Hasnan Bachtiar*
http://sastra-indonesia.com/
Sore lalu aku melihatnya tertunduk lesu, lelah tak bersemangat menikmati jalan hidup dengan penuh tanya. Aku mencoba membaca simbol-simbol gelisah dari mimik muka muram yang berteduh dalam senja. Menafsirkan pergumulan menjelang malam yang abu-abu, memang menampakkan keraguan dan tanya tentang sesuatu. Aku berusaha menerjemahkan prasangka. Kuingat Göethe melamun, Wie warën wir verloren? Ohn’ Lieb. Oh… aku betul-betul menyadarinya, bagaimana hidupku sungguh sia-sia? Tanpa cinta.
Rupanya semuanya berawal dari pertemuan dengan seorang gadis tiga bulan yang lalu. Ia memang pendiam, tetapi bukan berarti seorang yang beku, tak mungkin luluh oleh belaian lembut air yang mengalir.
Aku iba melihat dirinya. Lalu kusuruh orang kepercayaanku untuk mengenalkannya pada gadis istimewa itu. Keajaiban terjadi, dan atas kuasa Tuhan, benda mati seketika itu menjadi hidup dan ruh pilihan telah mengisi jasadnya. Kun, Fayakun. Dengan kuasa-Nya, wahai sesuatu yang Kuharap terjadi, terjadilah, maka terjadilah ia. Mudah sekali bagi Allah untuk menciptakan kehendak-Nya. Sungguh, mustahil bagi manusia, tiada yang mustahil bagi-Nya.
Senyumnya begitu sumringah, sejuk, nampak sekali penuh harapan. Dan ia mulai berani berbicara.
“Aku Pernah Melihatnya, melihat gadis itu, di suatu tempat beberapa bulan yang lalu. Anggun. Apa mungkin ia, malaikat itu?“
Abdiku menimpali, namun sebelumnya memang kuperingatkan agar sesantun mungkin melayaninya, sama sekali jangan sampai membikin batu yang mudah tersinggung menjadi retak. Ia bertutur;
“Iya aku tahu. Ia memang gadis pilihan untukmu. Aku ingin engkau bersamanya.“
- “Namun baginda, aku hanya seorang pria yang terluka.“
“Tetapi ia penyembuh luka bagimu, pembatas segala gelisah, peredam semurka amarah.“
- “Tidakkah pantas baginya orang yang lebih baik dari sekedar diriku, aku hanya seorang hina penuh dosa?“
“Aku tahu, bahkan ia putri terhormat, ia terlalu istimewa bagi sekedar dirimu. Tenanglah, yakinlah seteguh imanmu, ia akan merangkulmu bak gunung yang menjaga keseimbangan pejuru semesta.“
- “Aku ragu, bahkan aku tidak percaya siapapun baginda, lalu bagaimana mungkin aku hidup dengan makhluk yang tak mungkin kupercaya?“
“Ia cerminan iman anakku, ia taat, ia patuh, ia malaikat bagimu. Yakinlah dengan segenap keyakinan.“
- “Sepanjang hidupku hanyalah kegelapan dan aku terlahir sebagai durjana.“
“Tenanglah, ia berupa cahaya yang menerangi jalanmu, ia selalu menuntun langkahmu, lindungilah ia, maka ia akan melindungimu.“
Tepat saat mentari hampir memejamkan matanya, selimut hitam menyapu mesra bunga fajar dan azhan maghrib terlantun panjang semerdu rahasia ilahi yang hanya mampu terungkap oleh orang-orang shaleh. Sore itu, orang kepercayaanku menemui gadis itu;
“Ada yang ingin bertemu denganmu, wahai gadis suci.“ Itulah yang ia katakan sembari memberi sebersit senyum penuh pesona bak madu emas yang manis tiada tara.
- “Aku selalu terbuka bagi siapapun yang terhiasi dengan indahnya niat baik wahai saudariku.“ Jawab santunnya.
“Ia ingin bertemu denganmu dan siap berpisah suatu saat.“
- “Mengapa engkau menuliskan takdir yang kelam bagiku, baginya, bagi kita?“
Ia menunduk seraya mengerutkan dahi, kedua alis hitamnya bertarung. Nampak hatinya bergejolak hebat dan jiwa-jiwa yang mengisi jasadnya berdebat sengit. Ia merenung lama, namun kemudian meneteslah air mata surga dari seorang hawa mulia.
“Tak ada pilihan lain bagi ruh pilihan Allah, engkau yang terpilih, hanya engkau malaikat bersayap yang mampu menerangi kegelapan malam, bersyukurlah atas segala tulis-Nya.“
Ia tertunduk luluh, kelam, namun gelisah sangat. Sejurus kemudian menegadahkan wajahnya ke langit dengan sorot mata jauh menerawang angkasa. Menembus angkasa, menerobos kemelut prasangka. Sepertinya ia berdoa, meminta belas kasihan dari Sang Penguasa Kehidupan. Matanya nanar, bening dan terbuka lebar. Lalu cahaya di wajah gadis itu semakin bersinar, membersit senyuman ilahi, sepertinya ia mendengar jawaban langsung dari Tuhan dan seraya berkata pelan;
- “Aku akan menjalani hidupku, mewujudkan mimpiku dan dengan begitu, aku turut menuliskan takdirku, takdir kita berdua, antara aku dan dia.“
Orang suruhanku hanya menunduk sekali, simbol ikhlas menyetujui sesuatu.
Mereka saling memandang, jauh mendalami kehidupan masing-masing, larut dalam gaibnya batin, menembus lorong jiwa, menerobos kemelut ruh suci dan mengumandangkan sentuhan cinta walau tanpa bahasa. Tak ada apapun selain senyum satu sama lain, menunduk pasrah karena terbakar api asmara yang berkobar lebat dan terbuai dalam silang sengkarut pergumulan cinta yang rumit, tak kan mampu dinalar oleh para bijak sekalipun.
Hanya cahaya mereka berdua yang menerangi semesta raya. Cahaya yang menerangi segenap cahaya. Pintu surga terbuka dan menebarkan beribu aroma wangi hingga menembus tujuh selimut langit, memberkati bumi. Gelapnya mendung menjadi cerah, badai dan amukan petir mereda, tanah kering paceklik menuai kemakmuran karena terbelai mesra air kehidupan, dan segala gundah gulana, gelisah menjadi ketenangan, kebahagiaan dan rahmat.
Namun dua sisi kehidupan tetap harus ada. Baik dan buruk, dua sifat yang bertolak belakang, hampir selalu hadir dalam dimensi masing-masing. Meskipun seringkali larut dalam tata kosmos keseimbangan atas nama cinta.
Tiba-tiba malapetaka murka. Tiada daya dan upaya, hanya penyesalan, hitam dan kelam merangkul dalam harmoni sejati.
Bagiku, inilah asal mula persekutuan haram antara manusia dan malaikat, pertautan cinta terlarang sepanjang garis takdir Sang Ilahi. Manusia dengan wataknya yang pendosa dan malaikat yang harus selalu suci. Akan naif jika aku mempertukarkan kedua hal ini dan kemungkinan besar aku pasti salah, jika aku lebih berani menafsirkan simbol kodrati yang Tuhan berikan. Namun, jika aku berpengertian lain? Hasrat keingintahuanku akan sikap Tuhan terhadapku demikian menggebu. Akankah mempertukarkannya akan tetap mempertahankan harmoni kosmik?
Sore ini, aku masih memperhatikan wajahnya yang kelam penuh derita. Tak kunjung sembuh, seperti luka yang menganga merah, berbau amis dan terlalu parah. Mungkin tak akan terobati dan tak akan pernah terobati. Tapi itu hanyalah prasangka. Prasangka senja.
Aku duduk di rumah makan, menatapnya dari balik kaca bening berbentuk persegi panjang setinggi tembok dan memanjang. Rumah makan ini cukup bersih, nyaman, dengan menu bermacam-macam yang khas dan cukup ramai pengunjung. Mungkin karena harganya yang murah. Di ruang yang bingar ini, aku meniti sepi dan sendirian saja. Sembari melanjutkan lamunan, aku menikmati secangkir cappuccino.
Aku melihatnya duduk sambil berjongkok di emperan jalan, tepat di depan Unmuh kampus tiga dan bersandar di samping pohon besar yang rindang. Mukanya menunduk dan kedua tangannya merangkul kedua kakinya, meskipun sesekali menoleh tempat di mana aku duduk. Rambutnya tak tertata dan ia gemar menggaruknya walau tidak gatal. Mungkin “rasa gatal yang lain“ yang ia rasakan. Pakaiannya kaos lusuh berwarna hitam polos hampir kelabu, sama sekali nampak tak baru. Kedua kakinya terbalut celana jeans coklat yang kotor. Di alas kakinya melekat sepasang sendal jepit tipis dengan karet ungu yang hampir putus. Seluruh tubuhnya nampak dekil, berantakan, tak terurus.
Tempat di mana aku duduk, berselang satu meja kosong di depanku, aku melihat satu meja dengan empat kursi yang terisi penuh tiga orang lelaki dan seorang perempuan berkerudung putih yang rupawan, anggun dan mempesona. Sepertinya salah satu dari ketiga lelaki itu adalah kekasih perempuan itu, nampak dari sikapnya yang berbeda dari yang lainnya. Namun aku tak terlalu peduli dengan ketiganya, kecuali hanya satu hal saja, sorot mataku tak pernah lepas dari gerak mulut perempuan itu dan aku begitu teliti untuk memperhatikan setiap detail simbol petunjuknya.
Telingaku cukup terganggu dengan pembicaraan perempuan itu. Sepintas lalu aku mendengar ia berbicara tentang sahabatnya, sembari menoleh ke salah satu lelaki yang kupikir itu kekasihnya, lalu sesekali menatap ke lelaki yang sejak lama telah kuperhatikan. Lelaki yang duduk di emperan jalan dan bersandar di pohon besar, di seberang jalan.
Aku mendengar ia mengatakan, “sahabatku, Maya.“ Lalu dengan serpihan nada yang tersapu oleh angin kecil, betapa lembut, telah menggetarkan gendang pendengaranku. Ada hal yang menyentak pikiranku. Inilah alunan lagu prasangka. Simfoni nada prasangka teralun merdu sebagai cipta asa. Lalu dimensi batinku menemui persinggahannya.
Maya adalah sosok anggun dan mempesona. Parasnya manis, kulitnya sawo matang, perawakannya kecil dan tak terlalu tinggi. Pakaiannya selalu rapi dan terbalut kerudung yang tak terlalu lebar namun pantas dan pas. Tuturnya santun, nada wicaranya pelan, tata kalimatnya tertata, pilihan katanya sopan dan berbahasa baginya adalah berucap kebenaran sembari menebarkan senyum, ia selalu memberi kehidupan bagi lawan bicaranya.
Maya pernah bercerita sesuatu pada sahabatnya dan rupanya gadis cantik yang kutatap di seberang meja makan di dedapku adalah sahabatnya. Ia menceritakan sahabatnya yang lain, seorang lelaki, dan menurutku antara kedua sahabat tersebut tidak saling kenal, kecuali hanya Maya yang mengenal keduanya. Tetapi kemungkinan keduanya untuk bertemu, saling bertutur sapa dan saling mengenal itu ada, meskipun sebatas hanya bergumul dalam dinamika nalar dan menari dalam bentukan dunia imaji.
Ia melanjutkan cerita tentang derita sahabat Maya yang sungguh pilu. Tak ada jalan keluar kecuali kematian baginya. “Ya, pemuda itu kini mati. Otaknya tak berfungsi lagi selain hanya gumaman yang sama setiap saat, diulang-ulang tanpa beralih pada varian yang lain. ’Aku cinta kau kekasihku, aku cinta kau kekasihku, tetapi Tuhan tak menghendakiku.’ Hanya itu.“
Ku ingat sesuatu dari sepotong komentar itu. Kebenaran pada satu. Kebenaran mutlak pada hitungan yang sama. Seperti 1+1 dan hasilnya semua orang pasti tahu tanpa prediksi yang berarti, 2. Tiada yang mengingkari, tiada dusta di antara prasangka angka-angka. Ludwig Wittgenstein, Tractatus Logico Philosophicus… Prasangka ini, aku hanya ingin menyangkal “kebenaran“ yang utun dari angka-angka tidak hanya dalam angka-angka, namun manusia di balik angka itu. Si gila telah membabi-buta menghajar kebenaran itu dan menunjukkan simbol-simbol ke-gila-annya, mempermalukan kebenaran hitungan deret dengan hitungan deret yang bermakna dalam, “luka dalam“.
Bolehlah gadis itu menyebut dengan, “aku cinta kau kekasihku, aku cinta kau kekasihku, tetapi Tuhan tak menghendakiku,“ sebagai satu simbol (sign) yang menari dalam deret hitung yang sama. Namun jangan lupa, ia si gila di pohon itu juga manusia! Ada deret yang tak dimengerti, bahkan si gila itu adalah si jenius yang sedang mengejek kebenaran mutlak rasio angka-angka.
Kusruput cappuccino yang sudah tak panas lagi. O o o… nalarku mulai tak terkendali, menari-nari dalam nafas suci. Tak perlu dibatasi. Kalauku capek pastilah terjatuh lagi.
Masih kutatap pria yang jongkok itu. Si gila, atau bukan aku yang mengatakan si gila, aku hanya korban yang termakan sajian lezat perempuan cantik di depan mejaku. Lalu ia nyerocos panjang lebar tentang sahabat dari sahabatnya yang telah gila karena putus cinta dan mengulang-ulang setiap kata sebagai bagian dari irama putus cinta. Namun ingatanku masih satu, Maya sahabatku.
Semakin runyam rupanya, atas buku-buku Wittgenstein yang telah kutelan dan kumuntahkan lagi. Aduh, parah. Aku sedang kacau, lalu kusruput habis cappuccino di mejaku.
Nafasku mulai terputus-putus, kepalaku sakit sekali, jantungku berdenyut kencang… Lelahnya aku. Aku ingin mengeja alam imajiku. Pria itu menari dalam nalarku, sedangkan perempuan cantik, memainkan biola sendu mengiringinya. Lalu si Maya sahabatku, menyanyi merdu mengikuti not-not lagu yang kutimang dalam kertas melodi. Sakit hatiku karena ulah gila kekasihku, tersebutlah orkrestra romantika.
O o o… aku terlalu jauh terlempar dalam belantara imaji…, aku sadar dan harmoni ini hanya tentang prasangka peminum kopi. Ah, kuingin beranjak dari meja ini, karena cappuccinoku telah habis.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Jumat, 25 November 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Musthafa
A Rodhi Murtadho
A Wahyu Kristianto
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Wachid BS
Abdullah al-Mustofa
Abdullah Khusairi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimanyu
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Maulani
Adek Alwi
Adhi Pandoyo
Adrian Ramdani
Ady Amar
Afrizal Malna
Agnes Rita Sulistyawati
Aguk Irawan Mn
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Subiyakto
Agus Sulton
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahm Soleh
Ahmad Farid Tuasikal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Luthfi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadie Thaha
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rasyid
AJ Susmana
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander Aur
Alexander G.B.
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Rif’an
Aliela
Alimuddin
Alit S. Rini
Alunk Estohank
Ami Herman
Amich Alhumami
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminudin TH Siregar
Ammilya Rostika Sari
An. Ismanto
Anaz
Andaru Ratnasari
Andhi Setyo Wibowo
Andhika Prayoga
Andong Buku #3
Andrenaline Katarsis
Andri Cahyadi
Angela
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Sudibyo
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Zulkifli
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayu Utami
Azyumardi Azra
Babe Derwan
Bagja Hidayat
Balada
Bandung Mawardi
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Bernadette Lilia Nova
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Bhakti Hariani
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budi Winarto
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Bustan Basir Maras
Camelia Mafaza
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Choirul Rikzqa
D. Dudu A.R
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Darmanto Jatman
Dedy Tri Riyadi
Delvi Yandra
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Anggraeni
Dian Basuki
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dian Yanuardy
Diana AV Sasa
Dinar Rahayu
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Warsidi
Edy Firmansyah
EH Kartanegara
Eka Alam Sari
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil Amir
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
F. Budi Hardiman
Fadly Rahman
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fani Ayudea
Fariz al-Nizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatkhul Aziz
Felix K. Nesi
Film
Fitri Yani
Franditya Utomo
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Garna Raditya
Gde Artawan
Geger Riyanto
Gendhotwukir
George Soedarsono Esthu
Gerakan Surah Buku (GSB)
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Tri Atmojo
H. Supriono Muslich
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim H.D.
Hamberan Syahbana
Hamidah Abdurrachman
Han Gagas
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Helwatin Najwa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendriyo Widi Ismanto
Hepi Andi Bastoni
Heri Latief
Heri Listianto
Herry Firyansyah
Heru Untung Leksono
Hikmat Darmawan
Hilal Ahmad
Hilyatul Auliya
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husnun N Djuraid
I Nyoman Suaka
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilenk Rembulan
Ilham khoiri
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Budi Santosa
Imelda
Imron Arlado
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Margareta
Indra Darmawan
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ingki Rinaldi
Insaf Albert Tarigan
Intan Hs
Isbedy Stiawan ZS
Ismail Amin
Ismi Wahid
Ivan Haris
Iwan Gunadi
Jacob Sumardjo
Jafar Fakhrurozi
Jajang R Kawentar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean-Marie Gustave Le Clezio
JJ. Kusni
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Julika Hasanah
Julizar Kasiri
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kadir Ruslan
Kartika Candra
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Ketut Yuliarsa
KH. Ma'ruf Amin
Khaerudin
Khalil Zuhdy Lawna
Kholilul Rohman Ahmad
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Krisandi Dewi
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kuswinarto
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lenah Susianty
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
M Shoim Anwar
M. Arman A.Z.
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Harya Ramdhoni
M. Kasim
M. Latief
M. Wildan Habibi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria hartiningsih
Maria Serenada Sinurat
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Marsus Banjarbarat
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masriadi
Mawar Kusuma Wulan
Max Arifin
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Mezra E. Pellondou
Micky Hidayat
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Moh Samsul Arifin
Moh. Syafari Firdaus
Mohamad Asrori Mulky
Mohammad Afifuddin
Mohammad Fadlul Rahman
Muh Kholid A.S.
Muh. Muhlisin
Muhajir Arifin
Muhamad Sulhanudin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Azka Fahriza
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naskah Teater
Nezar Patria
Nina Setyawati
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noor H. Dee
Noval Maliki
Nunuy Nurhayati
Nur Haryanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurudin
Octavio Paz
Oliviaks
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Panda MT Siallagan
Pandu Jakasurya
PDS H.B. Jassin
Philipus Parera
Pradewi Tri Chatami
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rahmat Sutandya Yudhanto
Raihul Fadjri
Rainer Maria Rilke
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridha al Qadri
Ridwan Munawwar
Rikobidik
Riri
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rizky Andriati Pohan
Robert Frost
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Romi Febriyanto Saputro
Rosihan Anwar
RR Miranda
Rudy Policarpus
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Gerilyawan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra
SelaSastra ke #24
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Subhan SD
Suci Ayu Latifah
Sulaiman Djaya
Sulistiyo Suparno
Sunaryo Broto
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunudyantoro
Suriali Andi Kustomo
Suryadi
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Susilowati
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Bahri
Syam Sdp
Syarif Hidayatullah
Tajuddin Noor Ganie
Tammalele
Tan Malaka
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Tengsoe Tjahjono
Th Pudjo Widijanto
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Joko Susilo
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi
Umar Kayam
Undri
Uniawati
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Vyan Tashwirul Afkar
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyudin
Wannofri Samry
Warung Boenga Ketjil
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Web Warouw
Wijang Wharek
Wiko Antoni
Wina Bojonegoro
Wira Apri Pratiwi
Wiratmo Soekito
Wishnubroto Widarso
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Wing King
WS Rendra
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yosi M. Giri
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Yuyu AN Krisna
Zaki Zubaidi
Zalfeni Wimra
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhaenal Fanani
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Zulhasril Nasir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar