M. Harya Ramdhoni
http://www.lampungpost.com/
LANGIT di atas sana mulai semburatkan cahaya tipis kemerahan. Pagi telah tiba. Hujan lebat yang mengguyur Kemelak sejak semalam nyaris tak bersisa kecuali udara dingin yang kekal menyusup hingga ke sumsum. Jejak-jejak hujan nyaris tak terbaca. Dihapuskan banjir darah para pejuang republik pada pertempuran semalam. Tubuh-tubuh muda itu bergelimpangan bagai sekumpulan bangkai hewan di hari raya kurban. Dingin jasad-jasad membisu meninggalkan luka. Juga dendam sebuah republik berusia muda. Di segenap penjuru kota suara tembakan masih terdengar berkali-kali. Sisa-sisa tentara republik tak serta merta menyerah begitu saja pada keangkuhan moncong-moncong meriam tentara NICA 1) yang mendongak congkak.
Front Pertempuran Kemelak-Sepancar, Baturaja, 17 Agustus 1947
“Cepat atau lambat kita akan dibinasakan. Mereka terlalu kuat. Kita bukan lawan yang setanding buat mereka. Peperangan modern tak sekadar mengandalkan otot dan otak tetapi juga persenjataan canggih,” suara perempuan terdengar pelan tapi dengan nada menggugat. Pemiliknya adalah gadis cantik berdarah indo. Tubuhnya yang tinggi ramping dengan kulit putih bersih dibalut seragam tentara republik berwarna cokelat muda. Dialah satu-satunya yang berbeda di antara lima ratus prajurit republik. Satu-satunya yang berdarah separuh Eropa. Perempuan pula.
“Hei Moeis, aku bicara padamu. Kita sedang menunggu dibinasakan, bukan?”
Lelaki muda bertubuh tinggi kurus dengan rambut sebahu tak langsung menyahuti tanya si gadis indo. Ia malah asyik menghembus-hembuskan asap rokoknya dengan tenang seolah tak ada sesuatu pun telah terjadi pada semalam.
“Entahlah, tapi yang pasti aku tak takut mati. Mengenai canggih atau kunonya peralatan tempur kita bukan urusanku. Bagiku menceburkan diri dalam kancah pertempuran ini, di sini, dengan berbagai ancaman tak terduga adalah risiko seorang patriot. Tugas suci anak kandung Revolusi Agustus!”
“Aku hanya tiba-tiba didera rindu pada Akan2) dan Ibuku di Batubrak. Takut tak sampai umurku bertemu beliau berdua,” berkata Moeis dengan nada suara dipelankan, “Kau masih punya orang tua kan?”
Gadis indo berhidung mancung mengangguk dan tersenyum manis. Semanis tebu yang biasa dimamah Moeis dan Pun3)-nya, Maulana Balyan, ketika kecil dulu.
“Aku kagum padamu, Pauline. Kau khianati darah Belanda dalam tubuhmu demi membela utuhnya revolusi Agustus. Sejujurnya aku dan kawan-kawan kagum dan malu pada keberanianmu. Tabik untukmu sahabatku Pauline Gobee!”
Pauline Gobee teruja hebat dipuji seperti itu. Pipinya merah merona. Bola matanya yang berwarna biru bersinar cemerlang.
“Pauline…,” sebuah suara terdengar dari arah barisan tenda darurat di belakang Front Kemelak.
“Ada apa, Jabur?” sahut Pauline.
“Komandan memanggilmu. Penting!”
“Baiklah. Aku segera ke sana, dan kau temani Moeis. Dia tengah kesepian merindu Akan dan ibunya yang jauh di Batubrak,” canda Pauline sambil meninggalkan Moeis dengan tawa terkekeh-kekeh.
“Kenapa denganmu Moeis?” tanya Jabur.
“Seperti kau tak punya orang tua dan lahir dari batu!” jawab Moeis ketus.
***
“KITA dalam kesulitan, Pauline. Tidak hanya terdesak oleh balatentara NICA yang terus merangsek maju ke pedalaman Sumatera Selatan, tetapi juga munculnya penembak misterius yang beberapa hari belakangan ini menembak mati beberapa mata-mata kita dari kalangan masyarakat sipil. Kita terkepung dari berbagai arah.”
Kolonel Ahmad Wahab menarik dan menghembuskan nafas dalam-dalam. Berkali-kali ia melakukannya. Seolah ingin ia tumpahkan segala beban yang menyesakkan dadanya. Di luar gerimis mulai bertandang lagi perlahan. Membasahi kembali tanah Kemelak. Mengguyur hingga bersih jejak amis darah sisa pertempuran semalam.
“Kau satu-satunya penembak jitu yang kita punya. Pergilah bersama Moeis dalam penyamaran. Tembak mati penembak gelap itu. Ditembak mati atau menembak mati!”
“Siap, Pak!”
Begitu jelas perintah Kolonel Ahmad Wahab baginya dan Pauline merasa tak ada gunanya bertanya apalagi berbantahan.
***
“DARI mana kita mulai perburuan terhadap penembak laknat itu?”, tanya Moeis dengan nada suara tak sabar.
“Entahlah, aku juga bingung. Terlampau sedikit informasi yang kuterima dari Kolonel Wahab. Buruan kita ini berpindah-pindah dari ujung Kemelak hingga perbatasan menuju Sepancar.”
“Sepertinya ia menguasai keadaan tempat ini…”
“Tampaknya begitu,” Pauline menguatkan.
“Doorrrr, ratatatatatatatatatat…”
“Berlindung, Pauline!” teriak Moeis kala menyadari suara tembakan senapan mesin tak putus-putus menyambut mereka. Tembakan itu berasal dari sebuah gudang milik pedagang China yang tak terpakai.
“Di situ rupanya kau bersembunyi bedebah!” umpat Pauline sambil berguling-guling.
“Kita harus cari tempat persembunyian yang aman. Kau tak apa-apa Moeis?”
“Alhamdulilah, masih hidup,” jawab Moeis dengan nafas terengah-engah.
Kemudian keduanya secara sembunyi-sembunyi dan memanfaatkan hari yang mulai gelap bergegas menuju bekas kantor Jawatan Kereta Api tak jauh dari situ.
“Dari sini kita bisa leluasa mengintai keberadaannya. Menunggu bedebah itu lengah sampai esok pagi pun aku siap.”
“Tak sabar aku berlama-lama menanti buruan. Peluru-peluruku sudah tak tahan hendak menjebol kepala si bajingan tengik itu.”
“Bersabarlah Pauline, masih ada hari esok. Dia pasti mati di tanganmu.”
“Menurutmu Moeis, siapakah manusia celaka yang tadi mengarahkan moncong senapan mesinnya kepada kita?”
“Siapa lagi kalau bukan anjing-anjing NICA, baik anjing pribumi atau pun anjing totok!”
Pauline menangguk-angguk membenarkan ucapan Moeis. Percakapan mereka terputus. Sebuah kendaraan lapis baja milik musuh melintas di depan tempat persembunyian mereka. Tank itu pun berhenti. Jantung Pauline dan Moeis tak urung serasa berhenti berdetak pula. Dari dalam tank
muncul kepala seorang prajurit kavaleri. Ia julurkan lehernya, kemudian menengok ke kanan dan ke kiri. Tampaknya ia mencari sesuatu. Tak lama kemudian seorang lelaki muda berlari tergopoh-gopoh menghampiri tank itu. Lelaki itu bicara dengan si prajurit kavaleri. Ia menunjuk-nunjuk tempat persembunyian Pauline dan Moeis. Prajurit kavaleri pun menolehkan pandangannya ke arah bekas Kantor Jawatan Kereta Api.
“Keparat itu rupanya!” umpat Pauline sambil mengokang senapannya.
“Jangan! Tahan tembakanmu, Pauline. Bukan dia sasaran kita. Dia cuma mata-mata kelas teri.”
“Walaupun begitu sudah sepantasnya dua kunyuk itu mesti mati!”
Hanya dalam jarak waktu enam detik dua tembakan telah dilayangkan Pauline. Tepat sasaran. Pertama-tama prajurit kavaleri langsung roboh dengan leher bolong tertembus peluru. Sesaat kemudian si mata-mata kelas teri menyusul terjerembab dengan pekik mengerikan. Ia menggelepar sesaat lalu diam menuju baka. Dahinya jebol ditembus peluru Pauline.
“Dahsyat! Jitu!” Moeis berseru-seru.
“Begitu seharusnya!” Pauline tak mau kalah.
“Ratataatatatatatatatatatattttt….”
Suara senapan mesin membahana dari seberang.
“Aaaaaarghhhhh…,” Moeis terpekik. Senapannya terlempar ke luar gedung. Peluru penembak misterius mengenainya.
“Moeis!” Pauline berteriak panik.
Lelaki muda di sampingnya malah tersenyum aneh.
“Kau terluka Moeis?”
“Tak apa-apa. Hanya kaget. Kukira tanganku yang terluka. Ternyata senapan itu yang terkena tembakan.”
“Ah, kukira…”
“Dia masih di sana. Bertahan menanti kita. Haruskah kita menunggu sampai malam ini berlalu?” keluh Pauline.
Ia rasakan penat mulai menjalari tubuhnya. Tiba-tiba ia perlu rehat. Merebahkan badan dan tertidur dengan lelap adalah sesuatu yang teramat mahal sejak beberapa bulan terakhir ini. Sejak agresi militer kolonial Belanda 4) menyerbu Indonesia dari delapan mata penjuru angin, segala hal yang berbau ketenangan dan kedamaian adalah kemewahan semata.
“Sepertinya kau bisa tidur lelap malam ini. Lihat itu!” berkata Moeis sambil menunjuk asap rokok berwarna putih meliuk-liuk dari bekas gudang di depan mereka. Asap itu terlihat jelas diterangi cahaya bulan terang benderang.
“Betapa malang dirimu, kawan,” ucapan Pauline diikuti rentetan tembakan susul menyusul. Puluhan peluru dihamburkan Pauline selama beberapa menit. Sempat terdengar suara denting puluhan selongsong peluru berjatuhan. Lalu senyap membumbung di udara. Kemudian hujan turun gerimis lagi. Bagai tabik bagi keperwiraan Pauline.
“Hebat! Kau layak menyandang predikat penembak jitu yang dimiliki republik, bintang terang benderang di atas langit Kemelak dan Sepancar,” Moeis bertepuk-tangan sebagai tanda kekaguman, “Kini giliranku yang merokok.”
Pauline tertawa renyah menanggapi pujian sahabatnya itu.
“Ayo pulang. Tak sabar aku ingin laporkan kematian lelaki malang itu kepada Kolonel Wahab.”
“Aku pun lapar, ingin makan sekenyangnya dan tidur pulas,” Moeis menyahuti.
Keduanya tertawa terbahak-bahak. Pertanda gembira yang tak terpermanai.
Lalu keduanya pulang menuju markas sambil melewati bekas gudang milik pedagang China. Sinar rembulan yang bersaingan dengan rerintik hujan lamat-lamat menyinari sesosok tubuh telungkup berpakaian tentara NICA. Penembak misterius yang dihujani tembakan Pauline.
“Aku ingin melihatnya…,” Tiba-tiba Pauline dihinggapi rasa ingin tahu. Ia berbalik arah menerobos hujan gerimis menuju bekas gudang itu. Ia lalui mayat prajurit kavaleri musuh yang masih tergeletak di tempatnya. Juga mayat lelaki muda mata-mata NICA tak bergeser sedikit pun. Keduanya terbiar begitu saja menunggu disantap sekawanan anjing liar yang biasa mendatangi tempat itu sembari membaung menjelang tengah malam.
“Untuk apa bersusah payah menjenguk bangkai anjing kompeni?” cegah Moeis. Tetapi langkah Pauline tak terbantahkan. Ia sungguh penasaran.
“Siapakah dia yang begitu cekatan dan tepat dalam menembak sasaran? Pasti dia penembak unggulan yang dimiliki NICA,” batin Pauline pada diri sendiri. Moeis pun tergopoh-gopoh dengan sabar menyertai langkah sahabatnya itu.
Tak sabar Pauline ingin melihat bagaimana bentuk rupa dari jasad telungkup berpakaian tentara NICA itu. Pribumikah? Belanda totok-kah? Atau Indo-Belanda seperti
dirinya? Ah! Ia tepikan andai-andai itu dan terus bergegas setengah berlari menuju tempat di mana mayat penembak misterius berada.
“Betapa hebat dirimu! Nyaris celakakan Moeis di tengah suramnya malam. Tanpa penerangan apa pun kecuali cahaya bulan yang kadangkala benderang, kadangkala remang-remang,” puji Pauline tak putus-putus terhadap musuh yang telah dibunuhnya itu.
Didapatinya mayat itu berada dalam posisi telungkup memeluk erat senapan mesinnya. Genangan darah bagai banjir yang nyaris menenggelamkan tubuhnya. Kala ditelentangkannya tubuh itu ia dapati wajah lelaki tampan berhidung dan berbola mata bagus seperti dirinya. Lelaki Indo berkulit putih yang sejenis dengannya. Manusia remaja yang memiliki darah separuh Eropa dan separuh Indonesia sebagaimana dirinya. Demi melihat itu semua tubuhnya berguncang hebat. Dadanya sesak dan sebak. Seketika jerit tangisnya membahana membelah sunyinya langit malam garis depan Front Pertempuran Kemelak-Sepancar. Lolongannya terdengar menghiba dan menyayat hati. Sementara Moeis yang berada di sampingnya kebingungan tak tahu penyebab segala histeria perempuan itu.
Lelaki indo yang dibunuh Pauline Gobee adalah kekasihnya sendiri.
Hentian Kajang-Malaysia, 10 Agustus 2011
Pukul 03.15 waktu Malaysia
Mengenang kakek Mendiang Tamong Dalom Hi. Abdoel Moeis gelar Suttan Pangeran Sekala Brak (1930-2003)
_________________________
1) Netherland Indies Civil Administration (pemerintahan sipil Hindia Belanda) yang dipimpin oleh Dr. Hubertus J van Mook. NICA tiba di Indonesia dengan membonceng tentara sekutu untuk kembali memulai proyek kolonisasi terhadap bekas wilayah Hindia Belanda dan menolak mengakui proklamasi 17 Agustus 1945 yang diproklamirkan Soekarno-Hatta di Jakarta.
2)Sebutan untuk Ayah dalam masyarakat Lampung Sai Batin Sekala Brak.
3) Kakak laki-laki tertua dalam adat Lampung Sai Batin Sekala Brak.
4) Agresi Militer Belanda I adalah Operasi Militer Belanda di Sumatera dan Jawa yang dilakukan dari tanggal 21 Juli sampai dengan tanggal 5 Agustus 1947.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Musthafa
A Rodhi Murtadho
A Wahyu Kristianto
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Wachid BS
Abdullah al-Mustofa
Abdullah Khusairi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimanyu
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Maulani
Adek Alwi
Adhi Pandoyo
Adrian Ramdani
Ady Amar
Afrizal Malna
Agnes Rita Sulistyawati
Aguk Irawan Mn
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Subiyakto
Agus Sulton
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahm Soleh
Ahmad Farid Tuasikal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Luthfi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadie Thaha
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rasyid
AJ Susmana
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander Aur
Alexander G.B.
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Rif’an
Aliela
Alimuddin
Alit S. Rini
Alunk Estohank
Ami Herman
Amich Alhumami
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminudin TH Siregar
Ammilya Rostika Sari
An. Ismanto
Anaz
Andaru Ratnasari
Andhi Setyo Wibowo
Andhika Prayoga
Andong Buku #3
Andrenaline Katarsis
Andri Cahyadi
Angela
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Sudibyo
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Zulkifli
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayu Utami
Azyumardi Azra
Babe Derwan
Bagja Hidayat
Balada
Bandung Mawardi
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Bernadette Lilia Nova
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Bhakti Hariani
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budi Winarto
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Bustan Basir Maras
Camelia Mafaza
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Choirul Rikzqa
D. Dudu A.R
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Darmanto Jatman
Dedy Tri Riyadi
Delvi Yandra
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Anggraeni
Dian Basuki
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dian Yanuardy
Diana AV Sasa
Dinar Rahayu
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Warsidi
Edy Firmansyah
EH Kartanegara
Eka Alam Sari
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil Amir
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
F. Budi Hardiman
Fadly Rahman
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fani Ayudea
Fariz al-Nizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatkhul Aziz
Felix K. Nesi
Film
Fitri Yani
Franditya Utomo
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Garna Raditya
Gde Artawan
Geger Riyanto
Gendhotwukir
George Soedarsono Esthu
Gerakan Surah Buku (GSB)
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Tri Atmojo
H. Supriono Muslich
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim H.D.
Hamberan Syahbana
Hamidah Abdurrachman
Han Gagas
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Helwatin Najwa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendriyo Widi Ismanto
Hepi Andi Bastoni
Heri Latief
Heri Listianto
Herry Firyansyah
Heru Untung Leksono
Hikmat Darmawan
Hilal Ahmad
Hilyatul Auliya
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husnun N Djuraid
I Nyoman Suaka
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilenk Rembulan
Ilham khoiri
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Budi Santosa
Imelda
Imron Arlado
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Margareta
Indra Darmawan
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ingki Rinaldi
Insaf Albert Tarigan
Intan Hs
Isbedy Stiawan ZS
Ismail Amin
Ismi Wahid
Ivan Haris
Iwan Gunadi
Jacob Sumardjo
Jafar Fakhrurozi
Jajang R Kawentar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean-Marie Gustave Le Clezio
JJ. Kusni
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Julika Hasanah
Julizar Kasiri
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kadir Ruslan
Kartika Candra
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Ketut Yuliarsa
KH. Ma'ruf Amin
Khaerudin
Khalil Zuhdy Lawna
Kholilul Rohman Ahmad
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Krisandi Dewi
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kuswinarto
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lenah Susianty
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
M Shoim Anwar
M. Arman A.Z.
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Harya Ramdhoni
M. Kasim
M. Latief
M. Wildan Habibi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria hartiningsih
Maria Serenada Sinurat
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Marsus Banjarbarat
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masriadi
Mawar Kusuma Wulan
Max Arifin
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Mezra E. Pellondou
Micky Hidayat
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Moh Samsul Arifin
Moh. Syafari Firdaus
Mohamad Asrori Mulky
Mohammad Afifuddin
Mohammad Fadlul Rahman
Muh Kholid A.S.
Muh. Muhlisin
Muhajir Arifin
Muhamad Sulhanudin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Azka Fahriza
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naskah Teater
Nezar Patria
Nina Setyawati
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noor H. Dee
Noval Maliki
Nunuy Nurhayati
Nur Haryanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurudin
Octavio Paz
Oliviaks
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Panda MT Siallagan
Pandu Jakasurya
PDS H.B. Jassin
Philipus Parera
Pradewi Tri Chatami
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rahmat Sutandya Yudhanto
Raihul Fadjri
Rainer Maria Rilke
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridha al Qadri
Ridwan Munawwar
Rikobidik
Riri
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rizky Andriati Pohan
Robert Frost
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Romi Febriyanto Saputro
Rosihan Anwar
RR Miranda
Rudy Policarpus
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Gerilyawan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra
SelaSastra ke #24
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Subhan SD
Suci Ayu Latifah
Sulaiman Djaya
Sulistiyo Suparno
Sunaryo Broto
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunudyantoro
Suriali Andi Kustomo
Suryadi
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Susilowati
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Bahri
Syam Sdp
Syarif Hidayatullah
Tajuddin Noor Ganie
Tammalele
Tan Malaka
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Tengsoe Tjahjono
Th Pudjo Widijanto
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Joko Susilo
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi
Umar Kayam
Undri
Uniawati
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Vyan Tashwirul Afkar
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyudin
Wannofri Samry
Warung Boenga Ketjil
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Web Warouw
Wijang Wharek
Wiko Antoni
Wina Bojonegoro
Wira Apri Pratiwi
Wiratmo Soekito
Wishnubroto Widarso
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Wing King
WS Rendra
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yosi M. Giri
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Yuyu AN Krisna
Zaki Zubaidi
Zalfeni Wimra
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhaenal Fanani
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Zulhasril Nasir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar