Kamis, 22 September 2011

Menuju Kebudayaan Baru itu Meniru Barat

Meneropong Thaha Husein dan Sutan Takdir Alisyahbana
Aguk Irawan Mn
http://www.sinarharapan.co.id/

Di saat gelombang perdebatan Manikebu Vs Lekra bertemu di puncak yang sangat sengit (1950-1965), Mesir juga mengalami persengketaan yang meluap dan tak kalah sengitnya. Permasalahannya juga tak jauh berbeda, yaitu dalam hal dan cita-cita ”mewujudkan kebudayaan baru” persoalan itu digiring melalui konsepsi ”bahasa dan sastra Arab”. Pelaku perdebatan adalah para eksponen modernisasi dan eksponen tradisionalisasi.

Dalam perdebatan tersebut, ada satu nama yang sangat penting. Ia bernama Thaha Husein (1889-1973), sastrawan tunanetra yang pernah menjabat sebagai menteri pendidikan di Mesir (1950-1952). Husein lahir pada tanggal 14 Nopember 1889 di kota kecil Maghargha dari keluarga petani.

Pendidikannya diawali di Kuttab, lembaga pendidikan dasar tradisional, dan kemudian melanjutkan di al-Azhar (1902). Setelah belajar kira-kira sepuluh tahun, ia meninggalkan al-Azhar karena tidak menyukai dan tidak disukai.

Husein kecewa dengan sistem pengajaran al-Azhar yang dogmatis, serta materi pelajarannya yang amat tradisional dan menjemukan. Husein muda melanjutkan pendidikannya di Universitas Cairo, dan di Universitas Sorbonne Prancis. Gelar Doktornya diperoleh di Universitas Cairo dengan disertasi berjudul ”Dhikra Abu al-`Ala’ al-Ma‘ari” sedang di Sarbonne berjudul ”Etude Analitique Et Critique De La Philosophie Sociale Ibnu Khaldun.”

Di Sarbonne, Husein bertemu sederetan ilmuwan ternama, semisal Profesor Emile Durkheim (1858-1917) dalam disiplin ilmu sosiologi. Profesor Gustaf Block dalam disiplin ilmu sejarah (ahli sejarah Romawi), Profesor Casanova dalam ilmu tafsir dan Profesor Pierre Jenet dalam Ilmu Psikologi. Perkenalan itulah yang mewarnai intelektualitas Husein hingga menghasilkan gagasan-gagasan yang sangat kontroversial pada zamannya. Puluhan buku ditulisnya, dan setiap buku mendapat perhatian yang serius di masyarakatnya. Di antara yang populer adalah Fi al-Syi‘ri al-Jahili, ditulis pada tahun 1926, saat ia dipercaya menjadi dosen sejarah sastra Arab pada Fakultas Sastra, al-Ayyam, dan Fi al-Adab al-Jahili (1927), Mustaqbal al-Saqafah fi Misr, dan The Future of Culture in Egypt (1938).

Penyegaran Kembali

Perdebatan diawali saat Thaha Husein mengatakan bahasa dan sastra Arab harus mengalami modernisasi dan ”penyegaran kembali”. Seperti penyair Jerman Friedrich Ruckert, Husein juga mengatakan bahwa sastra adalah lidah utama umat manusia. Sebab kehadirannya bisa menjadi wahana bagi perubahan sosial di zaman modern, serta menghubungkan manusia dengan peradaban di dunia. Ia juga menilai ada sesuatu yang ”getir” pada sastra Arab, yang tetap mempertahankan sastra Jahili (pra-Islam) sejak 14 abad tahun silam.

Selain itu, menurutnya, sastra arab digunakan sebagai penyanggah kekuatan dekadensi bahasa yang justru memperkuat tradisionalisme yang lebih berbau dogma agama dan menentang pembaruan. Maka kebangkitan kembali bahasa dan sastra Arab masa pra-Islam, yang bersifat bebas dan membebaskan adalah sesuatu yang lazim. Bahkan lebih dari itu Husein mengatakan bahwa al-Quran adalah karya sastra dan hasil produk peradaban Arab.

Gagasan Husein saat itu dinilai terlalu ”berani” oleh sejumlah ulama al-Azhar, dan serta- merta ditolak oleh tokoh kebudayaan, semisal Muhammad al-Khudar Husein, Musthafa Shidiq ar-Rafi’i, Muhammad Farid Wajdy, Rasyid Rida, Anwar Jundy dan Maryam Jamelah. Kritik tersebut setidaknya dapat ditelusuri dalam buku Anwar Jundy, Thaha Husayn, Hayatuhu wa fikruhu fi Mizan al-Islam dan Maryam Jamelah, Islam and Modernism atau pada as-Sira’ bayna al-Fikrah al-Islamiyah wa al-Fikrah al-Gharbiyah Fial-Aqtar al-Islamiyah karya Abu al-Hasan ‘Ali al-Husni an-Nadawi.

Namun, Husein tidak sendiri. Penyair terkenal seperti Syauqi Dhaif dan Suhair Al-Qalamawi muncul sebagai pembelanya dan turut menjadi bintang gemerlap dalam perbincangan mengenai pembaruan bahasa dan sastra Arab. Sejak masa itu, muncul mazhab baru bahasa Arab, yang dirasakan sebagai pendorong dinamika dan perubahan sosial.

Menuju kebudayaan baru di Mesir, menurut Husein, harus memiliki kemerdekaan intelektual. Untuk mendapatkannya, tidak ada jalan lain kecuali mengerti cara memperolehnya. Maka umat Islam harus memandang bagaimana bangsa-bangsa yang telah maju mencapai kemerdekaan tersebut. Langkah terakhir adalah bagaimana ilmu pengetahuan yang merdeka tersebut ditransfer ke negeri-negeri Islam. Husein memimpikan bahwa ”otak” Mesir harus berubah sembilan puluh derajat menjadi ”otak” Barat, dengan cara memboyong ”warna” kebudayaan Barat ke segala lini kehidupan masyarakat, sebab Mesir mempunyai pertalian erat dengan ”otak” Yunani.

Menurutnya, pikiran Mesir tidak mempunyai kaitan yang kuat dengan Pikiran Timur, dan juga tidak serasi dengan pikiran Persia atau Iran. Mesir mempunyai ikatan yang teratur, damai dan saling menguntungkan hanya dengan Barat dan Yunani. Perkataan lain adalah bahwa tak ada satu kebodohan yang lebih besar dari anggapan bahwa Mesir sebagai bagian dari Timur dan memandang pemikiran Mesir sebagai pemikiran Timur, semisal India atau Cina. Atas dasar itulah Thaha Husein mengajak orang-orang Mesir memiliki peradaban Barat sebagai peradaban mereka, dan bersekutu dengan Barat dalam semua norma, cara perasaan dan perundangan.

Polemik Kebudayaan

Di tanah Air hal serupa juga terjadi. Peristiwa itu disebut Polemik Kebudayaan (1935-1936). Dalam perdebatan itu, ada anak muda yang resah terhadap negaranya. Ia adalah nama yang penting bagi sejarah kebudayaan Indonesia, yaitu Sutan Takdir Alisyahbana (1908-1994). Ia lahir di Minang 11 Februari 1908, dikenal sebagai penyair, novelis, filsuf, ahli hukum, dan futurolog. Pola pikiran Thaha Husain dan Sutan Takdir memang sejalan. Tak ada yang simpang siur dalam hal dan cita-cita ”mewujudkan kebudayaan baru”.

Latar pendidikan Sutan Takdir adalah sekolah tinggi kehakiman (Rechtshoge school). Jakarta (1941), gelar meester in de rechten (Mr) melekat pada namanya, di samping gelar Profesor dan Doktor. Tahun 1948 ia pergi ke Amsterdam mengunjungi Kongres Filsafat. Sebelumnya, ia sudah belajar filsafat ke Jerman, Belanda, Perancis, AS dan Jepang. Pernah juga menjadi Felllow pada Center for Advanced Studies in the behavioral science, Standart (1956-61) dan East-West Center, Hawaii (1961-62). Tahun 1963-1668 ia menjadi dosen di Kuala Lumpur. Pada tahun 1972 atas dorongannya Kongres Filsafat sedunia terselenggara. Sebagai lanjutan dari Kongres tersebut, bersama budayawan se-Indonesia dan bangsa lain ia mendirikan Association Fort Art Anda the Future, disusul Kongres II (1990). Ia juga menjadi anggota organisasi internasional, antara lain Societe de Linguistique de Paris dan UNESCO, International Commision for the Scientific dan Cultural Development of Mankind and Study of Mankind, USA. Di tahun 1970 ia menerima bintang Satyalencana Kebudayaan oleh Pemerintah Jerman Pada 1976, kemudian ia diangkat sebagai anggota kehormatan dari Koninklijk Instituut voor Tall, Landa en Volkenkunde, Leiden, Belanda.

Puluhan buku juga berhasil ditulisnya, dan setiap buku mendapat perhatian yang serius di masyarakatnya. Yang paling populer adalah roman ide berbentuk novel Layar Terkembang (1936) yang bercerita tentang emasipasi wanita. Disusul Grotta Azzura (1979), Kalah dan Menang (1978) yang berbicara masalah filsafat kebudayaan.

Penyegaran Bahasa dan Sastra

Sebagaimana polemik di Mesir, bagi Sutan Takdir, untuk menuju masyarakat dan kebudayaan baru, harus dimulai dari penyegaran bahasa dan sastra. Dalam pidatonya yang sangat berani Sutan telah mengecam bahwa nyaris tak ada perkembangan bahasa Indonesia—bahkan perkembangannya malah menuju ”pengeromoan”, yang dipegang kaum tradisionalis dan antipembaruan. Ironisnya, keadaan itu justru didukung Lembaga Bahasa Pemerintah saat itu.

Menurutnya bahasa dan sastra adalah jantung kebudayaan sebab terlibat dan menyatu dalam dinamika masyarakat. Maka sebagai reaksi yang nyata, Sutan menampik bentuk sastra lama, jenis pantun dan syair. ”Kita buang dan lupakan saja sastra lama dan kita bangun sastra yang baru” begitulah jargon yang selalu melekat di bibirnya. Berani memang!

Sebagai wujud dari kata-kata itu, ia bergegas membentuk sastra baru, yaitu sastra soneta (1933), dan menerbitkan sekaligus memimpin Pujangga Baru, majalah Indonesia pertama untuk bidang sastra dan budaya. Ia pun menerbitkan buku Kebangkitan Puisi Baru Indonesia. Pada waktu terjadi polemik kebudayaan, Sutan baru berusia 27 tahun. Lewat tulisannya Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru, ia membagi sejarah kita menjadi dua bagian yang sentral, pertama zaman pra-Indonesia sampai akhir abad ke-19, kedua zaman Indonesia.

Menurutnya, zaman Indonesia tidak boleh dianggap sebagai sambungan dari zaman pra-Indonesia yang dikecamnya sebagai zaman jahiliyah Indonesia. Sebab, di sana ada perbedaan yang terlalu jauh. Pada zaman Indonesia, terdapat semangat yang belum ada dalam zaman Jahiliyah Indonesia, yaitu semangat bersatu untuk menuju kebudayaan baru dan layak di sisi bangsa-bangsa lain. Sedang zaman pra-Indonesia adalah zaman yang mirip suku baduwi di Arab yang tak mengenal peradaban dan kebudayaan, ditandai dengan penolakan kebudayaan luar.

Maka dari sinilah, Sutan menghendaki bangsa Indonesia harus lebih dinamis dan maju setapak. Lalu ia memberikan solusi, menawarkan obat yang mujarab bagi penyembuhan luka atas dekadensi zaman jahiliyah Indonesia yang berlangsung lama. Obat pilihan itu adalah memperkenalkan kebudayaan Barat melalui segala lini institusi masyarakat dan pendidikan. Mirip yang terjadi pada Thaha Husein di Mesir, Sutan Takdir juga berpolemik dipicu dari pembentukan kebudayaan baru, dengan mengusung nilai-nilai Barat, sebagai lawan dari kebudayaan Timur yang dianggapnya jumud.

Tapi gagasan ini memang tak diterima semua kalangan. Bahkan ada yang sangat tersinggung. Mereka mengira bahwa Sutan telah mengejeknya sedemikian rupa budaya Timur yang luhur dan santun. Memang Sutan telah menuding bahwa kaum pesantren yang feodal dan Taman Siswa yang egoistis dan materialistis tak mampu membawa napas budaya bangsa yang terpuruk yang hampir ajal.

Maka polemik meledak di Pujangga Baru, surat kabar Suara Umum, Pewarta Deli dan lain-lain. Sutan terjun dengan mata yang menyala dan menyerang tokoh kebudayaan dan pendidikan saat itu. Seperti Sanusi Pane, Poerba Tjaraka, Sutomo, Tjindarbumi, Adinegoro, M. Amir, dan Ki Hajar Dewantara. Sejak saat itu polemik pun terus dimulai, hingga menyeret dialog berbagai tema penting dalam rangka pembangunan kebudayaan Indonesia baru— masa depan ke kancah politik praktis. Saat itu Sutan memang menyerukan untuk membangun integritas individu pencipta budaya, dengan landasan kebebasan kreatif yang demokratis, disertai wawasan internasional. Namun lagi-lagi gagasan itu diadang kelompok yang dipimpin Sanusi Pane dan Ki Hajar Dewantara. Sutan dianggap telah bersekongkol dengan para kolonial Belanda. Sementara itu, tokoh seperti Ki Hajar Dewantara justru ingin menguburkan sisa-sisa kebudayaan kolonial. Selain itu yang ditakutkan oleh Ki Hajar adalah rendahnya tingkat pendidikan rakyat Indonesia. Barangkali inilah yang tidak diperhatikan oleh Sutan Takdir Alisyahbana dengan sikap ekstremnya untuk ”menoleh ke Barat” dalam polemik kebudayaan 1930-an.

Mereka yang menentang Sutan Takdir tidak mengingkari pencapaian-pencapaian kebudayaan Barat. Mereka pun hasil dari pendidikan modern Barat. Yang mereka permasalahkan adalah landasan kebudayaan Indonesia sendiri yang harus kokoh, sehingga siap berdialog dengan budaya Barat. Sebab kalau tidak, ”melihat ke Barat” dari Sutan Takdir akan menjadi sebuah pengabdian.

Tapi kini, kolonial sudah lama hengkang, dan di saat Mesir sudah mulai merasakan sumbangan Thaha Husein. Jepun, India, Taiwan, Korea Selatan, Eropa Timur dan Russia telah melalui proses pencerahan, berkat kesadaran mereka terhadap kebudayaan Barat yang ditandai dengan meningkatnya ilmu pengetahuan. Lantas kebudayan baru dan ”progresif” macam apa yang seharusnya lahir dan berkembang— yang bisa mendorong lahirnya sebuah masyarakat yang demokratis, egaliter, sebagai prasyarat dasar dari seluruh proses penyelesaian setiap krisis, di Indonesia yang terkapar? Barangkali Impian Sutan memang patut diperhitungkan dalam kondisi dewasa ini.

*) Penulis adalah Peneliti Kebudayaan pada LkiS Yogyakarta, dikenal sebagai sastrawan, penyair dan esais.

Tidak ada komentar:

A Musthafa A Rodhi Murtadho A Wahyu Kristianto A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Wachid BS Abdullah al-Mustofa Abdullah Khusairi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimanyu Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Maulani Adek Alwi Adhi Pandoyo Adrian Ramdani Ady Amar Afrizal Malna Agnes Rita Sulistyawati Aguk Irawan Mn Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Subiyakto Agus Sulton Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahm Soleh Ahmad Farid Tuasikal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Luthfi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadie Thaha Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rasyid AJ Susmana Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander Aur Alexander G.B. Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Rif’an Aliela Alimuddin Alit S. Rini Alunk Estohank Ami Herman Amich Alhumami Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminudin TH Siregar Ammilya Rostika Sari An. Ismanto Anaz Andaru Ratnasari Andhi Setyo Wibowo Andhika Prayoga Andong Buku #3 Andrenaline Katarsis Andri Cahyadi Angela Anies Baswedan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Sudibyo Anton Wahyudi Anwar Holid Anwar Siswadi Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Zulkifli Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayu Utami Azyumardi Azra Babe Derwan Bagja Hidayat Balada Bandung Mawardi Bayu Agustari Adha Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Bernadette Lilia Nova Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Bhakti Hariani Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budi Winarto Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Bustan Basir Maras Camelia Mafaza Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cecep Syamsul Hari Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Choirul Rikzqa D. Dudu A.R D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Dantje S Moeis Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Darmanto Jatman Dedy Tri Riyadi Delvi Yandra Denny JA Denny Mizhar Dewi Anggraeni Dian Basuki Dian Hartati Dian Sukarno Dian Yanuardy Diana AV Sasa Dinar Rahayu Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi Warsidi Edy Firmansyah EH Kartanegara Eka Alam Sari Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil Amir Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Evan Ys F. Budi Hardiman Fadly Rahman Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fani Ayudea Fariz al-Nizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatkhul Aziz Felix K. Nesi Film Fitri Yani Franditya Utomo Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Garna Raditya Gde Artawan Geger Riyanto Gendhotwukir George Soedarsono Esthu Gerakan Surah Buku (GSB) Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Tri Atmojo H. Supriono Muslich H.B. Jassin Hadi Napster Halim H.D. Hamberan Syahbana Hamidah Abdurrachman Han Gagas Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Priyatna Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasan Junus Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Helwatin Najwa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendriyo Widi Ismanto Hepi Andi Bastoni Heri Latief Heri Listianto Herry Firyansyah Heru Untung Leksono Hikmat Darmawan Hilal Ahmad Hilyatul Auliya Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur Husnun N Djuraid I Nyoman Suaka Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilenk Rembulan Ilham khoiri Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Budi Santosa Imelda Imron Arlado Imron Tohari Indiar Manggara Indira Margareta Indra Darmawan Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ingki Rinaldi Insaf Albert Tarigan Intan Hs Isbedy Stiawan ZS Ismail Amin Ismi Wahid Ivan Haris Iwan Gunadi Jacob Sumardjo Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean-Marie Gustave Le Clezio JJ. Kusni Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Julika Hasanah Julizar Kasiri Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kadir Ruslan Kartika Candra Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Ketut Yuliarsa KH. Ma'ruf Amin Khaerudin Khalil Zuhdy Lawna Kholilul Rohman Ahmad Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Krisandi Dewi Kritik Sastra Kucing Oren Kuswinarto Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lenah Susianty Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto M Shoim Anwar M. Arman A.Z. M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Harya Ramdhoni M. Kasim M. Latief M. Wildan Habibi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria hartiningsih Maria Serenada Sinurat Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Marsus Banjarbarat Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masriadi Mawar Kusuma Wulan Max Arifin Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Mezra E. Pellondou Micky Hidayat Mihar Harahap Misbahus Surur Moh Samsul Arifin Moh. Syafari Firdaus Mohamad Asrori Mulky Mohammad Afifuddin Mohammad Fadlul Rahman Muh Kholid A.S. Muh. Muhlisin Muhajir Arifin Muhamad Sulhanudin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Azka Fahriza Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Nafi’ah Al-Ma’rab Naskah Teater Nezar Patria Nina Setyawati Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noor H. Dee Noval Maliki Nunuy Nurhayati Nur Haryanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurudin Octavio Paz Oliviaks Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pamusuk Eneste Panda MT Siallagan Pandu Jakasurya PDS H.B. Jassin Philipus Parera Pradewi Tri Chatami Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R Sutandya Yudha Khaidar R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rahmat Sutandya Yudhanto Raihul Fadjri Rainer Maria Rilke Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridha al Qadri Ridwan Munawwar Rikobidik Riri Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rizky Andriati Pohan Robert Frost Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Romi Febriyanto Saputro Rosihan Anwar RR Miranda Rudy Policarpus Rukardi S Yoga S. Jai S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Gerilyawan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra SelaSastra ke #24 Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Subhan SD Suci Ayu Latifah Sulaiman Djaya Sulistiyo Suparno Sunaryo Broto Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunudyantoro Suriali Andi Kustomo Suryadi Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Susilowati Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Bahri Syam Sdp Syarif Hidayatullah Tajuddin Noor Ganie Tammalele Tan Malaka Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Tengsoe Tjahjono Th Pudjo Widijanto Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Joko Susilo Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Umar Kayam Undri Uniawati Universitas Indonesia UU Hamidy Vyan Tashwirul Afkar W Haryanto W.S. Rendra Wahyudin Wannofri Samry Warung Boenga Ketjil Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Web Warouw Wijang Wharek Wiko Antoni Wina Bojonegoro Wira Apri Pratiwi Wiratmo Soekito Wishnubroto Widarso Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Wing King WS Rendra Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yosi M. Giri Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Yuyu AN Krisna Zaki Zubaidi Zalfeni Wimra Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhaenal Fanani Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar Zulhasril Nasir