Rabu, 25 Mei 2011

Sastra dan Pergerakan

Agus Sulton
http://sastra-indonesia.com/

/1/

Saat ini adalah era globalisasi, hampir atau bahkan tidak ada batas-batas norma, Negara, maupun sosial budaya. Mereka biasa menyebutnya sebagai Negara dunia pertama atau sebagai polisi dunia yang berhak mengatur atas lalu lintas perubahan dunia. Itu adalah kelompak masyarakat penguasa, yang telah memuja-muja dan menari-nari di atas penderitaan rakyat mayoritas dengan berkedok dibalik topeng-topeng badut kapitalisme. Akibat yang terjadi adalah proses pengkondisian, pembungkaman kesadaran rakyat akan hak-hak yang harus diperolehnya sebagai manusia yang merdeka. Hal ini dapat kita lihat dan rasakan dengan munculnya berbagai media yang bisa dinikmati terhadap apa yang telah disiapkan dan disodorkannya, seolah-olah kita butuh, padahal tidak apa-pun sebenarnya tidak masalah.

Yang menjadi perhatian kita adalah, hal tersebut akan membawa dampak psikis maupun politis terhadap bagsa dan Negara dunia ketiga (Indonesia) yang notabennya sangat jauh berbeda dalam hal apapun dengan mereka. Akibatnya kita hanyalah menjadi sarang empuk yang mudah dirusak dan dihirup udara segar kita untuk menghidupi mereka. Anehnya, hal ini didukung oleh elit politik dalam menyediakan lahan-lahan untuk mereka, dengan mengorbankan seluruh rakyat yang berhak atas kebutuhan secara adil dan layak. Masyarakat kita yang menjadi apatis dan apolitis adalah keinginan juga atas pengkondisian penguasa, sehingga yang terjadi adalah proses penindasan yang bersistem ”kapitalisme-birokratik” oleh bangsa sendiri yang dijalankan oleh kapitalisme global.

Dengan segala usaha melalui dominasi ataupun hegomoninya, rezim yang berkuasa selalu berupaya untuk membelenggu tingkat kesadaran rakyat. Sehingga rakyat yang masih tertindas menjadi semakin lemah posisinya karena tidak mampu menerjemahkan hal-hal yang terjadi disekitarnya. Pada akhirnya rakyat tidak memahami ketertindasan yang terjadi pada dirinya dan malah dapat berbalik mendukung proses penindasan yang sedang terjadi pada dirinya maupun lingkungan sekitarnya. Hal inilah yang sebenarnya diharapkan oleh rezim penindas, membuat rakyat tetap bodoh dan terbelakang agar kekuasaannya tetap langgeng (status quo). Oleh karena itu, wajib ain bagi pemuda, mahasiswa yang memiliki tingkat kesadaran lebih tinggi, baik melalui medium sastra atau dari rakyat awam langsung bergerak menyuntikkan dan menarik kesadaran rakyat pada fase yang lebih tinggi lagi, yaitu menuju kesadaan kritis.

Dimanapun tempatnya berada dan berbagai macam bentuk penindasan yang ada, maka disitulah tempat perlawanan dan perjuangan dimulai dan terus digelorakan. Perlawanan adalah satu-satunya kata yang wajib terlontar oleh kaum tertindas. Tapi melawan penindasan sendiri adalah hal yang paling konyol untuk menuju kematian. Maka, seluruh orang yang anti penindasan haruslah bersatu dalam kesatuan yang utuh. Sejarah telah mengajarkan pada kita bahwa persatuan orang-orang dengan semangat juang yang tinggi pun tidak akan pernah mampu menggulingkan struktur penindasan yang sudah menggurita jika tidak di pimpin oleh organisasi perlawanan yang revolusioner. Dari sini dengan jelas kita melihat peranan yang signifikan dari organisasi gerakan sebagai alat perjuangan untuk menciptakan tatanan masyarakat yang kita cita-citakan bersama, yaitu masyarakat yang tanpa adanya penindasan dan penghisapan antar sesamanya.

/2/

Dalam perkembangan selanjutnya, sosiologi banyak dimanfaatkan oleh peneliti sastra yang berbau marxis. Paham Marxisme berasumsi bahwa sastra, kebudayaan, dan agama pada setiap zaman merupakan ideologi dan suprastruktur yang berkaitan secara dialektikal, dan dibentuk atau merupakan akibat dari struktur dan perjuangan kelas zamannya. Dengan demikian, sejarah dipandang sebagai suatu perkembangan terus menerus. Seperti disinggung pada pendahuluan tadi, daya-daya kekuatan di dalam kenyataan secara progresif selalu tumbuh untuk menuju ke pada suatu masyarakat yang ideal tanpa kelas dan tanpa penindasan. Namun, langkah tak selalu berjalan mulus melainkan penuh hambatan yang berarti. Akibatnya pertumbuhan ekonomi dapat menyebabkan pertentangan antar kelas.

Penelitian sosiologi sastra marxis tersebut, tampaknya kurang berkembang di Indonesia. Padahal, di Indonesia meskipun menolak sistem kelas juga sering ada pertentangan antar elit dan golongan bawah. Mungkin sekali hanya istilah saja yang berbeda, jika orang lain menggunakan istilah kelas, Indonesia menggunakan paham pusat-daeran atau borjuis-proletar. Berbagai segmen yang dikotomis tersebut, ternyata juga sering menarik perhatian sastrawan sehingga seharusnya juga menarik pula bagi penelitian sosiologi sastra.

Dalam militansi ini seorang pengarang yang telah menguasai realitas, yang tidak terpenuhi harapan dan keadilan, telah menentang realitas itu, dan dengan jalan kreatif mengubahnya menurut tuntutan keadilan itu. Kondisi yang dituntut ini membikin orang terus-menerus jadi revolusioner yang bersumberkan revolusi yang terus menerus di dalam jiwa, pengoreksian terus menerus atas realitas.

Jika bagi Marx, sastra dan kebudayaan merupakan refleksi perjuangan kelas untuk melawan kapitalis, di Indonesia pun hal demikian juga ada dan senada. Di Indonesia telah lama pula terjadi perjuangan kaum kecil terhadap kapitalis, yang dikenal dengan konglomerat. Hal ini telah menarik sastrawan untuk mengekspresikan idenya bahwa konglomerat di era orde baru telah bergandeng tangan dengan pemerintah, menyebabkan merobohkan sendi-sendi ekonomi kerakyatan. Bahkan, sampai sekarang ini (era reformasi) konglomerat selalu menjadi bahan pengunjingan.

Hampir tak ada masyarakat yang tanpa kelas, tetapi tidak berarti bahwa kehadiran kelas mesti harus bertentangan. Di Indonesia, tampaknya kehadiran kelas atau lebih tepatnya strata sosial (elit-rakyat) sering bersinggungan. Persinggungan kepentingan yang melebar ke masalah kekuasaan itu, juga sering menarik perhatian sastrawan. Itulah sebabnya, karya sastra dapat dipandang sebagai refleksi kehidupan sosial dan kekuasaan. Karya sastra akan menggambarkan jarak perbedaan atau strata sosial terus menerus. Hal semacam ini juga sering diungkapkan melalui tokoh-tokoh dalam karya sastra yang representatif. Misalnya saja, dalam karya sastra yang representatif alias tidak humanis adalah cerpen berjudul Soeharto Dalam Cerpen, terbitan Bentang 2001. Cerpen tersebut melukiskan betapa besar tipu daya Soeharto yang diungkapkan melalui fiksi.

Dalam kaitan itu, Saini KM (1986: 14-15) memberikan tiga kedudukan sastra terhadap kehidupan masyarakat, yakni sebagai pemekatan, penentangan, dan olok-olok. Ketiga ini sebenarnya terkait dengan fungsi sastra bagi kehidupan sosial. Karya sastra sebagai pemekatan, memang akan menggambarkan kehidupan masyarakat. Namun, gambaran itu bukan jiplakan, melainkan sebuah intensifikator yang dipekatkan, dijernihkan, di saring dan di kristalisasi kedalam imajinasi pengarang. Di sisi lain, mungkin karya sastra justru menentang kehidupan, misalnya penciptaan tidak setuju dengan KKN rezim Orde Baru, lalu lahir karya yang bertema demikian. Ini berarti bahwa karya sastra menjadi penentang jaman dan aturan yang keliru.

Misalnya kita ambil juga novel Hikayat Kadiroen karya Semaoen, disitu menceritakan seorang priyayi Marxsis yang sangat peduli pada rakyatnya dan berjuang bersama dalam pergerakan. Ia adalah seorang pemuda yang amat cerdas, anak seorang lurah yang terkenal bijaksana dan taat beribadah. Kebijaksanaan lurah menurun keanaknya. Sebagai pegawai negeri pada pemerintah Kolonial, Kadiroen mendapat kenaikan pangkat yang relatif cepat, karena selama dia bekerja benar-benar demi untuk kesejahteraan rakyat. Selama dia bekerja banyak hal yang menjadi kekecewaan dirinya, atas kekecewaan itulah dia selanjutnya bergabung dengan tokoh-tokoh Partai Komunis dan tertarik pada ajaran dan cita-cita terhadap tanah Hindia. Dalam waktu yang lama ia akhirnya berpihak pada Partai Komunis, menjadi penyokong, baik dari segi moril maupun materiil. Bantuan itu dilakukan secara rahasia. Pekerjaan Kadiroen akhirnya diketahui oleh atasannya. Akhirnya dia memilih meletakkan jabatannya karena dia berkeyakinan, bahwa dengan kegiatan politiklah nantinya dapat memperjuangkan cita-cita, yaitu kebahagiaan rakyat.

Sedikit cuplikan tersebut merupakan gambaran tokoh utama yang menginginkan sebuah keadilan dan kesejahteraan atau sebagai kritikan isi hati si narator untuk mengungkapkan idealisme yang terjadi pada saat itu. Dengan demikian dapat ditarik sebuah kesimpulan, bahwa sastra mempunyai peran yang singnifikan dalam proses pencerahan atau ekspresi diri dalam memberikan wacana kritis terhadap pembaca. Yang nantinya akan mencetak masyarakat yang mempunyai kesadaran kritis atas struktur penindasan yang sedang terjadi pada dirinya.

Labih jauh lagi, karya sastra juga akan digarap seakan-akan memperolok atau mengejek kehidupan. Biasanya, pencipta sangat mahir memainkan ironi, paradoks, dan parodi ke dalam karyanya. Karena itu, sikap sastra yang memperolok ini sangat sensitif dan peka terhadap perkembangan zaman. Mereka tanggap terhadap perkembangan situasi yang sering menindas.

Tidak ada komentar:

A Musthafa A Rodhi Murtadho A Wahyu Kristianto A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Wachid BS Abdullah al-Mustofa Abdullah Khusairi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimanyu Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Maulani Adek Alwi Adhi Pandoyo Adrian Ramdani Ady Amar Afrizal Malna Agnes Rita Sulistyawati Aguk Irawan Mn Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Subiyakto Agus Sulton Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahm Soleh Ahmad Farid Tuasikal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Luthfi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadie Thaha Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rasyid AJ Susmana Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander Aur Alexander G.B. Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Rif’an Aliela Alimuddin Alit S. Rini Alunk Estohank Ami Herman Amich Alhumami Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminudin TH Siregar Ammilya Rostika Sari An. Ismanto Anaz Andaru Ratnasari Andhi Setyo Wibowo Andhika Prayoga Andong Buku #3 Andrenaline Katarsis Andri Cahyadi Angela Anies Baswedan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Sudibyo Anton Wahyudi Anwar Holid Anwar Siswadi Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Zulkifli Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayu Utami Azyumardi Azra Babe Derwan Bagja Hidayat Balada Bandung Mawardi Bayu Agustari Adha Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Bernadette Lilia Nova Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Bhakti Hariani Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budi Winarto Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Bustan Basir Maras Camelia Mafaza Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cecep Syamsul Hari Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Choirul Rikzqa D. Dudu A.R D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Dantje S Moeis Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Darmanto Jatman Dedy Tri Riyadi Delvi Yandra Denny JA Denny Mizhar Dewi Anggraeni Dian Basuki Dian Hartati Dian Sukarno Dian Yanuardy Diana AV Sasa Dinar Rahayu Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi Warsidi Edy Firmansyah EH Kartanegara Eka Alam Sari Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil Amir Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Evan Ys F. Budi Hardiman Fadly Rahman Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fani Ayudea Fariz al-Nizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatkhul Aziz Felix K. Nesi Film Fitri Yani Franditya Utomo Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Garna Raditya Gde Artawan Geger Riyanto Gendhotwukir George Soedarsono Esthu Gerakan Surah Buku (GSB) Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Tri Atmojo H. Supriono Muslich H.B. Jassin Hadi Napster Halim H.D. Hamberan Syahbana Hamidah Abdurrachman Han Gagas Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Priyatna Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasan Junus Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Helwatin Najwa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendriyo Widi Ismanto Hepi Andi Bastoni Heri Latief Heri Listianto Herry Firyansyah Heru Untung Leksono Hikmat Darmawan Hilal Ahmad Hilyatul Auliya Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur Husnun N Djuraid I Nyoman Suaka Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilenk Rembulan Ilham khoiri Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Budi Santosa Imelda Imron Arlado Imron Tohari Indiar Manggara Indira Margareta Indra Darmawan Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ingki Rinaldi Insaf Albert Tarigan Intan Hs Isbedy Stiawan ZS Ismail Amin Ismi Wahid Ivan Haris Iwan Gunadi Jacob Sumardjo Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean-Marie Gustave Le Clezio JJ. Kusni Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Julika Hasanah Julizar Kasiri Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kadir Ruslan Kartika Candra Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Ketut Yuliarsa KH. Ma'ruf Amin Khaerudin Khalil Zuhdy Lawna Kholilul Rohman Ahmad Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Krisandi Dewi Kritik Sastra Kucing Oren Kuswinarto Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lenah Susianty Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto M Shoim Anwar M. Arman A.Z. M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Harya Ramdhoni M. Kasim M. Latief M. Wildan Habibi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria hartiningsih Maria Serenada Sinurat Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Marsus Banjarbarat Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masriadi Mawar Kusuma Wulan Max Arifin Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Mezra E. Pellondou Micky Hidayat Mihar Harahap Misbahus Surur Moh Samsul Arifin Moh. Syafari Firdaus Mohamad Asrori Mulky Mohammad Afifuddin Mohammad Fadlul Rahman Muh Kholid A.S. Muh. Muhlisin Muhajir Arifin Muhamad Sulhanudin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Azka Fahriza Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Nafi’ah Al-Ma’rab Naskah Teater Nezar Patria Nina Setyawati Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noor H. Dee Noval Maliki Nunuy Nurhayati Nur Haryanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurudin Octavio Paz Oliviaks Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pamusuk Eneste Panda MT Siallagan Pandu Jakasurya PDS H.B. Jassin Philipus Parera Pradewi Tri Chatami Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R Sutandya Yudha Khaidar R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rahmat Sutandya Yudhanto Raihul Fadjri Rainer Maria Rilke Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridha al Qadri Ridwan Munawwar Rikobidik Riri Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rizky Andriati Pohan Robert Frost Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Romi Febriyanto Saputro Rosihan Anwar RR Miranda Rudy Policarpus Rukardi S Yoga S. Jai S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Gerilyawan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra SelaSastra ke #24 Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Subhan SD Suci Ayu Latifah Sulaiman Djaya Sulistiyo Suparno Sunaryo Broto Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunudyantoro Suriali Andi Kustomo Suryadi Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Susilowati Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Bahri Syam Sdp Syarif Hidayatullah Tajuddin Noor Ganie Tammalele Tan Malaka Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Tengsoe Tjahjono Th Pudjo Widijanto Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Joko Susilo Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Umar Kayam Undri Uniawati Universitas Indonesia UU Hamidy Vyan Tashwirul Afkar W Haryanto W.S. Rendra Wahyudin Wannofri Samry Warung Boenga Ketjil Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Web Warouw Wijang Wharek Wiko Antoni Wina Bojonegoro Wira Apri Pratiwi Wiratmo Soekito Wishnubroto Widarso Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Wing King WS Rendra Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yosi M. Giri Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Yuyu AN Krisna Zaki Zubaidi Zalfeni Wimra Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhaenal Fanani Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar Zulhasril Nasir