Dwicipta
http://suaramerdeka.com/
PADA mulanya hujan. Lalu lelaki tua itu akan mengeluarkan sebuah kursi kayu dari dalam rumah dan ditaruh di beranda. Ia menjatuhkan pantat kering di permukaan kursi, dan memanggil cucu kesayangan yang telah ditinggalkan kedua orang tua sejak kecil. Anak lelaki berusia tiga belas tahun itu akan mengerti arti panggilan kakek. Ia datang dengan membawa secangkir kopi dan rokok yang digulung dengan daun jagung. Selanjutnya, lelaki tua itu akan memandangi tetes-tetes air hujan dengan seksama, terus menerus, sampai berhenti. Sambil memandang derai-derai hujan, ia mengisahkan pada cucunya banyak hal, mulai dari pendirian pabrik gula yang ada di dekat kampung sampai dengan kehidupan para kuli harian dan tangan para kuli klethek1 yang selalu kelihatan mengerikan. Tentu saja sembari pandangan mata memamah buliran-buliran air hujan di luar, dan melayangkan angan-angannya jauh ke masa lampau tempat ia merasakan kemurnian hidup lebih dari yang dirasakan sekarang.
Ia akan sangat semangat bercerita bila air yang tumpah dari langit besar-besar dan deras. “Seperti butir-butir kristal. Dan ketika jatuh di tanah, aku membayangkan air itu mengeluarkan suara seperti sebuah piring dibenturkan dengan logam semacam besi atau baja,” katanya.
Napas tuanya mendengus berkali-kali, kadang-kadang seperti orang menghela karena tak menerima kenyataan menyesakkan. Rancak suara air hujan di atas atap atau di atas lantai dan saluran air di samping kanan dan kiri bagian depan rumahnya bagai musik liris, menaburkan kilauan cahaya warna-warni di permukaan bola mata, dongeng kebun tebu dan pabriknya yang ia hapal dari kakek neneknya ketika ia masih kecil seusia cucunya. Bagaimanapun juga, ia ingin mewariskan kebiasaan kakek dan neneknya pada cucu, agar anak lelaki itu tidak kehilangan akar.
“Dongengnya panjang, Nak. Ambil kursi kecilmu dan duduklah di sampingku.”
Anak lelaki itu pun mematuhi ucapan kakeknya dengan segan. Setiap musim hujan, kebiasaan sang kakek mendongeng membuatnya tak bisa ke mana-mana.
“Pertama-tama, lelaki itu datang. Ia memakai pakaian rapi, hitam putih. Wajahnya bulat dan segar, bagai bulan sedang purnama. Kami menyebutnya laki-laki dari Selatan, sebuah kota besar yang jaraknya amat jauh dari sini. Di kemudian hari, orang-orang melihatnya bekerja sebagai kontrolir perkebunan tebu, menggantikan kontrolir sebelumnya yang meninggal di kompleks pelacuran. Sikapnya jauh berbeda dari mandor-mandor tebu yang lain, Sinyo-sinyo Jawa yang suka plekitha-plekithi dan berhura-hura. Ia tak suka memukul para kuli kebun tebu, tak pernah menggunakan cambuknya, tak senang pergi ke pelacuran, bersenang-senang dengan perempuan nakal. Orang sudah simpati melihat wajahnya yang selalu terang, penuh senyum dan berkata halus. Ia menjadi kesayangan para kuli kebun tebu,” katanya dengan raut muka menerawang.
Cucunya gelisah menahan hawa dingin. Entah sudah berapa kali ia mendengar dongeng itu dari mulut kakeknya. Walaupun ia telah memakai pakaian dan sarung, namun bila hujan sedang deras dan lama, hawa dingin mencucuk itu mau tak mau akan merasuk ke dalam sumsum tulang. Sementara kakeknya bagai tersihir dongengnya sendiri, pandangan matanya merasuk ke dalam gejolak air hujan yang mencari ceruk-ceruk lebih rendah atau mengalir ke got-got penuh dedaunan kering dan sampah kotor.
“Kemarin kakek telah menceritakan dongeng itu, dan terus berhenti di kalimat yang sama. Sehabis itu hampir seluruh waktu kakek melamunkan laki-laki itu,” katanya tak sabar.
Laki-laki tua itu berpaling, mendengar suara agak meradang dari cucunya.
“Apakah aku telah mengulanginya?”
“Sudah hampir tujuh kali kakek mengulanginya. Aku bosan,” katanya.
“Baiklah. Tapi memang demikianlah adanya. Ia memang layak menjadi kesayangan setiap orang. Tidak seperti kontroler kebun tebu yang biasa tinggal di tangsi-tangsi bagus dan mewah itu, ia lebih suka tinggal di perkampungan orang biasa, di kampung kita ini, Nak.”
“Aku sudah melihat bekas rumahnya, Kek. Tak ada yang istimewa menurutku.”
“Kau sudah datang ke sana? Ah, apakah kau mendapati sesuatu di sana? Orang baik selalu disayangi Tuhan dengan berbagai aurora baik. Kau tentu punya kesan atas tempat tinggalnya.”
Sang cucu menggaruk-garuk kulitnya melawan hawa dingin hujan, tak memedulikan kata-kata dari mulut kakeknya. Ia lebih suka memandang asap rokok dari mulut itu daripada mendengarkan ceritanya yang menjemukan itu. Karena cuaca buruk ia tak bisa bermain dengan teman-temannya mengambili telur-telur burung bondol dan emprit di tengah-tengah kebun tebu. Sejak pagi ia mengumpat-umpat awan yang bergelayutan di langit. Kawan-kawannya tak ada satu pun yang datang padanya, mengajaknya bermain sebagaimana biasa. Begitu tetes-tetes hujan mulai menderas, khayalan merebus telur burung dengan kaleng bekas susu lenyap dari kepala. Kejengkelan itu ditambah dengan kepikunan kakek yang suka mengulang-ulang cerita.
“Lalu apa yang terjadi dengan lelaki itu, Kek? Kenapa sekarang rumahnya tak terawat? Apakah dia pindah rumah?”
Kilat menyilaukan melesat di angkasa, diikuti suara guntur susul menyusul. Anak lelaki itu menutup kedua daun telinga dan merapatkan kedua kelopak matanya kencang-kencang. Sementara lelaki tua itu hanya kaget sedikit, dan keredap cahaya di langit seperti mengingatkannya pada sesuatu.
“Ibumu dulu kembang kampung ini. Rambutnya sangat panjang, hampir mencapai pinggul, lurus dan beraroma melati. Gadis-gadis di kampung ini banyak mengiri padanya. Apalagi bila melihat kuku-kukunya yang dirawat rapi dan diwarnai dengan daun pacar. Banyak orang bilang, daun pacar yang dipakai di atas kukunya itu yang menyebabkan orang banyak jatuh hati padanya. Banyak pula yang bilang ia memakai guna-guna pemikat laki-laki.”
Rasa jenuh menghinggapi anak lelaki itu. Dongeng Sang kakek tentang ibunya pun sudah ia dengar puluhan kali. Kekagetan oleh petir yang diharapkan mengubah kisah sang kakek berakhir dengan rasa pahit di lidah oleh kekecewaannya. Ia menjawab asal atas dongeng kakeknya.
“Tapi menurutku ibu biasa saja. Aku hanya suka dengan bentuk kakinya, terutama di bagian betis. Barangkali ia titisan Ken Dedes seperti yang diceritakan guru sejarah di sekolah.”
“Yah, betisnya memang indah. Juga dada dan bentuk pipinya. Semua bagian tubuhnya adalah keindahan karena seluruh tubuh itu tersusun dari rahasia-rahasia yang melingkupi seluruh kebun tebu ini.”
Dan tanpa bisa dicegah mulutnya kemudian melantur pada kisah asal muasal kebun tebu di daerah itu, ketika seorang lelaki berkulit putih dan berkumis tebal dan dipanggil sebagai Ban Dampar2 memasang patok-patok di sawah-sawah petani, sebagai penanda penguasaan tanah secara semena-mena untuk dijadikan kebun tebu. Tanpa memedulikan kegemasan cucunya akan kepikunannya itu, ia bercerita bagaimana alat-alat berat yang belum pernah dilihat penduduk kampung itu didatangkan di areal pabrik, sementara orang-orang kampung dipaksa membangun dampar dan kompleks pabrik dan sebagian yang lain dipaksa menebang hutan jati di perbukitan sebagai landasan dampar atau bahan bangunan pabrik. Selain semena-mena memerintah dan mematok tanah penduduk, orang yang disebut kakeknya Ban Dampar juga memiliki kesukaan mengambili gundik-gundik Jawa, jumlahnya puluhan, bahkan ada yang bilang ratusan. Dari seluruh gundiknya itu, ia mempunyai banyak keturunan, yang disebut orang sinyo-sinyo Jawa. Mereka berdandan gaya Eropa, namun bermental pribumi. Kebiasaan memiliki banyak gundik itu diikuti oleh penggantinya, dan seterusnya, bahkan setelah pabrik tebu dikuasai orang pribumi sendiri.
“Selama tiga tahun pabrik gula itu dibangun, dan selesai ketika Belanda sudah mengalami belitan hutang luar biasa akibat perang Jawa yang dipimpin Diponegoro. Begitu pabrik gula selesai, Ban Dampar meninggal. Orang bilang ia kena kutuk setan-setan hutan jati yang dia gunduli untuk membangun jaringan dampar dan pabrik gula ini, serta mengambili kayunya sebagai bahan bakar sepur3 nya. Lalu datanglah tuan direktur yang pertama, tuan Kornalius Spoor. Anak Ban Dampar, yang biasa dipanggil Sinyo-sinyo Jawa itu, dijadikan kacung setianya, disebar di segala penjuru sebagai kontrolir-kontrolir kebun tebu serta pengawas pabrik. Mereka, dan keturunannya itulah yang mengajari bagaimana bertindak kejam kepada kaum pribumi,” kisahnya dengan penuh semangat.
“Kakek seenaknya saja menyebut nama orang! Dalam sejarah yang diajarkan guruku di sekolah, nama pendiri pabrik gula itu bukan Ban Dampar, tapi Van Der Vaart. Sedangkan direkturnya itu bernama Cornelius Spoor, Kek.”
“Ah, siapa bilang. Orang-orang di sini menyebutnya Ban Dampar. Karena ia membangun dampar-dampar sampai ke kampung-kampung yang jauh, di tengah-tengah sawah, naik turun bukit. Sedangkan tuan Kornalius di panggil Spoor karena ia yang menjalankan sepur-sepur pertama kali. Dialah yang memotong tali pesta tebang pertama kali di pabrik tebu. Pesta pembukaannya, menurut kisah, dirayakan selama tujuh hari tujuh malam, menyembelih beratus-ratus kerbau dan sapi dan kambing. Mendatangkan tayub dan wayang kulit, ketoprak, stambul, dan lain-lain. Sinyo-sinyo Belanda dan orang-orang Eropa berdatangan. Alangkah ramainya,”
Tak sabar mendengar lanturan kakeknya, anak kecil itu masuk ke dalam rumah dan membuat kopi untuk dirinya sendiri. Ia tak tahan dengan hawa dingin di luar rumah sementara kakeknya asyik menikmati kopi sambil mengepul-ngepulkan
asap.
Begitu ia keluar membawa kopinya, beberapa temannya telah berdiri di depan rumah.
“Ayo, Mar, main hujan-hujanan. Kita mencari burung yang kedinginan di kebun tebu,” teriak salah satu temannya. Sinar matanya berbinar-binar. Ia seolah merasakan kembali daging burung yang dibakar dan diberi garam dan kecap.
“Hehm, tentu akan menyenangkan dingin-dingin begini melahap daging burung,” pikirnya.
Namun kakeknya keburu bersuara.
“Jangan hujan-hujanan, nanti kalian akan jatuh sakit. Mar, kamu di rumah saja. Sana kalian pergi! Mengganggu saja!” teriaknya pada anak-anak itu.
“Aku ingin makan daging burung, Kek,” cucunya memaksa.
“Kalau makan daging burung tak usah hujan-hujanan. Besok beli di pasar, lebih mudah dan tidak sakit. Kalau kau sakit siapa yang akan merawatmu?”
Lehernya mengeret. Kakeknya jarang marah. Namun sekali marah, segenap kepikunan dan ketololannya yang setiap hari ia perlihatkan bagai sirna ditelan bumi. Lagipula benar yang dikatakan, kalau ia sakit, siapa yang akan merawat. Teman-temannya mengeluyur pergi tanpa berkomentar apa-apa. Ia sakit hati sebenarnya, namun kalau ia melampiaskan, siapa yang akan menjadi sandaran hidupnya?
Lelaki yang sedang asyik menikmati hujan itu menoleh ke arahnya kembali.
“Duduk dan minumlah kopimu. Minuman itu akan menghangatkan tubuhmu.”
Tanpa diminta lelaki itu kemudian melanjutkan ocehannya.
“Pada mulanya banyak orang-orang di kampung ini yang berontak pada perintah penanaman tebu, Nak. Tapi mereka punya senapan, dan menembaki orang yang melawan. Kalau tidak ditembak, mereka di bawa ke landrad4. Akhirnya di penjara. Orang jadi takut. Dan ketakutan itulah yang akhirnya menyebabkan aku, dan kau, dan kita semua di kompleks perkebunan tebu ini hidup sampai sekarang bersama sisa-sisa ketakutan. Bahkan setelah sinyo-sinyo Belanda itu pergi dari tempat kita dan digantikan sesama orang kita sendiri.”
“Lalu lelaki yang datang dari Selatan itu, bagaimana kelanjutanya kek?”
“Sudah kukatakan, lelaki itu meninggal muda,” katanya.
Raut mukanya menjadi sangat sedih.
“Apa sebab kematiannya?”
Ia terpekur lama memandang tetes-tetes hujan yang mulai mereda. Lama ia berpikir sebelum membuka suara. Dipandangnya wajah cucunya yang bundar dan mata hitamnya yang amat menyenangkan hati itu.
“Ia mati diracun, Nak.”
“Kenapa kakek baru sekarang mengatakan lelaki itu diracun?” katanya dengan reaksi tubuh kaget karena tak mengira dengan jawaban kakeknya.
Lelaki tua yang suka melantur ke mana-mana itu biasanya tak pernah menjawab pertanyaan itu.
“Aku kira memang demikian. Lelaki itu diracun. Banyak orang bilang, ia jatuh hati pada ibumu. Banyak pula yang bilang ibumu jatuh hati padanya. Aku tak tahu mana yang benar. Tapi yang menyukai ibumu bukan hanya dia, Nak. Semua orang jatuh hati padanya. Dari kuli tebu sampai para pimpinan, jatuh hati padanya. Namun ibumu, agaknya, lebih memilih lelaki baik itu.
“Ia dan ibumu sering menghabiskan waktu dengan bersepeda mengelilingi kebun tebu atau mengawasi para pekerjanya, kadang-kadang mengawasi kuli tebang. Lalu entah bagaimana ceritanya, pada suatu hari, ia ditemukan meninggal di rumahnya.
“Hampir satu bulan ibumu berduka, sampai akhirnya tuan direktur pabrik mengambilnya menjadi istri yang keempat. Lalu lahirlah kau,” katanya.
Anak lelaki yang beranjak remaja itu tak menyukai ayahnya sendiri yang gila perempuan. Usianya sudah hampir lima puluh tahun ketika ia menikahi ibunya. Dan ia berusia lima tahun ketika ayahnya meninggal. Ia tak merasa mirip dengan ayahnya itu. Walaupun ibunya menjadi istri direktur itu, ia tak mendapatkan warisan apa pun seperti anak direktur lain, kecuali rumah cukup bagus yang kini ditempatia bersama kakeknya. Orang-orang di kampung sering menuduhnya anak haram, bukan anak kandung Tuan Direktur. Benar ucapan kakek, sang ibu menjadi bahan kecemburuan istri direktur lain karena kecantikan dan rasa sayang berlebihan ayahnya, sehingga ketika lelaki mata keranjang itu meninggal, ibunya yang menjadi bahan bulan-bulanan, dihina dan dicaci-maki, tak mendapatkan bagian warisan yang semestinya menjadi bagiannya.
Sang kakek memandangi cucunya. Ia mengamati wajah cucunya yang mirip lelaki dari Selatan itu, bentuk pipi dan mata hitam mirip ibunya. Ia terdiam beberapa lama. Tangannya mengelus dada, tak tega mengatakan siapa ayah anak itu sebenarnya sampai sekarang. Yang telah terjadi biarkan terjadi, biarkan menjadi rahasianya sendiri. Ketika seluruh penduduk kampung geger mendapati tubuh kontrolir kesayangan mereka tak bernyawa di rumahnya, tak ada yang tahu siapa yang telah melakukan pembunuhan biadab itu. Semuanya terselubung misteri. Bahkan dengan pernikahan dipaksakan antara anaknya dan direktur pabrik gula itu, kematian direktur itu yang juga tiba-tiba, dan perbuatan semana-mena para istri-istri direktur dan anak-anaknya yang telah besar itu pada anaknya. Ia diselimuti rangkaian peristiwa yang berputar-putar dan sama gelapnya dengan kisah pabrik gula itu.
Di luar hujan benar-benar reda. Lelaki tua itu tak berminat lagi melanjutkan ceritanya. Ia masuk ke dalam rumah, tidak lagi mempedulikan cucunya yang masih duduk dan berharap kakeknya melanjutkan cerita yang belum didengarnya, terutama tentang lelaki dari Selatan itu.
Yogyakarta, 17 November 2005
Untuk perpisahan Bapakku dari Pabrik Gula dan kereta tua 1905-nya.
Catatan: 1) Kuli tebu yang kerjanya mengelupasi daun-daun kering pada tebu yang masih muda agar tidak terserang hama. Biasanya karena bulu-bulu daun tebu yang tajam, walaupun tangan mereka sudah memakai sarung, tetap saja teriris dan sobek-sobek kulitnya, mengakibatkan bekas goresan-goresan.
2) Rel kereta api
3) Kereta api
4) Landraad, Pengadilan di jaman Belanda. Sampai setelah Indonesia merdeka, orang-orang Jawa yang tinggal di perkampungan tetap menyebutnya landrad, bukan pengadilan.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Jumat, 18 Maret 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Musthafa
A Rodhi Murtadho
A Wahyu Kristianto
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Wachid BS
Abdullah al-Mustofa
Abdullah Khusairi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimanyu
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Maulani
Adek Alwi
Adhi Pandoyo
Adrian Ramdani
Ady Amar
Afrizal Malna
Agnes Rita Sulistyawati
Aguk Irawan Mn
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Subiyakto
Agus Sulton
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahm Soleh
Ahmad Farid Tuasikal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Luthfi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadie Thaha
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rasyid
AJ Susmana
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander Aur
Alexander G.B.
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Rif’an
Aliela
Alimuddin
Alit S. Rini
Alunk Estohank
Ami Herman
Amich Alhumami
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminudin TH Siregar
Ammilya Rostika Sari
An. Ismanto
Anaz
Andaru Ratnasari
Andhi Setyo Wibowo
Andhika Prayoga
Andong Buku #3
Andrenaline Katarsis
Andri Cahyadi
Angela
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Sudibyo
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Zulkifli
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayu Utami
Azyumardi Azra
Babe Derwan
Bagja Hidayat
Balada
Bandung Mawardi
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Bernadette Lilia Nova
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Bhakti Hariani
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budi Winarto
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Bustan Basir Maras
Camelia Mafaza
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Choirul Rikzqa
D. Dudu A.R
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Darmanto Jatman
Dedy Tri Riyadi
Delvi Yandra
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Anggraeni
Dian Basuki
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dian Yanuardy
Diana AV Sasa
Dinar Rahayu
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Warsidi
Edy Firmansyah
EH Kartanegara
Eka Alam Sari
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil Amir
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
F. Budi Hardiman
Fadly Rahman
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fani Ayudea
Fariz al-Nizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatkhul Aziz
Felix K. Nesi
Film
Fitri Yani
Franditya Utomo
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Garna Raditya
Gde Artawan
Geger Riyanto
Gendhotwukir
George Soedarsono Esthu
Gerakan Surah Buku (GSB)
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Tri Atmojo
H. Supriono Muslich
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim H.D.
Hamberan Syahbana
Hamidah Abdurrachman
Han Gagas
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Helwatin Najwa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendriyo Widi Ismanto
Hepi Andi Bastoni
Heri Latief
Heri Listianto
Herry Firyansyah
Heru Untung Leksono
Hikmat Darmawan
Hilal Ahmad
Hilyatul Auliya
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husnun N Djuraid
I Nyoman Suaka
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilenk Rembulan
Ilham khoiri
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Budi Santosa
Imelda
Imron Arlado
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Margareta
Indra Darmawan
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ingki Rinaldi
Insaf Albert Tarigan
Intan Hs
Isbedy Stiawan ZS
Ismail Amin
Ismi Wahid
Ivan Haris
Iwan Gunadi
Jacob Sumardjo
Jafar Fakhrurozi
Jajang R Kawentar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean-Marie Gustave Le Clezio
JJ. Kusni
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Julika Hasanah
Julizar Kasiri
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kadir Ruslan
Kartika Candra
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Ketut Yuliarsa
KH. Ma'ruf Amin
Khaerudin
Khalil Zuhdy Lawna
Kholilul Rohman Ahmad
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Krisandi Dewi
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kuswinarto
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lenah Susianty
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
M Shoim Anwar
M. Arman A.Z.
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Harya Ramdhoni
M. Kasim
M. Latief
M. Wildan Habibi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria hartiningsih
Maria Serenada Sinurat
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Marsus Banjarbarat
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masriadi
Mawar Kusuma Wulan
Max Arifin
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Mezra E. Pellondou
Micky Hidayat
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Moh Samsul Arifin
Moh. Syafari Firdaus
Mohamad Asrori Mulky
Mohammad Afifuddin
Mohammad Fadlul Rahman
Muh Kholid A.S.
Muh. Muhlisin
Muhajir Arifin
Muhamad Sulhanudin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Azka Fahriza
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naskah Teater
Nezar Patria
Nina Setyawati
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noor H. Dee
Noval Maliki
Nunuy Nurhayati
Nur Haryanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurudin
Octavio Paz
Oliviaks
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Panda MT Siallagan
Pandu Jakasurya
PDS H.B. Jassin
Philipus Parera
Pradewi Tri Chatami
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rahmat Sutandya Yudhanto
Raihul Fadjri
Rainer Maria Rilke
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridha al Qadri
Ridwan Munawwar
Rikobidik
Riri
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rizky Andriati Pohan
Robert Frost
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Romi Febriyanto Saputro
Rosihan Anwar
RR Miranda
Rudy Policarpus
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Gerilyawan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra
SelaSastra ke #24
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Subhan SD
Suci Ayu Latifah
Sulaiman Djaya
Sulistiyo Suparno
Sunaryo Broto
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunudyantoro
Suriali Andi Kustomo
Suryadi
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Susilowati
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Bahri
Syam Sdp
Syarif Hidayatullah
Tajuddin Noor Ganie
Tammalele
Tan Malaka
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Tengsoe Tjahjono
Th Pudjo Widijanto
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Joko Susilo
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi
Umar Kayam
Undri
Uniawati
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Vyan Tashwirul Afkar
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyudin
Wannofri Samry
Warung Boenga Ketjil
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Web Warouw
Wijang Wharek
Wiko Antoni
Wina Bojonegoro
Wira Apri Pratiwi
Wiratmo Soekito
Wishnubroto Widarso
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Wing King
WS Rendra
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yosi M. Giri
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Yuyu AN Krisna
Zaki Zubaidi
Zalfeni Wimra
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhaenal Fanani
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Zulhasril Nasir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar