Sabtu, 24 September 2011

Setelah Membaca “Alusi” Pingadi AS

Syaiful Bahri
http://kampung-puisi.blogspot.com/

Catatan pra: sebenarnya saya agak terlambat mendapatkan Alusi. Dulu saya pernah berjanji memesan buku ini pada penulisnya Pringadi AS. Tapi saya ini termasuk orang yang gaptek jadi saya selalu ragu memesan buku lewat jalur transfer.. Saya lebih suka dan sreg membeli buku di toko buku. Uang yang saya tabung di Bank pun tidak pernah saya ambil, karena memang tidak bisa dan selalu gugup masuk ke ATM. Tapi akhirnya saya dapat juga di gramedia royal plaza surabaya.

Sekedar info jangan anggap ini esai, ya? Cuma kesan-kesan aja atau cara saya menikmati puisi-puisi Pingadi AS.
***

Saya diajari oleh buku dan guru bahasa indonesia saya bahwa latar belakang penulis bisa dijadikan instrument untuk masuk dalam sebuah karya sastra. Seperti yang tertulis di biografi di bagian belakang buku ini, Pingadi AS lahir di palembang. Tahun 2005 diterima di ITB sebelum akhirnya terkeluarkan secara tidak resmi, dan kini sedang menempuh pendidikan D3 di STAN Bintaro.

Hmm, makanya sebagian besar puisi-puisinya penuh dengan angka-angka. Unik Tapi susah diselami. Bisa dikatakan puisi-puisinya dibuat dengan sistem tetutup. Tertutup? Maksudnya begini secara analogi bila ada orang bemain catur, kata makan yang diucapkannya bukan makan dalam arti yang seperti biasa. Tapi makan dalam konteks catur. Kita tak akan tahu maksud orang itu bila kita tak tahu dia sedang bermain catur. Begitulah sebagian besar puisi-puisi dalam buku ini dibuat Seperti yang terlihat di:

SETELAH bertahun ia hidup, ia baru sadar
Tak ada i di namanya sendiri. Ia tanya orang
Tuanya yang sudah pikun, dan nekad pergi
Ke dukun biar tahu kenapa tak ada i
Di namanya sendiri?


( Euler )

i disitu bukan berarti huruf i tapi berarti lambang dari kalkulus. Hal yang sama dapat juga ditemui di puisi-puisi dengan judul Preto, Valhalla, SPINTER, Magnitudo, Roronoa dll. Kita bau bisa menikmatinya bila kita tahu apa (atau Siapa) Euler, Preto, Valhalla, SPINTER, Magnitudo, Roronoa dll. Sekedar contoh di puisi berjudul Roronoa. Roronoa adalah nama karakter dalam komik One Piece, nama lengkapnya Roronoa Zoro. Jadi kalau mau menikmatinya anda harus tahu cerita komik itu. Seperti kata skypea anda tidak akan tahu bila tidak membaca komik One Piece. Mungkin inilah yang dimaksudkan Pingadi AS memberi judul antologi puisi tunggalnya dengan Alusi.

Eksperimen Pringadi AS ini memang agak sulit diselami seperti yang dikatakan dalam esai-esai yang sudah. Tapi saya yang punya kecenderungan suka matematika dan angka-angka atau secara garis besar type orang keilmuwan. Saya jadi lebih bisa menikmati puisi-puisi dalam buku ini. Meski agak sulit juga. Melelahkan. Toh saya juga mengalami kenikmatan.

Hasil eksperimen Pringadi AS yang paling berhasil menurut saya terlihat di puisi yang berjudul Segitiga yang dipesembahkan kepada eny sapratilla. Dengan tetap memakai lambang-lambang dari matematika seperti kata segitiga dan persegi. Pringadi berbicara tentang cinta. Saya jadi terbayang cinta segitiga meskipun tidak ada kata yang jelas menyebutkan demikian, terasa tersirat saja. Mungkin karena segitiga dan persegi adalah matematika sederhana. Mudah dipahami. Dan tidak rumit dan menakutkan kayak kalkulus.
***

Pringadi AS juga memotret kehidupan sosial. Protes terhadap beberapa kebijakan pemerintah. Tapi tetap berbicara dengan matematika atau angka (kekayaan, kemiskinan). Dan perilaku-perilaku aneh seperti yang terlihat di puisi Fragmen; Dalam Kereta. Si aku yang terlihat begitu prihatin pada kondisi masyarakat. Seperti banyaknya copet di dalam kereta, tetapi ternyata di ending seakan-akan si Aku lah pencopet itu sendiri. Adegan seperti ini adalah paradoks bagi saya. Bila diteliti atau dipikirkan lebih dalam ternyata pencopet-pencopet itu juga tidak mau menjadi pencopet. tapi karena keadaan yang memaksa.

Pringadi AS juga berbicara tentang kekerasan rumah tangga seperti yang booming diberitakan di tivi. Yang berakhir pada perceraian. Mungkin seperti yang terjadi pada artis-artis. Ini terlihat dari kata air panas, setrika, dan gunting yang menjadi benda rumah:

1
34 bulan tentang penyiksaan
tetap tidak bisa jadi alasan

air panas, setrikaan, dan tusukan gunting
apa pikiranmu sinting?

(Siti)

Memang kecenderungan membela rakyat sudah banyak dilakukan penyair-penyair sebelumnya seperti WS Rendra, Widji Tukul, Emha Ainun Nadjib dll. Tapi Pringadi menurutku punya gaya yang lain. Toh tema seperti ini kan memang perlu ditulis mengingat kondisi negara yang begini. Bukankah kebaruan dalam puisi tidak harus dalam hal tema? Bukankah tema sosial adalah tema abadi dalam puisi? Seperti halnya tema-tema lainnya seperti cinta, kematian, kepahlawanan dll.
***

Pringadi AS tenyata juga melakukan eksperimen lain. Menghianati eksperimen sebelumnya yang belum kelar menurutku. yang tidak lagi bebicara denga angka. Tapi gaya bahasa Alusi atau Alusio masih telihat. Efeknya? Saya lebih menyukai puisi-puisi seperti ini seperti di puisi Minggu Terakhir Bulan Desember

–Minggu, 31/12/06

Kuil, Mesjid, Gereja
Kita harus berdoa?
Meminta tahun berganti
Harap terisi, dan duka
Kian tersisih?

Juga dalam puisi:

– Sabtu, 14/02/2009
Cokelat, pemen, kopi
Kita tidak memutuskan tidur malam ini
Tapi kita bermalam saja
Di gereja tua
Bertukar darah

(Minggu Kedua Bulan Februari)
***

Masih penasaran?

Baiklah saya lanjutkan.

Aduh, beli aja langsung bukunya sana. Capek saya. Kapan-kapan saya lanjutkan lagi. Lagian kalau saya uraikan semua kan tidak seru?

SYAIFUL BAHRI
Pengelola blog www.kampung-puisi.blogspot.com
Dijumput dari: http://kampung-puisi.blogspot.com/2010/01/catatan-pra-sebenarnya-saya-agak.html

Angin September*

Pringadi AS
http://reinvandiritto.blogspot.com/

(Aku ucapkan salam, dari lubuk terdalam)

Langit-langit, lalu langit.

Kautahu, angin September selalu menawarkan cinta; asmara muda berwarna jingga, cumbu anomali pada pancaroba. Bimbang. Nada sumbang. Lebih hampa dari kemarau yang ingin segera hilang; hujan menggempalkan kerinduan.

Dan kita masing-masing berdiri di sini, terenyuh memori. Kautahu, padanya aku pernah mengejar berlarik puisi: derap-derap kaki yang telanjang, langkah lugu malu-malu. Berjingkat di tiap malam, hendak mencuri sebait rindu. “Permisi bu, boleh saya mencuri rindu?” tanyaku lugu. Pukul yang kuraih, bukan restu. Dan kautahu, derap-derap kakiku tak lagi bisu. Lahirkan debu-debu di sepanjang jalan kupulang, dengan kepala tertunduk seolah pungguk yang lepaskan harap kerinduan pada rembulan.

Tidak, aku tak terus menyerah. Aku tak langsung pasrah meski kuaku gundah. Aku malah terus berlari mengejar romantisme yang ingin kusejati. Aku semakin dekat padanya. Kautahu, bahkan aku sudah melihat punggung rindu – tolehkan mukanya kepadaku. Dia berhenti – menatapku. Harap ia tak lagi menjauh. Tapi tangan angkuh itu menggamitnya, senyum sinis padaku. Ia, laki-laki yang mencuri rindu. Menhilangkan harap yang pernah kugantung di langit biru. Hancurkan rasa seorang lugu. Dan akhirnya, rinduku merandu seperti kapas-kapas putih melayang cipta bayang – tak bisa kuraih.

… Ya, itu kisahku dulu. Kau?

Bahkan Tuhan tak mampu mengubah masa lalu bukan?

Kautahu, cinta itu bukan sekedar pemberian. Tetapi juga penerimaan. Kau juga pasti tahu, aku mencintaimu. Begitu bukan? Kabarnya wanita memiliki indra perasa yang lebih sensitive dari kami – para pria. Indra yang kumaksud bukan kulit alat peraba atau lidah pengecap rasa. Kautahu itu dengan jelas kan?

Kau mungkin tersenyum (atau menertawakanku) yang menganggapmu seolah serba tahu. Kautahu(lagi-lagi), aku tak biasa menulis surat semacam ini. Aku lebih memiih untuk mengerjakan integral lipat tiga dibanding mengunkapkan perasaan ini. Tapi cinta bukanlah pilihan. Cinta adalah keinginan, atau … kebutuhan! Bukan berarti aku ingin menggugat Maslow yang tidak memasukkan cinta sebagai kebutuhan dasar manusia di dalam teori hierarki kebutuhannya.

Ah, sebentar … aku ingin menghela nafas sejenak …

Kau masih ingat dengan Distribusi Bernoulli? Atau kau belum/tidak mempelajarinya? Distribusi Bernoulli adalah percobaan acak yang hasilnya hanya dikategorikan dalam dua kategori: ‘sukses’ dan ‘gagal’. Atau, probabilitas yang ada, (p) dan (1-p). Sekarang aku membayangkan, apakah tindakanku menyatakan perasaan kepadamu ini adalah satu dari sekian n percobaan, atau menjadi satu-satunya dengan X(sukses) =1 ?

Kau bingung?

Kalau iya, baguslah. Aku sengaja membuatmu bingung.

Hehehe … (akhirnya aku bisa tertawa)


Sabriani Suci Zasneda …

Kadang aku merasa geli sendiri, satu tahun kita bersama dalam satu kelas TPB, tapi dapat dihitung dengan jari berapa kali kita saling bertegur sapa. Kautahu, aku masih selalu mengingat setiap momen dimana kau dan aku bertatap muka. Aku masih ingat bagaimana pertama kali kita bertemu. Bukan pertemuan yang istimewa. Aku tidak langsung jatuh cinta pada pandangan pertama. Tidak begitu (sungguh). Butuh beberapa kali tatapan untuk menyadari kau tidak biasa. Ya, kau istimewa. Setidaknya di mataku begitu …

Kauingat, aku sering duduk tepat di belakangmu, atau kadang di sampingmu.

“Maaf, boleh aku pinjam tip-ex?” begitu kalimat pertama yang kuucapkan padamu. Dan dengan cueknya, kau menyodorkan tip-ex berwarna merah dengan tanpa menatapku. Pandanganmu tetap bersikukuh pada De Gauss, julukan untuk dosen kalkulus kita waktu itu. Padahal aku menanti mataku beradu pandang dengan matamu…

Untuk menantikan kudengar suaramu pun hanya kudapatkan di sebuah presentasi mata kuliah olahraga. Kau maju dengan busana berwana krem (kalau tidak salah). Begitu anggun. Rasanya ingin dunia ini hanya ada kau dan aku (yang lain ngontrak aja). Tadinya kupikir suaramu begitu lembut. Tapi ternyata bisa dibilang cempreng. Hehe… Tapi aku tetap mencintaimu kok …

Begitulah hari-hariku, selalu memperhatikanmu. Sampai kupikir kau menyadari bahwa aku memperhatikanmu. Entah, kau menghindar dariku. Tidak pernah lagi memilih untuk duduk di dekatku. Ketika aku di depan, kau pilih belakang. Begitu sebaliknya. Apa benar firasatku… kautahu perasaanku padamu?

Tanpa sadar satu tahun berlalu. Dan kautahu, aku ingin pergi dari tempatku kini. Institut Terbaik Bangsa … mungkin aku akan merindukannya, juga merindukanmu pastinya (karena mungkin kita takkan lagi saling bertemu). Kau tidak bertanya aku mau ke mana? Hmm, aku mau ke sekolah tempat pencetak para birokrat (katanya), yang kautahu, salahsatu tugasnya mengaudit harta para pejabat. Doakan aku ya …
Sabriani …, ada sebuah puisi dari Ibnu Adam Avicena (kalau tidak salah) :

Kalau engkau bunga, bisakah mekar selamanya ?
Kalau engkau bulan, bisakah bersinar selamanya?
Kalau engkau cinta, bisakah menjaga selamanya?
Kalau tidak bisa, bisakah bisa?

Maksa ya? “Kalau tidak bisa, bisakah bisa?”

Sabriani …

I do … I do really love you…



Seperti yang kuungkap di awal, ada sekelumit kisahku dulu. Bukan apa-apa, aku hanya ingin kautahu bahwa aku telah membuka diriku untukmu. Terserah padamu, mau memasukinya atau tidak. Kau sudah kuberikan kuncinya. Kau bisa saja menutup pintu yang sudah kubuka, menguncinya rapat-rapat, lalu melempar kuncinya kembali ke dalam, atau malah membuangnya. Itu terserahmu …

Hah … Kalau saja suaraku merdu, aku ingin menyayikan sebuah lagu untukmu. Kalau saja aku bisa memainkan alat music, aku memilih biola untuk kuperdengarkan kepadamu. Kalau saja aku memiliki harta berlimpah, tentu saja aku akan menabungnya di bank (lho?)

… Apa kau juga tertawa?

Ah, sudah. Lelah jariku mengikuti nafas dan detak jantungku. Malam sudah larut. Cintaku takkan surut. Kalau kita berjodoh, kita akan bertemu lagi …

Salam hangat, dari seorang perindu yang cemas.

prince_math2005@students.itb.ac.id

(sengaja kutuliskan emailku, agar kau mau membalas surat ini. Atau jangan-jangan kau tak tahu namaku karena kita belum pernah berkenalan secara resmi?)

*) Termuat dalam buku Kepada Cinta (Gagas Media, 2009)

Pringadi Abdi Surya (semenjak terbit antologi Puisinya “Alusi” oleh penerbit PUstaka puJAngga, Juni 2009, mengubah nama penanya: Pringadi AS). Lahir 18 Agustus 1988. Beberapa kali memenangkan lomba cerpen seperti HOLY Award dari kabarindonesia dan juara harapan di kolomkita. Puisi-puisinya juga pernah dimuat di beberapa portal sastra seperti kompas.com dan fordisastra.

Tuhan Tidak Perlu Dibela

Abdurrahman Wahid
TEMPO, 28 Juni 1982

Sarjana X yang baru menamatkan studi di luar negeri pulang ke tanah air. Delapan tahun ia tinggal di negara yang tak ada orang muslimnya sama sekali. Di sana juga tak satu pun media massa Islam mencapainya.

Jadi pantas sekali X terkejut ketika kembali ke tanah air. Di mana saja ia berada, selalu dilihatnya ekspresi kemarahan orang muslim. Dalam khotbah Jum’at yang didengarnya seminggu sekali. Dalam majalah Islam dan pidato para mubaligh dan da’i.

Terakhir ia mengikuti sebuah lokakarya. Di sana diikutinya dengan bingung uraian seorang ilmuan eksata tingkat top, yang menolak wawasan ilmiah yang diikuti mayoritas para ilmuwan seluruh dunia, dan mengajukan ‘teori ilmu’ pengetahuan Islam ‘ sebagai alternatif.

Bukan penampilan alternatif itu sendiri yang merisaukan sarjana yang baru pulang itu, melainkan kepahitan kepada wawasan ilmu pengetahuan moderen yang terasa di sana. Juga idealisasi wawasan Islam yang juga belum jelas benar apa batasannya bagi ilmuwan yang berbicara itu.

Semakin jauh X merambah ‘rimba kemarahan’ kaum muslimin itu semakin luas dilihatnya wilayah yang dipersengketakan antara wawasan ideal kaum muslimin dan tuntutan modernisasi. Dilihatnya wajah berang dimana-mana: di arsip proses pelarangan cerpen Ki Panji Kusmin Langit Makin Mendung. Dalam desah napas putus asa dari seorang aktivis organisasi Islam ketika ia mendapati X tetap saja tidak mau tunduk kepada keharusan menempatkan ‘merk Islam’ pada kedudukan tertinggi atas semua aspek kehidupan. X bahkan melihat wajah kemarahan itu dalam serangan yang tidak kunjung habis terhadap ‘informasi salah’ yang ditakuti akan menghancurkan Islam. Termasuk semua jenis ekspresi diri, dari soal berpakaian hingga Tari Jaipongan.

Walaupun gelar Doktor diperolehnya dalam salah satu cabang disiplin ilmu-ilmu sosial, X masih dihadapkan pada kepusingan memberikan penilaian atas keadaan itu. Ia mampu memahami sebab-sebab munculnya gejala ‘merasa terancam selalu’ yang demikian itu. Ia mampu menerangkannya dari mulut dari sudut pandangan ilmiah, namun ia tidak mampu menjawab bagaimana kaum muslimin sendiri dapat menyelesaikan sendiri ‘keberangan’ itu menyangkut aspek ajaran agama yang paling inti. Diluar kompetensinya, keluhnya dalam hati.

Karena itu diputuskannya untuk pulang kampung asal, menemui pamannya yang jadi kiai pesantren. Jagoan ilmu fiqh ini disegani karena pengakuan ulama lain atas ketepatan keputusan agama yang dikeluarkannya. Si ‘paman kiai’ juga merupakan perwujudan kesempurnaan perilaku beragama di mata orang banyak.

Apa jawab yang diperoleh X ketika ia mengajukan ‘kemusykilan’ yang dihadapinya itu? “Kau sendiri yang tidak tabah, Nak. Kau harus tahu, semua sikap yang kau anggap kemarahan itu adalah pelaksanaan tugas amar ma’ruf nahi munkar,” ujar sang paman dengan kelembutan yang mematikan. “Seharusnya kaupun bersikap begitu pula, jangan lalu menyalahkan mereka”.

Terdiam tidak dapat menjawab, X tetap tidak menemukan apa yang dicarinya. Orang muda ini lalu kembali ke ibu kota. Mencari seorang cendekiawan muslim kelas kakap, siapa tahu dapat memberikan jawaban yang memuaskan hati. Dicari yang moderat, yang dianggap mampu menjembatani antara formalisme agama dan tantangan dunia modern kepada agama.

Ternyata lagi-lagi kecewa,”Sebenarnya kita harus bersyukur mereka masih mengemukakan gagasan alternatif parsial ideologis terhadap tatanan yang ada!” demikian jawaban yang diperolehnya. Ia tidak mampu mengerti mengapa kemarahan itu masih lebih baik dari kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi.

Orang muda yang satu ini tercenung tanpa mampu merumuskan apa yang seharusnya ia pikirkan. Haruskah pola berpikirnya diubah secara mendasar, mengikuti keberangan itu sendiri?

Akhirnya, ia diajak seorang kawan seprofesi untuk menemui seorang guru tarekat. Dari situlah ia memperoleh kepuasan. Jawabannya ternyata sederhana saja. “Allah itu Maha Besar. Ia tidak perlu memerlukan pembuktian akan kebesaran-Nya. Ia Maha Besar karena Ia ada. Apa yang diperbuat orang atas diri-Nya, sama sekali tidak ada pengaruhnya atas wujud-Nya dan atas kekuasaan-Nya.

Al-Hujwiri mengatakan: bila engkau menganggap Allah ada karena engkau merumuskannya, hakikatnya engkau menjadi kafir. Allah tidak perlu disesali kalau ia “menyulitkan” kita. Juga tidak perlu dibela kalau orang menyerang hakikat-Nya. Yang ditakuti berubah adalah persepsi manusia atas hakikat Allah, dengan kemungkinan kesulitan yang diakibatkannya.”

Kalau diikuti jalan pikiran kiai tarekat itu, informasi dan ekspresi diri yang dianggap merugikan Islam sebenarnya tidak perlu ‘dilayani’. Cukup diimbangi dengan informasi dan ekspresi diri yang “positif konstruktif”. Kalau gawat cukup dengan jawaban yang mendudukan persoalan secara dewasa dan biasa-biasa saja. Tidak perlu dicari-cari.

Islam perlu dikembangkan, tidak untuk dihadapkan kepada serangan orang. Kebenaran Allah tidak akan berkurang sedikit pun dengan adanya keraguan orang. Maka iapun tenteram. Tidak lagi merasa bersalah berdiam diri. Tuhan tidak perlu dibela, walaupun juga tidak menolak dibela. Berarti atau tidaknya pembelaan, akan kita lihat dalam perkembangan di masa depan.

Dijumput dari: http://gusdurnet.tripod.com/klasik/82/820628ag.html

Kamis, 22 September 2011

Menuju Kebudayaan Baru itu Meniru Barat

Meneropong Thaha Husein dan Sutan Takdir Alisyahbana
Aguk Irawan Mn
http://www.sinarharapan.co.id/

Di saat gelombang perdebatan Manikebu Vs Lekra bertemu di puncak yang sangat sengit (1950-1965), Mesir juga mengalami persengketaan yang meluap dan tak kalah sengitnya. Permasalahannya juga tak jauh berbeda, yaitu dalam hal dan cita-cita ”mewujudkan kebudayaan baru” persoalan itu digiring melalui konsepsi ”bahasa dan sastra Arab”. Pelaku perdebatan adalah para eksponen modernisasi dan eksponen tradisionalisasi.

Dalam perdebatan tersebut, ada satu nama yang sangat penting. Ia bernama Thaha Husein (1889-1973), sastrawan tunanetra yang pernah menjabat sebagai menteri pendidikan di Mesir (1950-1952). Husein lahir pada tanggal 14 Nopember 1889 di kota kecil Maghargha dari keluarga petani.

Pendidikannya diawali di Kuttab, lembaga pendidikan dasar tradisional, dan kemudian melanjutkan di al-Azhar (1902). Setelah belajar kira-kira sepuluh tahun, ia meninggalkan al-Azhar karena tidak menyukai dan tidak disukai.

Husein kecewa dengan sistem pengajaran al-Azhar yang dogmatis, serta materi pelajarannya yang amat tradisional dan menjemukan. Husein muda melanjutkan pendidikannya di Universitas Cairo, dan di Universitas Sorbonne Prancis. Gelar Doktornya diperoleh di Universitas Cairo dengan disertasi berjudul ”Dhikra Abu al-`Ala’ al-Ma‘ari” sedang di Sarbonne berjudul ”Etude Analitique Et Critique De La Philosophie Sociale Ibnu Khaldun.”

Di Sarbonne, Husein bertemu sederetan ilmuwan ternama, semisal Profesor Emile Durkheim (1858-1917) dalam disiplin ilmu sosiologi. Profesor Gustaf Block dalam disiplin ilmu sejarah (ahli sejarah Romawi), Profesor Casanova dalam ilmu tafsir dan Profesor Pierre Jenet dalam Ilmu Psikologi. Perkenalan itulah yang mewarnai intelektualitas Husein hingga menghasilkan gagasan-gagasan yang sangat kontroversial pada zamannya. Puluhan buku ditulisnya, dan setiap buku mendapat perhatian yang serius di masyarakatnya. Di antara yang populer adalah Fi al-Syi‘ri al-Jahili, ditulis pada tahun 1926, saat ia dipercaya menjadi dosen sejarah sastra Arab pada Fakultas Sastra, al-Ayyam, dan Fi al-Adab al-Jahili (1927), Mustaqbal al-Saqafah fi Misr, dan The Future of Culture in Egypt (1938).

Penyegaran Kembali

Perdebatan diawali saat Thaha Husein mengatakan bahasa dan sastra Arab harus mengalami modernisasi dan ”penyegaran kembali”. Seperti penyair Jerman Friedrich Ruckert, Husein juga mengatakan bahwa sastra adalah lidah utama umat manusia. Sebab kehadirannya bisa menjadi wahana bagi perubahan sosial di zaman modern, serta menghubungkan manusia dengan peradaban di dunia. Ia juga menilai ada sesuatu yang ”getir” pada sastra Arab, yang tetap mempertahankan sastra Jahili (pra-Islam) sejak 14 abad tahun silam.

Selain itu, menurutnya, sastra arab digunakan sebagai penyanggah kekuatan dekadensi bahasa yang justru memperkuat tradisionalisme yang lebih berbau dogma agama dan menentang pembaruan. Maka kebangkitan kembali bahasa dan sastra Arab masa pra-Islam, yang bersifat bebas dan membebaskan adalah sesuatu yang lazim. Bahkan lebih dari itu Husein mengatakan bahwa al-Quran adalah karya sastra dan hasil produk peradaban Arab.

Gagasan Husein saat itu dinilai terlalu ”berani” oleh sejumlah ulama al-Azhar, dan serta- merta ditolak oleh tokoh kebudayaan, semisal Muhammad al-Khudar Husein, Musthafa Shidiq ar-Rafi’i, Muhammad Farid Wajdy, Rasyid Rida, Anwar Jundy dan Maryam Jamelah. Kritik tersebut setidaknya dapat ditelusuri dalam buku Anwar Jundy, Thaha Husayn, Hayatuhu wa fikruhu fi Mizan al-Islam dan Maryam Jamelah, Islam and Modernism atau pada as-Sira’ bayna al-Fikrah al-Islamiyah wa al-Fikrah al-Gharbiyah Fial-Aqtar al-Islamiyah karya Abu al-Hasan ‘Ali al-Husni an-Nadawi.

Namun, Husein tidak sendiri. Penyair terkenal seperti Syauqi Dhaif dan Suhair Al-Qalamawi muncul sebagai pembelanya dan turut menjadi bintang gemerlap dalam perbincangan mengenai pembaruan bahasa dan sastra Arab. Sejak masa itu, muncul mazhab baru bahasa Arab, yang dirasakan sebagai pendorong dinamika dan perubahan sosial.

Menuju kebudayaan baru di Mesir, menurut Husein, harus memiliki kemerdekaan intelektual. Untuk mendapatkannya, tidak ada jalan lain kecuali mengerti cara memperolehnya. Maka umat Islam harus memandang bagaimana bangsa-bangsa yang telah maju mencapai kemerdekaan tersebut. Langkah terakhir adalah bagaimana ilmu pengetahuan yang merdeka tersebut ditransfer ke negeri-negeri Islam. Husein memimpikan bahwa ”otak” Mesir harus berubah sembilan puluh derajat menjadi ”otak” Barat, dengan cara memboyong ”warna” kebudayaan Barat ke segala lini kehidupan masyarakat, sebab Mesir mempunyai pertalian erat dengan ”otak” Yunani.

Menurutnya, pikiran Mesir tidak mempunyai kaitan yang kuat dengan Pikiran Timur, dan juga tidak serasi dengan pikiran Persia atau Iran. Mesir mempunyai ikatan yang teratur, damai dan saling menguntungkan hanya dengan Barat dan Yunani. Perkataan lain adalah bahwa tak ada satu kebodohan yang lebih besar dari anggapan bahwa Mesir sebagai bagian dari Timur dan memandang pemikiran Mesir sebagai pemikiran Timur, semisal India atau Cina. Atas dasar itulah Thaha Husein mengajak orang-orang Mesir memiliki peradaban Barat sebagai peradaban mereka, dan bersekutu dengan Barat dalam semua norma, cara perasaan dan perundangan.

Polemik Kebudayaan

Di tanah Air hal serupa juga terjadi. Peristiwa itu disebut Polemik Kebudayaan (1935-1936). Dalam perdebatan itu, ada anak muda yang resah terhadap negaranya. Ia adalah nama yang penting bagi sejarah kebudayaan Indonesia, yaitu Sutan Takdir Alisyahbana (1908-1994). Ia lahir di Minang 11 Februari 1908, dikenal sebagai penyair, novelis, filsuf, ahli hukum, dan futurolog. Pola pikiran Thaha Husain dan Sutan Takdir memang sejalan. Tak ada yang simpang siur dalam hal dan cita-cita ”mewujudkan kebudayaan baru”.

Latar pendidikan Sutan Takdir adalah sekolah tinggi kehakiman (Rechtshoge school). Jakarta (1941), gelar meester in de rechten (Mr) melekat pada namanya, di samping gelar Profesor dan Doktor. Tahun 1948 ia pergi ke Amsterdam mengunjungi Kongres Filsafat. Sebelumnya, ia sudah belajar filsafat ke Jerman, Belanda, Perancis, AS dan Jepang. Pernah juga menjadi Felllow pada Center for Advanced Studies in the behavioral science, Standart (1956-61) dan East-West Center, Hawaii (1961-62). Tahun 1963-1668 ia menjadi dosen di Kuala Lumpur. Pada tahun 1972 atas dorongannya Kongres Filsafat sedunia terselenggara. Sebagai lanjutan dari Kongres tersebut, bersama budayawan se-Indonesia dan bangsa lain ia mendirikan Association Fort Art Anda the Future, disusul Kongres II (1990). Ia juga menjadi anggota organisasi internasional, antara lain Societe de Linguistique de Paris dan UNESCO, International Commision for the Scientific dan Cultural Development of Mankind and Study of Mankind, USA. Di tahun 1970 ia menerima bintang Satyalencana Kebudayaan oleh Pemerintah Jerman Pada 1976, kemudian ia diangkat sebagai anggota kehormatan dari Koninklijk Instituut voor Tall, Landa en Volkenkunde, Leiden, Belanda.

Puluhan buku juga berhasil ditulisnya, dan setiap buku mendapat perhatian yang serius di masyarakatnya. Yang paling populer adalah roman ide berbentuk novel Layar Terkembang (1936) yang bercerita tentang emasipasi wanita. Disusul Grotta Azzura (1979), Kalah dan Menang (1978) yang berbicara masalah filsafat kebudayaan.

Penyegaran Bahasa dan Sastra

Sebagaimana polemik di Mesir, bagi Sutan Takdir, untuk menuju masyarakat dan kebudayaan baru, harus dimulai dari penyegaran bahasa dan sastra. Dalam pidatonya yang sangat berani Sutan telah mengecam bahwa nyaris tak ada perkembangan bahasa Indonesia—bahkan perkembangannya malah menuju ”pengeromoan”, yang dipegang kaum tradisionalis dan antipembaruan. Ironisnya, keadaan itu justru didukung Lembaga Bahasa Pemerintah saat itu.

Menurutnya bahasa dan sastra adalah jantung kebudayaan sebab terlibat dan menyatu dalam dinamika masyarakat. Maka sebagai reaksi yang nyata, Sutan menampik bentuk sastra lama, jenis pantun dan syair. ”Kita buang dan lupakan saja sastra lama dan kita bangun sastra yang baru” begitulah jargon yang selalu melekat di bibirnya. Berani memang!

Sebagai wujud dari kata-kata itu, ia bergegas membentuk sastra baru, yaitu sastra soneta (1933), dan menerbitkan sekaligus memimpin Pujangga Baru, majalah Indonesia pertama untuk bidang sastra dan budaya. Ia pun menerbitkan buku Kebangkitan Puisi Baru Indonesia. Pada waktu terjadi polemik kebudayaan, Sutan baru berusia 27 tahun. Lewat tulisannya Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru, ia membagi sejarah kita menjadi dua bagian yang sentral, pertama zaman pra-Indonesia sampai akhir abad ke-19, kedua zaman Indonesia.

Menurutnya, zaman Indonesia tidak boleh dianggap sebagai sambungan dari zaman pra-Indonesia yang dikecamnya sebagai zaman jahiliyah Indonesia. Sebab, di sana ada perbedaan yang terlalu jauh. Pada zaman Indonesia, terdapat semangat yang belum ada dalam zaman Jahiliyah Indonesia, yaitu semangat bersatu untuk menuju kebudayaan baru dan layak di sisi bangsa-bangsa lain. Sedang zaman pra-Indonesia adalah zaman yang mirip suku baduwi di Arab yang tak mengenal peradaban dan kebudayaan, ditandai dengan penolakan kebudayaan luar.

Maka dari sinilah, Sutan menghendaki bangsa Indonesia harus lebih dinamis dan maju setapak. Lalu ia memberikan solusi, menawarkan obat yang mujarab bagi penyembuhan luka atas dekadensi zaman jahiliyah Indonesia yang berlangsung lama. Obat pilihan itu adalah memperkenalkan kebudayaan Barat melalui segala lini institusi masyarakat dan pendidikan. Mirip yang terjadi pada Thaha Husein di Mesir, Sutan Takdir juga berpolemik dipicu dari pembentukan kebudayaan baru, dengan mengusung nilai-nilai Barat, sebagai lawan dari kebudayaan Timur yang dianggapnya jumud.

Tapi gagasan ini memang tak diterima semua kalangan. Bahkan ada yang sangat tersinggung. Mereka mengira bahwa Sutan telah mengejeknya sedemikian rupa budaya Timur yang luhur dan santun. Memang Sutan telah menuding bahwa kaum pesantren yang feodal dan Taman Siswa yang egoistis dan materialistis tak mampu membawa napas budaya bangsa yang terpuruk yang hampir ajal.

Maka polemik meledak di Pujangga Baru, surat kabar Suara Umum, Pewarta Deli dan lain-lain. Sutan terjun dengan mata yang menyala dan menyerang tokoh kebudayaan dan pendidikan saat itu. Seperti Sanusi Pane, Poerba Tjaraka, Sutomo, Tjindarbumi, Adinegoro, M. Amir, dan Ki Hajar Dewantara. Sejak saat itu polemik pun terus dimulai, hingga menyeret dialog berbagai tema penting dalam rangka pembangunan kebudayaan Indonesia baru— masa depan ke kancah politik praktis. Saat itu Sutan memang menyerukan untuk membangun integritas individu pencipta budaya, dengan landasan kebebasan kreatif yang demokratis, disertai wawasan internasional. Namun lagi-lagi gagasan itu diadang kelompok yang dipimpin Sanusi Pane dan Ki Hajar Dewantara. Sutan dianggap telah bersekongkol dengan para kolonial Belanda. Sementara itu, tokoh seperti Ki Hajar Dewantara justru ingin menguburkan sisa-sisa kebudayaan kolonial. Selain itu yang ditakutkan oleh Ki Hajar adalah rendahnya tingkat pendidikan rakyat Indonesia. Barangkali inilah yang tidak diperhatikan oleh Sutan Takdir Alisyahbana dengan sikap ekstremnya untuk ”menoleh ke Barat” dalam polemik kebudayaan 1930-an.

Mereka yang menentang Sutan Takdir tidak mengingkari pencapaian-pencapaian kebudayaan Barat. Mereka pun hasil dari pendidikan modern Barat. Yang mereka permasalahkan adalah landasan kebudayaan Indonesia sendiri yang harus kokoh, sehingga siap berdialog dengan budaya Barat. Sebab kalau tidak, ”melihat ke Barat” dari Sutan Takdir akan menjadi sebuah pengabdian.

Tapi kini, kolonial sudah lama hengkang, dan di saat Mesir sudah mulai merasakan sumbangan Thaha Husein. Jepun, India, Taiwan, Korea Selatan, Eropa Timur dan Russia telah melalui proses pencerahan, berkat kesadaran mereka terhadap kebudayaan Barat yang ditandai dengan meningkatnya ilmu pengetahuan. Lantas kebudayan baru dan ”progresif” macam apa yang seharusnya lahir dan berkembang— yang bisa mendorong lahirnya sebuah masyarakat yang demokratis, egaliter, sebagai prasyarat dasar dari seluruh proses penyelesaian setiap krisis, di Indonesia yang terkapar? Barangkali Impian Sutan memang patut diperhitungkan dalam kondisi dewasa ini.

*) Penulis adalah Peneliti Kebudayaan pada LkiS Yogyakarta, dikenal sebagai sastrawan, penyair dan esais.

Selasa, 20 September 2011

Gerilya Khusyuk Pengabdi Sastra

Zaki Zubaidi
http://www.seputar-indonesia.com/

Sejak tahun 2009 diskusi sastra di Galeri Surabaya Jalan Pemuda mulai menggeliat lagi. Setiap bulan sekali para sastrawan muda berkumpul dalam acara Halte Sastra.

Menggelar kegiatan rutin nirlaba semacam ini butuh kekhusyukan tak berujung. Ribut Wijoto, sebagai koordinator pelaksana Halte Sasta telah melakoninya. Baginya hal itu merupakan bentuk pengabdian dari seorang penyair yang gagal. Berikut wawancara Harian SINDO dengan Ribut Wijoto.

Sejak kapan kenal sastra?

Sejak tahun 1994, ketika terlibat di komunitas Gapus (Gardu Puisi).Kebetulan saya tahun itu diterima masuk di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Unair.

Saat itu langsung tertarik atau hanya sekadar tahu?

Langsung tertarik dong. Saya kan kuliah di Sastra Indonesia. Jadi klop, bertemu dengan arek-arek yang gendeng sastra.Apalagi,saat itu,saya sangat kagum dengan gaya pembacaan puisi Panji K Hadi.Dan juga, terkesima dengan Sony Karsono yang bicara soal Sastra Perancis.Tapi asline,hanya terpesona thok,karena tetap tidak mengerti Sastra Perancis.

Lalu wujud dari ketertarikan tersebut apa?

Pertama tentu saja ingin seperti mereka (Panji dan Sony). Saat itu, saya sampai hafal beberapa puisi Panji. Soal Sony, akhirnya, saya menjadi gemar berburu buku-buku sastra.Dan karena Sony pula, saya akhirnya akrab dengan puisi-puisi Afrizal Malna, yang akhirnya saya pakai untuk bahan skripsi.

Berarti Anda jatuh cinta pada puisi? Lalu kapan mulai menulis puisi?

Mmhh…ya,saya falling in love.. Sejak tahun itu langsung menulis puisi. Soalnya saya ini terlibat dalam komunitas. Jadi begitu tertarik langsung praktik.

Judul puisi pertama Anda dapat inspirasi dari mana atau siapa?

Sudah lupa deh.Kalau dulu itu,menulis puisi sudah seperti industri. Bisa setiap hari berproduksi. Trus, kita seringkali tidak bersandar pada tema.Kita lebih banyak belajar tentang teknik. Misalkan baru saja baca puisi Subagio Sastrowardoyo, kita ingin tahu bagaimana strategi tekstualnya. Bagaimana dia membangun imajinasi. Membangun metafor. Kerap kali, tema berada di urutan belakang. Dalam satu tema, bisa ditulis beberapa puisi. Hanya saja,pembahasaannya yang berbeda- beda.

Apa yang Anda dapat dari menulis puisi tersebut? Kepuasan atau ada hal lain?

Saya merasa diri lebih bermakna, itu saja. Bagaimana saya dengan berpuisi,bisa memaparkan apa yang saya rasakan. Apa yang saya pikirkan. Lebih dari itu, saya bisa berbagi. Berkomunikasi dengan orang lain. Apalagi ketika puisi muncul di media. Itu sungguh luar biasa. Sampai kemudian,saya merasa bahwa anggapan saya tentang puisi adalah salah. Makanya, saya lebih memilih untuk berhenti menulis puisi.

Anggapan yang salah itu bagaimana?

Menulis puisi itu agung.Seorang penyair harus memberi kontribusi kepada dua wilayah. Berkontribusi ke masyarakat dan kepada dunia kepenyairan. Menulis puisi itu tidak bisa sekadar gagah-gagahan. Menulis puisi itu sulit. Kita harus benar-benar bertaruh dengan kondisi sosial atau budaya di masyarakat. Meresponnya. Sehingga, karya puisi kita tidak berada di atas angin.Puisi memiliki jejak.

Dia adalah respon penyair terhadap dunianya (realitas).Misalkan puisi HU Mardi Luhung.Itu merupakan respon Mardi terhadap realitas keseharian yang dia hadapi. Tentang Gresik. Tentang pesisiran dan ganasnya industri (Petro dan Semen Gresik). Yang kedua soal kontribusi di dunia kepenyairan, kita tidak menulis di awal tradisi. Penyair sekarang merupakan satu tahap dari tahapan-tahapan lain yang telah dirintis oleh penyair sebelumnya.

Sehingga tidak asal nulis.Ketika menulis, harus mempertimbangkan tradisi yang telah dibangun oleh Amir Hamzah, oleh Chairil Anwar, oleh Sutardji, oleh Gunawan Muhammad, oleh Sapardi Djoko Darmono, Afrizal Malna, dan lain-lainnya. Penyair adalah para pencipta tradisi. Bukan sekadar mengungkapkan perasaan dengan kalimat-kalimat yang indah. Nah, saya melihat, temanteman di Gapus memiliki kesadaran seperti itu.

Apakah itu karena Anda terlalu mencintai sastra?

Setelah itu tidak berkarya lagi? Saya mengagumi temanteman yang menulis karya sastra. Mereka adalah orang-orang yang memiliki perspektif tajam sekaligus rendah hati.

Karena kekaguman itu Anda lalu menjadi penulis artikel atau esai?

Iya. Selain mendapatkan honor,menulis esai itu bisa menularkan gagasan.Hehehehe…

Termasuk juga dengan membuat acara rutin Halte Sastra?

Benar.Menulis karya sastra, bagaimanapun buruknya, tetap penting untuk dihargai.Sebab, karya sastra merupakan ungkapan personal. Dengan karya sastra, orang memiliki pemikiran dan perspektif personal. Itu tentu penting di tengah gempuran opini dan gosip yang dibangun oleh media massa (televisi).Sehingga,acara sastra kudu disemarakkan agar orang-orang tetap menulis karya sastra.

Cerita awalnya bagaimana?

Waktu itu,Juni 2009.Pengurus Dewan Kesenian Surabaya (DKS) baru saja dilantik.Ketua Komite Sastranya Didik Wahyudi, kebetulan saya dekat dengan dia. Melalui serangkaian obrolan warung kopi,kami bersepakat bahwa Galeri Surabaya terlalu sering dipakai untuk pameran lukisan. Acara sastranya sangat jarang. Makanya, kami menggagas sebuah acara yang bisa digelar secara rutin sebulan sekali. Acara itu kita namai Halte Sastra. Nama itu berasal dari Didik. Saya kurang tahu apa maksudnya acara sastra kok dinamai halte. Saat itu, saya manut saja.Yang penting acara terealisasi.

Posisi Anda sendiri di Halte Sastra? Kok sampai-sampai acara tersebut identik dengan Anda?

Saya hanya koordinator pelaksana Halte Sastra.Dari awal Halte Sastra dilaksanakan (Juli 2009), Didik tidak pernah datang. Dia hanya memberi saransaran. Sampai kira-kira berjalan satu tahun, dalam menjalankan Halte Sastra,saya masih berkonsultasi dengan Didik. Termasuk menentukan para penyairnya. Justru dalam pelaksanaannya, saya secara teknis lapangan, dibantu oleh Hanif Nasrullah, Diana AV Sasa, dan Suyitno.

Adakah peristiwa yang berkesan?

Yang paling menyakitkan, ketika saya menjadwalkan Halte Sastra dengan format diskusi sastra kota.Pembicaranya Imam Muhtarom dan Riadi Ngasiran.Tiba-tiba Hanif Nashrullah protes.Dia tidak setuju Riadi mengisi acara.Dia minta dibatalkan. Jika saya tidak mau, dia akan keluar dari manajemen Halte Sastra. Karena saya terlanjur menawari Riadi dan dia sudah menyanggupi, acara tetap saya gelar.

Lantas?

Imbasnya,Hanif keluar dari Halte Sastra. Bahkan, dalam beberapa bulan saya tidak disapa. Untungnya,Hanif akhirnya mau kembali mendukung Halte Sastra.

Apakah Halte Sastra sudah sesuai harapan?

Belum.Masih banyak karya yang mentah.

Harapan untuk Halte Sastra ke depan?

Semoga menjadi lebih baik dan mampu melahirkan sastrawan- sastrawan muda yang bisa memberi warna bagi kesustraan Indonesia.

Sampai kapan Anda menangani Halte Sastra?

Entah. Saya sendiri tidak tahu. Bisa saja masih lama tapi bisa saja berhenti tiba-tiba.

13 September 2011

Pengikut Sesat Sang Penyair

D. Dudu AR
http://nasional.kompas.com/

Puisi atau sajak adalah kumpulan larik, bait, syair yang ditulis dari renungan penyair. Pengalaman hidup seorang penyair dikontemplasikan sebagai bahan atau endapan yang kemudian ditulis dalam bentuk karya sastra puisi atau sajak. Banyak kata-kata indah, pilu, miris, berontak, dan gundah menghiasi puisi atau sajak. Tidak mudah mewujudkan kata-kata bermetafora dalam sebuah puisi, perlu proses dan perenungan untuk mengungkapkannya, sehingga menghasilkan puisi yang mapan, terutama bagi para pemula. Menulis puisi perlu sensitivitas jiwa, hal ini diperlukan untuk memudahkan seseorang dalam membaca ruang lingkungan dan pustaka serta mengendapkan bahan renungan yang pada akhirnya menghasilkan kiasan-kiasan (metafora) natural. Metafora yang alami akan terasa dahsyat tatkala pembaca mengapresiasi hasil karya puisi tersebut. Berbeda dengan metafora yang dibuat-buat, rasanya hambar dan janggal.

Penyair yang berpengalaman tidak gegabah mencurahkan renungan-renungannya ke dalam puisi. Banyak hal yang harus diperhatikan selain mengungkapkannya ; semiotika, sintaktis, metafora, alegori, unsur intrinsik-ekstrinsik, rancang bangun, dan semuanya itu dibiarkan mengalir. Setelah puisi dibuat, kemudian diendapkan, lalu direvisi sebagai bentuk evaluasi sebelum dipublish ke wilayah publik adalah hal yang lumrah dilakukan seperti penyair-penyair ternama masa lalu seperti Chairil Anwar penyair angkatan 45. Hal tersebut dilakukan semata-mata keperluan tela’ah akhir si penyair terhadap karya puisinya, agar benar-benar layak dikonsumsi pembaca (apresiator).

Karya puisi maestro sangat digemari para pemula, banyak yang dapat dipelajari, sebagai referensi dan tentunya inspirasi dalam perjalanan seseorang yang ingin serius belajar membuat puisi atau sajak. Tidak sedikit pula yang mengkultuskan salah satu penyair yang dielu-elukan pengikutnya. Hal ini tidak disadari oleh beberapa kalangan yang merasa ‘mazhab’ mereka yang paling hebat dalam kesusasteraan Nusantara ataupun dengan alasan lainnya. Bagi saya, tidak perlu mengkultuskan penyair manapun, kecuali Allah SWT. Rupanya, ada yang dilupakan oleh sebagian penyair ini tentang ayat “para penyair yang diikuti orang-orang sesat”.

Patut direnungkan oleh kita semua, sebuah ayat Al Qur’an yang sangat wajib dibaca oleh setiap muslim yang menyukai sastra khususnya. Ayat tersebut menggugah hati saya yang senang mengapresiasi salah satu karya sastra yaitu puisi. Untuk itu sebagai pribadi merasa perlu menelusur dan menela’ahnya agar tidak salah tafsir.

Setelah berdiskusi dengan Drs. Edi Hendri M. M. Pd., salah satu Dosen UPI Kampus Tasikmalaya dan Pemuka Agama, Kamis (07/09), memberi pencerahan dan pemahaman kepada saya yang hampir stagnan. Satu pertanyaan gundah saya seputar ayat di atas, dijelaskan sangat rinci dan lengkap oleh beliau. Kenapa ayat Al Qur’an (Asy-Syu’ara, 26 : 227) menyatakan penyair itu diikuti orang-orang sesat? Beliau menjelaskan, pertanyaan semisal ini pernah ditanyakan Hasan bin Tsabit sebagai sahabat sekaligus penyair Nabi ketika turun ayat yang mencela penyair jahiliyah, dan Rasulullah saw menegaskan: “bukan kamu yg dimaksud!”. Di zaman Imam Ali bin Abi Thalib pun ada penyair pecinta Ahlulbait namanya Farazdaq yang berusia panjang hingga masa cucu Imam Ali yakni Imam Ali Zainal Abidin (yang juga sangat piawai dalam bersyair). Salah satu puisi Farazdaq yang mahsyur adalah qashidahnya yang menyanjung Imam Ali Zainal Abidin di hadapan penguasa pembenci ahlulbait sehingga penguasa itu merasa dipermalukan .

Menurut beliau, para mufasir mejelaskan arti kalimat mengembara di tiap lembah ayat di atas, para penyair yang diikuti orang-orang sesat itu suka mempermainkan kata-kata yang mereka sendiri tak tahu makna dan tujuannya, hanya ekspresi angan-angan dan tidak didasari keyakinan apa pun, kecuali mengobral kata-kata hampa. Intinya, setiap kata-kata yang terkandung dalam sebuah puisi harus dipertanggungjawabkan secara horizontal maupun vertikal. Artinya, visi dan misi yang ingin disampaikan si penyair harus sesuai dengan aqidah keyakinan dan tidak hanya fokus kepada permainan-permainan kata yang omong kosong belaka. Agar dirinya dan yang menela’ah karyanya tidak terjebak kepada khayal dan angan yang justeru menenggelamkan hakikat kebenaran kepada lembah kesesatan. Apalagi membangkang kebenaran yang telah diwahyukan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW dalam Al Qur’an.

Beliau juga melanjutkan penjelasannya tentang tradisi syair atau karya sastra Imam Ali, Hasan bin Tsabit maupun Farazdaq (yang didedikasikan untuk kebenaran) diteruskan oleh para pemikir sufi. Mereka menyusun gagasan-gagasan dakwah dan tarbiyah dalam bentuk puisi yang berpengaruh luas di kalangan umat Islam. Kebiasaan membuat nadzam (puitisasi) untuk mempermudah mempelajari ilmu-ilmu fiqh, sharaf-nahwu (tata bahasa Arab), dan ilmu-ilmu lain yang terwariskan hingga kini di lingkungan pesantren-pesantren Salafiyah (konvensional-tradisional) merupakan contoh nyata. Termasuk juga penggunaan-penggunaan aforisma (kata-kata mutiara) dari kitab-kitab susunan para ulama sufi klasik. Sebab titik-tolak dari karya sastra sufi adalah Alquran surat Asy-Syu’aro, terutama ayat 224-227.

Oleh karena itu, penyair dan puisi sufi, selalu punya visi dan misi yang jelas. Puisi-puisi mereka bertujuan mendorong kemuliaan akhlak dan semangat pembenahan masyarakat. Di luar ekstrimitas temporer, beberapa penyair sufi dalam menafsirkan kaidah dan aplikasi iman dan ibadah ritual, seperti Ibnu Arabi ( abad 13), Jalaluddin Rumi (abad 14), dll., beberapa penyair sufi malah cenderung konvensionalis-puritanis. Seperti karya-karya Hafidz, Saadi, Firdausi, Fariduddin Attar, Al Junaid, Bisyr Harits, dan sebagainya.

Jadi, maksud penyair yang diikuti orang-orang sesat, seperti dijelaskan ayat di atas adalah orang-orang yang memintal angan dan khayalnya ke dalam puisi tanpa substansi kebenaran yang diusung dalam karyanya. Mereka berputar-putar saja dalam metafora yang kosong, hampa, dan salah kaprah secara semantik (pemaknaan). Sesuai dengan tujuan para pendahulu (Islam), puisi adalah salah satu media sastra untuk menuangkan ungkapan-ungkapan tentang kemuliaan, kebenaran, dan pembenahan moral masyarakat yang sepatutnya kita tiru pada era sekarang.

Pada dasarnya, kesesatan dan manusia itu seperti dua sisi mata uang, sangat dekat jaraknya. Baik yang berstatus tukang becak, tukang sampah, pemuka agama, guru, menteri, presiden, dsb, bisa tersesat dan selalu diikuti setan. Karena, setan akan selalu menjerumuskan makhluk Tuhan, seperti janjinya, mulai tidak sujud (hormat) di depan Adam hingga akhir dunia, bukan penyair saja. Selama kebenaran-kebenaran yang menjadi ayat Tuhan tidak dipegang, di sanalah setan beraksi, menggoda siapa saja tanpa melihat status sosial seseorang. Yang penting manusia-manusia tersesat, jatuh ke lembah maksiat agar menemani setan dan konco-konconya di neraka laknat.

18 September 2010
_________________________
*) PENULIS adalah guru SDN. Perumnas 1 Cisalak Kecamatan Cipedes dan Pimpinan Pondok Media (Citizen Journalism Forum). Karya puisi dan artikelnya dimuat di HU. Kabar Priangan, Harian Pagi Radar Tasikmalaya, HU. Kabar Cirebon, Majalah Ekspresi Denpasar Bali, dan website nasional.

Senin, 19 September 2011

Sang Pemulung

Salamet Wahedi
http://www.suarapembaruan.com/

Mengenangnya, apalagi menceritakannya kepada kalian, sosoknya begitu membebani pikiranku. Bagaimana tidak? Sosoknya begitu kontroversial. Kata-katanya ceplas-ceplos. Tetapi penuh tekanan dan hikmah. Tingkah lakunya, setali tiga uang dengan ucapannya. Pakaiannya, ala kadarnya. Compang-camping seperti gelandangan lazimnya. Pekerjaannya hanya memunguti kaleng, botol, atau gelas air minum bekas.

Entah bagaimana aku mesti menceritakan kepada kalian. Sebagai pemungut sampah, ia tampak rapi dan bersih. Sebagai gelandangan, ia memiliki rasa dan karsa. Dianggap penjahat pun, ia jauh dari sosok kriminal. Entah siapa dia sebenarnya?

"Aku hanya seorang pemulung. Pemulung kaleng bekas. Botol dan gelas air minum bekas. Juga pemulung kata-kata bekas. Peristiwa demi peristiwa yang membekas," ujarnya pada suatu pagi. Ia datang kepadaku saat aku celingukan. Kemudian dituturkannya sepotong hikayat tentang seorang kakek yang hidup dengan satu istri dan empat anak. Penghasilannya hanya didapat dari upah penjualan lencak kaju1 yang dipasarkannya. Satu lencak kaju, memberinya Rp 7,500.

"Kakek yang menyita perhatianku," lanjutnya. Ia bercerita penuh intonasi dan penghayatan. Matanya selalu menerawang jauh, hingga pada detik yang penuh inspirasi.

"Suatu hari", lanjutnya. "Aku berkesempatan bertemu dengannya. Wajahnya lusuh, tapi tidak menampakkan aura yang lumpuh. Tuturnya lembut. Kilat matanya penuh imajinasi. Sesekali, ia tersenyum. Apalagi, ketika mendengar berita huru-hara, senyumnya semakin menampakkan kematangan. Senyum yang mengembang dari mental kokoh," ia terus bercerita.

Di sela-sela ceritanya, ia menegaskan makna dan hikmah setiap kejadian 'penting'. Ceritanya mengingatkan aku akan nenek. Nenek yang selalu berdongeng menjelang tidur. Dongeng yang selalu diterjemahkan: buah apa yang bisa kita petik?

Dan seperti kebiasaannya, ia selalu mengakhiri ceritanya dengan sebait ucapan filosofis. "Aku tidak makan sama manusia. Aku makan kepada Tuhanku," tegas kakek itu, ujarnya dengan tatapan sayu. Sunggingan senyumnya seperti hendak menusuk dada pendengarnya.

Ah, mungkin ia pendongeng? Tapi aku selalu dihinggapi keraguan, kegamangan setiap menebak dirinya. Namanya pun, aku selalu sangsi: Kron, Danto, Cobik, Centong, dan sederet nama lainnya. Aku selalu ditertawakan setiap kali memanggilnya.

"Ah apalah arti sebuah nama? Mengenang Shakespeare terlalu lapuk," selorohnya. "Sebagai doa, ia terlalu singkat"

"Lalu?"

Ia tertawa. Tawa yang membangkitkan gairah. Aku mengenangnya karena tawanya yang berteknik ini.

*

Kali pertama aku menemukan namanya di sebuah halaman koran: Kron! Puisi-puisinya begitu rancak. Puisi yang lahir dari kejernihan. Puisi yang tidak menyita kening berkerut. Puisi yang bersahaja.

Kali pertama aku bertemu dengannya, juga mengesankan bahwa ia seorang penyair. Mungkin juga sastrawan. Tapi setelah pertemuan kedua kalinya, kesanku berbeda lagi. Petuah-petuahnya, bahkan ide-ide yang ditungkannya dalam cerita-ceritanya, menandaskan keyakinanku akan sosoknya yang lain: kiai atau dai, atau pemangku adat!

"Pesan apa Mang?" suara Bu Dango membuatku tergeragap. Aku angkat mukaku. Dan kulihat sumringah Bu Dango secerah pagi.

"Sudah baca cerpen tentang aku?" suara Bu Dango menampakkan kebanggaan. Binar matanya memancar bahagia. "Warung Tepi Kali, judulnya".

"Kron itu pemuda yang hebat, Mang," sejenak Bu Dango duduk di dekatku. Tangan ringkihnya meletakkan kopi susu pesananku.Suatu sore, ia datang padaku. Ia utarakan niatnya untuk berbagi cerita denganku. Aku pun bercerita. Bu Dango menerawang jauh. Kata-katanya seperti tetesan hujan. Begitu ritmis. Meski sesekali laksana hempasan ombak menghantam karang. Tidak karuan. Kata-kata yang terus berletusan dari bibir keriputnya. Legam dan berkerut.

Aku akui, cerita Kron tentang Bu Dango sungguh menggugah. Kehidupan orang cilik. Seorang penjaga warung. Pendapatan rata-rata Rp 20.000 per hari. Tanggungan keluarga lima orang. Disuguhkan lewat narasi yang runtut. Bahkan, bumbu kesewenang-wenangan penguasa kepada orang cilik seperti Bu Dango, semisal penggusuran warung Bu Dango yang sudah ketiga kalinya, menyegarkan kilasan ingatan kita akan realita yang biasa direkam siaran televisi. Siaran bernuansa berita dan tragedi. Masih berdasar pengakuan Bu Dango, juga sedikit pendapatku, Kron kadang-kadang seperti para pengarang 'kiri'. Di sini pun, aku curiga: jangan-jangan Kron penganut paham komunis! Kalau ya, apakah ia salah? Apakah ia tidak boleh mengeluarkan pendapatnya tentang diorama hidup yang suram dan penuh intrik para bandit ini?!

"Meski omongannya terasa beraroma kiri, Kron juga salat," tepis Bu Dango buru-buru. Lalu lanjutnya, "Kron memiliki kepekaan yang tidak dimiliki orang sembarangan. Tidak hanya aku yang diangkatnya dalam cerita-ceritanya. Kasus Bu Wiwit, tetangga sebelah ibu, selesai, berkat tulisan Kron. Ia tidak pandang bulu membantu orang. Ketulusannya dalam membantu orang seperti kami, telah terbukti. Waktu ia mendampingi Bu Aslan," sejenak Bu Dango menggantung ceritanya.

"Cerita apa ya?" Pak Kandeng nampang di ambang pintu. Ia memesan kopi item dan sebatang rokok. "Cerita tentang Kron, toh?" Pak Kandeng mengelap keringat yang menetas di dahinya. "Kron tidak hanya peka. Ia begitu halus dan tulus menerjemahkan fragmen hidup. Ia cerdas dan tangkas menanggapi. Pendapat-pendapatnya tidak asal."

"Enggak makan Pak?" Suara Bu Dango dari dapur memotong kata-kata Pak Kandeng. Pak Kandeng tersenyum kecil. Lalu, ia memutuskan tidak makan. Lalu melanjutkan kenangnya akan sosok Kron. "Tafsir Al-Qur'annya juga fasih. Ia mampu menangkap dan menerangkan isinya amat detailnya. Amat terangnya bagi kami yang tidak tahu-menahu apa-apa," tawa Pak Kandeng berderai renyah.

Ah Kron! Perpisahan dengannya, tidak mengurangi akan kehadiran sosoknya. Ia tetaplah sosok yang kontroversial sekaligus menyisakan fenomena kekaguman. Lima hari tidak bertemu dengannya, ternyata referensi tentangnya begitu berlimpah ruah. Referensi yang membuatku semakin ragu dan gamang untuk menebak dan menceritakannya secara pasti: siapa Kron sebenarnya?

*

Aku tidak bisa menceritakannya secara pasti. Belum bisa! Keraguan dan kegamanganku semakin bertumpuk. Pencarianku akan siapa sebenarnya dirinya, hanya menambah kabur pemahamanku. Tetapi hal yang perlu kalian ingat, berdasar simpulanku: Kron orang penuh misteri! Di mataku dan di mata orang-orang sepertiku:Bu Aslan, Bu Dango, Pak Kandeng, dan Bu Wiwit, Kron sosok yang gagah, berani. Ia tak hanya pahlawan. Bahkan, kami diam- diam memimpikannya bak seorang nabi: penuh pencerahan dan totalitas kepekaan sosialnya. Sebaliknya, di mata orang-orang yang jadi lawan kami: penguasa, pemilik modal, Kron adalah ular yang menyimpan bisa, yang sewaktu-waktu akan mematikan mangsanya, lawannya: lawan kami!

Seperti pagi ini, kejanggalan diri Kron terpampang di tengah kota. Di tengah alun-alun. Ia telah membuat penguasa kota marah. Ia digantung di tengah alun-alun.

Tubuhnya compang-camping. Ceceran darah mengering di sekujur pakaiannya. Tapi, bukan aroma amis yang menyeruak sampai jarak lima puluh meter. Seperti dipenuhi semerbak bunga setaman hidungku, saat aku mendekat. Tubuh Kron begitu tirus. Ringkihnya lirih. Suaranya pelan. Sangat pelan. Dan di sekelilingnya, orang-orang tersedu. Mata mereka sembab. Orang yang berbaju putih. Di bawah kelabu langit, gerombolan mereka menguar cahaya. Tubuh Kron menjelma mercusuar di tengah mereka. Tubuh yang tergantung di tiang berlumur darah. Sungguh parade magis!

"Dosa apakah yang kau perbuat kawan?" bisikku di telinganya yang menggema. Telinga yang seolah sarang lebah. Suara-suara yang bertahan di gendang pendengarnya, suara-suara yang begitu akrab. Begitu dekat.

"Dosaku hanya pemulung kawan," senyumnya bangga. Kedua tapuk matanya pun mengisyaratkan perjalanan panjang.

Ya, perjalanan panjang. Sejak saat itu, sejak Kron melempar senyum pada kelabu langit, kelam malam. Sejak Kron menghembuskan napasnya di tiang gantungan, kami pun paham akan posisi kami: "para pemulung!"

Lidahwetan, Maret 2009
*) Salamet Wahedi, Lahir di Sumenep, 03 Mei 1984. Menulis puisi, cerpen, dan esai. Karya-karyanya pernah dipublikasikan di berbagai media, antara lain: Majalah Sastra Horison, Radar Madura, Suara Pembaruan, dan Batam Pos. Juga dalam beberapa antologi: Nemor Kara (antologi puisi Madura, Balai Bahasa Surabaya, 2006), Yaa-sin (antologi puisi santri Jawa Timur, Balai Bahasa Surabaya, 2007), dan lain-lain. Tinggal di di Lidah Wetan, Gang VI No. 24 Surabaya.
Dijumput dari: http://202.169.46.231/News/2009/05/17/Budaya/bud01.htm

Arsenal Utama yang Terlupa

Radhar Panca Dahana*
Kompas,19 Mei 2007

SEMBILAN tahun reformasi berlalu dan Orde Baru tumbang ternyata masih meninggalkan banyak pesimisme di berbagai kalangan. Kritik dan keluhan banyak dilontarkan pada merosotnya kemampuan produksi, daya saing, kreativitas, dan kualitas produk-produk unggulan negeri ini.

Biar tercatat sedikit kemajuan, ia tidak cukup signifikan untuk mengangkat standar hidup, terutama di kalangan rakyat kecil, ke tingkatan yang sama dengan negara-negara tetangga, bahkan pada level yang pernah dicapai pemerintahan Soeharto. Apa yang kini menjadi bahan keributan utama justru urusan-urusan politik, atau segala macam persoalan yang dipandang dari kepentingan politis.

Hal itu tak hanya membuat kita menderita mental “kalahan”, sampai tak mampu berbuat apa-apa ketika beberapa potensi utama bangsa ini “dirampok” atau dipatenkan oleh pihak asing, di mana mereka mengomersialkannya secara global tanpa sisa keuntungan sedikit pun untuk kita.

Dominasi kepentingan politis itu membuat kita lupa pada satu kekuatan utama, yang—dalam sejarah panjang negeri ini—justru membuat bangsa mana pun respek, bahkan mengapresiasinya dengan kekaguman. Di kala semua komoditas ekonomi, sosial, dan politik kita mengalami inflasi di tingkat global, potensi inilah satu-satunya yang dapat mempertahankan nilai dan mutunya.

Mesti diakui, potensi dan produk yang satu ini pula yang selama ini berhasil menjaga wibawa, meningkatkan “harga”, bahkan mendukung—langsung dan tak langsung—sukses diplomasi kita. Potensi itu tidak lain adalah karya kreatif, artistik pada khususnya. Kita menyebutnya karya seni dan kesenian.

Bahkan, sebelum negeri ini secara modern terbentuk dan diakui, kesenian negeri kepulauan ini telah sukses. Tak hanya menerima aplaus, tetapi juga menanam pengaruh yang tajam di beberapa seniman legendaris dunia. Sejak dari masa Raden Saleh, kekaguman Rabindranath Tagore (yang menolak menyatakan Borobudur adalah karya seni derivatif dari India), hingga Claude Debussy, Antonin Artaud, atau Peter Gabriel—antara lain—yang konsep-konsep jenial mereka “meminjam” atau dipengaruhi oleh kekaguman dan studi mereka pada kesenian di kepulauan ini.

Dan itu berlaku hingga hari ini.

Senjata budaya

Betapa pun, dahulu Soekarno—sebagai presiden pertama Indonesia—memiliki perhatian begitu besar pada kesenian. Begitu pun KH Abdurrahman Wahid, presiden keempat, memiliki keterlibatan kental dengan hidup kesenian. Akan tetapi, tetap saja seni sebagai sebagai “kekuatan”—kultural, ekonomis, juga politis—belum diperhitungkan dalam strategi besar kita dalam bernegara.

Berbagai kebijakan perihal kesenian hingga di kabinet “SBY”, sebagaimana tertuang dalam kebijakannya di Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, masih tetap melihat peran kesenian secara minor, jika tidak termarjinalisasi, dibandingkan sektor-sektor lainnya. Pemahaman akan kesenian lebih didominasi oleh pertimbangan ekonomis: sebagai salah satu sektor penghasil keuntungan finansial.

Pandangan tersebut tidak seluruhnya keliru. Namun, tentu, ia tidak harus menafikan potensi kesenian dalam menciptakan fungsi dan peran yang jauh lebih kuat dan lebih luas dari itu. Dibandingkan dengan nama-nama besar dalam dunia politik dan diplomasi kita, mulai dari Soekarno, Agus Salim, hingga Adam Malik, Soeharto hingga Gus Dur, dan presiden incumbent kita sekarang ini, banyak nama dalam kesenian Indonesia yang memperoleh penghargaan dan kehormatan setara di dunia internasional.

Katakanlah nama Pramoedya Ananta Toer, Chairil Anwar (yang masuk dalam ensiklopedia resmi Perancis dan Rusia, misalnya), Mochtar Lubis, Rendra, Putu Wijaya, Sardono W Kusumo hingga belakangan Rahayu Supanggah, Garin Nugroho, dan masih banyak nama lagi. Penghargaan internasional banyak diraih tokoh-tokoh kesenian, bahkan di saat citra Indonesia—secara sosial, politik, dan ekonomi—terpuruk.

Itu pun belum memperhitungkan karya-karya kreatif lain yang bersifat kolektif dan anonim, baik yang modern, tradisional, maupun yang primitif. Dibandingkan dengan sektor-sektor hidup lain, bukti dan potensi ini sesungguhnya dapat menjadi kekuatan pendamping, bahkan senjata utama, dalam usaha diplomasi atau penegakan posisi tawar Indonesia di mata dunia.

Sayangnya, masih banyak pengambil kebijakan yang memandangnya sebelah mata. Itu karena mereka tak mengenalnya dengan baik atau telanjur terkena stigma negatif akibat latar historis seni yang buruk atau perilaku yang kadang terpandang “eks-sentris”, urakan bahkan asosial.

Potensi raksasa

Satu hal lagi yang terlupa dari potensi kesenian sebagai produk budaya adalah kemampuannya dalam mendongkrak pertumbuhan ekonomi secara sangat signifikan. Hal ini terbukti di Inggris, negeri yang pada tahun 1990-an awal disebut sebagai “negara ketiga Eropa” secara ekonomis karena kekalahannya dalam industri berat, terutama setelah ekspansi macan-macan Asia, seperti China, Jepang, Korea Selatan, dan India belakangan.

Tahun 1998, Pemerintah Inggris melakukan pemetaan yang komprehensif mengenai potensi ekonominya. Mereka menemukan ternyata sektor (industri) kreatif, termasuk musik—yang sampai 1997 dipandang sebelah mata—telah memberi sumbangan sangat signifikan dan pertumbuhan ekonomi mereka. Data itu membuat para pengambil kebijakan memberi fokus yang lebih kuat pada industri budaya tersebut.

Hasilnya, industri kreatif Inggris—seperti kriya, desain, busana, film, televisi, musik, seni pertunjukan, iklan, arsitektur—menciptakan pertumbuhan rata-rata 9 persen per tahun, tiga kali lebih pertumbuhan ekonomi nasionalnya yang hanya 2,8 persen. Tahun 2003 ia menyumbang 8 persen dari PDB Inggris (121,6 miliar pound) dan 15 persen dari nilai ekspornya. Ia menjadi sumber penghasilan kedua setelah jasa perbankan, dan merekrut tidak kurang dari dua juta tenaga kerja.

Di bagian lain dunia, kita tahu, bisnis serupa merupakan penghasil uang terbanyak di Amerika Serikat, setelah bisnis senjata. Di Singapura ia menyumbang 5 persen dari PDB dengan pertumbuhan annual 10 persen. Di Kolombia, 4 persen PDB dan jauh lebih tinggi dari produk unggulan mereka: kopi.

Di Indonesia, potensi itu begitu meraksasa. Bukan hanya karena pengenalan dunia pada kreativitas seniman kita yang tinggi dan penuh ide, tetapi juga fakta-fakta kecil, seperti 1.500 gerai pakaian independen (“distro”) di Jakarta, Bandung, Yogya, Medan atau Surabaya, yang memberi penghasilan pada pengusaha muda hingga 75.000-100.000 dollar AS tiap bulannya.

Belum lagi kreativitas seniman muda kita dalam semangat DIY (Do It Yourself)-nya, yang juga mampu menembus pasar internasional di bidang game dan animasi. Bahkan, dalam permebelan global muncul merek Chamdani, perusahaan lokal yang semula bernama Alam Calamus.

Raksasa tidur

Contoh kecil di atas masih tak bisa menutupi kenyataan bagaimana sentra-sentra industri kreatif, kota-kota atau komunitas dengan kekayaan artistik dan produk budayanya, seperti batik, lukisan, patung, musik, seni pertunjukan, furnitur, hingga arsitektur, masihlah kembang kempis hidupnya, sebagaimana UKM pada umumnya.

Karya-karya mereka begitu kaya dan unik, tetapi selalu gagal pada tahap komersialisasi atau industrinya. Banyak yang kemudian menjadi korban pembajakan dan “perampokan” potensi ekonominya. Posisi mereka begitu lemah bahkan subordinat di antara kapital besar. Sementara bukan hanya birokrasi pemerintah, para elite, melainkan juga pihak swasta (perbankan antara lain) tak berhasil memandang kekuatan gigantik dari raksasa tidur itu.

Pihak kreator dan senimannya sendiri kerap bereaksi secara pasif dan defensif, seperti Putu Wijaya yang pernah menyatakan, “Biarlah mereka merampok satu-dua, bahkan sepuluh-dua puluh ide kita, karena kita masih menyimpan seribu dalam kepala.” Sikap ini memang mengundang decak kekaguman walau juga menyiratkan kenaifan dan semacam kepasrahan.

Padahal, Putu sendiri, dengan gaya teatrikal eksperimental tahun 70-annya saja, masih mampu meraih penghargaan tertinggi dalam festival teater eksperimental internasional di Cairo, tahun lalu. Dan masih banyak putu-putu lain, yang tak cukup menyadari, betapa mereka sesungguhnya adalah panglima besar yang dapat menjadi loko bagi perkembangan bangsa ini di semua lini.

Karena, mereka memiliki satu hal yang khas: karya kreatif. Sebuah arsenal yang begitu utama, tetapi kita melupakannya. Maka, siapa pun jenderal dan prajurit negeri ini pasti menderita rugi bila mereka lupa diri dan tenggelam melulu dalam statistik serta indikator politik-ekonomi, yang sebenarnya sudah bisu dan basi.

* Radhar Panca Dahana, Sastrawan Tinggal di Tangerang
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2007/05/esai-arsenal-utama-yang-terlupa.html

Si Binatang Jalang dan Sang Maestro

Wahyudin*
Kompas, 13 Mei 2007

PADA Jumat siang, 18 April 1949, ketika Chairil Anwar dikebumikan di pekuburan Karet, Affandi tengah meradang dan menerjang di hadapan sosok Si Binatang Jalang yang belum rampung tergurat di sepotong terpal becak yang meranggas di bekas sebuah garasi di kompleks Taman Siswa, Jalan Garuda 25, Jakarta. Itu sebabnya, pelukis itu absen di pemakaman penyair yang meninggal pada usia 27 tahun itu.

Kata dia kepada Nasjah Djamin—yang di kemudian hari mengutip perkataan ini dalam bukunya, Hari-hari Akhir Si Penyair (Pustaka Jaya, 1982: 52): “Saya tidak ikut tadi mengantarnya ke Karet, Dik! Dari CBZ (Centraal Burgerlijk Ziekenhuis—sekarang Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta) saya terus pulang. Untuk menyiapkan tarikan terakhir pada lukisan Chairil, sebab saya takut besok lusa saya tak menemukan lagi ke-Chairilannya Chairil.”

Tak lebih dari dua babak pertandingan sepak bola, lukisan itu pun kelar. Tampak di dalamnya Chairil Anwar menerpa dengan mata merah menyala bak kuda jantan yang tergasang paha-paha putih-pasi perempuan malam. Affandi memberikannya judul Chairil Anwar (1949). Pada hemat saya, lukisan itu merupakan sebuah dokumen visual terbaik tentang sang penyair yang pernah dibuat oleh seorang kampiun seni lukis Indonesia modern.

Pasalnya, lukisan itu menggurat tidak hanya makna ekspresif berupa kehendak sang pelukis mengentalkan ingatannya akan sang penyair, tapi juga santir rupa yang cergas perihal sang penyair sebagai Si Binatang Jalang, seperti yang berkumandang dalam sajak “Aku” (1943): “Kalau sampai waktuku/ ’Ku mau tak seorang ’kan merayu/ Tidak juga kau/ Tak perlu sedu sedan itu/ Aku ini binatang jalang ….”

Domestikasi

Kini, lukisan itu berada di tangan Chris Dharmawan, arsitek dan pemilik Galeri Semarang, Jawa Tengah, setelah sebelumnya menjadi koleksi pengusaha Jusuf Ronodipuro selama lebih-kurang dari empat dasawarsa. Pada titik ini, secara aksiologis, lukisan itu mengalami domestikasi—yang menyembunyikannya dari penglihatan publik—dan karena itu membuatnya diam ditekan dan tercekik kesunyian.

Apa boleh buat. Mungkin itulah nasib—dan nasib adalah kesunyian masing-masing, kata Chairil Anwar dalam sajak “Pemberian Tahu” (1946)—yang harus dipikul oleh tidak hanya lukisan itu, tapi juga lukisan-lukisan Affandi lainnya yang terdomestikasi di rumah-rumah mewah para kolektor seni rupa di dalam dan luar negeri.

Bagaimanapun, lukisan itu telah membuktikan bahwa Chairil Anwar merupakan sosok penting yang mendapat tempat terhormat dalam kehidupan Affandi—dan ini seolah-olah menjawab permintaan sang penyair kepada sang pelukis, seperti tersurat dalam salah satu larik sajak “Kepada Pelukis Affandi” yang bertitimangsa 1946: “… berilah aku tempat di menara tinggi, di mana kau sendiri meninggi.”

Tapi, lebih dari sekadar permohonan, larik sajak itu mengikhtisarkan pengakuan sang penyair terhadap reputasi sang pelukis—sebentuk ungkapan takzim yang merendah-hati—sekalipun pada waktu itu ia telah tersohor sebagai “Si Binatang Jalang dari kumpulannya terbuang” yang “hilang sonder pusaka, sonder kerabat”—dan karena itu “tidak minta ampun atas segala dosa, tidak memberi pamit pada siapa saja.” Tapi tidak pada Affandi—yang menjelmakan ke dalam dirinya harkat dan martabat seorang pemeluk teguh ekspresionisme “atas keramaian dunia dan cedera, lagak lahir dan kelancungan cipta,” sehingga “gelap-tertutup jadi terbuka”.

Di sinilah, saya kira, Affandi dan Chairil Anwar saling mempertautkan diri sebagai pemeluk teguh dan pengusung aliran ekspresionisme dalam seni lukis dan sastra Indonesia modern. Selain itu, mereka bertautan dalam perkara membaca suratan takdir—terutama yang berkenaan dengan maut. Pada Chairil Anwar maut mengental-pekat dalam sajak-sajaknya. Misalnya, “Yang Terampas dan Yang Putus”—di mana ia menulis larik magis ini: “… di Karet, di Karet (daerahku y.a.d.) sampai juga deru dingin”, seolah-olah ia sudah tahu bahwa di pekuburan itulah ia akan berkalang tanah pada 1949.

Sedangkan pada Affandi maut menyelubung nyesak di antara lukisan-lukisan potret dirinya yang bertarikh 1980-an. Sebutlah, misalnya, Ayam Mati dan Potret Diri (1986) dan Hampir Terbenam (1987)—yang mengisyaratkan dengan pedih nasib seorang pelukis kenamaan di bawah bayang-bayang maut pada senja usia. Kenyataannya, tiga-empat tahun kemudian, setelah mengikutsertakan kedua lukisan tersebut dalam pameran retrospektif di Jakarta, pelukis itu tutup usia dalam umur 83 tahun.

Modal spiritual

Mungkin itu sebabnya, ada yang memercayai keduanya sebagai individu-individu jenius dengan keahlian elite—yang tidak hanya memiliki modal simbolik, tapi juga modal spiritual untuk meramal ajal masing-masing. Kini, keduanya telah diam dan sendiri di pusara masing-masing. Tapi ada yang selalu bisa diucapkan tentang keduanya—yang namanya selalu lekat dalam sanubari anak-anak sekolah dari Sabang sampai Merauke. Sangat mungkin bahwa tidak ada nama penyair dan pelukis Indonesia yang seterkenal nama Chairil Anwar dan Affandi di kalangan anak-anak sekolah di negeri ini.

Bahkan, seperti pernah dikemukakan Sapardi Djoko Damono, beberapa larik sajak Chairil Anwar telah menjelma semacam pepatah atau kata-kata mutiara: “Sekali berarti sudah itu mati”, “Hidup hanya menunda kekalahan”, “Kami cuma tulang-tulang berserakan”, dan “Aku mau hidup seribu tahun lagi”—yang belum lama ini telah menginspirasi perupa Agus Suwage untuk menggelar pameran potret diri tokoh-tokoh besar dunia—termasuk, tentu saja, potret diri Chairil Anwar—yang bertajuk I/Con di Galeri Nadi, Jakarta.

Sedangkan lukisan-lukisan Affandi, khususnya yang tersimpan di museum pribadinya di tepi Sungai Gajah Wong, Yogyakarta, sekalipun tak selalu ramai, tak luput dikunjungi oleh masyarakat dari dalam dan luar negeri—tak terkecuali kunjungan para pelajar dari berbagai penjuru negeri ini pada musim liburan sekolah.

Kenyataan itu, mengambil-alih kata-kata Sapardi Djoko Damono, tentu tidak membuktikan bahwa kebanyakan anggota masyarakat kita telah menekuni sajak-sajak Chairil Anwar dan menelaah lukisan-lukisan Affandi—juga belum menunjukkan bahwa pemahaman dan penghargaan masyarakat kita terhadap sastra dan seni rupa telah tinggi. Namun, setidaknya ia mengungkapkan bahwa sajak-sajak Chairil Anwar dan lukisan-lukisan Affandi sudah mendapat tempat di tengah masyarakat.

Saya kira, pernyataan itu cukup beralasan, terutama bila kita menempatkannya untuk Affandi. Sudah jadi pengetahuan umum bahwa lukisan-lukisan sang maestro berharga ratusan juta rupiah di pasar seni rupa. Tapi ironisnya, sampai sejauh ini, telaah dan kajian mendalam tentang lukisan-lukisan Affandi dan riwayat hidupnya sebagai seorang maestro seni lukis Indonesia modern masih bisa dihitung dengan jari sebelah tangan.

Kenyataan itu memang bukan milik Affandi semata, tapi juga berlaku untuk hampir semua kampiun seni lukis di negeri ini. Apa mau dikata: Ia sudah dapat tempat, tapi belum dicatat.

* Wahyudin, Kurator Seni Rupa, Tinggal di Yogyakarta
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2007/05/si-binatang-jalang-dan-sang-maestro.html

Kamis, 15 September 2011

Pesan Kepergian

S.W. Teofani
http://www.lampungpost.com/

KENAPA kau pergi, Guru. Bukankah pengetahuanmu belum genap kucecap. Ke mana engkau menjejakkan tapak. Tak ada tilasmu untuk kutuju, selain segenggam kenang atas seluruh kehilangan. Tak kau berikan tanda pun sasmita untuk sebuah perpisahan purna. Sepertinya engkau lupa telah mengasuhku sejak mengada.

Senja lengas itu kau biarkan seorang saja aku menggembala. Tak ada kekhawatiran selain ketakzimanku pada seluruhmu. Sungguh tak biasa kau biarkan aku sendiri menghalau ribuan domba itu, sedang srigala mengaum dari seribu penjuru.

Guru, tanganku tak sekukuh hastamu. Yang lempang mengarak langkah waktu. Jemariku tak sebanding telunjukmu, teguh mengarah peradaban debu. Lalu apa yang kau sisakan hingga tega meninggalkanku di padang tanpa rumput dengan beliung menderu.

Duh Guru, andai kutahu musabab kau meninggalkanku, kan kuluruhkan setiap denyar luka yang menyilaukanmu. Tapi tak kutemukan musabab pun maksud lesapmu. Tak ada yang kau pesankan selain kepergian itu.

Malam setelah gaibmu, kau bertandang antara nyata dan maya. Mengusap bahuku dengan kasih yang melebihi cinta. Aku tak sanggup menatapmu barang setegak benang. Kurasai jiwa itu merengkuh rindu. Tapi tak sanggup kugapai jubah putih, juga kakimu. Agar kusujudkan seluruh cemas yang kau sangsangkan di tengah siang.

Terlalu sarat kata ingin kusampaikan, tapi tak sedenting pun terucap.

Apakah kau masih menatapku, Guru. Aku sesengguk lurus dengan telapakmu, tanpa kutahu, apakah ujung kaki itu berpijak atau berjarak. Tapi kutahu, jiwamu merengkuh ibaku. Aku menjadi bayi yang merindu puting ibu. Menyecap setiap hikmah yang kau sematkan di padang waktu.

Tidakkah engkau rindu, Guru. Saat kau ajari aku manahan dahaga, meski kita kecukupan tirta. Lalu kau tunjuki aku dahaga sesungguhnya, yang tak tunai cawan anggur pun jernih telaga. Bukan sekadar air di tempayan rasa, melainkan laku suwungdi dasar sukma. Kau yakinkan aku ada kecukupan dalam kelaparan, ada kesegaran pada dahaga. Kau hidupkan kematian jiwa yang termanja benda-benda. Setiap tapakmu membekas pada jejak waktu yang disusun keping-keping pristiwa.

Lupakah engkau pada semua, Guru?

Saat kau usap penat beban di pundak batinku. Kau yakinkan bahwa hidup seringan cahaya yang dititipkan surya. Kau yakinkan pula tentang mahacahaya di balik seluruh benderang surya, juga jiwa. Aku diam, merasai keagungan jiwamu. Aku lenyap pada pengetahuan batinmu yang melebihi ketakziman biksu.

Adakah aku berbuat salah atas petuah pun titahmu? Kau kujunjung agung melebihi sesiapa yang pernah kusapa. Tak sesiluet pun kuberniat menitikkan kecewa pada hayatmu. Aku mencari pada setiap langit hari yang bermantel sunyi. Tidakkah kau merindukan cengkerama sukma kita yang melebihi kemansyukan sejoli?

Guru, tanpamu, bukan dahan-dahan hidupku yang patah, aku bagai tercerabut dari bumi. Seluruhku layu, diam, beku, melebihi kebisuan dini.

Denganmu aku sedamai bulir pisang yang tersemat pada tandan, terjaga pelepah, daun, dan batang. Aku tak mengkhawatirkan kawanan kera yang mengincarku. Tapi tanpamu, aku tak lebih seulir pisang pada tandan busuk di batang lanas. Kelelawar pun tak ragu mengabisi seluruhku. Duh, Guru, kau dengarkah semua dawai keluhku.

Saat kucoba mendongak, aku siaga pada kesadaran purna. Semua hanya mimpi yang tiba untuk mempertegas lenyapmu. Luruh hatiku semakin saja, tanpa tonggak pun harap penyangga.

Hari ini aku merasai gundah hati Rumi saat ditinggal Guru Samsyi. Kudekap gulana Musa kala Khidir pergi. Tapi aku manusia biasa, Guru. Tak ada gelar ulul azmi yang layak menjadi alasan untukku tegar kehilanganmu. Pun aku bukan guru sufi yang punya berlapis keimanan demi memagar hati. Aku tak mampu mengubah kehilanganku menjadi kasidah cinta juga masnawi.

Tahukah engkau Guru, setiap tilasmu menjadi makna bagiku. Taburan kebajikan yang kau ajarkan dalam diam, berubah ngiangyang menuntun laku. Kepergianmu menyisakan tanya pun duka yang melebihi kedalaman samudera.

***

ADAKAH kau tahu yang disebut guru, duhai Sahabatku? Tidakkah kita mengada dari mula takdir yang sama. Jika aku lebih tahu darimu, tak lebih karena terlahir sebelummu. Karena kucecap pekerti saat kau masih menyusu. Maka kutinggalkan dirimu duhai jiwa yang bercahaya melebihi seluruh pelita. Jika aku tetap bersamamu, siapa yang akan melihat terangmu yang tertutup pantulan hadirku. Tak mungkin ada dua matahari di semesta raya. Pasti satu akan menyelinap pada bayang yang lainnya. Maka kau akan menyala melebihi terangnya bagaskara tanpaku.

Usah kau tengok jalan kecil itu. Memang pernah kita lalui, tapi bukan untuk kita genapi. Dia hanya lintasan. Umpama lorong gelap menuju Tuhan. Maka tiada sesal pun utang yang kita titipkan pada jejaknya.

***

SEDASAWARSA tak cukup untuk mengubur kenang. Sepeninggalmu aku menyudahi petualangan. Terlalu banyak jalan yang tak kita hitung, begitu luas takdir tak terbendung. Manusia hanya bisa diam, menginsyafi kesementaraan atas rencana-rencana kehidupan. Maka aku mencoba tegak tanpamu. Menyisir sepi di batu-batu. Satu-satu kukumpulkan, kutumpuk menjadi bangunan. Kini aku berdiam, menyudahi segala pengembaraan. Entah karena duka atau lelah doa. Karena banyak rencana di luar rencana kita. Hatiku membaca banyak kemungkinan, tapi aku memilih tak mengungkapkan, biarlah rahasia menjadi hak-Nya untuk bersembunyi.

Bening itu darah, tak menentes pun mengental, yang menjadi sanksi kepergian.

Diam pada ketakziman ketentuan. Dan ketentuan hari ini berima dari keputusan masa lalu: keteguhanmu untuk meninggalkanku. Maka kukais apa-apa yang tersisa dari luka. Kukumpulkan yang terserak dari lara. Manjadilah ia kekuatan yang melampai apa-apa yang kita duga.

Sepeninggalmu Guru, kucoba merawat setiap yang kau sampaikan. Kuedarkan lagi pada orang-orang yang berkunjung pun menetap di kastilku. Semakin waktu, satu-satu manusia membunuh kesendirianku. Menjadi wasilah pekerti yang kau wariskan kepadaku. Kepada mereka kusampaikan, darimulah segala pengetahuan itu. Maka ikhlaskan semaua untuk kusebarkan, Guru.

Aku semakin mendapati jalanku, jalan yang lempang dengan kesendirian. Mungkin aku lelah mengharap hadirmu. Hingga kuhidupkan apa-apa yang pernah kau nyalakan di jiwa pun pikirku. Maka tak aka lagi kesendirian yang sesungguhnya, Guru. Kau menjelma pada jiwa-jiwa yang hadir menemaniku. Atau dengan malu aku mengaku kau mengejawantah pada diriku yang menyampaikan risalah pada jiwa-jiwa itu. Entahlah, tapi aku tak lagi sepi pun karenamu. Jika tak kau tunjuki aku jalan-jalan itu, bagaimana aku akan menyampaikan dua jalan yang harus kita pilih untuk sampai pada Sang Maha. Kini jiwa-jiwa itu merindumu meski tak pernah bersitatap dengan wujudmu. Para jiwa telah menerima apa-apa yang pernah kau pantulkan pada jiwaku. Maka, gema kehilanganku menjadi gaung di gua jiwa mereka.

***

“BOLEHKAH aku menimba pengetahuan padamu, Guru?”

“Apa yang akan kau ketahui? Aku belum pantas disebut guru, aku hanya membunuh sepi karena kerinduan pada guruku.”

“Adakah kemasyuranmu akan pengetahuan dan kazuhudan kau tukar dengan frasa membunuh sepi?”

“Itulah yang senyatanya. Kau tahu, Tamuku, mataku buta karena air mata. Sepanjang malam, selama epuluh tahun, aku nyanyikan kehilangan atas manusia agung yang kusebut guru. Kecerdasannya mendekati Khidir, kezuhudannya sebanding sufi.”

“Di manakah ia?”

“Aku tak tahu. Dia lenyap begitu rupa. Aku telah mencari di setiap penjuru yang kutahu, tapi sia-sia. Akhirnya aku diam, di sini, menyanyikan namanya pun seluruhnya pada orang-orang yang bertanya.”

“Adakah yang bertanya tentang halnya?”

“Jiwa-jiwa yang merindu kebaikan akan memburu orang-orang terpilih. Maka gurulah yang menjadi pilihan nilai kebaikan. Kebaikan dan guruku menyatu menjadi nyanyian yang tak kuhentikan sebelum manusia pencari pengetahuan lelap.”

“Apakah kau mengharapkan pertemuan dengan gurumu?”

“Aku telah mengikhlaskannya, pun kehendaknya untuk meninggalkanku. Aku hanya percaya, dia lakukan itu bukan tanpa rencana.”

“Jika kau bertemu dengannya, adakah utang yang akan kau lunaskan?”

“Kami pernah berjanji untuk mengafani siapa yang lebih dulu menghadap Illahi.”

“Kau ingat itu, dan aku datang menagih janji. Aku akan damai jika ajal tiba kau yang mengafani.”

“Guruuuu……”

***

AKU tersungkur, dengan perasaan tak terukur. Meski mataku tak menatapnya, batinku melebur seluruhnya. Kurasakan dia memelukku, hingga aku tak merasakan apa pun.

Lamat-lamat kudengar tangis kehilangan. Tak ada yang lebih damai dari kepergian yang dihantarkan orang terkasih. Dia mengafaniku.

Lampung, Februari-Maret 2011

Saya di Mata Sebagian Orang

Djenar Maesa Ayu
http://cerpenkompas.wordpress.com/

Sebagian orang menganggap saya munafik. Sebagian lagi menganggap saya pembual. Sebagian lagi menganggap saya sok gagah. Sebagian lagi menganggap saya sakit jiwa. Sebagian lagi menganggap saya murahan!

Padahal saya tidak pernah merasa munafik. Tidak pernah merasa membual. Tidak pernah merasa sok gagah. Tidak pernah merasa sakit jiwa. Tidak pernah merasa murahan!

Dan apa yang saya rasa toh tidak membuat mereka berhenti berpikir kalau saya munafik. Berhenti berpikir kalau saya pembual. Berhenti berpikir kalau saya sok gagah. Berhenti berpikir kalau saya sakit jiwa. Berhenti berpikir kalau saya murahan!

Sementara saya sudah berusaha mati-matian menjelaskan kalau saya tidak munafik. Kalau saya tidak membual. Kalau saya tidak sok gagah. Kalau saya tidak sakit jiwa. Kalau saya tidak murahan!

Tapi penjelasan saya malah semakin membuat mereka yakin kalau saya munafik. Yakin kalau saya pembual. Yakin kalau saya sok gagah. Yakin kalau saya sakit jiwa. Yakin kalau saya murahan!

Maka inilah saya, yang tidak munafik. Yang tidak membual. Yang tidak sok gagah. Yang tidak sakit jiwa. Yang tidak murahan!

Walau sebagian orang tetap menganggap saya munafik. Menganggap saya pembual. Menganggap saya sok gagah. Menganggap saya sakit jiwa. Menganggap saya murahan!

Saya katakan ke banyak orang kalau saya tidak punya pacar. Saya tidak punya kemampuan untuk mencintai seseorang. Tapi bukan berarti saya tidak punya teman. Saya punya banyak sekali teman. Ada teman yang setiap pagi menyiapkan air hangat untuk mandi. Ada teman makan siang ketika rehat kantor. Ada teman yang menjemput sepulang kantor. Ada teman yang menemani nonton. Ada teman yang menemani clubbing. Mereka semua teman-teman yang baik. Mereka semua teman-teman yang bisa diandalkan dalam segala hal dan saya yakin saya pun cukup bisa diandalkan sebagai teman. Bukankah sudah sepatutnya begitu dalam hubungan pertemanan? Buktinya tidak jarang sebenarnya saya malas makan siang. Tapi karena teman mengajak, saya merasa tidak enak untuk menolak. Begitu juga halnya dengan nonton atau clubbing. Pulang kantor saya sering kelelahan. Inginnya lekas pulang dan tidur. Tapi jika ada teman yang mengajak nonton, rasanya saya tidak tega menolak apalagi ia sudah khusus jauh- jauh menjemput ke kantor. Maka saya akan mengiyakan walaupun belum tentu saya suka dengan film yang kami tonton. Pada saat kami nonton, tidak jarang pula ponsel saya berdering. Andaikan tidak saya angkat karena tidak sopan menerima telepon di dalam bioskop, tetap saja mereka bisa meninggalkan pesan SMS. Biasanya minta ditemani ke disko atau sekadar nongkrong di kafe. Sungguh, tidak selalu saya ingin menerima ajakan mereka. Tapi bagi saya itulah konsekuensi pertemanan. Apalagi, sekali lagi, mereka adalah teman-teman yang baik. Yang setia menyiapkan air hangat untuk mandi setiap pagi. Yang setia menemani makan siang. Yang setia menjemput pulang kantor. Yang setia menemani ke disko atau kafe. Yang setia memberikan perhatian dan waktu kapan pun saya butuhkan, walaupun mungkin mereka tidak selalu ingin mengiyakan, walaupun mungkin mereka sedang kelelahan, sama seperti apa yang sering saya rasakan.

Kepada merekalah saya sering menumpahkan segenap perasaan. Kepada merekalah saya meminta bantuan. Tidak hanya sebatas perhatian dan waktu, tapi juga dari segi finansial. Kalau saya butuh uang, saya bilang. Kalau saya mau ganti ponsel model terbaru, saya beri tahu. Kalau saya bosan mobil van dan ingin ganti sedan, saya pesan. Padahal karena akan selalu ada yang menjemput dan mengantar, mobil jarang sekali saya gunakan. Kalau saya dapat undangan pesta dan perlu gaun malam lengkap dengan perhiasan, saya utarakan. Kenapa harus sungkan? Toh saya tidak memaksa. Toh mereka ikhlas. Dan yang paling penting adalah mereka memang mampu mengabulkan apa yang saya minta. Saya tidak paksa mereka khusus menabung untuk saya apalagi sampai suruh mereka merampok bank. Saya juga teman yang baik. Saya tidak mau mereka susah hati karena tuntutan-tuntutan saya. Kalau sekali-sekali harus jebol tabungan atau terpaksa mencairkan deposito bolehlah… yang penting dananya memang ada. Itu pun bukan masalah yang harus saya besar-besarkan. Bukan sesuatu yang layak untuk membuat saya terharu. Apalagi jatuh cinta?! Saya harus garis bawahi bahwa saya tidak memaksa. Apalagi saya sangat tahu, sangat sadar kalau jumlah dana yang dikeluarkan hanya sepersekian persen dari keseluruhan harta mereka. Coba bayangkan, kurang pengertian apa saya sebagai teman? Seperti yang sudah saya utarakan sebelumnya, tidak jarang saya harus mengorbankan waktu dan tenaga untuk mereka. Mungkin lebih tepat jika saya menggunakan kata merelakan ketimbang mengorbankan. Walaupun saya agak terganggu, tapi saya rela. Saya melakukannya karena saya mau, bukan karena paksaan. Saya menikmati kebersamaan kami. Menikmati tiap detail manis yang kami alami. Makan malam di bawah kucuran sinar rembulan dan keredap lilin di atas meja. Percakapan yang mengasyikkan penuh canda dan tawa. Sentuhan halus di rambut saya. Kecupan mesra di ke dua mata, hidung, pipi, dan bibir yang berlanjut dengan ciuman panas membara lantas berakhir dengan rapat tubuh kami yang basah berkeringat di atas tempat tidur kamar hotel, di dalam mobil, di taman hotel, di toilet umum, di dalam elevator, di atas meja kantor, atau di dalam kamar karaoke. Saat-saat yang begitu melelahkan sekaligus menyenangkan. Saat-saat yang selalu membuat jantung saya berdegup lebih kencang dari biasanya. Saat-saat yang selalu membuat aliran darah saya menderas dan naik ke atas kepala. Saat-saat yang selalu membuat saya pulas tertidur dan mendengkur. Saat-saat yang tidak pantas untuk tidak membuat saya merasa bersyukur.

Namun dari sanalah segalanya berpangkal. Semua yang saya lakukan itu dianggap tidak benar. Sebagian orang menganggap saya munafik karena tidak pernah mengakui kalau saya punya pacar. Sebagian lagi menganggap saya pembual setiap kali saya bilang hubungan kami hanya sebatas pertemanan. Sebagian lagi menganggap saya sok gagah karena mereka berpikir saya tidak mau mengakui kalau sebenarnya saya mencintai seseorang. Sebagian lagi menganggap saya sakit jiwa karena berteman dengan begitu banyak orang. Sebagian lagi menganggap saya murahan karena saya bisa ditiduri tanpa harus ada komitmen percintaan bahkan bisa dalam satu hari dengan orang yang berlainan. Perbuatan yang saya jalani dengan penuh kewajaran tiba-tiba berubah menjadi perdebatan. Semua orang merasa lebih tahu dibanding diri saya sendiri. Beberapa bagian dari mereka itu sibuk dengan pendapatnya masing-masing dan lebih luar biasa lagi mereka bisa membahas perihal saya ini berjam- jam, berhari-hari, berminggu- minggu, berbulan-bulan, bertahun-tahun, sementara teman- teman saya semakin banyak, silih berganti tanpa henti dan ini membuat mereka punya materi yang lebih dari cukup untuk terus mempergunjingkan saya seolah tidak ada hal lain yang lebih pantas untuk diangkat sebagai tema. Mereka bergunjing lewat telepon. Mereka saling bertukar pesan lewat SMS. Mereka saling mengirim surat elektronik. Mereka saling bertukar pendapat di kafe-kafe. Di rumah. Di kantor. Di pertokoan. Di restoran. Apalagi jika secara kebetulan kami bertemu dalam satu kesempatan dengan membawa teman baru. Pembicaraan mendadak berhenti. Mereka sembunyi-sembunyi bertukar senyum. Mereka sembunyi- sembunyi bermain mata. Mereka sembunyi-sembunyi mengirim pesan SMS. Mereka saling berbisik dengan ekspresi wajah yang sulit untuk diterjemahkan. Kadang ada satu dua kalimat yang terdengar dan sudah cukup bagi saya untuk merangkumnya utuh menjadi satu bagian. Kebanyakan berkisar pada seberapa indah dan seberapa tebal kantong teman yang saya bawa. Pandangan mereka menyapu bersih kami berdua dari ujung rambut hingga ujung kaki seperti serigala kelaparan. Menyeleksi mulai dari apakah ada pernak-pernik baru yang saya pakai, kantong belanja, hingga jenis kartu kredit saat membayar bon tagihan makan. Jika teman saya kelihatan indah, maka dikaitkannyalah dengan seberapa dahsyat kehebatannya di atas ranjang. Jika teman saya kelihatan berkantong tebal, maka dikaitkannyalah dengan seberapa besar saya menguras uang. Tapi jika ke dua sisi itu tidak ada yang memenuhi standar pergunjingan, mulailah mereka dengan teori cinta-cintaan. Dan karena saya tetap bilang kalau kami benar-benar berteman, perdebatan pun dimulai dan mereka saling membuktikan pendapat siapa yang paling benar. Sebagian orang menganggap saya munafik. Sebagian lagi menganggap saya pembual. Sebagian lagi menganggap saya sok gagah. Sebagian lagi menganggap saya sakit jiwa. Sebagian lagi menganggap saya murahan!

Saya tidak bisa mungkiri banyak dari teman-teman yang akhirnya mempertanyakan. Banyak dari teman-teman yang tidak ingin berbagi dan pada akhirnya hubungan kami harus terakhiri. Tapi tidak satu pun dari mereka yang mendendam karena saya menjunjung tinggi keterbukaan. Saya tidak pernah membohongi, saya tidak pernah akal-akalan. Sehingga jika dibilang hubungan kami berakhir, sebetulnya tidak sepenuhnya benar. Yang berubah hanyalah kami sudah tidak saling melenguh dan mencabik di atas ranjang. Tapi kami masih saling berbagi cerita walaupun jarang. Saling bertanya apakah sudah punya pasangan tetap, menikah, atau masih melajang. Hal- hal seperti ini yang sering tidak saya temukan pada sebagian orang yang menanggap saya munafik, pembual, sok gagah, sakit jiwa, atau murahan itu. Sebagian dari mereka malah sering saya dapati tidak lagi bertegur sapa sama sekali dengan teman lamanya. Biasanya itu disebabkan karena hubungan mereka yang sembunyi-sembunyi dengan si A ketahuan oleh si B. Setelah putus dengan si B ternyata ketahuan pulalah si A berteman dengan perempuan lain. Alangkah sayangnya sebuah hubungan yang menempuh berbagai aral rintangan itu akhirnya harus kandas di tengah jalan. Tapi saya tetap menghargai sebuah pilihan. Saya hanya heran. Tapi walaupun saya heran, saya tetap tidak berani menganggap mereka munafik, pembual, sakit jiwa, sok gagah, atau murahan. Kadang saya juga mengalami kesulitan dalam satu hubungan. Beberapa kali saya bertemu dengan tubuh-tubuh indah yang membuat mata silau. Membuat darah saya berdesir dan mengisyaratkan satu kenikmatan. Malam-malam panjang. Kontraksi dahsyat di tengah selangkangan. Yang nyatanya berakhir dengan rasa mual. Ereksi yang tidak lama kekal. Reaksi yang membuat waktu berjalan bagai tak berujung pangkal. Dan saat itulah alarm dalam tubuh saya mengisyaratkan segala rencana kencan lanjutan mutlak batal. Sebagian orang menamakan kejadian-kejadian seperti itu sebagai cinta semalam. Sebagian orang merasa kejadian-kejadian seperti itu bertentangan dengan moral. Sementara buat saya kejadian-kejadian seperti itu hanyalah semata-mata proses pengenalan. Seleksi alam yang akhirnya menjawab apakah kami akhirnya bisa tidak atau lanjut berteman. Tapi tetap orang menganggap saya munafik. Menganggap saya pembual. Menganggap saya sok gagah. Menganggap saya sakit jiwa. Menganggap saya murahan!

Mungkin jika bukan karena penyakit yang datang tanpa bisa saya larang tidak saya idap sekarang, saya hampir percaya pada pendapat sebagian orang yang tiap bagiannya menyatu menjadi satu pendapat utuh bahwa tindakan saya menyimpang. Mungkin jika bukan karena saya tergeletak tak berdaya dan diperlakukan bagai anjing kusta saya hampir beralih dari apa yang selama ini saya percayai dan nikmati dengan hati lapang. Karena, ketika saya positif mengidap HIV ternyata saya masih punya banyak teman yang setia menyiapkan air hangat untuk bilas badan. Mengirim makan siang. Menemani makan malam. Mendongeng tentang sebuah peristiwa lucu di satu kafe. Bercerita tentang film yang baru saja diputar, membayar ongkos perawatan, ketika sebagian orang sibuk bergunjing atas akibat yang saya terima karena saya munafik. Pembual. Sok gagah. Sakit jiwa. Murahan!

Jakarta, 20 Agustus 2003 11:35:54 PM
Sumber: http://cerpenkompas.wordpress.com/2003/10/26/saya-di-mata-sebagian-orang/

“Orgy” yang Sunyi

Peresensi: Ibnu Rizal *
Kompas, 1 Mei 2011
Judul: 1 Perempuan 14 Laki-Laki
Penulis: Djenar Maesa Ayu dan kawan-kawan
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: I, Januari 2011
Tebal: 124 halaman
ISBN: 978-979-22-6608-5

Kesepian, kehampaan, cinta yang bertepuk sebelah tangan, pengkhianatan, perselingkuhan, hubungan cinta yang berada di ambang keraguan, dan berbagai perasaan murung yang menimpa anak manusia melatari fragmen cerita. Relasi antartokoh pun menjadi sesuatu yang rapuh dan muram.

Tema di atas diperkuat dengan hadirnya kafe sebagai latar spasial yang mendominasi sebagian besar cerpen, seperti banyak karya Djenar Maesa Ayu lainnya. Kafe menjadi arena pertarungan para tokohnya. Di dalamnya, tokoh-tokoh Djenar, manusia-manusia kelas menengah kota yang kesepian itu, berhadapan satu lawan satu dengan dirinya sendiri. Bersama gelas-gelas bir, terkadang secangkir kopi, mereka bertarung dan bernegosiasi dengan kenangan.

Antologi ini ditulis Djenar bersama empat belas penulis lain, yang seluruhnya adalah laki-laki. Mereka datang dari berbagai profesi dan lintas generasi, di antaranya adalah maestro tari Sardono W Kusumo, penari dan koreografer muda Arya Yudistira Syuman, perupa Enrico Soekarno, pembawa acara dan penulis Indra Herlambang, cerpenis Agus Noor, dalang Sujiwo Tedjo, aktor monolog Butet Kartaredjasa, hingga penabuh drum dari kelompok musik punk Superman Is Dead, JRX. Empat belas penulis dengan empat belas kepala yang memiliki gagasan berbeda. Metode ini memang sangat berisiko menjadikan sebuah teks kehilangan arah. Struktur kalimat pun terpecah-pecah. Pada beberapa bagian kerap terjadi inkoherensi. Namun, justru di sinilah letak permainannya.

Dalam pengantarnya, Djenar mengakui bahwa ia tidak pernah menulis dengan kerangka konsep tertentu yang telah ditentukan sebelumnya. Imajinasi dan spontanitaslah yang membuat proses penulisan terus berjalan. Lewat imajinasi yang dibiarkan lepas, berbagai kemungkinan pun menemukan pintunya. Hal tersebut terlihat kuat pada keempat belas cerita pendek dalam kumpulan ini. Djenar bersama rekan penulisnya seperti memulai dari ”kekosongan” dan perlahan-lahan menyaksikan sendiri hadirnya berbagai kejutan dalam teks yang mereka hasilkan.

Konsekuensi lain dari metode kolaborasi, apa pun bentuknya, adalah kehadiran ”dialog” gagasan satu sama lain. Dialog antara Djenar dan rekannya terjadi pada upaya masing-masing untuk menjaga keberlangsungan cerita dalam kerangka ide yang bahkan belum dibayangkan oleh keduanya. Maka, sebuah pertanyaan muncul: siapa yang lebih mendominasi dalam interaksi ini? Jawabannya tentu hanya Djenar dan keempat belas pasangannya yang tahu. Namun, siapa pun sepakat bahwa dalam suatu permainan antara sepasang laki-laki dan perempuan, keduanya mesti sama-sama memegang kendali sehingga tak ada pihak yang tersubordinasi.

Dialog, sebagai sebuah aktivitas komunikasi dalam kerja kolaborasi, kerap mengalami gangguan. Pada beberapa titik dalam setiap cerpen, dialog itu seakan kerap berbenturan. Gagasan yang satu disambut, dipagut, atau dicerabut yang lain. Masing-masing seperti bergerak dalam logikanya sendiri. Kadang gagasan keduanya bertemu dan berjalan beriringan. Begitulah proses kreatif dalam antologi ini bekerja.

Karakteristik Djenar

Antologi ini tetap memperlihatkan beberapa karakteristik yang sangat khas dalam cerpen-cerpen Djenar. Salah satunya adalah kehadiran rima. Dalam banyak paragraf ditemukan rima yang tersebar pada tiap akhir kalimat.

Dengan langkah lunglai Antonio menuju satu pojokan. Namun di sana sudah terisi sepasang insan yang sedang asyik masyuk berciuman dan meraba masing-masing badan. Dengan terpaksa ia menuju kursi yang terletak di tengah ruangan. Dan di sanalah mereka saling bertatapan (”Napas Dalam Balon Karet”, ditulis bersama Richard Oh, hal. 72).

Rima berserakan pada kalimat-kalimat lugas dalam cerpen-cerpen Djenar, bahkan sejak Mereka Bilang Saya Monyet! yang merupakan buku pertamanya. Rima, yang dalam konvensi klasik lumrahnya hadir pada bait-bait puisi, pantun, atau dandanggula, di tangan Djenar dimunculkan dalam medium prosa.

Masih jelas benar, mata-mata tanpa bola mata hitam itu merusak tempat ibadah. Memukuli anak-anak dan ibu- ibu yang tengah memasak di rumah. Merubuhkan patung-patung. Membakar kampung (”Cat Hitam Berjari Enam”, ditulis bersama Enrico Soekarno, hal. 13). Bermain-main dengan rima pada akhirnya menjadi cara untuk mengangkat kembali salah satu kekayaan dalam khazanah sastra Indonesia.

Beberapa cerpen dalam antologi ini mencerminkan latar belakang profesi yang dimiliki oleh rekan penulis Djenar. Misalnya dalam ”Ramaraib” yang ditulis bersama Sardono W Kusumo, terdapat unsur tari yang begitu kuat.

Dalam ”Cat Hitam Berjari Enam”, yang digarap bersama perupa Enrico Soekarno, kehadiran lukisan menjadi sangat berperan. Bersama dalang Sujiwo Tedjo dalam ”Rembulan Ungu Kuru Setra”, kehadiran mitologi Jawa juga cukup terasa. Butet Kartaredjasa sepertinya berjasa dengan menghadirkan komedi dalam cerpen berjudul ”Balsem Lavender”. Tak lupa pula kehadiran sentuhan filosofis dalam bingkai perjalanan surealis pada cerpen berjudul ”Polos” yang ditulis bersama Romo Mudji Sutrisno.

Namun demikian, karakter Djenar tetap bisa ditemukan. Terlepas dari negosiasi gagasan yang terjadi antara Djenar dan rekan penulisnya. Perempuan ini tetap bisa meneguhkan dirinya sendiri dalam ”persetubuhan” untuk memburu apa yang disebut sebagai ”orgasme pikiran”. Karakternya terlihat lewat kehadiran suasana kegamangan, suatu kondisi tarik menarik antara harapan dan keputusasaan, antara keberadaan dan kehilangan, pertemuan-pertemuan yang tabu dan perpisahan yang sendu.

Pada akhirnya, sebuah antologi bukanlah harga mati. Kita sering bertanya-tanya, apa yang mengikat teks-teks dalam suatu antologi fiksi? Apakah tema, proses kreatif (aspek produksi) tulisan, ataukah keduanya? Dalam antologi 1 Perempuan 14 Laki-laki ini sepertinya kedua aspek itu bisa dipertimbangkan. Meskipun masing-masing cerpen berdiri sendiri-sendiri, di dalamnya tersimpan gagasan besar yang senada. Djenar dan empat belas laki-lakinya seperti menyepakati satu kata: galau.

*) Mahasiswa Sastra Perancis Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia; Bergiat di Ruangrupa
Sumber: http://cabiklunik.blogspot.com/2011/05/buku-orgy-yang-sunyi.html

Hikayat Wong Cilik di Tengah Sastra Urban (I)

Helvy Tiana Rosa
Republika, 21 Sep 2008

“Sastra bukan sekadar menyapa. Ia telah memerdekakan saya dengan caranya sendiri….” (Syifa Aulia)

Kalimat yang dilontarkan Syifa Aulia di tengah canda teman-temannya di Kowloon Park bertahun-tahun lalu itu ternyata serius.Lebih kurang 10 tahun lalu ia berangkat ke Hong Kong, salah satu kota paling sibuk di dunia, untuk mengadu nasib yang lebih baik, meski harus menempuh jalan sebagai seorang domestic helper (PRT). Siapa mengira, lima tahun di sana, jalannya sebagai cerpenis justru terbuka. “Sastra telah memerdekakan saya sebagai manusia, bukan sekadar dari seorang pembantu rumah tangga atau buruh migran,” ujar Syifa lagi.

Meski harus banting tulang dengan pekerjaan “rendahan”, ia berusaha agar setiap waktunya bisa maksimal. Maka sambil memasak, beres-beres atau bahkan di kamar mandi, ia menggenggam pena.Malam, saat waktu tidur, dengan cahaya redup senter kecilnya, ia masih membaca atau menulis. Di kemudian hari, saat ia bisa membeli blackberry second, lalu laptop murahan, ia pun memanfaatkan wifi, mengakses internet, memperkaya referensi tulisannya.

Waktu liburnya seminggu sekali, dipakainya untuk bertemu teman-temannya dalam sebuah komunitas, yang memberi masukan atas apa yang belum, sudah atau akan ia lakukan dengan ide dan naskah tulisan di tangannya.Kini ia telah menulis tiga buku, antara lain Hong Kong, Topan ke-8. Sebelum pulang ke Indonesia, ia masih sempat bercerita, bagaimana beberapa wartawan di Hong Kong, memburu berita tentang ia dan teman-temannya dan berupaya menerjemahkan karya-karya mereka ke dalam bahasa Cantonese.

Hal seperti itu pula yang kurang lebih dialami Swastika Mahartika. Perempuan ini membawa beribu kepahitan kala mendarat di kota yang sama. Bertubi kegetiran yang ia terima di Hong Kong kemudian, bahkan tak mampu membendungnya untuk menjadi seorang pengarang serius. Tak punya kamar alias harus tidur di dapur bahkan pernah tidur bersama anjing tak juga melemahkannya.Saat disket, CD, dan flashdisc, menjadi sesuatu yang dilarang majikannya seorang bobo (nenek) yang selalu memeriksa tasnya saat keluar masuk rumah ia mengalah menitipkan semua itu di rumah temannya, termasuk sebuah piala yang ia dapatkan dari lomba menulis di komunitasnya

Andina Respati, Wina Karnie (penulis kumpulan cerpen Wanita dan Negeri Beton) dan puluhan lainnya juga punya cerita yang dramatis, tentang bagaimana memulai karir mereka sebagai penulis, dalam posisi sebagai kaum urban yang lemah dan tertindas.”Kami akan meluncurkan belasan buku lagi tahun 2008 ini, Mbak,” kabar dari Respati yang masuk ke ponsel saya. Ia dan teman-temannya terus mengadakan berbagai pelatihan untuk menjaring para penulis baru dari kalangan domestic helper di sana.

Buruh panggul

Kisah tentang teman saya, Sakti Wibowo dan Nasirun, lain lagi.Sakti memulai karirnya sebagai buruh panggul pabrik roti di sebuah kota di Jawa Tengah. Siapa mengira, beberapa tahun kemudian ia telah menulis lebih dari 20 novel dan kumpulan cerpen. Kini ia bekerja sebagaiscript writer lepas dan editor di sebuah penerbitan di Jakarta.Nasirun selalu memperkenalkan dirinya sebagai “Lulusan TK Pertiwi”. Berangkat dari desa ke kota, ia bergelut dengan berbagai macam pekerjaan: tukang parkir hingga menjadi penjaga kotak WC. Lalu kemudian ia dimerdekakan oleh sebuah pekerjaan: menulis. Kini banyak orang belajar menulis dari penyair yang juga kartunis itu.

Paris J Ipal bekerja sebagai SPG di sebuah mall di Jakarta, kini telah menulis lebih dari lima buku. Amir, jauh-jauh merantau dari Sulawesi Selatan dengan kesadaran penuh: pergi ke Jakarta dan menjadi penulis! la sempat terlunta-lunta sebelum akhirnya menjadi SPG di Gramedia dan tahun lalu memenangkan sebuah sayembara penulisan cerpen berhadiah jutaan rupiah. Kini ia tengah menyiapkan buku pertamanya.Begitu juga yang dilakukan Arlen Ara Guci; dari pengangguran di kota, menjelma penulis lima buku, bahkan bisa bekerja di penerbitan.

Afifa Afra adalah seorang mahasiswi pekerja sosial, yang dari jalanan kemudian menulis puluhan buku, bahkan membuat sekolah menulis. Noor H Dee adalah koki sebuah kafe di Jakarta yang kemudian menemukan jalan sejatinya sebagai pengarang dan penggiat sebuah penerbitan. Bukunya: Sepasang mata untuk Cinta yang Buta, baru saja terbit dan menegaskan keseriusannya di dunia sastra.

* Helvy Tiana Rosa, Cerpenis, pendiri Forum Lingkar Pena
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2008/09/wacana-hikayat-wong-cilik-di-tengah.html

A Musthafa A Rodhi Murtadho A Wahyu Kristianto A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Wachid BS Abdullah al-Mustofa Abdullah Khusairi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimanyu Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Maulani Adek Alwi Adhi Pandoyo Adrian Ramdani Ady Amar Afrizal Malna Agnes Rita Sulistyawati Aguk Irawan Mn Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Subiyakto Agus Sulton Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahm Soleh Ahmad Farid Tuasikal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Luthfi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadie Thaha Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rasyid AJ Susmana Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander Aur Alexander G.B. Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Rif’an Aliela Alimuddin Alit S. Rini Alunk Estohank Ami Herman Amich Alhumami Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminudin TH Siregar Ammilya Rostika Sari An. Ismanto Anaz Andaru Ratnasari Andhi Setyo Wibowo Andhika Prayoga Andong Buku #3 Andrenaline Katarsis Andri Cahyadi Angela Anies Baswedan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Sudibyo Anton Wahyudi Anwar Holid Anwar Siswadi Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Zulkifli Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayu Utami Azyumardi Azra Babe Derwan Bagja Hidayat Balada Bandung Mawardi Bayu Agustari Adha Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Bernadette Lilia Nova Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Bhakti Hariani Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budi Winarto Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Bustan Basir Maras Camelia Mafaza Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cecep Syamsul Hari Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Choirul Rikzqa D. Dudu A.R D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Dantje S Moeis Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Darmanto Jatman Dedy Tri Riyadi Delvi Yandra Denny JA Denny Mizhar Dewi Anggraeni Dian Basuki Dian Hartati Dian Sukarno Dian Yanuardy Diana AV Sasa Dinar Rahayu Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi Warsidi Edy Firmansyah EH Kartanegara Eka Alam Sari Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil Amir Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Evan Ys F. Budi Hardiman Fadly Rahman Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fani Ayudea Fariz al-Nizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatkhul Aziz Felix K. Nesi Film Fitri Yani Franditya Utomo Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Garna Raditya Gde Artawan Geger Riyanto Gendhotwukir George Soedarsono Esthu Gerakan Surah Buku (GSB) Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Tri Atmojo H. Supriono Muslich H.B. Jassin Hadi Napster Halim H.D. Hamberan Syahbana Hamidah Abdurrachman Han Gagas Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Priyatna Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasan Junus Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Helwatin Najwa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendriyo Widi Ismanto Hepi Andi Bastoni Heri Latief Heri Listianto Herry Firyansyah Heru Untung Leksono Hikmat Darmawan Hilal Ahmad Hilyatul Auliya Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur Husnun N Djuraid I Nyoman Suaka Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilenk Rembulan Ilham khoiri Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Budi Santosa Imelda Imron Arlado Imron Tohari Indiar Manggara Indira Margareta Indra Darmawan Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ingki Rinaldi Insaf Albert Tarigan Intan Hs Isbedy Stiawan ZS Ismail Amin Ismi Wahid Ivan Haris Iwan Gunadi Jacob Sumardjo Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean-Marie Gustave Le Clezio JJ. Kusni Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Julika Hasanah Julizar Kasiri Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kadir Ruslan Kartika Candra Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Ketut Yuliarsa KH. Ma'ruf Amin Khaerudin Khalil Zuhdy Lawna Kholilul Rohman Ahmad Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Krisandi Dewi Kritik Sastra Kucing Oren Kuswinarto Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lenah Susianty Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto M Shoim Anwar M. Arman A.Z. M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Harya Ramdhoni M. Kasim M. Latief M. Wildan Habibi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria hartiningsih Maria Serenada Sinurat Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Marsus Banjarbarat Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masriadi Mawar Kusuma Wulan Max Arifin Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Mezra E. Pellondou Micky Hidayat Mihar Harahap Misbahus Surur Moh Samsul Arifin Moh. Syafari Firdaus Mohamad Asrori Mulky Mohammad Afifuddin Mohammad Fadlul Rahman Muh Kholid A.S. Muh. Muhlisin Muhajir Arifin Muhamad Sulhanudin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Azka Fahriza Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Nafi’ah Al-Ma’rab Naskah Teater Nezar Patria Nina Setyawati Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noor H. Dee Noval Maliki Nunuy Nurhayati Nur Haryanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurudin Octavio Paz Oliviaks Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pamusuk Eneste Panda MT Siallagan Pandu Jakasurya PDS H.B. Jassin Philipus Parera Pradewi Tri Chatami Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R Sutandya Yudha Khaidar R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rahmat Sutandya Yudhanto Raihul Fadjri Rainer Maria Rilke Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridha al Qadri Ridwan Munawwar Rikobidik Riri Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rizky Andriati Pohan Robert Frost Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Romi Febriyanto Saputro Rosihan Anwar RR Miranda Rudy Policarpus Rukardi S Yoga S. Jai S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Gerilyawan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra SelaSastra ke #24 Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Subhan SD Suci Ayu Latifah Sulaiman Djaya Sulistiyo Suparno Sunaryo Broto Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunudyantoro Suriali Andi Kustomo Suryadi Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Susilowati Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Bahri Syam Sdp Syarif Hidayatullah Tajuddin Noor Ganie Tammalele Tan Malaka Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Tengsoe Tjahjono Th Pudjo Widijanto Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Joko Susilo Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Umar Kayam Undri Uniawati Universitas Indonesia UU Hamidy Vyan Tashwirul Afkar W Haryanto W.S. Rendra Wahyudin Wannofri Samry Warung Boenga Ketjil Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Web Warouw Wijang Wharek Wiko Antoni Wina Bojonegoro Wira Apri Pratiwi Wiratmo Soekito Wishnubroto Widarso Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Wing King WS Rendra Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yosi M. Giri Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Yuyu AN Krisna Zaki Zubaidi Zalfeni Wimra Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhaenal Fanani Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar Zulhasril Nasir