Jumat, 21 Oktober 2011

Penembak Misterius di Seberang Front Kemelak

M. Harya Ramdhoni
http://www.lampungpost.com/

LANGIT di atas sana mulai semburatkan cahaya tipis kemerahan. Pagi telah tiba. Hujan lebat yang mengguyur Kemelak sejak semalam nyaris tak bersisa kecuali udara dingin yang kekal menyusup hingga ke sumsum. Jejak-jejak hujan nyaris tak terbaca. Dihapuskan banjir darah para pejuang republik pada pertempuran semalam. Tubuh-tubuh muda itu bergelimpangan bagai sekumpulan bangkai hewan di hari raya kurban. Dingin jasad-jasad membisu meninggalkan luka. Juga dendam sebuah republik berusia muda. Di segenap penjuru kota suara tembakan masih terdengar berkali-kali. Sisa-sisa tentara republik tak serta merta menyerah begitu saja pada keangkuhan moncong-moncong meriam tentara NICA 1) yang mendongak congkak.

Front Pertempuran Kemelak-Sepancar, Baturaja, 17 Agustus 1947

“Cepat atau lambat kita akan dibinasakan. Mereka terlalu kuat. Kita bukan lawan yang setanding buat mereka. Peperangan modern tak sekadar mengandalkan otot dan otak tetapi juga persenjataan canggih,” suara perempuan terdengar pelan tapi dengan nada menggugat. Pemiliknya adalah gadis cantik berdarah indo. Tubuhnya yang tinggi ramping dengan kulit putih bersih dibalut seragam tentara republik berwarna cokelat muda. Dialah satu-satunya yang berbeda di antara lima ratus prajurit republik. Satu-satunya yang berdarah separuh Eropa. Perempuan pula.

“Hei Moeis, aku bicara padamu. Kita sedang menunggu dibinasakan, bukan?”

Lelaki muda bertubuh tinggi kurus dengan rambut sebahu tak langsung menyahuti tanya si gadis indo. Ia malah asyik menghembus-hembuskan asap rokoknya dengan tenang seolah tak ada sesuatu pun telah terjadi pada semalam.

“Entahlah, tapi yang pasti aku tak takut mati. Mengenai canggih atau kunonya peralatan tempur kita bukan urusanku. Bagiku menceburkan diri dalam kancah pertempuran ini, di sini, dengan berbagai ancaman tak terduga adalah risiko seorang patriot. Tugas suci anak kandung Revolusi Agustus!”

“Aku hanya tiba-tiba didera rindu pada Akan2) dan Ibuku di Batubrak. Takut tak sampai umurku bertemu beliau berdua,” berkata Moeis dengan nada suara dipelankan, “Kau masih punya orang tua kan?”

Gadis indo berhidung mancung mengangguk dan tersenyum manis. Semanis tebu yang biasa dimamah Moeis dan Pun3)-nya, Maulana Balyan, ketika kecil dulu.

“Aku kagum padamu, Pauline. Kau khianati darah Belanda dalam tubuhmu demi membela utuhnya revolusi Agustus. Sejujurnya aku dan kawan-kawan kagum dan malu pada keberanianmu. Tabik untukmu sahabatku Pauline Gobee!”

Pauline Gobee teruja hebat dipuji seperti itu. Pipinya merah merona. Bola matanya yang berwarna biru bersinar cemerlang.

“Pauline…,” sebuah suara terdengar dari arah barisan tenda darurat di belakang Front Kemelak.

“Ada apa, Jabur?” sahut Pauline.

“Komandan memanggilmu. Penting!”

“Baiklah. Aku segera ke sana, dan kau temani Moeis. Dia tengah kesepian merindu Akan dan ibunya yang jauh di Batubrak,” canda Pauline sambil meninggalkan Moeis dengan tawa terkekeh-kekeh.

“Kenapa denganmu Moeis?” tanya Jabur.

“Seperti kau tak punya orang tua dan lahir dari batu!” jawab Moeis ketus.

***

“KITA dalam kesulitan, Pauline. Tidak hanya terdesak oleh balatentara NICA yang terus merangsek maju ke pedalaman Sumatera Selatan, tetapi juga munculnya penembak misterius yang beberapa hari belakangan ini menembak mati beberapa mata-mata kita dari kalangan masyarakat sipil. Kita terkepung dari berbagai arah.”

Kolonel Ahmad Wahab menarik dan menghembuskan nafas dalam-dalam. Berkali-kali ia melakukannya. Seolah ingin ia tumpahkan segala beban yang menyesakkan dadanya. Di luar gerimis mulai bertandang lagi perlahan. Membasahi kembali tanah Kemelak. Mengguyur hingga bersih jejak amis darah sisa pertempuran semalam.

“Kau satu-satunya penembak jitu yang kita punya. Pergilah bersama Moeis dalam penyamaran. Tembak mati penembak gelap itu. Ditembak mati atau menembak mati!”

“Siap, Pak!”

Begitu jelas perintah Kolonel Ahmad Wahab baginya dan Pauline merasa tak ada gunanya bertanya apalagi berbantahan.

***

“DARI mana kita mulai perburuan terhadap penembak laknat itu?”, tanya Moeis dengan nada suara tak sabar.

“Entahlah, aku juga bingung. Terlampau sedikit informasi yang kuterima dari Kolonel Wahab. Buruan kita ini berpindah-pindah dari ujung Kemelak hingga perbatasan menuju Sepancar.”

“Sepertinya ia menguasai keadaan tempat ini…”

“Tampaknya begitu,” Pauline menguatkan.

“Doorrrr, ratatatatatatatatatat…”

“Berlindung, Pauline!” teriak Moeis kala menyadari suara tembakan senapan mesin tak putus-putus menyambut mereka. Tembakan itu berasal dari sebuah gudang milik pedagang China yang tak terpakai.

“Di situ rupanya kau bersembunyi bedebah!” umpat Pauline sambil berguling-guling.

“Kita harus cari tempat persembunyian yang aman. Kau tak apa-apa Moeis?”

“Alhamdulilah, masih hidup,” jawab Moeis dengan nafas terengah-engah.

Kemudian keduanya secara sembunyi-sembunyi dan memanfaatkan hari yang mulai gelap bergegas menuju bekas kantor Jawatan Kereta Api tak jauh dari situ.

“Dari sini kita bisa leluasa mengintai keberadaannya. Menunggu bedebah itu lengah sampai esok pagi pun aku siap.”

“Tak sabar aku berlama-lama menanti buruan. Peluru-peluruku sudah tak tahan hendak menjebol kepala si bajingan tengik itu.”

“Bersabarlah Pauline, masih ada hari esok. Dia pasti mati di tanganmu.”

“Menurutmu Moeis, siapakah manusia celaka yang tadi mengarahkan moncong senapan mesinnya kepada kita?”

“Siapa lagi kalau bukan anjing-anjing NICA, baik anjing pribumi atau pun anjing totok!”

Pauline menangguk-angguk membenarkan ucapan Moeis. Percakapan mereka terputus. Sebuah kendaraan lapis baja milik musuh melintas di depan tempat persembunyian mereka. Tank itu pun berhenti. Jantung Pauline dan Moeis tak urung serasa berhenti berdetak pula. Dari dalam tank

muncul kepala seorang prajurit kavaleri. Ia julurkan lehernya, kemudian menengok ke kanan dan ke kiri. Tampaknya ia mencari sesuatu. Tak lama kemudian seorang lelaki muda berlari tergopoh-gopoh menghampiri tank itu. Lelaki itu bicara dengan si prajurit kavaleri. Ia menunjuk-nunjuk tempat persembunyian Pauline dan Moeis. Prajurit kavaleri pun menolehkan pandangannya ke arah bekas Kantor Jawatan Kereta Api.

“Keparat itu rupanya!” umpat Pauline sambil mengokang senapannya.

“Jangan! Tahan tembakanmu, Pauline. Bukan dia sasaran kita. Dia cuma mata-mata kelas teri.”

“Walaupun begitu sudah sepantasnya dua kunyuk itu mesti mati!”

Hanya dalam jarak waktu enam detik dua tembakan telah dilayangkan Pauline. Tepat sasaran. Pertama-tama prajurit kavaleri langsung roboh dengan leher bolong tertembus peluru. Sesaat kemudian si mata-mata kelas teri menyusul terjerembab dengan pekik mengerikan. Ia menggelepar sesaat lalu diam menuju baka. Dahinya jebol ditembus peluru Pauline.

“Dahsyat! Jitu!” Moeis berseru-seru.

“Begitu seharusnya!” Pauline tak mau kalah.

“Ratataatatatatatatatatatattttt….”

Suara senapan mesin membahana dari seberang.

“Aaaaaarghhhhh…,” Moeis terpekik. Senapannya terlempar ke luar gedung. Peluru penembak misterius mengenainya.

“Moeis!” Pauline berteriak panik.

Lelaki muda di sampingnya malah tersenyum aneh.

“Kau terluka Moeis?”

“Tak apa-apa. Hanya kaget. Kukira tanganku yang terluka. Ternyata senapan itu yang terkena tembakan.”

“Ah, kukira…”

“Dia masih di sana. Bertahan menanti kita. Haruskah kita menunggu sampai malam ini berlalu?” keluh Pauline.

Ia rasakan penat mulai menjalari tubuhnya. Tiba-tiba ia perlu rehat. Merebahkan badan dan tertidur dengan lelap adalah sesuatu yang teramat mahal sejak beberapa bulan terakhir ini. Sejak agresi militer kolonial Belanda 4) menyerbu Indonesia dari delapan mata penjuru angin, segala hal yang berbau ketenangan dan kedamaian adalah kemewahan semata.

“Sepertinya kau bisa tidur lelap malam ini. Lihat itu!” berkata Moeis sambil menunjuk asap rokok berwarna putih meliuk-liuk dari bekas gudang di depan mereka. Asap itu terlihat jelas diterangi cahaya bulan terang benderang.

“Betapa malang dirimu, kawan,” ucapan Pauline diikuti rentetan tembakan susul menyusul. Puluhan peluru dihamburkan Pauline selama beberapa menit. Sempat terdengar suara denting puluhan selongsong peluru berjatuhan. Lalu senyap membumbung di udara. Kemudian hujan turun gerimis lagi. Bagai tabik bagi keperwiraan Pauline.

“Hebat! Kau layak menyandang predikat penembak jitu yang dimiliki republik, bintang terang benderang di atas langit Kemelak dan Sepancar,” Moeis bertepuk-tangan sebagai tanda kekaguman, “Kini giliranku yang merokok.”

Pauline tertawa renyah menanggapi pujian sahabatnya itu.

“Ayo pulang. Tak sabar aku ingin laporkan kematian lelaki malang itu kepada Kolonel Wahab.”

“Aku pun lapar, ingin makan sekenyangnya dan tidur pulas,” Moeis menyahuti.

Keduanya tertawa terbahak-bahak. Pertanda gembira yang tak terpermanai.

Lalu keduanya pulang menuju markas sambil melewati bekas gudang milik pedagang China. Sinar rembulan yang bersaingan dengan rerintik hujan lamat-lamat menyinari sesosok tubuh telungkup berpakaian tentara NICA. Penembak misterius yang dihujani tembakan Pauline.

“Aku ingin melihatnya…,” Tiba-tiba Pauline dihinggapi rasa ingin tahu. Ia berbalik arah menerobos hujan gerimis menuju bekas gudang itu. Ia lalui mayat prajurit kavaleri musuh yang masih tergeletak di tempatnya. Juga mayat lelaki muda mata-mata NICA tak bergeser sedikit pun. Keduanya terbiar begitu saja menunggu disantap sekawanan anjing liar yang biasa mendatangi tempat itu sembari membaung menjelang tengah malam.

“Untuk apa bersusah payah menjenguk bangkai anjing kompeni?” cegah Moeis. Tetapi langkah Pauline tak terbantahkan. Ia sungguh penasaran.

“Siapakah dia yang begitu cekatan dan tepat dalam menembak sasaran? Pasti dia penembak unggulan yang dimiliki NICA,” batin Pauline pada diri sendiri. Moeis pun tergopoh-gopoh dengan sabar menyertai langkah sahabatnya itu.

Tak sabar Pauline ingin melihat bagaimana bentuk rupa dari jasad telungkup berpakaian tentara NICA itu. Pribumikah? Belanda totok-kah? Atau Indo-Belanda seperti

dirinya? Ah! Ia tepikan andai-andai itu dan terus bergegas setengah berlari menuju tempat di mana mayat penembak misterius berada.

“Betapa hebat dirimu! Nyaris celakakan Moeis di tengah suramnya malam. Tanpa penerangan apa pun kecuali cahaya bulan yang kadangkala benderang, kadangkala remang-remang,” puji Pauline tak putus-putus terhadap musuh yang telah dibunuhnya itu.

Didapatinya mayat itu berada dalam posisi telungkup memeluk erat senapan mesinnya. Genangan darah bagai banjir yang nyaris menenggelamkan tubuhnya. Kala ditelentangkannya tubuh itu ia dapati wajah lelaki tampan berhidung dan berbola mata bagus seperti dirinya. Lelaki Indo berkulit putih yang sejenis dengannya. Manusia remaja yang memiliki darah separuh Eropa dan separuh Indonesia sebagaimana dirinya. Demi melihat itu semua tubuhnya berguncang hebat. Dadanya sesak dan sebak. Seketika jerit tangisnya membahana membelah sunyinya langit malam garis depan Front Pertempuran Kemelak-Sepancar. Lolongannya terdengar menghiba dan menyayat hati. Sementara Moeis yang berada di sampingnya kebingungan tak tahu penyebab segala histeria perempuan itu.

Lelaki indo yang dibunuh Pauline Gobee adalah kekasihnya sendiri.

Hentian Kajang-Malaysia, 10 Agustus 2011
Pukul 03.15 waktu Malaysia

Mengenang kakek Mendiang Tamong Dalom Hi. Abdoel Moeis gelar Suttan Pangeran Sekala Brak (1930-2003)
_________________________
1) Netherland Indies Civil Administration (pemerintahan sipil Hindia Belanda) yang dipimpin oleh Dr. Hubertus J van Mook. NICA tiba di Indonesia dengan membonceng tentara sekutu untuk kembali memulai proyek kolonisasi terhadap bekas wilayah Hindia Belanda dan menolak mengakui proklamasi 17 Agustus 1945 yang diproklamirkan Soekarno-Hatta di Jakarta.
2)Sebutan untuk Ayah dalam masyarakat Lampung Sai Batin Sekala Brak.
3) Kakak laki-laki tertua dalam adat Lampung Sai Batin Sekala Brak.
4) Agresi Militer Belanda I adalah Operasi Militer Belanda di Sumatera dan Jawa yang dilakukan dari tanggal 21 Juli sampai dengan tanggal 5 Agustus 1947.

Tidak ada komentar:

A Musthafa A Rodhi Murtadho A Wahyu Kristianto A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Wachid BS Abdullah al-Mustofa Abdullah Khusairi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimanyu Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Maulani Adek Alwi Adhi Pandoyo Adrian Ramdani Ady Amar Afrizal Malna Agnes Rita Sulistyawati Aguk Irawan Mn Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Subiyakto Agus Sulton Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahm Soleh Ahmad Farid Tuasikal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Luthfi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadie Thaha Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rasyid AJ Susmana Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander Aur Alexander G.B. Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Rif’an Aliela Alimuddin Alit S. Rini Alunk Estohank Ami Herman Amich Alhumami Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminudin TH Siregar Ammilya Rostika Sari An. Ismanto Anaz Andaru Ratnasari Andhi Setyo Wibowo Andhika Prayoga Andong Buku #3 Andrenaline Katarsis Andri Cahyadi Angela Anies Baswedan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Sudibyo Anton Wahyudi Anwar Holid Anwar Siswadi Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Zulkifli Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayu Utami Azyumardi Azra Babe Derwan Bagja Hidayat Balada Bandung Mawardi Bayu Agustari Adha Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Bernadette Lilia Nova Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Bhakti Hariani Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budi Winarto Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Bustan Basir Maras Camelia Mafaza Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cecep Syamsul Hari Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Choirul Rikzqa D. Dudu A.R D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Dantje S Moeis Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Darmanto Jatman Dedy Tri Riyadi Delvi Yandra Denny JA Denny Mizhar Dewi Anggraeni Dian Basuki Dian Hartati Dian Sukarno Dian Yanuardy Diana AV Sasa Dinar Rahayu Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi Warsidi Edy Firmansyah EH Kartanegara Eka Alam Sari Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil Amir Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Evan Ys F. Budi Hardiman Fadly Rahman Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fani Ayudea Fariz al-Nizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatkhul Aziz Felix K. Nesi Film Fitri Yani Franditya Utomo Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Garna Raditya Gde Artawan Geger Riyanto Gendhotwukir George Soedarsono Esthu Gerakan Surah Buku (GSB) Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Tri Atmojo H. Supriono Muslich H.B. Jassin Hadi Napster Halim H.D. Hamberan Syahbana Hamidah Abdurrachman Han Gagas Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Priyatna Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasan Junus Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Helwatin Najwa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendriyo Widi Ismanto Hepi Andi Bastoni Heri Latief Heri Listianto Herry Firyansyah Heru Untung Leksono Hikmat Darmawan Hilal Ahmad Hilyatul Auliya Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur Husnun N Djuraid I Nyoman Suaka Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilenk Rembulan Ilham khoiri Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Budi Santosa Imelda Imron Arlado Imron Tohari Indiar Manggara Indira Margareta Indra Darmawan Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ingki Rinaldi Insaf Albert Tarigan Intan Hs Isbedy Stiawan ZS Ismail Amin Ismi Wahid Ivan Haris Iwan Gunadi Jacob Sumardjo Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean-Marie Gustave Le Clezio JJ. Kusni Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Julika Hasanah Julizar Kasiri Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kadir Ruslan Kartika Candra Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Ketut Yuliarsa KH. Ma'ruf Amin Khaerudin Khalil Zuhdy Lawna Kholilul Rohman Ahmad Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Krisandi Dewi Kritik Sastra Kucing Oren Kuswinarto Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lenah Susianty Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto M Shoim Anwar M. Arman A.Z. M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Harya Ramdhoni M. Kasim M. Latief M. Wildan Habibi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria hartiningsih Maria Serenada Sinurat Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Marsus Banjarbarat Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masriadi Mawar Kusuma Wulan Max Arifin Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Mezra E. Pellondou Micky Hidayat Mihar Harahap Misbahus Surur Moh Samsul Arifin Moh. Syafari Firdaus Mohamad Asrori Mulky Mohammad Afifuddin Mohammad Fadlul Rahman Muh Kholid A.S. Muh. Muhlisin Muhajir Arifin Muhamad Sulhanudin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Azka Fahriza Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Nafi’ah Al-Ma’rab Naskah Teater Nezar Patria Nina Setyawati Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noor H. Dee Noval Maliki Nunuy Nurhayati Nur Haryanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurudin Octavio Paz Oliviaks Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pamusuk Eneste Panda MT Siallagan Pandu Jakasurya PDS H.B. Jassin Philipus Parera Pradewi Tri Chatami Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R Sutandya Yudha Khaidar R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rahmat Sutandya Yudhanto Raihul Fadjri Rainer Maria Rilke Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridha al Qadri Ridwan Munawwar Rikobidik Riri Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rizky Andriati Pohan Robert Frost Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Romi Febriyanto Saputro Rosihan Anwar RR Miranda Rudy Policarpus Rukardi S Yoga S. Jai S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Gerilyawan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra SelaSastra ke #24 Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Subhan SD Suci Ayu Latifah Sulaiman Djaya Sulistiyo Suparno Sunaryo Broto Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunudyantoro Suriali Andi Kustomo Suryadi Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Susilowati Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Bahri Syam Sdp Syarif Hidayatullah Tajuddin Noor Ganie Tammalele Tan Malaka Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Tengsoe Tjahjono Th Pudjo Widijanto Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Joko Susilo Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Umar Kayam Undri Uniawati Universitas Indonesia UU Hamidy Vyan Tashwirul Afkar W Haryanto W.S. Rendra Wahyudin Wannofri Samry Warung Boenga Ketjil Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Web Warouw Wijang Wharek Wiko Antoni Wina Bojonegoro Wira Apri Pratiwi Wiratmo Soekito Wishnubroto Widarso Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Wing King WS Rendra Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yosi M. Giri Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Yuyu AN Krisna Zaki Zubaidi Zalfeni Wimra Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhaenal Fanani Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar Zulhasril Nasir