Senin, 21 Maret 2011

Membangun Jiwa Kebangsaan

Amich Alhumami
Media Indonesia, 14 Maret 2011

DALAM kajian ilmu-ilmu sosial, tema civic education (pendidikan kewarganegaraan) merupakan isu penting yang mendapat perhatian serius. Civic education dipandang penting karena terkait dengan tiga hal: (1) upaya menumbuhkan kesadaran kebangsaan, (2) upaya memperdalam pemahaman makna kehidupan bernegara, dan (3) upaya membangkitkan kesadaran kolektif atas realitas masyarakat plural. Maka, mendiskusikan tema civic education menjadi sangat relevan dalam konteks masyarakat Indonesia yang sangat majemuk: agama, etnis, ras, budaya, dan adat istiadat. Civic education dapat membuka perspektif baru untuk mengurai kuatnya pertalian etnisitas, menembus sekat-sekat agama, dan membangun jiwa kebangsaan.

Para ahli ilmu-ilmu sosial meyakini bahwa civic education adalah sesuatu yang sangat fundamental dalam upaya pembentukan watak bangsa. Melalui civic education, proses penanaman nilai dapat dilakukan sehingga setiap warga masyarakat memiliki komitmen yang kuat terhadap ikatan-ikatan sosial yang membentuk keutuhan sebuah bangsa. Melalui civic education, kita membangun kesadaran setiap warga masyarakat bahwa bangsa ini dibangun di atas landasan kemajemukan agama, etnis, ras, budaya, dan adat istiadat, yang menuntut kesediaan untuk saling menerima keberadaan pihak masing-masing. Mengingat bangunan negara-bangsa ini bercorak multikultural, setiap elemen sosial harus bersedia hidup secara koeksistensial.

Multikulturalisme mensyaratkan keinsyafan bahwa dalam sebuah masyarakat yang majemuk harus tersedia ruang publik yang cukup untuk bisa saling berinteraksi di antara segenap komponen bangsa dengan semangat saling menghargai dan menghormati. Multikulturalisme juga menuntut adanya pengakuan atas keberadaan kekuatan lokal (kedaerahan), keberagaman kebudayaan tradisional serta kelompok dan golongan sosial yang bervariasi tanpa disertai sikap egosentrisme sektoral. Di dalam masyarakat multikultural, tidak ada agama atau etnis tertentu yang dapat mendominasi dan menyubordinasi agama atau etnis yang lain. Juga tidak ada yang disebut hegemoni budaya yang menciptakan polarisasi pusat dan pinggiran. Oleh karena itu, civic education sangat penting terutama untuk menumbuhkan sikap toleransi dan memperkuat basis solidaritas sosial. Bila kita merefleksi pada sejarah bangsa, sesungguhnya founding fathers telah meninggalkan warisan yang sangat berharga ketika mereka secara gemilang berhasil membangun watak bangsa berbasis multikulturalisme yang kuat. Pada masa-masa pra dan pascakemerdekaan, diversifikasi sosial “suatu gejala umum sebagai konsekuensi logis dari pluralisme masyarakat Indonesia” terlihat cukup tajam. Interaksi sosial yang terbangun di antara berbagai elemen dan komponen masyarakat bersifat primordialistik, yang didasarkan pada ikatan keagamaan, kedaerahan, dan kesukuan (Sarekat Islam, Boedi Oetomo, Jong Java, Jong Sumatera, Paguyuban Pasoendan, atau Roekoen Minahasa). Itu merupakan fenomena yang lazim ditemui dalam suatu masyarakat yang berbasis kebudayaan tradisional. Namun, dengan kian meningkatnya kesadaran kebangsaan, ikatan primordial tersebut kemudian ditransformasikan menjadi ikatan nasional dalam satu wadah tunggal: bangsa Indonesia. Identitas etnis dan budaya telah dilebur ke kesatuan kebangsaan; dan interaksi sosial yang semula bersifat primordial, berubah menjadi hubungan yang bersifat asosiasional di dalam satu ikatan nasionalisme. Di sini kemudian melahirkan identitas kolektif yang dapat memperkuat solidaritas nasional, sekaligus menandai awal pembentukan basis kebudayaan modern. Transformasi struktural demikian oleh Clifford Geertz disebut sebagai proses revolusi integratif.

Founding fathers tidak saja berhasil dalam membangun watak bangsa, tetapi juga memberikan contoh terbaik bagaimana membangun kehidupan berbangsa dan bernegara. Bagi mereka, kepentingan bangsa melampaui kepentingan ideologi, kelompok, atau golongan. Mereka menyadari betul bahwa kepentingan bangsa adalah segalanya sehingga selalu berupaya untuk mereduksi kepentingan kelompok dan menepis segala bentuk egosentrisme. Penghargaan pada perbedaan pendapat atau pandangan, dan penghormatan pada pilihan paham ideologi-politik tampak terlihat pada sikap dan perilaku mereka. Maka sungguh suatu ironi yang luar biasa bila enam dasawarsa kemudian kita justru menemukan pemandangan yang sangat kontras dalam praktek berbangsa dan bernegara. Para elite nasional telah mempertontonkan suatu praktik bernegara yang sarat dengan konflik; dinamika kehidupan berbangsa diwarnai kian menajamnya friksi dalam masyarakat dan makin menguatnya fragmentasi sosial. Saksikan, bagaimana pergumulan politik dan kekuasaan lebih banyak didominasi kepentingan kelompok dan golongan serta menonjolkan egosentrisme.

Dalam perspektif demikian, isu civic education menjadi sangat penting dikaji ulang untuk memperkukuh sendi-sendi kehidupan berbangsa. Dalam upaya membangun kehidupan kebangsaan, setiap warga masyarakat seyogianya memahami dan mendalami substansi civic education karena mengandung nilai-nilai sangat mendasar: (1) menanamkan sikap kebersamaan; (2) menghargai harkat dan martabat kemanusiaan, yang mengatasi ikatan agama, etnis, ras, dan golongan; (3) mengakui kemajemukan sosial; (4) menghargai perbedaan pendapat dan pandangan; (5) melatih bekerja sama dan berinteraksi secara sehat dalam keberbedaan; (6) memahami hak dan tanggung jawab sebagai warga negara; (7) bersikap jujur dan bertindak adil; (8) patuh pada hukum dan norma yang berlaku dalam masyarakat; (9) menjaga dan mempertahankan kesatuan di dalam kebhinnekaan; (10) membangun tradisi kebebasan dan demokrasi; dan (11) memperkuat landasan moralitas. Penting ditegaskan, masalah moralitas sangat fundamental seperti ungkapan bijak: there is no education without morals.

Pokok pikiran itu merupakan nilai-nilai substansial dalam civic education. Nilai-nilai tersebut seyogianya diinternalisasi setiap warga masyarakat sehingga mereka mampu mengembangkan wawasan yang komprehensif tentang bagaimana menjalin interaksi sosial secara dinamis dengan berbagai kelompok masyarakat. Jalinan interaksi itu melampaui batas-batas agama, etnis, ras, dan golongan yang didasarkan pada prinsip kesetaraan, keadilan, kemanusiaan, egalitarian, dan keadaban. Dalam civic education ditanamkan nilai-nilai yang mengajarkan bahwa suatu suku tak boleh melakukan klaim keunggulan atas suku yang lain, dan sekelompok ras tertentu juga tak boleh bersikap superior terhadap kelompok ras yang lain. Demikian pula kecenderungan sikap untuk mendominasi kelompok lain atas dasar sentimen agama dan etnis juga harus dihilangkan, agar tidak melahirkan perilaku diskriminatif. Sikap egosentrisme yang lebih mementingkan golongan sendiri dan menafikan golongan lain semestinya dapat ditepis, untuk menghindari munculnya perilaku-perilaku parokial yang berdampak negatif terhadap integrasi sosial. Sepanjang pengalaman sejarah berbangsa dan bernegara di Indonesia, mungkin baru sekarang kita menyaksikan pertikaian antarkelompok di dalam masyarakat yang sampai menelan korban jiwa dan harta benda. Konflik-konflik horizontal antara berbagai kelompok masyarakat, baik yang dilandasi sentimen agama maupun etnis, dalam skala besar dan berlangsung secara amat eksesif jelas mengundang kegalauan. Masyarakat kita seolah telah kehilangan sentuhan kemanusiaan karena dengan mudah berlaku kasar dan brutal, bahkan sampai menghilangkan nyawa manusia lain.

Berbagai peristiwa kekerasan sosial yang terjadi akhir-akhir ini seolah membenarkan sinyalemen Herbert Marcuse: homo homini lupus manusia adalah serigala yang dapat memangsa manusia lain. Betapa sebagian masyarakat kita telah kehilangan basis nilai humanitas yang selama ini menjadi kebanggaan bersama. Mungkin kita perlu melakukan perenungan mendalam sekaligus mempertanyakan, hilang ke mana watak dasar masyarakat kita yang dikenal amat santun, ramah, toleran, beradab, dan selalu menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Kemajemukan memang merupakan khazanah budaya yang amat berharga, sekaligus menjadi beban sosial yang sangat berat. Namun, dengan meletakkan dasar-dasar civic education secara kukuh, kemajemukan tidak harus menjadi faktor pemicu konflik. Kemajemukan justru harus dapat membentuk sebuah sintesis harmoni guna memperkuat kohesi sosial. Kemajemukan juga harus dijadikan sebagai modal sosial untuk membangun kehidupan berbangsa yang damai, memperkukuh kesatuan, dan keutuhan nasional. Bahkan harus dapat dijadikan landasan untuk membangun demokrasi dan masyarakat madani.

*) Peneliti sosial, Department of Anthropology, University of Sussex, United Kingdom
Sumber: http://cabiklunik.blogspot.com/2011/03/membangun-jiwa-kebangsaan.html

Formalisme dan Simbolisme

Theresia Purbandini
Jurnal Nasional, 31 Agus 2008

BEN Sohib, penulis buku The Da Peci Code, mengatakan prosa Islami karya Hamka dan AA Navis mengandung nilai-nilai luhur, moral, etika yang baik sesuai dengan ajaran agama Islam. Namun sebuah prosa bernapaskan Islam tak melulu hanya berisikan ajaran agama Islam secara simbolik. Selama mengandung nilai-nilai yang sepaham dengan ajaran Islam, maka sebuah prosa dapat saja dikatakan prosa islami.

Menurut Ben, Robohnya Surau Kami karya AA Navis mengandung nilai kemanusiaan yang kuat. Meperlihatkan hubungan antara sesama yang bersifat universal. Di dalam cerita, integritas seseorang yang akhirnya memutuskan bunuh diri dipersoalkan; ketika seorang alim yang taat beribadah bunuh diri, karena lalai dalam kehidupan duniawinya. Melalui prosa ini, kompleksitas moral disampaikan melalui metafora.

Ahmadun Yosi Herfanda, seorang sastrawan dan redaktur di sebuah koran nasional mengatakan, prosa islami lebih bersifat substansial, tidak banyak menceritakan adegan formal keagamaan namun mengedepankan nilai-nilai Islam. ”Melalui tema dan cara penyajiannya yang eksploratif, dapat dibedakan prosa mana yang disebut prosa islami. Nilai-nilai yang tertanam dalam ajaran agama Islam seperti kasih sayang, keadilan, kemanusiaan, merupakan pendekatan nonformal prosa-prosa islami,” paparnya.

Hal ini didukung oleh Jamal D Rahman, seorang sastrawan kelahiran Madura. “Karya-karya sastra yang banyak menggali nilai-nilai keislaman seperti budaya, tradisi, ajaran dan norma-norma yang sepaham dengan Islam dapat juga dikategorikan sebagai prosa islami secara simbolik.” Menurutnya lagi, nilai-nilai Islam tak hanya dapat didekati secara formal, juga simbolis. Muncul sebagai nilai-nilai yang secara umum mencerminkan spirit Islam. Secara substansial ia mengacu pada nilai-nilai Islam yang lebih abstrak.

Berangkat dari pemahaman sastra Islam melalui dua macam pendekatan. Formal, di mana pengungkapan jalan cerita dengan syariat-syariat agama Islam, nama-nama, bahasa, latar belakang budaya dan sebagainya. Juga pendekatan simbolik dan universal, menceritakan sisi lain kehidupan yang secara implisit mencerminkan ajaran dan nilai-nilai yang berhubungan dengan agama Islam.

Dari pergulatan kedaerahan

Bila ditelusuri ke masa silam, kebudayaan Melayu sangat berpengaruh terhadap kesinambungan perkembangan sastra islami di Indonesia. Sempat terjadinya pergeseran tematik ini sekitar abad ke-17 hingga ke-18. Tema yang sangat kuat mengalir menurut Jamal adalah ajaran tasawuf. Sastra sufistik yang dimunculkan oleh sastrawan seperti, Syeikh Hamzah Fansuri, Raja Ali Haji, Haji Hasan Mustafa dan masih banyak lainnya.

Kemudian berkembang pada abad ke-20 hingga tahun 1940-an, tema keislaman yang muncul seputar pergulatan dengan kedaerahan. Jamal mengungkapkan, ”Pergumulan Islam dengan tradisi lokal yang diperlihatkan melalui karya Hamka dan AA Navis, di mana persoalan keislaman di tengah-tengah masyarakat lokal tidak berjalan seimbang. Sehingga muncul ketegangan yang memisahkan dua aliran yakni, Islam Murni dengan Islam Kedaerahan — yang diadaptasi dari tradisi lokal,” katanya.

Belakangan ketegangan Islam antara dua kubu yang saling tarik menarik ini mulai ditinggalkan dalam sastra muktahir, sehingga mulailah hadirnya kecenderungan Islam secara formalistik yang lebih menonjol.

Beberapa kecenderungan secara formal lahir melalui karya sastra angkatan muda, diperkuat oleh fenomena Forum Lingkar Pena, seperti Habiburahman dengan karyanya Ayat-ayat Cinta (AAC) yang fenomenal hingga diangkat ke layar lebar dan menembus lebih dari tiga juta penonton yang ingin menyaksikan Fahri berpoligami.

Habibburahman atau biasa dipanggil Kang Abik hingga kini telah melahirkan enam novel. Selain Ayat-ayat Cinta, ia juga sudah menelurkan buku: Ketika Cinta Berbuah Surga, Di Atas Sajadah Cinta, Ketika Cinta Bertasbih Episode 1, Nyanyian Cinta, Ketika Derita Mengabadikan Cinta.

“Habibburahman berhasil menggambarkan latar sosial-budaya Timur Tengah dengan memandang pergaulan tokohnya secara islami dengan pendekatan secara formal, namun tetap menghadirkan konflik di dalamnya dengan perbedaan pandangan dengan agama lain antartokoh Islam sendiri serta dibumbui dengan cinta secara islami pula,” ungkap Ahmadun.

Pendekatan secara Islami dalam kisah AAC menurut Ahmadun, diceritakan melalui gaya berpacaran tidak secara vulgar tapi dengan ta’aruf, sebatas perkenalan antardua orang, saling memahami dan menyemangati masing-masing pihak hingga terjadi penyesuian diri menuju jenjang pernikahan.

Mengadaptasi perkembangan zaman

Senada dengan yang dungkapkan Ben Sohib, AAC dianggap sebagai novel islami yang kental dengan mengadaptasi perkembangan semangat zaman. Bisa dikatakan hal ini merupakan suatu strategi cara bertahan. Salah satu segmentasi pembaca sastra islami-remaja, dianggap dapat diidentifikasi sebagai salah satu target yang mengikuti arus perkembangan budaya yang pesat.

Jamal berpendapat, karya Habiburahman menjawab tema sastra remaja yang dapat diangkat secara menarik dan bisa dikaitkan dengan Islam. Hal ini dibuktikan dengan lanjutan gelombang fenomena jilbab yang sempat marak sekitar tahun 80-an.

Tak hanya Habiburachman yang membidik segmen remaja, karya-karya Helvy Tiana Rosa dan Asma Nadia sebagai komunitas Forum Lingkar Pena (FLP) juga mendapat tempat dihati para pembaca sastra Islam.

Diakui oleh para sastrawan ini, Helvy memiliki nilai kelas kesusastraan lebih tinggi daripada Ayat-ayat Cinta, karena ia juga membicarakan masalah relatif berat, misalnya penindasan, pergulatan sosial, peperangan, kewanitaan, tidak terlalu formalistik namun secara implisit, walaupun tak mengacu secara langsung terhadap Islam.

Agak sedikit berbeda dengan Asma Nadia yang cenderung lebih ringan (pop), yang lebih menarik untuk kalangan remaja. “Novel Asma merupakan novel fiksi pop islami, yang romantis namun disajikan dengan pendekatan secara Islam,” kata Ahmadun.

Lebih jauh menurut Jamal, “Kecenderungan penulis seperti Gus tf Sakai, Agus R Sarjono dan beberapa penulis lainnya yang tak pernah menyebut bahwa karya mereka islami, tapi justru kaya akan nilai-nilai Islam yang lebih substansial. Sayangnya kita terjebak dalam fenomena formal ketimbang simbolik,” jelasnya.

Sumber: http://cabiklunik.blogspot.com/2008/08/oase-budaya-formalisme-dan-simbolisme.html

Membaca Kebudayaan Antara dari Garasi

Th Pudjo Widijanto
Kompas, 13 Maret 2011

PEMENTASAN lakon ”Tubuh Ketiga” oleh Teater Garasi di Taman Budaya Yogyakarta, Jumat-Sabtu (11-12/3) seperti mengokohkan grup teater ini, yang memilih lanskap eksperimental (cutting edge). Menggunakan ”setting” kehidupan musik tarling khas Indramayu, teater ini mencoba mengeksplorasi sesungguhnya bagaimana bangun kebudayaan umat manusia.

Bahwa sinkritisme tidak bisa ditolak dalam perjalanan peradaban umat manusia. Tak ada kebenaran tunggal dalam aspek apa pun, baik dalam individu maupun kelompok.

Dominasi musik tarling mewarnai pentas ini. Boleh dikata penampilan Teater Garasi kali ini menyuguhkan hiburan yang segar. Namun di balik itu, sebagaimana kekhasan teater garasi, kita diajak untuk bergumul tentang makna, khususnya menyangkut hakikat kebudayaan, termasuk budaya kekerasan yang terkadang menghakimi terhadap budaya lain.

Tak ada kisah linier yang melibatkan tokoh-tokoh sentral, semua pendukung lakon berperan penting. Lakon ini lebih merupakan potongan-potongan kisah yang dikemas dalam satu benang merah sehingga membentuk sebuah esai kehidupan di seputar dunia musik tarling.

”Tak ada naskah baku. Yang ada hanya poin-poin penuntun pertunjukan. Kami lebih mengandalkan proses improvisasi,” kata Yudi Ahmad Tajudin, sutradara pementasan ini. Atau boleh jadi pementasan ini lebih menerjemahkan sebuah teks esai tentang simpul-simpul budaya yang secara konseptual digarap oleh Yudi sebagai penggagas ide.

Isyarat

Sejak gerbang pintu masuk sesungguhnya pertunjukan sudah dimulai. Setelah melewati jajaran umbul-umbul dan janur kuning melengkung, layaknya sebuah perhelatan di pedesaan Jawa, penonton disambut salam oleh putri-putri ayu dan jajaran laki-laki tampan yang semuanya mengenakan kebaya untuk perempuan dan beskap (pakaian Jawa) untuk laki-laki. Begitu masuk ruang pertunjukan penonton langsung disambut kesenian musik tarling. Itulah awal yang memberi isyarat ke mana arah kisahan berjalan.

Berikutnya digambarkan di sebuah persawahan dengan banyak petani yang sedang memanen dan menjemur padi dan ada pula sosok petani yang mewadahi padi-padi ke karung. Dalam suasana penuh kegembiraan itu, sayup-sayup terdengar suara lagu berjudul ”Jeritan TKW” (tenaga kerja wanita) dari sebuah pesawat seluler. Ada pula seorang perempuan petani yang menyanyi lagu ”Tarling” diiringi sebuah gitar.

Latar belakang persawahan itu tertancap menjulang tinggi sebuah tower jaringan seluler. Ada anak-anak muda yang ngibing mengikuti irama lagu tarling. Di tengah keriuhan petani panen raya itu, muncul orang-orang berkepala karung seolah-olah menggambarkan para pengijon yang membeli gabah petani dengan harga murah. Mendadak pula ada suara gemuruh seperti kereta api lewat mengiringi jatuhnya tumpukan sampah ke persawahan. Sawah dan sampah gambaran betapa tidak berartinya petani.

Meski kehidupannya sering tertindas, namun TKW, petani dan kegembiraan adalah bagian dari kehidupan musik tarling. Karena itu, pentas itu juga menggambarkan kemeriahan pesta musik tarling setelah masa panen. Orang-orang berdatangan yang dikisahkan mengitari panggung yang dibangun mengambang di atas selokan irigasi. Laki perempuan menari ngibing, saling sawer memasukkan uang ke tubuh penyanyi tarling yang berpakaian minim.

”Penonton, nama panggung ini adalah Santi Revaldi yang baru saja pulang dari Jakarta, habis manggung. Sejak kecil Santi memang sudah senang menyanyi. Tapi baru profesional tahun 2005, setelah ia menikah. Ibunya adalah penyanyi sintren. Selain menyanyi dangdut. Santi juga menyanyi lagu-lagu kasidah. Ia juga bisa nyinden seperti ibunya. Kalau tidak bisa menyanyi, mungkin ia sudah berangkat jadi TKW sebagaimana kawan-kawan di kampungnya. Ia dan kawan-kawannya sudah tidak lagi mau turun ke sawah,” kata seorang pembicara yang bertindak sebagai panitia.

Dalam adegan itu digambarkan pula seseorang yang berlari-lari mencari sesuatu dengan berteriak. ”Mencari Dewi Sri. Dewi Sri makin miskin dan suatu saat nanti memutuskan pergi menjadi TKW.” Gambaran kepergian Dewi Sri (Dewi penjaga padi) adalah simbol hilangnya kemakmuran petani.

Dengan tarling, Yudi selaku penulis ide, memang ingin berbicara kebudayaan dalam konteks keindonesiaan. Tarling yang berkembang di pesisir utara Jawa yang menggunakan musik gitar bercampur musik tradisi, bergerak di antara kebudayaan agraris dan industrial, antara desa dan kota, yang tradisional dan modern. Tarling juga problematis, karena dianggap bukan seni tradisi tetapi juga belum seni modern. ”Tetapi di tengah posisi problematis itu tarling berkembang, terus tumbuh menjadi penanda kebudayaan antara (antara modern dan tradisi), suatu kebudayaan yang tidak tumbuh dari suatu definisi atau identitas,” kata Yudi.

Dalam konteks keindonesiaan banyak hal kebudayaan Indonesia tersusun dari entitas-entitas kebudayaan ketiga itu. Sebagaimana tersirat dalam adegan dialog budaya dalam pementasan ini, bahwa kesadaran akan budaya antara ini penting agar kita memahami kebudayaan dan memiliki kebebasan untuk membangun sebuah produk budaya. Betatapun sesilangan budaya, sinkritisme itu nyata. Di situ kebudayaan antara itu terus menghidupi dirinya sendiri….

Sumber: http://cabiklunik.blogspot.com/2011/03/teater-membaca-kebudayaan-antara-dari.html

Muhammad Salim: Rujukan Aksara “Lontarak”

Maria Serenada Sinurat
Kompas, 15 Maret 2011

MUHAMMAD Salim adalah bukti hidup bahwa penghargaan datang bukan karena gelar dan jabatan, tetapi karena karya berkelanjutan. Hampir sepanjang hidup ia menekuni ”lontarak”, naskah kuno beraksara Bugis-Makassar. Dia menghidupkan dan memaknainya kendati ini kerja sunyi tanpa banyak imbalan.

Kami bertemu di Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan, tempat Salim ”bekerja” yang tak memberinya honor empat tahun terakhir. Dengan semua itu, ia bersetia mengawal pendokumentasian lontarak dari seluruh penjuru Sulsel.

Lontarak adalah kehidupan Salim. Aktivitas menyalin lontarak ke huruf Latin (transliterasi) lalu menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia (translasi) ibarat menu hariannya. Dalam sehari ia menghabiskan dua hingga tiga jam untuk menyalin lontarak, termasuk Lontarak Enrekang, proyek yang baru dia mulai.

Meski demikian, yang membuat nama Salim diperhitungkan hingga mancanegara tentulah Sureq Galigo. Dia terpilih dalam Proyek Transliterasi dan Terjemahan Sureq Galigo yang digagas Universitas Leiden, Belanda, tahun 1987. Ia mulai bekerja tahun 1988 dan membutuhkan waktu 5 tahun 2 bulan untuk menerjemahkan hikayat penciptaan peradaban manusia di Sulsel itu.

Naskah I La Galigo di Universitas Leiden memiliki tebal sekitar 6.000 halaman. Arung Pancana Toa-lah yang memberikan naskah ini kepada orang Belanda, BF Matthes. Naskah di Leiden termasuk kisah paling lengkap kendati belum sepenuhnya selesai. Sebenarnya masih banyak lontarak yang terserak dan belum ditemukan.

Tidak mudah menerjemahkan I La Galigo, karya sastra terpanjang yang berabad-abad ”tertidur”. Salim tak sekadar membaca teks, tetapi juga konteksnya. Galigo merupakan karya sastra yang khas dengan pola pengejaan lima-lima, seperti: i-la-ga-li-go dan sa-we-ri-ga-ding.

Melalui pergulatannya, Salim menemukan Sureq Galigo juga menggunakan bahasa Bugis klasik dan Sanskerta, contohnya pada Sangiangserri yang artinya Dewi Padi. ”Dalam Sanskerta, dikenal Sang Hyang Sri, yang juga Dewi Padi.”

Dalam penerjemahan, ia membutuhkan tiga kamus sekaligus, yakni bahasa Bugis-bahasa Belanda lama, bahasa Belanda lama-bahasa Melayu lama, dan bahasa Melayu lama-bahasa Indonesia.

Penerjemahan Galigo memang melelahkan. Ruang kerja di rumah panggungnya berupa bilik. Sejak pukul 08.00 hingga 17.00 ia menekuni aksara kuno. Di sebelah meja kerja, ada kasur untuk Salim beristirahat sewaktu-waktu.

Honor transliterasi kala itu 5 dollar AS per lembar, sedangkan translasi 8 dollar AS per lembar. ”Uangnya saya pakai untuk beribadah haji. Saya tak suka beli barang,” tuturnya.

Mendunia

Nama Salim ikut mendunia bersama ”terbangunnya” I La Galigo. Mata dunia memandangnya seakan dia baru muncul. Padahal, jauh sebelumnya ia sudah tenggelam dalam dunia lontarak. Lahir dan besar di Pangkajene, Sidenreng Rappang, Sulsel, ia terbiasa membaca lontarak.

Pada masa lalu masyarakat menuliskan kisah dalam aksara lontarak. Apa pun bisa diceritakan; ilmu perbintangan, hubungan suami-istri, silsilah keluarga, pantangan, doa-doa, hingga nyanyian. Salim kecil belajar membaca lontarak dari neneknya.

Kemampuan ini terasah saat ia masuk pesantren di Allakuang, Sidenreng Rappang (Sidrap). Dia bergurukan KH Muhammad Yafie dan Muhammad Abduh Pabbajah. Murid-murid di sini terbiasa menerjemahkan Al Quran dalam bahasa Arab ke bahasa Bugis. Semuanya ditulis dalam huruf lontarak.

Seperti telah digariskan, hidup Salim tak pernah jauh dari lontarak. Lulus Sekolah Guru Bawah (SGB), ia mengajar pelajaran bahasa Bugis di satu-satunya sekolah menengah pertama di Pangkajene selama delapan tahun.

Berselang setahun, ia menempuh pendidikan guru sekolah lanjutan jurusan Bahasa Bugis di Makassar. Dia lalu ditarik ke kampung halaman, menjadi Kepala Dinas Kebudayaan Sidrap pada 1971.

Dengan posisinya itu, Salim kian gencar memopulerkan lontarak bagi pelajar. Ia mendorong penerbitan buku cerita rakyat dalam huruf lontarak untuk tingkat sekolah dasar dan buku nyanyian untuk tingkat SMP. Satu buku cerita bisa ditukar dengan satu liter beras atau satu kelapa bagi keluarga yang tak punya uang.

Tahun 1980, saat menjadi staf Dinas Permuseuman, Sejarah, dan Kepurbakalaan Sulsel, ia berkesempatan menyelami naskah kuno. Ia lalu menggagas proyek pengumpulan lontarak. Ia menjelajahi seluruh kabupaten di Sulsel hingga Kabupaten Selayar ”berburu” lontarak.

Proyek ini bertujuan mendokumentasikan lontarak di Sulsel dan menerjemahkannya. ”Banyak sekali lontarak berisi pengetahuan yang bisa diterapkan sampai kini, seperti pengobatan dan pertanian,” ujarnya.

Dari perburuan itu, Salim mengumpulkan lebih dari 100 lontarak. Semua tersimpan rapi di Yayasan Kebudayaan Sulsel. Beberapa lontarak sudah disalin ke huruf Latin dan sejumlah kecil diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Namun, banyak yang tak diterbitkan karena kurangnya dana.

Harta karun sejarah ini lebih menarik minat peneliti asing. Bahkan I La Galigo pun diterjemahkan tanpa bantuan uang Pemerintah Indonesia.

Tanpa gelar

Salim menjadi rujukan siapa pun yang meneliti lontarak. Ia masih bersemangat bicara tentang lontarak.

Ia percaya, pengetahuan juga digembleng karena pengalaman. Dia bukan profesor, tetapi kefasihannya memaknai lontarak membuatnya bertemu para profesor asing. Mereka takjub melihat orang yang menghidupkan kembali epos Sawerigading adalah pria sederhana.

Dalam hati, Salim tetap merasa sebagai guru. Ia ingin menularkan ilmunya kepada banyak guru dan mahasiswa. Untuk itu dia mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin. Dia juga bertahan di Yayasan Kebudayaan Sulsel. Padahal. bisa dikatakan yayasan ini bangkrut, tak ada uang dan peneliti. Beberapa buku penting terkait sejarah di kawasan timur Indonesia diambil alih Arsip Nasional.

Yang tersisa dari yayasan adalah lontarak, pekerja berhonor kecil, dan Salim. Kendati demikian, yayasan ini telah menjadi ”rumah” bagi Salim yang setia dengan Vespa tuanya. Hanya bila hujan deras saja dia urung datang. ”Khawatir Vespa-nya mogok,” kata pria bercucu tujuh dan bercicit satu ini.

Warisan Salim ialah penerjemahan I La Galigo, dan dunia patut berterima kasih kepadanya.
***

Muhammad Salim
• Lahir: Sidenreng Rappang, Sulawesi Selatan, 4 Mei 1936
• Istri: Hj Djamiah (65)
• Anak:
- Husnah Salim
- Nurdinah Salim
- Hamdan Salim

• Kegiatan:
- Dosen di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin
- Peneliti di Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan

• Lontarak yang disalin dan diterjemahkan ke bahasa Indonesia antara lain:
- Sureq Galigo
- Lontarak Sidenreng
- Lontarak Soppeng/Luwu
- Budhistihara yang berisi nasihat keagamaan
- Pappaseng
- Lontarak Enrekang (dalam pengerjaan)

Sumber: http://cabiklunik.blogspot.com/2011/03/sosok-muhammad-salim-rujukan-aksara.html

Minggu, 20 Maret 2011

MEMBACA DUNIA NUREL *

Marhalim Zaini **
http://sastra-indonesia.com/

“Ada logika-logika aneh dan asing, ada sentakan pemberontakan yang ajaib, ada teriakan-teriakan keras dan dalam, ada hasrat untuk membangun dunia sendiri. Ada lompatan-lompatan makna dalam bahasa yang berguling-guling, ada jerit dari jerih kata yang diperas berulang-ulang, ada laut yang saling berbalik arah debur ombaknya.”

Demikian komentar saya via sms, beberapa waktu lalu saat menerima dan membaca sejumlah buku (berukuran) mungil yang dikirim oleh Nurel Javissyarqi. Buku-buku yang hemat saya lahir dari kegelisahan spiritualitas khas para pejalan sunyi, yang bergumam, berbisik atau terkadang menjerit dalam lengking panjang tak berujung. Ada dalam bentuk surat-surat, aforisma, syair, puisi, kisah, dan sejumlah bentuk yang tampaknya sedang membangun frasa nafasnya dalam lorong hidupnya sendiri. Dan saya kira, komentar saya di atas, juga kelak berlaku dalam pembacaan saya terhadap sebentuk buku lain yang juga ditulis oleh Nurel, berjudul Kajian Budaya Semi, ini.

Barangkali, di dunia hiruk, penuh lintasan peristiwa dan kolase waktu yang berselirat serupa jaman kini, tidak ada yang mustahil. Setiap yang lahir dari rahim pemikiran siapa pun akan selalu hadir sebagai segumpal wacana, dengan segala potensinya, berupaya keras untuk ikut bergabung dalam wilayah publik yang lebih luas, mencoba hidup berdampingan dengan sejumlah tubuh-tubuh wacana lain. Dalam konstelasi serupa itu, yang terjadi kemudian adalah kompetisi. Bukan sebuah kompetisi yang semata ditata oleh sebuah sistem produksi yang massif, akan tetapi juga dalam sebuah lingkungan terkecil, bahkan tersempit dari sisi yang paling tepi. Dan apakah sempat kita sadari bahwa rupanya masih demikian lengkap hidup kita ini dengan pernik-pernik kesadaran terkecil yang (mungkin) selama ini tidak tersentuh. Dan sosok Nurel (dalam sejumlah bukunya) adalah satu dari sekian pernik yang tidak tersentuh itu.

Sejak semula saya mengenal Nurel, saat saya masih di Yogyakarta dulu, saya selalu melihat ada jerih dari semangat yang sulit pecah saat terbanting. Berulang-ulang Nurel terhimpit dalam situasi payah, tidak membuatnya sayang pada segala benda dimilikinya untuk “dikorbankan” bagi penebus hasratnya menerbitkan sebuah buku dan menggiatkan sejumlah kegiatan sastra. Dan sampai kini, meski saling berjauhan, saya masih terus melihat Nurel “mengabdikan” dirinya dalam dunia tulis-menulis, justru dengan frekuensi lebih besar. Produktivitasnya tampak seperti sedang berlomba-lomba berkejaran dengan waktu. Meski awalnya saya katakan, bahwa Nurel tidak sedang ikut berkompetisi dalam sebuah sistem produksi massif, akan tetapi, kini tampak ia sedang bergerak menguji sejumlah kemungkinan untuk bisa menerobos sekat-sekat itu, dengan berkayuh di atas perahunya sendiri. Ini berat sekaligus ringan; Berat sebab sekat-sekat itu demikian kokoh dibangun oleh sejarah (tulis-menulis) yang permanen serta dihuni nama-nama besar. Dan ringan, karena ternyata Nurel memiliki jaringan komunitasnya sendiri, dengan tanpa mengikutsertakan beban historisnya.

Hal paling esensi yang dapat saya tangkap dari proses macam itu (terutama dalam diri Nurel) adalah sebuah hasrat untuk terus “memelihara” kejujuran, ketulusan, sekaligus “kebebasan” dalam berekspresi. Bahwa saat membaca “dunia Nurel” dalam (bisa dikatakan) seluruh karyanya, saya (atau kita) sebagai pembaca tidak akan bisa serta merta melepaskan diri dari konstruksi bahasa yang ditawarkan oleh Nurel. Tidak semata pada fiksi, namun juga non fiksi (seperti buku ini yang Nurel sebut sebagai semi ilmiah). Bahasa, tampaknya bagi Nurel, adalah media sangat kompromis dan demikian terbuka untuk diajak melakukan eksperimentasi, baik dalam wujudnya konvensional, maupun dalam hal membangun permaknaannya sendiri. Barangkali inilah yang saya lihat sebagai ada lompatan makna dalam bahasa yang berguling-guling. Maka, harus dimafhumi jika pembaca temukan sejumlah kata, frasa, bahkan kalimat yang terdengar aneh dan asing. Dari sini, justru dapat terlihat bahwa Nurel sedang membebaskan dirinya dari “beban” bahasa formal dan langsung melompat pada wilayah pemikiran-pemikiran yang tampak tidak terbendung untuk tumpah.

Selanjutnya, membaca pemikiran Nurel, benar-benar sedang terombang-ambing di atas laut yang berbalik arah debur ombaknya. Pada bagian pertama, Indonesia Merangkak Menuju Matahari, adalah awal dari proses panjang menelusuri teriakan-teriakan keras, sentakan pemberontakan (Nurel) yang ajaib. Ajaib dalam konteks ini adalah jelmaan-jelmaan pemikiran yang terkadang hadir membayang dan berseliweran. Ada emosi personal sedang bercakap-cakap dengan gelombang narasi besar peradaban dunia. Sebuah dunia yang kelak terpetak-petak dalam wilayah mata angin, terutama Barat dan Timur. Saya menangkap, bahwa Nurel sedang “berkubang” dengan sejumlah pertelingkahan dua arah mata angin itu sebagai sebuah sikap atau sebuah jawaban atas kecemasan-kecemasan kolektif yang dialami bangsa ini. Sisi spiritualitas kemudian dikedepankan sebagai wilayah masih perawan, yang masih menyimpan “rumah alternatif” bagi kembalinya segala persoalan.

Apa yang kemudian Nurel sebut sebagai “Kekuasaan Dan Kemenyan” di sub bab pertama, adalah simbolisasi diri dan refleksi atas kegemaran sebuah bangsa pada korupsi. Korupsi yang menjadi salah satu penyebab timpangnya realitas sosial kita, seolah telah mentradisi dan sekaligus menjadi representasi dari rentannya sistem birokrasi spiritual kita. Saya membaca kata-kata; pengangguran, peperangan, kegagalan, pembangunan, penjarahan dan tragedi pada sub pembahasan berikutnya, ialah buah upaya membeberkan problema yang kian membuat sebuah bangsa berhadapan dengan dirinya sendiri sebagai pribadi tanggung, penuh paradoks.

Sementara pada bagian ke dua, secara lebih mengkerucut, Nurel tampak sedang menelisik persoalan pada wilayah vertikal, wilayah transedensi, wilayah segala sesuatunya menemukan keberadaan diri yang sesungguhnya. Latar belakang Nurel sebagai seorang yang sempat dan selalu menyinggahi dunia pesantren, telah membawa kajiannya pada celah-celah cahaya bagi kegelapan sebuah dunia, dalam sebuah lingkaran bernama agama. Wacana tuhan berkembang dalam segala seluk-beluk pemikiran, menyinggung sisi kemanusiaan kita sebagai yang dilahirkan dalam sebuah lingkungan kebudayaan yang tak tunggal. Ada perbenturan, pergesekan yang bermuara pada pernyataan-pernyataan tentang paradigma “kebenaran.” Tokoh-tokoh seperti Nietzsche pun (yang mencuat dengan Kematian Tuhannya) kemudian acapkali menjadi sesosok “hantu” yang mengganggu.

Jika berpatokan pada judul buku ini (Kajian Budaya Semi,) maka inti dari perbincangannya tampak lebih fokus di bagian ketiga. Kebudayaan sebagai sosok intim dengan manusia terlihat sedang “bermesraan” dalam sebuah kesadaran individu si penulis. Meski pada pembahasan berikutnya, kebudayaan seolah sedang berselingkuh dengan perubahan-perubahan yang datang menggoda, lewat pakaiannya yang molek. Lalu peradaban bagi puncak sebuah kebudayaan dipertanyakan. Dicubit sensitivitasnya. Sekaligus diperbantahkan segala infra-strukturnya. Meski hemat saya (sebab kena virus, kelanjutan tulisan ini via sms); Hemat saya, hrs dicari korelasi yg cukup tegas jika kmdian (pada sub briktnya) wilayahnya meluas smpai pd soal kajian bhsa si penulis sndiri. Dan dicari konteks yg lbh tepat, tentu dalam kapasitas sbuah tema pmbhasan yg lbh spesifik.

(alinia baru). Saya kira, pd dua bab trakhr buku ini, Nurel justru sdg melmpat ke wilayah yg lain; Kecantikan & Mistis, Mahabbah, Syauq, Muwajjaha, yg lbh menunjam ke ruang2 personal kemanusiaan kita. Mgkn bagi Nurel, persoalan2 inilah yg ssngghnya (kembali ke via internet atau email); yang patut menjadi perhatian serius dalam rangka membangun sebuah peradaban. Apa yang tampak menjamur dalam banyak media dunia modern kita kini, adalah sebuah klise. Cinta hadir dalam tubuhnya yang compang-camping, dalam beragam pengertian, perlakuan terhadapnya. Terlepas bagaimana Nurel mengaitkan pembahasannya terhadap dunia kaum mistis, saya menangkap bahwa Nurel hendak mengarahkannya pada esensi. Pada sesuatu yang kini tampak tak tersentuh, terlupakan.

Dan inilah yang saya anggap sebagai hasrat untuk membangun dunianya sendiri. Lewat buku ini, kita sedang diajak mengembara ke dunia yang tumbuh diam-diam dalam ketidaksadaran kita. Sebuah dunia (yang mungkin) terasa chaos, tak terperhitungkan, tak terduga dan absurd. Kesadaran apapun yang kemudian tumbuh dari pembacaan itu, adalah hasil dari tangkapan pemahaman kita terhadap sebuah realitas. Jika kemudian ada kegamangan, ketidakteraturan, ketidakmenentuan, dan tumbuh sejumlah penyakit dalam diri kita, maka itulah virus. Virus yang sebenarnya telah tertanam jauh sebelum diri kita terlahir. Selamat masuk ke dunia Nurel.

**) Berkhidmat di Akademi Kesenian Melayu Riau (AKMR) Pekan Baru.
*) Tulisan Marhalim Zaini di atas adalah lampiran di buku “Trilogi Kesadaran,” cetakan I, 2006, yang sebelumnya sebagai pengantar buku stensilan “Kajian Budaya Semi,” cetakan I, 2005, karya Nurel Javissyarqi, penerbit PuJa [PUstaka puJANgga].
Bacaan lain terkait: http://sastra-indonesia.com/2010/03/dunia-anomali-di-mata-mistikus/

Jumat, 18 Maret 2011

Dongeng Hujan

Dwicipta
http://suaramerdeka.com/

PADA mulanya hujan. Lalu lelaki tua itu akan mengeluarkan sebuah kursi kayu dari dalam rumah dan ditaruh di beranda. Ia menjatuhkan pantat kering di permukaan kursi, dan memanggil cucu kesayangan yang telah ditinggalkan kedua orang tua sejak kecil. Anak lelaki berusia tiga belas tahun itu akan mengerti arti panggilan kakek. Ia datang dengan membawa secangkir kopi dan rokok yang digulung dengan daun jagung. Selanjutnya, lelaki tua itu akan memandangi tetes-tetes air hujan dengan seksama, terus menerus, sampai berhenti. Sambil memandang derai-derai hujan, ia mengisahkan pada cucunya banyak hal, mulai dari pendirian pabrik gula yang ada di dekat kampung sampai dengan kehidupan para kuli harian dan tangan para kuli klethek1 yang selalu kelihatan mengerikan. Tentu saja sembari pandangan mata memamah buliran-buliran air hujan di luar, dan melayangkan angan-angannya jauh ke masa lampau tempat ia merasakan kemurnian hidup lebih dari yang dirasakan sekarang.

Ia akan sangat semangat bercerita bila air yang tumpah dari langit besar-besar dan deras. “Seperti butir-butir kristal. Dan ketika jatuh di tanah, aku membayangkan air itu mengeluarkan suara seperti sebuah piring dibenturkan dengan logam semacam besi atau baja,” katanya.

Napas tuanya mendengus berkali-kali, kadang-kadang seperti orang menghela karena tak menerima kenyataan menyesakkan. Rancak suara air hujan di atas atap atau di atas lantai dan saluran air di samping kanan dan kiri bagian depan rumahnya bagai musik liris, menaburkan kilauan cahaya warna-warni di permukaan bola mata, dongeng kebun tebu dan pabriknya yang ia hapal dari kakek neneknya ketika ia masih kecil seusia cucunya. Bagaimanapun juga, ia ingin mewariskan kebiasaan kakek dan neneknya pada cucu, agar anak lelaki itu tidak kehilangan akar.

“Dongengnya panjang, Nak. Ambil kursi kecilmu dan duduklah di sampingku.”

Anak lelaki itu pun mematuhi ucapan kakeknya dengan segan. Setiap musim hujan, kebiasaan sang kakek mendongeng membuatnya tak bisa ke mana-mana.

“Pertama-tama, lelaki itu datang. Ia memakai pakaian rapi, hitam putih. Wajahnya bulat dan segar, bagai bulan sedang purnama. Kami menyebutnya laki-laki dari Selatan, sebuah kota besar yang jaraknya amat jauh dari sini. Di kemudian hari, orang-orang melihatnya bekerja sebagai kontrolir perkebunan tebu, menggantikan kontrolir sebelumnya yang meninggal di kompleks pelacuran. Sikapnya jauh berbeda dari mandor-mandor tebu yang lain, Sinyo-sinyo Jawa yang suka plekitha-plekithi dan berhura-hura. Ia tak suka memukul para kuli kebun tebu, tak pernah menggunakan cambuknya, tak senang pergi ke pelacuran, bersenang-senang dengan perempuan nakal. Orang sudah simpati melihat wajahnya yang selalu terang, penuh senyum dan berkata halus. Ia menjadi kesayangan para kuli kebun tebu,” katanya dengan raut muka menerawang.

Cucunya gelisah menahan hawa dingin. Entah sudah berapa kali ia mendengar dongeng itu dari mulut kakeknya. Walaupun ia telah memakai pakaian dan sarung, namun bila hujan sedang deras dan lama, hawa dingin mencucuk itu mau tak mau akan merasuk ke dalam sumsum tulang. Sementara kakeknya bagai tersihir dongengnya sendiri, pandangan matanya merasuk ke dalam gejolak air hujan yang mencari ceruk-ceruk lebih rendah atau mengalir ke got-got penuh dedaunan kering dan sampah kotor.

“Kemarin kakek telah menceritakan dongeng itu, dan terus berhenti di kalimat yang sama. Sehabis itu hampir seluruh waktu kakek melamunkan laki-laki itu,” katanya tak sabar.

Laki-laki tua itu berpaling, mendengar suara agak meradang dari cucunya.

“Apakah aku telah mengulanginya?”

“Sudah hampir tujuh kali kakek mengulanginya. Aku bosan,” katanya.

“Baiklah. Tapi memang demikianlah adanya. Ia memang layak menjadi kesayangan setiap orang. Tidak seperti kontroler kebun tebu yang biasa tinggal di tangsi-tangsi bagus dan mewah itu, ia lebih suka tinggal di perkampungan orang biasa, di kampung kita ini, Nak.”

“Aku sudah melihat bekas rumahnya, Kek. Tak ada yang istimewa menurutku.”

“Kau sudah datang ke sana? Ah, apakah kau mendapati sesuatu di sana? Orang baik selalu disayangi Tuhan dengan berbagai aurora baik. Kau tentu punya kesan atas tempat tinggalnya.”

Sang cucu menggaruk-garuk kulitnya melawan hawa dingin hujan, tak memedulikan kata-kata dari mulut kakeknya. Ia lebih suka memandang asap rokok dari mulut itu daripada mendengarkan ceritanya yang menjemukan itu. Karena cuaca buruk ia tak bisa bermain dengan teman-temannya mengambili telur-telur burung bondol dan emprit di tengah-tengah kebun tebu. Sejak pagi ia mengumpat-umpat awan yang bergelayutan di langit. Kawan-kawannya tak ada satu pun yang datang padanya, mengajaknya bermain sebagaimana biasa. Begitu tetes-tetes hujan mulai menderas, khayalan merebus telur burung dengan kaleng bekas susu lenyap dari kepala. Kejengkelan itu ditambah dengan kepikunan kakek yang suka mengulang-ulang cerita.

“Lalu apa yang terjadi dengan lelaki itu, Kek? Kenapa sekarang rumahnya tak terawat? Apakah dia pindah rumah?”

Kilat menyilaukan melesat di angkasa, diikuti suara guntur susul menyusul. Anak lelaki itu menutup kedua daun telinga dan merapatkan kedua kelopak matanya kencang-kencang. Sementara lelaki tua itu hanya kaget sedikit, dan keredap cahaya di langit seperti mengingatkannya pada sesuatu.

“Ibumu dulu kembang kampung ini. Rambutnya sangat panjang, hampir mencapai pinggul, lurus dan beraroma melati. Gadis-gadis di kampung ini banyak mengiri padanya. Apalagi bila melihat kuku-kukunya yang dirawat rapi dan diwarnai dengan daun pacar. Banyak orang bilang, daun pacar yang dipakai di atas kukunya itu yang menyebabkan orang banyak jatuh hati padanya. Banyak pula yang bilang ia memakai guna-guna pemikat laki-laki.”

Rasa jenuh menghinggapi anak lelaki itu. Dongeng Sang kakek tentang ibunya pun sudah ia dengar puluhan kali. Kekagetan oleh petir yang diharapkan mengubah kisah sang kakek berakhir dengan rasa pahit di lidah oleh kekecewaannya. Ia menjawab asal atas dongeng kakeknya.

“Tapi menurutku ibu biasa saja. Aku hanya suka dengan bentuk kakinya, terutama di bagian betis. Barangkali ia titisan Ken Dedes seperti yang diceritakan guru sejarah di sekolah.”

“Yah, betisnya memang indah. Juga dada dan bentuk pipinya. Semua bagian tubuhnya adalah keindahan karena seluruh tubuh itu tersusun dari rahasia-rahasia yang melingkupi seluruh kebun tebu ini.”

Dan tanpa bisa dicegah mulutnya kemudian melantur pada kisah asal muasal kebun tebu di daerah itu, ketika seorang lelaki berkulit putih dan berkumis tebal dan dipanggil sebagai Ban Dampar2 memasang patok-patok di sawah-sawah petani, sebagai penanda penguasaan tanah secara semena-mena untuk dijadikan kebun tebu. Tanpa memedulikan kegemasan cucunya akan kepikunannya itu, ia bercerita bagaimana alat-alat berat yang belum pernah dilihat penduduk kampung itu didatangkan di areal pabrik, sementara orang-orang kampung dipaksa membangun dampar dan kompleks pabrik dan sebagian yang lain dipaksa menebang hutan jati di perbukitan sebagai landasan dampar atau bahan bangunan pabrik. Selain semena-mena memerintah dan mematok tanah penduduk, orang yang disebut kakeknya Ban Dampar juga memiliki kesukaan mengambili gundik-gundik Jawa, jumlahnya puluhan, bahkan ada yang bilang ratusan. Dari seluruh gundiknya itu, ia mempunyai banyak keturunan, yang disebut orang sinyo-sinyo Jawa. Mereka berdandan gaya Eropa, namun bermental pribumi. Kebiasaan memiliki banyak gundik itu diikuti oleh penggantinya, dan seterusnya, bahkan setelah pabrik tebu dikuasai orang pribumi sendiri.

“Selama tiga tahun pabrik gula itu dibangun, dan selesai ketika Belanda sudah mengalami belitan hutang luar biasa akibat perang Jawa yang dipimpin Diponegoro. Begitu pabrik gula selesai, Ban Dampar meninggal. Orang bilang ia kena kutuk setan-setan hutan jati yang dia gunduli untuk membangun jaringan dampar dan pabrik gula ini, serta mengambili kayunya sebagai bahan bakar sepur3 nya. Lalu datanglah tuan direktur yang pertama, tuan Kornalius Spoor. Anak Ban Dampar, yang biasa dipanggil Sinyo-sinyo Jawa itu, dijadikan kacung setianya, disebar di segala penjuru sebagai kontrolir-kontrolir kebun tebu serta pengawas pabrik. Mereka, dan keturunannya itulah yang mengajari bagaimana bertindak kejam kepada kaum pribumi,” kisahnya dengan penuh semangat.

“Kakek seenaknya saja menyebut nama orang! Dalam sejarah yang diajarkan guruku di sekolah, nama pendiri pabrik gula itu bukan Ban Dampar, tapi Van Der Vaart. Sedangkan direkturnya itu bernama Cornelius Spoor, Kek.”

“Ah, siapa bilang. Orang-orang di sini menyebutnya Ban Dampar. Karena ia membangun dampar-dampar sampai ke kampung-kampung yang jauh, di tengah-tengah sawah, naik turun bukit. Sedangkan tuan Kornalius di panggil Spoor karena ia yang menjalankan sepur-sepur pertama kali. Dialah yang memotong tali pesta tebang pertama kali di pabrik tebu. Pesta pembukaannya, menurut kisah, dirayakan selama tujuh hari tujuh malam, menyembelih beratus-ratus kerbau dan sapi dan kambing. Mendatangkan tayub dan wayang kulit, ketoprak, stambul, dan lain-lain. Sinyo-sinyo Belanda dan orang-orang Eropa berdatangan. Alangkah ramainya,”

Tak sabar mendengar lanturan kakeknya, anak kecil itu masuk ke dalam rumah dan membuat kopi untuk dirinya sendiri. Ia tak tahan dengan hawa dingin di luar rumah sementara kakeknya asyik menikmati kopi sambil mengepul-ngepulkan

asap.

Begitu ia keluar membawa kopinya, beberapa temannya telah berdiri di depan rumah.

“Ayo, Mar, main hujan-hujanan. Kita mencari burung yang kedinginan di kebun tebu,” teriak salah satu temannya. Sinar matanya berbinar-binar. Ia seolah merasakan kembali daging burung yang dibakar dan diberi garam dan kecap.

“Hehm, tentu akan menyenangkan dingin-dingin begini melahap daging burung,” pikirnya.

Namun kakeknya keburu bersuara.

“Jangan hujan-hujanan, nanti kalian akan jatuh sakit. Mar, kamu di rumah saja. Sana kalian pergi! Mengganggu saja!” teriaknya pada anak-anak itu.

“Aku ingin makan daging burung, Kek,” cucunya memaksa.

“Kalau makan daging burung tak usah hujan-hujanan. Besok beli di pasar, lebih mudah dan tidak sakit. Kalau kau sakit siapa yang akan merawatmu?”

Lehernya mengeret. Kakeknya jarang marah. Namun sekali marah, segenap kepikunan dan ketololannya yang setiap hari ia perlihatkan bagai sirna ditelan bumi. Lagipula benar yang dikatakan, kalau ia sakit, siapa yang akan merawat. Teman-temannya mengeluyur pergi tanpa berkomentar apa-apa. Ia sakit hati sebenarnya, namun kalau ia melampiaskan, siapa yang akan menjadi sandaran hidupnya?

Lelaki yang sedang asyik menikmati hujan itu menoleh ke arahnya kembali.

“Duduk dan minumlah kopimu. Minuman itu akan menghangatkan tubuhmu.”

Tanpa diminta lelaki itu kemudian melanjutkan ocehannya.

“Pada mulanya banyak orang-orang di kampung ini yang berontak pada perintah penanaman tebu, Nak. Tapi mereka punya senapan, dan menembaki orang yang melawan. Kalau tidak ditembak, mereka di bawa ke landrad4. Akhirnya di penjara. Orang jadi takut. Dan ketakutan itulah yang akhirnya menyebabkan aku, dan kau, dan kita semua di kompleks perkebunan tebu ini hidup sampai sekarang bersama sisa-sisa ketakutan. Bahkan setelah sinyo-sinyo Belanda itu pergi dari tempat kita dan digantikan sesama orang kita sendiri.”

“Lalu lelaki yang datang dari Selatan itu, bagaimana kelanjutanya kek?”

“Sudah kukatakan, lelaki itu meninggal muda,” katanya.

Raut mukanya menjadi sangat sedih.

“Apa sebab kematiannya?”

Ia terpekur lama memandang tetes-tetes hujan yang mulai mereda. Lama ia berpikir sebelum membuka suara. Dipandangnya wajah cucunya yang bundar dan mata hitamnya yang amat menyenangkan hati itu.

“Ia mati diracun, Nak.”

“Kenapa kakek baru sekarang mengatakan lelaki itu diracun?” katanya dengan reaksi tubuh kaget karena tak mengira dengan jawaban kakeknya.

Lelaki tua yang suka melantur ke mana-mana itu biasanya tak pernah menjawab pertanyaan itu.

“Aku kira memang demikian. Lelaki itu diracun. Banyak orang bilang, ia jatuh hati pada ibumu. Banyak pula yang bilang ibumu jatuh hati padanya. Aku tak tahu mana yang benar. Tapi yang menyukai ibumu bukan hanya dia, Nak. Semua orang jatuh hati padanya. Dari kuli tebu sampai para pimpinan, jatuh hati padanya. Namun ibumu, agaknya, lebih memilih lelaki baik itu.

“Ia dan ibumu sering menghabiskan waktu dengan bersepeda mengelilingi kebun tebu atau mengawasi para pekerjanya, kadang-kadang mengawasi kuli tebang. Lalu entah bagaimana ceritanya, pada suatu hari, ia ditemukan meninggal di rumahnya.

“Hampir satu bulan ibumu berduka, sampai akhirnya tuan direktur pabrik mengambilnya menjadi istri yang keempat. Lalu lahirlah kau,” katanya.

Anak lelaki yang beranjak remaja itu tak menyukai ayahnya sendiri yang gila perempuan. Usianya sudah hampir lima puluh tahun ketika ia menikahi ibunya. Dan ia berusia lima tahun ketika ayahnya meninggal. Ia tak merasa mirip dengan ayahnya itu. Walaupun ibunya menjadi istri direktur itu, ia tak mendapatkan warisan apa pun seperti anak direktur lain, kecuali rumah cukup bagus yang kini ditempatia bersama kakeknya. Orang-orang di kampung sering menuduhnya anak haram, bukan anak kandung Tuan Direktur. Benar ucapan kakek, sang ibu menjadi bahan kecemburuan istri direktur lain karena kecantikan dan rasa sayang berlebihan ayahnya, sehingga ketika lelaki mata keranjang itu meninggal, ibunya yang menjadi bahan bulan-bulanan, dihina dan dicaci-maki, tak mendapatkan bagian warisan yang semestinya menjadi bagiannya.

Sang kakek memandangi cucunya. Ia mengamati wajah cucunya yang mirip lelaki dari Selatan itu, bentuk pipi dan mata hitam mirip ibunya. Ia terdiam beberapa lama. Tangannya mengelus dada, tak tega mengatakan siapa ayah anak itu sebenarnya sampai sekarang. Yang telah terjadi biarkan terjadi, biarkan menjadi rahasianya sendiri. Ketika seluruh penduduk kampung geger mendapati tubuh kontrolir kesayangan mereka tak bernyawa di rumahnya, tak ada yang tahu siapa yang telah melakukan pembunuhan biadab itu. Semuanya terselubung misteri. Bahkan dengan pernikahan dipaksakan antara anaknya dan direktur pabrik gula itu, kematian direktur itu yang juga tiba-tiba, dan perbuatan semana-mena para istri-istri direktur dan anak-anaknya yang telah besar itu pada anaknya. Ia diselimuti rangkaian peristiwa yang berputar-putar dan sama gelapnya dengan kisah pabrik gula itu.

Di luar hujan benar-benar reda. Lelaki tua itu tak berminat lagi melanjutkan ceritanya. Ia masuk ke dalam rumah, tidak lagi mempedulikan cucunya yang masih duduk dan berharap kakeknya melanjutkan cerita yang belum didengarnya, terutama tentang lelaki dari Selatan itu.

Yogyakarta, 17 November 2005

Untuk perpisahan Bapakku dari Pabrik Gula dan kereta tua 1905-nya.

Catatan: 1) Kuli tebu yang kerjanya mengelupasi daun-daun kering pada tebu yang masih muda agar tidak terserang hama. Biasanya karena bulu-bulu daun tebu yang tajam, walaupun tangan mereka sudah memakai sarung, tetap saja teriris dan sobek-sobek kulitnya, mengakibatkan bekas goresan-goresan.
2) Rel kereta api
3) Kereta api
4) Landraad, Pengadilan di jaman Belanda. Sampai setelah Indonesia merdeka, orang-orang Jawa yang tinggal di perkampungan tetap menyebutnya landrad, bukan pengadilan.

Rabu, 16 Maret 2011

KADO PENGHAMPIRAN SASTRA YANG “MEMBUMI”*

Suryanto Sastroatmodjo
http://pustakapujangga.com/?p=638


Lebih kurang 15 warsa silam, Pamusuk Erneste (dalam buku “pengadilan puisi” penerbit Gunung Agung Jakarta, 1986), menggambarkan bagaimana jauhnya bila jagad sastra (inklusif kepenyairan didominasi sejumlah nama, yang ingin bertahan sebagai idola, dan bukan sebagai creator), hingga publik sastra kecewa. Ia menyebut tentang Subagio Sastrowardoyo, Goenawan Mohamad dan WS. Rendra di tahun-tahun 70-an (setelah menikmati kemasyhuran hampir 25 tahun lebih, sementara kader-kadernya makin meredup masa itu), sehingga timbul sekelompok penyair muda yang merasa harus bertindak untuk mengembalikan dunia sastra di sudut penglihatan netral dan imbang, selaras dengan rising demans (tuntutan semakin meningkat).

Pendekar sastra HB Jassin menyebut; kredo sastra ialah suatu keteladanan moral, suatu empati individual yang lembut, jangan dipolitisir oleh elemen-elemen imperatif. Saya mengistilahkan camera obscure puitika apabila ingin meletakkan kaca mata tilik-selidik dalam penggarapan karya, terlebih jika kita ingin memaparkan karya-kreatif yang bersejarah dan monumental. Impresi adakalanya tanpa diacuhkan para penyair muda. Akan tetapi, postulant kecendikiaan justru berharap, agar metafor-metafor puitika mempunyai modus operandi yang adil, sejujurnya, harmonis.

Selama FKY pada era 80 ke 90an, terlebih ikhwal kebangkitan, peneguhan kredo semacam ini, betapa harus diakui, banyak nama-nama kreator terkubur, sementara sejumlah nama sempat, dan ingin selalu eksis di persada Sastra Indonesia. Sejauh inipun harus diakui, bahwa habitat-habitat sastrawan sangat majemuk, dan berbeda-beda; obsesi-obsesi pewartaan literer juga kudu diakui lebih lanjut.

Di awal tahun 1977, tatkala para penyair muda Yogyakarta, berhimpun di Gunung Jala Sutra, dan mengikrarkan “konsili puitika jala-sutra,” kami berlima; Djudjuk Sagitaria, Minadi S, Kuswahyo S. Rahardjo, Fuad Riyadi dan saya. Mengumumkan; “Tiada sastrawan mati, Tiada penyair sirna, Tiada lahan penciptaan raib, namun demikian Yogyakarta, harus sanggup membangkitkan terus-menerus, gairah produktif penciptaan nan utuh.”

Dua tahun kemudian, bersama budayawan Yoyok Hadi Wahyono, Keliek Moh. Nugroho, dalam pertemuan fajar di Bukit Ratu Boko Prambanan, terbersit lagu baru; “Sastra ialah Rumah Damai yang harus sanggup menampung krida karya mereka, yang menulis puisi laksana arus sungai mengalir, gemerincing di kaki langit. Di balik kedalaman itu, kita pun harus berani menggugat dan menuding diri sendiri, manakala kemandekan (stagnasi) tiba, dan tiada bersahabat.”

Ialah tipis dan pragmatis, bahwasannya penyair-penyair andalan 80an, seperti Otto Sucatno CR, Redi Panudju, Anton Taufan Putra, Abidah El Khaliki, Ulfathien CH dan Dorothea Rosa Herliani,—kita lihat 3 sastrawati berbasis kepenyairan Yogyakarta, dapat “mempribumikan ide-ide kegelisahan perawan” pada era pembebasan Ruh, menuju Teologi Kemerdekaan -berkumandang jauh, sedangkan kaki-kaki mereka, masih berpijak ditekad membumi, dan mengabdi tanpa pamrih.

Ialah riil, betapa potensi ekologis, emasi-patoris dan aplikatif, sudah bertambah tegar, sehingga pada penulis wanita, tidak lagi menghirau apa disebut problem gender yang kini mencuat itu. Kehidupan via literer, dan qua formaleus berkesenian yang jauh berlari, juga dalam pengembaraan gemuruh, seharusnya juga masih bisa ditatap, dan diadaptasikan pada situs-situs baru, produk-puitika mutakhir.

Graduasi kekinian toh tidak harus ditafsirkan sebagai seni mutakhir, alias gerak depan akhir jaman, sebagaimana kalau saya mengamati puisi-puisi Nurel Javissyarqi, Sri Wintala Achmad, Ahmad Syekhu, dan lantaran mereka bukan bicara tentang jaman nan tenggelam, akan tetapi tentang keberpihakan, keuqahari (a simple denotati on), komprehensi dan ritme sang kala.

Demikian pula, bila kita kaji puisi Kuswaidi Syafi’i yang sarat amsal-amsal “mempribadinya manusia” dan soliditas anak manusia. Al-hasil sebuah sikap betapa seharusnya kita bicara bijak, tentang membumikan fitrah hayati, kendati kita tidak bernaung di bawah firman-Nya (secara langsung).

Di waktu sejumlah penyair 1974 berorasi di depan patung Pak Dirman, dipimpin Ragil Suwarno Pragulopati, maka terbit amarah anggota dewan perwakilan rakyat, yang masih “demam malari;” Malapetaka Januari, pertentangan borjuisme gaya hidup dan media ekspresi, sementara pola-pola kerakyatan yang termuat dalam serangkum madah, justru cenderung formulasi proletarian.

Waktu itu penyair Fauzi Abdul Salam, melantunkan kidung “Lantunan Tiri Pejalan Sunyi,” terasa menderum; Kalaulah waktu bicara sudah terpotong fiksi bincangan peraturan di gedung musyawara / dunia acapkali pangling dengan lambaian kasih / hidup bermuara pada selokan pahit anyir / dan ndoro-ndoro tuan tanpa cawat…/. Keprihatinan anak “rakyat ternyata lebih membumi” ketimbang sejumlah impian birokrat pemda DIY (antara 70an) yang cuma bisa mengunyah-kunyah ucapan “Dirgahayu wahai para pribumi kita.”

Kololaria pada memo-memo jemawa, sering kali membuat para penyair tahun 70-80an, sering mengucapkan begini; “Bukankah para priyayi sudah lebih lama mendulang intan? / bukankah si bocah pinggir kali tinggal mencukil-cukil tinja di antara batu-batu kanal di pinggir kota?”—sebagaimana Alfauzi Sofi Salam dalam renungan malamnya menggugat; “Barangkali sudah cukup lama kita menangis, dan dibentak oleh mereka yang menista, kita sebagai Pribumi dalam kepapaan.” Setara dengan laguan kidung pembebasan, sebagaimana pengolok-olok LSM yang berpijar bersama anak-anak jalanan; puisi lebih bersinar lembut di kalbu para bocah.

Lho, apakah sebab penyair juga sudah lama menanggalkan kedukacitaan bocah pedalaman? -sehingga mereka tersesat di rimba kenestapaan?- Dalam Mempertimbangkan Tradisi, WS. Rendra (Gramedia, 1983) mengungkapkan tiga kegelisahan kreatif; pertama, bahwa bila seniman atau penyair bertarung tentang hari depan puisi yang “tahan banthing, tahan jaman” maka ia harus dapat menyeleksi ragam tradisi-tradisi lama, agar memperoleh daya saring -jernih.

Kedua, metafor-metafor puitika itu sebuah pamrih kefasihan berkarya sastra, kendati ini pun bermakna peneguhan hati nurani. Ketiga, upaya melepaskan dari tradisi manapun, untuk menjadi sang sejati yang berformat global. Sejalan itu, penyair senior Imam Budhi Santosa pernah berujar; “Kita sama-sama membutuhkan tradisi;” yakni tradisi spiritual yang tiada terhadang ruang dan waktu, tapi bertutur tentang dunia yang bijak, hidup intensif. Kita juga membutuhkan tradisi intelektualitas, dimana penyair mencoba mentranformasikan gagasan-gagasan akurat, seraya setia pada habitat awal, dalam konsep berkesenian.

Penyair Sitor Situmorang, dalam buku autobiografi “Sitor Situmorang, Panyair Danau Toba” (pustaka sinar harapan Jakarta 1981) menyebut kelahiran dua kumpulan puisinya yang monumental diperalihan tahun 50an menuju 60an, yaitu; Wajah Tak Bernama, Surat Kertas Hijau, bagi gambaran segi; pertama, penyair musti memiliki retang dunia pertemuan kembali, antara masa lampaunya mistis dan polos, dengan masa kini yang keras, atos, jemawa, nyaris tanpa kompromi. Aspek kedua, upaya mempertemukan jejak-jejak, ispired, terkadang kredo penggubahan karya puitika yang produktif, dengan menuju hari esok sulit ditebak kesadaran induktif, dan kolaboratif toh kudu dipersembah kepada publik sastra, hadir tanpa jedah, musim ke musim.

Pada tahap kekinian (dimana poros semusim lalu ialah pertaruhan emosional artistik) maka biarkanlah karya-karya menemukan identitasnya, setelah menghadapi berbagai hantaman dan gugatan. Proses evolusioner memperlihatkan situasi sastra bertajuk swa-winaya (selfdispline), kemudian widya arorraga (kerendahan hati oleh sikap arif ilmiah), niscaya bakal dibasuh suatu kesimpulan; lalan dung-tyastara (dimana bobot karya sampai kepada pemahaman adi-luhung, bagi umat manapun). -seperti halnya seorang Khalil Gibran, pun Rabindranath Tagore, yang berbicara lantang kepada dunia. Di situlah letak camera obscure puitika, menunjukkan fitrah kemuliaan, nan benar-benar membumi.

Persepsi kesusastraan bagi angkatan muda, bakal menuju pada kekeluargaan sesama, antar etnis, antar-individu, bahkan antar-kelembagaan. Saya berharap, antologi-antologi sastra, jurnal-jurnal sastra, dan buletin-buletin sekitar puisi bertajuk “Selamatkan Dunia Ini, Selamatkan Jiwa-jiwa Luhur Nusantara,” niscaya akan melegitimir puncak karya masa kini dan kelak. Kita masih harus terus berjuang. Wadah sastra yang kini menjadi alternatif, barangkali merupakan langkah awal menuju kedewasaan yang terharapkan, karena disitulah kita memuliakan gairah riel berkesenian.

Nagan Lor, 21 Yogyakarta.

MEREKA YANG MEMBICARAKAN “SARANG RUH” 1999

Sajak-sajak yang terhimpun dalam antologi ini, secara tematis cenderung menyuarakan hakikat kesejatian insan. Manusia dalam sajak-sajak itu, berupaya memenuhi panggilan kesejatiannya; subyek yang sadar, dan bertindak mengatasi dunia-realitas mengkondisikannya.
Dunia realitas bukanlah sesuatu ada dengan sendirinya, dan harus diterima menurut apa-adanya. Maka, sajak pun dapat menjadi Sarang Ruh, sebuah papan melakukan refleksi terhadap situasi itu. Sajak pun bisa dianggap sebagai aktualisasi upaya concientization bagi diri sendiri, bahwa diri sebagai subyek harus mampu menunaikan imperatif sebagai kreator bagi sejarahnya.
Proses menjadi merupakan suatu yang tidak pernah selesai. Membangun Sarang Ruh bukan sekadar proses penyesuaian, melainkan proses integrasi dalam mencapai kemanusiaan sejati, Selamat (Suminto A. Sayuti).

Saya menyukai semangat dan keberanian Nurel, sesuatu yang kelak jadi persoalan serius bagi kebanyakan pengarang. Ia telah menulis ratusan puisi, menjilidnya sendiri; dan itu bagi saya, sebuah modal sangat berharga. Saya bukan seorang penyair, meskipun saya juga tidak buta puisi. Tapi saya kira, tawaran Nurel dalam buku ini, cukup menjanjikan harapan (Joni Ariadinata).

Dari Yogyakarta memasuki milenium baru, kita diajak sajak-sajak Nurel Javissyarqi pada pertanggungan diri, sebagai pusat kendali, dari perubahan di luar perubahan sosial, agar manusia tidak kehilangan dimensi kemanusiaannya, ditengah euphoria –kebablasan. (Abdul Wachid BS).

*) Pengantar antologi puisi tunggal “Sarang Ruh” karya Nurel Javissyarqi, 1999 Yogyakarta.

Perpuisian Yogyakarta di Era Transisi

Abdul Wachid B.S.
http://www.mathorisliterature.blogspot.com/

1. Pengantar : Persada Studi Klub, Era Transisi, Perpuisian Yogya 1980-an

Pengertian “di era transisi” sangatlah sosiologis, yakni masa peralihan, pancaroba. Namun, peralihan dari apa ke apa, dan dalam konteks apa? Dalam konteks kebudayaan pengertian “transisi” sangatlah kompleks. Dalam konteks politik, boleh jadi, hal itu dikaitkan dengan pergantian rejim dari Soeharto ke B.J. Habibie, dan berakhir dengan Pemilu yang di sepanjang sejarah Indonesia paling demokratis yaitu dengan terpilihnya K.H. Abdurrahman Wahid sebagai presiden RI ke-4.

“Transisi” dalam konteks kesusastraan dapat dibaca sebagai berikut:

(1) Suatu masa di mana sastra “terus mencoba budaya tanding”, [1] baik melalui pengungkapan yang paling keras yaitu berposisi berhadapan langsung dengan negara, maupun menjelmakan “budaya tanding” itu melalui estetisme, dan semua ini berlangsung sebelum Reformasi Mei 1998. Yang pertama, berakhir dengan pembredelan dan pencekalan; yang kedua, ada campur-tangan kekuasaan terhadap arah kesusastraan, dengan alasan agar tidak mengganggu “stabilitas nasional”, di antaranya mengontrol media-massa sebagai publikasi kesusastraan di bawah Departemen Penerangan;

(2) Sejak tanggal 21 Mei 1998 merupakan momen jatuhnya rejim Soeharto; dan setelahnya yaitu euforia sebab secara lahir-batin terbebas dari cengkeraman rejim Soeharto, dan karenanya posisi sastra yang semula dimarginalkan menjadi mengalami kenduri keterbukaan. Kemudian, euphoria yang berlebihan itu memunculkan realitas sosial yang kacau akibat “perang saudara” di Aceh, Maluku, Kalimantan Barat, Papua Barat, dan ternyata kekerasan tak kunjung usai.

Saya bukan sosiolog, juga bukan pengamat politik, dan karenanya mendiskripsikan tahun masa transisi itu akan menjadi terlampau spekulatif.

Problem lain, jika disebut sebagai “sastra Yogya”, maka akan memunculkan makna yang polyinterpretable. Hal itu antara lain dapat dimaknakan sebagai “sastra yang bernuansa ke-Yogya-an”. Sastra yang demikian telah surut ditulis oleh sastrawan dari komunitas Persada Studi Klub (PSK) sekalipun kita masih menjumpainya yang berhasil pada perpuisian Fauzi Absal dan Iman Budi Santosa.

Baiklah, “sastra Yogya” itu kita maknakan sebagai “yang ditulis oleh sastrawan yang bertempat-tinggal di Yogya, yang sebab suatu hal masih punya hubungan dengan Yogya, dan dalam artikel ini pun masih ditawar pemaknaannya yakni yang berhubungan dengan “era transisi” tadi.

Kepenyairan Yogya yang muncul pada dekade 1980-an diuntungkan oleh keberadaan “rejim sastra” PSK itu, yang melahirkan dominasi kesastraan Iman Budi Santosa, kesastraan Linus Suryadi A.G., dan kesastraan Emha Ainun Nadjib.

Jalur kesastraan Iman Budi Santosa menguat dalam perpuisian Fauzi Absal dan Bambang Widiatmoko yakni dengan mentradisikan lirisisme murni yang ketat, serupa disiplinnya diksi-diksi Chairil Anwar yang dikembangkan oleh perpuisian Toto Sudarto Bachtiar, lalu perpuisian Subagio Sastrowardoyo. Jalur tersebut dikembangkan oleh Iman Budi Santosa dengan berhasil. Pada pengembangannya, Iman Budi Santosa memasukkan pikiran hidup Jawa-Mataram di dalam perpuisiannya. Pada aspek kebahasaannya diwarnai oleh perhitungan kata-kata yang njlimet, namun setiap ungkapan lebih diposisikan sebagai wakil dari pikiran sekalipun menyebut latar (set) namun set hanyalah wakil dari pikiran. Fenomena perpuisian yang demikian, saya menyebutnya sebagai “sajak yang menyatakan”. Di samping itu, perpuisiannya diwarnai oleh permainan enjabemen kalimat untuk menggandakan makna. Saya seringkali baru mendapatkan makna puisi Iman Budi Santosa secara utuh setelah saya mendengarkan dia membacakan sajaknya sebab dengan begitu dia melakukan satu pemaknaan saja terhadap sekian kemungkinan pemaknaan akibat dari enjabemen tersebut. Fenomena perpuisian Iman Budi Santosa yang demikian dapat kita jumpai pada buku puisinya Dunia Semata Wayang (1996),[2] dan belakangan juga pada buku puisinya Matahari-matahari Kecil (2004).[3]

Pada perpuisian Linus Suryadi A.G., yang menonjol ialah keketatan diksi itu dia baurkan dengan merevitalisasi parikan dan pantun ke dalam lirisisme puisinya, dengan latar (set) dan simbol dan pikiran yang diambil dari dunia pewayangan dan Nasrani. Membaca irama sajak Linus, seringkali saya teringat kepada irama sajak Sitor Situmorang, sajak “Lagu Gadis Itali”,[4] di samping sajak lain dalam buku Dalam Sajak. Tetapi, pikiran Jawa-Mataram-lah yang menjadi uniknya perpuisian Linus Suryadi A.G., terutama pada prosa-liris Pengakuan Pariyem,[5] dan Tirta Kamandanu [6] sehingga perpuisiannya menjadi khas.

Sebenarnya antara perpuisian Umbu Landu Paranggi, Linus Suryadi A.G., dan iman Budi Santosa, ada kekerabatan estetik sebagai penyair yang hidup dalam tradisi kesastraan PSK, terutama dalam menyikapi kata-kata secara ketat. Permainan irama sajak akibat keketatan itu sebagaimana yang kemudian dominan dalam perpuisian Linus Suryadi A.G. yakni nafas pantun atau parikan, namun hal demikian tidak terjadi pada perpuisian Iman Budi Santosa dan Umbu Landu Paranggi.

Sebuah pengecualian pada perpuisian Emha Ainun Nadjib yang kemudian menggali tema-tema religius Islam, disertai oleh narasi-narasi religiusnya. Hal ini dilakukan setelah Emha melakukan eksperimentasi dari hasil kemuakannya terhadap tradisi lirisisme Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, dan Abdul Hadi W.M. (sajak Emha di awal 1970-an dalam antologi Gendrang Kurusetra masih mirip perpuisian Goenawan Mohamad). Eksperimentasi Emha tersebut mengarah kepada protes sosial, sebagaimana dalam buku puisi M Frustasi, dan sajaknya yang lain pada periode sebelum buku puisi 99 Untuk Tuhanku. [7]

Kepenyairan Yogya yang lahir pada dekade 1980-an diuntungkan oleh eksistensi mereka tersebut yang menjadi patron kepenyairan Yogya pada masa itu. Pada masa itu media-massa (Kedaulatan Rakyat, Masa Kini, Berita Nasional) di setiap rubrik sastranya selalu memunculkan karya sang Patron tadi. Oleh karenanya, sosialisasi puisi penyair seperti Mustofa W. Hayim, Dorothea Rosa Herliany, Joko Pinurbo, Ahmad Syubbanuddin Alwy, Abidah el-Khalieqy, Mathori A.Elwa, Hamdy Salad, Otto Sukatno Cr, Ulfatin Ch., Santosa Warna Atmaja, Adi Wicaksono, dan beberapa penyair dekade itu, menjadi ter-cancel dan sulit. Sekalipun hal demikian dapat dipandang wajar dalam arus informasi, bahwa yang terlanjur mempunyai nilai berita akan terus menjadi head-line. Sementara itu, di Jakarta, terutama di Koran Berita Buana yang diredakturi oleh Abdul Hadi W.M., pada saat itu lebih memberi peluang bagi pemuatan karya penyair muda tadi, di samping sebab Abdul Hadi W.M. sedang mengobarkan trend sufisme (lihat jejaknya dalam buku puisi Forum Puisi Indonesia’87, jilid 1-3). [8] Namun, saat itu sebab standar kepenyairan diukur oleh “panggilan pusat” Jakarta, karenanya kepenyairan Yogya dekade 1980-an justru dimulai dari pusat Indonesia itu.

Sebab mereka memulai dari Jakarta, maka langsung maupun tidak, isu pemikiran dan gaya ungkap sajak kepenyairan Yogya dekade 1980-an justru dimulai dari mainstream pusat, seperti halnya penawaran wacana sufisme, wacana histeria akibat tekanan sosial disebabkan pemiskinan ekonomi, juga surealisme kebahasaan sajak yang menjadi strategi akibat represivitas negara. Jadi, kepenyairan Yogya dekade 1980-an justru menjadi lepas dari tradisi kesastraan PSK. Konklusi demikian sebab eksistensi PSK dapat diposisikan dan dipersepsikan sebagai tradisi estetika dan pemikiran yang khas.

Sekalipun banyak faktor yang mengakibatkan dominannya pemikiran dan gaya perpuisian seseorang atau kelompok diikuti oleh jamannya atau setelahnya, namun dalam sosialisasi sastra Indonesia bahwa peran koran dan majalah amatlah vital. Oleh karenanya, pemuatan karya sastra penyair Yogya yang menguat pada dekade 1980-an di media-massa Jakarta pada saat itu, jelas mewarnai perkembangan perpuisian mereka selanjutnya.

2. “Yang Maha Syahwat”, dan Dekonstrusi Formalisme Agama : (Refleksi atas Perpuisian Mathori A. Elwa)

Di sepanjang 1980-an, militerisme rejim Soeharto melalui tentakelnya mengatasnamakan “stabilitas nasional” atau ancaman hantu komunisme, sampai juga di Yogya, seperti melakukan pencekalan pementasan drama (Rendra di tahun 1975), penahanan terhadap seorang siswa Madarasah Aliyah Negeri sebab membacakan sajak (M. Nasruddin Anshory Ch, di awal 1980-an), dan banyak lagi kasus serupa. Lucien Goldmann benar bahwa karya sastra bukanlah struktur statis, melainkan produk sejarah, strukturisasi dan destrukturisasi yang hidup dan dihayati oleh masyarakatnya. [9] Apalagi dalam masyarakat yang bawah-sadar budayanya belum kering dari budaya lisan seperti Indonesia, di mana romantisme memposisikan seni (sastra) memiliki peran penting lantaran diyakini memiliki daya tafsir terhadap perilaku social, yakni dengan menawarkan keindahan spiritualitas. Keyakinan demikian tidak saja tersimpan dalam memori bawah-sadar budaya masyarakat, melainkan pada diri sastrawan sebagai bagian dari masyarakat lisan.

Karena itu, tatkala hidup dalam masyarakat mengalami pergeseran nilai, dari keyakinan hidup yang bereferensi kepada pertimbangan religiositas, menuju kepada keyakinan baru yang ditumbuhkan oleh negara, misalnya peribadatan adalah perkara individual, atau bahwa kita dapat beribadah setelah problem ekonomi selesai; semua itu dapat dipulangkan kepada keyakinan yang ditumbuhkan oleh negara bahwa “pembangunan ekonomi adalah urgen”. Tentu saja, perlawanan terhadap ideologi demikian, tumbuh di kalangan terdidik-sadar seperti sastrawan. Karenanya, sastrawan merepresentasikan histeria kehidupan yang dinilainya telah kehilangan dimensi kemanusiaannya: “semrawutnya” jalan raya memunculkan histeria. Salah satu penyair yang banyak menuliskan histeria jalan raya itu ialah Mathori A. Elwa dalam buku puisinya, Yang Maha Syahwat, berikut ini. [10]

Jalan Raya Pecah

jalan raya pecah
jalan raya pecah
tak ada lagi manusia di mataku
tak ada
hanya mayat yang kujumpai
kemanusiaan yang dibungkus tubuhmu
kemanusiaan yang terpendam
kemanusiaan yang terkubur di jalan-jalan

jalan raya pecah
jalan raya pecah
tak ada suara di hatiku tak ada
hanya desing mobil yang kaulambaikan
tafakur kegaduhan
dzikir keterasingan

jalan raya pecah
jalan raya pecah
tak ada lagi manusia
tak ada
hanya binatang saling menelan
kemanusiaan melata
menjilat-jilat
menganga

Sajak Mathori A. Elwa tersebut bukanlah sajaknya yang terbaik, setidaknya kita bisa merasakan denyutnya melakukan presentasi melawan arus hedonisme di tengah budaya masyarakat transisi, antara mempertahankan tradisi, dan menerima modernisme mentah-mentah.

Perlawanannya bukanlah vis-à-vis bahwa ada yang salah dalam strategi berkebudayaan yang dimainkan oleh negara sebagai lembaga yang memberi rasa aman lahir-batin terhadap rakyatnya. Namun, sebab demi menggembosi peran agama dalam tata hidup bernegara, agama telah direduksi paradigma sosialnya, seperti adanya jargon “Islam Yes, Partai Islam No!”.

Sekulerisasi antara kesalehan ritual dan kesalehan sosial itu berefek kepada penanggalan “baju agama”, ditinggalkannya ruh agama, seperti merebaknya “Bupati” (buka paha tinggi-tinggi) dan “Sekwilda” (sekitar wilayah dada), yang berkibar di mana-mana tanpa “BH” (ungkapan Faruk HT). Sebagai “Orang Laut” (judul sajak Elwa), yang menatap senjakala kebudayaan serupa itu, ia histeria, sampai pada klaim, ‘/ tak ada lagi manusia di mataku/tak ada/ hanya mayat yang kujumpai/ kemanusiaan yang dibungkus tubuhmu/’.’

Pada sajak awal Elwa, aku-lirik memang mengalami histeria, dengan bereferensi kepada “ingatan teologis” (terimakasih Adi Wicaksono atas istilah ini) [11] melakukan jarak hitam-putih, seolah “agamamu adalah agamamu, agamaku adalah agamaku.” Dalam begitu, Elwa melakukan politik-identitas yakni merekonstruksi wajah ke-Diri-an dengan berulangkali mencitrakan siapakah “Mathori A. Elwa” yang sebenarnya, ‘//bercermin lautan bening/ wajah buram dan pangling/ kucukil mata saja/ : membuat dunia baru’ (sajak “Mathori A. Elwa, 1) [12] sebab mengakrabi “dunia-jalan-raya”, ia akan bias, dan karenanya, jalan yang aman ialah pulang kepada “Horizon” agar dapat ‘/kumaknai peta-peta/ : aku memanggil-manggil duniamu//’ (sajak “Horizon”).[13]

Perkembangan pemikiran terhadap perubahan sosial dalam sajak Elwa bukanlah sebagaimana yang dicontohkan itu yang dominan. Elwa sekalipun banyak bertumpu kepada “ingatan teologis”, justru melaluinya ia mencairkan kebekuan pandangan kaum formalis agama di satu sisi, dan di sisi lain ia mengkritik kaum yang sok medernis yang mengikut saja kepada arus modernisme. Basis teologis Elwa justru diperlukan, dan ia menguasai ihwal itu mulai dari tataran simbolik sampai praksis. Sebab dengan begitu, eksklusivitas pemaknaan yang dilakukan oleh pemeluk formalis terhadap agama, melalui strategi kebahasaan sajaknya yang parodis, ironis, humor, menjadi dapat dicairkan. Semuanya itu dapat dilakukannya di dalam sajak, secara aman, tanpa menyinggung kaum formalis agama maupun hedonis sebab cara pandang Elwa dilakukannya dengan cara melebur tirai itu. Ia memusatkan kritik terhadap perubahan sosial yang hedonisme, baik perilaku maupun sekadar wacana, sekali lagi di dalam sajaknya berpusat kepada aku-lirik (bisa dibaca : diri penyair). Fenomena inilah yang akhirnya dominan di dalam pemikiran perpuisian Elwa.

Tipikal hal tersebut ia tampilkan di dalam sajak “Yang Maha Syahwat”, yang menjadi judul buku puisinya. Sepanjang kepenyairannya, puisi dipilih dan dikumpulkan di dalam buku ini. Elwa tidak lagi mengambil jarak ontologis, ia justru “masuk” ke dalam dunia yang-maha-syahwat itu, dengan mengidentifikasi sebagai “pengembara abadi”, (setan), yang maha mengagumi dirinya sendiri:[14]

1
aku seorang pengembara atau pertapa
kubiarkan dirimu menentukan jalan sendiri
dan tunggulah suatu saat
bahwa bulan bersinar karena aku
matahari terbenam karena aku


14
tangis dan doamu hanyalah musik dangdut
segala langkah dan rencana-rencana
adalah tarian hula-hoop para pelacur


19
wahai diriku yang berotak cemerlang
jangan hanya kekerasan
ciptakanlah pengangguran besar-besaran
di dalam filsafatku tak ada musuh atau sekutu
semua adalah musuh atau sekutu

20
karena kebaikan yang busuk inilah
dunia menjadi lain dan melesat jauh
semua naik pesawat-yang-akan-datang
atau sekarat sekalian
selebihnya tertinggal sebagai debu
dan gurem-gurem
sementara aku yang mengajari tepuk tangan
akan tetap sebagai psikopat yang maha
syahwat
di menara-menara
lembah-lembah
dan rawa-rawa
manusia

Dengan mengidentifikasi sebagai “yang maha syahwat”, ia berleluasa melakukan otokritik terhadap formalis agama sekaligus menampilkan efek dari berhala modernisme kepada Sysiphus sejati. Personifikasi akan nilai manusia agung sebagai skenario ideal dari Yang Maha Berkehendak, dihancurkannya sebab kehendak itu sendiri ditarik ke dalam “aku”. Di saat itulah arogansi apa saja menjadi sah, termasuk untuk menciptakan, ‘jangan hanya kekerasan/ ciptakanlah pengangguran besar-besaran/ di dalam filsafatku tak ada musuh atau sekutu/ semua adalah musuh atau sekutu.’

Hampir di setiap sajak Elwa menciptakan ironi dengan bahasa komunikatif serupa sajak “Yang Maha Syahwat” itu. Ironi sebab ia mencitra-dirikan kepada persona dunia yang secara ideal tidak diterima oleh masyarakatnya, namun dunia serupa itu hidup di sekeliling kita, bahkan melekat kepada kita : ego tahta, harta, juga wanita. Dari situlah justru ada tumbukan makna, karenanya bahasa puisi Elwa sekalipun cukup “terang” jika pembaca terbiasa dengan simbol dari referensi teologis, maka Elwa cuma sebatas mengusik acuan makna baku dari pandangan dunia itu. Bagaimanapun, pembaca yang mengenal referensi baik-buruk akan tidak terima, karenanya memunculkan penawaran wacana, justru di situlah bahasa sajak Elwa menjadi “puisi”.

Adakah yang salah pada “puisi dengan ingatan teologis sebagai wacana, yang ditampilkan melalui citra sosial dan individual manusia yang hidup berdampingan di antara dunia simbol dan keseharian” serupa sajak Elwa?

Perpuisian Elwa menjadi fenomena langka dalam perpuisian Yogya, mungkin juga Indonesia sebab Elwa mengukuhkan barisan pengucapan puisi yang tidak punya pengikut. Saya piker sulit menjadi pengikut Elwa dalam bersajak, sama sulitnya menjadi pengikut perpuisian Kuntowijoyo, atau Sutardji Calzoum Bachri (terutama pada O Amuk Kapak).[15] Hal itu sebab pohon yang ditancapkan dalam perpuisiannya terlampau sulit dipanjat oleh orang lain, tentu jika tidak ingin terpeleset dan jatuh dicap sebagai epigon total. Lain halnya dengan “jalur besar” yang banyak diikuti perpuisian Indonesia, Chairil Anwar dalam lirisisme-ekspresionisme, atau Goenawan Mohamad dalam lirisisme-imajisme, dan balada atau sajak pamplet Rendra (juga Taufiq Ismail), atau fenomena mutakhir ialah surealisme-estetis (Afrizal Malna). Ibarat rumah, masih banyak pintu untuk memasuki perpuisian model jalur itu, lalu keluar dengan “mencuri” sesuatu, dan sebagai ahli kimia kata-kata mencampur ini dan itu menjadi zat lain, lalu berkata, “Ini puisi inavatif lho! Puisi saya!

Tentu saja, tak ada yang kurang dengan penampilan bahasa Elwa yang demikian, “ingatan teologis” itu tergantung kepada bagaimana membahasakan di dalam puisi. Bukankah justru pengalaman religius yang sebenarnya tanbahasa itu menjadi terbahasakan lantaran refleksi analogis? (Ingat, tradisi ritus para sufi dengan bahasa sajak). Hal itu sebab formula bahasa yang membersihkan kompleksnya ide, emosi, bawah-sadar, bukanlah menutup kemungkinan suatu pengalaman menjadi verbal. Banyak pengalaman yang terang, ternyata tetap menjadi suatu yang menggetarkan sukma, dan terus-menerus kita menikmatinya dengan kesan dan makna yang selalu baru, seperti menyatunya suami dengan istri.

Dengan begitu, puisi Elwa berdiri di antara bahasa-yang-menampilkan dan bahasa-yang-menyatakan problem eksistensial dan sosialnya dengan caranya sendiri : bahasa puisi merespon gempita bahasa massa, metafora implisit yang dihiperbolikkan dengan mampertautkan antara dunia makna (yang bereferensi pada “ingatan teologis”) dan dunia keseharian. Memang, ada nafas surealistiknya, tetapi bukan pencitraan dunia bawah-sadar itu sendiri yang dipentingkan Elwa, melainkan hanya sebatas formula. Pikiran aku-lirik masuk kepada realitas maupun pikiran masyarakatnya yang dipersoalkan itu dengan strategi politik-peleburan. Dengan begitu, pikiran yang ditampilkan ke dalam bahasa sajak membuka ruang perdebatan makna. Manusia menemui surga dan nerakanya sendiri tanpa seretan tangan lain, tinggal posisi dan presisinya tatkala nyemplung di dalam arus massa.

3. “Reportase yang Menakutkan” Mustofa W. Hasyim

Puisi Mustofa W. Hasyim (Reportase yang Menakutkan)[16] terasa lain tatkala memposisikan identifikasi aku-lirik maupun aku-publik di dalam sajaknya sekalipun ada psikologis yang sama bila dibandingkan, misalnya, dengan puisi Mathori A. Elwa (Yang Maha Syahwat, 1997), yaitu psikologisnya orang kalah, psikologisnya rakyat banyak di sepanjang rejim Soeharto, terutama tatkala gerakan mahasiswa selalu berakhir dengan penjara. Kejiwaan tertindas itu mendorong pencarian pegangan kepada spiritualisme-religi maupun non-religi. Mustofa W. Hayim membangkitkan kisah tragis kemanusiaan sebagai “reportase-budaya”, dengan menyublimasi kekerasan sosial itu ke dalam sajak-berkisah (memakai pencerita orang-pertama), ataupun balada (memakai pencerita orang-ketiga).

Karena Mustofa W. Hasyim memilih berkisah, konsekuensinya bahasa yang dipilih komunikatif dengan fakta sosial yang terfiksikan, sebagaimana sajak yang amat mewakili perpuisian Mustofa W. Hasyim pada dekade menjelang jatuhnya rejim Soeharto, yang diambil dari buku Reportase yang Menakutkan, berikut ini.[17]
Buruh yang Amat Sabar

Seorang buruh yang sabar selalu tersenyum
meski upahnya selalu dikurangi
tiap bulan. Ia bersyukur
bisa mengisi hari-harinya
dengan kerja.

Suatu hari upahnya menyusut
sampai ke angka nol
ia pun mengangguk pasrah
tanpa niat protes sedikitpun.

“Bulan depan ganti kau
yang membayar aku,”
kata majikannya garang.
“Baik. Insya Allah kubayar,” jawabnya.

Ia pulang dengan langkah segar
tapi istri dan mertuanya marah
“Masak kerja sebulan
tidak mendapat upah,” hardik mereka.

Hari berikutnya ia tetap bekerja
lebih rajin dibanding temannya
ia pun menyukai lembur
menggantikan temannya yang sakit.

Di awal bulan ia tidak mendapat upah
justru ia yang membayar majikannya.
“Bagus. Darimana kaudapat uang ini?”
“Dari berhutang tetangga.”

Sampai rumah kembali
istri, mertua dan anak-anaknya
marah sambil menangis
“Tuhan, kenapa kauturunkan juga
lelaki tolol seperti ini,” keluh istrinya.

Ia tersenyum, tapi kaget
waktu terdengar letusan
dan asap menggumpal
diikuti api yang berkobar.

“Pabrik tempatmu bekerja terbakar,” kata orang-orang.
Ia termenung. Heran campur pedih
“Aku selalu mengampuni majikanku
dan mendoakan agar selamat. Tapi Tuhan
ternyata berkehendak lain,” bisiknya.

Kapitalisme semu memposisikan pemilik modal yang menguasai alat produksi bebas menentukan aturan main proses produksi sebab hak-hak buruh tidak terlindungi oleh Undang-undang secara manusiawi, hal ini terjadi di Indonesia. Bahkan, tidak hanya hubungan buruh dan pengusaha, juga hubungan guru dan lembaga pendidikannya, dosen dan universitasnya. Sebagai contoh, di Purwokerto di sebuah perguruan tinggi swasta, bahkan ada perjanjian kerja demikian :

“Masa kerja minimal 3 (tiga) tahun dan dapat diangkat kembali. Apabila mengundurkan diri sebelum masa kerja berakhir, maka bersedia mengembalikan seluruh jumlah gaji dan honor dosen yang telah diterimakan sejak diangkat sebagai dosen.” [18]

Hal tersebut jelas merampas Hak Asasi Manusia (dalam Deklarasi HAM, pasal 23); dan tidak sesuai dengan rincian jenis pekerjaan yang boleh dikontrakkan (guru/dosen, tidak dalam kategori itu); di samping itu, masa kontrak kerja semestinya maksimal 2 tahun (sesuai dengan Undang-undang Perburuhan, Peraturan Menteri Tenaga Kerja, 1986); apalagi ditinjau dari perspektif hadis, “Beri upah buruhmu sebelum kering keringatnya.”

Dalam sajak tersebut, Mustofa W. Hasyim mengadakan protes terhadap ketidakadilan yang dilakukan majikan kepada buruh. Tetapi, protes Mustofa juga secara tidak langsung, ia tidak misalkan memprotes bahwa upah minimum regional di Yogya teramat rendah dibanding propinsi lain, atau tiadanya Undang-undang yang memberi perlindungan terhadap hak sosial-politik buruh, atau mandulnya Serikat Pekerja yang selama rejim Orde Baru hanya dijadikan kendaraan politik oleh para elitnya di bawah Golongan Karya (Golkar).

Dengan gaya sajak berkisah sekalipun banyak juga sajak Mustofa yang kemudian lebih pendek-pendek, namun gaya pengisahan itu dominan, dan karena ia berkisah, maka sajaknya tidak hanya menampilkan problem sosial itu dalam solilokui aku-lirik atau persona lain. Persona lain dalam sajaknya dengan menampilkan peristiwa itu, di sana-sini juga menyatakan sikapnya. Sikap yang bagaimana? Persona yang dibangun ialah perlawanan orang kalah, yang sembunyi di balik jubah spiritualisme sebab bagaimanapun masih ada Tuhan yang Maha Adil yang akan mengadili ketidakadilan itu (bait terakhir sajak tersebut mempresentasikan hal itu). Kekuatan semacam itu memang eksis, apalagi tatkala tangan dan mulut dibungkam, sebagaimana kisah yang menjadi pemeo perlawanan di Ethiopia di bawah cengkeraman tuan-tuan tanah Prancis : saat terjadi inspeksi terhadap perkebunan, orang berjajar di pinggir jalan. Si Tuan bule dengan cerutunya lewat. Orang-orang menunduk sembari memegang lututnya. Mereka marah atas kesewenangan itu. Namun, mereka tidak berdaya. Apa yang mereka lakukan? Di antara mereka ada yang sengaja mengentut keras-keras…… Gaya seperti itulah perlawanan Mustofa, dan hal itu sah-sah saja.

Sebagai penyair yang dibesarkan dalam kultur Jawa-Mataram, Mustofa tidak memilih perspektif untuk menjadi ruang dan waktu bagi setting puisinya, ia hanya menempatkan hal itu sebagai latar (set), selebihnya ideologi puisi merefensikan diri kepada religiositas (Islam), semacam : ingatkan dengan tanganmu, mulutmu, jika tak mampu, maka berdoalah. Namun, sebab atmosfer kultur yang ia hadirkan dunia wong cilik Jawa, karenanya, dalam menghadapi ketakberdayaan nasib, ia mendekati masalah itu dengan cara wong cilik Jawa pula, yaitu tertawa getir dalam kepahitan : ‘Aku melihat mayat tersayat-sayat/ di sekujur tubuhnya/ menggigil. “Aku telah diperkosa/ dan telah membalas dendam,” katanya/ lalu diam.’ (”Reportase yang Menakutkan”)[19]; ‘Benar. Kambing itu melahirkan bayi/ dan sejak itu kisah cinta Anisah/ tidak pernah dipercakapkan lagi.’ (”Matarantai Cinta yang Ruwet”) [20], dan banyak lagi contoh sikap serupa itu dalam sajak Mustofa, yang membuat kita membacanya “geli” sekaligus getir.

Namun, pasca reformasi sajak Mustofa W. Hasyim menjadi singkat-singkat, pencitraan realitas dan problem sosial yang kerap juga “dinyatakan” menjadi sangat dihematkan sehingga “hanya” memberi sugesti-sugesti. Mustofa W. Hasyim sekalipun menulis sejak dekade 1970-an, namun menurut saya kurang berhasil sebab masih dibayang-bayangi oleh tradisi Persada Studi Klub yakni dengan berorientasi kepada hidup kejawaan, yang tidak sematang pemikiran Linus Suryadi A.G. Kemudian, ia keluar dari mainstream itu, dan berhasil pada buku puisi Reportase yang Menakutkan, juga buku puisi Zaman yang Beracun. [21]

4. “Celana” dalam Surealistisnya Joko Pinurbo

Di dalam buku puisi Celana [22] karya Joko Pinurbo, problem sosial masyarakat transisi disublimasi ke tingkat supralogis pemikiran sajak, maupun imaji, yang ia bangun dari peristiwa keseharian ke dunia simbolik, sebagaimana sajak berikut ini. [23]

Kisah Seorang Nyumin

Demonstrasi telah bubar. Kata-kata telah bubar.
Juga gerak, teriak, gegap dan gejolak.
Tak ada lagi karnaval.
Bahkan pawai dan gelombang massa telah menggiring diri
ke dataran lengang, tempat ilusi-ilusi ringan
masih bisa bertahan dari serbuan beragam ancaman.
Siapa masih bicara? Bendera, spanduk, pamflet
telah melucuti diri sebelum dilucuti para pengunjuknya.
Tak ada lagi karnaval.
Di pelataran yang mosak-masik yang tinggal hanya
koran-koran bekas, berserakan, kedinginan
diinjak-injak sepi.
Tapi di atas mimbar, di pusat arena unjuk rasa
Nyumin masih setia bertahan, sendirian.
Lima peleton pasukan mengepungnya.
- Sebutkan nama partaimu.
- Saya tak punya partai dan tak butuh partai.
- Lalu apa yang masih ingin kau lakukan?
Mengamuk, mengancam, menggebrak, melawan?
- Diam itu yang saya inginkan.
- Lakukan, lakukan dengan tertib dan sopan.
Kami akan pulang, mengemasi senjata,
mengemasi kata-kata. Pulang ke rumah
yang teduh tenang.
Sayang Nyumin tak bisa diam. Nyumin terus bicara,
Menghardik, menghentak, meronta, meninju-ninju udara.
Dan para demonstran bersorak, “Hidup Nyumin!”
Suasana serasa senyap sesungguhnya.

‘Demonstrasi telah bubar. Kata-kata telah bubar,’ demikian tulis Pinurbo, tetapi ‘Nyumin terus bicara’ sekalipun ‘Suasana serasa senyap sesungguhnya’. Sepertinya paradoks, bagaimana mungkin demonstrasi kata-kata telah bubar, namun demonstran masih dapat bersorak? Tetapi tidak, sebab Pinurbo memanggil suprarealitas itu sebagai jalan mengatasi realitas (sosial)-nya yang gagal dalam menyuarakan kata. Apakah dengan begitu dunia yang dibangun sajak Pinurbo merupakan dunia surealis? Saya sepakat dengan Sapardi Djoko Damono, dunia Pinurbo memang surealis. Ia merekonstruksi realitas sosialnya yang kalah kepada dataran kemenangan secara makna, sebagaimana demonstran di luar sajak yang sesungguhnya telah disenyapkan oleh senjata, namun dalam sajak demo itu terus berlangsung menjadi makna. Pertikaian untuk “memerdekakan kata” sekalipun demokrasi baru dalam wacana saat itu terus berlangsung.

Kata, memang vital bagi upaya “mengatasi” : kebudayaan, dan surga. Tetapi, kata itulah yang menjadikan sebuah rejim jengah, dan perlu selalu waspada, karenanya setiap mereka yang punya kata musti dicurigai, ‘//Selamat datang. Saya sudah menyiapkan semua yang akan/ Saudara rampas dan musnahkan : kata-kata suara-suara/ atau apa saja yang Saudara takuti tapi sebenarnya/ tidak saya miliki.’ (Sajak “Malam Pembredelan”).[24] Peristiwa semacam ini menyeruak tatkala di tengah 1980-an gerakan mahasiswa menguatkan formulasinya kepada pemihakan nasib wong cilik, seperti kasus Kedung Ombo atau Nipah, dan rejim Soeharto buru-buru keras mengikisnya. Pinurbo dalam Celana sangat menyadari posisi dan fungsi kata-kata itu di tengah represivitas, kerap ia di tengah tampilan peristiwa yang ia bangun, menyatakan semacam ini : ‘Kata-kata adalah kupu-kupu yang/ berebut bunga, adalah bunga-bunga yang berebut warna,/ adalah warna-warna yang berebut cahaya, adalah cahaya yang/ berebut cakrawala, adalah cakrawala yang berebut saya.’

Yang menjadikan puisi Pinurbo punya nuansa bahasa dan pemikiran yang khas di tengah ‘Pasukan disiagakan dan/ diperintahkan untuk memblokadir setiap jalan. Semua mendadak/ panik. Kata-kata kocar-kacir dan tiarap seketika/’ (sajak “Patroli”) [25] sehingga memunculkan bangunan sajak pasemon atau lebih menyeruak lagi memunculkan bahasa surealis, menurut pengamatan saya, hal itu disebabkan oleh beberapa hal sebagai berikut.

(1) Puisi Pinurbo mempresentasikan komunikasi terhadap realitas sosialnya dengan memasuki secara langsung peristiwa sosial itu. Ia mengisahkannya tidak secara telanjang terhadap latar (set) dan peristiwa. Narator membangun suasana, setting, peristiwa itu kepada visi person-nya. Setidaknya ini dapat dicermati dalam sajak : “Poster Setengah Telanjang”, “Kisah Seorang Nyumin”, “Kisah Senja”, “Bayi dalam Kulkas”, “Malam pembredelan”, “Kisah Semalam”, “Gambar Porno di Tembok kota”, “Boneka dalam Celana”, dan semacamnya.

(2) Dan, karena gaya pengisahan mendominankan visi narator, maka ungkapan-ungkapan liris itu tak terhindarkan dan cenderung disengaja, yang menjadikannya berbeda dengan sajak balada yang cenderung membiarkan peristiwa telanjang sebagaimana puisi Rendra. Kita menjumpai begitu banyak harmoninya persajakan dalam puisi Pinurbo, ungkapan serupa ini misalnya sajak “Kisah Semalam”: [26]

Yang ditunggu belum juga datang. Tapi masih digenggamnya
surat terakhir yang sudah dibaca berulang. Aku pasti pulang
pada suatu akhir petang. Tentu dengan bunga plastik
yang kau berikan saat kau mengusirku sambil menggebrak pintu,
“Minggat saja kau banjingan. Aku akan selamanya di sini,
di rumah yang terpencil di sudut kenangan.”
…….

(3) Setiap bangunan kata yang membawa makna bersebarangan dengan ideologi negara terhadap realitas, sejak peristiwa Malari, dimaknakan ancaman oleh dan terhadap negara. Karenanya, kata menjadi medan perebutan makna. Kesadaran semacam ini cukup kuat pada pemikiran puisi Pinurbo, dan ia tak ingin mengikut arus umumnya puisi dekade 1980-an yang membangun pecahan-pecahan imaji seperti ‘orang-orang terbaring dalam tubuhnya sendiri, dada. tak ada yang berjalan. anjing terbaring dalam lolongannya sendiri. kota juga terbaring dalam dinding-dinding beton yang dingin, dada’ (Sajak”Dada”, Abad yang Berlari, 1984, Afrizal Malna).[27]

Pinurbo justru membangun pecahan-pecahan “ideologi rakyat banyak” itu, dengan memfiksikan fakta sehingga sifat kefaktualannya sublim. Realitas (sosial)-nya itu ia tundukkan di dalam puisi menjadi kemenangan makna, keyakinan, dan spiritualisme. Tidak lagi dengan jalan mencitrakan pecahan-pecahan ideologis yang kalah itu sendiri sebagaimana yang dilakukan Afrizal Malna, juga Hamdy Salad, melainkan membiarkan kisah itu kembali hidup di dalam sajak. Tidak juga dengan mengambil jalan ironi sehingga getir sebagaimana puisi Mustofa W. Hasyim, melainkan menyiasati keterpurukan, ketertindasan itu dengan mencari basis lain yakni dunia makna dengan perlambang, yang sebagiannya dapat dicari referensinya kepada ingatan-teologis, sebagiannya kepada humanisme universal. Contoh yang paling asyik, tentang “kata” yang diperebutkan versi maknanya antara negara yang disimbolkan dengan ‘Patroli’ berhadapan dengan ‘demonstran’ yang dalam sajak berikut ini diposisikan sama dengan ‘penyair’. [28]
Patroli

Iringan-iringan panser mondar-mandir di jalur rawan
di seantero sajakku. Di sebuah sudut yang agak gelap
komandan melihat kelebat seorang demonstran yang gerak-
geriknya dianggap mencurigakan. Pasukan disiagakan dan
diperintahkan untuk memblokir setiap jalan. Semua mendadak
panik. Kata-kata kocar-kacir dan tiarap seketika.
Komandan berteriak, “Kalian sembunyikan di mana penyair
kurus yang tubuhnya seperti jerangkong itu? Pena yang baru
diasahnya sangat tajam dan berbahaya.” Seorang peronda
memberanikan diri angkat bicara, “Dia sakit perut komandan,
lantas terbirit-birit ke dalam kakus. Mungkin dia lagi
bikin aksi di sana. “ “Sialan!” umpat komandan geram sekali,
lalu memerintahkan pasukan melanjutkan patroli.
Di huruf terakhir sajakku si jerangkong itu tiba-tiba muncul
dari dalam kakus sambil menepuk-nepuk perutnya. “Lega,”
katanya. Maka kata-kata yang tadi gemetaran serempak
bersorak dan merapatkan diri ke posisi semula. Di kejauhan
terdengar letusan, api sedang melalap dan menghanguskan
mayat-mayat korban.

(4) Dengan basis semacam itu, Pinurbo pun berleluasa melakukan eksperimentasi ungkapan, imaji yang liar, bahasa keseharian namun tak kehilangan kelirisannya. Dengan basis dunia makna melalui perlambang itu, ia juga melakukan penjungkirbalikan perlambang setelah diskripsi kisah yang dibangunnya, dan di sinilah letak kesurealistisan puisi Pinurbo sehingga menimbulkan parodi-parodi, dan kita ngakak dibuatnya, contohnya dalam sajak “Celana (3)”, tatkala seorang lelaki yang telah mendapatkan celana idaman yang lama didambakannya, asli buatan Amerika, dan memamerkan kepada perempuannya, tak disangka: [29]

…….
Tapi perempuan itu lebih tertarik pada yang
bertengger di dalam celana. Ia sewot juga.
“Buka dan buang celanamu!”
Pelan-pelan dibukanya celananya yang baru, yang
gagah dan canggih modelnya, dan mendapatkan burung
yang selama ini dikurungnya sudah kabur entah kemana.

5. Memasuki “Nikah Ilalang” Dorothea Rosa Herliany

“Memasuki” Dorothea Rosa Herliany dalam buku Nikah Ilalang (1995),[30] saya menemukan ceruk terdalam dari kata “nikah” itu sendiri, yakni nilai yang diidealkan, yang abadi. Hal itu tidak semata kata-kata untuk suatu tarikan agar diakui persona dirinya sebagai perempuan di bawah bayang tradisi yang memaknainya secara inferior. Puisi Rosa oleh sementara kritikus sastra dikatakannya sebagai upaya mengatasi dominasi maskulinitas terhadap femininitas.

Saya meminjam kata “nikah” itu bukan bermaksud melakukan pembacaan terhadap dunia gender sebab hal itu telah dilakukan dengan baik oleh Afrizal Malna sebagai kata penutup buku Rosa. Saya meminjamnya sebagai kata kunci memasuki upaya Rosa “menikahi” realitas (sosial)-nya.

Nikah Perkampungan [31]

dengan sadar, aku kawini rumahrumah kardus,
tanpa cincin kawin, selain kemiskinan dan
Ilmudaurulang. tanpa perjamuan, selain wabah
dan ilmutatakota. tanpa nyanyian pengiring,
selain ketergusuran hewanhewan jelata.
dengan sadar, aku nikahi dunia yang gelisah.
sambil kuganti doa jadi harapan. kuganti
janji jadi ratapan.
kunikmati jaman yang sekarat minta susu.
pengantin yang takpernah kunikahi, tapi
minta menetekku dengan bahasa ketakutan.

Ini kali kita dengan berat hati melalui begitu saja upaya Rosa mengadakan tawaran struktur dan cara penulisan serta penyusunan kata, misalnya : tiadanya pemakaian hurup besar; penggunaan penulisan bersambung untuk kata ulang (ulatulat); penggabungan dua kata atau lebih (anakkumuntah); belum lagi, pemotongan atau pemenggalan kalimat. Tentu saja, hal itu dapat dibaca sebagai tanda memasuki dunia yang dibangun puisinya.

‘dengan sadar, aku kawini rumahrumah kardus,/ tanpa cincin kawin, selain kemiskinan dan/ Ilmudaurulang’, Rosa mengambil jarak ontologis terhadap sudut-pandang perempuan yang secara konvensional memposisikan kelembutan, kemapanan. Dalam sajak tersebut, justru dengan sadar ia mengawini kemiskinan sosial, kemiskinan struktural, dan ia tahu risiko ‘(me)nikahi dunia yang gelisah.’

Dalam dunia serupa itu, nilai-nilai menjadi abai. Rosa menyadari sungguh makna diksi ‘kawin’ dan ‘nikah’, yang dalam banyak sajaknya dibedakan aksentuasi dan maknanya. ‘aku kawini rumahrumah kardus’, kenapa tidak ‘aku nikahi rumahrumah kardus’? Rosa ingin mencitrakan pecahnya nilai di dataran kemiskinan, wabah, dan hewan-hewan jelata. Hal ini mengingatkan saya kepada teks agama bahwa “Kemiskinan itu dekat pada kekufuran” sekalipun saya tak ingin memasukinya dengan ideologi serupa itu sebab akan sangat tidak adil dan dogmatis. Tetapi, Rosa punya ingatan-teologis secara substansi semacam itu, karenanya ia dalam bait II menggunakan kata ‘aku nikahi’ untuk menyebut ungkapan selanjutnya yang bernafaskan rasa keagaman ini ‘sambil kuganti doa jadi harapan’.

Afrizal Malna pernah mengungkap bahwa diksi-diksi keras, maskulin, yang digunakan Rosa sebagai risiko tak tertahankan lantaran dunia-di-luar-rumah telah menjadi klaim laki-laki. [32] Memang, diksi, idiom, simbol, rangkaian ungkapan, dapat dijadikan penanda untuk merekonstruksi suatu persona yang dibangun dunia sastra. Namun, diksi-diksi gagah dan keras dalam puisi Rosa dapat juga dimaknakan sebagai cara memasuki bahasa massa yang memang mengarah ke arah sama, keras.

Tetapi, Rosa bukan mengambil posisi mengisahkan peristiwa sosial itu agar pembaca “menikahi” kembali lewat tokoh-tokoh yang dibangunkan. Ia menyublimasi pengalaman sosial itu sebagai bagian yang samar, impresi, dari posisi “aku” yang dominan. Dengan begitu, peristiwa sosial yang memang tidak dominan di-wadag-kan di dalam sajaknya itu, dipilihnya, yang semata memberi sugesti-sugesti dari hembusan “pernyataan” aku-lirik. Dengan sadar ia menikahi dunia yang gelisah, berarti ia memilih dari yang banyak itu sebagai objek dan (atau) subjek sudut-pandang, serta pengucapan dunianya, sajaknya.

Kerenanya, sekalipun Rosa juga berbicara soal “Lagu Asing dari Desa” (judul sajaknya), maka ia hanya melukiskan impresi seperti ini: [33]

di atas gerobak kuhitung mesin dan listrik
yang membagibagikan kekosongan kepada semuaorang.
malaikatmalaikat menyebarkan kebencian. sawahsawah
dan gubukgubuk tibatiba berubah gumpalankertas.
kubakar : jadi tanahair bagi bayangbayang.
sepanjang gang orangorang berjaga. tangantangan
kurus mencabikcabik tanah dan jantungnya sendiri.
sebuah semesta : jutaan rumah tanpapenghuni.
…….

Di dalam bangunan dunia impresi, yang terlukiskan yang pokok saja, karenanya muncul patahan-patahan peristiwa sosial yang telah disublimasi itu, disejajarkan antara yang satu dengan lainnya. Sebagaimana dalam bait terakhir sajak itu juga, dinyatakan, ‘di gerbanggerbang desa kuhitung bayangbayang/ yang terpatahpatah. kusihir : menjadi jarijari/ yang selalu ingin menuliskan ribuan kalimat/ tak terbaca.’

Dengan begitu, menjadi tidak ada teriakan kata-kata di dalam puisi Rosa (satu hal yang secara estetis kerap menjadi ukuran keberhasilan kesastraan). Hal tersebut tidak banyak dimiliki oleh penyair semasanya yang cenderung berteriak-teriak atau meneriakkan problem sosial (yang masih telanjang konteks ruang dan waktunya) disebabkan oleh gempuran modernisme, atau represivitas oleh negara. Hal itu sebab Rosa melakukan metamorfosa makna (metamorfosa, kata yang kerap dipakainya dalam sajak), dan bukan metamorfosa kata-kata. Metamorfosa makna (termasuk konteks ruang dan waktunya) sebab ia menyublimasi peristiwa, ide-ide. Sementara itu, kata-kata via diksi-diksi tetap mengambil dari fenomena massa. Karenanya, problem-problem sosial yang secara biografis pernah hadir dalam hidup individual dan sosial Rosa itu mengalami metamorfosa ruang dan waktunya tatkala dihadirkan di dalam sajaknya.

Misalkan saja, sajak “Aku Diam di Halte”, halte ini telah dihilangkan ruang-waktunya sebagai halte-biografis sehingga halte menjelma suatu ruang-waktu tempat di mana dan kapan ‘kuhayati kebenaran yang lebih panjang/ dari rentangan waktu.’[34] Inilah bahasa sajak yang dipilih Rosa di tengah arus massa yang menuntut ruang pembebasan dari ketertindasan eksistensial, institusional, struktural; yang bahasa tersebut erat kaitannya dengan ekspresi bahasa sipil yang mengkerut di tengah slogan pembangunan. Dan Rosa, sekali lagi, memilih bahasa impresi dalam puisi, yang dapat dimaknakan sebagai anti-tesis dari bahasa kekuasaan yang slogan, yakni dengan menghayati ‘kebenaran yang lebih panjang/ dari rentangan waktu.’ [35]

6. Puisi vis-a-vis Negara

Secara sederhana boleh disebut bahwa bahasa pada umumnya adalah alat komunikasi bagi segala sesuatu yang berhubungan dengan hal yang berlangsung di dalam jiwa manusia. Sementara itu, dalam proses perkembangan bahasa dapat disebabkan banyak hal seirama dengan perkembangan masyarakat pemakainya, juga secara rekayasa seperti yang dilakukan oleh negara.

Pada konteks sosialnya itulah bahasa dapat mengalami tekanan-tekanan oleh persoalan yang melingkupinya senyampang dengan tekanan yang dialami oleh masyarakat pemakai bahasa itu.

Pada akhir 1950-an hingga 1960-an, situasi sosial digiring kepada pemaknaan baru revolusi versi Soekarno, jargon-jargon politiknya demikian merebak dalam pengucapan sehari-hari : neokolonialisme (Neokolim), Jasmerah (jangan sekali-kali melupakan sejarah), ganyang, berangus, gerus, nasionalisme-agama-komunis (Nasakom), dan semacamnya. Yang tentu saja “kata-kata besar” itu bukannya tanpa risiko dampak kengeriannya.

Dengan lingkungan bahasa demikian, bahasa mengalami pembesaran yang tampak menakutkan akibat suntikan ideologi oleh elit politik, dan di sisi lain oleh masyarakat umum juga direspon secara instan sebagai kemegahan; namun di sisi lain lagi oleh masyarakat kritis disadari sebagai hal yang harus ditawar sebab risiko-risikonya.

Suasana hingar-bingar politik 1960-an yang akhirnya memunculkan kekerasan politik itu, pada konteks kebahasaan dalam sastra memberi gambaran bahwa tanggapan oleh pemakai bahasa secara umum itu juga tercermin di dalam sastra. Di satu sisi, kerasnya bahasa yang dipompa oleh suasana sosial politik memunculkan realisme sosial sebagai paradigma, dengan citra estetik kebahasaan sastra maupun citra ideologisnya.

Di segi lain, kekerasan yang tercitra melalui bahasa, juga memunculkan upaya untuk menyublimasi dan mengembalikan bahasa kepada keadaan normalnya, yang memberi ruang pemaknaan masyarakat pemakainya secara sejuk. Hal ini tercermin sebagaimana dilakukan sastrawan yang kemudian kita kenal sebagai kaum manifestan.

Sekalipun di segi lain, hal tersebut juga memunculkan upaya mensintesakan antara bahasa yang terlanjur mengalami pengerasan akibat politik-identitas oleh front ideologi itu, yakni dengan memberi ruh penolakan kepada penjajahan suatu kebudayaan terhadap kebudayaan lain. Upaya ini dilakukan oleh Taufiq Ismail, justru dengan meminjam “tangan bahasa sastra” dari kaum realisme sosial, untuk mengkritisi kekerasan yang dilakukan oleh kaum realisme sosial itu sendiri terhadap bahasa sekaligus pemakainya.

Tarik-menariknya ideologi pada masa itu senyampang dengan upaya negara untuk merangkul tiga komponen ideologi besar, yakni nasionalisme, agama, dan komunisme. Memang hal tersebut dapat dibaca sebagai munculnya demokrasi di dalam berkebudayaan, yang memberikan ruang bagi hak berpolitik, hak sipil, dan hak aktualisasi diri, sebagaimana substansi berdemokrasi. Pada kesusastraan pun antara ideologi dan ideologi lain melakukan kompetisi untuk mengukuhkan “bahasa” masing-masing dengan segala pemaknaan sosiologisnya. Keadaan demikian itu, tidak semata disebabkan negara melakukan tekanan terhadap bahasa, yang merupakan dampak langsung dari tekanan negara terhadap masyarakat pemakai bahasa, sekali lagi, tidak.

Politik-identitas ideologi masa 1950-1960-an itu berakhir dengan jatuhnya rejim Orde Lama Soekarno oleh gerakan mahasiswa yang didukung oleh Angkatan Darat sehingga memunculkan Soeharto. Hingar-bingar ideologi politik perlahan-lahan digembosi, yakni dengan adanya fusi para partai politik ke dalam tiga nuansa, nasionalisme, agama, dan Golongan Karya (menggantikan Nasakom, hal yang dulu ditentangnya).

Namun, dengan puncaknya yaitu dengan pengasasan-tunggal Pancasila terhadap semua kekuatan politik di Indonesia, karenanya mengakibatkan tekanan yang lebih besar terhadap hak-hak sipil oleh militer. Pada masa inilah, menjelang Pemilu 1978 dan setelahnya, bermunculan “kata-kata besar” yang mirip dengan masa rejim sebelumnya: “pembangunan manusia seutuhnya”, dan semacamnya; sebagai upaya berkompetisi mencari posisi di dalam kekuasaan. Bahasa bernasib sama dengan di masa Orde lama, hanya saja pada masa Orde Lama “membesarnya bahasa” tidak saja terjangkit kepada masyarakat pelaku politik, melainkan bahkan ke sebagian besar masyarakat. Pada masa Orde Baru sebab semua elemen ideologi telah dimandulkan sehingga mengenali bahasa yang membesar itu lebih mudah datangnya yakni dihembuskan oleh lingkaran kekuasaan dan militer. Sementara itu, bahasa di luarnya cenderung mengalami pemungkretan, eufemisasi yang keterlaluan sehingga mengaburkan arti dan tujuan komunikasinya.

Pada kesusastraan, tekanan sosial politik terhadap masyarakat itu berimbas ke dalam ekspresi sastra, yang dalam pemakaian bahasa sebagaian mengalami pentabiran estetisme, bahkan dijadikan ideologi oleh sebagian sastrawan, sekalipun di sisi lain juga penuh dengan tawaran di dalam tiarap. Rute dominannya estetisme sebagai ideologi ini dapat dibaca sebab kesusastraan Indonesia bergantung kepada media massa di dalam sosialisasinya; padahal, media-massa di bawah kendali negara melalui Departemen Penerangan dengan berbagai kecemasan akan pencabutan SIT/SIUPP jika fakta tak diekspose sejalan dengan versi negara. Pada konteks inilah, sastra mengalami penyaringan oleh media-massa yang telah dihegemoni oleh negara. Karenanya, rute sosialisasi yang demikian tidak menampakkan sastra vis-a-vis terhadap negara. Upaya menyiasati seperti pernah dilakukan oleh Revitalisasi Sastra Pedalaman (RSP) hanya sebatas gertakan merebut ruang publik, dan karenanya tidak substansial, selebihnya justru mengukuhkan hegemoni yang tanpa disadari kian memerosokkan estetisme.

Penawaran-penawaran akibat tekanan terhadap bahasa, dan imbas tekanan terhadap unsur kebudayaan lainnya itu di dalam kesusastraan (baca: puisi) dilakukan dengan munculnya beberapa gejala, yang dapat kita kenali sebagai berikut.

(1) “Sajak-sajak yang menyatakan” pikirannya sebagai respon langsung terhadap represi yang dialami oleh realitas sosial, dengan gaya dan sudut-pandang secara langsung, mempersoalkan, bahkan merumuskan problem sosial itu, yang berpusat kepada aku-lirik (juga, aku-publik, kerap mengidentifikasi dalam penokohan jika bentuk sajak berkisah atau balada) berhadapan langsung terhadap negara yang diposisikan sebagai penyebab dari tekanan mental dan jasmani yang dialami masyarakat.

Gaya dan sudut-pandang semacam ini merupakan penerusan dari perpuisian Taufiq Ismail dan Rendra di tahun 1960-an, bahkan sampai sekarang keduanya memposisikan demikian dalam bersastra, vis-a-vis terhadap negara. Dengan sudut-pandang demikian, setiap berkebudayaan masyarakat yang dipandang mengalami problem akibat spiral kekerasan yang muncul sebab salah-urus negara, maka akan dikritisinya, dari perihal pelacuran sampai perihal penggusuran tanah, dan bermacam lainnya. Taufiq Ismail mereferensikan pemikiran kritisnya itu kepada religiositas (Islam), Rendra kepada daya-hidup dan daulat-rakyat, dan Wiji Thukul kepada kaum proletar.

Tetapi, puisi jenis ini tidak banyak ditulis oleh sastrawan di saat menguatnya negara, jikapun ada maka kalah pamor dibanding Rendra dan Taufiq Ismail. Terkecuali Wiji Thukul yang membangun tradisi puitiknya sendiri, dengan memusatkan pengisahan problem sosialnya kepada aku-lirik, yang penokohannya sebagai prototipe buruh. Tetapi lebih dari itu, Thukul menyeruak dan dinilai ancaman sebab keterlibatannya pada organisasi sosial yang berlawanan dengan negara, yakni Jaringan Kesenian Rakyat (Jaker) di bawah Partai Rakyat Demokratik (PRD). Di samping itu, setidaknya juga dalam puisi Sosiawan Leak, keduanya dari Solo. Barangkali secara sosiologis perlu dilakukan penelitian, mengapa beberapa penyair dari Solo dalam ekspresi seninya banyak yang mengambil gaya dan sudut-pandang demikian, setidaknya Rendra dan Slamet Sukirnanto yang berasal dari Solo, juga demikian. Hal ini mengingatkan kita, di Yogya di saat bergulirnya reformasi gelombang demonstrasi tidak berefek kepada kekacauan yang parah, tetapi Solo justru menjadi “lautan api”.

Jenis puisi serupa sekalipun dengan varian “puisi balsem” juga ditulis oleh KH.A. Mustofa Bisri, dengan sudut-pandang budaya santri, yang mengkritisi kekuasaan.

Tentu saja, sebab berhadapan langsung dengan negara, maka karya sastra jenis ini selalu mengalami penolakan mediamassa yang keberadaannya di bawah kontrol negara. Contohnya, sajak Rendra [36] yang mempersoalkan eksistensi Dewan Perwakilan Rakyat ini, mempresentasikan jenis “sajak yang menyatakan”:

Rakyat adalah sumber kedaulatan
kekuasaan tanpa rakyat
adalah benalu tanpa karisma
Rakyat adalah bumi
politik dan kebudayaan adalah udara
bumi tanpa udara
adalah bumi tanpa kehidupan
udara tanpa bumi
adalah angkasa hampa belaka
Wakil rakyat bukanlah abdi kekuasaan
Wakil rakyat adalah abdi para petani
para kuli, para nelayan
dan para pekerja
dari seluruh lapisan kehidupan
Wakil rakyat
adalah wakil dari sumber kehidupan

(2) “Sajak-sajak yang menampilkan” problem sosial, sembari melalui bahasa puisi “menyatakan” ide atau sikapnya atas problem itu, tanpa merumuskan persoalan sosialnya sebab alasan estetika, di segi lain sebab sengaja tiarap dari berhadapan langsung terhadap negara. Hampir semua penyair yang menonjol di Yogya, memilih jalur ini, tentu dengan varian dan kekhasan masing-masing.

Mathori A. Elwa (dalam buku puisi Yang Maha Syahwat) bertumpu pada “ingatan teologis”, dan justru melaluinya ia mencairkan kebekuan pandangan formalis religi, dan di sisi lain menyemprot kaum yang sok medernis yang mengikut saja arus modernisme. Basis teologis serupa itu justru perlu sebab dengan begitu, eksklusivitas pemaknaan religi oleh formalis, dalam sajak Mathori A. Elwa melalui strategi kebahasaan yang parodis, ironis, seringkali juga humor, menjadi dapat dicairkan.

Reportase yang Menakutkan, buku puisi Mustofa W. Hasyim ini memposisikan “aku” kepada psikologis yang sama dengan puisi Mathori A. Elwa, yakni psikologisnya orang kalah. Kejiwaan tertindas itu mendorong pencarian pegangan kepada spiritualisme-religi. Ia membangkitkan kisah-kisah tragis kemanusiaan sebagai “reportase-budaya”, dengan cara menyublimasi kekerasan sosial itu ke dalam sajak-berkisah. Namun, sebab atmosfer kultur yang ia hadirkan dunia wong cilik Jawa, karenanya dalam menghadapi ketakberdayaan nasib ia mendekati masalah dengan cara wong cilik Jawa pula, yaitu menertawai diri sendiri dalam kepahitan.

Buku puisi Celana karya Joko Pinurbo mempresentasikan komunikasi terhadap realitas sosialnya dengan memasuki secara langsung peristiwa sosial itu. Ia mengisahkannya tidak secara telanjang terhadap latar (set) dan peristiwa sebagaimana yang dilakukan Mustofa W. Hasyim. Narator membangun suasana, setting, peristiwa itu kepada visi person-nya. Dengan basis itu, Pinurbo berleluasa melakukan eksperimentasi ungkapan, imaji yang liar, bahasa keseharian, namun tidak kehilangan kelirisannya. Ia juga melakukan penjungkirbalikan perlambang setelah diskripsi kisah yang dibangunnya, di sinilah letak kesurealistisan puisi Pinurbo sehingga menimbulkan parodi-parodi, dan kita ngakak dibuatnya.

Tetapi, Nikah Ilalang buku puisi Dorothea Rosa Herliany tidak mengambil posisi mengisahkan peristiwa sosial itu agar pembaca “menikahi” kembali lewat tokoh-tokoh yang dibangunnya. Ia menyublimasi pengalaman sosial itu sebagai bagian yang samar, impresi, dari posisi “aku” yang dominan. Dengan begitu, peristiwa sosial yang memang tidak dominan di-wadag-kan di dalam sajaknya itu dipilihnya, yang semata memberi sugesti-sugesti dari hembusan “pernyataan” aku-lirik.

Perpuisian yang mengambil posisi estetik dan “ideologi” serupa itu di Yogya, selain penyair tersebut tentu yang perlu diperhatikan adalah Ibuku Laut Berkobar (1998) buku puisi Abidah el-Khalieqy [37], perempuan penyair yang telah menonjol sejak pertengahan 1980-an, di mana masa tekanan politik terhadap sastra masih berlangsung; juga, di dalam puisi Santosa Warna Atmadja. Sementara itu, hal sama juga dapat dicermati pada perpuisian penyair yang menyeruak pada dekade 1990-an tatkala kian kerasnya kooptasi negara seperti pada puisi Raudal Tanjung Banua. Tidak kalah asyik dari puisi Raudal, adalah puisi Asa Jatmiko dalam Pertarungan Hidup Mati (2000) sekalipun tak semua sajak di dalamnya dapat dikatakan berhasil. [38]

(3) “Sajak-sajak yang menampilkan” problem realitas sosialnya, hanya menampilkan, jikapun mencoba menyatakan ide-ide tentangnya, maka realitas sosialnya itu ditariknya ke tingkat pengalaman (yang amat) individual. Bahasa sajak dalam konteks ini tinggal memvisualisasikan realitas sosialnya.

Fenomena itu tampak sekalipun tidak menonjol pada puisi Ulfatin Ch., dengan ekspresi bahasa yang amat liris. Fenomena sosial itu ditariknya sebagai setting bagi representasi biografisnya (lihat, buku puisi Konser Sunyi; dan Selembar Daun Jati, 1999). [39] Hiruk-pikuk perubahan sosial dalam sajak Ulfatin Ch. tidak mempengaruhi aku-lirik sebagai bagian dari komunitas sosialnya, ia membiarkan dunia luar itu hanya sebatas sebagai panorama:

…….
Dan ketika aku kembali di musim lain
kudapatkan hutan itu telah ramai
menjadi kota
dan di antara daratan yang dibelah sungai
telah terbangun jembatan
aku tak tak lupa rumahku, tapi di mana

(”Di Musim Lain, Aku kembali”, Konser Sunyi, 1993) [40]

Yang menarik dari fenomena bahasa dalam sajak akibat metamorfosa bahasa dari bahasa massa yang mengalami eufemisasi akibat mengkeret-nya realitas yang dicerminkannya, ialah munculnya pencitraan yang bersifat surealisme, untuk mencitrakan realitas ke tingkat yang paling abstrak, semacam “melawan dengan cara lari”. Jika pada puisi Joko Pinurbo, realitas sosial itu masih dapat kita kenali peristiwanya, ia hanya melakukan penawaran di tingkat perlambang tatkala gagal di tingkat realitas keseharian, secara maknawi kegagalan itu dimenangkan pada tingkat makna sehingga itulah cara menghibur diri. Tetapi, pada perpuisian Hamdy Salad, gagalnya akibat benturan di tingkat realitas empiris itu, hanya divisualisasikan lagi ke dalam dunia puisi, tak pelak lagi maka puisi Hamdy sehiruk-pikuk, secemas, seberdarah gambaran realitas sosialnya, yang tercekik tetapi diam, yang beku tetapi histeris. Gila!

Perpuisian Hamdy Salad memilih jalur yang lebih jauh mengekspresikan keterjajahan bahasa dan masyarakat pemakainya, dengan mengeksplorasi pengucapan lirisismenya kepada bawah-sadar kemanusiaan, di mana atas-sadarnya tercerabut oleh kekuatan besar yang menghegemoni terhadapnya. Perpuisian Hamdy Salad mencitrakan pecahnya masyarakat dari paguyuban religiositasnya, sebagai gambarannya, ia gencar sekali merekonstruksi keterpecahan itu, antara dunia keseharian yang chaos, dipertautkan dengan dunia yang diidealkan dalam gambaran imaji, karenanya pecahan gambaran kemanusiaan itu hadir terus-menerus dalam sajaknya. Di antaranya, beberapa sajaknya yang dimuat Kompas, edisi suplemen “Bentara”, Jum’at, 7 April 2000. Sajak berikut sangat mewakili bagaimana Hamdy Salad mengalihkan realitas sosialnya ke dalam sajak, ia seperti ‘mengarak silsilah’ pencitraan, tanpa ingin menyatakan tanggapan, apalagi merumuskan persoalan.

Perkabungan di Laut Timor [41]

Burung-burung berkalung hampa
melipat bendera di laut Timor
anyir ombak berkejaran sepanjang musim
merangkai buih dalam perkabungan
ikan-ikan menggelembungkan rasa perih
mendorong bangkai ke tepi pantai
lambang sengketa dan pertikaian

Kapal-kapal berlayar dalam gelap
menebar dusta para perampok
badai dan topan saling bertandang
ke empat penjuru, darah langit membeku
mengurung duka di relung cakrawala
orang-orang putih bertubuh kaku
menabuh genderang di pelabuhan waktu
membangun barak dan kemah persekutuan
memperanakkan tahta dunia sebagai hantu

Segunduk pulau telah tenggelam
diremuk gelombang angin samudra
kain kafan berterbangan di udara fana
meninggalkan masa lampau dan kematian
dalam perang. Matahari mengambang!
rajah negeri terbakar amunisi
mengarak silsilah ke tebing perbatasan

7. Penutup

Pertanyaan yang kemudian kerap muncul dalam batin saya, bukan lantaran alasan pilihan estetika, melainkan ingin melihatnya secara sosiologis, mengapa perpuisian di Yogyakarta tidak pernah memposisikan vis-a-vis terhadap negara?

Pertanyaan tersebut bukan berarti bahwa bentuk seni dan sudut-pandang yang demikian sebagai hal yang lebih baik, tidak. Sebaliknya, juga bukan berarti jelek sebab pada kenyataannya banyak karya sastra besar yang dengan kemampuan kesastraannya memposisikan vis-a-vis terhadap kekuasaan. Pada hakikatnya, dengan mengutip Faruk [42] yang mirip dengan pendapat Kuntowijoyo [43] tentang demokrasi kebudayaan bahwa ekspresi dan sudut-pandang kebudayaan (juga kesusastraan) senantiasa partikuler, dan karenanya khas, dan karenanya pula, misalnya selalu memandang pembunuhan adalah pembunuhan, tanpa memandang alasan yang melatarinya, apakah itu demi kesucian negara atau tetek-bengek lain. Tetap saja, pembunuhan adalah membunuh sebab hal itu merupakan pengingkaran terhadap kemanusiaan universal, hal yang menjadi substansi keagungan karya sastra.

Jika demikian, berhadapan langsung atau tidaknya terhadap tekanan kekuasaan atas kemanusiaan, bukan itu yang paling penting dalam mengambil sudut-pandang dan bentuk seni, melainkan sejauh mana substansi sastra mampu mengembalikan kehidupan manusia kepada kemerdekaan dari jajahan kultural dan kekuasaan, yakni dengan jalan mengembalikannya kepada Diri-nya sendiri. Dengan begitu, kesusastraan akan selalu dekat dan menjadi bagian terpenting tatkala manusia membangun citra kemanusiaannya.

2000, revisi

[1] “Budaya tanding” merupakan istilah yang dipopulerkan oleh Emha Ainun Nadjib untuk mengimbangi kooptasi dan dominasi yang dilakukan oleh negara. Lihat dalam, Terus Mencoba Budaya Tanding (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995).
[2] Iman Budi Santosa, Dunia Semata Wayang (Yogyakarta: Yayasan untuk Indonesia, 1996).
[3] Ibid., Matahari-matahari Kecil (Jakarta:Grasindo, 2004).
[4] Sitor Situmorang, “Lagu Gadis Itali”, Dalam Sajak, dalam Bunga di Atas Batu (Jakarta: Gramedia, 1989), hal. 62.
[5] Linus Suryadi A.G., Pengakuan Pariyem (Jakarta: Sinar Harapan, 1981).
[6] Ibid., Tirta Kamandanu (Yogyakarta: Yayasan untuk Indonesia, 1997).
[7] Emha Ainun Nadjib, 99 untuk Tuhanku (Bandung: Penerbit Pustaka, Perpustakaan Salman ITB, 1983).
[8] Dewan Kesenian Jakarta, Forum Puisi Indonesia 1987 ( Jakarta: DKJ, 1987).
[9] Faruk, Pengantar Sosiologi Sastra: dari Strukturalisme Genetik sampai Post-Modernisme (Yogkarta: Pustaka Pelajar, Cet.II, 1999), hal. 12.
[10] Mathori A. Elwa, Yang Maha Syahwat (Yogyakarta: Penerbit LkiS, 1997), hal. 107.
[11] Adi Wicaksono, “Puisi, Surga, dan Kota, dalam Histeria Kritik Sastra (Yogyakarta: Bentang, 1996), hal. 76.
[12] Mathori A. Elwa, Yang Maha Syahwat, hal. 11.
[13] Ibid., hal. 63.
[14] Ibid., hal. 135-141.
[15] Sutardji Calzoum Bachri, O Amuk Kapak (Jakarta: Sinar Harapan, 1981).
[16] Mustofa W. Hasyim, Reportase yang Menakutkan (Yogyakarta: Bentang, 1992).
[17] Ibid., sajak “Buruh yang Amat Sabar”, hal. 13.
[18] Teks tersebut merupakan Surat Perjanjian Kontrak Kerja sebagai Dosen Tetap di sebuah Perguruan Tinggi di Purwokerto. Sengaja nama Perguruan Tinggi tersebut tidak disebutkan dengan eksplisit demi etika jurnalistik.
[19] Mustofa W. Hasyim, sajak “Reportase yang Menakutkan”, dan Reportase…, hal. 7.
[20] Ibid., hal.9.
[21] Mustofa W. Hasyim, Zaman yang Beracun (Yogyakarta: Manuskrip, TT.).
[22] Joko Pinurbo, Celana (Magelang: Indonesia Terra, 1999).
[23] Ibid., sajak “Kisah Seorang Nyumin”, hal.4.
[24] Ibid., sajak “Malam Pembredelan”, hal. 8.
[25] Ibid., sajak “Patroli”, hal. 64.
[26] Ibid., sajak “Kisah Semalam”, hal. 10.
[27] Afrizal Malna, Sajak”Dada”, dalam Abad yang Berlari (Jakarta:TP, 1984).
[28] Joko Pinurbo, sajak “Patroli”, hal. 64.
[29] Ibid., hal. 30.
[30] Dorothea Rosa Herliany, Nikah Ilalang (Yogyakarta: Pustaka Nusatama, 1995).
[31] Ibid., sajak “Nikah Perkampungan”.
[32] Afrizal Malna, “Kata Penutup” dalam Nikah Ilalang, Ibid.
[33] Dorothea Rosa Herliany, sajak “Lagu Asing dari Desa”, Ibid.
[34] Ibid., sajak “Aku Diam di Halte”.
[35] Ibid.
[36] Rendra, sajak “Rakyat adalah Sumber Kedaulatan”, dalam Aceh Mendesah dalam Nafasku, Ed. Abdul Wachid B.S. et.al. (Banda Aceh: Kasuha, 1999), hal. 4.
[37] Abidah el-Khalieqy, Ibuku Laut Berkobar (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998).
[38] Asa Jatmiko, Pertarungan Hidup Mati (Yogyakarta: Yayasan Cempaka Kencana, 2000).
[39] Ulfatin Ch., Selembar Daun Jati (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999).
[40] Ulfatin Ch., sajak ”Di Musim Lain, Aku kembali”, dalam Konser Sunyi (Surakarta: Taman Budaya Surakarta, 1993).
[41] Hamdy Salad, sajak “Perkabungan di Laut Timor”, Kompas, edisi suplemen “Bentara”, Jum’at, 7 April 2000.
[42] Faruk, “Kejahatan Terbesar adalah Kebaikan”, dalam Aceh Mendesah dalam Nafasku (Banda Aceh: Kasuha, 1999), hal. ii-ix.
[43] Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam (Bandung : Mizan, 1997), hal. 149.

*) Alumnus S2 Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Dosen STAIN Purwokerto.

A Musthafa A Rodhi Murtadho A Wahyu Kristianto A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Wachid BS Abdullah al-Mustofa Abdullah Khusairi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimanyu Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Maulani Adek Alwi Adhi Pandoyo Adrian Ramdani Ady Amar Afrizal Malna Agnes Rita Sulistyawati Aguk Irawan Mn Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Subiyakto Agus Sulton Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahm Soleh Ahmad Farid Tuasikal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Luthfi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadie Thaha Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rasyid AJ Susmana Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander Aur Alexander G.B. Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Rif’an Aliela Alimuddin Alit S. Rini Alunk Estohank Ami Herman Amich Alhumami Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminudin TH Siregar Ammilya Rostika Sari An. Ismanto Anaz Andaru Ratnasari Andhi Setyo Wibowo Andhika Prayoga Andong Buku #3 Andrenaline Katarsis Andri Cahyadi Angela Anies Baswedan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Sudibyo Anton Wahyudi Anwar Holid Anwar Siswadi Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Zulkifli Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayu Utami Azyumardi Azra Babe Derwan Bagja Hidayat Balada Bandung Mawardi Bayu Agustari Adha Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Bernadette Lilia Nova Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Bhakti Hariani Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budi Winarto Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Bustan Basir Maras Camelia Mafaza Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cecep Syamsul Hari Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Choirul Rikzqa D. Dudu A.R D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Dantje S Moeis Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Darmanto Jatman Dedy Tri Riyadi Delvi Yandra Denny JA Denny Mizhar Dewi Anggraeni Dian Basuki Dian Hartati Dian Sukarno Dian Yanuardy Diana AV Sasa Dinar Rahayu Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi Warsidi Edy Firmansyah EH Kartanegara Eka Alam Sari Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil Amir Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Evan Ys F. Budi Hardiman Fadly Rahman Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fani Ayudea Fariz al-Nizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatkhul Aziz Felix K. Nesi Film Fitri Yani Franditya Utomo Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Garna Raditya Gde Artawan Geger Riyanto Gendhotwukir George Soedarsono Esthu Gerakan Surah Buku (GSB) Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Tri Atmojo H. Supriono Muslich H.B. Jassin Hadi Napster Halim H.D. Hamberan Syahbana Hamidah Abdurrachman Han Gagas Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Priyatna Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasan Junus Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Helwatin Najwa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendriyo Widi Ismanto Hepi Andi Bastoni Heri Latief Heri Listianto Herry Firyansyah Heru Untung Leksono Hikmat Darmawan Hilal Ahmad Hilyatul Auliya Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur Husnun N Djuraid I Nyoman Suaka Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilenk Rembulan Ilham khoiri Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Budi Santosa Imelda Imron Arlado Imron Tohari Indiar Manggara Indira Margareta Indra Darmawan Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ingki Rinaldi Insaf Albert Tarigan Intan Hs Isbedy Stiawan ZS Ismail Amin Ismi Wahid Ivan Haris Iwan Gunadi Jacob Sumardjo Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean-Marie Gustave Le Clezio JJ. Kusni Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Julika Hasanah Julizar Kasiri Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kadir Ruslan Kartika Candra Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Ketut Yuliarsa KH. Ma'ruf Amin Khaerudin Khalil Zuhdy Lawna Kholilul Rohman Ahmad Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Krisandi Dewi Kritik Sastra Kucing Oren Kuswinarto Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lenah Susianty Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto M Shoim Anwar M. Arman A.Z. M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Harya Ramdhoni M. Kasim M. Latief M. Wildan Habibi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria hartiningsih Maria Serenada Sinurat Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Marsus Banjarbarat Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masriadi Mawar Kusuma Wulan Max Arifin Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Mezra E. Pellondou Micky Hidayat Mihar Harahap Misbahus Surur Moh Samsul Arifin Moh. Syafari Firdaus Mohamad Asrori Mulky Mohammad Afifuddin Mohammad Fadlul Rahman Muh Kholid A.S. Muh. Muhlisin Muhajir Arifin Muhamad Sulhanudin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Azka Fahriza Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Nafi’ah Al-Ma’rab Naskah Teater Nezar Patria Nina Setyawati Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noor H. Dee Noval Maliki Nunuy Nurhayati Nur Haryanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurudin Octavio Paz Oliviaks Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pamusuk Eneste Panda MT Siallagan Pandu Jakasurya PDS H.B. Jassin Philipus Parera Pradewi Tri Chatami Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R Sutandya Yudha Khaidar R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rahmat Sutandya Yudhanto Raihul Fadjri Rainer Maria Rilke Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridha al Qadri Ridwan Munawwar Rikobidik Riri Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rizky Andriati Pohan Robert Frost Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Romi Febriyanto Saputro Rosihan Anwar RR Miranda Rudy Policarpus Rukardi S Yoga S. Jai S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Gerilyawan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra SelaSastra ke #24 Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Subhan SD Suci Ayu Latifah Sulaiman Djaya Sulistiyo Suparno Sunaryo Broto Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunudyantoro Suriali Andi Kustomo Suryadi Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Susilowati Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Bahri Syam Sdp Syarif Hidayatullah Tajuddin Noor Ganie Tammalele Tan Malaka Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Tengsoe Tjahjono Th Pudjo Widijanto Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Joko Susilo Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Umar Kayam Undri Uniawati Universitas Indonesia UU Hamidy Vyan Tashwirul Afkar W Haryanto W.S. Rendra Wahyudin Wannofri Samry Warung Boenga Ketjil Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Web Warouw Wijang Wharek Wiko Antoni Wina Bojonegoro Wira Apri Pratiwi Wiratmo Soekito Wishnubroto Widarso Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Wing King WS Rendra Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yosi M. Giri Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Yuyu AN Krisna Zaki Zubaidi Zalfeni Wimra Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhaenal Fanani Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar Zulhasril Nasir