Amich Alhumami
Media Indonesia, 14 Maret 2011
DALAM kajian ilmu-ilmu sosial, tema civic education (pendidikan kewarganegaraan) merupakan isu penting yang mendapat perhatian serius. Civic education dipandang penting karena terkait dengan tiga hal: (1) upaya menumbuhkan kesadaran kebangsaan, (2) upaya memperdalam pemahaman makna kehidupan bernegara, dan (3) upaya membangkitkan kesadaran kolektif atas realitas masyarakat plural. Maka, mendiskusikan tema civic education menjadi sangat relevan dalam konteks masyarakat Indonesia yang sangat majemuk: agama, etnis, ras, budaya, dan adat istiadat. Civic education dapat membuka perspektif baru untuk mengurai kuatnya pertalian etnisitas, menembus sekat-sekat agama, dan membangun jiwa kebangsaan.
Para ahli ilmu-ilmu sosial meyakini bahwa civic education adalah sesuatu yang sangat fundamental dalam upaya pembentukan watak bangsa. Melalui civic education, proses penanaman nilai dapat dilakukan sehingga setiap warga masyarakat memiliki komitmen yang kuat terhadap ikatan-ikatan sosial yang membentuk keutuhan sebuah bangsa. Melalui civic education, kita membangun kesadaran setiap warga masyarakat bahwa bangsa ini dibangun di atas landasan kemajemukan agama, etnis, ras, budaya, dan adat istiadat, yang menuntut kesediaan untuk saling menerima keberadaan pihak masing-masing. Mengingat bangunan negara-bangsa ini bercorak multikultural, setiap elemen sosial harus bersedia hidup secara koeksistensial.
Multikulturalisme mensyaratkan keinsyafan bahwa dalam sebuah masyarakat yang majemuk harus tersedia ruang publik yang cukup untuk bisa saling berinteraksi di antara segenap komponen bangsa dengan semangat saling menghargai dan menghormati. Multikulturalisme juga menuntut adanya pengakuan atas keberadaan kekuatan lokal (kedaerahan), keberagaman kebudayaan tradisional serta kelompok dan golongan sosial yang bervariasi tanpa disertai sikap egosentrisme sektoral. Di dalam masyarakat multikultural, tidak ada agama atau etnis tertentu yang dapat mendominasi dan menyubordinasi agama atau etnis yang lain. Juga tidak ada yang disebut hegemoni budaya yang menciptakan polarisasi pusat dan pinggiran. Oleh karena itu, civic education sangat penting terutama untuk menumbuhkan sikap toleransi dan memperkuat basis solidaritas sosial. Bila kita merefleksi pada sejarah bangsa, sesungguhnya founding fathers telah meninggalkan warisan yang sangat berharga ketika mereka secara gemilang berhasil membangun watak bangsa berbasis multikulturalisme yang kuat. Pada masa-masa pra dan pascakemerdekaan, diversifikasi sosial “suatu gejala umum sebagai konsekuensi logis dari pluralisme masyarakat Indonesia” terlihat cukup tajam. Interaksi sosial yang terbangun di antara berbagai elemen dan komponen masyarakat bersifat primordialistik, yang didasarkan pada ikatan keagamaan, kedaerahan, dan kesukuan (Sarekat Islam, Boedi Oetomo, Jong Java, Jong Sumatera, Paguyuban Pasoendan, atau Roekoen Minahasa). Itu merupakan fenomena yang lazim ditemui dalam suatu masyarakat yang berbasis kebudayaan tradisional. Namun, dengan kian meningkatnya kesadaran kebangsaan, ikatan primordial tersebut kemudian ditransformasikan menjadi ikatan nasional dalam satu wadah tunggal: bangsa Indonesia. Identitas etnis dan budaya telah dilebur ke kesatuan kebangsaan; dan interaksi sosial yang semula bersifat primordial, berubah menjadi hubungan yang bersifat asosiasional di dalam satu ikatan nasionalisme. Di sini kemudian melahirkan identitas kolektif yang dapat memperkuat solidaritas nasional, sekaligus menandai awal pembentukan basis kebudayaan modern. Transformasi struktural demikian oleh Clifford Geertz disebut sebagai proses revolusi integratif.
Founding fathers tidak saja berhasil dalam membangun watak bangsa, tetapi juga memberikan contoh terbaik bagaimana membangun kehidupan berbangsa dan bernegara. Bagi mereka, kepentingan bangsa melampaui kepentingan ideologi, kelompok, atau golongan. Mereka menyadari betul bahwa kepentingan bangsa adalah segalanya sehingga selalu berupaya untuk mereduksi kepentingan kelompok dan menepis segala bentuk egosentrisme. Penghargaan pada perbedaan pendapat atau pandangan, dan penghormatan pada pilihan paham ideologi-politik tampak terlihat pada sikap dan perilaku mereka. Maka sungguh suatu ironi yang luar biasa bila enam dasawarsa kemudian kita justru menemukan pemandangan yang sangat kontras dalam praktek berbangsa dan bernegara. Para elite nasional telah mempertontonkan suatu praktik bernegara yang sarat dengan konflik; dinamika kehidupan berbangsa diwarnai kian menajamnya friksi dalam masyarakat dan makin menguatnya fragmentasi sosial. Saksikan, bagaimana pergumulan politik dan kekuasaan lebih banyak didominasi kepentingan kelompok dan golongan serta menonjolkan egosentrisme.
Dalam perspektif demikian, isu civic education menjadi sangat penting dikaji ulang untuk memperkukuh sendi-sendi kehidupan berbangsa. Dalam upaya membangun kehidupan kebangsaan, setiap warga masyarakat seyogianya memahami dan mendalami substansi civic education karena mengandung nilai-nilai sangat mendasar: (1) menanamkan sikap kebersamaan; (2) menghargai harkat dan martabat kemanusiaan, yang mengatasi ikatan agama, etnis, ras, dan golongan; (3) mengakui kemajemukan sosial; (4) menghargai perbedaan pendapat dan pandangan; (5) melatih bekerja sama dan berinteraksi secara sehat dalam keberbedaan; (6) memahami hak dan tanggung jawab sebagai warga negara; (7) bersikap jujur dan bertindak adil; (8) patuh pada hukum dan norma yang berlaku dalam masyarakat; (9) menjaga dan mempertahankan kesatuan di dalam kebhinnekaan; (10) membangun tradisi kebebasan dan demokrasi; dan (11) memperkuat landasan moralitas. Penting ditegaskan, masalah moralitas sangat fundamental seperti ungkapan bijak: there is no education without morals.
Pokok pikiran itu merupakan nilai-nilai substansial dalam civic education. Nilai-nilai tersebut seyogianya diinternalisasi setiap warga masyarakat sehingga mereka mampu mengembangkan wawasan yang komprehensif tentang bagaimana menjalin interaksi sosial secara dinamis dengan berbagai kelompok masyarakat. Jalinan interaksi itu melampaui batas-batas agama, etnis, ras, dan golongan yang didasarkan pada prinsip kesetaraan, keadilan, kemanusiaan, egalitarian, dan keadaban. Dalam civic education ditanamkan nilai-nilai yang mengajarkan bahwa suatu suku tak boleh melakukan klaim keunggulan atas suku yang lain, dan sekelompok ras tertentu juga tak boleh bersikap superior terhadap kelompok ras yang lain. Demikian pula kecenderungan sikap untuk mendominasi kelompok lain atas dasar sentimen agama dan etnis juga harus dihilangkan, agar tidak melahirkan perilaku diskriminatif. Sikap egosentrisme yang lebih mementingkan golongan sendiri dan menafikan golongan lain semestinya dapat ditepis, untuk menghindari munculnya perilaku-perilaku parokial yang berdampak negatif terhadap integrasi sosial. Sepanjang pengalaman sejarah berbangsa dan bernegara di Indonesia, mungkin baru sekarang kita menyaksikan pertikaian antarkelompok di dalam masyarakat yang sampai menelan korban jiwa dan harta benda. Konflik-konflik horizontal antara berbagai kelompok masyarakat, baik yang dilandasi sentimen agama maupun etnis, dalam skala besar dan berlangsung secara amat eksesif jelas mengundang kegalauan. Masyarakat kita seolah telah kehilangan sentuhan kemanusiaan karena dengan mudah berlaku kasar dan brutal, bahkan sampai menghilangkan nyawa manusia lain.
Berbagai peristiwa kekerasan sosial yang terjadi akhir-akhir ini seolah membenarkan sinyalemen Herbert Marcuse: homo homini lupus manusia adalah serigala yang dapat memangsa manusia lain. Betapa sebagian masyarakat kita telah kehilangan basis nilai humanitas yang selama ini menjadi kebanggaan bersama. Mungkin kita perlu melakukan perenungan mendalam sekaligus mempertanyakan, hilang ke mana watak dasar masyarakat kita yang dikenal amat santun, ramah, toleran, beradab, dan selalu menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Kemajemukan memang merupakan khazanah budaya yang amat berharga, sekaligus menjadi beban sosial yang sangat berat. Namun, dengan meletakkan dasar-dasar civic education secara kukuh, kemajemukan tidak harus menjadi faktor pemicu konflik. Kemajemukan justru harus dapat membentuk sebuah sintesis harmoni guna memperkuat kohesi sosial. Kemajemukan juga harus dijadikan sebagai modal sosial untuk membangun kehidupan berbangsa yang damai, memperkukuh kesatuan, dan keutuhan nasional. Bahkan harus dapat dijadikan landasan untuk membangun demokrasi dan masyarakat madani.
*) Peneliti sosial, Department of Anthropology, University of Sussex, United Kingdom
Sumber: http://cabiklunik.blogspot.com/2011/03/membangun-jiwa-kebangsaan.html
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Musthafa
A Rodhi Murtadho
A Wahyu Kristianto
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Wachid BS
Abdullah al-Mustofa
Abdullah Khusairi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimanyu
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Maulani
Adek Alwi
Adhi Pandoyo
Adrian Ramdani
Ady Amar
Afrizal Malna
Agnes Rita Sulistyawati
Aguk Irawan Mn
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Subiyakto
Agus Sulton
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahm Soleh
Ahmad Farid Tuasikal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Luthfi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadie Thaha
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rasyid
AJ Susmana
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander Aur
Alexander G.B.
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Rif’an
Aliela
Alimuddin
Alit S. Rini
Alunk Estohank
Ami Herman
Amich Alhumami
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminudin TH Siregar
Ammilya Rostika Sari
An. Ismanto
Anaz
Andaru Ratnasari
Andhi Setyo Wibowo
Andhika Prayoga
Andong Buku #3
Andrenaline Katarsis
Andri Cahyadi
Angela
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Sudibyo
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Zulkifli
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayu Utami
Azyumardi Azra
Babe Derwan
Bagja Hidayat
Balada
Bandung Mawardi
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Bernadette Lilia Nova
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Bhakti Hariani
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budi Winarto
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Bustan Basir Maras
Camelia Mafaza
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Choirul Rikzqa
D. Dudu A.R
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Darmanto Jatman
Dedy Tri Riyadi
Delvi Yandra
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Anggraeni
Dian Basuki
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dian Yanuardy
Diana AV Sasa
Dinar Rahayu
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Warsidi
Edy Firmansyah
EH Kartanegara
Eka Alam Sari
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil Amir
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
F. Budi Hardiman
Fadly Rahman
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fani Ayudea
Fariz al-Nizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatkhul Aziz
Felix K. Nesi
Film
Fitri Yani
Franditya Utomo
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Garna Raditya
Gde Artawan
Geger Riyanto
Gendhotwukir
George Soedarsono Esthu
Gerakan Surah Buku (GSB)
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Tri Atmojo
H. Supriono Muslich
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim H.D.
Hamberan Syahbana
Hamidah Abdurrachman
Han Gagas
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Helwatin Najwa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendriyo Widi Ismanto
Hepi Andi Bastoni
Heri Latief
Heri Listianto
Herry Firyansyah
Heru Untung Leksono
Hikmat Darmawan
Hilal Ahmad
Hilyatul Auliya
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husnun N Djuraid
I Nyoman Suaka
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilenk Rembulan
Ilham khoiri
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Budi Santosa
Imelda
Imron Arlado
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Margareta
Indra Darmawan
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ingki Rinaldi
Insaf Albert Tarigan
Intan Hs
Isbedy Stiawan ZS
Ismail Amin
Ismi Wahid
Ivan Haris
Iwan Gunadi
Jacob Sumardjo
Jafar Fakhrurozi
Jajang R Kawentar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean-Marie Gustave Le Clezio
JJ. Kusni
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Julika Hasanah
Julizar Kasiri
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kadir Ruslan
Kartika Candra
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Ketut Yuliarsa
KH. Ma'ruf Amin
Khaerudin
Khalil Zuhdy Lawna
Kholilul Rohman Ahmad
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Krisandi Dewi
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kuswinarto
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lenah Susianty
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
M Shoim Anwar
M. Arman A.Z.
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Harya Ramdhoni
M. Kasim
M. Latief
M. Wildan Habibi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria hartiningsih
Maria Serenada Sinurat
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Marsus Banjarbarat
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masriadi
Mawar Kusuma Wulan
Max Arifin
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Mezra E. Pellondou
Micky Hidayat
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Moh Samsul Arifin
Moh. Syafari Firdaus
Mohamad Asrori Mulky
Mohammad Afifuddin
Mohammad Fadlul Rahman
Muh Kholid A.S.
Muh. Muhlisin
Muhajir Arifin
Muhamad Sulhanudin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Azka Fahriza
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naskah Teater
Nezar Patria
Nina Setyawati
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noor H. Dee
Noval Maliki
Nunuy Nurhayati
Nur Haryanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurudin
Octavio Paz
Oliviaks
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Panda MT Siallagan
Pandu Jakasurya
PDS H.B. Jassin
Philipus Parera
Pradewi Tri Chatami
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rahmat Sutandya Yudhanto
Raihul Fadjri
Rainer Maria Rilke
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridha al Qadri
Ridwan Munawwar
Rikobidik
Riri
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rizky Andriati Pohan
Robert Frost
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Romi Febriyanto Saputro
Rosihan Anwar
RR Miranda
Rudy Policarpus
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Gerilyawan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra
SelaSastra ke #24
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Subhan SD
Suci Ayu Latifah
Sulaiman Djaya
Sulistiyo Suparno
Sunaryo Broto
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunudyantoro
Suriali Andi Kustomo
Suryadi
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Susilowati
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Bahri
Syam Sdp
Syarif Hidayatullah
Tajuddin Noor Ganie
Tammalele
Tan Malaka
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Tengsoe Tjahjono
Th Pudjo Widijanto
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Joko Susilo
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi
Umar Kayam
Undri
Uniawati
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Vyan Tashwirul Afkar
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyudin
Wannofri Samry
Warung Boenga Ketjil
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Web Warouw
Wijang Wharek
Wiko Antoni
Wina Bojonegoro
Wira Apri Pratiwi
Wiratmo Soekito
Wishnubroto Widarso
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Wing King
WS Rendra
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yosi M. Giri
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Yuyu AN Krisna
Zaki Zubaidi
Zalfeni Wimra
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhaenal Fanani
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Zulhasril Nasir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar