Geger Riyanto
http://suaramerdeka.com/
ASPAL kelabu dihujani cahaya matahari yang begitu terik. Sebuah sedan melaju kencang. Dari dalam mobil itu aku berpikir, seandainya jalanan ini adalah dagingku mungkin sakit yang kualami pun tak akan sehebat ini. Akan kuceritakan semuanya dari awal. Mungkin hidupku akan berakhir ketika jalan tol ini berakhir. Jadi dengarkanlah ini baik-baik.
Dunia ini dipenuhi dengan zombi. Hanya, mereka amat cakap dalam menyamarkan diri. Kulit mereka tidak pucat seperti yang dikisahkan film-film televisi kepada kita. Mereka berkulit sawo matang seperti manusia biasa, tentu saja berkat sentuhan kosmetik. Tubuh mereka tidak bermandi bau amis kembang melati, bahkan ketiak mereka pun tak berbau. Tentu itu berkat sentuhan dari produk kosmetik modern lain. Tak terhitung hal yang dapat kuceritakan tentang zombi, tetapi yang ingin kuceritakan di sisa hidupku ini adalah tentang pertarunganku untuk mempertahankan kemanusiaanku dan juga menjadikan mereka manusia.
Tak seperti vampir yang menggigit leher manusia untuk menjadikan korbannya bagian dari kelompoknya, zombi memulainya dengan membuat kami mabuk cinta terhadapnya. Setelah itu, perlahan si manusia kehilangan hawa kehidupannya, hingga akhirnya, menjadi zombi seutuhnya. Aku tahu semua tentang zombi, karenanya aku sungguh merasa ada yang salah dengan diriku. Benar-benar salah. Mengapa lonceng-lonceng berdentang dalam diriku ketika satu zombi menempelkan mulutnya, yang menyimpan taring-taring penghisap kehidupan, di daun bibirku?
Awalnya hanyalah hari-hari yang seperti biasa. Aku menginjakkan kaki di tempat baru bersama sejumlah kolega kerja. Perusahaan memintaku untuk meneliti apakah desa-desa di pedalaman merupakan pasar yang potensial untuk jasa internet kami. Di tempat kerjaku, separo dari seluruh pekerja adalah zombi. Maka jangan heran, tiga dari empat rekan kerja yang kubawa ke tempat ini adalah makhluk yang tak punya jiwa. Namun, syukurlah, keluarga pemegang saham perusahaan adalah manusia, sehingga yang ditempatkan sebagai kepala-kepala pelaksana perusahaan ini adalah manusia —termasuk diriku. Maka aku bisa mengatakan bahwa perusahaan kami adalah perusahaan manusia. Zombi hanya ban berjalan yang kami injak untuk mencapai tujuan.
Sebagai kepala divisi lapangan, aku sudah terbiasa bekerja dengan tubuh-tubuh tak berjiwa itu. Prinsipnya, jangan terlalu banyak berbicara dengan mereka kecuali yang berkaitan dengan pekerjaan. Untuk itu, kuanggap saja mereka tak memiliki wajah manusia. Kubayangkan mereka bermuka ikan, berminyak dan tak sedap untuk dipandang.
Di antara para muka ikan ini, ada seorang wanita yang menonjol. Beberapa kali aku mengutusnya ke lapangan, dan kawan-kawan mengakui bahwa ia adalah pekerja yang ulet dan tangkas. Tak seperti wanita-wanita yang khawatir kukunya menjadi gundul, ia dapat berlakon sebagaimana seorang petani atau buruh untuk mendapatkan data dari masyarakat yang kami teliti. Mestilah kuakui, ia adalah ujung tombak perusahaan kami di lapangan.
Namanya Maria, seperti nama manusia. Sayang, dia bukan manusia. Jabatannya tidak akan pernah naik. Namun aku sendiri sebenarnya tak dapat menerima bila seorang kepala lapangan kalah kemampuannya darinya. Tak adil rasanya aku diangkat menjadi kepala karena aku manusia, walau memang mesti demikian keadaannya demi menjaga kemanusiaan. Tetapi setidaknya aku bisa membuatnya adil dengan membuktikan bahwa aku lebih baik darinya. Saat itu api bergolak dari antara rusukku, aku ingin mengalahkannya.
***
PADA hari ketiga, Maria telah akrab dengan sebagian warga desa. Kulitnya yang sawo matang kelam, pakaiannya yang sederhana dan lusuh, rambut ikalnya yang hanya disisir seadanya, kerap mataku tak bisa membedakan dirinya dari warga desa itu. Dengan bahasa daerah mereka, Maria selalu memulai pembicaraan dengan pertanyaan apa kabar, apa kabar keluarga, bagaimana keadaan. Lalu ia masuk ke pembicaraan bernada pesimis tentang perlakuan para tengkulak terhadap mereka dan tidak adanya perlindungan pemerintah terhadap harga komoditas yang mereka tanam.
Kata Maria kepadaku, dengan upaya itu ia berusaha menyetel frekuensi diri yang sama dengan warga desa agar bisa meluluhkan dinding mereka. Orang desa mempunyai dinding yang tak terlihat, ujarnya, mereka bisa mengatakan ”iya” tapi bergumam ”tidak” pada saat yang sama. Dengan begini, pada kemudian hari ketika kita kembali, barangkali, kita dapat menawarkan jasa yang berguna bagi mereka dan mereka menganggap kita sebagai jalan keluar dari persoalan hidup mereka. Tiga hari dan aku telah dilewati begitu jauh.
Hari itu aku memutuskan untuk mendatangi petinggi adat desa ini, bukan kepala desa yang selama tiga hari berturut-turut ini ditemui Maria. Barangkali Maria belum tahu tentang sang figur ini, dan juga tentang bagaimana desa memiliki kedekatan kepada petinggi adat melebihi kedekatan pada kepala desa. Dengan ini aku bisa mengambil informasi penting melampaui informasi yang telah didapat wanita ulet tersebut.
Udara sore yang sejuk menyeka kulitku saat aku mendatangi kediaman sang petinggi adat. Pagi tadi aku telah mendatangi kediamannya, sang tetua tak ada. Sedang di ladang katanya. Sore itu kembali kuketuk pintunya. Ibu rumah ini keluar menyalamiku, lalu mengantarku ke pekarangan belakang. Di sana, mataku menjumpai seorang tua sedang duduk di atas tembok setinggi pinggang —yang membatasi kediamannya dengan rerumputan menurun yang berujung pada sungai serta bebatuan kokoh. Saat melihatku, ia langsung melepas cangklong dari mulutnya. Kami bertegur sapa. Aku mencoba beramah tamah, tetapi gayaku tetap tak bisa seluwes Maria.
Tiba-tiba Bapak Kamanto, sang petinggi adat itu berujar, ”Aku sudah melihat Anda memang bakal datang.”
”Maksud Bapak?”
”Sudah kulihat sepasang muda-mudi dari kota hari ini bakal datang ke rumahku. Tadi, sebelum Mas, aku didatangi istri Mas. Mas tidak dikasih tahu?”
”Siapa?”
Aku bertanya dan Bapak Kamanto menjelaskan karakteristiknya. Ternyata Maria. Ternyata ia telah datang kemari. Didahului, jujur, aku terpukul.
”Bukan istrimu?”
”Bukan, Pak.”
”Tapi percayalah kepada saya, kalian cocok sekali.”
Malam harinya menjadi malam yang sama sekali tidak biasa. Aku bersama tim sedang menyusun dan merapikan data yang kudapat. Di dekatku ada Maria, dan mataku entah mengapa selalu tergoda untuk melintasinya. Dan setiap kali mataku menyapanya, matanya selalu menyapaku balik. Setiap kali itu terjadi, aku, sepertinya dengan kikuk, langsung mengalihkan pandanganku ke tempat lain. Percakapan kikuk antara mataku dengan matanya begitu sunyi, tak satu pun rekan kami menyadarinya.
Ketika aku menanti tidur di kamarku yang sepi, aku baru sadar bahwa Maria ternyata kerap memperhatikanku. Mengapa? Apa yang dipikirkannya tentang diriku?
***
BEBERAPA malam setelahnya, hujan deras mengguyur desa. Kupikir ini tak menandai apa-apa, hanya menandai musim kemarau yang sebentar lagi berakhir. Rintikan hujan yang berdebur dengan atap menjadi alunan musik yang mengiringi kami mengerjakan rutinitas merapikan data. Salah satu dari seorang rekan di tengah kami mengangkat teleponnya. Matanya tiba-tiba saja terbelalak.
”Sebentar, saya akan segera menjemput!”
”Ada apa?” tanyaku.
Ia lalu menjelaskan, Maria tergelincir di lembah tepi desa dan kakinya terkilir tak bisa bergerak.
”Aku yang akan menjemputnya!”
”Tapi Pak, biar saya saja...”
Aku tak mendengarnya lagi. Aku telah melangkah keluar kamar, mencari jas hujan dan payung.
Hujan yang sebelumnya menjadi irama merdu saat itu membentuk jarum-jarum air yang merajam wajahku. Aku benar-benar tak berpikir apa-apa saat tadi mengambil langkah keluar kamar. Beberapa hari itu aku merasa sangat kacau. Saat Maria berangkat ke lapangan untuk mengambil data, aku merasa ditinggalkan sendirian. Aku kerap meneleponnya dari lokasi yang mungkin hanya terpisah beberapa ratus meter, untuk menanyakan bagaimana pekerjaannya —pertanyaan basa-basi.
Aku melihatnya. Maria terduduk dan berlindung di bawah pohon. Pakaiannya melekat erat di kulitnya yang bergetar, menggigil hebat. Dedaunan yang rimbun di atasnya tak mampu menahan hujan deras yang mengguyur. Aku mendekatinya, ia melihatku.
”Kenapa Bapak yang datang?”
Aku langsung melempar jas hujan yang kupakai dan payungku ke tangannya.
”Pakai!”
Langsung kugendong tubuhnya yang seperti bola air. Ia tak memakai jas hujan yang kuberikan, tetapi dibentangkannya di atas kami sehingga hujan tak mengguyur kami habis-habisan. Air mulai merembes ke pakaianku, sedikit demi sedikit merubah pakaianku menjadi genangan es yang merajam kulit. Dalam kedinginan yang mulai mengulitiku, Maria yang bergeming di punggungku tiba-tiba memancarkan kehangatan.
Beberapa saat berlalu, langkah-langkahku sudah tak digerakkan oleh kesadaran. Aku ingin berpikir bahwa aku hanya sedang menolong rekan sekerja, tetapi saat itu aku tak berdaya mengendalikan kesadaranku sendiri. Kesadaranku dipeluk oleh kehangatan yang bernaung di punggungku. Garis-garis dadanya yang lembut melintang di punggungku yang hampir tak pernah disentuh orang lain. Hasratku bangkit, tetapi tak sebanding dengan perasaan lain terhadap keberadaan yang menemaniku ini. Debur hujan yang seakan dapat menyobek batu tak bisa menembus telingaku lagi. Kepalaku penuh. Tubuhku penuh. Diriku penuh. Dengan apa? Siapa?
”Maria...”
”Ya?”
”Ah... tidak, bukan apa-apa.”
***
ENTAH sudah berapa sore berlalu sejak peristiwa di desa itu, aku tak pernah menghitungnya. Entah sudah berapa kecup dan peluk telah kami lalui sebelum aku kembali waras dan menyadari bahwa ini adalah sesuatu yang tidak benar. Sore itu aku mendatangi pendetaku di rumahnya. Kupikir, ia pasti tahu jalan keluarnya, . dia yang dapat dan sepantasnya mencabut nafsu yang tersesat jauh ke dalam tubuhku ini. Pak Pendeta adalah yang pertama kali membuka mata kami bahwa kami hidup dikelilingi zombi.
Di ruang tamunya, aku disambut Pak Pendeta dengan kue.
”Silakan langsung disantap,” ujarnya.
Di atas lidahku, kue itu mencair kembali menjadi telur, susu, dan terigu yang manis rasanya. Lidahku terbalut dengan rasa manis, tetapi tidak dengan wajahku yang selalu kuselimuti dengan senyuman kecil memaksa. Dengan wajah yang simpatik, Pendeta langsung bertanya, ada masalah apa? Barangkali, ia sengaja menyajikan sepiring kemanisan untuk meraba kedalaman persoalanku. Maka, kuceritakan.
Awalnya, kupikir ia akan murka. Tetapi ternyata ia tak menurunkan pandangan simpatiknya.
”Dia bisa disembuhkan, Saudaraku.”
”Bagaimana caranya Pak Pendeta?” balasku dengan spontan.
Sebentar kemudian aku menyadari nada bicaraku tidak sopan, seperti teriakan anak kecil yang membuncah karena kegembiraan.
”Maaf...Pak...”
”Tak apa... Tak sulit, mereka harus bersedia dibaptis dan mengaku percaya,” ujar Sang Pendeta, ”tetapi...pahami juga risikonya.”
”Saya paham risikonya, Pak. Saya akan berdiri tegar, tidak takluk.”
Aku merasa ada yang salah dengan ucapanku yang terlalu terbawa semangat. Aku merasa senyum yang dilemparkan Pak Pendeta untuk mengantar kepulanganku menyimpan sesuatu. Apakah di balik senyumnya ia mengatakan, jangan terlalu percaya diri, hai, seseorang yang terjatuh di lubang yang menganga begitu lebar?
***
”AYOLAH, Maria.”
”Maaf Sayang, sudah kukatakan berkali-kali, orang tuaku mungkin berubah...”
Aku membenci mereka. Tidak, aku... ”sangat”... membenci mereka. Aku belum pernah merasakan ini, sebilah pisau panas merayap di kedalamanku, mengoyak-ngoyak dada dan kerongkonganku. Jikalau bukan karena mereka, Maria sudah menjadi manusia dan kami sudah bersatu.
Maria dipaksa mereka untuk keluar dari perusahaan karena aku menjabat kepala bagian di sana. Maria menjelaskan dengan pertimbangan-pertimbangan yang sangat jelas, dirinya terikat kontrak, dirinya perlu ikut menyokong keluarga, dirinya perlu menutup karirnya di tempat ini dengan catatan yang baik agar menjadi preseden baik di tempat kerja selanjutnya, tetapi mereka menutup telinganya. Mereka mengintimidasi Maria dengan cara-cara yang menurut mereka elegan, seperti mengajaknya ikut dalam ritual untuk mendoakannya agar dijauhkan dari yang jahat. Maria bilang, entah sejak kapan, ia merasa dinding kamarnya menjadi dinding antara dua dunia yang berbeda. Ia merasa dinding kamarnya itu melindunginya.
Malam itu, Maria datang ke rumahku dengan membawa isak. Isak yang terdengar seperti bunyi benang-benang di dalam lehernya teriris-iris belati. Ia menamparku, lalu memelukku, lalu menggigitku, lalu kembali terisak-isak, tanpa sempat menuturkan sepatah kata. Tetapi yang sebenarnya menamparku adalah, wanita yang tak pernah kehilangan ketenangannya itu akhirnya kehilangan dirinya. Beberapa saat kemudian, kata-kata mulai bisa menerabas rerimbunan tangisnya, untuk menyalurkan kepedihannya kepadaku.
Awalnya adalah makan malam bersama keluarga besar Ayah Maria.
”Kakek... tidak sabar nimang cicit... kapan... Maria nikah?” ujar Kakek Maria dengan tutur yang renta dan terpatah-patah.
Maria menundukkan pandangan ke arah nasinya, seolah tidak mendengar suara Kakek yang pelan dan tertutupi denting piring, sendok dan garpu.
”Sabar, Pak. Bapak kan tidak mau punya cucu yang lahir tanpa tangan atau tanpa kaki,” sahut Bapak Maria.
”Maksud kamu...?”
”Bapak dulu kan selalu bilang, anak akan utuh hanya apabila diajarkan beriman dengan sebaik-baiknya.”
Lalu piring kembali berdenting mengganti kata-kata, tetapi mata seluruh keluarga saat itu bergulir merajam Maria. Perempuan itu hanya bisa menunduk, seperti terhukum rajam yang memunggungi batu-batu untuk mengurangi sakitósebelum mati.
”Maria, kakekmu sudah tua...tolong, mengertilah,” ujar Ibu Maria memecah keheningan.
”Sudahlah, Bu. Ia pasti bergumam, bagaimana aku mau memaklumi Ibu kalau Ibu tak mau memaklumi kesenanganku berbuat salah,” timpal Sang Ayah.
Beberapa detik itu, Maria berpikir, betapapun seorang anak terbukti bersalah sang ibu tak akan membiarkan sang ayah merajam anaknya di depan keluarga besarnya, seperti sebuah tontonan. Tetapi selama beberapa jam berikutnya ibunya hanya bergeming, membiarkan sang ayah bersama saudara-saudari lainnya menambatkan berbilah-bilah pendapat yang menguliti hati Maria. Di bawah dagin dan kulitnya, wanita yang tegar itu meraung. Dalam lautan raungan, aku tahu Maria ingin membenci mereka seperti aku membenci mereka, tetapi dirinya tak mengizinkannya untuk merasa demikian. Ia hanya bisa melampiaskannya dengan memutus daging asing yang menjalar di tubuh keluarga besarnya... aku.
***
KACA di belakangku berdebam kencang. Pukulan-pukulan membentur kaca yang membatasi antara kursi depan dan kursi belakang mobil ini. Seorang lelaki paro baya meraung, mengutuk, dan mengancam dari kursi belakang, seraya terus menghajar jendela yang memisahkan aku dan dia sekuat tenaga. Seorang wanita paro baya mencoba mengajak bernegosiasi, tetapi air mata dan kepanikan terlihat jelas menanti di balik kantung mata.
Aku tidak membenci mereka lagi. Bermalam-malam aku meledakkan diriku dengan kebencian, hingga akhirnya aku menyadari bahwa apa yang perlu aku lakukan hanyalah membuat mereka mengakui bahwa diri mereka adalah zombi dan menuturkan keinginan untuk menjadi manusia. Aku hanya mengancam? Aku serius, papan dan palang peringatan telah aku terobos. Tetapi mereka tak kunjung menjawab, mulut mereka hanya mengeluarkan kata-kata yang meledak-ledak seakan lidah mereka sedang terbakar. Ah...terlambat...lihatlah pupilku mencerminkan jembatan buntung yang menganga tak jauh di depan mobil ini. Biarlah.
Maria... tak akan ada lagi beban yang menghalaumu untuk menjadi manusia. Sampai jumpa lagi. Aku mencintaimu.
Depok, Februari-Agustus 2009
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Musthafa
A Rodhi Murtadho
A Wahyu Kristianto
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Wachid BS
Abdullah al-Mustofa
Abdullah Khusairi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimanyu
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Maulani
Adek Alwi
Adhi Pandoyo
Adrian Ramdani
Ady Amar
Afrizal Malna
Agnes Rita Sulistyawati
Aguk Irawan Mn
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Subiyakto
Agus Sulton
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahm Soleh
Ahmad Farid Tuasikal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Luthfi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadie Thaha
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rasyid
AJ Susmana
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander Aur
Alexander G.B.
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Rif’an
Aliela
Alimuddin
Alit S. Rini
Alunk Estohank
Ami Herman
Amich Alhumami
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminudin TH Siregar
Ammilya Rostika Sari
An. Ismanto
Anaz
Andaru Ratnasari
Andhi Setyo Wibowo
Andhika Prayoga
Andong Buku #3
Andrenaline Katarsis
Andri Cahyadi
Angela
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Sudibyo
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Zulkifli
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayu Utami
Azyumardi Azra
Babe Derwan
Bagja Hidayat
Balada
Bandung Mawardi
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Bernadette Lilia Nova
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Bhakti Hariani
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budi Winarto
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Bustan Basir Maras
Camelia Mafaza
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Choirul Rikzqa
D. Dudu A.R
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Darmanto Jatman
Dedy Tri Riyadi
Delvi Yandra
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Anggraeni
Dian Basuki
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dian Yanuardy
Diana AV Sasa
Dinar Rahayu
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Warsidi
Edy Firmansyah
EH Kartanegara
Eka Alam Sari
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil Amir
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
F. Budi Hardiman
Fadly Rahman
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fani Ayudea
Fariz al-Nizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatkhul Aziz
Felix K. Nesi
Film
Fitri Yani
Franditya Utomo
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Garna Raditya
Gde Artawan
Geger Riyanto
Gendhotwukir
George Soedarsono Esthu
Gerakan Surah Buku (GSB)
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Tri Atmojo
H. Supriono Muslich
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim H.D.
Hamberan Syahbana
Hamidah Abdurrachman
Han Gagas
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Helwatin Najwa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendriyo Widi Ismanto
Hepi Andi Bastoni
Heri Latief
Heri Listianto
Herry Firyansyah
Heru Untung Leksono
Hikmat Darmawan
Hilal Ahmad
Hilyatul Auliya
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husnun N Djuraid
I Nyoman Suaka
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilenk Rembulan
Ilham khoiri
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Budi Santosa
Imelda
Imron Arlado
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Margareta
Indra Darmawan
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ingki Rinaldi
Insaf Albert Tarigan
Intan Hs
Isbedy Stiawan ZS
Ismail Amin
Ismi Wahid
Ivan Haris
Iwan Gunadi
Jacob Sumardjo
Jafar Fakhrurozi
Jajang R Kawentar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean-Marie Gustave Le Clezio
JJ. Kusni
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Julika Hasanah
Julizar Kasiri
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kadir Ruslan
Kartika Candra
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Ketut Yuliarsa
KH. Ma'ruf Amin
Khaerudin
Khalil Zuhdy Lawna
Kholilul Rohman Ahmad
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Krisandi Dewi
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kuswinarto
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lenah Susianty
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
M Shoim Anwar
M. Arman A.Z.
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Harya Ramdhoni
M. Kasim
M. Latief
M. Wildan Habibi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria hartiningsih
Maria Serenada Sinurat
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Marsus Banjarbarat
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masriadi
Mawar Kusuma Wulan
Max Arifin
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Mezra E. Pellondou
Micky Hidayat
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Moh Samsul Arifin
Moh. Syafari Firdaus
Mohamad Asrori Mulky
Mohammad Afifuddin
Mohammad Fadlul Rahman
Muh Kholid A.S.
Muh. Muhlisin
Muhajir Arifin
Muhamad Sulhanudin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Azka Fahriza
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naskah Teater
Nezar Patria
Nina Setyawati
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noor H. Dee
Noval Maliki
Nunuy Nurhayati
Nur Haryanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurudin
Octavio Paz
Oliviaks
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Panda MT Siallagan
Pandu Jakasurya
PDS H.B. Jassin
Philipus Parera
Pradewi Tri Chatami
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rahmat Sutandya Yudhanto
Raihul Fadjri
Rainer Maria Rilke
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridha al Qadri
Ridwan Munawwar
Rikobidik
Riri
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rizky Andriati Pohan
Robert Frost
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Romi Febriyanto Saputro
Rosihan Anwar
RR Miranda
Rudy Policarpus
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Gerilyawan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra
SelaSastra ke #24
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Subhan SD
Suci Ayu Latifah
Sulaiman Djaya
Sulistiyo Suparno
Sunaryo Broto
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunudyantoro
Suriali Andi Kustomo
Suryadi
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Susilowati
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Bahri
Syam Sdp
Syarif Hidayatullah
Tajuddin Noor Ganie
Tammalele
Tan Malaka
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Tengsoe Tjahjono
Th Pudjo Widijanto
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Joko Susilo
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi
Umar Kayam
Undri
Uniawati
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Vyan Tashwirul Afkar
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyudin
Wannofri Samry
Warung Boenga Ketjil
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Web Warouw
Wijang Wharek
Wiko Antoni
Wina Bojonegoro
Wira Apri Pratiwi
Wiratmo Soekito
Wishnubroto Widarso
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Wing King
WS Rendra
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yosi M. Giri
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Yuyu AN Krisna
Zaki Zubaidi
Zalfeni Wimra
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhaenal Fanani
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Zulhasril Nasir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar