Minggu Pagi, II Januari 2003.
Marhalim Zaini
Di atas pelabuhan, waktu terasa berhenti.
Malam ini, setelah sekian ribu malam yang padam. Tok Bayan baru percaya pada Alan Lightman, sahabatnya dari Memphis, yang menulis dalam sebuah novelnya bahwa “Ada satu tempat di mana waktu berhenti, bandul jam hanya bergerak separuh ayunan. Anjing-anjing mengangkat moncong mereka dalam lolongan sunyi. Pejalan kaki membeku di jalanan berdebu.”* Dulu, ia hanya tersenyum membaca kalimat-kalimat provokatif itu. Baginya, Alan hanya bermain-main dalam imajinasi yang menyesatkan. “Fiksi, memang selalu berusaha untuk melampaui waktu, tapi ternyata waktu selalu lebih dulu meninggalkan masa lalu.” Begitu ia sering mencibir. Tapi malam ini, ketika sekian ratus buku yang telah ia baca, selalu mengembalikannya pada ketidakmampuan mengeja waktu, ia seketika merasa menjadi sebutir debu yang membatu di sudut pelabuhan yang terjerat sunyi. “Apakah di sini, di atas pelabuhan, satu tempat itu, di mana waktu telah berhenti?”
“Einstein’s Dreams, Alan Lightman. Tok Bayan membacanya lagi?”
Ia tersentak, sebuah suara mengejutkannya. Suara seorang lelaki muda yang tak asing. Seorang lelaki berkulit hitam, berbadan tegap, kuli pelabuhan yang mengidap insomnia, yang setiap malam membawakan secangkir kopi pahit dan sebungkus kretek. ”Kita tak punya mimpi bukan?” lelaki muda itu tersenyum pahit. “Minumlah, ini kopi Bali. Si Wayan yang membawanya. Penyair romantis kita itu baru kehilangan kekasihnya. Bom teroris September yang lalu, menghanguskan cintanya.”
Tok Bayan terbatuk. Menarik nafas dalam-dalam, lalu menghembuskannya dengan berat. Angin laut mendingin di paru-parunya yang rumpang. Seperti deru ombak Selat Malaka itu yang menjilati kaki-kaki pelabuhan, nafasnya terhempas, berserakan. Tubuhnya yang menipis, kurus tak terurus, memperjelas kerentaan usianya. Tapi di cekung matanya, ada bulan yang setia menyala. Ada sepasang titik cahaya yang jauh, berpendar dalam hitam yang kian penuh. Batinnya bergumam, “rupanya, waktu tak jadi berhenti malam ini, Alan?”
“Apakah Tok Bayan kurang sehat?” Tanya lelaki muda. “Merokoklah. Lela, janda kembang pelayan kedai kopi Cikpuan itu, tiba-tiba menyelipkan sebungkus Dji Sam Soe dalam saku baju. Buat Tok Bayan, sebagai teman di malam lebaran katanya.”
Tok Bayan tak menjawab. Meski, lesung pipit Lela dan segaris senyum menggoda masih sempat melintas dalam ingatan. Tapi apalah makna perhatian, jika hanya membangkitkan kenangan. Sementara, ia sadar, usianya hanya sisa-sisa. Tulang punggung kian usang, tak mungkin lagi menyangga keinginan-keinginan. Ah, perempuan, selalu saja menyeret hasrat kelelakiannya untuk kembali menjadi muda. Sebab dulu, ia memang tak sempat menikmati cinta. Waktu telah begitu memenjarakannya dalam prahara yang tak kunjung reda.
“Kita kembali berada di ujung tahun, Markus?” Tok Bayan bergumam, sambil menjuntaikan kedua kakinya ke bibir pantai..
“Ya. Ujung tahun yang itu juga.” Lelaki muda, Markus, menyela.
“Kau tak ingin pulang?” Tanya Tok Bayan.
Markus rebah di atas tiang pelabuhan yang patah. Ia menghisap rokok, seperti menghisap kerinduan yang dalam. “Bukankah kita sama-sama tak punya jalan pulang? Lagi pula, aku telah merasa betah di sini. Aku merasa…telah pulang.”
Mereka membiarkan percakapan dalam gemetar suara angin laut yang gamang. Pelabuhan Terubuk yang memanjang, menggigil dalam musim dingin yang telanjang. Seperti ada sesuatu yang hilang, ketika gema takbir sesayup menggenang di permukaan angin yang naik pasang. Merambati pori-pori lembab yang meremang di sekujur badan. Berkali-kali, mereka menghisap sepi, dari api yang menyala di celah jemari. Dua lelaki yang selalu pergi, dan tak pernah kembali, bertemu di satu waktu yang terasa seakan berhenti.
Tok Bayan, terlahir di ujung tahun 1935, di sebuah teluk di ujung Sumatera. Tak ada catatan yang tersisa dari masa kecilnya yang tak bahagia. Hanya dongeng dari seorang perempuan bernama Emak, tentang Dedap Durhaka atau Hikayat Hang Tuah yang setia dan perkasa. Atau cerita tentang hantu jembalang dengan bermacam-macam nama, seperti Hantu Bunian, Hantu Galah, Hantu Polong, Hantu Laut, Hantu Sungai, Hantu Parit, dan segala nama hantu yang disesuaikan dengan tempat di mana ia menghuni. Sepertinya, tak ada tempat yang tak berhantu. Tapi, Tok Bayan kecil tak pernah takut pada hantu jenis apapun. Sebab ia tak pernah sekalipun melihat bentuk rupa hantu-hantu itu. Ia hanya takut pada seseorang yang bernama Mat Saleh. Ia takut pada besi panjang yang tersandang di pundaknya. Ia takut pada suaranya yang seperti petir, menghentak-hentak. Tapi, Emak selalu bilang bahwa ia, Mat Saleh itu, adalah Abahmu. Lelaki Inggris yang baik hati dan begitu tertarik pada perempuan di tanah Melayu.
Setelah itu, ia tak tahu di mana Mat Saleh itu pergi. Emak kemudian memutuskan untuk kawin lagi. Tok Bayan remaja pun, dibawa perahu waktu pergi mengembara. Tahun-tahun yang berlalu menyeret Tok Bayan berlayar dari pulau ke pulau. Baginya, menjadi anak buah kapal adalah pilihan bagi hidup yang diam dan memuakkan. Kota-kota mengajarinya untuk membaca warna nasib dan mengeja manusia-manusia dengan bijaksana.
Tok Bayan pun mulai menulis surat-surat, ketika ada sesuatu yang tak terkata dari yang tampak, ketika kesendirian memerangkapnya dalam bayang-bayang perempuan yang tumbuh dari bawah sadarnya. Perempuan-perempuan berwajah lembut yang jatuh hati padanya, tapi tersebab sesuatu, ia tak pernah sempat untuk bercinta, meski hanya untuk sebuah ciuman pertama. Tapi, surat-surat itu justru memerangkap dirinya dalam kesendirian yang lain. Kesendirian seorang lelaki yang berangkat tua, yang hanya bisa menghibur diri dengan bernyanyi sendiri dengan lagu-lagu yang terdengar sumbang dan aneh.
Akhirnya Tok Bayan memutuskan untuk mengirimkan surat-surat itu kepada setiap kenalannya, pada setiap kota yang pernah disinggahinya. Ia tak pernah peduli, apakah ia akan menerima balasannya. Seperti layaknya Raja Ali Haji yang sampai akhir hidupnya terus menulis surat buat sahabatnya H. von de Wall dari Jerman, Tok Bayan akan terus melayangkan kesepian demi kesepian ke pulau-pulau mimpi, sampai ia menemukan tempat di mana waktu benar-benar telah berhenti. Di mana ia hanya bisa menulis sepucuk surat dari jiwa yang kerontang, melipatnya menjadi perahu mainan, dan menghanyutkannya dari sebuah pelabuhan, di tepian malam yang gamang.
“Benarkah engkau merasa telah pulang, Markus?” Tok Bayan bertanya dengan suara tertekan dan getir.
Markus terdiam. Dalam rebah, seketika ia merasa seperti ditindih hamparan langit yang hitam. Pertanyaan Tok Bayan, membangkitkan ingatan tentang kampung halaman, yang sekian waktu telah terbuang jauh dari pandangan. Apalagi, suara takbir itu, semakin larut semakin menyembilu. Ia tiba-tiba merasakan kembali sayatan pedang perang di Ambon. Bau anyir darah Ayahnya, yang melepas nyawa hanya tersebab ketidaksepahaman antar suku, begitu memualkan dendam rindu. Ia tak mengerti, kenapa Ibunya pun harus mati ketika ia tak sempat bertanya tentang berapa harga kehidupan untuk sebuah perjuangan yang semacam itu. Sampai kini, ketika ia terdampar di sebuah pulau, dan setiap hari memeras keringat sebagai kuli pelabuhan, ia baru tahu bahwa ternyata perjuangan – apa pun bentuknya – hanya berharga untuk mempertahankan kehidupan.
“Ya. Aku telah pulang. Bagaimana dengan dirimu, Tok Bayan?”
“Aku tak punya rumah untuk pulang.”
“Bukankah Tok Bayan terlahir di pulau ini?”
“Ya. Hanya numpang lahir saja.”
Sepasang kelelawar berkelebat. Hitam semakin memekat. Kapal-kapal terlelap, merebahkan tubuhnya di pangkuan pelabuhan. Dua lelaki terbaring, memandang gemerlap bintang di langit, menyembunyikan gundah malam dalam diam yang merajam.
“Malam lebaran yang indah, bukan?” Markus melenguh.
“Ya. Indah.”
“Pasti lebih indah, jika merayakannya bersama keluarga.”
“Ya. Mungkin.”
“……Ya. Mungkin.”
Dengkur ombak pecah di batu. Kayu si api-api menidurkan dingin angin di daun-daunnya. Rumah-rumah yang menghala ke laut, berkerdip dalam temaram, terkantuk-kantuk dalam selimut malam. Tapi surau-surau dari pelosok pulau, masih setia menggaungkan takbir di antara gemerisik pelepah kelapa dan reranting bakau yang mengigau.
“Tok Bayan. Apakah yang paling membuat bahagia, ketika usia beranjak tua?” Markus bertanya lirih dan hati-hati.
Sambil terbatuk-batuk, Tok Bayan menjawab, “Seperti Desember menggapai Januari. Tak ada yang paling bahagia untuk waktu yang berjalan melingkar?”
“Benarkah? Meski di saat-saat seperti ini?”
Tok Bayan kembali terbatuk. Batuk yang menjadi-jadi. Tenggorokannya terasa dipenuhi dahak kering yang mengerak. Dadanya sesak. Seperti batu karang tua di mulut pantai, ia terduduk meringkuk, mirip orang kedinginan. Markus mendekat. Kedua tangannya memijit-mijit di sekitar pundak Tok Bayan. Tak lama, batuknya mereda. Meski nafasnya masih tersengal-sengal.
“Sebaiknya, besok malam Tok Bayan tak lagi terjaga sepanjang malam di sini.” Usul Markus. “Paling tidak untuk kesehatan. Lagi pula, Membaca buku kan tak harus di atas pelabuhan.”
Tok Bayan membisu. Ada yang miris, mengiris ulu hatinya. Ada yang tiba-tiba bergulir dari sudut matanya.
Markus tahu ada isak yang tertahan. Ia merasa gugup. “Apakah teman Tok Bayan dari Memphis itu, masih mengirimkan buku-buku?”
Tok Bayan hanya menganggukkan kepala. Dalam hatinya ia berbisik, Alan Lightman adalah sahabatnya yang paling baik. “Buku-bukunya menenggelamkan aku ke dasar waktu. Sampai aku tak tahu, telah begitu lama aku menanggung rindu.” Tapi, Markus juga pemuda yang baik. “Sentuhan tangannya mengantarkan aku ke permukaan waktu. Sampai kini aku tahu, rindu itu telah kutemu.”
“Markus.”
“Ya.”
“Besok pagi, maukah kau menghidangkan ketupat buatku?” Hidungnya agak tersumbat, membuat suaranya tersendat. “Kita makan bersama Lela di kedai kopinya. Lalu kita bersama-sama pergi ke Masjid, setelah itu kita saling bermaafan. Maukah kau, Markus?”
Serupa fajar syawal yang mengambang di ufuk timur, matahari terbit di hatinya. “Alan, ternyata waktu tak pernah berhenti. Benar katamu, di dunia seperti ini, waktu mengalir ke belakang.”
Yogyakarta, 2002
* Mengutip novel Alan Lightman, Einstein’s Dreams.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Musthafa
A Rodhi Murtadho
A Wahyu Kristianto
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Wachid BS
Abdullah al-Mustofa
Abdullah Khusairi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimanyu
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Maulani
Adek Alwi
Adhi Pandoyo
Adrian Ramdani
Ady Amar
Afrizal Malna
Agnes Rita Sulistyawati
Aguk Irawan Mn
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Subiyakto
Agus Sulton
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahm Soleh
Ahmad Farid Tuasikal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Luthfi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadie Thaha
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rasyid
AJ Susmana
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander Aur
Alexander G.B.
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Rif’an
Aliela
Alimuddin
Alit S. Rini
Alunk Estohank
Ami Herman
Amich Alhumami
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminudin TH Siregar
Ammilya Rostika Sari
An. Ismanto
Anaz
Andaru Ratnasari
Andhi Setyo Wibowo
Andhika Prayoga
Andong Buku #3
Andrenaline Katarsis
Andri Cahyadi
Angela
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Sudibyo
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Zulkifli
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayu Utami
Azyumardi Azra
Babe Derwan
Bagja Hidayat
Balada
Bandung Mawardi
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Bernadette Lilia Nova
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Bhakti Hariani
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budi Winarto
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Bustan Basir Maras
Camelia Mafaza
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Choirul Rikzqa
D. Dudu A.R
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Darmanto Jatman
Dedy Tri Riyadi
Delvi Yandra
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Anggraeni
Dian Basuki
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dian Yanuardy
Diana AV Sasa
Dinar Rahayu
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Warsidi
Edy Firmansyah
EH Kartanegara
Eka Alam Sari
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil Amir
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
F. Budi Hardiman
Fadly Rahman
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fani Ayudea
Fariz al-Nizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatkhul Aziz
Felix K. Nesi
Film
Fitri Yani
Franditya Utomo
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Garna Raditya
Gde Artawan
Geger Riyanto
Gendhotwukir
George Soedarsono Esthu
Gerakan Surah Buku (GSB)
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Tri Atmojo
H. Supriono Muslich
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim H.D.
Hamberan Syahbana
Hamidah Abdurrachman
Han Gagas
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Helwatin Najwa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendriyo Widi Ismanto
Hepi Andi Bastoni
Heri Latief
Heri Listianto
Herry Firyansyah
Heru Untung Leksono
Hikmat Darmawan
Hilal Ahmad
Hilyatul Auliya
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husnun N Djuraid
I Nyoman Suaka
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilenk Rembulan
Ilham khoiri
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Budi Santosa
Imelda
Imron Arlado
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Margareta
Indra Darmawan
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ingki Rinaldi
Insaf Albert Tarigan
Intan Hs
Isbedy Stiawan ZS
Ismail Amin
Ismi Wahid
Ivan Haris
Iwan Gunadi
Jacob Sumardjo
Jafar Fakhrurozi
Jajang R Kawentar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean-Marie Gustave Le Clezio
JJ. Kusni
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Julika Hasanah
Julizar Kasiri
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kadir Ruslan
Kartika Candra
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Ketut Yuliarsa
KH. Ma'ruf Amin
Khaerudin
Khalil Zuhdy Lawna
Kholilul Rohman Ahmad
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Krisandi Dewi
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kuswinarto
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lenah Susianty
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
M Shoim Anwar
M. Arman A.Z.
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Harya Ramdhoni
M. Kasim
M. Latief
M. Wildan Habibi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria hartiningsih
Maria Serenada Sinurat
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Marsus Banjarbarat
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masriadi
Mawar Kusuma Wulan
Max Arifin
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Mezra E. Pellondou
Micky Hidayat
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Moh Samsul Arifin
Moh. Syafari Firdaus
Mohamad Asrori Mulky
Mohammad Afifuddin
Mohammad Fadlul Rahman
Muh Kholid A.S.
Muh. Muhlisin
Muhajir Arifin
Muhamad Sulhanudin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Azka Fahriza
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naskah Teater
Nezar Patria
Nina Setyawati
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noor H. Dee
Noval Maliki
Nunuy Nurhayati
Nur Haryanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurudin
Octavio Paz
Oliviaks
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Panda MT Siallagan
Pandu Jakasurya
PDS H.B. Jassin
Philipus Parera
Pradewi Tri Chatami
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rahmat Sutandya Yudhanto
Raihul Fadjri
Rainer Maria Rilke
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridha al Qadri
Ridwan Munawwar
Rikobidik
Riri
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rizky Andriati Pohan
Robert Frost
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Romi Febriyanto Saputro
Rosihan Anwar
RR Miranda
Rudy Policarpus
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Gerilyawan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra
SelaSastra ke #24
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Subhan SD
Suci Ayu Latifah
Sulaiman Djaya
Sulistiyo Suparno
Sunaryo Broto
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunudyantoro
Suriali Andi Kustomo
Suryadi
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Susilowati
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Bahri
Syam Sdp
Syarif Hidayatullah
Tajuddin Noor Ganie
Tammalele
Tan Malaka
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Tengsoe Tjahjono
Th Pudjo Widijanto
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Joko Susilo
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi
Umar Kayam
Undri
Uniawati
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Vyan Tashwirul Afkar
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyudin
Wannofri Samry
Warung Boenga Ketjil
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Web Warouw
Wijang Wharek
Wiko Antoni
Wina Bojonegoro
Wira Apri Pratiwi
Wiratmo Soekito
Wishnubroto Widarso
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Wing King
WS Rendra
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yosi M. Giri
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Yuyu AN Krisna
Zaki Zubaidi
Zalfeni Wimra
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhaenal Fanani
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Zulhasril Nasir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar