Minggu, 23 Oktober 2011

KETIKA KRITIK SASTRA BERTOLAK PADA PERKIRAAN

(Tanggapan atas Tulisan Didik Wahyudi)
Indiar Manggara *
http://www.facebook.com/

Mengenai pentas drama monolog Merdeka oleh Putu Wijaya beberapa minggu lalu di Gedung Serba Guna UNAIR, nampaknya memunculkan sebuah polemik yang cukup menarik. Sebuah kritik terhadap pentas monolog berdurasi sekitar enam puluh menit ini, pertama kali dilontarkan oleh Ribut Wijoto dalam sebuah esai Catatan Pentas Monolog “Merdeka” Putu Wijaya (Jawa Pos edisi minggu, 23 november 2008).

Salah satu permasalahan utama yang diangkat oleh Ribut adalah luputnya Putu dalam memegang konsistensi logika tekstual pada teks drama monolog Merdeka-nya. Yakni pada adegan seorang cucu yang masih duduk di bangku SD, bertanya pada kakeknya, “Benarkah kita telah merdeka, kek?” Lalu si kakek menjawab dengan panjang lebar dan berkobar-kobar, dengan segala ideologinya yang muluk-muluk. Hal inilah yang dipertanyakan oleh Ribut. Bagaimana mungkin, seorang bocah yang masih duduk di bangku SD, dengan tiba-tiba mempertanyakan hal yang begitu berat tentang kebangsaan—yang mungkin bagi orang dewasa sendiri jarang mempertanyakannya—dan si kakek pun menjawab dengan segala ideologi dan tataran intelektual yang berat pula.

Kemudian, kritik atas kritik dari Ribut Wijoto ini pun muncul. Yakni Didik Wahyudi dengan esainya yang berjudul Dilema Logika dalam Pemaknaan Teks. Dalam tulisannya, Didik menyanggah pendapat dari Ribut. Didik beranggapan bahwa logika tekstual dalam pemaknaan karya sastra tidak harus mutlak ada. Kemudian Didik memperbandingkan teks drama monolog Merdeka karya Putu Wijaya itu dengan puisi-puisi Afrizal Malna, yang mana, dapat dikatakan hampir tidak ada sama sekali logika tekstual di dalamnya.

Mengamati kritik atas kritik yang dilontarkan oleh Didik Wahyudi, nampaknya ada beberapa kejanggalan-kejanggalan yang patut dipertanyakan. Pertama, pada esainya yang berjudul Dilema Logika dalam Pemaknaan Teks, Didik dengan jujur menyatakan sendiri bahwa ia tidak melihat langsung pentas drama monolog Merdeka yang dibawakan oleh Putu Wijaya itu. Lalu, bagaimanakah mengukur validitas kritik atau tanggapan Didik yang ditujukan pada kritik Ribut Wijoto—yang melihat secara langsung pentas drama monolog Merdeka Putu? Meskipun Didik menyatakan bahwa Ribut dengan sangat detailnya mendeskripsikan pentas drama monolog Merdeka Putu Wijaya. Hingga baginya seolah-olah pentas drama monolog tersebut nampak secara visual di mata dan pikirannya. Tetapi masih perlu digaris-bawahi, bahwa pendeskripsian Ribut atas pentas drama monolog Merdeka Putu, ”seolah-olah” tervisualisasikan kembali. Seolah-olah. Tidak dapat dipungkiri bahwa peristiwa-peristiwa sekecil apa pun—yang mungkin tidak terekam dalam pendeskripsian—yang terdapat dalam pentas monolog tersebut, bisa jadi sangat signifikan dalam memberikan sebuah penilaian. Kritik terhadap karya seni tidak dapat dilakukan hanya dengan cara mengira-ngira. Apalagi kritik terhadap kritik.

Kemudian kejanggalan yang kedua adalah usaha Didik untuk menyanggah kritik Ribut—tentang logika tekstual dalam karya sastra—dengan memperbandingkan teks drama monolog Merdeka Putu Wijaya dengan puisi karya Afrizal Malna. Hal ini sebenarnya berkaitan dengan kejanggalan pertama. Yakni ketidak-hadiran Didik dalam pentas tersebut. Pentas drama monolog Merdeka, dibawakan oleh Putu dengan gaya semi realis, dan mengangkat tema-tema yang dekat dengan hal-hal di sekitar kita. Dalam hal ini, drama, seperti kita ketahui, adalah sebuah pemvisualisasian karya sastra dengan memanfaatkan adegan-adegan, yang mana selalu membutuhkan logika tekstual antar peristiwanya, sebagai bentuk pertanggungjawaban. Terlebih lagi pada pementasan drama monolog yang dibawakan oleh Putu Wijaya tersebut mengangkat lakon Merdeka. Tema tentang kebangsaan dan sosial. Perihal yang sangat dekat dengan kehidupan kita sehari-hari. Kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia (ditandai dengan pemasangan bendera merah putih). Sebuah pesan atau informasi penting yang ditujukan pada berbagai kalangan masyarakat Indonesia. Bagaimana pesan tersebut dapat diterima dengan baik oleh masyarakat, apabila masyarakat—audience—sendiri menganggap mustahil pada apa yang disampaikan. Pesan dengan peristiwa yang common sense-nya gagal.

Sementara itu, puisi Afrizal Malna dimanfaatkan oleh Didik sebagai contoh atas pendapatnya tentang ketidak-harusan logika tekstual “ada” dalam pemaknaan karya sastra. Nampaknya di sini, Didik terkesan terburu-buru. Puisi memang merupakan genre karya sastra yang “tidak menuntut” adanya logika tekstual pada setiap kalimat atau peristiwanya secara eksplisit. Sebab puisi seringkali memanfaatkan permainan-permainan simbol yang jauh dari logika pikir, demi tujuan estetis karyanya. Terlebih lagi puisi-puisi Afrizal Malna yang dikenal absurd. Puisi Afrizal merupakan puisi yang langsung berbicara pada tingkat pemaknaan lapis kedua. Atau meminjam istilah dari Ribut Wijoto sendiri, semiotik lapis kedua. Afrizal tidak begitu mengeksplor puisi-puisinya ke dalam tahap semiotik yang pertama—yang dapat dinikmati oleh pembaca hanya dengan tahap pembacaan heuristik. Tetapi sekali lagi perlu digaris-bawahi bahwa karya Afrizal adalah puisi dan absurd.

Akan berbeda lagi apabila puisi-puisi Afrizal tersebut ditransformasikan menjadi sebuah teks drama dan dipentaskan. Tentu saja puisi-puisi Afrizal akan mengalami proses pembedahan naskah. Yang mana langkah paling utama dan pokok—meminjam istilah Budi Darma—adalah Making out the plain sense of poetry. Melakukan pemindahan puisi menjadi sebuah peristiwa-peristiwa yang saling berkesinambungan, logis secara tekstual, tanpa menghilangkan simbol-simbol atau pun metafor. Pemindahan makna secara harfiah, bukan pemindahan dengan penafsiran.

Jadi, dapat dikatakan bahwa sanggahan Didik terhadap kritik Ribut dengan cara memperbandingkan teks drama monolog Merdeka karya Putu Wijaya dengan puisi-puisi Afrizal Malna adalah sangat tidak tepat. Sebab, teks monolog Merdeka karya Putu Wijaya adalah berada pada tataran jenis drama yang mencoba mengangkat kehidupan realita masyarakat Indonesia, dengan mengusung hal-hal kesehariannya. Sehingga sangat diperlukannya logika tekstual dan logika peristiwa. Sedangkan puisi-puisi Afrizal, adalah puisi. Yang langsung meloncat pada tataran simbol. Sangat jauh mengesampingkan pembacaan awal dengan sifat informatif.

Mungkin kritik Ribut Wijoto yang mempermasalahkan logika tekstual dalam teks drama monolog Merdeka karya Putu Wijaya, akan menjadi masalah, atau terlihat mengada-ada, apabila Putu menjelaskan latar belakang si cucu tersebut. Seperti, mungkin si cucu pernah mendengar pernyataan tentang kesangsian bahwa bangsa Indonesia telah merdeka, dari orang yang lebih dewasa atau memiliki intelektual yang pantas, dsb. Tetapi sayangnya, tidak. Karya sastra yang mengusung kehidupan sehari-hari dengan gaya yang sederhana, tidak akan bisa dilepaskan sejauh mungkin dari mainstream masyarakatnya. Toh, yang dimaksud Ribut dengan logika tekstual dalam teks drama monolog Merdeka karya Putu Wijaya, adalah pada segi penyampaian peristiwanya. Bukan pemaknaan.***

*) Indiar Manggara lahir di Surabaya, 9 mei 1985. Saat ini sedang menyelesaikan program studi S1 di Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya UNAIR Surabaya. Aktif dalam dunia tulis menulis. Beberapa karyanya—cerpen, puisi dan esai—pernah dimuat di media massa lokal. Puisi-puisinya sempat tergabung dalam antologi puisi bersama “Kentrung Jancukan” dan dialih-rupakan ke bentuk lukisan oleh beberapa teman-teman pelukis DKJT dan UNESA. Cerpen-cerpennya juga pernah divisualkan ke bentuk komik. Pernah berperan sebagai aktor utama dalam film indie berjudul “Labirin” yang disutradarai oleh Seger Susastro. Saat ini aktif tergabung di berbagai komunitas kebudayaan dan kesenian: Komunitas CDR (Cak Die Rezim), Komunitas Teater GAPUS Surabaya, penggagas dan mantan ketua PAKAR SAJEN (Paguyuban Karawitan Sastra Jendra) FIB UNAIR, LKJT (Lembaga Kajian Jawa Timur), dan KMUDI Lepas (Komunitas Studi Lepas). Sekarang bertempat tinggal di Surabaya di JL. Dupak Bandarejo 2 no.22.

Dijumput dari: http://www.facebook.com/note.php?note_id=265438709232

Tidak ada komentar:

A Musthafa A Rodhi Murtadho A Wahyu Kristianto A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Wachid BS Abdullah al-Mustofa Abdullah Khusairi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimanyu Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Maulani Adek Alwi Adhi Pandoyo Adrian Ramdani Ady Amar Afrizal Malna Agnes Rita Sulistyawati Aguk Irawan Mn Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Subiyakto Agus Sulton Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahm Soleh Ahmad Farid Tuasikal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Luthfi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadie Thaha Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rasyid AJ Susmana Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander Aur Alexander G.B. Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Rif’an Aliela Alimuddin Alit S. Rini Alunk Estohank Ami Herman Amich Alhumami Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminudin TH Siregar Ammilya Rostika Sari An. Ismanto Anaz Andaru Ratnasari Andhi Setyo Wibowo Andhika Prayoga Andong Buku #3 Andrenaline Katarsis Andri Cahyadi Angela Anies Baswedan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Sudibyo Anton Wahyudi Anwar Holid Anwar Siswadi Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Zulkifli Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayu Utami Azyumardi Azra Babe Derwan Bagja Hidayat Balada Bandung Mawardi Bayu Agustari Adha Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Bernadette Lilia Nova Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Bhakti Hariani Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budi Winarto Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Bustan Basir Maras Camelia Mafaza Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cecep Syamsul Hari Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Choirul Rikzqa D. Dudu A.R D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Dantje S Moeis Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Darmanto Jatman Dedy Tri Riyadi Delvi Yandra Denny JA Denny Mizhar Dewi Anggraeni Dian Basuki Dian Hartati Dian Sukarno Dian Yanuardy Diana AV Sasa Dinar Rahayu Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi Warsidi Edy Firmansyah EH Kartanegara Eka Alam Sari Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil Amir Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Evan Ys F. Budi Hardiman Fadly Rahman Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fani Ayudea Fariz al-Nizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatkhul Aziz Felix K. Nesi Film Fitri Yani Franditya Utomo Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Garna Raditya Gde Artawan Geger Riyanto Gendhotwukir George Soedarsono Esthu Gerakan Surah Buku (GSB) Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Tri Atmojo H. Supriono Muslich H.B. Jassin Hadi Napster Halim H.D. Hamberan Syahbana Hamidah Abdurrachman Han Gagas Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Priyatna Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasan Junus Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Helwatin Najwa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendriyo Widi Ismanto Hepi Andi Bastoni Heri Latief Heri Listianto Herry Firyansyah Heru Untung Leksono Hikmat Darmawan Hilal Ahmad Hilyatul Auliya Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur Husnun N Djuraid I Nyoman Suaka Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilenk Rembulan Ilham khoiri Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Budi Santosa Imelda Imron Arlado Imron Tohari Indiar Manggara Indira Margareta Indra Darmawan Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ingki Rinaldi Insaf Albert Tarigan Intan Hs Isbedy Stiawan ZS Ismail Amin Ismi Wahid Ivan Haris Iwan Gunadi Jacob Sumardjo Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean-Marie Gustave Le Clezio JJ. Kusni Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Julika Hasanah Julizar Kasiri Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kadir Ruslan Kartika Candra Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Ketut Yuliarsa KH. Ma'ruf Amin Khaerudin Khalil Zuhdy Lawna Kholilul Rohman Ahmad Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Krisandi Dewi Kritik Sastra Kucing Oren Kuswinarto Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lenah Susianty Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto M Shoim Anwar M. Arman A.Z. M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Harya Ramdhoni M. Kasim M. Latief M. Wildan Habibi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria hartiningsih Maria Serenada Sinurat Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Marsus Banjarbarat Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masriadi Mawar Kusuma Wulan Max Arifin Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Mezra E. Pellondou Micky Hidayat Mihar Harahap Misbahus Surur Moh Samsul Arifin Moh. Syafari Firdaus Mohamad Asrori Mulky Mohammad Afifuddin Mohammad Fadlul Rahman Muh Kholid A.S. Muh. Muhlisin Muhajir Arifin Muhamad Sulhanudin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Azka Fahriza Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Nafi’ah Al-Ma’rab Naskah Teater Nezar Patria Nina Setyawati Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noor H. Dee Noval Maliki Nunuy Nurhayati Nur Haryanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurudin Octavio Paz Oliviaks Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pamusuk Eneste Panda MT Siallagan Pandu Jakasurya PDS H.B. Jassin Philipus Parera Pradewi Tri Chatami Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R Sutandya Yudha Khaidar R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rahmat Sutandya Yudhanto Raihul Fadjri Rainer Maria Rilke Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridha al Qadri Ridwan Munawwar Rikobidik Riri Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rizky Andriati Pohan Robert Frost Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Romi Febriyanto Saputro Rosihan Anwar RR Miranda Rudy Policarpus Rukardi S Yoga S. Jai S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Gerilyawan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra SelaSastra ke #24 Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Subhan SD Suci Ayu Latifah Sulaiman Djaya Sulistiyo Suparno Sunaryo Broto Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunudyantoro Suriali Andi Kustomo Suryadi Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Susilowati Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Bahri Syam Sdp Syarif Hidayatullah Tajuddin Noor Ganie Tammalele Tan Malaka Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Tengsoe Tjahjono Th Pudjo Widijanto Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Joko Susilo Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Umar Kayam Undri Uniawati Universitas Indonesia UU Hamidy Vyan Tashwirul Afkar W Haryanto W.S. Rendra Wahyudin Wannofri Samry Warung Boenga Ketjil Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Web Warouw Wijang Wharek Wiko Antoni Wina Bojonegoro Wira Apri Pratiwi Wiratmo Soekito Wishnubroto Widarso Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Wing King WS Rendra Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yosi M. Giri Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Yuyu AN Krisna Zaki Zubaidi Zalfeni Wimra Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhaenal Fanani Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar Zulhasril Nasir