Minggu, 28 Agustus 2011

Lepas dari Sergapan Klise

Anwar Holid*
Kompas, 31 Agus 2008

STEVEN Taylor Goldberry, penulis ”The Writer’s Book of Wisdom”, menyatakan: sebuah buku yang punya kerangka cerita sangat menarik bisa sukses meski ia ditulis dengan buruk, plotnya jelek, dan karakternya mudah ditertawakan. Ujung-ujungnya, kata dia, isi tulisan lebih penting dibandingkan keterampilan.

Kadang-kadang subyek sebuah cerita bisa saja klise karena memang nyaris tiada yang baru di dunia ini; tapi bila formulanya bikin pembaca terpana, berharaplah bahwa ia bakal sukses jadi cerita.

Kunci dari ramuan itu, menurut Harriet Smart, terletak pada pertanyaan: ”Bagaimana seandainya.” Misal dalam film Notting Hill: ”Bagaimana seandainya bintang Hollywood jatuh cinta pada pemilik toko buku bekas?”

Ketika Cinta Tak Mau Pergi, novel debut Nadhira Khalid melahirkan pertanyaan: Bagaimana seandainya seorang pemuda miskin jatuh cinta pada seorang gadis paling cantik dan kaya dari desa sebelah yang secara turun-temurun bermusuhan dengan desanya?

Boleh jadi pembaca langsung terbayang ”Romeo & Juliet” atau ”San Pek-Eng Tay”. Situasinya klise sekali. Tapi, Nadhira mengolah dengan lebih kompleks; alih-alih melahirkan tragedi percintaan semata, dia menghadirkan konflik kelas, pertarungan sosial, dan persoalan ekonomi-politik yang ruwet. Dengan setting di Lombok dan Sumbawa, Nusa Tenggara, Wawan Eko Yulianto menyatakan novel ini ”mengintip lebih jauh pada masyarakat Sasak”.

Masyarakat Sasak berjumlah lebih dari tiga juta orang, secara tradisional telah beragama Islam, namun kepercayaan terhadap mistik, sihir, dan mantra masih pekat. Meski menghormati guru ngaji, mereka percaya dukun mempunyai kekuatan untuk menyembuhkan segala sesuatu, termasuk bisa dimintai guna-guna.

Nadhira bercerita tentang Lombok tahun 1970-an. Kisah dimulai dari Desa Presak Bat dan Presak Timuq, tempat orang Sasak waktu itu masih tradisional, miskin, bodoh, diabaikan pemerintahan, tanpa fasilitas umum, sementara aparat setempat korup dan suka suap.

Karena bodoh, penduduk tak tahu bahwa negeri mereka mengandung batu apung dan tambang lain yang bisa diolah sebagai sumber kesejahteraan. Yang mengetahui ialah perusahaan tambang di Jakarta. Menggunakan kaki tangan lokal dan aparat korup yang suka jatah preman, perusahaan berhasil mengadu domba warga dua desa yang awalnya rukun tenteram, meski serba kekurangan.

Warga berhasil dihasut bahwa tetangga mereka kerap mencuri satu sama lain, akibatnya tawuran antardesa pun pecah bertahun- tahun, membuat mereka bermusuhan dan terus saling curiga.

Yang celaka dari permusuhan itu ialah Sahnim dan Kertiaji. Dulu waktu kecil mereka main bareng dan rasa suka mereka tumbuh sejak masa cinta monyet. Sahnim tinggal di Presak Bat, sedangkan Kertiaji di Presak Timuq. Si gadis anak orang paling kaya desa itu, juga paling cantik; sementara si jejaka anak bangsawan yang sudah miskin dan kehilangan kekuasaan.

Meski saling cinta, Kertiaji diusir ketika hendak melamar Sahnim. Lebih parah, niatnya hendak meminang Sahnim malah menimbulkan perang desa. Kerusuhan membuatnya nekat menculik gadis itu, sekaligus hendak kawin lari.

Tapi sayang, upaya itu gagal karena Sahnim berhasil direbut kembali oleh ayahnya. Ayah Sahnim ingin dia menikah dengan lelaki kaya kalau bukan dari keluarga terhormat. Harapan itu tertambat pada Japa, musuh utama Kertiaji, pemuda perlente anak seorang anggota DPRD.

Perlu eksplorasi

Kasih tak sampai itu menyita hampir seluruh buku, bahkan ketika Kertiaji sekeluarga transmigrasi ke Sumbawa hendak memulai hidup baru karena ingin lepas dari kemiskinan. Cintanya pada Sahnim, kenangan, dan kegagalan menyunting gadis itu membuatnya tak betah ada di pulau seberang. Dia memutuskan kembali.

Menyesal, Sahnim kini sudah jadi istri Japa, meski dia didapat lewat guna-guna. Japa, di luar motif mengawini Sahnim, ternyata mau mencuri surat tanah berhektar-hektar milik mertuanya, yang nanti akan dia dagangkan pada ayahnya. Begitulah mereka berkolusi membebaskan tanah penduduk dua desa itu untuk perusahaan di Jakarta; sebagian dengan memalsukan surat tanah, sebagian dengan mengusir penduduk lewat program transmigrasi.

Sayang persoalan seserius itu tertimbun terus di balik drama Kertiaji merebut kembali Sahnim. Padahal gambaran kemelaratan di desa-desa kepulauan, keterbelakangan penduduk, ditambah ancaman malaria dan kejahatan sosial terencana, amat potensial diolah menjadi isu berjangkauan nasional. Intensitas penulis tampak bukan ke sana. Itu membuat persoalan kapitalisme jahat di sana jadi sekadar tempelan yang kehilangan ujung- pangkal di akhir buku, meski ketegangannya sudah ditonjolkan di awal.

Agaknya penulis kesulitan menjalin koherensi satu cerita dengan cerita lain sebagai alur yang utuh, berurutan, dan mempertahankan daya pikat. Memang butuh kemampuan dan persiapan lebih agar cerita terus mampu membetot kepenasaran pembaca.

Kasih tak sampai antara Sahnim dan Kertiaji bukan tipe kisah cinta yang mudah menguras air mata, melainkan pertanyaan, ”Kualitas apa yang membuat sepasang kekasih ini terasa begitu tergila- gila dan setia?” Apalagi Kertiaji juga bukan pria dengan karakter jagoan; dia mudah ragu dan lari dari tekanan yang menghadang. Karakternya bahkan kalah kuat dibandingkan adiknya, Ratmaji. Ratmajilah yang kerap menasihati dan memberi dorongan moral setiap kali Kertiaji bingung mau apa, dia pun amat setia sebagai saudara.

Mungkin, passion (pergolakan emosi) yang terasa kurang dalam novel ini. Soalnya Nadhira sudah berhasil menghadirkan detail setting, suasana sosial etnik Sasak, termasuk gesekan antara nilai Islam dan keyakinan setempat. Drama malapetaka sosial itu menanti eksplorasi penulis lebih lanjut di masa depan.

Dalam konteks industri buku, karena diterbitkan Forum Lingkar Pena (FLP) yang selama ini diakui sukses membangun genre fiksi Islam ke tingkat maksimal, pilihan tema persoalan sosial seperti ini menandai peralihan orientasi yang segar dan patut dipuji. Ketika Cinta Tak Mau Pergi bisa lepas dari sergapan klise tipikal fiksi Islam. Novel ini menandai FLP yang berpandangan lebih luas, terbuka, mau menjelajah subyek baru, berhenti memperlihatkan unsur Islam secara permukaan dan naif.

Alih-alih mengadopsi bahasa atau budaya Arab secara berlebihan sebagaimana sering terjadi, penulis malah memasukkan banyak unsur bahasa dan budaya setempat, termasuk kesulitan lidah melafalkan ’f’ sebagaimana terjadi pada orang Sunda. Ini memperlihatkan upaya FLP merebut pangsa pembaca umum yang selama ini ditinggalkan dan memiliki resistensi tertentu terhadap produk mereka.

* Anwar Holid, Eksponen TEXTOUR, Rumah Buku Bandung
Diambil dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2008/08/buku-lepas-dari-sergapan-klise.html

Semoga Pelangi Itu Selalu Berseri

: Sebuah Esai atas Buku Kumpulan Cerpen "Pelangi Sastra Malang dalam Cerpen"
Sidik Nugroho
http://tuanmalam.blogspot.com/

"Dead Poets Society" -- mungkin kita pernah menonton filmnya. Di sana ada seorang guru bahasa yang sangat bergairah dan dinamis mengajar: naik ke atas meja, penuh retorika, bahkan menggunakan pelajaran olahraga sebagai kegiatan pemantik semangat hidup. Sang guru -- diperankan memikat oleh Robin Williams -- disukai benar oleh murid-muridnya. Beberapa di antara mereka bahkan kemudian meniru-niru apa yang pernah dilakukan sang guru itu ketika ia masih muda: membentuk geng sastra!

Di sebuah tempat mirip gua yang jauh dari keramaian pada malam hari, berbekal cahaya remang-remang, mereka berkumpul, mengadakan perang sajak dan puisi. Jiwa muda yang penuh antusiasme dan kegairahan berekspresi -- tak akan terlupakan, bukan? Apalagi ketika cinta sedang menyapa, lalu puisi tercipta, dibacakan sambut-menyambut dalam bisikan hening, sesekali pekik, dan nuansa penuh dinamika: serasa lapang nian batin kita yang kecil ini memandangi keluasan semesta raya!

"Carpe diem", itulah salah satu ungkapan yang sering disebut dalam "Dead Poets Society". Artinya "seize the day", gunakan hari ini -- sebaik mungkin. Hidup memang indah jikalau kita berkarya dengan hati, tak sekedar disia-siakan. Hati pun akhirnya mencari kata-demi-kata, dalam rangka upaya memaknai keindahan -- juga bahkan penderitaan -- hidup. Kreator-kreator lalu tampil, dan seringkali mereka bersatu, membentuk komunitas, berbagi, dan bercengkerama.

Komunitas-komunitas sastra itu penting, paling tidak dalam dua hal berikut. Pertama, ia adalah ajang di mana para anggotanya bisa berbagi dan saling membangun. Kedua, ia menjadi bukti eksistensi keberadaan minat serupa para anggotanya. Dari kedua hal ini, hal kedualah yang sedang ditampakkan oleh Pelangi Sastra Malang lewat kumpulan cerpen "Pleidooi" ini.

Kumpulan cerpen ini dibuka dengan cerpen berjudul "Pinanglah Aku" karya Muyassaroh El-yasin. Penulis yang rajin menulis di majalah dinding ini membuat sebuah cerpen remaja Islami yang memikat dari segi dialog dan ekspresi tokoh-tokohnya. Ia mengisahkan seorang tokoh yang ingin hubungan lawan jenis berstatus jelas. Dengan lugas penulisnya menyampaikan pentingnya tujuan sebuah hubungan. Terkesan tradisional, mirip hubungan percintaan di desa-desa yang pernah saya dengar di warung kopi: bila kau mengajak seorang gadis keluar, orang tua si gadis akan memintamu untuk melamarnya. Terkesan sedikit asing alur dan ceritanya di tengah kehidupan yang makin bebas.

Cerpen-cerpen lain bertema cinta juga ada, setidaknya dalam cerpen-cerpen berikut: "Nausea" karya Yuni Kristianingsih, "Dua Laki-laki yang Meninggalkan Memori Nyeri" karya Yusri Fajar, "Tamu dari Austria" karya A Elwiq Pr dan "Dia Belum Juga Datang" karya Aga Herman. Cerpen-cerpen ini menampilkan beraneka dimensi tentang hubungan cinta, dengan jalinan kisahnya sendiri-sendiri. Dari keempat cerpen ini, yang agak eksentrik adalah cerpen "Dia Belum Juga Datang". Seorang wanita yang menunggu seorang pria hingga menghabiskan bergelas-gelas kopi di sebuah kafe ini terurai penuh gagasan hebat -- memuat penelusuran kondisi jiwa si wanita ketika menepis kegelisahannya dalam penantian.

Cinta memang tema yang tak pernah basi. Setiap orang mempunyai penafsiran, atau pengalaman, yang khas, tentang cinta. Namun ada juga cerita-cerita lain yang tidak mengangkat cinta sebagai tema utama dalam buku ini. Contohnya adalah "Negeri Dusta" karya Abdul Mukhid. Cerpen ini menarik: Paragraf-paragraf awalnya filosofis, harus dicermati amat serius, sementara akhirnya adalah ekspresi tawa yang lugu.

"Pleidooi" karya Azizah Hefni dan "Senja" karya Titik Qomariyah adalah cerpen-cerpen situasional. Azizah Hefni, yang akrab disapa Zizi, adalah pencerita berbakat. Cerpen "Pleidooi" yang dijadikan judul buku kumpulan cerpen ini pernah dibacakan pada ulang tahun kota Surabaya ke-715. Alur, penggambaran karakter dan dialog-dialognya matang.

Namun, sebuah cerpen situasional yang justru paling "nendang" rasanya adalah "Selamat Sore, Olivia!" karya Liga Alam Mukhtar. Sebabnya, cerpen ini sangat singkat dan bahasanya benar-benar efisien. Cerpen ini mengingatkan kita pada cerpen-cerpen Bondan Winarno dalam kumpulan cerpennya berjudul "Pada Sebuah Beranda" (yang sebelumnya, dalam jumlah cerpen lebih sedikit bertajuk "Café Opera"). Kehamilan Olivia, aborsi yang dilakukannya, gelak emosinya, benar-benar tergarap maksimal oleh penulisnya.

Dua cerpen yang satiris adalah "Desa Para Dukun" karya Wawan Eko Yulianto dan "Tangan Berkolam" karya Supriyadi Hamzah. Wawan Eko Yulianto menyajikan narasi yang begitu reflektif atas kondisi warga Sidoarjo, Porong khususnya, setelah lumpur panas Lapindo tak henti-hentinya muncrat -- hingga kini. Ini berhasil dilakukan Wawan karena ia memang asli orang Sidoarjo. Doa, mantra, keluh-kesah, serta haru-tangis terkisah elok dan mengharukan dalam cerpennya. Sementara itu, "Tangan Berkolam" lebih banyak memuat tema nasionalisme dalam hubungan cinta beda bangsa. Ya, selain satiris, kedua cerpen ini sama-sama reflektif. Bedanya, dalam "Tangan Berkolam" terdapat beberapa dialog yang cukup banyak mendukung jalinan kisah.

Cerpen "Tangan" karya Susanty Octavia berusaha memetakan kedalaman hubungan tokoh utamanya dengan Allah. Cerpen ini memuat nilai-nilai Islami yang kental. Mirip dengan cerpen "Tangan", cerpenis lain bernama Lubis Grafura menyajikan cerpen religius, yang mana nilai-nilai religiusitas dalam cerpennya itu ia sentuhkan dengan budaya sebuah masyarakat di Kabupaten Donggala. Judul cerpennya "Rilara Nuadanga" -- sebuah judul yang indah, bukan? Dengan bahasanya yang hening, Lubis mengisahkan tentang jembatan kematian, atau secara Islami disebut "sakratul maut", yang terjadi pada orang-orang Suku Kaili di sana.

Nah, demikianlah tinjauan atas cerpen-cerpen yang ada dalam kumpulan cerpen ini. Semoga hasil kerja kolaborasi ini tak berhenti sampai di sini. Penulis-penulisnya bisa dibilang semua berbakat menghasilkan karya-karya lain yang berkemungkinan besar dinikmati dan disukai lebih banyak orang. Pelangi Sastra Malang, komunitas ini -- dengan karya-karyanya yang mirip ragam warna pelangi -- kiranya terus berkarya. Dan kiranya karya-karya itu tidak sirna oleh terik panas surya, tidak tersembunyi di balik awan kelam, namun tampil -- lagi dan lagi -- seperti pelangi yang selalu berseri. ***

Sidoarjo, 8 Juni 2009, 23:56
Sidik Nugroho, Penikmat buku dan penyuka pelangi
Sumber: http://tuanmalam.blogspot.com/2009/06/semoga-pelangi-itu-selalu-berseri.html

BOM MANUSIA BERSUARA TETES EMBUN

Wawan Eko Yulianto
http://sastrapenyadaran.multiply.com/

Bahan-bahan pokok: 1 orang lelaki/suami/pemuda yang baru menikah 1 orang istri yang sedang hamil muda Bahan-bahan bumbu: 1 momen khusus yang mewajibkan seseorang jalan-jalan mengunjungi teman (disarankan Idul Fitri) 1 unit sepeda motor Jalanan kota di Indonesia (yang terlihat mulus padahal bergelombang dan banyak bekas galian) Bahan-bahan pemoles dan pemanggangan: 1 orang dokter spesialis obstetri ginekologi (disarankan lokal dan menguasai bahasa lokal) 1 unit alat ultrasonografi (USG)

Cara pembuatan bumbu: Persiapkan suatu momen khusus. Yang dimaksud momen khusus adalah momen berbeda dengan hari biasa dan membuat Anda harus sering-sering keluar rumah.

Pada kasus saya, saya menggunakan momen Lebaran yang mewajibkan saya keluar mengunjungi rumah saudara-saudara, guru-guru atau teman-teman dekat. Karena harus sering keluar pada jarak yang tak terlalu jauh, saya memilih memakai sepeda, yang merupakan bahan bumbu kedua.

Selanjutnya sertakan dua diantara bahan pokok ke dalam ramuan bumbu. Kedua bahan pokok itu adalah 1 orang suami yang baru menikah dan 1 orang istri yang sedang hamil muda. Pada kasus saya, saya mengajak istri saya yang hamil muda keluar pada momen khusus itu untuk mengunjungi orang-orang yang saya hormati di seputar kota M, tempat saya tinggal.

Karena jarak antara satu target kunjungan dengan target kunjungan yang lain berdekatan, maka saya menggunakan sepeda motor. Saat itulah dua bahan pokok bercampur dengan bahan bumbu yang ketiga, yaitu jalanan kota M. Barulah pada saat itu saya sadar ternyata jalan kota M sebenarnya tidaklah semulus yang saya kira sebelumnya.

Pada beberapa bagian terdapat gelombang. Mengendarai sepeda motor jadi seperti mengarungi perairan pantai dengan sampan. Pada beberapa bagian, ada lobang-lobang yang belum sempat ditambal oleh dinas prasarana umum.

Pada beberapa bagian lain, ada bekas-bekas galian—entah telpon, PDAM, atau kabel listrik—yang sudah ditambal tapi tidak sebagus aslinya dan tetap bergelombang saat dilewati. Pada saat itulah bumbu mulai merasuk ke dalam bahan pokok. Hal ini ditandai dengan kekhawatiran suami atau istri bahwa jalanan yang tak mulus itu bakal mempengaruhi kesehatan janin.

Gejala awal merasuknya bumbu ditandai dengan istri yang khawatir dan agak marah-marah saat sedang dalam perjalanan. Pada kasus saya, istri memegangi perutnya dengan kuat seakan-akan jabang bayi yang baru mulai terbentuk itu sudah bergoyang-goyang dan terkena dampak dari jalanan tersebut.

Takut terjadi sesuatu yang berbahaya saya pun memperlambat laju sepeda. Jika biasanya pada lalu lintas kota M yang tak terlalu padat saya bisa menarik gas hingga kecepatan 50-60 km/jam, kini saya hanya berani mengedarai kendaraan dengan kecepatan 20-30 km/jam. Sementara itu, bumbu juga sudah mulai merasuki diri saya.

Ketika bumbu sudah benar-benar merasuk, akan muncul beberapa tanda: tidur malam tidak nyenyak, berbagai mimpi buruk menyeruak, suami tak pernah bisa tertawa lepas, kunjungan bahkan menjadi tak rileks dan menyegarkan. Seluruh pikiran suami—dan lebih-lebih istri—tercurahkan pada apakah jabang bayi yang ada di dalam perut istri senantiasa dalam keadaan sehat.

Jika sudah begini, berarti bumbu sudah merasuk dengan kuat ke dalam bahan-bahan dan tinggal dilakukan penyelesaian akhir, yaitu memanggang. Cara memanggang bahan-bahan pokok yang sudah di-bumbui: Pertemukanlah bahan-bahan yang sudah dibumbui itu dengan bahan pokok lainnya di dalam oven toaster.

Oven toaster untuk ini adalah tempat praktek dokter kandungan atau rumah sakit bersalin. Jika tidak ada oven toaster seperti disebutkan diatas, silakan menggunakan open tradisional, yaitu bidan atau Posyandu.

Pada kasus saya, saya memilih oven toaster yang kebetulan jaraknya tidak terlalu jauh dari rumah. Kami memilih tempat praktek dokter spesialis obstetri ginekologi (SpOG) yang lumayan terkemuka di kota M, yaitu Dr. S, SpOG. Daftarkan diri Anda sebelum memasuki oven toaster untuk memberikan identitas suami dan istri.

Suami yang sudah terasuki bumbu ikut masuk ke dalam oven toaster yang sudah berisi 1 unit alat USG di dalamnya. Dokter akan menemui langsung dan menanyakan beberapa pertanyaan khusus tentang 1) anak keberapa 2) kapan menstruasi terakhir, 3) apa keluhan semasa hamil, dsb.

Dokter akan segera memberikan perkiraan kapan kira-kira bayi akan lahir. Pada kasus saya, dokter segera bisa memperkirakan bahwa bayi kira-kira akan lahir pada tanggal 2 Juni berdasarkan tanggal (rahasia!) yang diberikan istri saya tentang menstruasi terakhirnya.

Dokter kemudian akan memeriksa istri yang hamil muda dengan menggunakan bahan pokok terakhir yaitu alat USG. Pada kasus saya dokter memeriksa istri saya di atas kursi periksa dan mengoleskan semacam gel yang mempermudah jalannya alat ­scanner USG. Sebentar kemudian, akan muncul gambar-gambar di monitor USG, gambar isi rahim istri yang hamil.

Pada kasus saya, saya kurang bisa melogika gambar yang saya lihat. Tapi dokter yang sudah puluhan tahun berpraktek itu tahu sekali apa yang dia lihat dan lakukan. Dokter segera memberi penegasan berdasarkan ukuran jabang bayi, bahwa kandungan sudah berusia dua bulan lebih. Dokter segera menguraikan bahwa titik tertentu adalah jantung si jabang bayi, bakal kaki, bakal tangan dan sebagainya.

Dan kemudian dokter akan memberikan kesimpulan dari apa yang dia lihat. Disarankan agar dokter yang bersangkutan adalah orang lokal yang mengerti bahasa gaul lokal sehingga dampak dari kesimpulan dokter akan sangat terasa. Pada kasus saya, kesimpulan dokter disampaikan begini: “Bayinya tahes!” Dalam bahasa gaul kota M, tahes berarti “sehat”.

Begitulah pada akhirnya meledak sebuah bom yang bersuara menyejukkan seperti tetes embun, setelah bahan pokok diresapi bumbu dengan sempurna, setelah kerisauan suami dan istri selama dua hari, setelah malam-malam tak bisa tidur.

Bom yang menyejukkan itu keluar dari mulut dua bahan pokok, suami muda dan istri yang hamil muda.
Bom itu meledak dengan suara yang nyaris bersamaan: “Alhamdulillah!”

Aug 5, '09
*) Penulis juga dikenal sebagai penerjemah buku, karya-karya terjemahannya antara lain Dubliners (James Joyce), sekarang sedang meneruskan studinya S2 di Amerika Serikat

Malam Lebaran di Pelabuhan

Minggu Pagi, II Januari 2003.
Marhalim Zaini

Di atas pelabuhan, waktu terasa berhenti.
Malam ini, setelah sekian ribu malam yang padam. Tok Bayan baru percaya pada Alan Lightman, sahabatnya dari Memphis, yang menulis dalam sebuah novelnya bahwa “Ada satu tempat di mana waktu berhenti, bandul jam hanya bergerak separuh ayunan. Anjing-anjing mengangkat moncong mereka dalam lolongan sunyi. Pejalan kaki membeku di jalanan berdebu.”* Dulu, ia hanya tersenyum membaca kalimat-kalimat provokatif itu. Baginya, Alan hanya bermain-main dalam imajinasi yang menyesatkan. “Fiksi, memang selalu berusaha untuk melampaui waktu, tapi ternyata waktu selalu lebih dulu meninggalkan masa lalu.” Begitu ia sering mencibir. Tapi malam ini, ketika sekian ratus buku yang telah ia baca, selalu mengembalikannya pada ketidakmampuan mengeja waktu, ia seketika merasa menjadi sebutir debu yang membatu di sudut pelabuhan yang terjerat sunyi. “Apakah di sini, di atas pelabuhan, satu tempat itu, di mana waktu telah berhenti?”

“Einstein’s Dreams, Alan Lightman. Tok Bayan membacanya lagi?”
Ia tersentak, sebuah suara mengejutkannya. Suara seorang lelaki muda yang tak asing. Seorang lelaki berkulit hitam, berbadan tegap, kuli pelabuhan yang mengidap insomnia, yang setiap malam membawakan secangkir kopi pahit dan sebungkus kretek. ”Kita tak punya mimpi bukan?” lelaki muda itu tersenyum pahit. “Minumlah, ini kopi Bali. Si Wayan yang membawanya. Penyair romantis kita itu baru kehilangan kekasihnya. Bom teroris September yang lalu, menghanguskan cintanya.”

Tok Bayan terbatuk. Menarik nafas dalam-dalam, lalu menghembuskannya dengan berat. Angin laut mendingin di paru-parunya yang rumpang. Seperti deru ombak Selat Malaka itu yang menjilati kaki-kaki pelabuhan, nafasnya terhempas, berserakan. Tubuhnya yang menipis, kurus tak terurus, memperjelas kerentaan usianya. Tapi di cekung matanya, ada bulan yang setia menyala. Ada sepasang titik cahaya yang jauh, berpendar dalam hitam yang kian penuh. Batinnya bergumam, “rupanya, waktu tak jadi berhenti malam ini, Alan?”

“Apakah Tok Bayan kurang sehat?” Tanya lelaki muda. “Merokoklah. Lela, janda kembang pelayan kedai kopi Cikpuan itu, tiba-tiba menyelipkan sebungkus Dji Sam Soe dalam saku baju. Buat Tok Bayan, sebagai teman di malam lebaran katanya.”

Tok Bayan tak menjawab. Meski, lesung pipit Lela dan segaris senyum menggoda masih sempat melintas dalam ingatan. Tapi apalah makna perhatian, jika hanya membangkitkan kenangan. Sementara, ia sadar, usianya hanya sisa-sisa. Tulang punggung kian usang, tak mungkin lagi menyangga keinginan-keinginan. Ah, perempuan, selalu saja menyeret hasrat kelelakiannya untuk kembali menjadi muda. Sebab dulu, ia memang tak sempat menikmati cinta. Waktu telah begitu memenjarakannya dalam prahara yang tak kunjung reda.

“Kita kembali berada di ujung tahun, Markus?” Tok Bayan bergumam, sambil menjuntaikan kedua kakinya ke bibir pantai..
“Ya. Ujung tahun yang itu juga.” Lelaki muda, Markus, menyela.
“Kau tak ingin pulang?” Tanya Tok Bayan.
Markus rebah di atas tiang pelabuhan yang patah. Ia menghisap rokok, seperti menghisap kerinduan yang dalam. “Bukankah kita sama-sama tak punya jalan pulang? Lagi pula, aku telah merasa betah di sini. Aku merasa…telah pulang.”

Mereka membiarkan percakapan dalam gemetar suara angin laut yang gamang. Pelabuhan Terubuk yang memanjang, menggigil dalam musim dingin yang telanjang. Seperti ada sesuatu yang hilang, ketika gema takbir sesayup menggenang di permukaan angin yang naik pasang. Merambati pori-pori lembab yang meremang di sekujur badan. Berkali-kali, mereka menghisap sepi, dari api yang menyala di celah jemari. Dua lelaki yang selalu pergi, dan tak pernah kembali, bertemu di satu waktu yang terasa seakan berhenti.

Tok Bayan, terlahir di ujung tahun 1935, di sebuah teluk di ujung Sumatera. Tak ada catatan yang tersisa dari masa kecilnya yang tak bahagia. Hanya dongeng dari seorang perempuan bernama Emak, tentang Dedap Durhaka atau Hikayat Hang Tuah yang setia dan perkasa. Atau cerita tentang hantu jembalang dengan bermacam-macam nama, seperti Hantu Bunian, Hantu Galah, Hantu Polong, Hantu Laut, Hantu Sungai, Hantu Parit, dan segala nama hantu yang disesuaikan dengan tempat di mana ia menghuni. Sepertinya, tak ada tempat yang tak berhantu. Tapi, Tok Bayan kecil tak pernah takut pada hantu jenis apapun. Sebab ia tak pernah sekalipun melihat bentuk rupa hantu-hantu itu. Ia hanya takut pada seseorang yang bernama Mat Saleh. Ia takut pada besi panjang yang tersandang di pundaknya. Ia takut pada suaranya yang seperti petir, menghentak-hentak. Tapi, Emak selalu bilang bahwa ia, Mat Saleh itu, adalah Abahmu. Lelaki Inggris yang baik hati dan begitu tertarik pada perempuan di tanah Melayu.

Setelah itu, ia tak tahu di mana Mat Saleh itu pergi. Emak kemudian memutuskan untuk kawin lagi. Tok Bayan remaja pun, dibawa perahu waktu pergi mengembara. Tahun-tahun yang berlalu menyeret Tok Bayan berlayar dari pulau ke pulau. Baginya, menjadi anak buah kapal adalah pilihan bagi hidup yang diam dan memuakkan. Kota-kota mengajarinya untuk membaca warna nasib dan mengeja manusia-manusia dengan bijaksana.

Tok Bayan pun mulai menulis surat-surat, ketika ada sesuatu yang tak terkata dari yang tampak, ketika kesendirian memerangkapnya dalam bayang-bayang perempuan yang tumbuh dari bawah sadarnya. Perempuan-perempuan berwajah lembut yang jatuh hati padanya, tapi tersebab sesuatu, ia tak pernah sempat untuk bercinta, meski hanya untuk sebuah ciuman pertama. Tapi, surat-surat itu justru memerangkap dirinya dalam kesendirian yang lain. Kesendirian seorang lelaki yang berangkat tua, yang hanya bisa menghibur diri dengan bernyanyi sendiri dengan lagu-lagu yang terdengar sumbang dan aneh.

Akhirnya Tok Bayan memutuskan untuk mengirimkan surat-surat itu kepada setiap kenalannya, pada setiap kota yang pernah disinggahinya. Ia tak pernah peduli, apakah ia akan menerima balasannya. Seperti layaknya Raja Ali Haji yang sampai akhir hidupnya terus menulis surat buat sahabatnya H. von de Wall dari Jerman, Tok Bayan akan terus melayangkan kesepian demi kesepian ke pulau-pulau mimpi, sampai ia menemukan tempat di mana waktu benar-benar telah berhenti. Di mana ia hanya bisa menulis sepucuk surat dari jiwa yang kerontang, melipatnya menjadi perahu mainan, dan menghanyutkannya dari sebuah pelabuhan, di tepian malam yang gamang.

“Benarkah engkau merasa telah pulang, Markus?” Tok Bayan bertanya dengan suara tertekan dan getir.
Markus terdiam. Dalam rebah, seketika ia merasa seperti ditindih hamparan langit yang hitam. Pertanyaan Tok Bayan, membangkitkan ingatan tentang kampung halaman, yang sekian waktu telah terbuang jauh dari pandangan. Apalagi, suara takbir itu, semakin larut semakin menyembilu. Ia tiba-tiba merasakan kembali sayatan pedang perang di Ambon. Bau anyir darah Ayahnya, yang melepas nyawa hanya tersebab ketidaksepahaman antar suku, begitu memualkan dendam rindu. Ia tak mengerti, kenapa Ibunya pun harus mati ketika ia tak sempat bertanya tentang berapa harga kehidupan untuk sebuah perjuangan yang semacam itu. Sampai kini, ketika ia terdampar di sebuah pulau, dan setiap hari memeras keringat sebagai kuli pelabuhan, ia baru tahu bahwa ternyata perjuangan – apa pun bentuknya – hanya berharga untuk mempertahankan kehidupan.

“Ya. Aku telah pulang. Bagaimana dengan dirimu, Tok Bayan?”
“Aku tak punya rumah untuk pulang.”
“Bukankah Tok Bayan terlahir di pulau ini?”
“Ya. Hanya numpang lahir saja.”
Sepasang kelelawar berkelebat. Hitam semakin memekat. Kapal-kapal terlelap, merebahkan tubuhnya di pangkuan pelabuhan. Dua lelaki terbaring, memandang gemerlap bintang di langit, menyembunyikan gundah malam dalam diam yang merajam.

“Malam lebaran yang indah, bukan?” Markus melenguh.
“Ya. Indah.”
“Pasti lebih indah, jika merayakannya bersama keluarga.”
“Ya. Mungkin.”
“……Ya. Mungkin.”
Dengkur ombak pecah di batu. Kayu si api-api menidurkan dingin angin di daun-daunnya. Rumah-rumah yang menghala ke laut, berkerdip dalam temaram, terkantuk-kantuk dalam selimut malam. Tapi surau-surau dari pelosok pulau, masih setia menggaungkan takbir di antara gemerisik pelepah kelapa dan reranting bakau yang mengigau.

“Tok Bayan. Apakah yang paling membuat bahagia, ketika usia beranjak tua?” Markus bertanya lirih dan hati-hati.

Sambil terbatuk-batuk, Tok Bayan menjawab, “Seperti Desember menggapai Januari. Tak ada yang paling bahagia untuk waktu yang berjalan melingkar?”

“Benarkah? Meski di saat-saat seperti ini?”
Tok Bayan kembali terbatuk. Batuk yang menjadi-jadi. Tenggorokannya terasa dipenuhi dahak kering yang mengerak. Dadanya sesak. Seperti batu karang tua di mulut pantai, ia terduduk meringkuk, mirip orang kedinginan. Markus mendekat. Kedua tangannya memijit-mijit di sekitar pundak Tok Bayan. Tak lama, batuknya mereda. Meski nafasnya masih tersengal-sengal.

“Sebaiknya, besok malam Tok Bayan tak lagi terjaga sepanjang malam di sini.” Usul Markus. “Paling tidak untuk kesehatan. Lagi pula, Membaca buku kan tak harus di atas pelabuhan.”
Tok Bayan membisu. Ada yang miris, mengiris ulu hatinya. Ada yang tiba-tiba bergulir dari sudut matanya.

Markus tahu ada isak yang tertahan. Ia merasa gugup. “Apakah teman Tok Bayan dari Memphis itu, masih mengirimkan buku-buku?”
Tok Bayan hanya menganggukkan kepala. Dalam hatinya ia berbisik, Alan Lightman adalah sahabatnya yang paling baik. “Buku-bukunya menenggelamkan aku ke dasar waktu. Sampai aku tak tahu, telah begitu lama aku menanggung rindu.” Tapi, Markus juga pemuda yang baik. “Sentuhan tangannya mengantarkan aku ke permukaan waktu. Sampai kini aku tahu, rindu itu telah kutemu.”

“Markus.”
“Ya.”
“Besok pagi, maukah kau menghidangkan ketupat buatku?” Hidungnya agak tersumbat, membuat suaranya tersendat. “Kita makan bersama Lela di kedai kopinya. Lalu kita bersama-sama pergi ke Masjid, setelah itu kita saling bermaafan. Maukah kau, Markus?”

Serupa fajar syawal yang mengambang di ufuk timur, matahari terbit di hatinya. “Alan, ternyata waktu tak pernah berhenti. Benar katamu, di dunia seperti ini, waktu mengalir ke belakang.”

Yogyakarta, 2002
* Mengutip novel Alan Lightman, Einstein’s Dreams.

MELAGA EMPU, MENDENYUTKAN ILMU

Suryanto Sastroatmodjo
http://sastra-indonesia.com/

1.
Seorang sahabat, baru-baru ini mengenalkan suatu istilah baru :Workaholisme. Apa pulakah itu? Teman kita menjelaskan yang dimaksudkan adalah “keranjingan kerja”, atau tegasnya kita dikendalikan oleh dorongan nafsu kerja, di mana keseimbangan sikap-kerja itu membuat orang jadi tanpa-daya. Dikatakan, kerja adalah merupakan kebutuhan pokok bagi manusia. Dengan bekerja, kita memang dapat memperoleh berbagai manfaat, seperti : imbalan materi, rasa berguna dan kesempatan pergaulan yang relatif luas. Gejala normal demikian tak usah dimasalahkan, tentunya. Yang jadi soal, jika penderitaan keranjingan kerja ini, melepas kesibukan saja merupakan siksaan, dan dia tak bisa menghentikan kegiatan kerjanya. Kalau dipaksa mengaso, warkohalisme akan merasakan stress, depresi, dan sampai tidak bisa tidur (insomnia), karena, kerja baginya adalah obsesi yang berada di luar kontrol diri, seraya menyebut gejala ini, saya malahan teringat akan kaum perempuan, kaum “para empu” (mereka yang mumpuni, allround), yang sedari subuh hingga jauh malam masih terbelenggu oleh sibuknya kerja. Kadang, bukan soal tanggungjawab dalam bekerja itu yang dipersoalkan, melainkan jelmaan dari kerja yang mengejar serta memaksakan kehendaknya, sehingga si perempuan hanya bakal merasa berguna, jika dia melakukan kerja rutin dan ajeg, sebagai sarana untuk bisa dihargai dan dianggap manusia layak bagi sesamanya. Dengan kata lain : melaga empu, buat memperagakan Si Aku!

2.
Juga, ketika dunia tengah berfikir tentang usaha mencampakkan pikiran yang membebani ketenangan rumahtangga, diperoleh kesan, bahwa kaum wanita misalnya, telah lebih memilih adanya persoalan-persoalan berat ketimbang tanpa persoalan sama sekali. Hal begini justru nampak, waktu kita mengajukan pertanyaan-pertanyaan sekitar penghidupan yang diemban dan dihayati kaum ibu—yang banyak kali membuatnya pusing menyangganya. Misalnya, karena anggaran rumahtangga yang terbatas, dan bagaimana dia berusaha untuk mengatasi hubungan antara dirinya dengan keluarga teman-teman suaminya, dan bagaimana dia harus bersikap sebagai ibu bagi karyawan, misalnya. Lantas, dalam mengatasi hambatan-hambatan ini, wanita kemudian mencoba mengalihkan perhatiannya dengan sesuatu yang kadang di luar lingkaran : yang pokok”, umpamanya : mengangkat anak miskin, giat rekreasi, bahkan giat berbelanja, giat dolan-dolan ke rumah tetangga, danlainlain. Kalau dia merasa buntu dan sumpeg di rumah, dapatkah kegiatan di luar rumahtangga itu membuat pikirannya bening kembali? Dalam hal ini, wanita kadang belum sanggup menanggulangi kemelut-kemelut seperti ini secara serentak, apalagi berurutan. Maka dicoba mencari jalan pintas. Kalau tak mampu bersikap terhadapkekasih suaminya, atau tak mampu menyiasati situasi instansional, maka sering dicari terowongan yang sempit, yang membuat tubuhnya tersenggol dan terjepit. Kewanitaannya ikutbicara, tapi dengan nada dasar yang “tidak pas” (terlalu tinggi, terlalu rendah)…

3.
Bagian yang lepas dari kehidupan anak manusia, justru adalah padarealita begini : kita datang bersama, baik lelaki maupun perempuan—dan karena itu, kitapun punya tugas untuk merembug serta menyelesaikan segalanya bersama-sama, hingga rampung. Mungkinkah kita belum menemukan cara terbaik untuk berdialog antara kaum pria dengan kaum wanita? Maksudku, dalam forum yang masing-masing pihak bisa saling menjaga jarak (lantaran panggilan kodratinya yang memang berbeda satu sama lain). Namun juga terikat kebersamaan—bahwa satu sama laim memikul tanggungjawab penyelamatan generasi, pelesetarian cita-cita juang yang suci. Dalam pentas kerjasama dwitunggal seperti ini, belantara hayati harus dipandang belantara penebaran cinta kasih nan universal—lantaran tiada bagian yang tersisa dan tercicir dari program-program “persetubuhan” hati nurani dan nalar-juang yang luhur. Setiap janji atau sakramen perkawinan, maupun pertemuan dua arus yang menuju kepada keabadian harapan yang diimpikan, agaknya harus dipandang sebagai sumbangan bagi makin kokohnya akar-budaya kita semua. Soalnya, pandangan yang nyata dari tiap kelompok yang menyadari rasa kesatuannya itu, tak bisa dipandang kecil. Senantiasa akan bisa kita kaji rentetan peristiwanya yang mengangkat kaum Ibu sebagai pahlawati yang berjangkauan jauh, lagipula bukan hanya secara alamiah dihadapkan kepada prosesi sambung-nyawa di tubuh bangsa, melainkan juga sebagau pekerja kehidupan lumtah, yang melakukan persetujuan dengan hari depan, lewat sikap intelektualnya.

4.
Menggunakan sebuah prinsip, wahai pembaca, sungguh merupakan lampah yang memerlukan keberanian. Karena di dalamnya bukan saja nampak, bagaimana kita membersihkan ruang dan peluang yang terdapat selingkungan hidup, sedemikian rupa, sehingga masyarakat yang kita rebut, adalah benar-benar masyarakat yang “macak”, kendatipun dia bersifat majemuk. Dalamprakteknya, manusia menghadapi batasan dan keterbatasan yang sangat melukai batinnya—dan dengan menyebut tantangan begini, kita bisa menyimpulkan tolak-tarik yang kuat antara diri sendiri yang tetap berkeprihatinan dan serangkum-himpun pribai-pribadi yang optimis menampung gelegar guntur. Hanya dengan keseimbangan seperti ini, dapat diharapkan terciptanya seorang pencahari guyub yang konsekuen.

5.
Fitrah yang nampak sekali disadari oleh kawula muda, sejauh ini sebenarnya adalah dalam kaitan pihak yang menggenapkan perencanaan yang berasal dari muasal kebajikan. Karena kita seringkali menimbang-nimbang kemungkinan denntang tembang-tembang manis, dan seraya memperhatikan rengkuhan dari orang-orang terdekat, dapatlah senantiasa terdekap “karuh, lenguh, keluh dan rikuh”, yang dalam kesehari-harian ternyata sarat di pundak kita, menekan serta menghimpit dan melemaskan tenaga kita. Pantas kita renungkan, bagaimna seorang manusia dewasa harus bisa mempertanggungjawabkan kepada sejumlah reyal tergenggam di tangan (dengan cucur peluh yang bagaimana)—dan bukan lantaran ongkang-ogkang yang mengandalkan rezeki nan kesasar. Zaman kini justru lebih mengutamakan imbalan dan fungsi kerja, dalam arti semurni-murninya, sehingga tiada yang bersifat penghamburan umur dan tenaga. Malahan terdapat proteksi terhadap kerja insani sebegitu rupa, hingga setiap individu berhak mengajukan rekayasa-rekayasa yang menentukan. Rekayasa yang mendorong tatanilai berlabuh.

6.
Garis besarnya, kehidupan pada gelommbang ketiga peradaban niscaya akan lebih menimbang secara cermat luapan emosi sejauh yang dapat ditopang oleh daya-gertak nurani. Dengan demikian, maka pemikiran yang utuh akan lebih dimuliakan orang. Hidup menjadi suatu pertaruhan yang benar-benar seru dan amat menentukan, manakala rekadaya yang muncul dari usia-usia muda diberi kesempatan bertumbuh-kembang menunjang kemekaran gagasan kaum yang berangkat tua, terutama kaum yang mapan, yang ada di harungan pembudayaan sekarang. Orang-orang itu adalah kreator-kreator yang tak kan bisa dicongkel begitu saja, karena peran sertanya adalah dominan dalam perkembangan lokal dan regional kemarin dan hari ini. Pergeseran tentu saja ada dan dibiarkan, namun demikian haruslah masih dalam batasan sehat dan normal, pencipta, pendulang dan penggali adalah mutiara barisan depan. Tapi para peronce dan penata butir-butir mutu-manikan itu, yang meneruskan mars tanpa henti ini, dan pada gilirannya mengurai senandung!

7.
Kembali pada obsesi kaum wanita kita, yang acapkali dewasa membuktikan bahwa dirinya berguna bagi keluarganya, bagi orangtuanya, bagi lingkungan sosialnya, hanya bila mampu bekerja. Saya cemas, kalau-kalau pikiran yang menyebabkan Workaholisme di kalangan kaum yang terpilih (ingat: perempuan para-empu-an), bukan selamanya timbul dari dasar kejujuran pribadi. Pula bukan lantaran dorongan emansipasi yang menggebu, yang menyebabkan Si Ana, Si Ani, dan Si Latifah itu begitu larut mendenyutkan ilmu. Ya, kita banyak mendengar tentang politikus wanita, polisi wanita, profesor wanita, hingga pangkat setinggi-tingginya. Jikalau kesempatan buat merauh profesi tertinggi dikompromikan dengan kebanggaan berkarya-berkreasi, barulah sebuah nama berhak dikibarkan. Tapi selama di balik pintu jiwa terdapat sebentik kecemburuan seksual, bahkan terdorong untuk mengungguli kaum lelaki, maka siapa tahu, tiba-tiba Pangeran Antah Berantah kembali memasukkannya sebagau “perhiasan sekar madu” sebagaimana lagu hiburan pernah melantunkannya?

* Tanggungjawab posting atas PuJa [PUstaka puJAngga]

Bulan Sastra Indonesia di Jombang

Siti Sa’adah
Radar Mojokerto, 24 Juli 2011

Meskipun belum ada kesepakatan secara menyeluruh mengenai peringatan Bulan Sastra Indonesia, Himpunan Mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (HMP Bahtra Indonesia) STKIP PGRI Jombang telah mengagendakan peringatan tersebut pada bulan April. Bulan sastra disebut oleh Sapardi Djoko Damono sebagai hari sastra jatuh tepat pada 28 April yang sekaligus untuk mengenang Chairil Anwar. Bulan Sastra Indonesia yang telah berlangsung pada 15-16 April 2011 di kampus STKIP PGRI Jombang merupakan agenda baru HMP Bahtra Indonesia yang merupakan pengembangan agenda Bulan Chairil yang telah dilaksanakan sebanyak tiga kali setiap tahun sejak kepemimpinan Ikhsanul Fikri (2008) yang sekarang menjadi ketua Sanggar Teater Gendhing dan Rahmad Sularso Nh. (2009 dan 2010). Pergantian nama dari Bulan Chairil ke Bulan Sastra ini bertujuan agar kegiatan tidak terpaku pada sosok Chairil saja, melainkan terbuka untuk mengangkat sastrawan lain seperti Pramoedya

Ananta Toer yang wafat pada bulan ini.

Adapun rangkaian acaranya yaitu Kompetisi Karikatur dengan tema Kartini dalam imaji, Kompetisi Musikalisasi Puisi dengan tema Lebih Dekat dengan Cak Nun, Nonton dan Diskusi Film Dokumenter Sastra Pramoedya Ananta Toer, Bedah buku kumpulan puisi Lelah Membaca Indonesia karya Saiful Hadjar dengan acara pendukung Karnaval Puisi untuk Chairil, musik band oleh UKM Musik STIKP PGRI Jombang, dan musikalisasi puisi oleh Sanggar Bintang.

Kompetisi Karikatur Kartini dalam Imaji tingkat SMA digelar dalam rangka menyambut hari Kartini yang biasa diperingati pada tanggal 21 April, kompetisi ini gelar di hari pertama, 15 April 2011 pukul 08.30 pagi, diikuti oleh 20 peserta. Juara pertama oleh Esti Vita Ningtyas (JUara I, MA Wahab Hasbullah Tambak Beras), Ikok Muslimat (Juara II, SMAN Ploso), Fendik Bahauddin (Juara III, MA Al-Anwar Paculgowang) dengan juri Eko Utomo dan Budi Bahagia dari KOPI Jombang. Kegiatan ini diniatkan untuk mengapresiasi dan menyerap semangat Kartini melalui media gambar berupa karikatur, dan peserta dibebaskan menggambarkan sosok Kartini dengan imajinasi seluas-luasnya. Esti Vita Ningtyas yang aktif di Komunitas Pena (KOMA) ini menggambar kartini “bertangan seribu” berumbul Kartini Masa kini dengan fungsi berbeda untuk setiap tangannya, ada yang menuntun anak, memegang HP, menggunakan Laptop, menyetrika, memasak dan berolahraga. Hal ini tentunya untuk menggambarka bahwa perempuan bisa melakukan banyak hal dengan tidak meniadakan kodrat dan kewajibannya sebagai perempuan atau ibu. Lain lagi dengan Ikok Muslimat yang menggambarkan ironi emansipasi wanita dengan kartini (baca: perempuan, ibu) berpeluh mengayuh becak sedangkan sang suami menyuapi anaknya di rumah, ini merupakan emansipasi yang dimaknai begitu sempit dan menjadi lucu. Fendik Bahauddin menggambarkan sosok Kartini yang sedang mengajar wanita-wanita Indonesia. Dan masih banyak lagi ide peserta yang dituangkan dalam ajang ini.

Agenda kedua di hari pertama yaitu Nonton Bareng dan Diskusi Film Dokumenter Sastra Pramoedya Ananta Toer, yang merupakan salah satu film dari 40 film Dokumenter Sastrawan Indonesia yang diproduksi oleh Yayasan Lontar. Film ini didapatkan penyelenggara dari koleksi Dewan Kesenian Jawa Timur melalui Abdul Malik dan sampai di tangan penyelenggara melalui Jabbar Abdullah. Dalam diskusi menghadirkan Muh. Syafrudin Hadi seorang guru sastra dan Aditya Ardi Nugroho yang dikenal dengan sebutan Genjus dari LISWAS Ngoro. Syafrudin Hadi dengan ulasannya yang berjudul Pramoedya dan Historiografi Sejarah Indonesia menjelaskan, “Melalui beberapa novel sejarahnya, Pram mencoba mendekontruksikan sejarah Indonesia, selama ini sejarah Indonesia sangatlah subyektif dan istanasentris, hal ini terlihat dalam penerbitan buku-buku sejarah sejak zaman Soharto terutama buku wajib mahasiswa sejarah, yaitu karangan Marwati Junaid Pusponegoro maupun Nugroho Notosusanto yang terangkum dalam Sejarah Nasional Indonesia jilid 1 sampai 6, Historiografi Sejarah Nasional ini terkesan kaku dan penuh dengan subyektifitas penguasa kala itu. Melalui Tetralogi Arok Dedes dan Tetralogi Buru dan Keluarga Gerilya serta Perburuan Pram membuat mata masyarakat bahwa Sejarah Nasional Indonesia tidak hanya bersifat istanasentris berbau subyektif.”

Sedangkan Aditya Ardi Nugroho bertutur tentang Pramoedya Ananta Toer dan “Sastra Revolusioner,” serta madzhab realisme sosialis yang dianut Pram, diantara pandangannya sastra harus merupakan representasi kondisi objektif masyarakat yang tertindas oleh system kapitalis yang menindas, Genjus juga menerangkan, “Pada dasarnya aliran ini berpijak dari suatu sikap penolakan terhadap sastra (dan seni pada umumnya) borjuis. Sastra borjuis banyak dicirikan oleh kecenderungan mendewakan hal-hal yang bersifat teknis dan formal, yang dituduh para penganut realism sosialis sebagai pencideraan terhadap publik sastra, karena berusaha menjauhkan sastrawan dan peminat sastra dari realitas sesungguhnya.”

Di dalam film berdurasi hampir setengah jaim ini Pram menceritakan sosok ibunya yang menjadi panutan dan menjadi teladannya, tentang pendidikannya selama di sekolah dasar yang harus dia tempuh lebih lama dari sewajarnya, mengenai kekaryaannya sampai sisi lain hidupnya seperti berhubungan seks dengan noni Belanda saat dia pergi ke Belanda yang kemudian menambah kepercayaan dirinya dan merasa sederajat dengan manusia manapun.

Agenda Bulan Sastra Indonesia 2011 pada hari kedua yaitu Kompetisi Musikalisasi puisi Lebih dekat dengan Cak Nun, dimana peserta harus menampilkan dua puisi, satu puisi karya Cak Nun dan satu lagi puisi karya siswa. Penyelenggara mengangkat puisi Cak Nun sebagai naskah wajib agar siswa di Jombang bisa mengapresiasi, meneladani serta menyerap semangat kekaryaan beliau, sehingga mereka bisa merasakan spirit serta kedekatan dengan putra kelahiran Jombang yang telah berkiprah di tingkat nasional dan internasional. Ada tujuh naskah puisi yang ditentukan yaitu Abacadabra Kita Ngumpet… , Syair Bonsai, Kudekap kusayang-sayang, Dari Bukit Kotamu, Sajak Merah Putih, Puisi Jalanan, Sajak Terompet. Hasil penilaian dua juri yaitu Zaidan Afwaja (S’KETIKA) dan Alfi R. Siregar (Ketua KELBINTERBANG) menetapkan SMAM Muhammadiyah 1 Jombang sebagai juara pertama yang diwakili oleh Aditya Mahendra Putra, M. Ainun Najib, Sukma Tri Wobowo, Amelia dan Fajar Zakaria dengan musikalisasi Puisi Jalanan dan Tinggalkanku Sendiri. MAN Jombang dari grup B sebagai juara II yang diwakili oleh Achmad Anshori, M. Rizal Hidayatullah, Erkha Nata, Ahmad Fauzan dengan musikalisasi puisi Sajak Merah Putih dan Pagi, serta MAN Jombang dari grup A sebagai juara III yang diwakili oleh Iwan Susanto, M. Shobir Farid Niamilah, M. Irfansyah danYusuf Jailani dengan musikalisasi puisi Sajak Merah Putih dan Mata Batin dan Negeri Indonesia.

Puncak agenda Bulan Sastra Indonesia 2011 yaitu bedah buku kumpulan puisi Lelah Membaca Indonesia karya Saiful Hadjar, penyair dan perupa senior dari Kelompok Seni Rupa Bermain (KSRB) Surabaya. Dengan gayanya yang menarik Saiful Hadjar membuka bedah buku dengan membaca puisi Padi, //semakin merunduk / semakin berisi / dikupas / dimasak / dimakan / enak / sedang kita semakin berisi / tak seenak padi//. Diskusi yang diikuti 250 peserta ini bergulir dengan pengulas Deny Tri Aryanti (Penulis, Ketua Komite Teater DKJT), dan Siti Maisaroh (dosen sastra STKIP PGRI Jombang) dan dimoderatori oleh Purwanto dari Kelompok

Alief Mojoagung. Deny menuturkan dalam ulasannya, “Parodi tertulis dalam antologi ini ingin mereprentasikan kondisi ”keduluan” hingga ”kekinian” yang selalu berputar-putar pada diksi datar yang dirangkai sehingga menjadi rangkaian sajak yang bersimbol.”. Sedangkan Siti Maisaroh mendedah kumpulan puisi Lelah Membaca Indonesia ini memiliki nilai kearifan dan kebijaksanaan hidup, humor, daya kontemplatif serta satire yang kritis. Kekompleksan problematika kehidupan yang terekam dalam karya tersebut mencakup persoalan-persoalan kemanusiaan, sosial, politik, hukum, moral, bahkan filosofis. Diskusi ini dihadiri oleh ratusan mahasiswa setempat dan para pemerhati dan penikmat sastra di Jombang, dengan suguhan musikalisasi puisi Peluru karya Saiful Hadjar dan Kabut karya Emha Ainun Nadjib oleh Sanggar Bintang.

Semoga dengan adanya Bulan Sastra Indonesia 2011 ini bisa menggiatkan kekaryaan dan apresiasi seni di Jombang serta membangun jejaring budaya yang sangat penting bagi perkembangan seni dan budaya di Jombang dan sekitarnya.

Lelaki Penghias Kubur

Aguk Irawan MN*
Minggu Pagi, Juli 2011

TAK bisa dipungkiri, bagi banyak orang sejauh mata memandang, harta dan kehormatan itulah kebahagiaan. Orang mengejar mati-matian agar menjadi pejabat, tidak lebih tujuannya adalah demi itu. Menjadi pejabat, atau orang terhormat tanpa materi adalah semacam aib besar. Tetapi tidak pada seorang lelaki tua. Di keheningan pagi yang buta, ia seperti berkelakuan aneh, padahal orang seantero negeri ini tahu, kalau ia adalah lelaki terhormat dan kaya. Ia terliihat sedang membongkokan tubuhnya, membersihkan sebuah kuburan di halaman rumahnya, dan kuburan itu masih tanpa nisan, tanpa nama, tapi selalu saja terlihat seperti ada bekas siraman bunga mawar. Dan bau harumnya semerbak sampai ke jalan-jalan.

Ada yang aneh di kuburan itu, kalau dilihat dari seberang jalan ia nampak lapuk dan berlumut hitam, namun bila diperhatikan lebih lama kubur tersebut nampak eksotik dan bersih. Tanpa menghiraukan sesiapa yang sesekali mencuri pandang pada dirinya, lelaki tua itu terus saja membengkokkan tubuhnya, ia terlihat sangat sibuk, tangannya yang hampir jompo itu terus mencabuti rumput-rumput liar yang tumbuh di sekitar kubur tersebut. Apa yang dikehendakinya? Siapa dia sebenarnya? Kenapa tiap pagi ia selalu saja terlihat mematut-matut diri di kuburan tunggal itu? Tepatnya di depan luas halaman rumahnya yang mewah, dengan sebuah taman indah, penuh tumbuh bunga-bunga lebat berkilaun, dan tak jauh dari kuburan itu ada air bergemericik, seperti perak yang berjatuhan di sebuah kolam.

Tak dipungkuri sudah sepekan lebih ia jadi bahan gunjingan masyarakat setempat. Tiap pagi semua mata orang kampung yang kebetulan sedang lewat persis di depan rumah mewah itu, setiap itu pula mereka tak luput, dan selalu menyunggingkan pandangannya. Dan setiap kali mereka menolehkan mukanya ke sebuah taman yang mewah dan ketika mata mencercap pemandangan sebuah kuburan itu, mereka selalu menyisakan tanda tanya. Kuburan siapa gerangan? Lalu tanda tanya itu menyeruak dan beranak-pinak menjadi desas-desus, dugaan telah terjadi pembunuhan gelap di rumah mewah itu. Sebab tak pernah ada kabar penghuni rumah mewah itu ada yang meninggal, tapi kenapa tahu-tahu ada kuburan di situ? Bahkan sempat seorang warga telah memfitnahnya bahwa dalam keluarga tersebut telah terjadi pertikaian dahsyat, sehingga mengakibatkan kematian.

“Tanya saja pada Pak Kades!” Kata Bulek Ndari, seorang perempuan setengah baya, usia kira-kira tiga puluh lima tahun, pemilik warung kelontong, saat temanku menanyakan perihal kuburan itu.

Teman yang bertanya itu memang sedari awal sudah mencurigai kuburan yang terdapat di halaman rumah mewah itu, tapi ia tak ada nyali untuk mengorek lebih jauh perihal ganjil itu, ia sering bertanya soal kuburan itu kepada teman-teman kami, tapi kemudian ia lupa lagi, dan kembali ia berpikir untuk kehidupannya sendiri, untuk perutnya, dan untuk perut keluarganya yang terus harus diisi. Tapi, tiap kali ia kebetulan sedang lewat di depan rumah mewah itu, melihat kuburan dan mencium aroma bunga mawar, ia kemudian ingat lagi, dan bertanya-tanya, soal kuburan itu.

Pernah pada suatu ketika, ia mengajakku untuk nekat bertamu, dan berkenalan lalu ingin bercakap-cakap dengan lelaki tua itu, tapi kita sama-sama mengurungkan niat. Sebab buat orang seperti kami, betapa merindingnya bulu kuduk ini, jika masuk ke halaman rumah mewah.

Belum beberapa langkah kami berjalan, seseorang berseru dari dalam warung, yang kebetulan tetangga paling dekat rumah mewah itu.

”He, aku sudah tahu tentang lelaki tua itu!”, selorohnya tiba-tiba.

”Oh, ya?!” Jawab kami serentak.

”Dia itu ayah kandungnya Pakde Surip?”

Saat pemilik warung menyebut nama Surip, tak ada yang asing di kepala kami, sebab memang hanya Suriplah satu-satunya orang kampung kami yang berhasil menjadi militer dan terpandang, hingga ia berpangkat Letnan Kolonel. Banyak orang kampung yang memuji-muji namanya, karena keberhasilannya, bahkan saat anak-anak masih kecil sering dikenalkan oleh ibunya dengan nama Surip, agar kelak nanti anaknya bisa seperti dia.

Rumah Surip yang mewah itu, di hari-hari biasa memang terlihat sepi dan sunyi, sebab ia sering ke luar karena Dinas. Sementara lelaki tua itu tinggal belum berapa lama di rumah itu. Dan sejak kehadiran lelaki tua itu, sejak saat itu pula tahu-tahu terlihat begitu saja gundukan tanah di halaman rumah mewah itu.

“Tahu dari mana kalau itu ayahnya Pak Surip?”, kata temanku.

“Pak Kades yang memberi tahuku, saat membeli rokok kemarin.”

”Nah, begitu dong. Itu baru namanya tetangga!” Celetuk temanku. Lalu segera saja temanku itu menanyakan perihal kuburan itu, tapi tiba-tiba percakapan menjadi sunyi, dan mata, hanya bertemu mata, saling memandang saja. Tak ada percakapan lebih lanjut mengenai kuburan itu.

***

Matahari berputar untuk menuntun manusia bertemu dengan hari berikutnya. Saat itu matahari baru saja merangkak setengah penggalan. Namun, karena sudah banyak desas-desus di desa kami, dengan sangat terpaksa, kami akhirnya sepakat membawa lelaki tua dan asing itu untuk bertemu dengan Pak Kades. Ya, semacam untuk klarifikasi prihal kuburan aneh itu, karena kegenjilan kami sudah cukup bukti, bahwa sejak lelaki itu tinggal dalam rumah mewah itu, sejak itulah kuburan ada.

Dengan cara ramai-ramai, tentu bisa dibilang kurang sopan, kamipun membawa lelaki tua itu menghadap Pak Kades. Tak lama, lalu ia memperkenalkan dirinya, dan mengaku bahwa ia dahulu lahir dan tinggal di desa ini. Ia telah meninggalkan desa ini saat usianya masih dua puluh sembilan tahun dan baru tiga bulan terakhir ini, ia pulang kampung. Ia mengatakan bahwa Surip adalah satu-satunya anaknya yang selamat. Sebab istrinya, juga kedua anaknya yang lain meninggal dalam genggaman penjajah Belanda, saat gerilya, kemudian ia menyebutkan deretan nama-nama kerabatnya yang lain, ladang dan rumah orangtuanya, dan nama tetangga yang pernah tinggal di dekat rumahnya. Lama ia bertutur tentang kampung dan peristiwa masa kecil serta remajanya yang pernah dialaminya di desa kami, sekadar meyakinkan warga dan kepala desa bahwa dia memang orang sini. Meski logat bahasanya terlihat aneh bagi penduduk desa ini.

Nyaris tak ada warga yang percaya dengan perkataan lelaki tua itu. Bahkan kebanyakan dari kami menganggap bahwa itu cerita bualan saja. Namun, meski begitu, warga dan Pak Kades menghormati dengan cara membiarkan ia bercerita. Suasana hening sesaat, tak ada yang memberi komentar atas pengakuan lelaki tua itu, namun seorang nenek rentah dengan kapur sirih di bibirnya, tiba-tiba muncul di balik pintu rumah Pak Kades. Rupanya dari kamar sebelah ia menguping cerita lelaki tua itu. Kemudian nenek yang tak lain ibu kandung Pak Kades itu berkata-kata.

“Pak Karta?” Kata nenek berambut putih itu. ”Aku mengingatmu, ya aku mengingatmu. Masa lalu. O, kaulah pemimpin gerilya yang menyerang pertahanan Belanda saat itu, saat penjajah memaksa mengambil hasil panen penduduk desa ini. Dan sejak saat itu kamu menghilang. Kukira engkau sudah meninggal, bersama dengan mereka. Betulkah namamu Karta?”.

”Betul namaku Karta.”

Suasana riuh tiba-tiba menjadi nyinyir dan sunyi . Warga dan Pak Kades mengamati ibunya, begitu saja mereka berpelukan dengan lelaki tua yang bernama Karta itu. Semua mata warga memandang, juga menyaksikan masa lalu sedang berputar kembali di depan matanya. Masa gerilya yang tak seorangpun diantara mereka pernah merasakan pahit getirnya perjuangan untuk melawan penjajah.

“Kau sekarang pulang ke kampung ini, dan anakmu telah menjadi Letnan, tentu kau berbahagia sekali Karta?” Suara nenek itu terbata-bata.

“Bahagia? Aku sendiri bertahun-tahun lamanya sedang bertanya soal itu?”, jawabnya.

“Ya pasti kau bahagia, anakmu menjadi orang terpandang, meski istrimu telah lama tiada?”

Karta diam, tak bisa menjawab apa-apa lagi.

“Sudah hampir lima puluh tahun ya, engkau tak pernah nengok ke kampung ini. Dimana saja engkau Karta?”

Karta benar-benar telah kehilangan kata-kata. Saat nenek itu mengingatkan lagi masa lalunya. Dan dalam hatinya pun terbesit oleh sesuatu, “kau tentu telah bahagia Karta?”, ia benar tak bisa memahami selama hidupnya, apa arti kebahagiaan itu? Pangkat, kehormatan, dan harta benda yang ia miliki, nyatanya telah membuat hidupnya semakin terasing. Karena kebahagiaan menurutnya hanya ada dalam angan-angan, atau kebahagian itu lebih tepatnya hanya ada pada diri orang lain saja. Begitulah tiap ia melihat kebahagiaan, tiap itu pula ia membayangkan pada kehidupan orang lain, dan tak ada pada dirinya. Padahal ia mempunyai segalanya apa yang orang sebut dengan bahagia. Satu-satunya yang ia tahu makna kebahagiaan, hanyalah pada saat hari-hari gerilya, perang melawan penjajah. Masa-masa perjuangan itulah hari-hari yang menyenangkan, haru biru melawan musuh-musuh. Sapaan merdeka, di tiap tikungan jalan, saat itulah kebahagian memukau dirinya.

“Kau ingat Kar?”, kata nenek itu sambil jalan tertatih membawa tongkatnya, “lima puluh tujuh tahun yang lalu, sebelum kau beristrikan Yu Sri, ketika pagi-pagi sekali kau sedang buang hajat, tiba-tiba seorang tentara Belanda memberondongmu, dan dua peluru menyasar pinggangmu, lalu kau lari terbirit-birit, ke persembunyian kita di semak-semak lorekali (utara sungai)”

“Ya aku ingat! Tapi itu sudah lama berlalu.”

“Saat kau selamat dan bisa berkumpul dengan kami, bau buang hajatmu yang tak selesai itu bikin hiburan teman-teman yang sedang makan beramai-ramai!”

Diingatkan itu Karta hanya senyum sedikit saja. Dan ia diam lagi, kini pikirannya diam-diam menyusup ke wilayah yang jauh lima puluh tujuh tahun lamanya, masa-masa perjuangan.

“Sebenarnya aku sudah lupa, tapi sekarang kau ingatkan lagi. Ya, waktu itu seperti sekarang ini, masih pagi. Orang-orang kampung kita sudah meruncingkan bambu, siap-siap melawan Belanda. Kami berperang dengan cara gerilya, sebagian ada yang mengumpat di semak, sebagian memanjat pohon, dan sebagian yang lain ada dalam lobangan tanah. Dan saat itu kukira tak ada Belanda, makanya aku buang hajat seenaknya, tak tahunya, e Belanda dari jauh menembakku?”

“Dan akulah perempuan yang pertama kali merawatmu itu?”

“Ya.”

“Masa itu aku masih gadis?”

“Ya, aku masih ingat, aku tersipu, saat kau merawatku penuh dengan perhatian. Dan saat itu, aku tahu kau mau bicara, akupun menunggunya, tapi tak ada apa-apa, lalu kita sibuk bersembunyi, karena Belanda menyerang.”

“Kala itu sebenarnya aku ingin mengucapkan sesuatu yang indah buatmu, agar bisa memberimu semangat untuk bertahan dari siksaan peluru. Tapi bagaimana itu bisa kuucapkan. Sementara Front Timur banyak yang terluka. Bukankah saat itu sebagai perempuan, merawat lelaki yang terkapar dari perang adalah segalanya?”

“Ya, aku mengerti!”

“Begitulah kalau ada warga yang kena peluru, kami langsung merawatnya, dan di waktu malam-malam yang sunyi, kami menghibur mereka, kami bernyanyi, kadang juga menembang. Dan mereka dapat melupakan lukanya dan segala hal yang menekan. Kerana perjuangan masih harus diteruskan sampai titik darah penghabisan!”

“Dan aku sekarang tak bisa bahagia seperti dulu. Sekarang malah aku sering menangis. Menangisi segala sesuatu yang sudah hilang?”

“Untuk apa menangisi masa lalu?”

“Aku tahu itu tak ada gunanya. Tapi aku selalu mengingatnya. Dulu kita bisa berbuat banyak hal yang berarti untuk negeri ini. Dan alangkah bahagianya hidup dalam kebersamaan mempertahankan negeri. Kita bisa berjuang sesuai apa yang kita impikan. Berjuang untuk merdeka, ya merdeka!”

“Tentu hidup seperti itu tidak akan selamanya berlangsung. Karena suatu masa akan berhenti pada waktunya. Dan perang telah selesai, bahkan seperti yang kita harapkan dulu, yaitu kita mendapatkan kemerdekaan!”

Hati Karta menjadi remuk dan berteriak, meneriakkan banyak kenangan yang datang mengharu biru, saat-saat masa gerilya, ia mencoba membuang segala kerisauannya, tapi ia tak mampu, bahkan ia semakin tenggelam dengan masa silam yang terus berputar-putar dalam kepalanya.

“Anakmu jadi Letnan, rumahmu mewah, banyak harta, dan pernah kudengar, kau juga pernah mendapat penghormatan dari Presiden, karena kegigihanmu membela tanah air, apa yang kurang dari hidupmu?”, kata nenek itu penuh semangat.

“Di tengah-tengah kemewahan itulah aku terasing, dan tercampakkan dari hidup sebenarnya!”

Tapi nenek itu tak paham apa yang telah dikatakan Karta. Dan warga yang mengerumuni lelaki tua itu tak ada yang berbicara sepatah pun, suasana dibiarkan hanya milik mereka berdua. Karta dan Nenek rentah itu. Kurang lebih setengah jam mereka berbincang-bincang di halaman rumah, dalam kerumunan warga yang ingin mendengar ceritanya.

Dan tiba-tiba, temanku yang dari awal mencurigai perihal kuburan itu, akhirnya memberanikan diri untuk bertanya padaKarta. Karena kesempatan seperti inilah yang sedang ditunggu-tunggu, sejak ia melihat kuburan di pelataran rumah mewah itu.

“Lalu kuburan di depan rumah itu, kuburan siapa?” Tanya temanku dengan penuh penasaran.

“Itu adalah kuburan untukku suatu saat nanti!”, jawab Karta pendek.

Dan betapa terkejutnya warga, mendengar penjelasan lelaki tua yang baru tahu kalau ia bernama Karta. Mata mereka terperangah, setelah mendengarkan penjelasannya.

“Jadi kuburan itu masih kosong?”, tanya warga yang lain.

“Ya. Sebab masih menungguku?”

“Kau masih hidup, kenapa sudah tergesa saja membuat kuburan?”

“Karena itulah rumah yang sebenarnya rumah, yang tak ada satupun bisa mencegahnya untuk masuk di dalamnya. Rumah yang pasti. Karena itu aku telah mempersiapkannya.”

Kerumanan warga itu tampak keheranan. Denyut jantungnya berdetak kencang, saat mendengarkan penjelasan pak Karta lebih lanjut.

“Buatmu yang masih bugar ini?” Tanya warga yang lain sambil terheran-heran.

“Tentu”, berhenti sejenak, kemudian ia melanjutkan perkataannya.” Kalau kau berpikir seperti aku, pasti kau berbuat seperti apa yang kulakukan”

“Apa yang kau pikirkan?”, tanya warga tiba-tiba.

Karta jadi gugup, dan tersentak dari keterbebanan perasaannya yang sedang naik turun. Akhirnya kata-kata pun berhasil disusunnya.

“Kalau kau pernah mengalami seperti aku, hidup di zaman revolusi, gerilya, dan perang melawan penjajah. Pasti kau merasa sudah mati hidup di zaman merdeka seperti sekarang ini”, katanya latah dan terbata.

Kemudian lelaki tua itu meneruskan perkataanya: “Ya, hidup setelah merdeka memang seperti hidup dalam kematian. Betapa tidak? Kemerdekaan yang kami pertaruhkan dengan nyawa, darah dan segala upaya, dengan harapan kita bisa hidup di bumi percikan surga ini dengan bebas, makmur dan sejahtera, tanpa ada rintangan. Ternyata keadaannya, ya keadaannya sungguh jauh dari harapan. Di zaman merdeka ini, betapa kita sering mendengar rakyat terkena korban penggusuran, terlantar, busung lapar, dan lagi-lagi berita korupsi, kolusi dan nepotisme. Ternyata anak-anak sejarah mengisi kemerdekaannya hanya dengan cara kenyang mengisi perutnya sendiri. Inilah yang membuat aku seperti mati. Lalu aku membuat liang kubur untukku itu!”

Setelah berbicara panjang. Hati Karta bergetar. Ia ambil nafas panjang, dan matanya seperti melampaui segala apa yang dilihatnya. Mata tua yang sayu itu mengucurkan deras air hangat yang meleleh di pipinya.

“Apa kalian setuju dengan apa yang kupikir. Tiap diri dari kita harus membuat kubur dan menghiasnya!”, suara serak itu disertai dengan isak tangisnya.

“Untuk apa? Itu usaha yang sia-sia.” Celetuk salah seorang warga.

“Agar kita bisa menghitung tiap perbuatan. Sebab kuburan adalah semacam kaca tempat kita bercermin.”, sambil mengusap air matanya, Karta tetap meyakinkan warga.

“Itu namanya putus asa!”, jawab warga dengan ringan.

“Untuk mengerti, kalian memang harus pernah berjuang terlebih dahulu, seperti kami dulu, agar kalian bisa memaknai hidup, memaknai kemerdekaan ini, dan selanjutnya membuat kuburan sepertiku!”, suaranya semakin lemah.

Karta merasa tak berhasil meyakinkan warga, bahwa apa yang telah diperbuatnya adalah benar. Meski ia telah memberi penjelasan yang lebih, yang dia sendiri pada dasarnya sudah tak percaya akan semangatnya lagi. Kemudian ia pulang, pergi dari kerumunan warga yang menyesakkan itu.

Esok harinya, di pagi sekali, orang-orang kampung dikejutkan dengan berita di Layar Televisi. Panglima Jenderal Purnawirawan Sukarta, Ayahanda tercinta Letnan Surip, dini hari pukul 09.15 WIB menghembuskan napas terakhir dalam usia delapan puluh lima tahun, di kampung halamannya desa Kalipang, Kecamatan Sugio, Kabupaten Lamongan. Ia adalah pemimpin gerilya yang telah mempersembahkan seluruh jiwa raganya untuk nusa dan bangsa. Almarhum Sukarta memilih tempat tinggal terakhir di desa kelahirannya. Sekitar tiga bulan yang lalu, ia pindah ke kampung, setelah bertahun-tahun lamanya menetap di Ibu Kota Jakarta, sejak tahun 1963, tepatnya di bulan September. Purnawairawan Jenderal Sukarta memang ingin mati di tempat perjuangannya dahulu, di sisi ayah bundanya dan kerabat dekatnya, serta teman-temannya yang gugur mendahului di masa gerilya dahulu.

*Aguk Irawan MN, tiga buku kumpulan cerpennya sudah terbit, Hadiah Seribu Menara (Kinanah 2000), Sungai yang Memerah (Lanarka, 2004), Adik Berbaring di Gerobak Ayah (Arti Bumi Intaran, 2007), selain cerpen, ia juga menulis novel, puisi, esai dan menerjemahkan beberapa karya sastra bahasa arab ke bahasa Indonesia.

Roman Kehidupan Kusni Kasdut

S.I. Poeradisastra
http://tempointeraktif.com/
KUSNI KASDUT
Oleh: Parakitri
Penerbit: P.T. Gramedia, Jakarta, 1979, 318 halaman, 18 x 11 cm.

REVOLUSI meruntuhkan sistem nilai lama dan menyusun sistem nilai baru. Revolusi yang sungguh-sungguh serba besar penuh kepahlawanan dan diliputi romantik. Hanya sedikit orang merenung mempertanyakan segala sesuatu dalam revolusi itu. Kebanyakan bertindak, larut tanpa bentuk di dalamnya, dan menggagau-gagau mencari identitas yang terus terlepas.

Seorang di antara pencari itu adalah Kusni, yang kemudian meng-Kasdut-kan dirinya. Revolusi pun menyusun kembali antar hubungan para pesertanya, menurut pola demokratik menuju persamaan martabat.

Seorang anak kaum miskin, seperti almarhum Mayor Dullah dari Surabaya (yang gugur di Ambon ketika menumpas RMS), dapat beristrikan seorang gadis tamatan HBS lima tahun.

Di dalam tataan sosial pra-revolusi jelas itu mustahil. Demikian pula Kusni, seorang anak yatim keluarga petani miskin. Tanpa revolusi, mustahil dia dapat beristrikan seorang gadis Indo dari keluarga menengah, sekali pun telah diindonesiakan sebagai Sri Sumarah Rahayu Edhiningsih (Parakitri menulisnya Eddy Ningsih).

Padahal golongan Indo pra-revolusi hanya berada sedikit di bawah puncak piramid sosial- yang diduduki kaum Belanda totok. Di penjara, Kusni masih tetap mengidap trauma asal sosialnya yang terpijak-pijak: kelahirannya yang separuh sah dan kemiskinan keluarganya yang menghantuinya terus. Tak pelak lagi kompleks rendah diri merupakan warisan kelahirannya.

Keberhasilannya selama bergejolaknya revolusi menekan kompleks tersebut. Sesudah revolusi kompleks itu menyembul lagi ke permukaan. Sementara itu Kusni mencintai, mengagumi, bahkan memuja Edhiningsih. Itu melahirkan keinginan memanjakan istri tersebut.

Malangnya ia ditolak masuk TNI. Pertama, karena tak resmi terdaftar dalam salah satu kesatuan. Kedua, cacat pada kaki kirinya, akibat tembakan Belanda. Dengan kegagalan itu dan kegagalan mencari pekerjaan yang sepadan dengan martabatnya yang baru, terbentuklah rasa telah diperlakukan tak adil. Seperti ampas tebu yang dicampakkan ke keranjang sampah setelah manisnya habis disesap.

Ini menimbulkan obsesi untuk merebut sendiri keadilan dengan sepucuk pistol di tangan, untuk membenarkan diri memperoleh rezeki yang tak halal. Terlebih lagi baginya membiarkan istri dan anak terlantar, melukai rasa kehormatannya, dan memperdalam rasa rendah dirinya.

Demikianlah kegagalan sosial ekonomi dan keterdamparan psikologi telah mengantarnya memasuki dunia hitam. Dan sebetulnya ia tak sendiri. Masih banyak Kusni-kusni lain. Seorang di antaranya Bir Ali yang tertembak pada pertengahan tahun 60-an.

Semasa revolusi mereka ditugaskan melakukan hal-hal, yang waktu itu, dianggap perbuatan kepahlawanan. Tapi selewat revolusi terpaksa dinilai kembali sebagai tindak pidana. Cerita duka demikian memang bisa didengar di mana pun -setelah sebuah revolusi usai.

Memang revolusi merupakan penjungkir-balikan segala nilai. Dan Kusni? Dengan segala keramahan Usman, Mulyadi dan Abu Bakar mengundangnya masuk, bahkan memberikan posisi memimpin kepadanya.

Kebetulan, ia memang dilahirkan dengan garisah (instink) memimpin. Dan seperti buah terlarang, hal itu memang manis dan membuat ketagihan. Seperti pula seorang morfinis Kusni tak dapat berhenti. Jeweran kuping seorang yang dikasihi dan dihormatinya, Subagio pun tak mempan.

Pengalaman tertangkap Belanda semasa revolusi, membuatnya memandang penjara sebagai lembaga tempat penyiksaan yang sah. Hanya untuk menghindari penangkapanlah ia membunuh -kalau menurut anggapannya telah terlalu terpaksa.

Ia bukan seorang pembunuh pathologik seperti Eddie Sampak dari Cianjur. Ia tak pernah terperosok ke dalam homoseksulitas seperti Henky Tupanwael. Minggatnya dari penjara, boleh dianggap karena obsesi: kengeriannya disekap.

Sebenarnya di relung hatinya masih mengerlip seberkas cahaya. Itu bisa dilihat dari usahanya menyelamatkan dua orang plonco dunia kejahatan, Roi dan Yoji, dari kehancuran total.

Kusni berhasil menyelamatkan mereka. Juga, kelakuannya sebagai napi cukup baik. Ia tak pernah berkelahi dengan sesama napi, dan kalau tak terpaksa tak pernah melawan petugas.

Dan buku tentang Kusni ini telah ditulis Parakitri dengan sentuhan ajaib. Ia telah menulis suatu roman kehidupan yang baik. Berpegang pada fakta hingga detil-detilnya -sejauh itu dapat ditelusuri kembali — sekaligus memberikan daya-citra pada hal-hal yang gelap- dalam kerangka konsistensi logika dan psikologi, tentu.

Dapat diduga, dalam beberapa kali wawancaranya, mustahil Parakitri dapat dengan tuntas menguras segala detik kehidupan tokohnya. Karena itu darinya diminta kekuatan citra.

Sebab, betapa pun roman itu tanggungjawab terakhir ada pada Parakitri -bukan Kusni. Dan Parakitri berhasil bukan saja menyajikan roman yang lancar gaya bahasa dan jalan kisahnya, melainkan juga gigantik, kepahlawanan dan romantik revolusi.

Menghindari kronologi yang mengundang kejemuan, penulis menggunakan teknik kilas balik (flash backs) cukup hidup. Dewi Justitia Barangkali buku Parakitri ini memberikan snapshots revolusi yang lebih cermat-realistik, dibanding Surabaya-nya Idroes. Tapi kedua buku itu memang lahir di zaman yang berbeda.

Agaknya Dewi Justitia (dewi keadilan) yang menggiurkan itu sekali-sekali perlu minta sesajen. Dan Kusni dituntut sebagai sesajen oleh Sang Dewi Hukuman seumur hidup terlalu ringan bagi seorang napi kaliber Kusni. Apakah setelah Kusni ditembak masyarakat menjadi lebih baik dan lebih aman, itu soal lain.

Menjelang akhir tahun 1949 saya mondar-mandir dari pangkalan saya di Kawi Selatan ke Kota Malang. Operasi gerilya terpaksa diteruskan di kota-kota pendudukan, setelah gencatan senjata selalu dilanggar Belanda. Ketika itu saya sempat bertemu dua atau tiga kali dengan Kusni -ketika itu lebih dikenal sebagai Si Kancil.

Ia memang dikenal berani dan banyak akal. Setelah awal 1950 Kusni tak terdengar lagi beritanya, sampai ia menjadi berita dalam peristiwa pembunuhan Ali Badjened -saya lihat potretnya terpacak di surat kabar.

Kesan saya ketika bertemu di masa perjuangan dulu itu ia seorang pemuda yang simpatik, ramah, tapi sangat pendiam. Ia seorang anak revolusi yang baik ketika itu.

Menyedihkan, sang Ibu tak membekalinya dengan japa mantra kekebalan, hingga ia terjerumus dalam sisi yang gelap. Betapa pun catatan kejahatannya, almarhum Kusni lebih saya hormati ketimbang tuan-tuan Quisling yang kini menikmati buah manis. Memang sejarah penuh ironi!

08 Maret 1980
Sumber: http://202.158.52.214/id/arsip/1980/03/08/BK/mbm.19800308.BK51822.id.html

Memoar Ventje Sumual Merevisi Sejarah Indonesia

Yuyu AN Krisna *
http://www.sinarharapan.co.id/

MEMBACA Memoar Ventje HN Sumual setebal 706 halaman, kita hanyut dalam gelombang kehidupan seorang laki-laki Minahasa yang begitu peduli akan nasib bangsa ini, bangsa Indonesia. Berbagai gerakan demi kemajuan bangsa ini dilakukan oleh perwira pejuang, politikus, pengusaha, tokoh sosial yang lahir di Remboken, Minahasa, Sulawesi Utara, 11 Juni 1923 ini.

Menurut sejarawan Prof Salim Said, buku ini mengungkapkan begitu banyak fakta dan kata yang selama ini tidak diketahui para sejarawan, apalagi masyarakat umum.

Salah satunya, serangan umum 1 Maret 1949, ternyata adalah gagasan Ventje Sumual. Pada 12 Februari 1948, Soeharto meminta Ventje Sumual menjumpainya di Desa Semaken, Kulon Progo. Ventje diantar oleh utusan Soeharto, Letkol Soedarto. Ternyata rapat rahasia itu hanya mereka bertiga. Hal 89. Tanpa membuang waktu, Soeharto langsung mengajak ke pokok rapat. Strategi ke depan. Sambil mengevaluasi langkah-langkah yang sudah dan sedang dilaksanakan. Ke depan, sesuai strategi umum perang gerilya, tentu saja mengenai serangan umum lagi. Itu memang sudah digariskan. Sudah merupakan teori umum dalam perang gerilya.

Langsung saya ajukan usul, “Pak Harto, kita kan sudah beberapa kali melakukakan serangan umum, tapi semuanya pada malam hari. Bagaimana kalau kita lakukan pada siang hari, supaya lebih mendapat perhatian luas. Supaya diberitakan koran-koran. Berita-berita dalam koran selama ini hanya menguntungkan Belanda.”

Soehato setuju. “Itu baik. Serang pada waktu siang,” katanya sambil mengangguk-angguk….

Catatan lain dari buku ini, saat pemimpin belum memikirkan tentang otonomi daerah, Ventje Sumual sudah berapi-api memperjuangkannya secara nyata. Oleh karena itu, terbentuklah Perjuangan Semesta atau PERMESTA 2 Maret 1957 dan Pemerintah Revolusionir Republik Indonesia, PRRI, pada 10 Februari 1958, yang oleh sementara kalangan dinilai sebagai langkah keliru. Namun, waktu telah membuktikan bahwa “kekeliruan” yang dilakukan Ventje Sumual dan kawan-kawan saat itu adalah tindakan benar.

Ventje Sumual selalu berpikir jauh ke depan. Bukan sekadar berpikir, tetapi merealisasikannya, walaupun dia harus ditangkap dan mendekam dalam bui. Setiap perjuangan pasti ada korban.

Memoar Ventje Sumual ini memberikan penjelasan secara tuntas sekaligus merevisi sejarah Indonesia. Kalau sebelumnya masyarakat hanya mendapat penjelasan apa yang telah terjadi di Indonesia secara tersamar dan “takut-takut”, buku ini mengungkapkan secara transparan dan terus terang tentang apa yang sebenarnya terjadi pada bangsa ini di masa lalu. Melengkapi dan meluruskan sejarah Indonesia yang bengkok. Menerangi ruang-ruang gelap di panggung sejarah kita. Demikian dikemukakan sejarawan Prof Salim Said dalam acara peluncuran dan bedah buku Memoar Ventje HN Sumual, 13 Juli lalu di auditorium Arsip Nasional Indonesia, Jakarta.

Banyak orang heran saat Permesta diproklamasikan oleh Ventje Sumual dan 50 kawannya pada 2 Maret 1957 di Makassar, karena selama ini Ventje Sumual mempunyai kedekatan dengan Presiden Soekarno. Tetapi, tindakan itu dilakukan karena dia sangat mencintai Bung Karno dan bangsa Indonesia.

Ventje melihat ada suatu proses yang membahayakan sedang terjadi di negara ini. Presiden Sukarno dan pemerintah pusat saat itu hanya sibuk dengan gelora politik dan komunis mulai mendapat angin. Sementara itu, rakyat di daerah ditelantarkan. Permesta maupun PRRI adalah bentuk protes atau peringatan dari seorang anak kepada Bapak yang mulai berjalan “sempoyongan” keluar prinsip-prinsip demokrasi.

Jauh sebelum Presiden RI saat ini SBY memikirkan demokrasi, Putra Minahasa ini sudah jauh melangkah dalam perbuatan nyata. Situasi Indonesia pada saat itu mengkhawatirkan. Para pemimpin dan penguasa negara ini juga sudah memikirkan dan merencanakan bagaimana mengembalikan Soekarno dan pemerintah pusat yang mulai “mabuk kekuasaan” kepada tujuan semula Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tercatat ada pertemuan rahasia antara Soeharto-Gatot Subroto-Sumual. Wakil Presiden Moh Hatta pernah mengemukakan hal ini pada Des Alwi. Banyak yang membahas, banyak yang memikirkan. Tetapi, Ventje Sumual berani bertindak mengambil risiko.

Beberapa bulan sesudah Ventje memproklamasikan Permesta dan institusi TT-VII dilikuidasi, Nasution masih menawarkan jabatan di Mabes Angkatan Darat. Tetapi, Ventje tidak menggubrisnya. Ia merasa saat ini sudah berada di garis perjuangan yang benar dan lebih penting daripada urusan jabatan.

Tak lama setelah Permesta, terbentuk Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia, sebagai hasil pertemuan dari para perwira dan negarawan di Sungai Dareh. Syafruddin Prawiranegara ditunjuk sebagai Perdana Menteri dan Ventje Sumual sebagi Kepala Staf Angkatan Darat. PRRI mengeluarkan ultimatum Kemerdekaan Negara dan Bangsa untuk seluruh rakyat RI.

Dari bedah buku tersebut sejarawan Prof Herlina Lubis mengemukakan sosok Ventje Sumual paling tidak setuju dengan usulan tokoh PRRI Syafruddin Prawiranegara, bahwa mereka yang membangkang sebaiknya kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi. “Saya tidak pernah turun dari pangkuan Ibu Pertiwi,” kata Ventje.

Keluar dari bui, Ventje pernah ditawari berbagai jabatan penting baik dalam pemerintahan maupun militer, namun dia lebih memilih pengabdian lewat dunia usaha dan sosial kemasyarakatan. “Saya mau membayar utang saya pada bangsa ini lewat pembangunan,” kata Ventje saat itu pada pemuda Theo Sambuaga, tokoh pemuda dan mantan menteri.

Ventje juga memelopori dan mengembangkan Lembaga Perkreditan Rakyat untuk menanggulangi masalah ketimpangan pembangunan antardaerah. Perhatiannya pada lingkungan begitu besar dengan memprogramkan penanaman pohon seho atau aren di Sulawesi Utara.

Catatan ini hanya sebagian kecil dari begitu banyak karya nyata Ventje HN Sumual semasa hidupnya. Tokoh yang terkenal dengan falsafah “Baku Beling Pande” ini tutup usia pada 28 Maret 2010 di Jakarta. Memoar ini merupakan hasil kerja keras para editor Eddy AF Lapian, Frieke FH Ruata dan BE Matindas.

*) Peresensi adalah wartawan senior.
Judul Buku: Memoar–Ventje HN Sumual
Penulis: Eddy AF Lapian, Frieke FH Ruata, BE Matindas
Penerbit: Bina Insani, Jakarta
Cetakan: Pertama, 2011
Tebal: 706 halaman

http://www.sinarharapan.co.id/content/read/memoar-ventje-sumual-merevisi-sejarah-indonesia/

Biografi Almarhum Tan Malaka (1894-1949)

Sabam Siagian*
Suara Pembaruan, 22 Sep 2007

SEBUAH lembaga penelitian Belanda KITLV (singkatan dari Koninklijk Instituut voor Taal, Land en Volkenkunde – Lembaga Kerajaan untuk Penelitian Masalah Bahasa, Geografi dan Bangsa-bangsa) yang berkantor pusat di Leiden, meluncurkan terbitan monumental. Hasil karya se- orang peneliti senior Dr Harry A Poeze di lembaga tersebut tentang kegiatan politik tokoh pejuang kemerdekaan Indonesia yang berhaluan kiri, Tan Malaka, antara tahun 1945 sampai dengan awal 1949 itu, terbit dalam tiga jilid.

Isinya lebih dari 2.000 (dua ribu) halaman. Judulnya saja agak mencerminkan simpati penulis kepada subjeknya: Verguied en Vergeten- Tan Malaka, de linkse beweging en de Indonesia Revolutie, 1935-1949 (Dihujat dan Dilupakan-Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia, 1945-1949).

Tiga jilid yang baru terbit ini merupakan Bagian II. Bagian I diterbitkan pada 1976 dan menggambarkan perjalanan hidup Tan Malaka sejak lahir di Sumatera Barat (1894) dari tahun 1897 sampai berakhirnya pendudukan militer Jepang di Pulau Jawa pada 1945.

Bagian I itu yang berjudul Tan Malaka; Pejuang Kemerdekaan Indonesia, Perjalanan Hidupnya 1897-1945 (terjemahan Indonesia), sebenarnya merupakan disertasi Harry Poeze untuk mencapai gelar doktor dalam ilmu politik di bawah asuhan Prof Wertheim di Universitas Amsterdam.

Guru besar ini, yang pernah bertugas sebagai dosen di Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (RHS) di Jakarta (Batavia) sebelum 1942, dikenal sebagai pemuja gerakan kiri di Indonesia. Dr Poeze telah mengumpulkan sejumlah besar bahan dan mewawancarai tokoh-tokoh yang masih hidup yang mengenal Tan Malaka. Karena dia juga sibuk sebagai direktur penerbitan lembaga KITLV, ia memerlukan sekitar 10 tahun untuk menyelesaikan tahap riset dan penulisan karya besar itu.

***

Ketika Bagian II dari biografi Tan Malaka ini diluncurkan di Jakarta pada 30 Juli lalu di Gedung Joang 45, Jalan Menteng Raya no 31, Jakarta, Dr Harry Poeze tampak hadir. Pertemuan itu diselenggarakan bersama oleh Pusat Studi, Penerbitan dan Pustaka Demokrasi (Pusbitdem) dan KITLV. Saya diundang, karena sejak dulu selama menjadi mahasiswa pada 1950′an di Universitas Indonesia, memang sudah tertarik pada tulisan dan biografi Tan Malaka yang pada waktu itu tidak begitu mudah memperolehnya. Dr Roger Toll, Kepala Perwakilan KITLV di Jakarta bermurah hati mengirim satu set Bagian II biografi Tan Malaka yang terdiri dari tiga jilid.

Ternyata bahasa Belanda saya yang dulu harus dipergunakan secara aktif ketika menjadi pelajar di sebuah SMA berbahasa Belanda di Jakarta belum berkarat sehingga masih dapat menikmati cerita Dr Poeze tentang kegiatan politik Tan Malaka (1945-1949) yang ditulis secara menarik. Meskipun kadang-kadang terlalu dibebani fakta-fakta yang jelimet yang justru cenderung mengaburkan gambaran Tan Malaka selama tahun-tahun Revolusi Indonesia itu.

Jelas, penulis kolom ini bukan sejarawan profesional. Catatan-catatan ini sekadar menarik perhatian Anda agar mengetahui, ada saja ilmuwan asing yang begitu getol meneliti perjalanan hidup seorang tokoh politik Indonesia yang hampir terlupakan, sehingga mampu menerbitkan karya yang berjilid-jilid. Apakah karya yang merupakan produksi besar itu memang relevan dalam keseluruhan kerangka sejarah Revolusi Indonesia, masalah itu patut diteliti oleh para sejarawan Indonesia.

Kebetulan saya berjumpa dengan Dr Taufik Abdullah, pakar sejarah modern Indonesia yang juga mendapat kiriman satu set Bagian II biografi politik Tan Malaka. “Tugas Andalah untuk mengupas karya Dr Poeze ini sebagai sejarawan profesional,” ujar saya kepada Bung Taufik.

***

Siapa sebenarnya Tan Malaka? Nama lengkapnya adalah Ibrahim gelar Datoek Tan Malaka. Tahun kelahirannya, menurut Dr Poeze, diduga 1894 di Desa Pandan Gadang. Ia menjadi pelajar sekolah pendidikan guru. Karena cerdas, ia dikirim ke Negeri Belanda dan mengikuti pendidikan guru lanjutan di Kota Haarlem, 1913-1915.

Karena Perang Dunia I berkecamuk di Eropa (1914-1918), Tan Malaka terhalang pulang ke Tanah Air. Ia terpaksa hidup berdikari dan selama tahun-tahun itu berkenalan dengan ideologi sosialisme dan komunisme. Pada 1920 Tan Malaka akhirnya pulang ke Tanah Air dan menjadi guru di sekolah yang didirikan oleh perusahaan perkebunan Eropa di Sumatera Timur.

Gajinya setaraf dengan gaji seorang guru Belanda. Ia tidak tahan melihat tindasan yang diderita para kuli perkebunan yang didatangkan dari Pulau Jawa. Pada Februari 1921 Tan Malaka minta berhenti dan pindah ke Semarang, di mana sebuah partai baru, Partai Komoenis Indonesia (PKI) belum lama berdiri. Partai baru itu muncul dari ribaan Sarekat Islam (SI) dan ingin terus berlindung di belakangnya sambil melakukan kegiatan agitasinya.

Tan Malaka segera aktif menyelenggarakan pendidikan cuma-cuma kepada anak-anak rakyat jelata, menulis pamflet-pamflet, dan mendorong berbagai pemogokan. Akhirnya PKI dipisahkan dari SI, dan peranan Tan Malaka sebagai agitator komunis menjadi mencolok bagi polisi rahasia Hindia Belanda.

Dengan keputusan gubernur jenderal, ia dikenakan hukuman pembuangan. Tan Malaka memilih Negeri Belanda sebagai tempat pengasingannya pada Maret 1922. Dari sana ia ke Moskwa dan mengikuti program pendidikan partai komunis.

Tan Malaka menghadiri Kongres International Partai-partai Komunis (Kominform) di Moskwa pada November 1922. Ia kemudian diangkat sebagai Wakil Kominform untuk seluruh Asia Tenggara. Maka mulailah pengembaraannya selama 20 tahun, diuber-uber polisi rahasia di Manila, Hong Kong, Bangkok, Singapura, dan ibu kota lainnya sebelum ia kembali ke Tanah Air pada 1942 setelah militer Jepang menguasai Asia Tenggara.

Yang penting dicatat selama periode itu adalah brosur yang ditulis dan diterbitkannya pada 1924 dalam bahasa Belanda dan diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Judulnya: “Menuju Republik Indonesia”. Meskipun brosur itu terpaksa harus diselundupkan ke Indonesia dan beredar secara terbatas, dampaknya di kalangan pergerakan kebangsaan amat besar. Untuk pertama kalinya konsep “Republik Indonesia” dicanangkan.

Karena berbagai persoalan (terlalu jelimet untuk diterangkan di sini), pada tahun 1927 Tan Malaka putus arang dengan Moskwa.

Pada Juli 1927, Tan Malaka dengan beberapa kawannya mendirikan Partai Repoeblik Indonesia (PARI) di Bangkok. Diusahakan untuk mendirikan cabang-cabang di beberapa tempat di Indonesia, tapi dengan mudah ditumpas oleh polisi rahasia Hindia Belanda.

Demikianlah Tan Malaka meneruskan pengembaraannya, sampai-sampai ke Tiongkok Selatan dan berkembang sebagai seorang komunis-nasionalis, seperti juga pemimpin Vietnam, Ho Chi Minh.

***

Sekadar beberapa catatan saja tentang Bagian II biografi Tan Malaka. Pertanyaan besar agaknya: Kenapa dia tidak berperan pada periode menuju Proklamasi 17 Agustus 1945 dan pada awal RI berdiri? Tan Malaka sudah berumur 51 tahun ketika Proklamasi, lebih tua dari tokoh-tokoh politik lainnya. Ia baru muncul di Jakarta (dari persembunyian di Banten Selatan) seminggu setelah Proklamasi pada 25 Agustus 1945 di rumah Mr Subardjo di Jalan Cikini, Jakarta.

Beberapa catatan Harry Poeze tentang profil Tan Malaka agaknya membantu, karena pada saat-saat bersejarah selama tahun-tahun awal RI itu, Tan Malaka seperti dilewati oleh dinamika politik dan tidak menonjol di panggung peristiwa. Pada halaman 39 ditulis “betapa selama bertahun-tahun Tan Malaka hidup sebagai orang perburuan sehingga sebenarnya dia tidak mampu lagi hidup secara normal…”

Kemudian dicatatnya di halaman 866 bahwa “kecenderungan merahasiakan segala sesuatunya dan sikap terlalu hati-hati mendominasi karakter Tan Malaka”. “Ia seorang revolusioner yang kesepian (een eenzame revolutioner), menurut Poeze dalam bab Penutup (halaman 2005).

Ia ditangkap pada Maret 1946 di Madiun oleh pendukung PM Sutan Syahrir, karena dituduh mengorganisir agitasi terhadap Kabinet Syahrir, yang menyulitkan diplomasi yang sedang berlangsung dengan pihak Belanda. Tan Malaka baru dibebaskan pada September 1948 sebagai pengimbang terhadap gerakan PKI-Muso.

Setelah serangan umum Belanda 19 Desember 1948 ketika Yogya diduduki, maka sebagai keputusan politik, Presiden Soekarno, Wakil Presiden Moh Hatta dan sejumlah anggota kabinet tidak meninggalkan ibu kota. Mereka menjadi tahanan militer Belanda.

Tan Malaka yang bergerak di Jawa Timur, di daerah sebelah barat Kota Kediri, seberang Kali Brantas melakukan agitasi bahwa kepemimpinan Soekarno-Hatta sudah berakhir. Pada 9 Februari 1949 di Desa Tegoran, menurut undangan diacarakan rapat koordinasi para komandan yang bergerilya di daerah itu.

Ternyata, rapat itu menjadi ajang agitasi politik bagi Tan Malaka (dengan nama samaran Pak Usin) yang berpidato selama lebih sejam. Pada malam itulah tanpa dinyatakan secara formal dibentuk Gabungan Pembela Proklamasi. Ia juga rajin mengedarkan pamflet-pamflet politik yang ditulisnya sendiri dengan alamat “Markas Murba Terpendam”. Salah satu pamflet itu mencerca para perwira TNI, antara lain nama Kol Sungkono disebut, komandan Jawa Timur, “yang lari terbirit-birit ke Gunung Wilis diuber pasukan Belanda”.

Di periode perang gerilya menghadapi Belanda pada belahan pertama tahun 1949 di mana hukum militer berlaku, sikap komandan setempat menghadapi agitasi yang diorganisir oleh Tan Malaka, termasuk menyusun kekuatan bersenjata, dan tidak mengakui lagi kepemimpinan Soekarno-Hatta ataupun PRRI di Sumatera, sudah dapat diramalkan. Letkol Surachmad, komandan “Wehrkreisse” di daerah tersebut mengeluarkan surat perintah rahasia yang mencap gerakan Tan Malaka sebagai mengancam eksistensi RI. Ia lapor kepada Kol Sungkono bahwa tindakan keras akan dilakukan terhadap Tan Malaka dan pengikutnya.

Pada malam 21 Februari 1949, Letnan Dua Sukotjo dan anak buahnya menangkap Tan Malaka di Desa Selongpanggung, dekat Tonggoel. Tan Malaka dieksekusi oleh anak buahnya bernama Suradi Tekebek. Poeze berhasil menggali fakta-fakta itu setelah bertahun-tahun melakukan penelitian dan mengunjungi lokasinya.

Ia ungkapkan emosinya sedikit dan tinggalkan objektivitasnya sebagai ilmuwan sejarah ketika di catatan kaki halaman 1466 ia memakai istilah “pembunuh Tan Malaka” (moordenaar) dan kata “schuld” (rasa bersalah). Padahal di bagian lainnya, penulis akui bahwa hukum militer berlaku dalam situasi perang melawan Belanda.

Sayang Dr Harry Poeze tidak mengutip kenangan Abu Bakar Lubis pada Tan Malaka dalam bukunya Kilas Balik Revolusi (Jakarta, 1992). Sebagai pemuda pejuang, ia mengenal Tan Malaka dan membaca karya politiknya. Lubis menulis: “Tan Malaka hidup lebih dari dua puluh tahun dalam pengasingan, penjara, atau persembunyian. Tidaklah heran kita, bahwa seorang yang hidup begitu lama dalam kesepian mempunyai dunia sendiri yang tidak sepi dengan cita-cita, impian dan khayalan, mengejar suatu utopia. Karena itu mungkin sekali ia tidak selalu bergerak dan mengambil si- kap yang berpijak pada kenyataan….”

* Sabam Siagian, pengamat sejarah politik nasional
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2007/09/buku-biografi-almarhum-tan-malaka-1894.html

Jumat, 26 Agustus 2011

Pulang tanpa Alamat

Abidah El Khalieqy*
http://www.jawapos.co.id/

USAI mandi dan memilih pakaian paling bersih, Gotap menyemprotkan minyak wangi di bawah daun telinga. Di dada kiri tempat jantung bersembunyi, dan sedikit olesan di denyut nadi pergelangan tangan. Senyum cerah tersungging dalam cermin besar dan jernih. Seperti kuncup putih melati, senyum itu ditatapnya berulang kali. Entah siapa yang perintah, tiba-tiba tangannya bergerak, mengambil kembali botol parfum dari atas meja, dan menyemprotkannya di kedua telapak kaki. Tapi, pikirnya, masih ada yang kurang. Telapak tangan dan jari-jariku mesti wangi, agar setiap orang yang kusalami akan dilekati keharuman yang sama.

”Kau ini mau ke mana, Tap?”

”Mudik!”

”Ini hari masih pagi. Bukankah kita akan berangkat nanti malam?”

”Ah! Kau tunggu sajalah di sini. Istirahatlah dulu. Aku mau pamitan dengan penduduk di kampung ini.”

”Haa…!?”

Wajah Segap ternganga. Lebih ternganga lagi ketika melihat Gotap, sohib lawasnya itu, keluar dari kamar dan berjalan menuju gang tanpa sandal atau sepatu. Begitu mantap, melangkah pasti ke rumah tetangga paling dekat. Tak sedikit pun ada keraguan tercium, selain bau wangi yang meruap dari kedua telapak tangan dan kakinya. Dengan bersalaman atau tersentuh jari-jarinya, semua orang akan mencium aroma segar yang nguar di udara. Apalagi di bekas jabat tangannya, serasa mekar bunga kenanga.

Bukan hanya itu, yang membuat para tetangga tersipu, merasa heran, dan terbengong-bengong di depan pintu, satu demi satu, dari rumah ke rumah penduduk kampung itu, Gotap masuk dan keluar seperti petugas sensus sedang mendata. Bahkan masih menyempatkan diri memberi salam dan pamitan pada setiap orang yang dijumpainya sepanjang jalan. Kenal atau tidak, hanya sekadar tahu atau yang pura-pura tak mau tahu, disalaminya sepenuh hati.

Aku harus minta maaf kepada semua penduduk kampung, tegasnya dalam hati sembari mencium bau wangi yang masih nempel di tangannya, di jari-jari bersih dan halus miliknya, karena jari itu tak pernah menyentuh beban berat dunia. Terutama sejak dirinya mengemban benda ajaib yang dikuasai dan menguasainya, bukan lagi kepalan tangan yang menghantam atau ninju para lawan. Ada kekuatan dahsyat dalam jiwa raganya, yang jika digunakan dapat melumpuhkan para musuh dan saingan. Kadang mematikan. Mengunci gerak lengan para korban.

Orang bilang, Gotap memiliki ilmu kebal. Urat kawat tulang besi. Keluar asap dan percikan api saat dihantam pedang. Walau tubuh dan perawakannya sangat biasa dan tak menampilkan sosok jagoan. Tidak pula berwajah serem preman bertatto ular naga di lengannya, atau kepala Medusa di punggungnya. Menyerupai kekar petinju kelas bulu pun masih harus fitnes selama satu tahun.

Penampilan Gotap memang nyekli. Lebih mirip guru ngaji, meski sepanjang hidupnya tidak sempat berurusan dengan ayat-ayat suci. Bahkan seumur-umur, belum pernah sekali pun masuk masjid, kelenteng atau gereja. Entah dari mana diperoleh banyak mantra yang melekat dalam kepalanya. Yang jika dirapal agak mirip dengan bunyi salawat, kadang juga seperti nyanyian baheula atau senandung rindu dari arwah para dewa.

Tak ada yang tahu. Tak ada yang mengerti.

Tapi siapa tak kenal Gotap di kampung ibu kota negeri ini. Dari Pak Lurah sampai anak-anak, dari ustad Farid lulusan Madinah sampai preman pasar dan kuli bangunan, juga ibu-ibu, para janda dan remaja sekolahan, tak ada yang ketinggalan. Sohornya bak selebriti, seperti koruptor yang sering nongol di televisi. Sejak kedatangannya bertahun-tahun lalu, tak seorang pun tahu dari mana asal-usulnya. Apa nama desa, siapa nama orang tua, apalagi nenek moyangnya. Warga kampung hanya tahu, sejak ia tinggal di situ, semua perkelahian yang sering dan bersumber dari pasar di jalan besar itu, selalu beres digenggamnya.

Bahkan Segap, sohib lawas sesama rantauan, tetangga desa saat masih di seberang lautan, tidak memiliki bahan untuk mengupas misteri kehidupannya. Terutama jika menyangkut soal ilmu kebal. Karena urusan itu, Gotap sangat menjaga rahasia hatta terhadap kawan dekatnya. Berbeda kalau membincang urusan lain, masalah duit dan perempuan misalnya, mereka demikian akur. Seia-sekata, selagu-seirama. Tanpa perbedaan, persaingan atau perseteruan.

Maka Segap hanya menunggu. Tidur-tiduran di kamar. Membayangkan capek sohibnya berjabat tangan sampai senja nyaris tiba. Membaris usia di langit jelaga.

”Gap, apa menurutmu bibi masih ingat padaku?”

”Kau tak banyak berubah, Tap. Wajahmu masih seperti dulu. Orang desa pastilah ingat padamu, apalagi bibimu itu.”

”Kalau Melinda, bagaimana?”

”Tak tahulah kalau itu. Mungkin sudah menikah dengan Gasrul. Mungkin pula sudah lima anaknya. Cinta itu cepat berubah, Tap. Hikhikhik…!”

”Tak ada cinta dalam hidupku. Sejak kecil aku hanya kenal bagaimana cara membakar kayu agar tidak menjadi arang atau abu.”

Sudah lebih lima belas tahun Gotap pergi meninggalkan tanah kelahirannya. Tak sesuatu pun yang diingat selain tetesan air mata bibi. Seorang perempuan biasa yang merawatnya sejak balita, sejak ia sebatangkara. Seperti apakah wajah bibi sekarang. Apakah ia masih merindukan kehadiranku, atau kemarahannya belum reda juga setelah sekian tahun berpisah. Meski kepergianku semata meringankan beban hidup yang harus ditanggungnya. Tapi bibi tak mau mengerti. Rasa sayang dan tak mau berpisah, tentu kuhargai. Tapi aku sudah cukup dewasa untuk berdiri di atas kaki sendiri.

Wajah Gotap digulung awan, mencari alasan sekuat pikiran.

Tak ada kontak sejak pergi dari desa. Begitu pun sebaliknya. Padahal, apa susahnya memencet ponsel, kirim surat, atau titip pesan. Rupanya ia sengaja ingin hidup di dunia lain yang asing, penuh misteri dan menggoda. Ingin bikin kejutan, suatu saat pulang dengan rindu sekolam. Penampilan berubah. Tampak kaya dan gagah. Sebab rantau bisa bikin segala sesuatu jadi kejutan. Jadi kotak bersisi delapan seperti hidup itu sendiri. Pelan namun pasti, terus berjalan nuju perubahan demi perubahan. Tak ada yang abadi, kecuali Yang Maha Abadi.

”Memang benar, Gap. Rasa-rasanya baru kemarin kita datang ke ibu kota. Eh, sudah belasan kali Lebaran rupanya. Sudah panjang pula jenggot kita.”

”Ayolah, Tap. Beresi barang-barangmu, tiga jam lagi kita berangkat.” Segap menegur sohibnya untuk tidak mengulur-ulur waktu, agar perjalanan mudik ke desa masa silam segera nyata. Bukan sekadar impian dan kata-kata.

”Jangan pikir aku tak serius, Gap. Desa masa silam memang tujuanku.”

Gotap tertambat. Mengingat-ingat sekali lagi, siapa kiranya tokoh kampung yang belum disentuh jari-jari wanginya. Belum disalaminya. Berat nian rasanya meninggalkan mereka, meski hanya sementara. Sekian puluh ribu hari hidupku terukir di sini, di tanah di air di api dan udara ibu kota ini. Dari rindang pohon jalanan, trotoar, dan gorong-gorong, sejuk mata perawan, tante girang, menguntai jalinan hidupku penuh kebanggaan. Aku tidak menipu, tidak kemplang uang rakyat, apalagi sengaja menyakiti. Aku hanya menolong orang susah, membantu sarjana cari kerja, memasok tenaga pada pabrik raksasa tanpa girik, tanpa lamaran. Apa salah jika orang takut padaku, mengirim amplop berisi lembaran merah setiap minggu dan bulan.

”Apalagi yang kau tunggu, Tap. Ayolah kita berangkat!?”

”Ngebet bener kau ini, Gap. Kangen siapa, Nita atau Juwita.”

”Siapa pun di sana, aku rindui semua.” Segap melotot mata. ”Ah! Lama kali kau ini. Aku tinggal sajalah.”

”Jangan begitu, Kawan. Lihat dulu baju yang kupakai ini. Menurutmu, sudah oke atau belum?”

”Ya, okelah! Sudah pas untuk membungkus tubuhmu, mengantarmu ke tanah asalmu, bertemu Melinda, hahaha…”

”Mantap kalau begitu. Ayolah segera kita berangkat!”

Mereka naik bus malam eksekutif Tri Marga. Lari cepat nuju pulau seberang. Tak banyak cakap selain hitam bayang-bayang. Karena baru beberapa saat saja, tidak lebih satu jam, lampu-lampu dimatikan. Mata pun kian menyipit oleh kantuk dan mesin pendingin. Tahu-tahu mengapung di atas lautan. Saat itu, jarum jam menunjuk pukul 00.00 tengah malam. Antara tidur dan jaga, Segap menggeragap. Setengah sadarnya diikuti sosok bayangan. Jubah Hitam. Sosok itu terbang sembari sesekali mengetuk-ngetuk kaca jendela di sisi Gotap. Namun Gotap tampak pulas agaknya. Segap sedikit takut dan menutup wajah sendiri dengan selimut. Tapi Gotap malah gagap dari tidur, ngajak bicara bak orang ngelindur.

”Aku mau pulang, Gap!”

”Ya. Kita memang mau pulang.”

”Gelap. Ada lorong berliku-liku.”

”Mimpi kali?”

”Ada orang berjubah hitam mengajakku terbang.”

”Sadar, Tap. Sadar. Kita sedang dalam kapal, dalam bus, sedang nuju pulau seberang.”

Napas sohibnya tersengal. Diam. Tak yakin pada pendengaran, kian penasaran Segap mengintip sosok hitam itu dari lubang selimut. Tak ada bayangan apa-apa. Belum hakul yakin. Diluruhkan selimut ke pangkuan dan coba melongok keluar jendela, juga seluruh pelosok perut bus, kalau-kalau bayangan itu telah nyusup di antara kursi. Tak ada gerak apa pun selain pengemudi di depan, dan dengkur kondektur di pojok belakang. Namun perasaan belum nyaman. Ada ambang pikiran yang terus mendesak ke otak.

Hantu lautkah itu. Mengapa pula mengetuk-ngetuk kaca jendela di sisiku, bukan yang lain. Apa karena hanya aku yang terjaga. Dan tentu, tak sampai hati menakuti pengemudi yang sudah pengalaman bertahun-tahun menembusi malam legam. Sebaiknya aku tidur dan syukur jika terbangun esuk hari saat telah sampai. Tegas Segap dalam hati. Bahagia rasanya andai bisa menghindar detik-detik menjemukan ini.

Lindap. Kantuk pun nguap.

Namun sial, kepala Gotap tiba-tiba teleng ke pundak. Segera didorong kepala sohibnya itu agar tegak tak mengganggu. Eh, bandel juga ini kepala. Tiap kali didorong, kembali teleng. Segap jengkel dan mendorong lebih kuat ke arah jendela. Eh, malah terjungkal. Merasa kasihan, biarlah sementara nyandar di pundak. Hitung-hitung balas budi karena sering pinjami uang tiap kali kelimpungan.

”Gelap, Gap. Gelap…”

”Hah! Apa?”

”Jubah hitam datang lagi.”

”Hah! Apa?”

“Aku pulang…”

Kepala Gotap kian berat di pundak, seperti karung gula. Mimpi apa sohibku ini, disodok kiri tak bangun, ditarik kanan tak bangun juga. Jatuh lagi membentur sandaran kursi. Aneh! Segap kasihan, dan mendekap kepala itu serasa es batu. Tengkuknya dingin dan beku. Diraba punggungnya, lebih dingin dari dahinya.

Terkesiap Segap. Diletakkan jari telunjuknya di bawah lubang hidung Gotap. Tak ada nafas, tak ada kehangatan terhempas. Denyut nadi pergelangan tangan berhenti. Segap kaget dan terguncang. Adakah ini kematian, atau sekadar pingsan. Dijelajahinya awak bus, tak sesuatu pun yang bergerak selain pengemudi dan bunyi ngorok beberapa penumpang. Dan semua telah tertidur. Berselimut malam dan jubah hitam. Menembus kegelapan, kota-kota kecil dan desa terpencil. Lampu-lampu di persimpangan jalan, nyanyian jangkrik dan belalang hutan.

Benarkah ini bukan mimpi, tanya Segap pada diri sendiri. Ingin teriak ke penjuru malam, tapi siapa yang mendengar kecuali Yang Maha Mendengar. Apa jadinya jika aku kabarkan kejadian ini pada pengemudi atau kondektur. Malah nanti disangka aku membunuhnya. Pengemudi pun tak mungkin mau menungguinya di kantor polisi. Sama artinya aku harus ditinggal, ditahan polisi bersama jasad Gotap.

Benar-benar linglung. Seluruh kantuk Segap raib tak bersisa. Nervous. Takut luar biasa. Memangku mayat teman sendiri. Waktu sementara terus berjalan, membuat Segap terbayang-bayang sosok makhluk berjubah hitam. Mungkinkah itu Izrail, sang pencabut nyawa, atau hantu terbang di dekat jendela. Serem betul sorot matanya. Menikam ulu hati, menarik ruh inci demi inci, dan kabur entah ke mana. Detik-detik sakaratul maut telah direnggutnya. Benar-benar perjalanan membingungkan. Segap berusaha tenang. Menutupi seluruh badan sohibnya dengan selimut kusam bus malam.

Beruntung Segap tidak kencing di celana. Namun keringat telanjur basah di sekujur badannya. Seperti usai lari, detak jantungnya berkejaran. Sebisanya bertahan, menjaga Gotap sampai tujuan. Tapi ke mana tujuan dan di mana alamat sebenarnya, Segap lupa menanyakan. Ia hanya tahu bahwa Gotap ingin pulang bersama-sama menuju desa terpencil di pulau seberang.

Secepat pikiran, Segap kontak beberapa kawan. Sekiranya ada yang bisa menjemputnya di depan restoran X, tempat bus malam itu terakhir kalinya mendinginkan mesin, dan sarapan bagi penumpang. Meski hari masih terlalu dini untuk itu. Nomor demi nomor dihubunginya. Tak ada sambutan. Kawan lama masih tidur agaknya. Kirim SMS saja, siapa tahu malah kena.

/Kawan, aku butuh bantuan. Darurat. Tolong jemput di depan restoran X. Gotap sakit parah tak bisa jalan!/

Empat kawan lama di SMS serupa. Di-miscall kencang dan lama, untuk membangunkan mereka. Pokoknya harus nyambung sebelum bus ini sampai. Segap berpikir lagi, bagaimana kalau mereka tak datang. Serta merta dipanggil ulang kawan lama. Begitu gencar dan nervous. Berjuang keras untuk memperoleh jawaban dan sia-sia. Segap lunglai, menyerah, dan menyiapkan diri untuk menerima apa pun yang bakal terjadi. Toh aku tak bersalah, bukan pembunuh, pikirnya.

Beberapa menit kemudian, bus malam itu mulai perlahan dan berhenti di taman parkir restoran. Masih sepi. Hati Segap mendetak berkali-kali. Satu per satu penumpang turun dan akhirnya tinggal berdua. Mayat Gotap telah membengkak dan menyebarkan aroma tak enak. Segap ingin nangis, bingung tak tahu apa yang mesti dikerjakan. Dup!! Dada Segap berdegup kencang. Bahagia bercampur duka cita, melihat kawan lama mendekat pintu. Jos, Jodil, Barman, dan Jengki, langsung masuk ke dalam lambung Tri Marga.

”Sakit apa, Gotap?” tanya Jodil.

”Tak usah Tanya.” Segap berdiri dan menjawab pelan. ”Gotap mati di tengah jalan, di atas laut semalam.”

”Mati?” Serempak empat kawan mendelong.

”Ceritanya nanti. Hanya aku yang tahu. Ayo kita angkat mayatnya sekarang, dan katakan jika ada yang bertanya, ia kena stroke. Oke?”

Saat seluruh penumpang masuk restoran, pengemudi dan kondektur sedang ke toliet karena tak tahan buang air, mayat Gotap yang kaku dan bau, diangkut ke dalam mobil Kijang milik Barman. Segera berlalu tinggalkan restoran nuju jalan. Bisu. Belum ada bayangan mau dibawa ke mana mayat Gotap. Yang penting pergi menjauh dari mata curiga, jika mata itu ada.

”Bibi dan pamannya sudah lama meninggal. Rumah pun sudah dijual. Kira-kira tiga tahunan sejak Gotap ke ibu kota.”

”Terus, dibawa ke mana ini mayat?”.

”Ke masjid, gereja atau kelenteng desa. Siapa tahu ada yang terima.”

”Lho, memang apa agama Gotap. Kau pasti tahulah, Gap?”

”Ah, aku juga tak tahu,” jawab Segap sedikit bingung, ”kita lihat saja KTP-nya.”

Gotap sebatangkara saat diambil bibinya, karena bibi itu tak punya anak. Dan Segap, juga empat kawan lama semasa di desa, tak juga tahu siapa saudara lain yang ada pertalian darah dengannya. Yang mereka tahu, Gotap rajin semedi sejak kanak, tidur di kuburan berminggu-minggu, dan kadang menghilang entah ke mana.

Mobil Kijang berjalan pelan, berupaya menemukan jalan akhir kepulangan Gotap. Bingung kian menumpuk. Mau diapakan mayat ini. Dimandikan, dikafani dan disalatkan, atau dandani dan diberi minyak wangi, diawetkan, dan dinyanyikan, atau langsung dikubur saja. Tapi di mana pula kuburnya?

Lima sekawan itu gelisah. Bau mayat kian menyengat. Lebih satu jam putar-putar mencari tempat perhentian. Karena bingung dan tak tahan lagi dengan aroma bangkai, Jengki yang dari tadi membisu, tiba-tiba bersuara.

”Bagaimana kalau mayat Gotap kita buang saja ke jurang?”

”Aku setuju.”

”Bagaimana menurutmu, Jos?”

”Masalahnya, jurang terdalam masih jauh dari tempat kita jalan?”

”Tak ada pilihan lain.”

”Ada. Kita lihat KTP-nya.”

Meski campur ngeri, mereka mencari-cari KTP-nya di saku baju, celana, dan tas punggung. Tak ada. Sampai akhirnya temukan dompet kulit macan dalam saku jaket. Ada tiga KTP, namun bukan atas nama Gotap. Satu milik Sahudi, kedua atas nama Krisman, ketiga tercantum nama Salimin. Di mana simpan alamat Gotap? Dicari lagi di saku baju dan celana, dalam tas punggungnya. Tak ada. Hingga jurang itu kian menganga di depan mata, alamat dimaksud tak ketemu juga. Mereka pun pasrah.

”Sudah nasibmu, Kawan!”

Jos turun sembari periksa sekeliling. Sepi. Kabut menutup bumi. Tak ada makhluk melintas selain babi hutan. Anjing menggonggong di kejauhan. Aku sudah berusaha mengurusmu, namun gagal mengetahui alamat tujuanmu, bisik Segap di telinga Gotap. Maafkan jika langkah ini keliru. Lima sekawan kembali jalan dalam mobil Kijang dengan satu pertanyaan di benak masing-masing. Manakah alamat pasti yang kan kutuju jika aku harus pulang nanti? ***

Ramadhan, 2010

*) Pengarang kelahiran Jombang yang kini tinggal di Jogja. Bukunya, antara lain Geni Jora (pemenang novel DKJ 2003) dan Perempuan Berkalung Sorban yang telah difilmkan dengan judul yang sama.

A Musthafa A Rodhi Murtadho A Wahyu Kristianto A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Wachid BS Abdullah al-Mustofa Abdullah Khusairi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimanyu Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Maulani Adek Alwi Adhi Pandoyo Adrian Ramdani Ady Amar Afrizal Malna Agnes Rita Sulistyawati Aguk Irawan Mn Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Subiyakto Agus Sulton Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahm Soleh Ahmad Farid Tuasikal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Luthfi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadie Thaha Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rasyid AJ Susmana Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander Aur Alexander G.B. Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Rif’an Aliela Alimuddin Alit S. Rini Alunk Estohank Ami Herman Amich Alhumami Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminudin TH Siregar Ammilya Rostika Sari An. Ismanto Anaz Andaru Ratnasari Andhi Setyo Wibowo Andhika Prayoga Andong Buku #3 Andrenaline Katarsis Andri Cahyadi Angela Anies Baswedan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Sudibyo Anton Wahyudi Anwar Holid Anwar Siswadi Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Zulkifli Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayu Utami Azyumardi Azra Babe Derwan Bagja Hidayat Balada Bandung Mawardi Bayu Agustari Adha Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Bernadette Lilia Nova Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Bhakti Hariani Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budi Winarto Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Bustan Basir Maras Camelia Mafaza Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cecep Syamsul Hari Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Choirul Rikzqa D. Dudu A.R D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Dantje S Moeis Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Darmanto Jatman Dedy Tri Riyadi Delvi Yandra Denny JA Denny Mizhar Dewi Anggraeni Dian Basuki Dian Hartati Dian Sukarno Dian Yanuardy Diana AV Sasa Dinar Rahayu Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi Warsidi Edy Firmansyah EH Kartanegara Eka Alam Sari Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil Amir Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Evan Ys F. Budi Hardiman Fadly Rahman Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fani Ayudea Fariz al-Nizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatkhul Aziz Felix K. Nesi Film Fitri Yani Franditya Utomo Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Garna Raditya Gde Artawan Geger Riyanto Gendhotwukir George Soedarsono Esthu Gerakan Surah Buku (GSB) Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Tri Atmojo H. Supriono Muslich H.B. Jassin Hadi Napster Halim H.D. Hamberan Syahbana Hamidah Abdurrachman Han Gagas Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Priyatna Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasan Junus Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Helwatin Najwa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendriyo Widi Ismanto Hepi Andi Bastoni Heri Latief Heri Listianto Herry Firyansyah Heru Untung Leksono Hikmat Darmawan Hilal Ahmad Hilyatul Auliya Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur Husnun N Djuraid I Nyoman Suaka Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilenk Rembulan Ilham khoiri Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Budi Santosa Imelda Imron Arlado Imron Tohari Indiar Manggara Indira Margareta Indra Darmawan Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ingki Rinaldi Insaf Albert Tarigan Intan Hs Isbedy Stiawan ZS Ismail Amin Ismi Wahid Ivan Haris Iwan Gunadi Jacob Sumardjo Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean-Marie Gustave Le Clezio JJ. Kusni Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Julika Hasanah Julizar Kasiri Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kadir Ruslan Kartika Candra Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Ketut Yuliarsa KH. Ma'ruf Amin Khaerudin Khalil Zuhdy Lawna Kholilul Rohman Ahmad Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Krisandi Dewi Kritik Sastra Kucing Oren Kuswinarto Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lenah Susianty Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto M Shoim Anwar M. Arman A.Z. M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Harya Ramdhoni M. Kasim M. Latief M. Wildan Habibi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria hartiningsih Maria Serenada Sinurat Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Marsus Banjarbarat Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masriadi Mawar Kusuma Wulan Max Arifin Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Mezra E. Pellondou Micky Hidayat Mihar Harahap Misbahus Surur Moh Samsul Arifin Moh. Syafari Firdaus Mohamad Asrori Mulky Mohammad Afifuddin Mohammad Fadlul Rahman Muh Kholid A.S. Muh. Muhlisin Muhajir Arifin Muhamad Sulhanudin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Azka Fahriza Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Nafi’ah Al-Ma’rab Naskah Teater Nezar Patria Nina Setyawati Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noor H. Dee Noval Maliki Nunuy Nurhayati Nur Haryanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurudin Octavio Paz Oliviaks Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pamusuk Eneste Panda MT Siallagan Pandu Jakasurya PDS H.B. Jassin Philipus Parera Pradewi Tri Chatami Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R Sutandya Yudha Khaidar R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rahmat Sutandya Yudhanto Raihul Fadjri Rainer Maria Rilke Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridha al Qadri Ridwan Munawwar Rikobidik Riri Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rizky Andriati Pohan Robert Frost Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Romi Febriyanto Saputro Rosihan Anwar RR Miranda Rudy Policarpus Rukardi S Yoga S. Jai S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Gerilyawan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra SelaSastra ke #24 Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Subhan SD Suci Ayu Latifah Sulaiman Djaya Sulistiyo Suparno Sunaryo Broto Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunudyantoro Suriali Andi Kustomo Suryadi Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Susilowati Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Bahri Syam Sdp Syarif Hidayatullah Tajuddin Noor Ganie Tammalele Tan Malaka Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Tengsoe Tjahjono Th Pudjo Widijanto Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Joko Susilo Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Umar Kayam Undri Uniawati Universitas Indonesia UU Hamidy Vyan Tashwirul Afkar W Haryanto W.S. Rendra Wahyudin Wannofri Samry Warung Boenga Ketjil Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Web Warouw Wijang Wharek Wiko Antoni Wina Bojonegoro Wira Apri Pratiwi Wiratmo Soekito Wishnubroto Widarso Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Wing King WS Rendra Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yosi M. Giri Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Yuyu AN Krisna Zaki Zubaidi Zalfeni Wimra Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhaenal Fanani Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar Zulhasril Nasir