Agus Sulton
http://sastra-indonesia.com/
/1/
Saat ini adalah era globalisasi, hampir atau bahkan tidak ada batas-batas norma, Negara, maupun sosial budaya. Mereka biasa menyebutnya sebagai Negara dunia pertama atau sebagai polisi dunia yang berhak mengatur atas lalu lintas perubahan dunia. Itu adalah kelompak masyarakat penguasa, yang telah memuja-muja dan menari-nari di atas penderitaan rakyat mayoritas dengan berkedok dibalik topeng-topeng badut kapitalisme. Akibat yang terjadi adalah proses pengkondisian, pembungkaman kesadaran rakyat akan hak-hak yang harus diperolehnya sebagai manusia yang merdeka. Hal ini dapat kita lihat dan rasakan dengan munculnya berbagai media yang bisa dinikmati terhadap apa yang telah disiapkan dan disodorkannya, seolah-olah kita butuh, padahal tidak apa-pun sebenarnya tidak masalah.
Yang menjadi perhatian kita adalah, hal tersebut akan membawa dampak psikis maupun politis terhadap bagsa dan Negara dunia ketiga (Indonesia) yang notabennya sangat jauh berbeda dalam hal apapun dengan mereka. Akibatnya kita hanyalah menjadi sarang empuk yang mudah dirusak dan dihirup udara segar kita untuk menghidupi mereka. Anehnya, hal ini didukung oleh elit politik dalam menyediakan lahan-lahan untuk mereka, dengan mengorbankan seluruh rakyat yang berhak atas kebutuhan secara adil dan layak. Masyarakat kita yang menjadi apatis dan apolitis adalah keinginan juga atas pengkondisian penguasa, sehingga yang terjadi adalah proses penindasan yang bersistem ”kapitalisme-birokratik” oleh bangsa sendiri yang dijalankan oleh kapitalisme global.
Dengan segala usaha melalui dominasi ataupun hegomoninya, rezim yang berkuasa selalu berupaya untuk membelenggu tingkat kesadaran rakyat. Sehingga rakyat yang masih tertindas menjadi semakin lemah posisinya karena tidak mampu menerjemahkan hal-hal yang terjadi disekitarnya. Pada akhirnya rakyat tidak memahami ketertindasan yang terjadi pada dirinya dan malah dapat berbalik mendukung proses penindasan yang sedang terjadi pada dirinya maupun lingkungan sekitarnya. Hal inilah yang sebenarnya diharapkan oleh rezim penindas, membuat rakyat tetap bodoh dan terbelakang agar kekuasaannya tetap langgeng (status quo). Oleh karena itu, wajib ain bagi pemuda, mahasiswa yang memiliki tingkat kesadaran lebih tinggi, baik melalui medium sastra atau dari rakyat awam langsung bergerak menyuntikkan dan menarik kesadaran rakyat pada fase yang lebih tinggi lagi, yaitu menuju kesadaan kritis.
Dimanapun tempatnya berada dan berbagai macam bentuk penindasan yang ada, maka disitulah tempat perlawanan dan perjuangan dimulai dan terus digelorakan. Perlawanan adalah satu-satunya kata yang wajib terlontar oleh kaum tertindas. Tapi melawan penindasan sendiri adalah hal yang paling konyol untuk menuju kematian. Maka, seluruh orang yang anti penindasan haruslah bersatu dalam kesatuan yang utuh. Sejarah telah mengajarkan pada kita bahwa persatuan orang-orang dengan semangat juang yang tinggi pun tidak akan pernah mampu menggulingkan struktur penindasan yang sudah menggurita jika tidak di pimpin oleh organisasi perlawanan yang revolusioner. Dari sini dengan jelas kita melihat peranan yang signifikan dari organisasi gerakan sebagai alat perjuangan untuk menciptakan tatanan masyarakat yang kita cita-citakan bersama, yaitu masyarakat yang tanpa adanya penindasan dan penghisapan antar sesamanya.
/2/
Dalam perkembangan selanjutnya, sosiologi banyak dimanfaatkan oleh peneliti sastra yang berbau marxis. Paham Marxisme berasumsi bahwa sastra, kebudayaan, dan agama pada setiap zaman merupakan ideologi dan suprastruktur yang berkaitan secara dialektikal, dan dibentuk atau merupakan akibat dari struktur dan perjuangan kelas zamannya. Dengan demikian, sejarah dipandang sebagai suatu perkembangan terus menerus. Seperti disinggung pada pendahuluan tadi, daya-daya kekuatan di dalam kenyataan secara progresif selalu tumbuh untuk menuju ke pada suatu masyarakat yang ideal tanpa kelas dan tanpa penindasan. Namun, langkah tak selalu berjalan mulus melainkan penuh hambatan yang berarti. Akibatnya pertumbuhan ekonomi dapat menyebabkan pertentangan antar kelas.
Penelitian sosiologi sastra marxis tersebut, tampaknya kurang berkembang di Indonesia. Padahal, di Indonesia meskipun menolak sistem kelas juga sering ada pertentangan antar elit dan golongan bawah. Mungkin sekali hanya istilah saja yang berbeda, jika orang lain menggunakan istilah kelas, Indonesia menggunakan paham pusat-daeran atau borjuis-proletar. Berbagai segmen yang dikotomis tersebut, ternyata juga sering menarik perhatian sastrawan sehingga seharusnya juga menarik pula bagi penelitian sosiologi sastra.
Dalam militansi ini seorang pengarang yang telah menguasai realitas, yang tidak terpenuhi harapan dan keadilan, telah menentang realitas itu, dan dengan jalan kreatif mengubahnya menurut tuntutan keadilan itu. Kondisi yang dituntut ini membikin orang terus-menerus jadi revolusioner yang bersumberkan revolusi yang terus menerus di dalam jiwa, pengoreksian terus menerus atas realitas.
Jika bagi Marx, sastra dan kebudayaan merupakan refleksi perjuangan kelas untuk melawan kapitalis, di Indonesia pun hal demikian juga ada dan senada. Di Indonesia telah lama pula terjadi perjuangan kaum kecil terhadap kapitalis, yang dikenal dengan konglomerat. Hal ini telah menarik sastrawan untuk mengekspresikan idenya bahwa konglomerat di era orde baru telah bergandeng tangan dengan pemerintah, menyebabkan merobohkan sendi-sendi ekonomi kerakyatan. Bahkan, sampai sekarang ini (era reformasi) konglomerat selalu menjadi bahan pengunjingan.
Hampir tak ada masyarakat yang tanpa kelas, tetapi tidak berarti bahwa kehadiran kelas mesti harus bertentangan. Di Indonesia, tampaknya kehadiran kelas atau lebih tepatnya strata sosial (elit-rakyat) sering bersinggungan. Persinggungan kepentingan yang melebar ke masalah kekuasaan itu, juga sering menarik perhatian sastrawan. Itulah sebabnya, karya sastra dapat dipandang sebagai refleksi kehidupan sosial dan kekuasaan. Karya sastra akan menggambarkan jarak perbedaan atau strata sosial terus menerus. Hal semacam ini juga sering diungkapkan melalui tokoh-tokoh dalam karya sastra yang representatif. Misalnya saja, dalam karya sastra yang representatif alias tidak humanis adalah cerpen berjudul Soeharto Dalam Cerpen, terbitan Bentang 2001. Cerpen tersebut melukiskan betapa besar tipu daya Soeharto yang diungkapkan melalui fiksi.
Dalam kaitan itu, Saini KM (1986: 14-15) memberikan tiga kedudukan sastra terhadap kehidupan masyarakat, yakni sebagai pemekatan, penentangan, dan olok-olok. Ketiga ini sebenarnya terkait dengan fungsi sastra bagi kehidupan sosial. Karya sastra sebagai pemekatan, memang akan menggambarkan kehidupan masyarakat. Namun, gambaran itu bukan jiplakan, melainkan sebuah intensifikator yang dipekatkan, dijernihkan, di saring dan di kristalisasi kedalam imajinasi pengarang. Di sisi lain, mungkin karya sastra justru menentang kehidupan, misalnya penciptaan tidak setuju dengan KKN rezim Orde Baru, lalu lahir karya yang bertema demikian. Ini berarti bahwa karya sastra menjadi penentang jaman dan aturan yang keliru.
Misalnya kita ambil juga novel Hikayat Kadiroen karya Semaoen, disitu menceritakan seorang priyayi Marxsis yang sangat peduli pada rakyatnya dan berjuang bersama dalam pergerakan. Ia adalah seorang pemuda yang amat cerdas, anak seorang lurah yang terkenal bijaksana dan taat beribadah. Kebijaksanaan lurah menurun keanaknya. Sebagai pegawai negeri pada pemerintah Kolonial, Kadiroen mendapat kenaikan pangkat yang relatif cepat, karena selama dia bekerja benar-benar demi untuk kesejahteraan rakyat. Selama dia bekerja banyak hal yang menjadi kekecewaan dirinya, atas kekecewaan itulah dia selanjutnya bergabung dengan tokoh-tokoh Partai Komunis dan tertarik pada ajaran dan cita-cita terhadap tanah Hindia. Dalam waktu yang lama ia akhirnya berpihak pada Partai Komunis, menjadi penyokong, baik dari segi moril maupun materiil. Bantuan itu dilakukan secara rahasia. Pekerjaan Kadiroen akhirnya diketahui oleh atasannya. Akhirnya dia memilih meletakkan jabatannya karena dia berkeyakinan, bahwa dengan kegiatan politiklah nantinya dapat memperjuangkan cita-cita, yaitu kebahagiaan rakyat.
Sedikit cuplikan tersebut merupakan gambaran tokoh utama yang menginginkan sebuah keadilan dan kesejahteraan atau sebagai kritikan isi hati si narator untuk mengungkapkan idealisme yang terjadi pada saat itu. Dengan demikian dapat ditarik sebuah kesimpulan, bahwa sastra mempunyai peran yang singnifikan dalam proses pencerahan atau ekspresi diri dalam memberikan wacana kritis terhadap pembaca. Yang nantinya akan mencetak masyarakat yang mempunyai kesadaran kritis atas struktur penindasan yang sedang terjadi pada dirinya.
Labih jauh lagi, karya sastra juga akan digarap seakan-akan memperolok atau mengejek kehidupan. Biasanya, pencipta sangat mahir memainkan ironi, paradoks, dan parodi ke dalam karyanya. Karena itu, sikap sastra yang memperolok ini sangat sensitif dan peka terhadap perkembangan zaman. Mereka tanggap terhadap perkembangan situasi yang sering menindas.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Musthafa
A Rodhi Murtadho
A Wahyu Kristianto
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Wachid BS
Abdullah al-Mustofa
Abdullah Khusairi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimanyu
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Maulani
Adek Alwi
Adhi Pandoyo
Adrian Ramdani
Ady Amar
Afrizal Malna
Agnes Rita Sulistyawati
Aguk Irawan Mn
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Subiyakto
Agus Sulton
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahm Soleh
Ahmad Farid Tuasikal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Luthfi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadie Thaha
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rasyid
AJ Susmana
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander Aur
Alexander G.B.
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Rif’an
Aliela
Alimuddin
Alit S. Rini
Alunk Estohank
Ami Herman
Amich Alhumami
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminudin TH Siregar
Ammilya Rostika Sari
An. Ismanto
Anaz
Andaru Ratnasari
Andhi Setyo Wibowo
Andhika Prayoga
Andong Buku #3
Andrenaline Katarsis
Andri Cahyadi
Angela
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Sudibyo
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Zulkifli
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayu Utami
Azyumardi Azra
Babe Derwan
Bagja Hidayat
Balada
Bandung Mawardi
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Bernadette Lilia Nova
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Bhakti Hariani
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budi Winarto
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Bustan Basir Maras
Camelia Mafaza
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Choirul Rikzqa
D. Dudu A.R
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Darmanto Jatman
Dedy Tri Riyadi
Delvi Yandra
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Anggraeni
Dian Basuki
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dian Yanuardy
Diana AV Sasa
Dinar Rahayu
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Warsidi
Edy Firmansyah
EH Kartanegara
Eka Alam Sari
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil Amir
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
F. Budi Hardiman
Fadly Rahman
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fani Ayudea
Fariz al-Nizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatkhul Aziz
Felix K. Nesi
Film
Fitri Yani
Franditya Utomo
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Garna Raditya
Gde Artawan
Geger Riyanto
Gendhotwukir
George Soedarsono Esthu
Gerakan Surah Buku (GSB)
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Tri Atmojo
H. Supriono Muslich
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim H.D.
Hamberan Syahbana
Hamidah Abdurrachman
Han Gagas
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Helwatin Najwa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendriyo Widi Ismanto
Hepi Andi Bastoni
Heri Latief
Heri Listianto
Herry Firyansyah
Heru Untung Leksono
Hikmat Darmawan
Hilal Ahmad
Hilyatul Auliya
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husnun N Djuraid
I Nyoman Suaka
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilenk Rembulan
Ilham khoiri
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Budi Santosa
Imelda
Imron Arlado
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Margareta
Indra Darmawan
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ingki Rinaldi
Insaf Albert Tarigan
Intan Hs
Isbedy Stiawan ZS
Ismail Amin
Ismi Wahid
Ivan Haris
Iwan Gunadi
Jacob Sumardjo
Jafar Fakhrurozi
Jajang R Kawentar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean-Marie Gustave Le Clezio
JJ. Kusni
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Julika Hasanah
Julizar Kasiri
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kadir Ruslan
Kartika Candra
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Ketut Yuliarsa
KH. Ma'ruf Amin
Khaerudin
Khalil Zuhdy Lawna
Kholilul Rohman Ahmad
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Krisandi Dewi
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kuswinarto
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lenah Susianty
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
M Shoim Anwar
M. Arman A.Z.
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Harya Ramdhoni
M. Kasim
M. Latief
M. Wildan Habibi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria hartiningsih
Maria Serenada Sinurat
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Marsus Banjarbarat
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masriadi
Mawar Kusuma Wulan
Max Arifin
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Mezra E. Pellondou
Micky Hidayat
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Moh Samsul Arifin
Moh. Syafari Firdaus
Mohamad Asrori Mulky
Mohammad Afifuddin
Mohammad Fadlul Rahman
Muh Kholid A.S.
Muh. Muhlisin
Muhajir Arifin
Muhamad Sulhanudin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Azka Fahriza
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naskah Teater
Nezar Patria
Nina Setyawati
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noor H. Dee
Noval Maliki
Nunuy Nurhayati
Nur Haryanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurudin
Octavio Paz
Oliviaks
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Panda MT Siallagan
Pandu Jakasurya
PDS H.B. Jassin
Philipus Parera
Pradewi Tri Chatami
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rahmat Sutandya Yudhanto
Raihul Fadjri
Rainer Maria Rilke
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridha al Qadri
Ridwan Munawwar
Rikobidik
Riri
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rizky Andriati Pohan
Robert Frost
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Romi Febriyanto Saputro
Rosihan Anwar
RR Miranda
Rudy Policarpus
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Gerilyawan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra
SelaSastra ke #24
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Subhan SD
Suci Ayu Latifah
Sulaiman Djaya
Sulistiyo Suparno
Sunaryo Broto
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunudyantoro
Suriali Andi Kustomo
Suryadi
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Susilowati
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Bahri
Syam Sdp
Syarif Hidayatullah
Tajuddin Noor Ganie
Tammalele
Tan Malaka
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Tengsoe Tjahjono
Th Pudjo Widijanto
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Joko Susilo
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi
Umar Kayam
Undri
Uniawati
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Vyan Tashwirul Afkar
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyudin
Wannofri Samry
Warung Boenga Ketjil
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Web Warouw
Wijang Wharek
Wiko Antoni
Wina Bojonegoro
Wira Apri Pratiwi
Wiratmo Soekito
Wishnubroto Widarso
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Wing King
WS Rendra
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yosi M. Giri
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Yuyu AN Krisna
Zaki Zubaidi
Zalfeni Wimra
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhaenal Fanani
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Zulhasril Nasir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar