkan angka tahun 1280 atau tahun saka 1212, dan tahun 1438 atau tahun saka 1360 (Zawawi Imron dalam Huub de Jonge (ed.), 1989: 181-205). Ada beberapa jenis bentuk sastra Madura, antara lain: Dungngeng, berisi tentang budi pekerti, cerita fabel, dan legenda serta cerita kepahlawanan seperti, Joko Tole, dan Trunojoyo. Lok-Alok, sebuah jenis sastra lisan yang terdapat pada pacuan sapi atau karapan sapi.

Kemudian sastra lisan berbentuk puisi mainan anak-anak, yang berupa kumpulan kata-kata yang bisa ditafsirkan bebas dengan unsur bunyi yang cukup dominan, mensaratkan lompatan-lompatan imajinasi. Selain itu sastra lisan Madura juga tertuang di dalam puisi ritual, yang digunakan sebagai sarana tolak bala, biasanya terdapat di desa-desa terpencil atau tepi pantai. Sampai pada tembang, pengaruh kesusasteraan Jawa pada awal abad ke-20 terlihat sangat kental. Tembang biasanya berisi tentang kisah atau hikayat zaman dahulu.

Perempuan Seni di Madura

Perempuan merupakan bagian dari masyarakat. Kalau tidak ada perempuan maka tidak akan ada masyarakat. Namun demikian kalau tidak ada laki-laki juga tidak akan ada masyarakat. Jadi keduanya merupakan sesuatu yang inklusif dan merupakan bagian integral dari masyarakat.

Untuk konteks Indonesia, jika kita lihat sebagian sejarah Indonesia, perempuan memegang peranan penting. Misalnya, Teuku Malahayati pada abad ke-7 sudah menjadi panglima angkatan laut di Aceh. Selanjutnya, lima orang raja Aceh itu adalah perempuan. Melayu juga punya raja perempuan yang punya kekuasaan. Sehingga permasalahan ketimpangan gender bukanlah menyoal tentang ketertidasan perempuan oleh patriarki (laki-laki) saja, akan tetapi lebih pada penindasan antara kasta yang satu dengan kasta yang lain.

Misalnya saja di keraton-keraton Jawa, perempuan-perempuan bangsawan itu juga menindas perempuan lainnya. Jadi persoalannya bukan gender, melainkan kelas. Di Eropa memang pernah mengalami fase penindasan yang berbasis pada gender, karena setelah revolusi industri timbul suatu masalah ketika lapangan perkerjaan yang seharusnya dikerjakan bersama (perempuan), malah dipegang oleh laki-laki. Hal tersebut terjadi karena masih ada anggapan yang bias gender, karena laki-lakilah yang bisa melakukan pelayaran jauh, bisa kemana-mana. Sementara perempuan tidak bisa, karena perempuan tugasnya adalah reproduksi. Di dalam perang juga demikian, kalau perempuan ikut berperang, maka habislah penduduk. Jadi karena perempuan jarang yang ikut berperang, maka proses reproduksi tetap berlanjut.

Dikaitkan dengan permasalahan di atas, perempuan di Madura juga tidak sepenuhnya mengalami masalah ketimpangan gender. Perempuan di Madura memang tidak dijunjung seperti di Bugis, tapi dia punya hak yang tinggi. Seorang istri bahkan bisa mengusir suami ketika misalnya si suami ini tidak pernah memberi nafkah dan pergi selama tiga bulan. Selain itu dia juga punya ilmu santet, sehingga kalau seorang suami pergi jauh dan berhubungan dengan perempuan lain, sang istri bisa membuatnya menjadi impoten. Jadi perempuan dan laki-laki di Madura sangat berbeda daya seksnya. Perempuan Madura lebih tinggi daya seksnya. Hal ini disebabkan karena adanya pendidikan seks yang diberikan sedari kecil. Anak-anak perempuan usia 12 tahun menjelang pernikahan sudah tahu ramuan-ramuan, serta pola gaya berhubungan seks. Pendidikan ini memang sifatnya informal dari nenek atau ibu.

Mereka punya konsep kering atau basah. Kalau kering itu dianggap sehat, kalau basah atau becek itu malah tidak sehat. Jadi perempuan yang akan menikah jangan makan timun atau makanan yang mengandung banyak air karena tidak bagus. Jadi daya seksnya dijaga.

Selain itu, perempuan Madura juga bekerja. Kalau misalnya suaminya berlayar, maka istrinya di rumah akan membatik. Inilah yang kemudian berkembang jadi seni rupa. Perempuan juga mengukir, sebagai aktifitas seni dan produksi. Persentase laki-laki Madura yang menikah dengan perempuan dari luar jauh lebih banyak dibandingkan dengan perempuan Madura yang menikah dengan laki-laki dari luar. Perempuan itu adalah tempat pemurnian, kalau ibunya orang Madura, maka dia akan dikatakan sebagai orang Madura murni. Kalu ibunya Jawa maka artinya tidak murni berdarah Madura. Jadi kebudayaannya lebih bersifat matrilinial. Kalau menikah maka pasangan itu akan tinggal di rumah orang tua perempuan. Pengawasan yang ketat pada perempuan di Madura, menyebabkan perempuan kurang bisa berpartisipasi dalam seni pertunjukan. Dalam hal ini, sinden dan tandha’ muncul sebagai anomali dalam ruang tradisi patriarki yang kaku di Madura.

Kekakuan masyarakat patriarki Madura, salah satunya ditunjukkan dengan pola kekerasan, carok, yang dilegitimasi secara kultural untuk menjadi sebuah jalan peneyelesaian masalah. Carok sendiri biasanya disebabkan oleh tiga hal. Pertama masalah perempuan, istri atau tunangan. Kedua adalah soal tanah dan ketiga adalah soal ternak. Tradisi carok ini berawal pada zaman kerajaan di Sumenep, ketika setiap orang diharuskan untuk memelihara ternak. Kalau ternaknya diganggu dia akan kena sanksi pajak. Kemudian pada saat itu jumlah laki-laki jauh lebih banyak dari perempuan, sehingga konflik yang dipicu oleh harga diri terhadap perempuan sering memunculkan carok. Yang ketiga, jumlah tanah sangat sedikit sehingga menjadi sangat berharga. Jadi carok juga disebabkan oleh kondisi politik dan kondisi ekonomi. Dalam Islam sendiri carok tidak diperbolehkan. Tapi kenapa dilakukan, karena ini adalah soal tradisi bukan agama. Persoalan tradisi itu, kadang-kadang bisa merembes ke permasalahan yang lebih konkrit, seperti seorang perempuan yang memilih profesi tandha’ yang cukup stigmatis, lantaran dorongan ekonomi.

Kalau kita lihat kesenian-kesenian yang ada di kota, pada umumnya yang menyanyi perempuan, hal itu tidak menjadi masalah karena tidak ada larangan agama. Begitu juga dengan sinden. Bahkan ada tempat pelacuran yang terdiri dari bekas tandha’ yang sengaja dilokalisasikan. Masyarakat tidak merasa khawatir karena aktifitas yang berbau seksual tersebut sudah dilokalisasi. Fenomena ini sudah terjadi dari zaman raja-raja dulu dan ditaati sampai sekarang, masyarakat pun tidak akan terganggu.

Jadi hal ini dilindungi secara kultur sehingga tidak diapa-apakan. Mereka biasanya punya rumah sendiri yang jauh dari masyarakat. Kemudian di rumah itu juga ada penjaganya. Tempatnya berada di satu kompleks kecil dan sudah berlangsung turun temurun. Mereka umumnya bekas tandha’ dan profesional sehingga dibayar mahal. Mereka betul-betul dididik seperti Geisha di Jepang, mereka bisa bermain gamelan dan nyinden.

Sejarah masyarakat Madura telah menunjukkan betapa mereka begitu tangguh, bertahan hidup (meski harus berimigrasi) dalam menghadapi kondisi alam dan ekologinya. Sehingga kesenian dan karya sastra yang menjadi produk kebudayaannya, telah meletakkan perempuan pada posisi tinggi dan memiliki peran vital dalam formasi sosial masyarakat Madura. Dalam hal ini, sejarah pergulatan perempuan seni tradisi di Madura bisa menjadi sebuah blue print perjuangan pembebasan perempuan dari kungkungan patriarki yang multiface. []

[sumber: http://haideakiri.wordpress.com/2007/11/26/madura-sejarah-sastra-dan-perempuan-seni/]
Dijumput dari: http://mediamadura.wordpress.com/2010/12/17/madura-sejarah-sastra-dan-perempuan-seni/

Tidak ada komentar:

A Musthafa A Rodhi Murtadho A Wahyu Kristianto A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Wachid BS Abdullah al-Mustofa Abdullah Khusairi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimanyu Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Maulani Adek Alwi Adhi Pandoyo Adrian Ramdani Ady Amar Afrizal Malna Agnes Rita Sulistyawati Aguk Irawan Mn Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Subiyakto Agus Sulton Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahm Soleh Ahmad Farid Tuasikal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Luthfi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadie Thaha Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rasyid AJ Susmana Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander Aur Alexander G.B. Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Rif’an Aliela Alimuddin Alit S. Rini Alunk Estohank Ami Herman Amich Alhumami Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminudin TH Siregar Ammilya Rostika Sari An. Ismanto Anaz Andaru Ratnasari Andhi Setyo Wibowo Andhika Prayoga Andong Buku #3 Andrenaline Katarsis Andri Cahyadi Angela Anies Baswedan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Sudibyo Anton Wahyudi Anwar Holid Anwar Siswadi Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Zulkifli Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayu Utami Azyumardi Azra Babe Derwan Bagja Hidayat Balada Bandung Mawardi Bayu Agustari Adha Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Bernadette Lilia Nova Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Bhakti Hariani Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budi Winarto Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Bustan Basir Maras Camelia Mafaza Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cecep Syamsul Hari Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Choirul Rikzqa D. Dudu A.R D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Dantje S Moeis Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Darmanto Jatman Dedy Tri Riyadi Delvi Yandra Denny JA Denny Mizhar Dewi Anggraeni Dian Basuki Dian Hartati Dian Sukarno Dian Yanuardy Diana AV Sasa Dinar Rahayu Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi Warsidi Edy Firmansyah EH Kartanegara Eka Alam Sari Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil Amir Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Evan Ys F. Budi Hardiman Fadly Rahman Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fani Ayudea Fariz al-Nizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatkhul Aziz Felix K. Nesi Film Fitri Yani Franditya Utomo Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Garna Raditya Gde Artawan Geger Riyanto Gendhotwukir George Soedarsono Esthu Gerakan Surah Buku (GSB) Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Tri Atmojo H. Supriono Muslich H.B. Jassin Hadi Napster Halim H.D. Hamberan Syahbana Hamidah Abdurrachman Han Gagas Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Priyatna Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasan Junus Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Helwatin Najwa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendriyo Widi Ismanto Hepi Andi Bastoni Heri Latief Heri Listianto Herry Firyansyah Heru Untung Leksono Hikmat Darmawan Hilal Ahmad Hilyatul Auliya Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur Husnun N Djuraid I Nyoman Suaka Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilenk Rembulan Ilham khoiri Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Budi Santosa Imelda Imron Arlado Imron Tohari Indiar Manggara Indira Margareta Indra Darmawan Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ingki Rinaldi Insaf Albert Tarigan Intan Hs Isbedy Stiawan ZS Ismail Amin Ismi Wahid Ivan Haris Iwan Gunadi Jacob Sumardjo Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean-Marie Gustave Le Clezio JJ. Kusni Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Julika Hasanah Julizar Kasiri Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kadir Ruslan Kartika Candra Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Ketut Yuliarsa KH. Ma'ruf Amin Khaerudin Khalil Zuhdy Lawna Kholilul Rohman Ahmad Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Krisandi Dewi Kritik Sastra Kucing Oren Kuswinarto Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lenah Susianty Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto M Shoim Anwar M. Arman A.Z. M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Harya Ramdhoni M. Kasim M. Latief M. Wildan Habibi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria hartiningsih Maria Serenada Sinurat Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Marsus Banjarbarat Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masriadi Mawar Kusuma Wulan Max Arifin Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Mezra E. Pellondou Micky Hidayat Mihar Harahap Misbahus Surur Moh Samsul Arifin Moh. Syafari Firdaus Mohamad Asrori Mulky Mohammad Afifuddin Mohammad Fadlul Rahman Muh Kholid A.S. Muh. Muhlisin Muhajir Arifin Muhamad Sulhanudin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Azka Fahriza Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Nafi’ah Al-Ma’rab Naskah Teater Nezar Patria Nina Setyawati Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noor H. Dee Noval Maliki Nunuy Nurhayati Nur Haryanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurudin Octavio Paz Oliviaks Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pamusuk Eneste Panda MT Siallagan Pandu Jakasurya PDS H.B. Jassin Philipus Parera Pradewi Tri Chatami Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R Sutandya Yudha Khaidar R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rahmat Sutandya Yudhanto Raihul Fadjri Rainer Maria Rilke Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridha al Qadri Ridwan Munawwar Rikobidik Riri Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rizky Andriati Pohan Robert Frost Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Romi Febriyanto Saputro Rosihan Anwar RR Miranda Rudy Policarpus Rukardi S Yoga S. Jai S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Gerilyawan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra SelaSastra ke #24 Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Subhan SD Suci Ayu Latifah Sulaiman Djaya Sulistiyo Suparno Sunaryo Broto Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunudyantoro Suriali Andi Kustomo Suryadi Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Susilowati Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Bahri Syam Sdp Syarif Hidayatullah Tajuddin Noor Ganie Tammalele Tan Malaka Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Tengsoe Tjahjono Th Pudjo Widijanto Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Joko Susilo Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Umar Kayam Undri Uniawati Universitas Indonesia UU Hamidy Vyan Tashwirul Afkar W Haryanto W.S. Rendra Wahyudin Wannofri Samry Warung Boenga Ketjil Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Web Warouw Wijang Wharek Wiko Antoni Wina Bojonegoro Wira Apri Pratiwi Wiratmo Soekito Wishnubroto Widarso Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Wing King WS Rendra Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yosi M. Giri Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Yuyu AN Krisna Zaki Zubaidi Zalfeni Wimra Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhaenal Fanani Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar Zulhasril Nasir