Selasa, 31 Mei 2011

Sehari di Palangkaraya

Mahmud Jauhari Ali
Tabloid Serambi Ummah 19 Juni 2009

Bus yang kutumpangi akhirnya memasuki terminal Bundaran Burung Tingang Palangkaraya. Kulihat para tukang ojek berlarian menuju arah kami. Mereka seakan sedang beramai-ramai berusaha menangkap mangsa yang.besar

“Mau ke mana Mas?” tanya salah seorang dari para tukang ojek itu dengan sopan kepadaku.

“Saya mau ke Bukit Keminting, Bang.”, jawabku ramah kepadanya.

“Ayo saya antar Mas ke sana!” ajak tukang ojek lainnya yang berdiri persis di sampingku. Seperti itu pula ajakan beberapa tukang ojek yang lainnya kepadaku.

“Teman saya sudah janji akan menjemput saya di sini.”, kataku singkat kepada mereka.

Syukurlah temanku segera datang menjemputku. Jika tidak, para tukang ojek itu mungkin terus memburuku dengan berbagai rayuan agar aku memakai jasa mereka.

“Narai habar Le?” temanku langsung menanyakan kabarku dengan bahasa Dayak Ngajunya yang khas.

“Aku bahalap ih. Ikau narai habar kea?” jawabku untuk memberitahunya bahwa aku sedang baik-baik saja. Aku pun balik bertanya kepadanya tentang kabarnya dengan bahasa yang serupa, tetapi memakai dialek Dayak Ma’anyanku yang khas pula.

Saat itu kulihat wajahnya yang dibalut kulit kuning langsat sepertiku memancarkan kebahagian atas kedatanganku. Telah dua tahun kutinggalkan kota cantik Palangkaraya. Selama itu pulalah kami tak bertemu muka secara langsung. Kami biasanya berkomunikasi melalui ponsel dan juga facebook di internet. Sungguh pertemuan kali ini membuat kami sangat bahagia.

Kulihat bangunan-bangunan baru bermunculan di kota ini. Mulai dari bangunan tempat ibadah, pusat perbelanjaan, hingga warung-warung kecil di pinggir jalan. Kulihat kembali lapangan Mantingai yang tetap indah di mataku. Dulu kami sering bermain basket di lapangan yang luas itu. Di lapangan itu pula aku ajak dia menyaksikan Mutsabaqah Tilawatil Quran yang pernah diselenggarakan di Palangkaraya beberapa tahun silam. Dia beragama Kristen Protestan dan aku seorang mualaf yang dilahirkan dalam keluarga Katolik yang taat. Walaupun kami berbeda keyakinan dan prinsip hidup, kami tetaplah akrab satu sama lain. Persahabatan kami ibarat makna filosofis dari rumah khas suku Dayak yang kami junjung, yakni rumah betang. Rumah khas kami itu memiliki makna berbeda-beda, tetapi tetap satu jua.

***

“Kuman helu!”, ajak isterinya saat kami sedang asyik berbincang di serambi depan rumahnya.

Ajakan makan istrinya itu pun kami balas dengan tindakan nyata menuju ruang makan dan menyantap habis makanan di piring kami masing-masing. Daging ayam bakarnya sungguh lezat dengan nasi hangat yang pas di lidah kami. Makanan ini mengingatkanku kembali pada kenangan-kenanganku pada masa lalu di kota ini.

“Ka kueh hindai?” temanku tiba-tiba membangunkan diriku dari kenangan masa lalu dengan pertanyaannya kepadaku.

Kujawablah dengan satu jawaban singkat, yakni aku hendak ke tanah kubur calon istriku dulu. Aku memang berniat untuk berziarah di sana sejak dari rumahku kemarin di Tamiang Layang, Barito Timur. Ingin kukenang suaranya yang lembut saat berbicara denganku dan tanteku saat kami bertemu. Meskipun orang tua kami telah merestui hubungan kami, jarang sekali kami bertemu muka dan tak pernah pula kami berdua-duaan. Seandainya dia masih hidup, mungkin kini ia menemaniku sebagai istriku. Tapi sekali lagi tidak, kini ia telah tiada dan aku ingin menghirup aroma tanah kuburnya di kota ini.

“Jasadmu yang dulu berdiri tegak di hadapanku kini terbujur kaku di bawah sana. Dik, aku masih teringat dengan ucapanmu dulu tentang senyuman. Aku memang orang yang keras hati dan tak mudah tersenyum. Hari-hariku kuisi dengan keseriusan hingga wajahku tak menunjukkan keramahan di mata orang lain. Tapi kini, aku tak seperti dulu lagi. Hidupku telah kuisi dengan rasa persaudaraan dan keramahan.”, ucapku lirih di hadapan makamnya setelah aku berdoa di sana.

Aku tak pernah berbicara dengan bahasa daerahku atau bahasa orang Ngaju kepadanya. Ia adalah pendatang dari pulau Sumatera. Kami selalu berbahasa Indonesia dalam berkomunikasi yang singkat dan teramat singkat.

Hari pun berubah mendung dan tak lama kemudian menjadi bulir-bulir yang membasahi tubuhku dan tubuh temanku. Kutinggalkan tanah kubur yang tadi kupandangi dengan hati yang di dalamnya bercampur aduk berbagai perasaan.

***

Malamnya aku bercengkrama dengan teman-temanku yang telah lama tak kutemui. Kami terlibat percakapan yang seru dan mengasyikkan di bawah tenda warung dekat jembatan Kahayan yang megah. Sungguh malam ini merupakan malam bahagia bagiku. Ingin rasanya setiap malam kulalui dengan mereka di sini. Namun, besok aku harus segera kembali ke tanah kelahiranku. Masih banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan di sana. Aku berharap ‘kan kutemui kembali malam seperti ini di malam-malam berikutnya.

Keesokan harinya aku dibonceng temanku dengan sepeda motornya. Walaupun sudah banyak perubahan di sana-sini, tetapi udara pagi pun masih terasa sama saat aku berangkat ke kantor dulu di kota ini. Suasananya juga masih sama. Oh, rasanya aku kembali ke masa lalu. Sedih rasanya hari ini harus kutinggalkan kota yang pernah lama kutinggali ini. Sehari semalam tak cukup sebenarnya mengobati kerinduanku pada semua yang pernah kukenal di sini.

Akhirnya, kupandangi wajah temanku dari balik kaca bus yang bergerak maju meninggalkannya dan kota yang cantik ini.

“Yakinlah teman, walau kita tak lagi bersama seperti dulu, aku akan selalu berusaha mengingatmu dan mengingat sejuta kenanganku di tanah kelahiranmu ini.”, ucapku dalam hati terdalamku.
***

Sumber: http://www.cerpen-mahmud.blogspot.com/

Potret Pemain Sepak Bola sebagai si Malin Kundang *

Sunlie Thomas Alexander **
Lampung Post 11 Juli 2010

APA artinya sebuah bangsa, juga Tanah Air? Sedalam apa pula makna darah yang mengalir dalam tubuh?

Di Provence, Agustus 1944, Said Otmari berjongkok dan meraup segenggam rumput kering. Diendusnya bau rumput itu, lalu mendekatkan ke hidung Messaoud. "Tidak seperti kampung halaman," kata dia sambil menatap rekan seperjuangannya. Tak jelas ekspresi wajah Messaoud tatkala menjawab, "Tidak. Tanah Prancis memang lebih baik."

Itulah salah satu adegan dalam Indigenes (versi Inggris: Days of Glory)-- sebuah film nominasi Oscar dan pemenang Festival Cannes arahan Rachid Bouchared yang diangkat dari kisah nyata Perang Dunia II.

Said, serdadu bertubuh pendek itu berkukuh memenuhi seruan bergabung dengan 7th Algerian Tirailleur Regiment, kendati ibunya tak mengizinkan. Sebelumnya, kakeknya juga pergi mengikuti panggilan serupa dan tak pernah kembali. Untuk menghadapi Nazi-Jerman, tercatat lebih dari 130 ribu orang direkrut Prancis menjadi prajurit dan 90 persennya muslim. Mereka berasal dari berbagai tanah jajahan Prancis di Afrika: Aljazair, Tunisia, Maroko, Chad, Afrika Tengah, Gabon, dan Kongo.

Seperti apa sebetulnya perasaan mereka yang harus mati untuk sebuah negeri asing yang tak mereka kenal? Apa yang dipikirkan para serdadu dari Afrika itu ketika berbaris melantunkan lagu kebangsaan Prancis dengan penuh gelora? Entahlah, kita tak tahu.

Toh, lebih dari 60 tahun setelah Said dan rekan-rekannya gugur demi "tanah Prancis tercinta", dalam Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan hari-hari ini, kita pun kembali disergap pertanyaan serupa tatkala menyaksikan Franck Ribery dan kawan-kawan berbaris di lapangan hijau menyanyikan lagu yang sama. Ya, setelah enam dasawarsa, sejarah seolah berulang dalam bentuk yang berbeda, di "medan pertempuran" yang berlainan.

Jika semasa Perang Dunia II, Prancis--yang jadi bulan-bulanan Jerman dan dicaplok wilayahnya dalam sekejap--mau tak mau harus merekrut prajurit dari negeri-negeri jajahannya di benua Afrika lantaran tak punya armada militer cukup besar menghadapi Nazi dan malu cuma berharap bantuan sekutu, apakah kini mereka juga tak memiliki pemain asli cukup mumpuni sehingga mesti memakai begitu banyak pemain naturalisasi yang kebanyakan berasal dari tanah Afrika?

Dari 32 kontestan peserta Piala Dunia 2010, Timnas Prancis memang negara terbanyak menggunakan tenaga naturalisasi. Paling tidak tercatat sekitar 13 pemain naturalisasi memperkuat Les Bleus di Afrika Selatan. Hal ini notabene merupakan ulangan empat tahun silam di Jerman.

Nasionalisme Malin Kundang

TENTU siapa pun bebas memilih menjadi warga negara manapun atas nama kebebasan, hak asasi, penghidupan layak, dan olahraga di era globalisasi ini. Toh, naturalisasi legal dan sah di mata hukum. Sebab itu, kendati mereka adalah para Malin Kundang yang memilih melupakan ibu pertiwi, mereka takkan dikutuk sebagai pengkhianat. Di sinilah, walau patriotisme senantiasa diuji di lapangan, sepak bola adalah soal profesionalitas yang membuat nasionalisme ternyata bisa begitu lentur. Tengok saja, bagaimana keprofesionalan seorang pelatih seperti Guus Hidink--meski tak berganti warga negara--membawa Rusia hingga ke semifinal Piala Eropa 2008 tanpa canggung menjungkalkan timnas negaranya di babak perempat final.

"Saya takkan menyerah meski sadar Brasil adalah tanah kelahiran kami. Kami adalah pemain profesional dan akan bersikap seperti itu saat menghadapi Brasil," demikian ujar Deco pemain Portugal berdarah Negeri Samba. Bahkan Jerman, biang rasisme dalam Perang Dunia II, kini tak segan menaturalisasi pemain-pemain berbakat dari bangsa lain semata-mata demi kepentingan sepak bola. Di Tim Panzer itu sekarang minimal ada delapan pemain naturalisasi, termasuk pemain kulit hitam Jerome Boateng dari Ghana. Miroslav Klose contohnya, mengaku memilih jadi pasukan Der Panzer lantaran Jerman memiliki reputasi lebih baik, meskipun Timnas Polandia (negeri kelahirannya) ingin menggaetnya.

Sekarang, adakah sepak bola telah sungguh-sungguh melenyapkan rasisme, superioritas, dan eksklusivisme sempit tersebut?

Mungkin belum. Pada Piala Dunia 1998, konon para politikus fanatik sempat menyerang Aime Jacquet karena dianggap memberi tempat terlalu luas kepada pemain imigran di Timnas Prancis. Menurut mereka, orang Prancis asli lebih berhak memperkuat Les Bleus karena hanya merekalah yang mengerti apa itu membela tanah air. Kendati kemudian terbukti berkat jasa dan prestasi para pemain keturunan imigran dan naturalisasi, Prancis bisa menjuarai Piala Dunia 1998, Piala Eropa 2000 dan runner up Piala Dunia 2006. Dan tentu saja semua tahu, Zinedine Zidane, bintang besar andalan Prancis, pemain terbaik 2006, adalah keturunan Aljazair.

Said, Kopral Abdelkadir, Yassir, Messaoud jelas punya cita-cita ketika berjuang di bawah bendera Prancis. Mulai dari harapan bisa beranjak dari jurang kemiskinan, meniti karier dalam kemiliteran, sampai menikah dengan gadis Marseille. “Tanah Prancis memang lebih baik,” kata Messaoud, lelaki Aljazair yang gugur di perbatasan Jerman itu.

Untuk ini, seperti kata Adonis--yang dikutip Goenawan Mohamad--pengertian tanah air bukan lagi dalam scope geografis, melainkan dalam kaitannya dengan hakikat kemanusiaan: sebuah tanah air adalah tempat menumbuhkan kehormatan. Meminjam Ali bin Abu Thalib, Adonis menyatakan: "Tak ada negeri yang lebih patut bagimu ketimbang negeri lain. Tanah utama adalah yang melahirkan kamu dengan baik." Dengan demikian, bagi legiun asing itu sebuah tanah air adalah sebuah masa depan yang dicitakan.

Maka Abdelkadir pun mencoba percaya pada perwira tinggi yang mengatakan kepadanya bahwa seluruh Prancis akan menyaksikan dan menghargai mereka. "Ada apa dengan kalian? Tidakkah kalian mengerti? Apa yang kita lakukan hari ini, menentukan pandangan orang-orang Prancis terhadap kita!" katanya ketika kawan-kawannya yang tersisa menolak maju saat empat orang tewas dan Sersan Roger Martinez terluka parah oleh ranjau darat di sebuah kawasan hutan bersalju Alsace. Ia juga menolak selebaran Nazi dalam bahasa Arab yang berisi ajakan menyeberang.

Ah, di kala negara-negara dengan akar rasisme panjang seperti Jerman, Prancis, Italia berlomba-lomba menaturalisasi pemain asing dan meletakkan harapan di bahu para keturunan imigran, tiba-tiba saya menjadi teringat pada nasib Hendrawan, Alan Budikusuma, dan Susi Susanti yang mengharumkan nama bangsa Indonesia di berbagai turnamen bulu tangkis kancah internasional. Tetapi saat mengurus paspor, mereka masih saja diminta menunjukkan SBKRI (Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia) yang notabene telah dicabut lewat Keppres No. 56/ 1996. Padahal ketika itu Alan dan Susi harus mewakili Indonesia menjadi pembawa obor Olimpiade Athena Yunani…

Ada apa dengan negeri ini? Lebih rasiskah dari negara-negara Eropa bekas imperialis? Entahlah.

* Judul tulisan ini terinspirasi judul buku kumpulan puisi Goenawan Mohamad, Potret Seorang Penyair Muda sebagai Si Malin Kundang (1972).
** Cerpenis dan Periset Parikesit Institute Yogyakarta
Sumber: http://kklampost.blogspot.com/2010/07/potret-pemain-sepak-bola-sebagai-si.html

Minggu, 29 Mei 2011

Pembantu Bintang Lima

A Rodhi Murtadho
http://sastra-indonesia.com/

Pembantu bintang lima. Sudah menjadi cita-cita Lina untuk menjadi pembantu. Sejak keinginan itu tebersit dalam benak. Berbagai usaha pun dilakukan untuk mewujudkannya. Belajar dari berbagai macam bacaan yang ada di sekolah. Magang langsung menjadi pembantu ataupun bergabung dalam organisasi masyarakat yang kerjanya membantu orang. Semua itu dilakukan untuk mencapai pangkat tertinggi pembantu. Bintang lima. Setara dengan jendral, pikirnya. Tentu saja akan menjadi terobosan baru dalam dunia karir perempuan.

Koran, majalah, radio, televisi, dan berbagai macam media memberitakan bencana yang sedang terjadi. Catatan jumlah korban dan kerugian. Terpampang begitu jelas. Total keseluruhan yang jelas makin bertambah.

Lina mengemasi peralatan pembantu yang ia gunakan. Perlengkapan yang selalu ia bawa setiap ingin membantu. Menjadi pembantu. Darah ‘O’ yang ia punyai. Sejumlah uang yang memenuhi tasnya. Beberapa koper pakaian bertumpuk. Buku pelajaran, buku bacaan buku tulis, dan alat tulis. Kardus-kardus berisi mie instan. Tenaganya juga dipersiapkan.

“Semua sudah masuk ke truk, Pak Marno?” tanya Lina pada sopir truk yang setia menemani.
“Siap Non, tapi…”
“Tapi apa pak?”

Kedua insan yang dipenuhi kegalauan terdiam terpaku. Mematung tak bergerak. Sejenak, Marno ingat truk yang akan dikendarai hampir tak bersolar. Bingung. Uang gajinya bulan ini dari mandor Parjo sudah diberikan kepada istrinya, Marini. Biasanya urusan solar selalu menjadi tanggung jawabnya. Walau sudah jelas kalau memang ada jatah dari mandor Parjo, ayah Lina.

“Tapi apa, Pak Marno?” memecah diam, “nanti sore kita harus berangkat. Kalau semua belum disiapkan, tentu keberangkatan kita bisa tertunda lama.”

“Sol…lar, Non.”
“Lho, bukankah sudah diberikan Ayah. Biasanya selalu begitu kan?”
“Be…betul, Non. Tapi uangnya sudah terlanjur sudah saya saya berikan istri saya untuk SPP anak-anak.”

Marno memang orang yang tak begitu berada. Kehidupan pas-pasan. Rumah kayu sedikit reot. Lantai tak berubin. Roda kelancaran hidup bergantung kepada mandor Parjo. Bekerja kepadanya sebagai sopir truk. Namun akhir-akhir ini harus menuruti perintah mandornya untuk menemani Lina. Keluar kota, bahkan keluar pulau untuk mengangkut segala kebutuhan yang diperlukan.

Lina mengambil beberapa lembar uang dari tasnya. Tak ada perintah berarti dari mulut Lina. Hanya diam. Namun isyarat Lina segera menggegaskan Marno untuk segera berangkat membeli solar. Lina masuk ke dalam rumah. Mengistirahatkan tubuhnya di kamar.

Lina terhenyak ketika tiba-tiba ia sudah sampai di lokasi bencana. Naluri pembantu yang ia punyai seakan musnah. Ia tak bisa menggerakkan dirinya. Kerumunan mayat dan puing-puing kesengsaraan terpampang. Ia merasakan darah golongan donor resepiennya muncrat keluar. Mencari lahan manusia yang kekeringan tak bergerak, tak tersadar. Darah yang ia persiapkan malayang mengitari air mata kesakitan.

“Marno, apa yang terjadi?” gumamnya lirih tak bertenaga. Tak juga ada jawaban dari Marno. Suaranya parau terkalahkan erangan dan isak tangis. Puji selalu ia panjatkan. Ia tak menemukan dirinya. Entah hilang ke mana dan menjadi apa. Tak peduli.

Detak jantung melayangkan pikirannya. Hembusan nafas memelintir otaknya. Bahkan mata yang nyalang dan ambisius redup dalam keremangan senja. Lina ingat bencana yang menimpa negeri. Mungkin sudah layak ia menggantikan jendral. Paling tidak kerjanya lebih cepat dari mereka yang hanya berpangku tangan.

“Saya akan menjadi pembantu bintang lima. Sebentar lagi setelah bencana ini. Paling tidak sudah 67 bencana yang telah saya bantu. Karir saya akan melonjak. Semua orang akan kenal saya sebagi dermawan. Dengan begitu para majikan nantinya akan berpikir seribu kali untuk menggaji saya rendah.”

“Saya tidak sepakat. Kamu ambil untung dari kejadian yang kuciptakan.”

Lina kaget. Matanya dibuka lebar mengawasi. Telinga ia tajamkan. Hidung pun mencari bau datangnya suara. Tangan meraba, mencari bentuk.

“Siapa kau?”
“Aku Bencana.”

Gerakan Lina semakin cepat. Menoleh kiri kanan. Tak mendapatkan siapa pun. Menghendus tak melewatkan anyir darah. Mungkin darah ini yang bicara, pikirnya. Tapi bagaimana? Mana mulutnya? Di mana otaknya?

“Hai Bencana! Kami sudah sulit untuk menciptakan tata keindahan. Mengapa kau selalu ciptakan kehancuran. Apa salah kami? Mengapa kau benci pada manusia?”

“Aku akan selalu membuat kehancuran dan bencana sebagai akibat dari pemanfaatan manusia kepada sesama manusia dan alam. Selalu mengambil keuntungan dari air mata dan darah saudara mereka.”

“Apa maksudmu.”

“Sebuah bencana,” diam sejenak, “memang ada penggalangan bantuan atas nama kemanusiaan. Tapi di balik itu demi nama mereka sendiri. Perjamuan makan di hotel berbintang untuk menggalang dana bagi bencana kelaparan. Nyanyian dan tarian untuk setiap bencana. Bahkan penceramah selalu berkoar mencari-cari siapa yang salah. Bukannya membantu tapi mementingkan nama dirinya dikenal orang lain. Apa itu bukan mencari keuntungan?”

Lina semakin bingung. Tak mengerti apa yang diucapkan oleh Bencana. Mengais-ngais segala ingatannya tentang bencana. Seluruh bencana. Apa yang ditimbulkannya. Untung dan rugi? Apa maksudnya? Semakin Lina bertanya pada apa yang ia sendiri tak mengerti.

“Ingat juga, kalau kamu mau bintang lima atau bintang berapa pun akan saya berikan. Akan saya timbulkan banyak bencana lagi. Dengan begitu kau akan semakin dikenal orang. Dermawan.”

“Tidak. Saya tidak mau.”

“Mengapa kau mesti berubah pikiran. Lakukanlah. Itu sudah menjadi cita-citamu. Menjadi pembantu bintang lima. Sampai majikan akan kalah kaya dengan pembantunya.”

Di kejauhan, Lina seperti melihat dirinya dan Rudi, pacarnya, yang ia tinggalkan demi mencapai cita-citanya. Kekasih yang menyayanginya dengan tulus. Tanpa pamrih. Ia meninggalkannya tanpa alasan yang kurang masuk akal. Demi menjadi pembantu.

“Maafkan saya, Mas, saya harus mewujudkan cita-cita,” Lina melihat dirinya di kejauhan berucap.

“Tidak! Tidak! Bukankah setiap orang akan menjadi pembantu. Sekretaris jadi pembantu direktur. Presiden pun akan jadi pembantu negara. Bahkan seluruh mandor dan majikan akan menjadi pembantu untuk kepentingannya.”

“Tapi saya harus punya predikat bintang lima sampai orang akan segan. Menundukkan kepala setiap berpapasan dengan saya.”

Lina terheran-hern bisa melihat dirinya dan Rudi bercakap-cakap di kejauhan. Bagaimana mungkin dirinya ada dua. Siapa sebenarnya orang yang mirip dirinya.

Sejenak Lina terdiam. Ia kembali kepada lautan mayat. Hamparan kepedihan. Serakan darah. Pikiran yang tertumpah nyaris sia-sia ditelan bencana. Menyanjung segala yang tersisa walau terisak kehilangan.

“Non, kita sudah sampai Sleman. Hampir sampai rumah,” seperti suara Marno mengingatkan.

Lina tergeragap. Pancaran mata yang tak bertuju. Degup jantung tak normal. Cepat. Tersengal-sengal nafas dalam guncangan diri. Pakaiannya basah dengan segala peluh. Asam. Parfum yang sempat ia cipratkan tadi pagi terbuai dalam setiap angin yang menyapa tubuhnya.

“Aku tak butuh bintang lima,” gumam Lina pelan, benar-benar lirih. Mewanti-wanti dirinya agar tak terjebak dalam kubangan kesalahan yang kerap dilakukan atas nama kemanusiaan.

Waktu sudah mengalahkan siang. Matahari sudah lelah dengan panasnya. Meredup di ufuk barat. Sore hari. Sayu-sayu sinar menentramkan. Lina terbangun dari tidurnya dan langsung menemui Marno.

“Marno, jika nanti ada wartawan tanya, jangan dijawab. Jika ada kamera merekam cepat menghindar. Jangan sampai apa yang kita berikan dan lakukan ini tersiar bangga di masyarakat,” ucap Lina pada Marno.

“Eh…bukankah…”

“Tidak,” potong Lina, “kita di sana nanti untuk membantu bukan mencari keuntungan. Lupakan cita-cita saya untuk menjadi pembantu bintang lima. Aku tak perlu lagi. Saya pun sudah berniat berhenti mewujudkan cita-cita itu. Sekarang saya hanya ingin membantu saudara tanpa pamrih.”

Marno makin tak paham yang diucapkan majikan kecil. Sebelumnya Marno malah disuruh mengekspose besar-besaran kegiatan kemanusiaan kepada wartawan. Membicarakan kepada seluruh korban tentang sumbangan yang diberikan. Bahkan kegiatan-kegiatan atas nama kemanusiaan harus dirinci setepat-tepatnya.

“Bencana, saya tidak akan membiarkan pengambilan untung atas nama kemanusiaan. Saya akan memulai dari diri saya, kawan saya, tetangga-tetangga. Kami akan tulus menolong mereka, saudara-saudara yang kau celakai. Yang kau jadikan mereka melarat. Berenang dalam kolam air mata. Tangis yang sudah bercampur darah, air mata, peluh, dan nanah,” Lina berucap pada dirinya.

Truk sudah menunggu. Sore yang telah direncanakan membuat tergesa. Lina masih berada di rumah tapi bencana mulai anyir tercium. Erangannya makin keras. Wujudnya makin jelas di mata Lina. Tangannya pun mulai merasakan kehangatan suhu bentuknya. Kasar. Lina meronta keras. Mengurungkan langkahnya menuju truk. Segera ia mendekati Parjo, ayahnya, yang jatuh tersungkur. Setiap langkah ia gunakan untuk memapah ayahnya yang sudah lemas. Belum sempat keluar rumah, Lina sudah tertimpa atap rumah yang ambruk.

Semilir angin tak menadakan apapun. Keriangan asap mulai berpesta di antara rumah. Melalap semua. Marno hanya terpaku menyaksikan dari kejauhan. Tak ada sempat langkah untuk menolong. Marno hanya mendengar jerit tangis majikan-majikannya. Marno tak bisa berhenti memikirkan. Baru akan mewujudkan ketulusan niat untuk membantu saudara jauh yang tertimpa bencana. Namun bencana sudah memeluk erat Lina dan keluarganya.

Marno semakin cemas. Tak memiliki majikan tentu tak akan memiliki pekerjaan. Tentu juga tak memiliki penghasilan. Marno terus memikirkan cara menghidupi keluarga tanpa majikan. Tak juga ditemukan cara. Marno berlari ke tengah bara api dengan solar berada di tangan. Menyusul majikannya.

Lamongan, 6 Juni 2006

Sabtu, 28 Mei 2011

Puisi dan Dunia Maya

Soni Farid Maulana
http://www.pikiran-rakyat.com/

PADA Kamis pertama bulan Mei 2011, laman Mata Kata kembali hadir dengan menampilkan puisi karya penyair Wahyu Goemilar (Bandung, Jawa Barat), Bunyamin F. Syarifudin (Bandung) dan Hudan Nur (Palu, Sulawesi Tengah). Seharusnya tampil pada hari Selasa kemarin, hanya karena ada masalah teknis, maka baru bisa disajikan pada saat ini.

Lepas dari persoalan teknis, ketiga penyair tersebut menampilkan kemampuan yang berbeda dalam menulis puisi. Masing-masing penyair mengekspresikan pengalaman batinnya dengan sungguh-sungguh. Sehubungan itu, menulis puisi memang harus sungguh-sungguh, sekalipun dalam penulisan itu ada permainan makna, bunyi, kata, dan sebagainya.

Saya yakin, jika ketga para penyair ini mau melakukan eksplorasi lebih jauh lagi dalam soal penjelajahan daya ungkap, niscaya akan menjadi penyair yang akan diperhitungkan lebih lanjut, baik ditingkat lokal, nasional, maupun internasional.

Bakat ketiga penyair ini cukup menjanjikan dalam menulis puisi-puisinya, yang selain enak dibaca, juga cukup serius dalam menghayati hidup dan kehidupan yang berdenyut di seputar dirinya. Artinya, para penyair ini cukup peka dengan apa yang bergolak di dalam batinnya, maupun di luar batinnya masing-masing.

Sehubungan dengan itu pula, diakui atau tidak dengan adanya jejaring social facebook, perkembangan dan pertumbuhan puisi Indonesia yang kian marak saja. Masing-masing penyair berupaya mengekspresikan kemampuannya dalam mengolah kata, menjadi bahasa ungkap yang mempribadi, dalam sejumlah puisi yang ditulisnya. Dan menulis puisi sebagaimana dikatakan para pakar puisi, tidak lahir dari ruang batin yang kosong, melainkan lahir dari ruang batin yang sarat dengan pengalaman. Pengalaman itu disebut dengan pengalaman puitik.

Pada sisi yang lain, dalam perkembangan dan pertumbuhan puisi Indonesia dewasa ini, ada kalanya kita bisa menemukan sejumlah puisi yang ditulis oleh para penyairnya di laman catatan dalam facebook itu, lebih bermutu dari apa yang dipublikasikan di media massa cetak.

Untuk itu dengan suburnya penulisan puisi di dunia maya ini, diakui atau tidak merupakan sebuah tantangan baru bagi para kritikus sastra untuk menelusuri dan memberikan catatannya dengan tekun. Hal semacam ini sangat penting dilakukan, agar pemetaan puisi Indonesia kini menjadi lebih beragam. Sekali lagi, ketiga penyair yang memublikasikan puisinya kali ini di laman Mata Kata, merupakan para penyair yang juga aktif memublikasikan sejumlah puisi yang ditulisnya di media dunia maya.

Pembaca yang mulia, selamat menikmati sejumlah puisi di laman ini. Ada nilai yang bisa dipetik, sekecil apapun nilai itu. Masing-masing penyair dengan sungguh-sungguh telah mengekspresikan pengalaman batinnya, yang ditulis tidak dari ruang yang kosong. Jika sebuah puisi ditulis dari ruang yang kosong, biasanya akan terasa bahwa puisi itu tidak ada “denyut nadinya,”. Dingin, seperti batang pisang. Puisi-puisi di bawah ini, tidak demikian adanya. Terasa hangat alir darahnya, juga denyut nadinya. (Soni Farid Maulana/"PRLM").***

Sajak-sajak Wahyu Goemilar
AKU INGIN MENULIS PUISI

Aku ingin menulis puisi
seperti pembatik yang menuangkan cantingnya diatas kain
lalu di buatnya titik, setelah itu ditarik garis
kemudian menjelma rupa

ia kemudian meniupkan rohnya
dan mencelupkannya pada cinta
dan kita menggunakannya dimana-mana

Aku ingin menulis puisi seperti sang mpu membuat keris
ia menaklukan logam dan baja, menempanya di dalam jiwa
kemudian membasuhnya dengan darah
dan di catat sejarah

Aku ingin menulis puisi seperti anak-anak bercinta
ia begitu sederhana, sangat sederhana
bahkan ketika mereka harus kawin muda



PADAHAL

Padahal aku telah berdoa kepadamu
di tempat yang sekiranya engkau berada
di hutan, gunung, bahkan samudra
engkau tetap menggelengkan kepala
dan kami tertimbun gempa

Padahal aku telah berzikir kepadamu
ditempat yang sekiranya engkau berada
di lapangan upacara, radio, televisi dan istana negara
engkau tidak peduli
dan tetap mengirim kami tsunami

Padahal aku telah meminta pertolongan
lewat teman dekatmu
para kiai, ustadz, pendeta dan biksu
engkau tetap membisu
sepertinya suara kami tak sampai padamu
(atau engkau tetap ragu?)

WAHYU GOEMILAR lahir di Cianjur 27 september. Pernah menjadi penyair dan menulis puisi di surat kabar. Pernah juga menjadi karyawan BUMN kemudian ikut pensiun muda. Sekarang menikmati hidup membesarkan anak - anak sambil berjualan.
***

Sajak-sajak Hudan Nur
TEMBANG TOLARE
: (alm) Hidayat Lembang

Nyanyian itu hanya sampai di teras-teras rumah orang-orang Biromaru yang gemar berdadu, nyanyian anak lembah yang ditiupkan angin sebelum kamis memanggilnya sebagai bujang lumbago. Terkadang ia hanya tahu bagaimana meniup lalove sedang lupa mewarnai bilur-bilur nadinya dengan dedaunan. Nyanyian itu pernah kudengar di Sigi saat nelayan dari Pantai Barat menangkap napoleon dan cakalang, menggali teluk yang tak lumus dalam prakiraan manusia sampai di bibir pantai dan malamnya hanya mampu menterjemahkan lelah selebihnya nyanyian itu berlumang di telingaku. Marilah 'nak menyanyi di Loru jangan kau dengar orang kampung mengusik iramanya karena peta batin sudah tidak merurut lagi dengan dendang-dendang kakula, sudah jarang didengar tabuhannya menyuarakan dekaknya ke kita. Ia ligakan senandung dalam solmisasi hidup yang sangat sumbang. Hanya dengan melarungi secawan dupa bertuhankan ritus balia-balialah ia mengenal gugusan kelenjar air mata yang setiap hari harus diminumnya. Nyanyian itu berakhir seminggu lalu saat lelaki tolare itu ingin memanen akustik ciptaannya lewat roh-roh lembah yang selama ini sempat menjaganya tetapi ia lupa ada tembang lain yang kapan saja bisa datang menculik roh-roh itu!

Lembah Palu, November 2010



MENIKAHI MALAM
: Hands Ranjiwa

seorang paroki membaptismu sebagai pemazmur rupa
semangkuk hujan telah dipersiapkannya
kau simpan dalam album jalanan yang kau rajut di sepanjang musim

lalu dijadikan garda melamar kekasihmu
hands,
kau merambang malam sebagai galas tuhan
yang maha pedih
airmata anakmu hanya sebaris kebekuan yang kau rasa bila dingin menerjabmu
tetapi kau tetap bertahan
membina hubungan dengan malam
lalu menyetubuhinya
hands,
di jantung kota ini kita berkenalan dalam selembar kanvas
kau pagut malam dengan lukisan muram
aku masih melihat wajahmu menekan kemerdekaan
dibalik ruang yang kau pasung
sebagai ranum kepura-puraan
menikahi malam telah membuatmu haus
: kembaramu mengaduh
kau memakunya dalam segandeng rana
hands,
percuma kau menuba jiwa belantara,
memetik bintang di kantung mata pernikahanmu
kau tetap berhati gersang!

Teras Puitika, 16 Januari 2011



TRIWIKRAMA CINTA

lelaki kusut itu telah menjadi sarjana cinta
di sajak-sajak tuanya dalam perban kesetiaan
merembang bujana meniti keingsunan
cinta yang fasik
dongeng petang di serambi hatimu
merubah batin menjadi nubuat sangsai
tak lunas menghalau rindu yang terselip disaku rompinya
lantaran jodoh hanya separagraf kalimat
kau lasah hari-hari dengan keringat perempuan
angin menukil proposal cinta tanpa gelagat berkesudahan
lelaki kusut itu masuki balai agung
pendeta umumkan gelar barunya
: fetus dilanglang alamat kasih
mazbah gereja disesaki pelawat-pelawat kata
karantina penghabisan lalu-landang di hadapanmu
seorang pastur berkata:
di jari manismu ada rindu*

Teras Puitika, 17 Januari 2011
)*Judul buku puisi Hamami Adaby tahun 2008

HUDAN NUR lahir pada 23 November 1985. Sekarang dipercaya sebagai ketua Komunitas Sastra Indonesia (KSI) Palu-Sulawesi Tengah. Karya-karyanya berupa puisi, cerpen, essay dan artikel tersebar pada Untaian Mutiara RRI Nusantara, Banjarbaru Post, Banjarmasin Post, Radar Banjarmasin, Buletin Sloka Tepian, waTas Media, Buletin Rumah Sastra Bandung, Tabloid Realitas, Rakat Media, Buletin Aliance BenKilTra, Sinar Harapan, Republika, Suara Karya, Sinar Kalimantan, Radar Sulteng, Mercusuar, Media Alkhairat, Buletin Hysteria, Majalah Sastra Horison .

Sering mengikuti dan membuat diskusi, apresiasi dan event bertajuk sastra. Diundang pada Kongres Komunitas Sastra Indonesia di Kudus, 2008. Mengikuti Pertemuan Literasi Indonesia Oleh Ode Kampung, Rumah Dunia di Serang Banten pada Desember 2008. Menghadiri Temu Sastrawan Indonesia II di Pangkalpinang (Kepulauan Bangka Belitung) 2009 dan Temu Sastrawan Indonesia III di Tanjungpinang (Kepulauan Riau) 2010. Tahun 2007 menjadi peserta MASTERA (Majelis Sastra se-Asia Tenggara): Puisi.

Sajak-sajaknya bisa ditemukan dalam bunga rampai: Narasi Matahari (KSBK:2002), Notasi Kota 24 Jam (KSBK:2003), Bulan di Telan Kutu (KSBK:2004), Bumi Menggerutu (KSBK:2005), DIMENSI (KSSB:2005), Ragam Sunyi Jejak Tsunami (Medan, 2005), Melayat Langit (KSBK:2006), Rahasia Sedih Tak Bersebab (Pan.Aruh Sastra:2006), Seribu Sungai Paris Barantai (Pan.Aruh Sastra:2006), 142 Penyair Nusantara Menuju Bulan (KSSB:2007), Kugadaikan Luka (KSBK:2007), Antologi Penyair Kontemporer Indonesia Antologi Puisi Dwi Bahasa: Indonesia dan Mandarin (Perhimpunan Penulis Yin Hua, Jakarta:2007), Malaikat Hutan Bakau (KSBK:2008), Tarian Cahaya Di Bumi Sanggam (Pan.Aruh Sastra:2008), Wajah Deportan (Pusat Bahasa, Jakarta:2009), Menggoda Kehidupan (KSBK:2009), Pedas Lada Pasir Kuarsa (TSI II, Bangka Belitung:2009), Do’a Pelangi Di Tahun Emas (Pan.Aruh Sastra:2009), Kaos Hitam Cinta, Antologi Puisi Penyair Perempuan Indonesia Mutakhir (Masyarakat Sastra Jakarta:2009), Nyanyian Pulau-Pulau Wanita Penulis Indonesia (Yayasan Obor Indonesia:2010), Berjalan Ke Utara In Memoriam Moh. Wan Anwar (Magma, Bandung: 2010), Beranda Senja (Kosa Kata Kita, Jakarta: 2010), Percakapan Lingua Franca (TSI III, Tanjungpinang–Kepulauan Riau) dan Menulis Dalam Gelap: Blogger di balik Sampul (Komunitas Blogger Kayuh Baimbai: 2010).

Cerpen-cerpennya terdapat dalam antologi: Bunga Penyejuk Hati (2007) dan Tanpa Nyanyian (TahuraMedia:2008). Manuskrip pribadi: Si Lajang (2002) dan Tragedi 3 November (2003). Di perpuisian bersama kawan-kawan ikut mendirikan Komunitas Teras Puitika dan AUK. Alamat Jalan Tanderante No. 30 RT01/05 Kel. Kabonena Palu Barat Sulteng 94228. Weblog: http://hudannur.blogspot.com Email hudan.nur@gmail.com
***

Sajak- sajak Bunyamin F. Syarifudin
Bersandar Pada Senja

bersandar pada senja
sahaya terpukau dengan
selendang pelangi yang kau kenakan

bersandar pada senja
sahaya berkirim salam
padamu yang selalu membayang

"assalamualaikum ya rahiim",
dan ku titikkan di Qalb!

2010



Kita Berdua Duduk; Tiba-tiba Kau Bertanya

Kita berdua duduk
Tiba-tiba kau bertanya tentang Ia
Aku bilang ada, kau bilang hilang
Aku bilang di nadi, kau bilang tak berdetak

Aku bilang, ”mari kita menghela nafas dulu.”
Kau malah terengah-engah, tak sabaran
Aku bilang, ”mari kita memesan riak air untuk rasa haus kita.”
Kau malah mengeringkan kerongkongan

Aku memesan adzan yang bersembunyi di mushola-mushola
Kau memesan rintik hujan yang mengiris pelangi
Aku memesan malam yang dirindu para Molana
Kau memesan lembayung yang memerah dan bertanduk

Aku makan wafak-wafak pelipur rindu
Kau jalin huruf-huruf menjadi sihir

Kita berdua duduk
Pada sepi yang purba
Aku bilang, “mari kita cari rumah Ia, di Qalbu!”

;kau tertidur lelap

2010



Pertemuan

Menasbihkan namamu
Seperti api yang membakar air
Meluap-luap
tak terbatas

Mencintai namamu
seperti air yang merindu alir
mula-mula masuk tanah
diisap akar lalu diserap pembuluh dan urat-urat
menjadilah reranting,
dedaun dan bebunga

Namamu adalah waktu
Yang menopang bebatang dari hembus angin
Tegak tak bersandar

Dalam namamu
Kulihat namaku

Hilang!

2010



Dalam Hujan

dalam Hujan, ku pasrahkan doa-doa
bersama riciknya yang mengalir ke selokan,
ke sawah-sawah, lalu ke tempat-tempat yang menanti basah

mungkin besok; padi-padi dan bunga-bunga
serta cakrawala akan merekah
juga burung-burung dan kupu-kupu serta malaikat;
akan mengibaskan sayap-sayapnya pada cuaca yang mengabut

dalam Hujan, yang tetap terisak,
ku pasrahkan segalanya
pada yang Tak Terhingga

Hu!

2010

BUNYAMIN F. SYARIFUDIN (Beni), lahir di Tasikmalaya, 16 November 1978. Alumnus IAIN (UIN) SGD Bandung. Puisi dan esainya pernah dimuat di Pikiran Rakyat, Kompas Jabar, Majalah Suaka, Majalah Seni Budaya, Buletin Grandis, Wacana Publik, Situseni, Sasaka. Puisinya terkumpul dalam antologi bersama “Metamorfosa” Komunitas Siraru 2003, ”Ziarah Kata” Majelis Sastra Bandung 2010, antologi puisi dan cerpen ”Bersama Gerimis” Majelis Sastra Bandung 2011.

Jumat, 27 Mei 2011

Perjalanan Menuju Cahaya

Geger Riyanto
http://suaramerdeka.com/

ASPAL kelabu dihujani cahaya matahari yang begitu terik. Sebuah sedan melaju kencang. Dari dalam mobil itu aku berpikir, seandainya jalanan ini adalah dagingku mungkin sakit yang kualami pun tak akan sehebat ini. Akan kuceritakan semuanya dari awal. Mungkin hidupku akan berakhir ketika jalan tol ini berakhir. Jadi dengarkanlah ini baik-baik.

Dunia ini dipenuhi dengan zombi. Hanya, mereka amat cakap dalam menyamarkan diri. Kulit mereka tidak pucat seperti yang dikisahkan film-film televisi kepada kita. Mereka berkulit sawo matang seperti manusia biasa, tentu saja berkat sentuhan kosmetik. Tubuh mereka tidak bermandi bau amis kembang melati, bahkan ketiak mereka pun tak berbau. Tentu itu berkat sentuhan dari produk kosmetik modern lain. Tak terhitung hal yang dapat kuceritakan tentang zombi, tetapi yang ingin kuceritakan di sisa hidupku ini adalah tentang pertarunganku untuk mempertahankan kemanusiaanku dan juga menjadikan mereka manusia.

Tak seperti vampir yang menggigit leher manusia untuk menjadikan korbannya bagian dari kelompoknya, zombi memulainya dengan membuat kami mabuk cinta terhadapnya. Setelah itu, perlahan si manusia kehilangan hawa kehidupannya, hingga akhirnya, menjadi zombi seutuhnya. Aku tahu semua tentang zombi, karenanya aku sungguh merasa ada yang salah dengan diriku. Benar-benar salah. Mengapa lonceng-lonceng berdentang dalam diriku ketika satu zombi menempelkan mulutnya, yang menyimpan taring-taring penghisap kehidupan, di daun bibirku?

Awalnya hanyalah hari-hari yang seperti biasa. Aku menginjakkan kaki di tempat baru bersama sejumlah kolega kerja. Perusahaan memintaku untuk meneliti apakah desa-desa di pedalaman merupakan pasar yang potensial untuk jasa internet kami. Di tempat kerjaku, separo dari seluruh pekerja adalah zombi. Maka jangan heran, tiga dari empat rekan kerja yang kubawa ke tempat ini adalah makhluk yang tak punya jiwa. Namun, syukurlah, keluarga pemegang saham perusahaan adalah manusia, sehingga yang ditempatkan sebagai kepala-kepala pelaksana perusahaan ini adalah manusia —termasuk diriku. Maka aku bisa mengatakan bahwa perusahaan kami adalah perusahaan manusia. Zombi hanya ban berjalan yang kami injak untuk mencapai tujuan.

Sebagai kepala divisi lapangan, aku sudah terbiasa bekerja dengan tubuh-tubuh tak berjiwa itu. Prinsipnya, jangan terlalu banyak berbicara dengan mereka kecuali yang berkait­an dengan pekerjaan. Untuk itu, kuanggap saja mereka tak memiliki wajah manusia. Kubayangkan mereka bermuka ikan, berminyak dan tak sedap untuk dipandang.

Di antara para muka ikan ini, ada seorang wanita yang menonjol. Beberapa kali aku mengutusnya ke lapangan, dan kawan-kawan mengakui bahwa ia adalah pekerja yang ulet dan tangkas. Tak seperti wanita-wanita yang khawatir kukunya menjadi gundul, ia dapat berlakon sebagaimana seorang petani atau buruh untuk mendapatkan data dari masyarakat yang kami teliti. Mestilah kuakui, ia adalah ujung tombak perusahaan kami di lapangan.

Namanya Maria, seperti nama manusia. Sayang, dia bukan manusia. Jabatannya tidak akan pernah naik. Namun aku sendiri sebenarnya tak dapat menerima bila seorang kepala lapangan kalah kemampuannya darinya. Tak adil rasanya aku diangkat menjadi kepala karena aku manusia, walau memang mesti demikian keadaannya demi menjaga kemanu­sia­an. Tetapi setidaknya aku bisa membuatnya adil dengan membuktikan bahwa aku lebih baik darinya. Saat itu api bergolak dari antara rusukku, aku ingin mengalahkannya.
***

PADA hari ketiga, Maria telah akrab dengan sebagian warga desa. Kulitnya yang sawo matang kelam, pakaiannya yang sederhana dan lusuh, rambut ikalnya yang hanya disisir seadanya, kerap mataku tak bisa membedakan dirinya dari warga desa itu. Dengan bahasa daerah mereka, Maria selalu memulai pembicaraan dengan pertanyaan apa kabar, apa kabar keluarga, bagaimana keadaan. Lalu ia masuk ke pembicaraan bernada pesimis tentang perlakuan para tengkulak terhadap mereka dan tidak adanya perlindungan pemerintah terhadap harga komoditas yang mereka tanam.

Kata Maria kepadaku, dengan upaya itu ia berusaha menyetel frekuensi diri yang sama dengan warga desa agar bisa meluluhkan din­ding­ mereka. Orang desa mempunyai dinding yang tak terlihat, ujarnya, mereka bisa mengatakan ”iya” tapi bergumam ”tidak” pada saat yang sama. Dengan begini, pada kemudian hari ketika kita kembali, barangkali, kita dapat menawarkan jasa yang berguna bagi mereka dan mereka menganggap kita sebagai jalan keluar dari persoalan hidup mereka. Tiga hari dan aku telah dilewati begitu jauh.

Hari itu aku memutuskan untuk menda­tangi­ petinggi adat desa ini, bukan kepala desa yang selama tiga hari berturut-turut ini ditemui Maria. Barangkali Maria belum tahu tentang sang figur ini, dan juga tentang bagaimana desa memiliki kedekatan kepada petinggi adat melebihi kedekatan pada kepala desa. Dengan ini aku bisa mengambil informasi penting melampaui informasi yang telah didapat wanita ulet tersebut.

Udara sore yang sejuk menyeka kulitku saat aku mendatangi kediaman sang petinggi adat. Pagi tadi aku telah mendatangi kediamannya, sang tetua tak ada. Sedang di ladang katanya. Sore itu kembali kuketuk pintunya. Ibu rumah ini keluar menyalamiku, lalu meng­antarku ke pekarangan belakang. Di sana, mataku menjumpai seorang tua sedang duduk di atas tembok setinggi pinggang —yang membatasi kediamannya dengan rerumputan menurun yang berujung pada sungai serta bebatuan kokoh. Saat melihatku, ia langsung melepas cangklong dari mulutnya. Kami bertegur sapa. Aku mencoba beramah tamah, tetapi gayaku tetap tak bisa seluwes Maria.

Tiba-tiba Bapak Kamanto, sang petinggi adat itu berujar, ”Aku sudah melihat Anda memang bakal datang.”

”Maksud Bapak?”

”Sudah kulihat sepasang muda-mudi dari kota hari ini bakal datang ke rumahku. Tadi, sebelum Mas, aku didatangi istri Mas. Mas tidak dikasih tahu?”

”Siapa?”

Aku bertanya dan Bapak Kamanto menjelaskan karakteristiknya. Ternyata Maria. Ternyata ia telah datang kemari. Didahului, jujur, aku terpukul.

”Bukan istrimu?”

”Bukan, Pak.”

”Tapi percayalah kepada saya, kalian cocok sekali.”

Malam harinya menjadi malam yang sama sekali tidak biasa. Aku bersama tim sedang menyusun dan merapikan data yang kudapat. Di dekatku ada Maria, dan mataku entah mengapa selalu tergoda untuk melintasinya. Dan setiap kali mataku menyapanya, matanya selalu menyapaku balik. Setiap kali itu terjadi, aku, sepertinya dengan kikuk, langsung meng­alihkan pandanganku ke tempat lain. Percakapan kikuk antara mataku dengan matanya begitu sunyi, tak satu pun rekan kami menyadarinya.

Ketika aku menanti tidur di kamarku yang sepi, aku baru sadar bahwa Maria ternyata kerap memperhatikanku. Mengapa? Apa yang dipikirkannya tentang diriku?
***

BEBERAPA malam setelahnya, hujan deras mengguyur desa. Kupikir ini tak menandai apa-apa, hanya menandai musim kemarau yang sebentar lagi berakhir. Rintikan hujan yang berdebur dengan atap menjadi alun­an musik yang mengiringi kami mengerjakan rutinitas merapikan data. Salah satu dari seorang rekan di tengah kami mengangkat teleponnya. Matanya tiba-tiba saja terbelalak.

”Sebentar, saya akan segera menjemput!”

”Ada apa?” tanyaku.

Ia lalu menjelaskan, Maria tergelincir di lembah tepi desa dan kakinya terkilir tak bisa bergerak.

”Aku yang akan menjemputnya!”

”Tapi Pak, biar saya saja...”

Aku tak mendengarnya lagi. Aku telah melangkah keluar kamar, mencari jas hujan dan payung.

Hujan yang sebelumnya menjadi irama merdu saat itu membentuk jarum-jarum air yang merajam wajahku. Aku benar-benar tak berpikir apa-apa saat tadi mengambil langkah keluar kamar. Beberapa hari itu aku merasa sangat kacau. Saat Maria berangkat ke lapangan untuk mengambil data, aku merasa ditinggalkan sendirian. Aku kerap meneleponnya dari lokasi yang mungkin hanya terpisah beberapa ratus meter, untuk menanyakan bagaimana pekerjaannya —pertanyaan basa-basi.

Aku melihatnya. Maria terduduk dan berlindung di bawah pohon. Pakaiannya melekat erat di kulitnya yang bergetar, menggigil hebat. Dedaunan yang rimbun di atasnya tak mampu menahan hujan deras yang mengguyur. Aku mendekatinya, ia melihatku.

”Kenapa Bapak yang datang?”

Aku langsung melempar jas hujan yang kupakai dan payungku ke tangannya.

”Pakai!”

Langsung kugendong tubuhnya yang seperti bola air. Ia tak memakai jas hujan yang kuberikan, tetapi dibentangkannya di atas kami sehingga hujan tak mengguyur kami habis-habisan. Air mulai merembes ke pakaianku, sedikit demi sedikit merubah pakaianku menjadi genangan es yang merajam kulit. Dalam kedinginan yang mulai mengulitiku, Maria yang bergeming di punggungku tiba-tiba memancarkan kehangatan.

Beberapa saat berlalu, langkah-langkahku sudah tak digerakkan oleh kesadaran. Aku ingin berpikir bahwa aku hanya sedang menolong rekan sekerja, tetapi saat itu aku tak berdaya mengendalikan kesadaranku sendiri. Kesadaranku dipeluk oleh kehangatan yang bernaung di punggungku. Garis-garis dadanya yang lembut melintang di punggungku yang hampir tak pernah disentuh orang lain. Hasratku bangkit, tetapi tak sebanding dengan perasaan lain terhadap keberadaan yang menemaniku ini. Debur hujan yang seakan dapat menyobek batu tak bisa menembus telingaku lagi. Kepalaku penuh. Tubuhku penuh. Diriku penuh. Dengan apa? Siapa?

”Maria...”
”Ya?”
”Ah... tidak, bukan apa-apa.”
***

ENTAH sudah berapa sore berlalu sejak peristiwa di desa itu, aku tak pernah menghitungnya. Entah sudah berapa kecup dan peluk telah kami lalui sebelum aku kembali waras dan menyadari bahwa ini adalah sesuatu yang tidak benar. Sore itu aku mendatangi pendetaku di rumahnya. Kupikir, ia pasti tahu jalan keluarnya, . dia yang dapat dan sepantasnya mencabut nafsu yang tersesat jauh ke dalam tubuhku ini. Pak Pendeta adalah yang pertama kali membuka mata kami bahwa kami hidup dikelilingi zombi.
Di ruang tamunya, aku disambut Pak Pendeta dengan kue.

”Silakan langsung disantap,” ujarnya.

Di atas lidahku, kue itu mencair kembali menjadi telur, susu, dan terigu yang manis rasanya. Lidahku terbalut dengan rasa manis, tetapi tidak dengan wajahku yang selalu kuselimuti dengan senyuman kecil memaksa. Dengan wajah yang simpatik, Pendeta langsung bertanya, ada masalah apa? Barangkali, ia sengaja menyajikan sepiring kemanisan untuk meraba kedalaman persoalanku. Maka, kuceritakan.

Awalnya, kupikir ia akan murka. Tetapi ternyata ia tak menurunkan pandangan simpatiknya.

”Dia bisa disembuhkan, Saudaraku.”

”Bagaimana caranya Pak Pendeta?” balas­ku dengan spontan.

Sebentar kemudian aku menyadari nada bicaraku tidak sopan, seperti teriakan anak kecil yang membuncah karena kegembiraan.

”Maaf...Pak...”

”Tak apa... Tak sulit, mereka harus bersedia dibaptis dan mengaku percaya,” ujar Sang Pendeta, ”tetapi...pahami juga risikonya.”

”Saya paham risikonya, Pak. Saya akan berdiri tegar, tidak takluk.”

Aku merasa ada yang salah dengan ucap­anku yang terlalu terbawa semangat. Aku merasa senyum yang dilemparkan Pak Pendeta untuk mengantar kepulanganku menyimpan sesuatu. Apakah di balik senyumnya ia mengatakan, jangan terlalu percaya diri, hai, seseorang yang terjatuh di lubang yang menganga begitu lebar?
***

”AYOLAH, Maria.”
”Maaf Sayang, sudah kukatakan berkali-kali, orang tuaku mungkin berubah...”
Aku membenci mereka. Tidak, aku... ”sangat”... membenci mereka. Aku belum pernah merasakan ini, sebilah pisau panas merayap di kedalamanku, mengoyak-ngoyak dada dan kerongkonganku. Jikalau bukan karena mereka, Maria sudah menjadi manusia dan kami sudah bersatu.

Maria dipaksa mereka untuk keluar dari perusahaan karena aku menjabat kepala bagian di sana. Maria menjelaskan dengan pertimbangan-pertimbangan yang sangat jelas, dirinya terikat kontrak, dirinya perlu ikut menyokong keluarga, dirinya perlu menutup karirnya di tempat ini dengan catatan yang baik agar menjadi preseden baik di tempat kerja selanjutnya, tetapi mereka menutup telinganya. Mereka mengintimidasi Maria dengan cara-cara yang menurut mereka elegan, seperti mengajaknya ikut dalam ritual untuk mendoakannya agar dijauhkan dari yang jahat. Maria bilang, entah sejak kapan, ia merasa dinding kamarnya menjadi dinding antara dua dunia yang berbeda. Ia merasa dinding kamarnya itu melindunginya.

Malam itu, Maria datang ke rumahku dengan membawa isak. Isak yang terdengar seperti bunyi benang-benang di dalam lehernya teriris-iris belati. Ia menamparku, lalu memelukku, lalu menggigitku, lalu kembali terisak-isak, tanpa sempat menuturkan sepatah kata. Tetapi yang sebenarnya menamparku adalah, wanita yang tak pernah kehilangan ketenangannya itu akhirnya kehilangan dirinya. Beberapa saat kemudian, kata-kata mulai bisa menerabas rerimbunan tangisnya, untuk menyalurkan kepedihannya kepadaku.

Awalnya adalah makan malam bersama keluarga besar Ayah Maria.

”Kakek... tidak sabar nimang cicit... kapan... Maria nikah?” ujar Kakek Maria dengan tutur yang renta dan terpatah-patah.

Maria menundukkan pandangan ke arah nasinya, seolah tidak mendengar suara Kakek yang pelan dan tertutupi denting piring, sendok dan garpu.

”Sabar, Pak. Bapak kan tidak mau punya cucu yang lahir tanpa tangan atau tanpa kaki,” sahut Bapak Maria.

”Maksud kamu...?”

”Bapak dulu kan selalu bilang, anak akan utuh hanya apabila diajarkan beriman dengan sebaik-baiknya.”

Lalu piring kembali berdenting mengganti kata-kata, tetapi mata seluruh keluarga saat itu bergulir merajam Maria. Perempuan itu hanya bisa menunduk, seperti terhukum rajam yang memunggungi batu-batu untuk mengurangi sakitósebelum mati.

”Maria, kakekmu sudah tua...tolong, mengertilah,” ujar Ibu Maria memecah keheningan.

”Sudahlah, Bu. Ia pasti bergumam, bagaimana aku mau memaklumi Ibu kalau Ibu tak mau memaklumi kesenanganku berbuat salah,” timpal Sang Ayah.

Beberapa detik itu, Maria berpikir, betapapun seorang anak terbukti bersalah sang ibu tak akan membiarkan sang ayah merajam anaknya di depan keluarga besarnya, seperti sebuah tontonan. Tetapi selama beberapa jam berikutnya ibunya hanya bergeming, membiarkan sang ayah bersama saudara-saudari lainnya menambatkan berbilah-bilah pendapat yang menguliti hati Maria. Di bawah dagin dan kulitnya, wanita yang tegar itu meraung. Dalam lautan raungan, aku tahu Maria ingin membenci mereka seperti aku membenci mereka, tetapi dirinya tak mengizinkannya untuk merasa demikian. Ia hanya bisa melampiaskannya dengan memutus daging asing yang menjalar di tubuh keluarga besarnya... aku.
***

KACA di belakangku berdebam kencang. Pukulan-pukulan membentur kaca yang membatasi antara kursi depan dan kursi belakang mobil ini. Seorang lelaki paro baya meraung, mengutuk, dan mengancam dari kursi belakang, seraya terus menghajar jendela yang memisahkan aku dan dia sekuat tenaga. Seorang wanita paro baya mencoba mengajak bernegosiasi, tetapi air mata dan kepanikan terlihat jelas menanti di balik kantung mata.

Aku tidak membenci mereka lagi. Bermalam-malam aku meledakkan diriku dengan kebencian, hingga akhirnya aku menyadari bahwa apa yang perlu aku lakukan hanyalah membuat mereka mengakui bahwa diri mereka adalah zombi dan menuturkan keinginan untuk menjadi manusia. Aku hanya mengancam? Aku serius, papan dan palang peringatan telah aku terobos. Tetapi mereka tak kunjung menjawab, mulut mereka hanya mengeluarkan kata-kata yang meledak-ledak seakan lidah mereka sedang terbakar. Ah...terlambat...lihatlah pupilku mencerminkan jembatan buntung yang menganga tak jauh di depan mobil ini. Biarlah.

Maria... tak akan ada lagi beban yang menghalaumu untuk menjadi manusia. Sampai jumpa lagi. Aku mencintaimu.

Depok, Februari-Agustus 2009

Aku Ingin Menerkam Tetanggaku!

Dorothea Rosa Herliany
http://suaramerdeka.com/

INI bukanlah sesuatu yang disesali. Tiba-tiba saja ia merasa seperti ada macan dari dalam tubuhnya. Perutnya minta daging, mulutnya haus darah, dadanya gemuruh, berdentam, bergendam, ingin menyergap, ingin mencerkam, mendera, mencabik, mencakar...Itulah perasaannya setiap kali bertemu lelaki yang menempati beberapa langkah di seberang tempat tinggalnya. Saat ini ia tinggal di sebuah studio yang sekaligus dijadikannya rumahnya —sebuah tempat yang boleh ditinggali untuk waktu selama beberapa bulan. Perasaan itu datang tiba-tiba saja. Rasanya ingin melakukan sesuatu kepada laki-laki itu.

Padahal lelaki itu tak begitu dikenalnya. Dari riwayat hidupnya, yang ia baca di media virtual, lelaki berkulit terang itu adalah seorang wartawan dari negeri berpenduduk terbanyak di dunia. Seorang lelaki yang baik. Ia satu dari sekian korban yang selamat dari pembantaian massal pada sebuah waktu yang mengenaskan di tempat yang memilukan. Ia dipenjara dua tahun delapan bulan. Enam giginya rontok. Tangan kanannya lumpuh. Ia alami ”vaksinansi” di penjara: polisi memasukkan kepinding di luka setiap napi. Kepinding itu akan mengubah luka jadi tomat, merah, gendut dan gembur penuh darah! Setelah peristiwa itu, ia masih dinistakan. Ia kehilangan identitas. Namanya tak boleh muncul sampai waktu lama. Dan ketika akhirnya bisa muncul, namanya ditulis dengan salah. Ini jelas melanggar taboo nenek moyang yang mengatakan: apa pun yang terjadi, nama tak boleh tak ada atau diubah. Yeach! Ia dianggap pelawan rezim. Virus yang harus dimusnahkan. Namun ia tak gentar. Dengan berbagai cara, berkejaran dengan polisi, ia terus menulis, mengkritik, berbicara di pertemuan-pertemuan, sampai suaranya terdengar hingga ke luar negeri, ke publik internasional.

Lelaki ini sebetulnya sama statusnya dengan dirinya. Sama-sama tamu yang dibolehkan menumpang beberapa waktu di sebuah negeri yang memiliki banyak filsuf itu. Lelaki itu menempati sebuah rumah. Ya rumah, bukan studio seperti yang dimilikinya. Rumah itu ada di halaman yang sama dengan studionya. Lelaki ini berperut buncit. Lehernya menyatu dengan dagu. Wajahnya dingin dan kaku. Rambutnya lurus sebahu. Dirinya sendiri jadi tampak kecil dibanding lelaki gendut gondrong itu. Walau begitu, ia simpan dalam-dalam semacam perasaan kesumat yang ada dalam dirinya itu. Ia simpan hati-hati, bahkan seperti memeliharanya diam-diam. Ini hasrat purba, pikirnya, biar saja ada.

Di kebun belakang studionya, ada seekor kuda. Ada juga sederet pohon walnut hitam dengan burung-burung kecil yang selalu berkicau-kicau. Macan dalam dirinya ia bayangkan seperti si kuda yang dilihatnya di belakang rumahnya itu. Ia pelihara binatang itu: dileus-elusnya saban waktu.

Entahlah mengapa perasaannya pada lelaki yang tak begitu dikenalnya itu seperti itu. Namun ia sendiri seperti punya ingatan akan sesuatu yang lama dulu...ada memori di kepalanya yang dulu hanya tersimpan di satu bagian tertentu dalam otaknya saat ini tiba-tiba muncul. Tapi, ini mungkin tak penting. Ia lebih sering memikirkan lelaki itu. Ia justru ingin bertemu lagi. Ia ingin memiliki perasaan itu lagi: menjadi liar, ingin menghunjam, ingin meledak...

Suatu siang, ia masuk ke ruang perpustakaan yang biasa dipakai berbagi untuk semua penghuni selingkung rumah itu. Tiba-tiba saja, lelaki itu muncul dari dalam rumah dia sendiri. Rambutnya sebagian menutup matanya. Lelaki itu melihatnya, lalu satu tangannya melambai padanya. Tangan ini saja yang tampak ramah sebab rautnya mukanya tetap saja dingin. Rokok tak beranjak dari mulutnya. Setelah itu, tangannya masuk saku celana, menahan dingin udara luar. Ahhh, perasaan dalam dirinya itu benarlah sekarang muncul lagi: perutnya kaku, nyeri, lapar haus, ingatannya melayang, tenggorokannya ngilu dan perasaannya meluap-luap ingin mencelakai lelaki itu...

”Hei!” kata si lelaki dari kaca jendela perpustakaan. Tapi ini hanya mulutnya saja yang seperti mengucap kata ”hei” itu, suaranya sendiri tak ada. Lelaki ini maju beberapa langkah ke arahnya, seperti sedang ingin bersikap lebih akrab. Namun hanya begitu saja. Ia tetap di luar perpustakaan itu, menikmati rokok yang diisapnya itu. Hemat kata betul lelaki ini. Dan wajahnya juga tetap dingin-dingin saja.

Ia tak membalas ucapan lelaki ”hei” itu. Namun ia menyumpah-nyumpah dalam hati, mengapa ia tak mampu bersikap biasa saja. Memang sesungguhnya ia sedang menikmati perasaan tak nyaman itu. Perasaan yang mengaduk-aduk emosinya itu. Namun sebagaimana binatang macan yang selalu tampak tenang, ia juga menenang-nenangkan gemerutuk yang menggerogoti tubuhnya. Ia sembunyikan perasaannya yang sebenarnya jauh-jauh. Padahal ia tengah mengincar mangsanya itu. Kini malahan tambah ada sepercik api di dalam dadanya.

2

SEPERTI tadi sudah kuceritakan, peristiwa kecil ketika si lelaki menyapanya dengan ”hei” itu, diingat dan dipeliharanya terus gejolaknya. Bukan soal pertemuannya. Namun ya perasaan tak nyaman itu. Setiap kali ia sudah kembali normal, ia malahan mengingat-ingat pertemuan kecil siang itu...maka perutnya kembali mual, perasaan benci yang tanpa sebab kembali datang. Sejak itu, ia mulai melihat-lihat peralatan di dapurnya. Apa saja benda tajam yang ada di rumah ini. Ada pisau beberapa jenis, untuk iris roti, iris daging, iris keju, iris wortel...huh tak ada yang cocok untuk iris sesuatu yang lebih kenyal dan keras!

Kini dadanya berdebar setiap kali berada di dapur. Jika tiba saat harus melakukan sesuatu di dapur untuk dimakan, ia jadi gugup dan gemetar. Gelas atau piring hampir saja jatuh karena tangannya memegang benda-benda itu dengan gemetar. Saat waktu minum teh tiba, ia lebih suka duduk di kursi yang di depannya ada kacanya. Sebab dari situ ia bisa langsung mengawasi rumah depan. Matanya mencari-cari, atau tepatnya menunggu-nunggu kalau-kalau lelaki itu muncul? Kemarin pagi si yang dinanti itu muncul, hanya kepalanya saja, membuka jendela kamar atas ruang tidurnya. Sebentar saja karena sepertinya ia segera turun, mungkin ke dapur atau kamar mandi. Tapi heran, hal itu itu sudah membuatnya ”senang”. Ah, senang? Benarkah? Yang jelas, ada struktur di syaraf otaknya yang bekerja lebih aktif dari sebelumnya.

3

DI sebuah hari minggu yang dirayakan lebih istimewa dari hari lainnya, ia bermaksud pergi ke sebuah rumah ibadah. Saat ia berjalan, beberapa ratus meter di depan dirinya, ia lihat lelaki itu juga berjalan ke arah yang sama dengan dirinya. Menuju ke kota bawah. Tempat mereka tinggal memang di sebuah daerah di atas bukit yang terpencil. Jika mereka ingin melakukan sesuatu atau membutuhkan suatu barang, mereka harus turun. Ia percepat langkah kakinya agar lebih dekat dengan lelaki itu. Padahal, makin dekat, perutnya seperti makin melilit-lilit saja. Haus sekali, lapar sekali. Daging. Darah. Tapi itu semua seperti ia abaikan saja. Sebab ia sedang konsentrasi mempercepat langkah kaki agar lebih segera sampai ke lelaki itu.

”Hei,” sapanya ketika sudah tiba persis di serong samping belakang si laki-laki.

Lelaki itu menoleh dan melihat ke arah dia. Tatapan matanya dingin tanpa ekspresi. Seperti biasa. Bajunya agak aneh kali ini. Biasanya, di berbagai cuaca, ia selalu setia dengan biru putih. Kadang jins biru dipadu dengan kemeja atau kaos putih. Kadang di balik, jins putih dengan kaos atau kemeja biru. Itu sudah menjadi seragamnya saban waktu. Aneh kali ini, ia mengenakan kemeja hitam dan jins hitam. Dan...oh rupanya si putih dan biru ada di topinya! Ia mengenakan topi dua warna, bawah biru dan putih di atasnya. Dan rupanya si biru putih itu berasal dari jin. Ya dari bahan celana yang biasa dipakainya selama ini! Apakah ia menyobek celana-celananya? Belum sempat ia memeriksa apa yang terjadi dengan perut atau debar dadanya, huh, ia malah terpancing pada sang topi! Topi itu terbuka di bagian atasnya. Mamamia!

”Topi. Terbuka. Yang Kuasa,” ujar lelaki itu tanpa ditanya, juga tiada menoleh ke yang diajak bicara. Manusia hemat kata.
Ia terbengong. Namun sebaliknya (dan sekaligus), macan dalam dirinya datang lagi. Mengaum-aum, menggeram-geram, mengendus. Mangsa sudah dekat.
Perutnya bergolak. (Ia lalu hentikan langkah).
Lelaki itu tak menghiraukan dan meneruskan perjalanan begitu saja.
Perutnya pedih. (Isi perutnya mendesak-desak minta keluar).
Perutnya mual. (Dadanya naik turun, kepala berkunang-kunang).
Perutnya seperti ada yang memompa dari dalam.
Ia lalu lari ke arah semak belukar. (Di sana, ia muntah-muntah).
Entahlah, apakah ini melanggar kebersihan di negeri ini. Ia tak sempat berpikir soal itu. Perutnya benar-benar kosong kini. Lidahnya terasa jadi pahit.

4
MALAMNYA, ia sedang duduk tepekur di kursi yang biasa untuk minum teh. Pikirannya kosong saja. Jendela berkaca itu sudah dia tutup tirainya. Tiba-tiba, lamat-lamat, ia dengar ada suara dari rumah di depan studionya. Suara pintu rumah dibuka. Lalu langkah kaki mendekat ke studionya. Lalu...tuk tuk tuk...Seseorang itu tiba-tiba saja sudah mengetuk pintu kaca studionya. Ia kaget, meski semua itu dari tadi sudah diamatinya.

Pintu dibukanya. Ini spontan saja menghormati tamu. Deg! Wajah lelaki, tetangga serumahnya itu muncul di depannya. Ya ia lelaki yang selama ini selalu dipikirkannya itu. Lalu...tanpa ba bi bu, kedua tangan lelaki itu tiba-tiba saja sudah memegang lehernya! Ia terpana. Pegangan itu makin lama makin kuat...sampai ia tak bisa bernapas!!! Tapi akhirnya lelaki itu melepaskannya begitu saja. Begitu saja...Lalu ia pergi. Juga hanya begitu saja. Balik kembali ke rumah dia sendiri. Santai meninggalkannya. Sebuah peristiwa yang begitu saja.

5

PAGI cerah. Matahari muncul dengan warna merah jambu. Beda dari warna matahari di negerinya, merah jingga. Ah, ia jadi ingat di negerinya sendiri. Pagi begini adalah waktu untuk menanak nasi untuk suami, dan memasak sesuatu sederhana lainnya untuk pagi. Juga mengganti popok bayi, memandikan, menyusui bayi dan suami yang selalu marah-marah jika ia mendengar bayinya menangis tak henti. Ia sering mendapat tempeleng dan hajaran jika waktunya sedikit berlebih untuk si orok ketimbang melayani hasratnya seksual suaminya yang sering muncul pagi-pagi. Dan...beberapa kali sudah suaminya mencoba mencekiknya juga. Tak terhitung sudah...

6

TIBA-TIBA seseorang sudah ada di depan pintu studionya yang sengaja ia buka sejak tadi supaya hawa segar pagi masuk.
”Permisi. Perkenalkan, nama saya Elsebeth. Nyonya Elsebeth.”
”Oh!”
”Apa kabar? Anda dari mana? Saya tinggal di seberang rumah ini. Saya volunteer yang selalu menemani dan menjadi teman semua tamu-tamu yang datang ke rumah ini. Sudah bertahun-tahun beginilah saya. Ingat ya, Elsebeth nama saya. Kali ini selain Anda, ada tamu bernama a, b, c...mereka masing-masing berasal dari negeri a, b, c...”
Lalu satu-satu, ia menceritakan tentang tamu-tamu di rumah ini. Siapa yang sudah datang, siapa yang akan datang lagi. Juga tentang pemilik rumah ini yang adalah sahabat karibnya. Yang paling menarik, tentu saja bagian ketika nyonya ini menceritakan tentang si lelaki gondrong putih besar tinggi perokok dingin kaku hemat kata itu. Agaknya dia sudah beberapa bulan lalu tinggal di rumah ini.

”Dia seorang pemberontak, orang keras di negerinya. Ia sekaligus sedang mencari suaka di negeri ini. Sebagai pemberontak ia hero. Namun secara pribadi ia orang aneh. Dan untuk urusan pribadinya, ia sangat tertutup pada orang-orang di negerinya.”
”Oh!”
”Namun, ssstt, ia bisa terbuka dengan saya. Ia seperti bayi, Oh my baby,” kata ibu ini mengawang, suara berubah pelan seperti berbisik.
”Tanpa diketahui banyak orang, ia pernah menginap di penjara beberapa hari. Namun bukan karena tulisannya tapi karena ia disangka membunuh istrinya. Tapi peristiwa itu kontroversial. Tak ada bukti-bukti yang memberatkan. Ia bebas.”
”Istrinya baru saja melahirkan bayi ketika ia meninggal.”
”Bayinya masih beberapa bulan usianya.”
”Oh!”
”Istrinya depresi tak mampu layani hasrat seks-nya saban pagi yang seperti harimau.”
”Beberapa kali tanpa sadar ia mencekik istrinya sendiri.”
”Oh!”
”Istrinya mati mendadak.”
”Ia sedang menyusui bayinya.”
”Sementara itu, ia terus menulis dan membuat kritik tajam...”
”Istrinya adalah temannya semasa masih mahasiswa dulu. Dialah yang menyelamatkan jiwanya dalam pembantaian masal dulu itu.”
”Oh!”
”Istrinya yang waktu itu masih jadi pacarnya menyeret tubuhnya dan menyembunyikannya dari kejaran polisi.”
”Oh!”
”Ia lari dari peristiwa pribadinya yang berat itu dan kebetulan mendapat stipendium di rumah ini dan ia boleh tinggal di sini selama beberapa bulan dan mendapat beaya hidup juga.”
”Oh!”
”Selama di sini ia berubah khusyuk. Setiap pagi ia selalu pergi ke ‘rumah kesunyian’, tempat ibadah bagi sembarang agama. Pindah-pindah dari rumah yang satu ke rumah kesunyian yang lain-lain yang ada di beberapa kota di dekat sini.”
”Saya pernah bertemu dengannya di satu rumah kesunyian. Di dalam, ia ternyata hanya diam saja. Hanya duduk di kursi. Katanya, ia tak perlu apa-apa atau bagaimana-bagaimana. Katanya, otaknya sudah berkomunikasi langsung dengan Yang Kuasa. Makanya ia membuat topi dengan ujung atas terbuka...”
”Itulah...”
”Itulah...”
”Oh!”

7

SETELAH si tamu pulang, tiba-tiba seperti ada rangkaian baru dalam otak. Kini ia berada di antara ruang bayang dan ruang nyata. Termasuk pada peristiwa malam kemarin perihal lehernya itu. Ia tak yakin apakah itu nyata atau sesungguhnya tak nyata...tak nyata antara dirinya sendiri dengan mantan suaminya yang ia tinggalkan jauh di negerinya sana. Sekeping sejarah pahit. Sedang lelaki yang tinggal di depan studionya itu, bukankah ia bukan siapa-siapa? Semestinya ia baik-baik saja dengannya. Kini perutnya tak lagi berasa mau muntah. Perasaan ingin mencabik-cabik itu lenyap dan padam begitu saja. Si macan, yang baru tumbuh di tubuh, itu telah tak ada. Namun, sejak itu ia lantas juga jadi rajin pergi ke rumah-rumah kesunyian di kota kota lain di benua itu. Tapi bukan, bukan lelaki itu yang dicarinya, namun teror, teror di tubuhnya sendiri. Ia terus mencari...

rumah theodor, 2009

Sebuah Dongeng Pinjaman untuk Adji Sudjana

Dinar Rahayu
http://suaramerdeka.com/

Jika nanti kami memutuskan untuk turun menjadi hujan...kami akan menggelapkan
gelas anggur, kami akan mainkan dongeng tentang keabadian...
(Asli Erdogan-Tentang Keabadian)

I

KAWAN, ini jam kesekian dari hari kesekian tanggal sekian bulan sekian tahun sekian dan terima kasih kau masih bersamaku. Aku masih berjalan dan terus berjalan kawan, di tempat ini tak banyak yang bisa dilakukan kecuali berjalan, itu pun tentu kalau kau masih punya kaki. Dan kakimu tidak terluka. Atau kena tembak. Hidup, kawan, menyisakan pertanyaan, tapi aku lupa pertanyaan itu kawan. Tapi kau masih di sini ya. Kami bermalam di udara terbuka lagi. Setelah menggali parit perlindungan dan membuat pagar dan mengatur jadwal melek maka tak banyak lagi yang matanya terbuka selain yang disuruh melek. Percayalah kawan, tidak ada indah-indahnya embun yang mengumpul di wajah dan selimut kami. Jangan kau bikin indah cerita tentang embun. Dingin kawan, dingin. Menyebalkan. Berapa malam pun kau bermalam di udara terbuka, embun itu tetap dingin, bukan segar. Kuulangi bukan segar, melainkan di­ngin. Dan hujan pada pagi hari itu, ­gerimis di pagi buta itu, tidak menyisakan romantis kecuali kata: anjing.

Sebuah nasihat yang tak akan kusarankan untuk orang lain, apalagi dirimu kawan: berhenti mengeluh berhenti bertanya. Itu bisa kulakukan dengan morfin. Sisakan satu dosis untuk suatu saat nanti, simpan di liontinmu. Genggam kuat saat kau ketakutan. Saat kau terpaksa harus terdiam. Gila. Gila katamu, ya, Gila kau tahu Gila adalah sejenis kadal. Kadal Gila. Heloderma suspectum. Nanti kucarikan untukmu, akan kusimpan di dalam stoples bening kuberi label ‘’Gila’’. Berhenti bicara, kau gila. Ya. Ya. Ini bukan kenanganku. Ini bukan ingatanku. Ini bukan milikku.
Bangun. Bangun. Bangun. Bangun!!

II

GILGAMESH pernah mendatangi seseorang dan menanyakan mengapa mesti ada kematian, orang itu menjawab bahwa kematian sama diperlukannya seperti tidur. Cobalah melek terus-terusan.

Gilgamesh melek selama tujuh hari enam malam tapi begitu malam ketujuh datang ia terduduk langsung tidur. Tapi tidak mati. Saat itu ia tidak langsung mati, hanya tidur. Jadi apa maksud dongeng itu? Tidak ada, kecuali pemberitahuan bahwa kalau engkau melek terus-terusan begitu terduduk engkau akan tertidur. Seperti Gilgamesh. Tapi siapa sih Gilgamesh? Mengapa Gilgamesh tidur kok jadi berita. Seperti putri tidur saja, seperti Brynhilda yang tidur dijaga api abadi. Siapa pula Brynhilda? Sableng, orang tidur saja jadi berita...

Ayo berjalan lagi. Badai sudah berhenti...dan bisakah kali ini kau berjalan tanpa berbicara.

III

DEMAM. Engkau demam. Menceracau. Ayan. Epilepsi. Tidak. Tidak. Bukan itu. Ini karena aku punya kenangan milik orang lain. Bukan milikku. Siapa mau kenangan ini?
Kami kehabisan antibiotik. Ini ada morfin.

IV

TUHANLAH gembalaku tak takut aku melewati lembah kematian darinya kembali padanya.
Ambil anak di gendongannya.

V

CHARON ini kepeng untukmu.
Aku sudah tidak mengayuh perahu lagi. Aku sudah pensiun. Oh ya dan kepeng itu sudah tidak berlaku lagi di sini.
Jadi apa yang harus kulakukan?
Punya kepeng lain? Atau lembaran?
Tidak. Tidak. Hanya ini bekalku.
Bagaimana kau sampai ke sini?
Seekor ikan menelanku.
Ikan?

Entah. Naga mungkin. Atau capung. Mungkin juga kadal. Entahlah, apa perduliku. Kalau kau mau ambil perahumu untuk menyeberangkan aku, akan kuberitahu kau sebuah cerita.
Tidak. Tidak. Semua yang datang ke sini datang dengan cerita tentang hidupnya karena itulah aku pensiun. Semua bercerita tentang kehidupan tak seorang pun bercerita tentang kematian.

VI.

KATAKAN ini padanya:
Adji Sudjana. Nama anak itu. Kau pernah mengkhawatirkan ia bakal mati muda karena kelebihan dosis. Kau juga pernah membayangkannya ia akan bergelar tidak satu, dua, melainkan tiga atau empat yang diraihnya dari berbagai penjuru dunia. Tapi kita bukanlah peramal. Tak ada yang dapat mengatakan masa depan hanya dengan melihat bola kristal, sisa teh, sebaran tulang, atau garam. Begitu bukan?

Jadi biarlah semaumu saja bagaimana kau membayangkan dirinya kelak. Kini ia berdiri memandangi hujan. Kini ia dapat melihatmu walau ia tidak tahu yang mana dirimu karena saat kau memenuhi panggilan langit yang mendung dan turun sebagai hujan wajahmu sudah terhapus.

Lihat, kini kau jatuh di dahinya dan berjalan di sela rambut alisnya lalu kau mengumpul di sudut matanya. Hujan, hanya itu yang dapat dikatakan anak itu untuk menyebut namamu, nama-nama kami. Begitulah cara kami sampai di duniamu, Adji. Begitulah caraku menamaimu, Adji. Hujan yang kulihat di sepanjang jalan sejauh jangkauan pandangan mataku. Saujana.

Hujan di bulan Juni, kata si tua itu, adalah simbol keperkasaan dan keteguhan. Atau orang gagu. Atau sekarat. Tapi begitulah kami, bagaimana pun juga kami telah turun. Masuk ke sela-sela pasir. Merembes dan berjalan dengan satu tujuan; kembali ke laut. Semua berasal dari laut dan kembali ke laut. Hujan tidak sempat bilang cinta pada awan. Cinta tak kesampaian. Ada-ada saja si tua yang suka pinjam perahu kertas punya anak-anak itu.

Adji, kami turun untuk menceritakan sebuah dongeng tentang ke­abadian. Dengarlah suara itu karena kami pemilik keabadian. Kami rahasia semesta. Kami pendongeng. Kami mati muda untuk hidup selamanya.

Dan bila kau bertemu dengan si tua itu, Charon namanya, ceritakanlah ini. Hanya cerita ini yang mau ia dengarkan. Nanti ia akan menyeberangkanmu karena hanya kau yang tahu tentang kematian. Tanpa perlu kau melempar kepeng padanya. Tanpa perlu ia meminjam perahu.

Si tua itu akan bercerita sepanjang penyeberangan: dulu ada seorang perempuan datang padaku ingin menukar jiwanya dengan jiwa anaknya yang meninggal. Biasalah ibu-ibu. Memangnya undian dapat arisan bisa ditukar-tukar. Aku tak tahu mengapa ikan, eh naga, eh capung, eh kadal mau-maunya menelannya dan membawanya ke sini. Ia bilang ia tidak tahu tentang kematian, tapi kelak ketika anaknya kembali lagi ke tepi sungai ini, ia akan membawa sebuah cerita yang belum pernah diceritakan oleh orang lain.

Sumber: Suara Merdeka 26 Nopember 2009

Rabu, 25 Mei 2011

Sastra dan Pergerakan

Agus Sulton
http://sastra-indonesia.com/

/1/

Saat ini adalah era globalisasi, hampir atau bahkan tidak ada batas-batas norma, Negara, maupun sosial budaya. Mereka biasa menyebutnya sebagai Negara dunia pertama atau sebagai polisi dunia yang berhak mengatur atas lalu lintas perubahan dunia. Itu adalah kelompak masyarakat penguasa, yang telah memuja-muja dan menari-nari di atas penderitaan rakyat mayoritas dengan berkedok dibalik topeng-topeng badut kapitalisme. Akibat yang terjadi adalah proses pengkondisian, pembungkaman kesadaran rakyat akan hak-hak yang harus diperolehnya sebagai manusia yang merdeka. Hal ini dapat kita lihat dan rasakan dengan munculnya berbagai media yang bisa dinikmati terhadap apa yang telah disiapkan dan disodorkannya, seolah-olah kita butuh, padahal tidak apa-pun sebenarnya tidak masalah.

Yang menjadi perhatian kita adalah, hal tersebut akan membawa dampak psikis maupun politis terhadap bagsa dan Negara dunia ketiga (Indonesia) yang notabennya sangat jauh berbeda dalam hal apapun dengan mereka. Akibatnya kita hanyalah menjadi sarang empuk yang mudah dirusak dan dihirup udara segar kita untuk menghidupi mereka. Anehnya, hal ini didukung oleh elit politik dalam menyediakan lahan-lahan untuk mereka, dengan mengorbankan seluruh rakyat yang berhak atas kebutuhan secara adil dan layak. Masyarakat kita yang menjadi apatis dan apolitis adalah keinginan juga atas pengkondisian penguasa, sehingga yang terjadi adalah proses penindasan yang bersistem ”kapitalisme-birokratik” oleh bangsa sendiri yang dijalankan oleh kapitalisme global.

Dengan segala usaha melalui dominasi ataupun hegomoninya, rezim yang berkuasa selalu berupaya untuk membelenggu tingkat kesadaran rakyat. Sehingga rakyat yang masih tertindas menjadi semakin lemah posisinya karena tidak mampu menerjemahkan hal-hal yang terjadi disekitarnya. Pada akhirnya rakyat tidak memahami ketertindasan yang terjadi pada dirinya dan malah dapat berbalik mendukung proses penindasan yang sedang terjadi pada dirinya maupun lingkungan sekitarnya. Hal inilah yang sebenarnya diharapkan oleh rezim penindas, membuat rakyat tetap bodoh dan terbelakang agar kekuasaannya tetap langgeng (status quo). Oleh karena itu, wajib ain bagi pemuda, mahasiswa yang memiliki tingkat kesadaran lebih tinggi, baik melalui medium sastra atau dari rakyat awam langsung bergerak menyuntikkan dan menarik kesadaran rakyat pada fase yang lebih tinggi lagi, yaitu menuju kesadaan kritis.

Dimanapun tempatnya berada dan berbagai macam bentuk penindasan yang ada, maka disitulah tempat perlawanan dan perjuangan dimulai dan terus digelorakan. Perlawanan adalah satu-satunya kata yang wajib terlontar oleh kaum tertindas. Tapi melawan penindasan sendiri adalah hal yang paling konyol untuk menuju kematian. Maka, seluruh orang yang anti penindasan haruslah bersatu dalam kesatuan yang utuh. Sejarah telah mengajarkan pada kita bahwa persatuan orang-orang dengan semangat juang yang tinggi pun tidak akan pernah mampu menggulingkan struktur penindasan yang sudah menggurita jika tidak di pimpin oleh organisasi perlawanan yang revolusioner. Dari sini dengan jelas kita melihat peranan yang signifikan dari organisasi gerakan sebagai alat perjuangan untuk menciptakan tatanan masyarakat yang kita cita-citakan bersama, yaitu masyarakat yang tanpa adanya penindasan dan penghisapan antar sesamanya.

/2/

Dalam perkembangan selanjutnya, sosiologi banyak dimanfaatkan oleh peneliti sastra yang berbau marxis. Paham Marxisme berasumsi bahwa sastra, kebudayaan, dan agama pada setiap zaman merupakan ideologi dan suprastruktur yang berkaitan secara dialektikal, dan dibentuk atau merupakan akibat dari struktur dan perjuangan kelas zamannya. Dengan demikian, sejarah dipandang sebagai suatu perkembangan terus menerus. Seperti disinggung pada pendahuluan tadi, daya-daya kekuatan di dalam kenyataan secara progresif selalu tumbuh untuk menuju ke pada suatu masyarakat yang ideal tanpa kelas dan tanpa penindasan. Namun, langkah tak selalu berjalan mulus melainkan penuh hambatan yang berarti. Akibatnya pertumbuhan ekonomi dapat menyebabkan pertentangan antar kelas.

Penelitian sosiologi sastra marxis tersebut, tampaknya kurang berkembang di Indonesia. Padahal, di Indonesia meskipun menolak sistem kelas juga sering ada pertentangan antar elit dan golongan bawah. Mungkin sekali hanya istilah saja yang berbeda, jika orang lain menggunakan istilah kelas, Indonesia menggunakan paham pusat-daeran atau borjuis-proletar. Berbagai segmen yang dikotomis tersebut, ternyata juga sering menarik perhatian sastrawan sehingga seharusnya juga menarik pula bagi penelitian sosiologi sastra.

Dalam militansi ini seorang pengarang yang telah menguasai realitas, yang tidak terpenuhi harapan dan keadilan, telah menentang realitas itu, dan dengan jalan kreatif mengubahnya menurut tuntutan keadilan itu. Kondisi yang dituntut ini membikin orang terus-menerus jadi revolusioner yang bersumberkan revolusi yang terus menerus di dalam jiwa, pengoreksian terus menerus atas realitas.

Jika bagi Marx, sastra dan kebudayaan merupakan refleksi perjuangan kelas untuk melawan kapitalis, di Indonesia pun hal demikian juga ada dan senada. Di Indonesia telah lama pula terjadi perjuangan kaum kecil terhadap kapitalis, yang dikenal dengan konglomerat. Hal ini telah menarik sastrawan untuk mengekspresikan idenya bahwa konglomerat di era orde baru telah bergandeng tangan dengan pemerintah, menyebabkan merobohkan sendi-sendi ekonomi kerakyatan. Bahkan, sampai sekarang ini (era reformasi) konglomerat selalu menjadi bahan pengunjingan.

Hampir tak ada masyarakat yang tanpa kelas, tetapi tidak berarti bahwa kehadiran kelas mesti harus bertentangan. Di Indonesia, tampaknya kehadiran kelas atau lebih tepatnya strata sosial (elit-rakyat) sering bersinggungan. Persinggungan kepentingan yang melebar ke masalah kekuasaan itu, juga sering menarik perhatian sastrawan. Itulah sebabnya, karya sastra dapat dipandang sebagai refleksi kehidupan sosial dan kekuasaan. Karya sastra akan menggambarkan jarak perbedaan atau strata sosial terus menerus. Hal semacam ini juga sering diungkapkan melalui tokoh-tokoh dalam karya sastra yang representatif. Misalnya saja, dalam karya sastra yang representatif alias tidak humanis adalah cerpen berjudul Soeharto Dalam Cerpen, terbitan Bentang 2001. Cerpen tersebut melukiskan betapa besar tipu daya Soeharto yang diungkapkan melalui fiksi.

Dalam kaitan itu, Saini KM (1986: 14-15) memberikan tiga kedudukan sastra terhadap kehidupan masyarakat, yakni sebagai pemekatan, penentangan, dan olok-olok. Ketiga ini sebenarnya terkait dengan fungsi sastra bagi kehidupan sosial. Karya sastra sebagai pemekatan, memang akan menggambarkan kehidupan masyarakat. Namun, gambaran itu bukan jiplakan, melainkan sebuah intensifikator yang dipekatkan, dijernihkan, di saring dan di kristalisasi kedalam imajinasi pengarang. Di sisi lain, mungkin karya sastra justru menentang kehidupan, misalnya penciptaan tidak setuju dengan KKN rezim Orde Baru, lalu lahir karya yang bertema demikian. Ini berarti bahwa karya sastra menjadi penentang jaman dan aturan yang keliru.

Misalnya kita ambil juga novel Hikayat Kadiroen karya Semaoen, disitu menceritakan seorang priyayi Marxsis yang sangat peduli pada rakyatnya dan berjuang bersama dalam pergerakan. Ia adalah seorang pemuda yang amat cerdas, anak seorang lurah yang terkenal bijaksana dan taat beribadah. Kebijaksanaan lurah menurun keanaknya. Sebagai pegawai negeri pada pemerintah Kolonial, Kadiroen mendapat kenaikan pangkat yang relatif cepat, karena selama dia bekerja benar-benar demi untuk kesejahteraan rakyat. Selama dia bekerja banyak hal yang menjadi kekecewaan dirinya, atas kekecewaan itulah dia selanjutnya bergabung dengan tokoh-tokoh Partai Komunis dan tertarik pada ajaran dan cita-cita terhadap tanah Hindia. Dalam waktu yang lama ia akhirnya berpihak pada Partai Komunis, menjadi penyokong, baik dari segi moril maupun materiil. Bantuan itu dilakukan secara rahasia. Pekerjaan Kadiroen akhirnya diketahui oleh atasannya. Akhirnya dia memilih meletakkan jabatannya karena dia berkeyakinan, bahwa dengan kegiatan politiklah nantinya dapat memperjuangkan cita-cita, yaitu kebahagiaan rakyat.

Sedikit cuplikan tersebut merupakan gambaran tokoh utama yang menginginkan sebuah keadilan dan kesejahteraan atau sebagai kritikan isi hati si narator untuk mengungkapkan idealisme yang terjadi pada saat itu. Dengan demikian dapat ditarik sebuah kesimpulan, bahwa sastra mempunyai peran yang singnifikan dalam proses pencerahan atau ekspresi diri dalam memberikan wacana kritis terhadap pembaca. Yang nantinya akan mencetak masyarakat yang mempunyai kesadaran kritis atas struktur penindasan yang sedang terjadi pada dirinya.

Labih jauh lagi, karya sastra juga akan digarap seakan-akan memperolok atau mengejek kehidupan. Biasanya, pencipta sangat mahir memainkan ironi, paradoks, dan parodi ke dalam karyanya. Karena itu, sikap sastra yang memperolok ini sangat sensitif dan peka terhadap perkembangan zaman. Mereka tanggap terhadap perkembangan situasi yang sering menindas.

Fotografi Caleg, Siapa Sudi Kena Kibul?

Seno Gumira Ajidarma
http://cetak.kompas.com/

Calon anggota legislatif telah ”memberi bukti” aktivisme mereka, yakni mengubah kota menjadi galeri terbuka, dengan isi pameran foto-foto wajah mereka sendiri. Dengan kata lain, haruslah mereka terima pula komentar terhadap ”karya seni” mereka tersebut meski jauh dari konteks yang mereka maksudkan sama sekali, sesuai dengan teori komunikasi mutakhir, bahwa bukan hanya komunikator, tetapi juga yang memandang foto itu sebagai penerima pesan merupakan produsen makna.

Kibul fotografi
Roland Barthes, yang mengatakan bahwa iklan merupakan usaha penciptaan mitologi baru, juga pernah melakukan perbincangan terhadap foto-foto para calon anggota legislatif di Perancis, yang tersebar dalam bentuk poster di berbagai tembok yang diizinkan untuk itu.

Sebetulnya Barthes melakukan analisis terhadap fotografi, yang tampaknya dipercaya memiliki daya untuk ngibul sehingga menarik diperiksa sebagai media representasi sebuah mitos. Disebutkannya bahwa fotografi memapankan hubungan antara para calon anggota legislatif ini dan para calon pemilih, yang menunjukkan betapa tawaran program saja tidak cukup, melainkan harus diikuti sugesti keadaan fisik: cara berpakaian, postur tubuh, tepatnya morfologi sebuah ungkapan.

Fotografi, dalam konteks foto-foto calon anggota legislatif Perancis itu, disebut antara lain seperti ingin memperbaiki sifat paternalistik dalam pemilihan umum. Fotografi merupakan pengikisan bahasa dan pemampatan atas yang tidak terkatakan secara sosial, menjadikannya senjata antiintelektual dengan semangat menyisihkan ’politik’ (sebagai lembaga problem dan solusi), untuk melaju sebagai status sosio-moral. Begitulah fotografi berada di atas segala pengetahuan atas sesuatu yang dalam dan irasional dengan ko-ekstensi dalam politik. Melalui foto, sang calon menjadi produk, contoh, dan umpan, bukan dari programnya, melainkan motifnya yang terdalam, keluarganya, mentalnya, bahkan lingkungan erotiknya, seluruh gaya hidupnya.

Demikianlah bagaimana ideologi tergambar dalam cara sang calon ingin disaksikan, yang kira-kira akan memperlihatkan kebermiripan latar sosial, kenyamanan spektakuler keluarga, norma-norma hukum dan agama, maupun xenofobia dengan calon para pemilihnya. Fotografi menjadi cermin, tempat pemandangnya diminta untuk membaca yang akrab dan diketahui; menawarkan kepada calon pemilih kebermiripannya sendiri, tetapi yang sudah diagungkan, diangkat secara luar biasa menjadi suatu gaya. Fotografi membuat sang calon menjadi delegasi dirinya sendiri, yakni para calon pemilih yang melihat dirinya terekspresikan dan terpahlawankan, terundang untuk memilih dirinya sendiri.

Maka, segenap ikonografi dalam foto-foto tersebut dimaksud untuk membermaknakan persilangan pikiran dan kehendak serta renungan dan tindakan, yang sesungguhnya menjadi pemerasan nilai-nilai moral menyangkut negara, keluarga, kehormatan, dan heroisme serampangan. Konvensi fotografi sendiri sudah penuh dengan tanda. Foto wajah yang memenuhi latar, kadang setengah sampai tiga perempat badan, menggarisbawahi tampak realistik sang calon, yang menyarankan tirani suatu cita-cita kesempurnaan. Wajah yang tersorot cahaya adialami (supernatural) mengangkatnya ke perwujudan kemanusiaan yang lebih tinggi—memapankan secara anggun kepentingan tersembunyi suatu Tatanan (Barthes: 1972, 91-3)

Esai ”Photography and Electoral Appeal” yang berasal dari kumpulan analisis kehidupan sehari-hari Perancis antara 1954-1956 dalam buku Mythologies (1957) tersebut, seperti disebutnya sendiri ditulis berdasarkan kerangka teoretis ganda; pertama, kritik ideologi atas bahasa yang disebut kebudayaan massa; kedua, usaha mengulas secara semiologis, cara kerja bahasa kebudayaan massa tersebut. Dalam hal pertama maupun kedua, Barthes telah dan selalu memberi contoh dari kehidupan budaya borjuis kecil (petit-bourgeois) Perancis yang dalam proses mistifikasi terubahkan menjadi ”universal”—dan karena itu dibongkarnya.

Membaca kepentingan tersembunyi
Dalam konteks catatan ini, contoh-contoh itu dialihkan kepada foto-foto calon anggota legislatif yang bertebaran di Indonesia, yang karena latar belakang persoalannya berbeda, tentu akan menghasilkan perbincangan berbeda pula.

Disebut tentang memapankan hubungan dengan pemilih, maka dapat diperiksa dari cara berbusana: apakah sudah sedaerah, seagama, sealiran, minimal satu selera? Di Yogya, dalam poster besar di tepi sawah, seorang calon anggota legislatif tampak mengenakan surjan dan belangkon, yang berarti jelas ia bermaksud meneguhkan ikatan dengan calon pemilih yang bersemangat kedaerahan.

Dari segala sisi memang bertebaran penanda-penanda yang menunjukkan orientasi calon anggota legislatif, tentu dengan merujuk kepada wacana dominan yang diandaikannya berada dalam kebudayaan para pemilih. Segera tampak, betapa pengandaiannya memang terwujudkan dalam bahasa umum yang dominan tersebut: cahaya (asal) terang pada wajah, senyum iklan pasta gigi, rambut rapi jali, yang secara langsung mendorong kesan keyakinan, kemandirian, keteguhan, bahkan keberanian, dan barangkali saja kepemimpinan, tetapi yang semuanya tidak bisa langsung menunjuk kepada kecerdasan maupun keanggunan.

Busana langsung mengarah kepada orientasi agama, kedaerahan, atau nasionalis. Namun tidak lebih. Semuanya busana resmi, pantas langsung dipakai kondangan, meski yang resmi termasuk juga seragam partai. Dalam hal ini, dibandingkan dengan foto-foto calon anggota legislatif Perancis, yang semuanya berhenti kepada jas dan dasi, tanpa penanda mana liberal mana komunis, foto-foto calon anggota legislatif di Indonesia jauh lebih “eksotik” (di Madura ada yang pakai destar dan kaus loreng merah putih), dan karena itu mungkin saja memberikan lebih banyak bahan perbincangan. Dari rakyat untuk rakyat. Para calon anggota legislatif, seperti tampak dalam representasi dirinya di jalanan, adalah juga produk komunitasnya. Jadi, menunjuk bangsa Indonesia juga.

Peci jelas merupakan penanda favorit sosio-moral, tetapi tidak selalu menunjuk keindonesiaan, lebih kepada aksesori kostum kedaerahan atau latar belakang keagamaan. Bolehkah calon non- Muslim mengenakan peci untuk mempertegas keindonesiaannya? Menarik juga untuk membaca kepentingan tersembunyi di balik gambar-gambar tersebut, yang apabila cara berbahasa atau sistem tandanya diperiksa, bahkan menjadi dua kali jelas: pertama, yang tersembunyi dapat dibaca; kedua, sistem tandanya menunjuk wacana dominan dalam kebudayaannya.

Wacana patriarki dan paternalistik
Di antara sejumlah kecenderungan, boleh diperhatikan betapa foto-foto para calon anggota legislatif ini kadang-kadang didampingi atau dilatarbelakangi foto orangtuanya yang heroik, atau ketua partainya. Kepentingan tersembunyinya terlalu jelas: kehebatan orangtuanya tentu menurun kepada anaknya, dan yang disebut orangtuanya ini hampir selalu bapaknya karena tidak penting benar siapa ibunya. Bahwa hanya bapak yang eksis dalam perbincangan jelas menunjuk kepada patriarki, dan bahwa potret diri mesti diiringi orangtua atau ketua partai adalah gambaran langsung dari wacana paternalistik. Menarik bahwa patriarki dan paternalisme itu memang tidak merupakan tabu, sebaliknya bahkan diteladankan, diandalkan, dan diunggulkan.

Dapat dikatakan bahwa siapa pun yang kelak memilih mereka sebetulnya merasa nyaman dan merasa berumah jiwa di dalam wacana tersebut. Wacana dominan yang dalam negosiasinya terhadap ”pluralisme” terkadang menganggap bapak sendiri atau ketua partai saja tidak cukup. Ada yang membawa-bawa Tuhan meski masih tahu diri dengan kalimat ”semoga Tuhan…”, simbol kekuasaan seperti kepala harimau (”raja rimba” ?) atau bahkan tampang David Beckham— tentu bukan Beckham sebagai pemain sepak bola yang dianggap uzur, tetapi Beckham sebagai ”bapak kesuksesan”. Perhatikan bagaimana peleburan kode spiritual, kode kekuasaan, dan kode kesuksesan (”urban”?) tercuatkan dalam tradisi purba (”primitif”?) paternalisme nan patriarkis, yang dalam suatu cara juga meliputi foto-foto perempuan calon anggota legislatif ini. Ah ya, memang ada foto perempuan ketua partai sebagai latar belakang, tetapi yang tidak mengubah wacana patriarkis sama sekali.

Betapapun, jika wacana dominan semacam itulah yang berproses dalam hegemoni kebudayaan tempat pemilihan calon anggota legislatif berlangsung, tampaknya pilihan atas kedahsyatan macam apa yang ingin ditawarkan memang terbatas. Apalagi jika wacananya, yakni himpunan gagasan dan praktik sosial budaya yang membentuknya sebagai subyek sosial, memang keberhinggaannya hanya sampai di sana sehingga ideologinya juga tidak bisa pergi ke mana-mana.

Siapa sudi kena kibul?
Kembali kepada Barthes, perbincangannya tentang fotografi dan pemilihan umum untuk memeriksa cara kerja kebudayaan sebetulnya diturunkan oleh teorinya yang sudah terlalu dikenal: bahwa dalam tiga tahap pembermaknaan, denotasi—konotasi—mitologi/ideologi, yang terakhir itu menjadi denotasi (”makna sebenarnya”) lagi, dan seterusnya. Ini berarti, meski setara dengan iklan, cara kerja bahasa foto-foto itu menunjuk suatu kenyataan juga: belum ada Malin Kundang dalam dunia politik Indonesia, yang berani melaju dengan gagasan baru tanpa restu tradisi (politik) lama.

Makanya, pembongkaran mitos dalam kampanye apa pun perlu dilakukan agar para pemilih yang tulus dan ikhlas tidak kena kibul.

Selasa, 24 Mei 2011

Membawa Sastra Indonesia ke Panggung Dunia

Seri “Modern Library of Indonesia”
Benny Benke
http://suaramerdeka.com/

Buku Modern Library of Indonesia yang berisi seri terkini hasil karya sastra Indonesia modern akhirnya diterbitkan. Buku yang diharapkan menjadi usaha untuk meningkatkan peranan sastra Indonesia di panggung dunia itu, sebagaimana dikatakan Mira Lesmana dalam diskusi tentang “Kebangkitan Sastra Indonesia di Panggung Dunia”, bersama sejumlah pembicara lainnya diantaranya Putu Wijaya, Dewi Lestari, dan John McGlynn, diharapkan dapat mendekatkan karya sastra Indonesia dengan masyarakat Indonesia sendiri. "Bersama harapan lainnya, karya sastra Indonesia semakin dikenal di manca negara,' katanya di Jakarta, Kamis (19/5).

Mira Lesmana, yang dinilai turut mengangkat pamor sastra Indonesia melalui film Bumi Manusia, yang sedang dimatangkan proses penulisan skenarionya, dan berangkat dari novel karya Pramoedya Ananta Toer, juga berharap penerbitan buku yang digagas yayasan Lontar dan Djarum Foundation itu, dapat merangsang karya sastra Indonesia berkualitas yang akan lahir.

Sebagaimana diharapkan Renitasari, Program Director-Bakti Budaya Djarum Foundation, yang mengatakan penerbitan seri buku Modern Library of Indonesia karena menimbang bahwa sastra adalah bagian kebudayaan yang penting. Buku yang disunting John McGlynn itu, dari mula proses penerjemahannya ke bahasa Inggris, diharapkan dapat menjadi jembatan ke pembaca asing. Dengan demikian, ujar John, pembaca asing tak hanya dapat mengikuti perkembangan sastra Indonesia dari zaman ke zaman, "Melainkan juga pengamat luar akan dapat lebih menghayati kekuatan politik dan sosial yang ikut mengejawantahkan negara Indonesia”, katanya.

Terkejut

Hal senada dikatakan sastrawan dan teaterwan Putu Wijaya, yang mengakui sastra Indonesia kurang dikenal di manca negara. Buktinya, dia bercerita, pada tahun 1985 ketika dia diundang mengikuti festival sastra Horisonte di Berlin. Seorang penyair Amerika bertanya, apakah dirinya berasal dari Filipina? "Ketika saya jawab saya dari Indonesia, dia terkejut," katanya. Si penyair kembali bertanya, apakah di Indonesia ada sastrawan? Karena sepemahamannya, Indonesia hanya identik dengan seni pertunjukan tradisional.

Proses terjemahan bahasa Inggris karya-karya sastra Indonesia dimulai dari periode awal sastra Indonesia yang dianggap modern, yaitu tahun 1920-an hingga karya sastra terkini. Sampai sekarang, telah terbit sepuluh judul pertama. Dalam tiga tahun mendatang diharapkan terbit 50 judul agar dunia dapat makin mengenal dan mendokumentasikan sejarah perkembangan masyarakat Indonesia melalui sastra.

Ihwal seri Modern Library of Indonesia, Dewi Lestari, juga menyatakan kebangganggannya, karena karyanya berjudul Supernova: Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh, terpilih menjadi salah satu koleksi Modern Library of Indonesia. "Semoga koleksi itu dapat menjadi alternatif jendela untuk memahami Indonesia kontemporer, sebagaimana sastra selalu menjadi cermin dari dinamika sebuah bangsa. Sebuah generasi", katanya.

Berikut adalah sepuluh judul pertama seri buku Modern Library of Indonesia yang diluncurkan, yaitu Never the Twain (Salah Asuhan)-karya Abdoel Moeis, Shackles (Belenggu)-karya Armijn Pané, The Fall and the Heart (Kejatuhan dan Hati)-karya S. Rukiah, Mirah of Banda (Mirah dari Banda)-karya Hanna Rambé, Family Room, sebuah kumpulan cerpen karya Lily Yulianti Farid, And the War is Over (Dan Perang pun Usai)-karya Ismail Marahimin, The Pilgrim (Ziarah)-karya Iwan Simatupang, Sitti Nurbaya-karya Marah Rusli, Telegram-karya Putu Wijaya, dan Supernova-karya Dewi Lestari.

Kisah masing-masing novel dan kumpulan cerita pendek yang diterbitkan menyoroti bermacam-macam fenomena yang ada dalam kehidupan, mulai dari persoalan gender, krisis identitas akibat adanya pencampuran budaya timur dan barat, cinta, mimpi, ketakutan, sains, spiritual, politik, tradisi, hingga perjuangan di masa revolusi.

POTRET GANDA NAYLA—DJENAR MAESA AYU

Maman S. Mahayana *

Djenar Maesa Ayu lewat dua antologi cerpennya, Mereka Bilang, Saya Monyet! (2003) dan Jangan Main-Main (dengan Kelaminmu) (2004), tak pelak lagi, telah berhasil menjejerkan namanya dalam deretan penting sastrawati Indonesia. Ia juga mengambil posisi khas yang domainnya tak banyak dimasuki sastrawan Indonesia lainnya. Kini, ia meluncurkan novel pertamanya, Nayla (Gramedia Pustaka Utama, 2005, 178 halaman).

Penjagal Kota Tua

Abidah El Khalieqy
http://suaramerdeka.com/

INILAH pesan Penjagal Kota Tua sebelum menuruni lapisan terbawah liang lahatnya. “Aku berharap engkau lebih kompak memerangi saudara sendiri. Ada bisa ular dalam kampung panjangmu. Bakar hutanmu, dan bikinlah istana baru.” Tapi pesan itu diterjemahkan oleh para penduduk kampung dengan sebaliknya. Sebab saudara yang dimaksud tuan penjagal itu ternyata dirinya sendiri.

“Go to hell, Penjagal Tua!” Seru Hamzah sepulang mengaji.

Orang kampung percaya, Hamzah punya mata lebih dari dunia. Maka bergeraklah mereka, mengendap dalam gelap. Melempar bambu runcing ke dada malam. Menembus jantung saudara dan teman-teman Penjagal Tua. Sampai 130 tahun kemudian, kampung panjang di atas pulau yang panjang itu, berubah jadi kota. Jadi bandara dan dermaga kehidupan. Surga bagi siapa yang ingin keabadian.

Itulah sejarah. Kampung Hamzah di negeri melimpah. Dunia di dapat, akhirat pun tak pernah lenyap. Sebuah negeri tempat jarak saling mendekat. Hanya neraka yang selalu diusir dari kota. Tapi neraka selalu datang dengan senjata terkokang. Neraka juga selalu hadir melalui banjir. Pusaran air menjulang. Juga perang pada siang bolong.

Maka kini, Hamzah hanya bisa dikenang.

Sebab kota telah berubah warna. Musibah dan bencana mengangkang. Pasir mutiara menjadi empedu dalam dongeng Putri Salju. Lalu tumbuh pohon duka, tanaman sejarah tak bernama. Maka kata-kata sederhana yang paling digemari ialah “pergi menuju langit tinggi.” Terbang di awan, menderap kuda dan mati. Atau hidup setengah gila, agar dunia tak bisa menangkapnya.

Dan pemuda itu lebih suka setengah gila. Menempati posisi paling tawar di antara banyak tawaran. Menghindari kaum warasin, orang yang pura-pura waras, ketika mereka meminta masa kemudaannya untuk jadi penasihat. Jadi pejabat atau pengkhianat.

“Aku lebih suka membahas urusan darah dan cinta, masa kanak yang hilang di punggung sejarah. Dengarlah, sayang, aku ingin meminangmu dengan sepenuh kegilaanku.”

“Aku tak inginkan Abang melamarku. Sebab orang tuaku pasti menolakmu. Aku ingin laut lepas saja.” Cadar perempuan itu tersapu angin pantai, berpijar matahari di korneanya.

“Jangan, Sayang! Di laut banyak hiu,” bujuk pemuda setengah gila itu.

“Aku ingin bertamasya ke dasar laut, menunggang sirip hiu.”

“Hati-hati dengan keinginanmu, Sayang. Hiu loncat dari laut bisa masuk dalam mimpimu. Tapi tak apalah, nanti kuajari cara menunggangnya. Sebaiknya kau tak pernah berpikir untuk menjadi petualang. Banyak tahu itu siksa abadi. Cup yeah!”

“Tetapi banyak tahu juga nikmat tak terperi, melayang membubung tinggi ke bintang. Menyelam menggenggam mutiara kulit kerang. Duh, asyiknya!”

“Lalu nyasar dan tersesat di lambung hiu. Ayo buka lagi kisah Yunus, lari karena khilaf. Kau tak usah tahu bahwa surga 24 jam untuk perempuan, dan hanya 12 jam untuk laki-laki. Selamat mimpi bidadari biru. Jangan lupa, kuberi nama engkau, Laila.”

Laila pun menepi. Mencari ranjangnya sendiri. Dan sebelum tidur, ia teriak lewat jendela kayu. Suara diantar angin menuju telinga setengah gila.

“Jangan lupa, keberi nama engkau, Majnun!”

Ia pun berdoa bagi dunia kesadaran, impian, dan kanak-kanak di taman

Eden. Hati-hati ia memejamkan mata, masuk ke dunia candu yang aktif seperti heavy-metalik. Tak lupa juga minum susu nina-bobo. Susu jahe telur hiu.

Pemuda setengah gila, merasa Majnun beneran. Telentang di lubang pasir hinggalah subuh melenyap. Menghilang bagai kilat ke dasar laut paling gelap. Berhari-hari, mungkin juga bulan, Majnun dan Laila diserang mimpi. Ingin keduanya bercakap di atas gundukan pasir tanpa laut. Tapi apa boleh buat, sejak kecil sudah di situ, di tepi pantai kampung panjang itu.

“Di mana kita berada, Majnun? Aku ingin laut lepas.”

“Baiklah! Nanti kita main di pantai yang lebih indah!”

“Apakah Ibu juga di sana? Bermain di pantai indah itu? Di mana pula Ayah ketika ia pulang dari kantornya?”

“Semuanya aman dan nyaman di sana, Sayang! Sekarang bangun dan lihat matahari dengan lebih berani. Nanti kau akan berangkat menjadi matahari. Tak perlu Ibu, tak pula Ayah.”

“Aku ingin jadi kupu-kupu, terbang di langit biru. Aku ingin jadi bintang di gelap malam.”

“Ya, semua inginmu, semua mimpimu akan terbukti. Pasti! Adakah mimpi yang tidak menyata di kampung panjang ini?”

Laila gembira. Majnun juga gembira melihat senyumnya. Tapi jangan bilang, Majnun dan Laila pasangan serasi seperti dalam kisah seribu satu malam. Sebab keduanya hanyalah nama yang tak mungkin untuk diranjangkan. Keduanya suka berteman, berjalan bersama, keliling waktu penyegar duka.

Bersama bergantian dalam khayalan. Memasuki barak lapuk tempat laba-laba menyusun ranjau. Dan barak itu tak sanggup mendingin api, tak pula menghangat bila malam bermandi hujan. Sementara hujan batu dan peluru terus menggoyang dunia, pikiran dan cita-cita. Semut hitam juga bergerak dengan penuh cita-cita. Tetapi di kampung panjang ini, tak ada yang sanggup menutupi rasa sial. Sia-sialah adanya. Suami mati, lenyap jasadnya. Entah di mana. Janda-janda menggendong bayi menuju kaki bukit pada malam hari. Hanya kakek dan nenek yang masih bisa bercanda dengan gigi ompongnya.

Majnun dan Laila menepi. 100 hari waktu meleleh bagai jam di kanvas Salvador Dali. Meski doa digemakan orang dari menara masjid, dan kenduri dilaksakan setiap malam dengan Surat Yasin, memar hati tak usai-usai. Semua mengekal dalam hari, kecuali pada hari Jumat dan Minggu. Jumat untuk gema kotbah, dan minggu untuk kenang mulut hiu. Mulut laut yang mencari mangsa ke rumah-rumah. Sama juga dengan senapan yang sering dipakai Penjagal Tua. Begitu menggetar bumi. Darah kucur dan rahim gugur dalam senyap. Seorang ibu menangis di gubug bambu. Menjadi bekal ingatan untuk membina keluarga pejuang. Menuju makam syahid Karbala, tiang gantung Halaj, dan prosa kematian paling romatik. Berhari-hari Majnun berputar mencari Laila selepas pergi dari tidurnya. Sebab ia selalu pergi, menjadi wartawati pura-pura. Entah apa cita-citanya kini.

“Mengapa tidak keluar dari kampung panjang ini, Majnun?” tanya wartawati tanya pada terik hari.

“Sebab kalau keluar, maka tak ada air mata lagi. Dan jika aku mati tanpa dicatat hukum, Hayo, siapa tanggung-jawab?”

“Paling tidak, banyak janji yang bakal kaudapat. Memberi peluang kegilaanmu untuk berkembang. Bukankah nabi juga hijrah, para pemikir besar hijrah, para ulama besar hijrah. Hanya Sultan Mataram yang tidak hijrah. Kau tahu mengapa?”

“Karena tak ada kuasa di pengasingan. Kalau ada, itu ketiak Amerika. Dulu Hamzah, kakek dari kakekku, menangkar pulau-pulau di sekitar Samudra Hindia. Mungkin naif kalo aku bilang Jawa pula…”

“Gimana kalau hijrah Jakarta, Madura atau Malaka. Ada saudara di sana?”

“Tetap asing, Muhammad tanpa wahyu Jibril. Hanya pujangga. Tiap tubuh bawa kampung dalam diri. Setetes darah bawa sejarah sampai mati. Globalisme itu karnaval kampung-kampung. Pusat koloni dari awalnya, ha ha ha…!”

Wartawati Laila tercekat tenggoroknya. Kehabisan kalimat tanpa kata cinta. Majnun bersipu santai dalam tawa. Bersiul mulutnya. “Silah tanya apa yang ingin kau tahu dan mengerti dunia? Ayo, Laila, mabuklah sensasi.” Majnun merangkai kegilaannya dalam tawa.

“Apakah yang asing tidak bisa merevolusi diri menjadi pribumi yang baru?” wartawati girang ketemu soal lagi.

“Apakah pilar-pilar Panthernon kuil Dewi Athena di Acropolis yang jarang-jarang itu tak berkerabat menyangga atap berukir? Diaspora cuma satu pelarian…,” sigap Majnun bereaksi, tetap dalam santai.

Aneh memang. Wartawati pura-pura itu menulis dalam notesnya begini, “Tampang tirus Hindustan, kopiah Mesir, sarung setengah lipat Afrika di pangkal celana, dan buntelan Yaman di punggung. Ia bertapak ke mana suka. Terlihat lugu seperti hikayat yang belum selesai.” Lalu berpikir seribu kali untuk kembali menjadi Laila. Menjadi manusia penuh mimpi di sisi pantai.

Majnun mengorek hati. Menggores kalimat di udara tak berkoma. “Majnun namaku berjejak di bumi rantau abadi tanpa hukum tanpa perbendaharaan hidup tanpa modal untuk bahagia sebab hilangnya rasa kehilangan karena berlaut kematian sangat jauh dan luas seperti teriakan ribuan orang yang digerakkan Hamzah untuk melemparkan bambu runcing ke dada Penjagal Tua. Allahu Akbar! Manusia ber-khalik sebagai rakyat kami ber-raja sebagai pejuang kami ber-syahid dan sebagai saudara ditelikung dikhianat sekarat kiamat! Smile for You…. Angin mengirim pasir ke dalam mulutnya.

“Neraka Jahannam. Kumpeni baru dalam kegilaanku!”

Majnun mengutuk diri sedalam nyeri.

“Kami membencimu bahkan andai kamu itu gelap malam. Kami membencimu bahkan andai kamu itu aku. Ayo ganti nama saja menjadi perampok, duduk bersanding dengan mempelaimu, pembohong kelas kakap.”

Majnun tertawa di udara tanpa Laila.

Sebab Laila sedang menepi di pantai sendiri. Mencari alamat masa lalunya yang hilang tersambar ombak. Dan Majnun terus tertawa mengingati Penjagal Tua yang mati karena minum kopi dari neraka. Serupa benar dengan Dajjal bermata sebiji, kelereng pengetahuan yang menggelinding ke balik kabut gelap. Jahat seumur-umur. Gelap yang tak mau tidur. Tak mati juga Sisifus. Seperti Laila yang mendekat kembali di garis bayang-bayang.

“Kau bekap dadamu karena tusukan. Siapa yang menusukmu?” Sapa Laila, tiada.

“Kata-kata dunia. Kalimat busuk orang beruang. Jika tewas tak tercatat oleh hukum, lemparkan mayatku ke batas cakrawala.”

“Siapa menewaskan siapa?”

“Kurawa.”

“Siapa Kurawa??

?Yang menghantu di Astinapura.”

“Oke! Masih sakit dadanya?”

“Oh! Cilaka! Tak padam pula api di dada ini. “Kunie bardan, salaamun

‘ala Ibrahim fil ‘alamin. Duhai api, mendinginlah. Sejahteralah Ibrahim, selamatkan semesta yang dibakar kaum berhala.”

Mendelong Laila mendengar igau dalam doa. Memang, di kampung panjang ini hanya bisa tumbuh pohon igauan dan doa. Dan hampir tiap hari, Majnun dan Laila memanjat pohon itu, lalu berbuah sakit kepala. Migrain.

Candu rindu!

Senja pun datang. Laila membayang malam. Majnun mengukir langit dengan awan. Bulat matahari menghilang di laut barat. Laila siap terima ilham api, mendekat bulan di pucuk cinta, ayat-ayat dari menara masjid. Menghunjam di otak. Majnun merangkak, mengukir Laila di atas pasir. Tak juga kiamat mendekat. Duka tak kenal kata akhir.

“Pilih mana, merdeka atau tidur sementara?”

Laila menganggukkan kepala.

“Serupa zikir, kepalamu penuh pikir.”

Mulut Laila hampir saja makan gigi. Ngemut bulpen berkali-kali.

Menghilangkan migrain di sebelah kiri. Insomnia. Majnun bangkit mencari buah simalakama. Buah khuldi yang jatuh ke bumi. Ia hendak memungutnya, siapa tahu Laila juga suka. Kekal abadi di surga. Salah tafsir berujung salah makna.

“Kemarin kulihat kau meniup seruling seperti Daud memanggil burung.”

“Memang. Tapi seruling itu hilang ketika kau datang.”

“Suka bambu, atau suka suaranya?”

“Suka sama suaramu. Malam tak bertuan, abadi gelap daripada terang. Entah bendera mana yang terkibar, maka malam tambah kelam.”

Kelam juga Laila. Tinggal bayang-bayang. Mencari ranjangnya sendiri di gubug reyot sarang laba-laba.

Kampung panjang ini penuh ranjau, muslihat tipu daya kompetador. Maka Majnun bangkit menjejak bongkah alam, seolah pidato di atas mimbar batu Jalut. Zaman kemegahan kaum khianat. Dengan cahaya mata berkilau dipantul dari garangnya matahari titik zenit, Majnun mengalun seuntai bait mirip pujangga.

“Saudara-saudara terbaik! Malam ini kita bergerak! Daripada mati di rumah tuan, lebih baik menggelepar di medan juang! Daripada mati di ranjang kompeni lebih baik satu dalam shaf sabilillah. Ini Hamzah, dengarlah perintahku. Anak pinak Penjagal Kota Tua itu datang kembali. Ayo serang! Terjang! Di masa pembangunan ini, tuan hidup kembali. Pedang di kanan, keris di kiri??. Mulut Majnun takut jadi puisi Anwar.

Tanpa kesadaran penuh, mulut Majnun bergetar karna takut penyair Anwar. Ikan-ikan yang sempat menguping (duh, aku lupa, apa ikan punya telinga?), menyembul dari laut, memberikan applaus yang lumayan. Tepuk-tangan malam. Duka pasir abadi. Air didulang, muka kuyup penuh gelombang.

Ingatan Majnun berkelok ke belakang. Kenangan sang kakek, mengekal dalam rasa. Kampung panjang beku waktu. Kota lama beribu-ribu tahun lamanya. Peta terkoyak, dihasut angin jahat dari arah barat. Kepedihan dan keterasingan menjelma prasasti. Pangeran Ling-Khe, ombak berkacak.

“Dan kau, seorang pangeran jugakah?”

“Hahaha…pertanyaan sendiri akan kujawab sendiri. Sebab Laila telah pergi sedari senja tadi. Adakah arti darah biru bagiku? Apa guna pendidikan jika kau tak bisa menjawab pertanyaan sendiri. Semuanya meruap nguap bagai embun semilir pada pagi hari.”

Majnun mabuk bukan dari gelas anggur, tapi karena lumpur. Air laut warna coklat mengendap di lambung. Dan Laila bersembunyi di situ, meremas usus buntu dengan waktu. Mengkilat bagai pualam tak retak-retak dari masa silam. Hinggalah Majnun membisu, menghadapkan wajahnya ke runcing batu karang.

“Mungkinkah kenangan bisa berlalu?”

“Tidak!”

Majnun bergerak, merambat, menjalar ke akar nadi memori yang mulai hidup kembali. Sejenis kesadaran mengorek masa lalu dan masa depan.

Ke mana pun Majnun melangkah, warna bumi terasa darah. Hati lara di pantai. Buih pecah di beranda rumah, simpanan matahari bagi cahaya.

Meminang kampung sendiri jadi bintang. Jadi waktu menyembur terang ke jantung. Meradang!

Majnun berlari, menghempas ombak di dalam hati. Merindu matahari bangkit dari sela pasir. Prosa kematian paling romantik di laut Hindia, menyusun kalimat akhir di kubur Laila. Lalu sejarah berulang. Mati lagi, ngungsi lagi. Darah lagi, nanah lagi. Negeri bangkit berkali-kali. Orang mati tak dikenali. Tak ada daun pisang menutup jasadnya. Tak juga dimandikan dengan air.

“Awas! Penjagal Kota Tua. Jangan sekali-kali ambil cintaku.”

“Bunuhlah aku, jika kau mampu. Banyak nian nyawaku. Satu mati, menendanglah seribu kaki. Hayo, kalau berani…!”

Majnun melayang. Memintal waktu dengan dongengan. Menunggu gardu sepanjang siang sepanjang malam. Para peronda selalu datang, meminta dongeng yang baru. Tapi kali ini, ia tak mau cerita. Sebab Laila masih nusuk di hati. Lalu tiba-tiba, sodara penjagal tua menghampiri. Pangkal besi terkokang. Majnun lari di tempat. Duesszz!. Jus tomat tumpah di atas papan kayu. Megap-megap. Jantung pun berhenti menjumpa senyap! Darah merah darah putih, tercecer lagi di kampung panjang, di tepi pantai yang membentang. Bidadari Laila mengangkat ruhnya ke pusat Angkasa.

Yogyakarta, 2006

A Musthafa A Rodhi Murtadho A Wahyu Kristianto A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Wachid BS Abdullah al-Mustofa Abdullah Khusairi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimanyu Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Maulani Adek Alwi Adhi Pandoyo Adrian Ramdani Ady Amar Afrizal Malna Agnes Rita Sulistyawati Aguk Irawan Mn Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Subiyakto Agus Sulton Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahm Soleh Ahmad Farid Tuasikal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Luthfi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadie Thaha Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rasyid AJ Susmana Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander Aur Alexander G.B. Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Rif’an Aliela Alimuddin Alit S. Rini Alunk Estohank Ami Herman Amich Alhumami Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminudin TH Siregar Ammilya Rostika Sari An. Ismanto Anaz Andaru Ratnasari Andhi Setyo Wibowo Andhika Prayoga Andong Buku #3 Andrenaline Katarsis Andri Cahyadi Angela Anies Baswedan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Sudibyo Anton Wahyudi Anwar Holid Anwar Siswadi Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Zulkifli Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayu Utami Azyumardi Azra Babe Derwan Bagja Hidayat Balada Bandung Mawardi Bayu Agustari Adha Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Bernadette Lilia Nova Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Bhakti Hariani Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budi Winarto Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Bustan Basir Maras Camelia Mafaza Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cecep Syamsul Hari Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Choirul Rikzqa D. Dudu A.R D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Dantje S Moeis Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Darmanto Jatman Dedy Tri Riyadi Delvi Yandra Denny JA Denny Mizhar Dewi Anggraeni Dian Basuki Dian Hartati Dian Sukarno Dian Yanuardy Diana AV Sasa Dinar Rahayu Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi Warsidi Edy Firmansyah EH Kartanegara Eka Alam Sari Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil Amir Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Evan Ys F. Budi Hardiman Fadly Rahman Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fani Ayudea Fariz al-Nizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatkhul Aziz Felix K. Nesi Film Fitri Yani Franditya Utomo Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Garna Raditya Gde Artawan Geger Riyanto Gendhotwukir George Soedarsono Esthu Gerakan Surah Buku (GSB) Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Tri Atmojo H. Supriono Muslich H.B. Jassin Hadi Napster Halim H.D. Hamberan Syahbana Hamidah Abdurrachman Han Gagas Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Priyatna Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasan Junus Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Helwatin Najwa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendriyo Widi Ismanto Hepi Andi Bastoni Heri Latief Heri Listianto Herry Firyansyah Heru Untung Leksono Hikmat Darmawan Hilal Ahmad Hilyatul Auliya Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur Husnun N Djuraid I Nyoman Suaka Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilenk Rembulan Ilham khoiri Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Budi Santosa Imelda Imron Arlado Imron Tohari Indiar Manggara Indira Margareta Indra Darmawan Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ingki Rinaldi Insaf Albert Tarigan Intan Hs Isbedy Stiawan ZS Ismail Amin Ismi Wahid Ivan Haris Iwan Gunadi Jacob Sumardjo Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean-Marie Gustave Le Clezio JJ. Kusni Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Julika Hasanah Julizar Kasiri Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kadir Ruslan Kartika Candra Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Ketut Yuliarsa KH. Ma'ruf Amin Khaerudin Khalil Zuhdy Lawna Kholilul Rohman Ahmad Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Krisandi Dewi Kritik Sastra Kucing Oren Kuswinarto Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lenah Susianty Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto M Shoim Anwar M. Arman A.Z. M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Harya Ramdhoni M. Kasim M. Latief M. Wildan Habibi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria hartiningsih Maria Serenada Sinurat Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Marsus Banjarbarat Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masriadi Mawar Kusuma Wulan Max Arifin Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Mezra E. Pellondou Micky Hidayat Mihar Harahap Misbahus Surur Moh Samsul Arifin Moh. Syafari Firdaus Mohamad Asrori Mulky Mohammad Afifuddin Mohammad Fadlul Rahman Muh Kholid A.S. Muh. Muhlisin Muhajir Arifin Muhamad Sulhanudin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Azka Fahriza Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Nafi’ah Al-Ma’rab Naskah Teater Nezar Patria Nina Setyawati Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noor H. Dee Noval Maliki Nunuy Nurhayati Nur Haryanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurudin Octavio Paz Oliviaks Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pamusuk Eneste Panda MT Siallagan Pandu Jakasurya PDS H.B. Jassin Philipus Parera Pradewi Tri Chatami Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R Sutandya Yudha Khaidar R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rahmat Sutandya Yudhanto Raihul Fadjri Rainer Maria Rilke Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridha al Qadri Ridwan Munawwar Rikobidik Riri Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rizky Andriati Pohan Robert Frost Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Romi Febriyanto Saputro Rosihan Anwar RR Miranda Rudy Policarpus Rukardi S Yoga S. Jai S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Gerilyawan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra SelaSastra ke #24 Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Subhan SD Suci Ayu Latifah Sulaiman Djaya Sulistiyo Suparno Sunaryo Broto Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunudyantoro Suriali Andi Kustomo Suryadi Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Susilowati Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Bahri Syam Sdp Syarif Hidayatullah Tajuddin Noor Ganie Tammalele Tan Malaka Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Tengsoe Tjahjono Th Pudjo Widijanto Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Joko Susilo Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Umar Kayam Undri Uniawati Universitas Indonesia UU Hamidy Vyan Tashwirul Afkar W Haryanto W.S. Rendra Wahyudin Wannofri Samry Warung Boenga Ketjil Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Web Warouw Wijang Wharek Wiko Antoni Wina Bojonegoro Wira Apri Pratiwi Wiratmo Soekito Wishnubroto Widarso Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Wing King WS Rendra Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yosi M. Giri Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Yuyu AN Krisna Zaki Zubaidi Zalfeni Wimra Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhaenal Fanani Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar Zulhasril Nasir