Minggu, 28 Agustus 2011

Biografi Almarhum Tan Malaka (1894-1949)

Sabam Siagian*
Suara Pembaruan, 22 Sep 2007

SEBUAH lembaga penelitian Belanda KITLV (singkatan dari Koninklijk Instituut voor Taal, Land en Volkenkunde – Lembaga Kerajaan untuk Penelitian Masalah Bahasa, Geografi dan Bangsa-bangsa) yang berkantor pusat di Leiden, meluncurkan terbitan monumental. Hasil karya se- orang peneliti senior Dr Harry A Poeze di lembaga tersebut tentang kegiatan politik tokoh pejuang kemerdekaan Indonesia yang berhaluan kiri, Tan Malaka, antara tahun 1945 sampai dengan awal 1949 itu, terbit dalam tiga jilid.

Isinya lebih dari 2.000 (dua ribu) halaman. Judulnya saja agak mencerminkan simpati penulis kepada subjeknya: Verguied en Vergeten- Tan Malaka, de linkse beweging en de Indonesia Revolutie, 1935-1949 (Dihujat dan Dilupakan-Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia, 1945-1949).

Tiga jilid yang baru terbit ini merupakan Bagian II. Bagian I diterbitkan pada 1976 dan menggambarkan perjalanan hidup Tan Malaka sejak lahir di Sumatera Barat (1894) dari tahun 1897 sampai berakhirnya pendudukan militer Jepang di Pulau Jawa pada 1945.

Bagian I itu yang berjudul Tan Malaka; Pejuang Kemerdekaan Indonesia, Perjalanan Hidupnya 1897-1945 (terjemahan Indonesia), sebenarnya merupakan disertasi Harry Poeze untuk mencapai gelar doktor dalam ilmu politik di bawah asuhan Prof Wertheim di Universitas Amsterdam.

Guru besar ini, yang pernah bertugas sebagai dosen di Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (RHS) di Jakarta (Batavia) sebelum 1942, dikenal sebagai pemuja gerakan kiri di Indonesia. Dr Poeze telah mengumpulkan sejumlah besar bahan dan mewawancarai tokoh-tokoh yang masih hidup yang mengenal Tan Malaka. Karena dia juga sibuk sebagai direktur penerbitan lembaga KITLV, ia memerlukan sekitar 10 tahun untuk menyelesaikan tahap riset dan penulisan karya besar itu.

***

Ketika Bagian II dari biografi Tan Malaka ini diluncurkan di Jakarta pada 30 Juli lalu di Gedung Joang 45, Jalan Menteng Raya no 31, Jakarta, Dr Harry Poeze tampak hadir. Pertemuan itu diselenggarakan bersama oleh Pusat Studi, Penerbitan dan Pustaka Demokrasi (Pusbitdem) dan KITLV. Saya diundang, karena sejak dulu selama menjadi mahasiswa pada 1950′an di Universitas Indonesia, memang sudah tertarik pada tulisan dan biografi Tan Malaka yang pada waktu itu tidak begitu mudah memperolehnya. Dr Roger Toll, Kepala Perwakilan KITLV di Jakarta bermurah hati mengirim satu set Bagian II biografi Tan Malaka yang terdiri dari tiga jilid.

Ternyata bahasa Belanda saya yang dulu harus dipergunakan secara aktif ketika menjadi pelajar di sebuah SMA berbahasa Belanda di Jakarta belum berkarat sehingga masih dapat menikmati cerita Dr Poeze tentang kegiatan politik Tan Malaka (1945-1949) yang ditulis secara menarik. Meskipun kadang-kadang terlalu dibebani fakta-fakta yang jelimet yang justru cenderung mengaburkan gambaran Tan Malaka selama tahun-tahun Revolusi Indonesia itu.

Jelas, penulis kolom ini bukan sejarawan profesional. Catatan-catatan ini sekadar menarik perhatian Anda agar mengetahui, ada saja ilmuwan asing yang begitu getol meneliti perjalanan hidup seorang tokoh politik Indonesia yang hampir terlupakan, sehingga mampu menerbitkan karya yang berjilid-jilid. Apakah karya yang merupakan produksi besar itu memang relevan dalam keseluruhan kerangka sejarah Revolusi Indonesia, masalah itu patut diteliti oleh para sejarawan Indonesia.

Kebetulan saya berjumpa dengan Dr Taufik Abdullah, pakar sejarah modern Indonesia yang juga mendapat kiriman satu set Bagian II biografi politik Tan Malaka. “Tugas Andalah untuk mengupas karya Dr Poeze ini sebagai sejarawan profesional,” ujar saya kepada Bung Taufik.

***

Siapa sebenarnya Tan Malaka? Nama lengkapnya adalah Ibrahim gelar Datoek Tan Malaka. Tahun kelahirannya, menurut Dr Poeze, diduga 1894 di Desa Pandan Gadang. Ia menjadi pelajar sekolah pendidikan guru. Karena cerdas, ia dikirim ke Negeri Belanda dan mengikuti pendidikan guru lanjutan di Kota Haarlem, 1913-1915.

Karena Perang Dunia I berkecamuk di Eropa (1914-1918), Tan Malaka terhalang pulang ke Tanah Air. Ia terpaksa hidup berdikari dan selama tahun-tahun itu berkenalan dengan ideologi sosialisme dan komunisme. Pada 1920 Tan Malaka akhirnya pulang ke Tanah Air dan menjadi guru di sekolah yang didirikan oleh perusahaan perkebunan Eropa di Sumatera Timur.

Gajinya setaraf dengan gaji seorang guru Belanda. Ia tidak tahan melihat tindasan yang diderita para kuli perkebunan yang didatangkan dari Pulau Jawa. Pada Februari 1921 Tan Malaka minta berhenti dan pindah ke Semarang, di mana sebuah partai baru, Partai Komoenis Indonesia (PKI) belum lama berdiri. Partai baru itu muncul dari ribaan Sarekat Islam (SI) dan ingin terus berlindung di belakangnya sambil melakukan kegiatan agitasinya.

Tan Malaka segera aktif menyelenggarakan pendidikan cuma-cuma kepada anak-anak rakyat jelata, menulis pamflet-pamflet, dan mendorong berbagai pemogokan. Akhirnya PKI dipisahkan dari SI, dan peranan Tan Malaka sebagai agitator komunis menjadi mencolok bagi polisi rahasia Hindia Belanda.

Dengan keputusan gubernur jenderal, ia dikenakan hukuman pembuangan. Tan Malaka memilih Negeri Belanda sebagai tempat pengasingannya pada Maret 1922. Dari sana ia ke Moskwa dan mengikuti program pendidikan partai komunis.

Tan Malaka menghadiri Kongres International Partai-partai Komunis (Kominform) di Moskwa pada November 1922. Ia kemudian diangkat sebagai Wakil Kominform untuk seluruh Asia Tenggara. Maka mulailah pengembaraannya selama 20 tahun, diuber-uber polisi rahasia di Manila, Hong Kong, Bangkok, Singapura, dan ibu kota lainnya sebelum ia kembali ke Tanah Air pada 1942 setelah militer Jepang menguasai Asia Tenggara.

Yang penting dicatat selama periode itu adalah brosur yang ditulis dan diterbitkannya pada 1924 dalam bahasa Belanda dan diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Judulnya: “Menuju Republik Indonesia”. Meskipun brosur itu terpaksa harus diselundupkan ke Indonesia dan beredar secara terbatas, dampaknya di kalangan pergerakan kebangsaan amat besar. Untuk pertama kalinya konsep “Republik Indonesia” dicanangkan.

Karena berbagai persoalan (terlalu jelimet untuk diterangkan di sini), pada tahun 1927 Tan Malaka putus arang dengan Moskwa.

Pada Juli 1927, Tan Malaka dengan beberapa kawannya mendirikan Partai Repoeblik Indonesia (PARI) di Bangkok. Diusahakan untuk mendirikan cabang-cabang di beberapa tempat di Indonesia, tapi dengan mudah ditumpas oleh polisi rahasia Hindia Belanda.

Demikianlah Tan Malaka meneruskan pengembaraannya, sampai-sampai ke Tiongkok Selatan dan berkembang sebagai seorang komunis-nasionalis, seperti juga pemimpin Vietnam, Ho Chi Minh.

***

Sekadar beberapa catatan saja tentang Bagian II biografi Tan Malaka. Pertanyaan besar agaknya: Kenapa dia tidak berperan pada periode menuju Proklamasi 17 Agustus 1945 dan pada awal RI berdiri? Tan Malaka sudah berumur 51 tahun ketika Proklamasi, lebih tua dari tokoh-tokoh politik lainnya. Ia baru muncul di Jakarta (dari persembunyian di Banten Selatan) seminggu setelah Proklamasi pada 25 Agustus 1945 di rumah Mr Subardjo di Jalan Cikini, Jakarta.

Beberapa catatan Harry Poeze tentang profil Tan Malaka agaknya membantu, karena pada saat-saat bersejarah selama tahun-tahun awal RI itu, Tan Malaka seperti dilewati oleh dinamika politik dan tidak menonjol di panggung peristiwa. Pada halaman 39 ditulis “betapa selama bertahun-tahun Tan Malaka hidup sebagai orang perburuan sehingga sebenarnya dia tidak mampu lagi hidup secara normal…”

Kemudian dicatatnya di halaman 866 bahwa “kecenderungan merahasiakan segala sesuatunya dan sikap terlalu hati-hati mendominasi karakter Tan Malaka”. “Ia seorang revolusioner yang kesepian (een eenzame revolutioner), menurut Poeze dalam bab Penutup (halaman 2005).

Ia ditangkap pada Maret 1946 di Madiun oleh pendukung PM Sutan Syahrir, karena dituduh mengorganisir agitasi terhadap Kabinet Syahrir, yang menyulitkan diplomasi yang sedang berlangsung dengan pihak Belanda. Tan Malaka baru dibebaskan pada September 1948 sebagai pengimbang terhadap gerakan PKI-Muso.

Setelah serangan umum Belanda 19 Desember 1948 ketika Yogya diduduki, maka sebagai keputusan politik, Presiden Soekarno, Wakil Presiden Moh Hatta dan sejumlah anggota kabinet tidak meninggalkan ibu kota. Mereka menjadi tahanan militer Belanda.

Tan Malaka yang bergerak di Jawa Timur, di daerah sebelah barat Kota Kediri, seberang Kali Brantas melakukan agitasi bahwa kepemimpinan Soekarno-Hatta sudah berakhir. Pada 9 Februari 1949 di Desa Tegoran, menurut undangan diacarakan rapat koordinasi para komandan yang bergerilya di daerah itu.

Ternyata, rapat itu menjadi ajang agitasi politik bagi Tan Malaka (dengan nama samaran Pak Usin) yang berpidato selama lebih sejam. Pada malam itulah tanpa dinyatakan secara formal dibentuk Gabungan Pembela Proklamasi. Ia juga rajin mengedarkan pamflet-pamflet politik yang ditulisnya sendiri dengan alamat “Markas Murba Terpendam”. Salah satu pamflet itu mencerca para perwira TNI, antara lain nama Kol Sungkono disebut, komandan Jawa Timur, “yang lari terbirit-birit ke Gunung Wilis diuber pasukan Belanda”.

Di periode perang gerilya menghadapi Belanda pada belahan pertama tahun 1949 di mana hukum militer berlaku, sikap komandan setempat menghadapi agitasi yang diorganisir oleh Tan Malaka, termasuk menyusun kekuatan bersenjata, dan tidak mengakui lagi kepemimpinan Soekarno-Hatta ataupun PRRI di Sumatera, sudah dapat diramalkan. Letkol Surachmad, komandan “Wehrkreisse” di daerah tersebut mengeluarkan surat perintah rahasia yang mencap gerakan Tan Malaka sebagai mengancam eksistensi RI. Ia lapor kepada Kol Sungkono bahwa tindakan keras akan dilakukan terhadap Tan Malaka dan pengikutnya.

Pada malam 21 Februari 1949, Letnan Dua Sukotjo dan anak buahnya menangkap Tan Malaka di Desa Selongpanggung, dekat Tonggoel. Tan Malaka dieksekusi oleh anak buahnya bernama Suradi Tekebek. Poeze berhasil menggali fakta-fakta itu setelah bertahun-tahun melakukan penelitian dan mengunjungi lokasinya.

Ia ungkapkan emosinya sedikit dan tinggalkan objektivitasnya sebagai ilmuwan sejarah ketika di catatan kaki halaman 1466 ia memakai istilah “pembunuh Tan Malaka” (moordenaar) dan kata “schuld” (rasa bersalah). Padahal di bagian lainnya, penulis akui bahwa hukum militer berlaku dalam situasi perang melawan Belanda.

Sayang Dr Harry Poeze tidak mengutip kenangan Abu Bakar Lubis pada Tan Malaka dalam bukunya Kilas Balik Revolusi (Jakarta, 1992). Sebagai pemuda pejuang, ia mengenal Tan Malaka dan membaca karya politiknya. Lubis menulis: “Tan Malaka hidup lebih dari dua puluh tahun dalam pengasingan, penjara, atau persembunyian. Tidaklah heran kita, bahwa seorang yang hidup begitu lama dalam kesepian mempunyai dunia sendiri yang tidak sepi dengan cita-cita, impian dan khayalan, mengejar suatu utopia. Karena itu mungkin sekali ia tidak selalu bergerak dan mengambil si- kap yang berpijak pada kenyataan….”

* Sabam Siagian, pengamat sejarah politik nasional
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2007/09/buku-biografi-almarhum-tan-malaka-1894.html

Tidak ada komentar:

A Musthafa A Rodhi Murtadho A Wahyu Kristianto A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Wachid BS Abdullah al-Mustofa Abdullah Khusairi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimanyu Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Maulani Adek Alwi Adhi Pandoyo Adrian Ramdani Ady Amar Afrizal Malna Agnes Rita Sulistyawati Aguk Irawan Mn Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Subiyakto Agus Sulton Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahm Soleh Ahmad Farid Tuasikal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Luthfi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadie Thaha Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rasyid AJ Susmana Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander Aur Alexander G.B. Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Rif’an Aliela Alimuddin Alit S. Rini Alunk Estohank Ami Herman Amich Alhumami Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminudin TH Siregar Ammilya Rostika Sari An. Ismanto Anaz Andaru Ratnasari Andhi Setyo Wibowo Andhika Prayoga Andong Buku #3 Andrenaline Katarsis Andri Cahyadi Angela Anies Baswedan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Sudibyo Anton Wahyudi Anwar Holid Anwar Siswadi Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Zulkifli Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayu Utami Azyumardi Azra Babe Derwan Bagja Hidayat Balada Bandung Mawardi Bayu Agustari Adha Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Bernadette Lilia Nova Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Bhakti Hariani Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budi Winarto Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Bustan Basir Maras Camelia Mafaza Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cecep Syamsul Hari Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Choirul Rikzqa D. Dudu A.R D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Dantje S Moeis Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Darmanto Jatman Dedy Tri Riyadi Delvi Yandra Denny JA Denny Mizhar Dewi Anggraeni Dian Basuki Dian Hartati Dian Sukarno Dian Yanuardy Diana AV Sasa Dinar Rahayu Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi Warsidi Edy Firmansyah EH Kartanegara Eka Alam Sari Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil Amir Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Evan Ys F. Budi Hardiman Fadly Rahman Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fani Ayudea Fariz al-Nizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatkhul Aziz Felix K. Nesi Film Fitri Yani Franditya Utomo Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Garna Raditya Gde Artawan Geger Riyanto Gendhotwukir George Soedarsono Esthu Gerakan Surah Buku (GSB) Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Tri Atmojo H. Supriono Muslich H.B. Jassin Hadi Napster Halim H.D. Hamberan Syahbana Hamidah Abdurrachman Han Gagas Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Priyatna Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasan Junus Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Helwatin Najwa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendriyo Widi Ismanto Hepi Andi Bastoni Heri Latief Heri Listianto Herry Firyansyah Heru Untung Leksono Hikmat Darmawan Hilal Ahmad Hilyatul Auliya Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur Husnun N Djuraid I Nyoman Suaka Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilenk Rembulan Ilham khoiri Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Budi Santosa Imelda Imron Arlado Imron Tohari Indiar Manggara Indira Margareta Indra Darmawan Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ingki Rinaldi Insaf Albert Tarigan Intan Hs Isbedy Stiawan ZS Ismail Amin Ismi Wahid Ivan Haris Iwan Gunadi Jacob Sumardjo Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean-Marie Gustave Le Clezio JJ. Kusni Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Julika Hasanah Julizar Kasiri Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kadir Ruslan Kartika Candra Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Ketut Yuliarsa KH. Ma'ruf Amin Khaerudin Khalil Zuhdy Lawna Kholilul Rohman Ahmad Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Krisandi Dewi Kritik Sastra Kucing Oren Kuswinarto Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lenah Susianty Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto M Shoim Anwar M. Arman A.Z. M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Harya Ramdhoni M. Kasim M. Latief M. Wildan Habibi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria hartiningsih Maria Serenada Sinurat Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Marsus Banjarbarat Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masriadi Mawar Kusuma Wulan Max Arifin Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Mezra E. Pellondou Micky Hidayat Mihar Harahap Misbahus Surur Moh Samsul Arifin Moh. Syafari Firdaus Mohamad Asrori Mulky Mohammad Afifuddin Mohammad Fadlul Rahman Muh Kholid A.S. Muh. Muhlisin Muhajir Arifin Muhamad Sulhanudin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Azka Fahriza Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Nafi’ah Al-Ma’rab Naskah Teater Nezar Patria Nina Setyawati Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noor H. Dee Noval Maliki Nunuy Nurhayati Nur Haryanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurudin Octavio Paz Oliviaks Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pamusuk Eneste Panda MT Siallagan Pandu Jakasurya PDS H.B. Jassin Philipus Parera Pradewi Tri Chatami Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R Sutandya Yudha Khaidar R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rahmat Sutandya Yudhanto Raihul Fadjri Rainer Maria Rilke Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridha al Qadri Ridwan Munawwar Rikobidik Riri Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rizky Andriati Pohan Robert Frost Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Romi Febriyanto Saputro Rosihan Anwar RR Miranda Rudy Policarpus Rukardi S Yoga S. Jai S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Gerilyawan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra SelaSastra ke #24 Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Subhan SD Suci Ayu Latifah Sulaiman Djaya Sulistiyo Suparno Sunaryo Broto Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunudyantoro Suriali Andi Kustomo Suryadi Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Susilowati Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Bahri Syam Sdp Syarif Hidayatullah Tajuddin Noor Ganie Tammalele Tan Malaka Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Tengsoe Tjahjono Th Pudjo Widijanto Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Joko Susilo Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Umar Kayam Undri Uniawati Universitas Indonesia UU Hamidy Vyan Tashwirul Afkar W Haryanto W.S. Rendra Wahyudin Wannofri Samry Warung Boenga Ketjil Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Web Warouw Wijang Wharek Wiko Antoni Wina Bojonegoro Wira Apri Pratiwi Wiratmo Soekito Wishnubroto Widarso Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Wing King WS Rendra Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yosi M. Giri Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Yuyu AN Krisna Zaki Zubaidi Zalfeni Wimra Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhaenal Fanani Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar Zulhasril Nasir