Sunlie Thomas Alexander **
Lampung Post 11 Juli 2010
APA artinya sebuah bangsa, juga Tanah Air? Sedalam apa pula makna darah yang mengalir dalam tubuh?
Di Provence, Agustus 1944, Said Otmari berjongkok dan meraup segenggam rumput kering. Diendusnya bau rumput itu, lalu mendekatkan ke hidung Messaoud. "Tidak seperti kampung halaman," kata dia sambil menatap rekan seperjuangannya. Tak jelas ekspresi wajah Messaoud tatkala menjawab, "Tidak. Tanah Prancis memang lebih baik."
Itulah salah satu adegan dalam Indigenes (versi Inggris: Days of Glory)-- sebuah film nominasi Oscar dan pemenang Festival Cannes arahan Rachid Bouchared yang diangkat dari kisah nyata Perang Dunia II.
Said, serdadu bertubuh pendek itu berkukuh memenuhi seruan bergabung dengan 7th Algerian Tirailleur Regiment, kendati ibunya tak mengizinkan. Sebelumnya, kakeknya juga pergi mengikuti panggilan serupa dan tak pernah kembali. Untuk menghadapi Nazi-Jerman, tercatat lebih dari 130 ribu orang direkrut Prancis menjadi prajurit dan 90 persennya muslim. Mereka berasal dari berbagai tanah jajahan Prancis di Afrika: Aljazair, Tunisia, Maroko, Chad, Afrika Tengah, Gabon, dan Kongo.
Seperti apa sebetulnya perasaan mereka yang harus mati untuk sebuah negeri asing yang tak mereka kenal? Apa yang dipikirkan para serdadu dari Afrika itu ketika berbaris melantunkan lagu kebangsaan Prancis dengan penuh gelora? Entahlah, kita tak tahu.
Toh, lebih dari 60 tahun setelah Said dan rekan-rekannya gugur demi "tanah Prancis tercinta", dalam Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan hari-hari ini, kita pun kembali disergap pertanyaan serupa tatkala menyaksikan Franck Ribery dan kawan-kawan berbaris di lapangan hijau menyanyikan lagu yang sama. Ya, setelah enam dasawarsa, sejarah seolah berulang dalam bentuk yang berbeda, di "medan pertempuran" yang berlainan.
Jika semasa Perang Dunia II, Prancis--yang jadi bulan-bulanan Jerman dan dicaplok wilayahnya dalam sekejap--mau tak mau harus merekrut prajurit dari negeri-negeri jajahannya di benua Afrika lantaran tak punya armada militer cukup besar menghadapi Nazi dan malu cuma berharap bantuan sekutu, apakah kini mereka juga tak memiliki pemain asli cukup mumpuni sehingga mesti memakai begitu banyak pemain naturalisasi yang kebanyakan berasal dari tanah Afrika?
Dari 32 kontestan peserta Piala Dunia 2010, Timnas Prancis memang negara terbanyak menggunakan tenaga naturalisasi. Paling tidak tercatat sekitar 13 pemain naturalisasi memperkuat Les Bleus di Afrika Selatan. Hal ini notabene merupakan ulangan empat tahun silam di Jerman.
Nasionalisme Malin Kundang
TENTU siapa pun bebas memilih menjadi warga negara manapun atas nama kebebasan, hak asasi, penghidupan layak, dan olahraga di era globalisasi ini. Toh, naturalisasi legal dan sah di mata hukum. Sebab itu, kendati mereka adalah para Malin Kundang yang memilih melupakan ibu pertiwi, mereka takkan dikutuk sebagai pengkhianat. Di sinilah, walau patriotisme senantiasa diuji di lapangan, sepak bola adalah soal profesionalitas yang membuat nasionalisme ternyata bisa begitu lentur. Tengok saja, bagaimana keprofesionalan seorang pelatih seperti Guus Hidink--meski tak berganti warga negara--membawa Rusia hingga ke semifinal Piala Eropa 2008 tanpa canggung menjungkalkan timnas negaranya di babak perempat final.
"Saya takkan menyerah meski sadar Brasil adalah tanah kelahiran kami. Kami adalah pemain profesional dan akan bersikap seperti itu saat menghadapi Brasil," demikian ujar Deco pemain Portugal berdarah Negeri Samba. Bahkan Jerman, biang rasisme dalam Perang Dunia II, kini tak segan menaturalisasi pemain-pemain berbakat dari bangsa lain semata-mata demi kepentingan sepak bola. Di Tim Panzer itu sekarang minimal ada delapan pemain naturalisasi, termasuk pemain kulit hitam Jerome Boateng dari Ghana. Miroslav Klose contohnya, mengaku memilih jadi pasukan Der Panzer lantaran Jerman memiliki reputasi lebih baik, meskipun Timnas Polandia (negeri kelahirannya) ingin menggaetnya.
Sekarang, adakah sepak bola telah sungguh-sungguh melenyapkan rasisme, superioritas, dan eksklusivisme sempit tersebut?
Mungkin belum. Pada Piala Dunia 1998, konon para politikus fanatik sempat menyerang Aime Jacquet karena dianggap memberi tempat terlalu luas kepada pemain imigran di Timnas Prancis. Menurut mereka, orang Prancis asli lebih berhak memperkuat Les Bleus karena hanya merekalah yang mengerti apa itu membela tanah air. Kendati kemudian terbukti berkat jasa dan prestasi para pemain keturunan imigran dan naturalisasi, Prancis bisa menjuarai Piala Dunia 1998, Piala Eropa 2000 dan runner up Piala Dunia 2006. Dan tentu saja semua tahu, Zinedine Zidane, bintang besar andalan Prancis, pemain terbaik 2006, adalah keturunan Aljazair.
Said, Kopral Abdelkadir, Yassir, Messaoud jelas punya cita-cita ketika berjuang di bawah bendera Prancis. Mulai dari harapan bisa beranjak dari jurang kemiskinan, meniti karier dalam kemiliteran, sampai menikah dengan gadis Marseille. “Tanah Prancis memang lebih baik,” kata Messaoud, lelaki Aljazair yang gugur di perbatasan Jerman itu.
Untuk ini, seperti kata Adonis--yang dikutip Goenawan Mohamad--pengertian tanah air bukan lagi dalam scope geografis, melainkan dalam kaitannya dengan hakikat kemanusiaan: sebuah tanah air adalah tempat menumbuhkan kehormatan. Meminjam Ali bin Abu Thalib, Adonis menyatakan: "Tak ada negeri yang lebih patut bagimu ketimbang negeri lain. Tanah utama adalah yang melahirkan kamu dengan baik." Dengan demikian, bagi legiun asing itu sebuah tanah air adalah sebuah masa depan yang dicitakan.
Maka Abdelkadir pun mencoba percaya pada perwira tinggi yang mengatakan kepadanya bahwa seluruh Prancis akan menyaksikan dan menghargai mereka. "Ada apa dengan kalian? Tidakkah kalian mengerti? Apa yang kita lakukan hari ini, menentukan pandangan orang-orang Prancis terhadap kita!" katanya ketika kawan-kawannya yang tersisa menolak maju saat empat orang tewas dan Sersan Roger Martinez terluka parah oleh ranjau darat di sebuah kawasan hutan bersalju Alsace. Ia juga menolak selebaran Nazi dalam bahasa Arab yang berisi ajakan menyeberang.
Ah, di kala negara-negara dengan akar rasisme panjang seperti Jerman, Prancis, Italia berlomba-lomba menaturalisasi pemain asing dan meletakkan harapan di bahu para keturunan imigran, tiba-tiba saya menjadi teringat pada nasib Hendrawan, Alan Budikusuma, dan Susi Susanti yang mengharumkan nama bangsa Indonesia di berbagai turnamen bulu tangkis kancah internasional. Tetapi saat mengurus paspor, mereka masih saja diminta menunjukkan SBKRI (Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia) yang notabene telah dicabut lewat Keppres No. 56/ 1996. Padahal ketika itu Alan dan Susi harus mewakili Indonesia menjadi pembawa obor Olimpiade Athena Yunani…
Ada apa dengan negeri ini? Lebih rasiskah dari negara-negara Eropa bekas imperialis? Entahlah.
* Judul tulisan ini terinspirasi judul buku kumpulan puisi Goenawan Mohamad, Potret Seorang Penyair Muda sebagai Si Malin Kundang (1972).
** Cerpenis dan Periset Parikesit Institute Yogyakarta
Sumber: http://kklampost.blogspot.com/2010/07/potret-pemain-sepak-bola-sebagai-si.html
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Musthafa
A Rodhi Murtadho
A Wahyu Kristianto
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Wachid BS
Abdullah al-Mustofa
Abdullah Khusairi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimanyu
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Maulani
Adek Alwi
Adhi Pandoyo
Adrian Ramdani
Ady Amar
Afrizal Malna
Agnes Rita Sulistyawati
Aguk Irawan Mn
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Subiyakto
Agus Sulton
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahm Soleh
Ahmad Farid Tuasikal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Luthfi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadie Thaha
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rasyid
AJ Susmana
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander Aur
Alexander G.B.
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Rif’an
Aliela
Alimuddin
Alit S. Rini
Alunk Estohank
Ami Herman
Amich Alhumami
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminudin TH Siregar
Ammilya Rostika Sari
An. Ismanto
Anaz
Andaru Ratnasari
Andhi Setyo Wibowo
Andhika Prayoga
Andong Buku #3
Andrenaline Katarsis
Andri Cahyadi
Angela
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Sudibyo
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Zulkifli
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayu Utami
Azyumardi Azra
Babe Derwan
Bagja Hidayat
Balada
Bandung Mawardi
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Bernadette Lilia Nova
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Bhakti Hariani
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budi Winarto
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Bustan Basir Maras
Camelia Mafaza
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Choirul Rikzqa
D. Dudu A.R
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Darmanto Jatman
Dedy Tri Riyadi
Delvi Yandra
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Anggraeni
Dian Basuki
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dian Yanuardy
Diana AV Sasa
Dinar Rahayu
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Warsidi
Edy Firmansyah
EH Kartanegara
Eka Alam Sari
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil Amir
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
F. Budi Hardiman
Fadly Rahman
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fani Ayudea
Fariz al-Nizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatkhul Aziz
Felix K. Nesi
Film
Fitri Yani
Franditya Utomo
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Garna Raditya
Gde Artawan
Geger Riyanto
Gendhotwukir
George Soedarsono Esthu
Gerakan Surah Buku (GSB)
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Tri Atmojo
H. Supriono Muslich
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim H.D.
Hamberan Syahbana
Hamidah Abdurrachman
Han Gagas
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Helwatin Najwa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendriyo Widi Ismanto
Hepi Andi Bastoni
Heri Latief
Heri Listianto
Herry Firyansyah
Heru Untung Leksono
Hikmat Darmawan
Hilal Ahmad
Hilyatul Auliya
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husnun N Djuraid
I Nyoman Suaka
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilenk Rembulan
Ilham khoiri
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Budi Santosa
Imelda
Imron Arlado
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Margareta
Indra Darmawan
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ingki Rinaldi
Insaf Albert Tarigan
Intan Hs
Isbedy Stiawan ZS
Ismail Amin
Ismi Wahid
Ivan Haris
Iwan Gunadi
Jacob Sumardjo
Jafar Fakhrurozi
Jajang R Kawentar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean-Marie Gustave Le Clezio
JJ. Kusni
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Julika Hasanah
Julizar Kasiri
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kadir Ruslan
Kartika Candra
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Ketut Yuliarsa
KH. Ma'ruf Amin
Khaerudin
Khalil Zuhdy Lawna
Kholilul Rohman Ahmad
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Krisandi Dewi
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kuswinarto
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lenah Susianty
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
M Shoim Anwar
M. Arman A.Z.
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Harya Ramdhoni
M. Kasim
M. Latief
M. Wildan Habibi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria hartiningsih
Maria Serenada Sinurat
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Marsus Banjarbarat
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masriadi
Mawar Kusuma Wulan
Max Arifin
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Mezra E. Pellondou
Micky Hidayat
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Moh Samsul Arifin
Moh. Syafari Firdaus
Mohamad Asrori Mulky
Mohammad Afifuddin
Mohammad Fadlul Rahman
Muh Kholid A.S.
Muh. Muhlisin
Muhajir Arifin
Muhamad Sulhanudin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Azka Fahriza
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naskah Teater
Nezar Patria
Nina Setyawati
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noor H. Dee
Noval Maliki
Nunuy Nurhayati
Nur Haryanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurudin
Octavio Paz
Oliviaks
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Panda MT Siallagan
Pandu Jakasurya
PDS H.B. Jassin
Philipus Parera
Pradewi Tri Chatami
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rahmat Sutandya Yudhanto
Raihul Fadjri
Rainer Maria Rilke
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridha al Qadri
Ridwan Munawwar
Rikobidik
Riri
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rizky Andriati Pohan
Robert Frost
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Romi Febriyanto Saputro
Rosihan Anwar
RR Miranda
Rudy Policarpus
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Gerilyawan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra
SelaSastra ke #24
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Subhan SD
Suci Ayu Latifah
Sulaiman Djaya
Sulistiyo Suparno
Sunaryo Broto
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunudyantoro
Suriali Andi Kustomo
Suryadi
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Susilowati
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Bahri
Syam Sdp
Syarif Hidayatullah
Tajuddin Noor Ganie
Tammalele
Tan Malaka
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Tengsoe Tjahjono
Th Pudjo Widijanto
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Joko Susilo
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi
Umar Kayam
Undri
Uniawati
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Vyan Tashwirul Afkar
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyudin
Wannofri Samry
Warung Boenga Ketjil
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Web Warouw
Wijang Wharek
Wiko Antoni
Wina Bojonegoro
Wira Apri Pratiwi
Wiratmo Soekito
Wishnubroto Widarso
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Wing King
WS Rendra
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yosi M. Giri
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Yuyu AN Krisna
Zaki Zubaidi
Zalfeni Wimra
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhaenal Fanani
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Zulhasril Nasir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar