Salamet Wahedi
http://www.suarapembaruan.com/
Mengenangnya, apalagi menceritakannya kepada kalian, sosoknya begitu membebani pikiranku. Bagaimana tidak? Sosoknya begitu kontroversial. Kata-katanya ceplas-ceplos. Tetapi penuh tekanan dan hikmah. Tingkah lakunya, setali tiga uang dengan ucapannya. Pakaiannya, ala kadarnya. Compang-camping seperti gelandangan lazimnya. Pekerjaannya hanya memunguti kaleng, botol, atau gelas air minum bekas.
Entah bagaimana aku mesti menceritakan kepada kalian. Sebagai pemungut sampah, ia tampak rapi dan bersih. Sebagai gelandangan, ia memiliki rasa dan karsa. Dianggap penjahat pun, ia jauh dari sosok kriminal. Entah siapa dia sebenarnya?
"Aku hanya seorang pemulung. Pemulung kaleng bekas. Botol dan gelas air minum bekas. Juga pemulung kata-kata bekas. Peristiwa demi peristiwa yang membekas," ujarnya pada suatu pagi. Ia datang kepadaku saat aku celingukan. Kemudian dituturkannya sepotong hikayat tentang seorang kakek yang hidup dengan satu istri dan empat anak. Penghasilannya hanya didapat dari upah penjualan lencak kaju1 yang dipasarkannya. Satu lencak kaju, memberinya Rp 7,500.
"Kakek yang menyita perhatianku," lanjutnya. Ia bercerita penuh intonasi dan penghayatan. Matanya selalu menerawang jauh, hingga pada detik yang penuh inspirasi.
"Suatu hari", lanjutnya. "Aku berkesempatan bertemu dengannya. Wajahnya lusuh, tapi tidak menampakkan aura yang lumpuh. Tuturnya lembut. Kilat matanya penuh imajinasi. Sesekali, ia tersenyum. Apalagi, ketika mendengar berita huru-hara, senyumnya semakin menampakkan kematangan. Senyum yang mengembang dari mental kokoh," ia terus bercerita.
Di sela-sela ceritanya, ia menegaskan makna dan hikmah setiap kejadian 'penting'. Ceritanya mengingatkan aku akan nenek. Nenek yang selalu berdongeng menjelang tidur. Dongeng yang selalu diterjemahkan: buah apa yang bisa kita petik?
Dan seperti kebiasaannya, ia selalu mengakhiri ceritanya dengan sebait ucapan filosofis. "Aku tidak makan sama manusia. Aku makan kepada Tuhanku," tegas kakek itu, ujarnya dengan tatapan sayu. Sunggingan senyumnya seperti hendak menusuk dada pendengarnya.
Ah, mungkin ia pendongeng? Tapi aku selalu dihinggapi keraguan, kegamangan setiap menebak dirinya. Namanya pun, aku selalu sangsi: Kron, Danto, Cobik, Centong, dan sederet nama lainnya. Aku selalu ditertawakan setiap kali memanggilnya.
"Ah apalah arti sebuah nama? Mengenang Shakespeare terlalu lapuk," selorohnya. "Sebagai doa, ia terlalu singkat"
"Lalu?"
Ia tertawa. Tawa yang membangkitkan gairah. Aku mengenangnya karena tawanya yang berteknik ini.
*
Kali pertama aku menemukan namanya di sebuah halaman koran: Kron! Puisi-puisinya begitu rancak. Puisi yang lahir dari kejernihan. Puisi yang tidak menyita kening berkerut. Puisi yang bersahaja.
Kali pertama aku bertemu dengannya, juga mengesankan bahwa ia seorang penyair. Mungkin juga sastrawan. Tapi setelah pertemuan kedua kalinya, kesanku berbeda lagi. Petuah-petuahnya, bahkan ide-ide yang ditungkannya dalam cerita-ceritanya, menandaskan keyakinanku akan sosoknya yang lain: kiai atau dai, atau pemangku adat!
"Pesan apa Mang?" suara Bu Dango membuatku tergeragap. Aku angkat mukaku. Dan kulihat sumringah Bu Dango secerah pagi.
"Sudah baca cerpen tentang aku?" suara Bu Dango menampakkan kebanggaan. Binar matanya memancar bahagia. "Warung Tepi Kali, judulnya".
"Kron itu pemuda yang hebat, Mang," sejenak Bu Dango duduk di dekatku. Tangan ringkihnya meletakkan kopi susu pesananku.Suatu sore, ia datang padaku. Ia utarakan niatnya untuk berbagi cerita denganku. Aku pun bercerita. Bu Dango menerawang jauh. Kata-katanya seperti tetesan hujan. Begitu ritmis. Meski sesekali laksana hempasan ombak menghantam karang. Tidak karuan. Kata-kata yang terus berletusan dari bibir keriputnya. Legam dan berkerut.
Aku akui, cerita Kron tentang Bu Dango sungguh menggugah. Kehidupan orang cilik. Seorang penjaga warung. Pendapatan rata-rata Rp 20.000 per hari. Tanggungan keluarga lima orang. Disuguhkan lewat narasi yang runtut. Bahkan, bumbu kesewenang-wenangan penguasa kepada orang cilik seperti Bu Dango, semisal penggusuran warung Bu Dango yang sudah ketiga kalinya, menyegarkan kilasan ingatan kita akan realita yang biasa direkam siaran televisi. Siaran bernuansa berita dan tragedi. Masih berdasar pengakuan Bu Dango, juga sedikit pendapatku, Kron kadang-kadang seperti para pengarang 'kiri'. Di sini pun, aku curiga: jangan-jangan Kron penganut paham komunis! Kalau ya, apakah ia salah? Apakah ia tidak boleh mengeluarkan pendapatnya tentang diorama hidup yang suram dan penuh intrik para bandit ini?!
"Meski omongannya terasa beraroma kiri, Kron juga salat," tepis Bu Dango buru-buru. Lalu lanjutnya, "Kron memiliki kepekaan yang tidak dimiliki orang sembarangan. Tidak hanya aku yang diangkatnya dalam cerita-ceritanya. Kasus Bu Wiwit, tetangga sebelah ibu, selesai, berkat tulisan Kron. Ia tidak pandang bulu membantu orang. Ketulusannya dalam membantu orang seperti kami, telah terbukti. Waktu ia mendampingi Bu Aslan," sejenak Bu Dango menggantung ceritanya.
"Cerita apa ya?" Pak Kandeng nampang di ambang pintu. Ia memesan kopi item dan sebatang rokok. "Cerita tentang Kron, toh?" Pak Kandeng mengelap keringat yang menetas di dahinya. "Kron tidak hanya peka. Ia begitu halus dan tulus menerjemahkan fragmen hidup. Ia cerdas dan tangkas menanggapi. Pendapat-pendapatnya tidak asal."
"Enggak makan Pak?" Suara Bu Dango dari dapur memotong kata-kata Pak Kandeng. Pak Kandeng tersenyum kecil. Lalu, ia memutuskan tidak makan. Lalu melanjutkan kenangnya akan sosok Kron. "Tafsir Al-Qur'annya juga fasih. Ia mampu menangkap dan menerangkan isinya amat detailnya. Amat terangnya bagi kami yang tidak tahu-menahu apa-apa," tawa Pak Kandeng berderai renyah.
Ah Kron! Perpisahan dengannya, tidak mengurangi akan kehadiran sosoknya. Ia tetaplah sosok yang kontroversial sekaligus menyisakan fenomena kekaguman. Lima hari tidak bertemu dengannya, ternyata referensi tentangnya begitu berlimpah ruah. Referensi yang membuatku semakin ragu dan gamang untuk menebak dan menceritakannya secara pasti: siapa Kron sebenarnya?
*
Aku tidak bisa menceritakannya secara pasti. Belum bisa! Keraguan dan kegamanganku semakin bertumpuk. Pencarianku akan siapa sebenarnya dirinya, hanya menambah kabur pemahamanku. Tetapi hal yang perlu kalian ingat, berdasar simpulanku: Kron orang penuh misteri! Di mataku dan di mata orang-orang sepertiku:Bu Aslan, Bu Dango, Pak Kandeng, dan Bu Wiwit, Kron sosok yang gagah, berani. Ia tak hanya pahlawan. Bahkan, kami diam- diam memimpikannya bak seorang nabi: penuh pencerahan dan totalitas kepekaan sosialnya. Sebaliknya, di mata orang-orang yang jadi lawan kami: penguasa, pemilik modal, Kron adalah ular yang menyimpan bisa, yang sewaktu-waktu akan mematikan mangsanya, lawannya: lawan kami!
Seperti pagi ini, kejanggalan diri Kron terpampang di tengah kota. Di tengah alun-alun. Ia telah membuat penguasa kota marah. Ia digantung di tengah alun-alun.
Tubuhnya compang-camping. Ceceran darah mengering di sekujur pakaiannya. Tapi, bukan aroma amis yang menyeruak sampai jarak lima puluh meter. Seperti dipenuhi semerbak bunga setaman hidungku, saat aku mendekat. Tubuh Kron begitu tirus. Ringkihnya lirih. Suaranya pelan. Sangat pelan. Dan di sekelilingnya, orang-orang tersedu. Mata mereka sembab. Orang yang berbaju putih. Di bawah kelabu langit, gerombolan mereka menguar cahaya. Tubuh Kron menjelma mercusuar di tengah mereka. Tubuh yang tergantung di tiang berlumur darah. Sungguh parade magis!
"Dosa apakah yang kau perbuat kawan?" bisikku di telinganya yang menggema. Telinga yang seolah sarang lebah. Suara-suara yang bertahan di gendang pendengarnya, suara-suara yang begitu akrab. Begitu dekat.
"Dosaku hanya pemulung kawan," senyumnya bangga. Kedua tapuk matanya pun mengisyaratkan perjalanan panjang.
Ya, perjalanan panjang. Sejak saat itu, sejak Kron melempar senyum pada kelabu langit, kelam malam. Sejak Kron menghembuskan napasnya di tiang gantungan, kami pun paham akan posisi kami: "para pemulung!"
Lidahwetan, Maret 2009
*) Salamet Wahedi, Lahir di Sumenep, 03 Mei 1984. Menulis puisi, cerpen, dan esai. Karya-karyanya pernah dipublikasikan di berbagai media, antara lain: Majalah Sastra Horison, Radar Madura, Suara Pembaruan, dan Batam Pos. Juga dalam beberapa antologi: Nemor Kara (antologi puisi Madura, Balai Bahasa Surabaya, 2006), Yaa-sin (antologi puisi santri Jawa Timur, Balai Bahasa Surabaya, 2007), dan lain-lain. Tinggal di di Lidah Wetan, Gang VI No. 24 Surabaya.
Dijumput dari: http://202.169.46.231/News/2009/05/17/Budaya/bud01.htm
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Senin, 19 September 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Musthafa
A Rodhi Murtadho
A Wahyu Kristianto
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Wachid BS
Abdullah al-Mustofa
Abdullah Khusairi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimanyu
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Maulani
Adek Alwi
Adhi Pandoyo
Adrian Ramdani
Ady Amar
Afrizal Malna
Agnes Rita Sulistyawati
Aguk Irawan Mn
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Subiyakto
Agus Sulton
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahm Soleh
Ahmad Farid Tuasikal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Luthfi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadie Thaha
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rasyid
AJ Susmana
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander Aur
Alexander G.B.
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Rif’an
Aliela
Alimuddin
Alit S. Rini
Alunk Estohank
Ami Herman
Amich Alhumami
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminudin TH Siregar
Ammilya Rostika Sari
An. Ismanto
Anaz
Andaru Ratnasari
Andhi Setyo Wibowo
Andhika Prayoga
Andong Buku #3
Andrenaline Katarsis
Andri Cahyadi
Angela
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Sudibyo
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Zulkifli
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayu Utami
Azyumardi Azra
Babe Derwan
Bagja Hidayat
Balada
Bandung Mawardi
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Bernadette Lilia Nova
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Bhakti Hariani
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budi Winarto
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Bustan Basir Maras
Camelia Mafaza
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Choirul Rikzqa
D. Dudu A.R
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Darmanto Jatman
Dedy Tri Riyadi
Delvi Yandra
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Anggraeni
Dian Basuki
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dian Yanuardy
Diana AV Sasa
Dinar Rahayu
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Warsidi
Edy Firmansyah
EH Kartanegara
Eka Alam Sari
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil Amir
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
F. Budi Hardiman
Fadly Rahman
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fani Ayudea
Fariz al-Nizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatkhul Aziz
Felix K. Nesi
Film
Fitri Yani
Franditya Utomo
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Garna Raditya
Gde Artawan
Geger Riyanto
Gendhotwukir
George Soedarsono Esthu
Gerakan Surah Buku (GSB)
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Tri Atmojo
H. Supriono Muslich
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim H.D.
Hamberan Syahbana
Hamidah Abdurrachman
Han Gagas
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Helwatin Najwa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendriyo Widi Ismanto
Hepi Andi Bastoni
Heri Latief
Heri Listianto
Herry Firyansyah
Heru Untung Leksono
Hikmat Darmawan
Hilal Ahmad
Hilyatul Auliya
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husnun N Djuraid
I Nyoman Suaka
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilenk Rembulan
Ilham khoiri
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Budi Santosa
Imelda
Imron Arlado
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Margareta
Indra Darmawan
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ingki Rinaldi
Insaf Albert Tarigan
Intan Hs
Isbedy Stiawan ZS
Ismail Amin
Ismi Wahid
Ivan Haris
Iwan Gunadi
Jacob Sumardjo
Jafar Fakhrurozi
Jajang R Kawentar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean-Marie Gustave Le Clezio
JJ. Kusni
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Julika Hasanah
Julizar Kasiri
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kadir Ruslan
Kartika Candra
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Ketut Yuliarsa
KH. Ma'ruf Amin
Khaerudin
Khalil Zuhdy Lawna
Kholilul Rohman Ahmad
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Krisandi Dewi
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kuswinarto
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lenah Susianty
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
M Shoim Anwar
M. Arman A.Z.
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Harya Ramdhoni
M. Kasim
M. Latief
M. Wildan Habibi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria hartiningsih
Maria Serenada Sinurat
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Marsus Banjarbarat
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masriadi
Mawar Kusuma Wulan
Max Arifin
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Mezra E. Pellondou
Micky Hidayat
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Moh Samsul Arifin
Moh. Syafari Firdaus
Mohamad Asrori Mulky
Mohammad Afifuddin
Mohammad Fadlul Rahman
Muh Kholid A.S.
Muh. Muhlisin
Muhajir Arifin
Muhamad Sulhanudin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Azka Fahriza
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naskah Teater
Nezar Patria
Nina Setyawati
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noor H. Dee
Noval Maliki
Nunuy Nurhayati
Nur Haryanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurudin
Octavio Paz
Oliviaks
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Panda MT Siallagan
Pandu Jakasurya
PDS H.B. Jassin
Philipus Parera
Pradewi Tri Chatami
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rahmat Sutandya Yudhanto
Raihul Fadjri
Rainer Maria Rilke
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridha al Qadri
Ridwan Munawwar
Rikobidik
Riri
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rizky Andriati Pohan
Robert Frost
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Romi Febriyanto Saputro
Rosihan Anwar
RR Miranda
Rudy Policarpus
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Gerilyawan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra
SelaSastra ke #24
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Subhan SD
Suci Ayu Latifah
Sulaiman Djaya
Sulistiyo Suparno
Sunaryo Broto
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunudyantoro
Suriali Andi Kustomo
Suryadi
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Susilowati
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Bahri
Syam Sdp
Syarif Hidayatullah
Tajuddin Noor Ganie
Tammalele
Tan Malaka
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Tengsoe Tjahjono
Th Pudjo Widijanto
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Joko Susilo
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi
Umar Kayam
Undri
Uniawati
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Vyan Tashwirul Afkar
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyudin
Wannofri Samry
Warung Boenga Ketjil
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Web Warouw
Wijang Wharek
Wiko Antoni
Wina Bojonegoro
Wira Apri Pratiwi
Wiratmo Soekito
Wishnubroto Widarso
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Wing King
WS Rendra
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yosi M. Giri
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Yuyu AN Krisna
Zaki Zubaidi
Zalfeni Wimra
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhaenal Fanani
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Zulhasril Nasir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar