Riri
http://pawonsastra.blogspot.com/
Pulang ke desa minggu ini harus kujalani dengan naik bus. Ayah yang biasanya jemput ada urusan penting tak bisa di tinggalkan. Aku harus rela menggunakan fasilitas transportasi kota yang paling utama itu. Menempuh perjalanan kurang lebih 2 jam di dalam bus beraroma khas penumpang. Peluh dan keringat dari tubuh mereka, aroma parfum dan minyak wangi yang mereka pakai, juga bau barang-barang bawaan. Di tambah penumpang yang berdesak-desakan, tak memberi sedikit celah untuk udara berganti.
Seperti biasa ketika aku pulang, aku hanya akan mendapati hal tak berkesan dalam perjalanan. Aku duduk dekat jendela, kepala bersadar di jok kursi, mata memandang keluar jendela. Di luar tampak kesibukan masing-masing orang kota. Kali ini aku pulang naik bus, namun kadang dengan sepeda motor bersama ayah, atau naik mobil bareng keluarga budhe. Dan semua biasa saja, tak ada yang berkesan, tak ada yang kuanggap menyenangkan.
Tiap perjalanan pulang aku lebih suka memperhatikan jalan dan orang-orang di luar. Di dalam mobil aku tak begitu menggubris apa yang di bicarakan keluarga budhe, di bus sampai tak dengarkan kondektur yang minta ongkos perjalanan, di sepeda motor tak pedulikan ayah yang bertanya kabar. Meskipun aku sering melakukan perjalanan seperti ini. Seperti orang desa yang pertama kali ke kota. Sebenarnya rumahku memang berada di sebuah desa di kaki gunung lawu. Keinginan ayah menyekolahkan aku di sekolah yang bagus meski jauh, membuat aku harus tinggal bersama keluarga budhe di kota dan bisa pulang ke rumah tiap akhir pekan.
Siang ini langit tak seperti biasanya, sinar terang matahari terhalang awan hitam yang menebal. Tampaknya akan turun hujan. Beruntung aku ada dalam bus meskipun sesak. Karena nanti aku tak akan kehujanan.
Minggu kemarin aku pulang di jemput ayah melewati jalan yang sama dipayungi terik matahari. Kendaraan terus berlalu lalang, tak peduli pada panas matahari, asap kendaraan, juga debu-debu kendaraan dan kota yang membuat mata merah. Adalah hal-hal menyebalkan yang selalu kudapatkan jika bersepeda. Salah satu penyebab lapisan azon makin bolong dan menaikkan suhu panas bumi. Akibatnya es di kedua kutub bumi meleleh, menambah lautan makin luas dan luas daratan berkurang.
“Ngapunten mbak, ongkos!”, suara kondektur bus meminta ongkos, menyadarkan dari alam khayalku. Aku mengambil empat lembar seribuan dari dalam dompet.
“Matesih”, kuserahkan pada kondektur itu dengan senyum bersalah dan malu.
Aku kembali melihat keluar. Akhir-akhir ini hujan mulai sering turun, padahal sekarang bulan Juli. Menurut perkiraan dan pembagian musim, bukan waktu musim hujan untuk Indonesia. Harusnya masih kemarau. Entahlah, sekarang musim dan cuaca tak lagi bisa di perkirakan. Musim hujan jadi kemarau, dan begitu juga sebaliknya kemarau jadi hujan.
Menurut pakar agama, itu karena orang Indonesia banyak dosa lalu Tuhan marah menurunkan bencana. Adanya banjir yang melanda salah satu negara bagian Eropa, pendapat orang barat, merupakan tanda-tanda akan berlangsungnya perubahan musim. Aku sendiri tak tahu. Yang aku tahu alam mulai berubah, perubahan tanpa permintaan, tanpa kesadaran manusia dan tanpa tanggapan.
Di luar awan hitam makin tebal, seperti peringatan pada manusia bahwa hujan akan turun deras dan lama. Beberapa pedagang di pinggir jalan mulai memasukkan barang dagangan. Orang-orang mempercepat langkah untuk lekas sampai tujuan tanpa kehujanan. Dan aku beruntung berada di bus, sebab andaikan bersepeda motor dan menggunakan mantel aku belum tentu terhindar dari percikan air dan tak akan bisa perhatikan jalan dengan nyaman.
Beberapa wilayah kering yang kehujanan akan merasa senang dengan air yang berlimpah dari langit. Tanaman di ladang, sawah, dan kebun akan tersirami tanpa bersusah payah mencarikan air. Namun hujan yang mengguyur deras terus menerus di sertai angin kencang, bisa juga merugikan. Merusak padi siap panen, melongsorkan tanah miring diatas pemukiman penduduk, juga banjir besar. Kesemuanya menjatuhkan korban harta maupun jiwa. Bila musim hujan inginnya panas agar jemuran cepat kering. Jika yang berlangsung musim kemarau, inginnya cepat hujan supaya tak kepanasan dan gerah. Namun apapun yang berlangsung manusia hanya bisa berkomentar.
Pertanda hujan akhirnya terbukti, hujan langsung mengguyur deras. Jalan seketika basah. Disambut orang-orang dengan berlarian mencari tempat berteduh, pengendara sepeda motor berhenti untuk memakai mantel. Hujan berangin kencang siang ini disertai juga petir yang berkilatan dan suara halilintar beradu. Di depan sebuah toko yang sudah tutup, berdiri dua orang laki-laki dan perempuan. Terpisah tak terlalu jauh. Tiba-tiba suara halilintar menyambar keras. Aku jadi membayangkan, andai si cewek kaget mendengar halilintar lalu reflek memeluk si cowok. Mungkin si cewek akan memerah malu dan cowok tersenyum senang, atau malah cewek marah-marah meyalahkan cowok memanfaatkan kesempatan. Aku tersenyum geli membayangkannya.
Lampu merah menyala, bus berhenti. Di luar sana, ada beberapa bocah membawa botol minuman berisi deterjen bubuk. Lalu tanpa disuruh, di semprotkan ke kaca depan mobil yang berhenti. Pembersih kaca mobil otomatis bergerak membersihkan. Sementara bocah tadi mendekati kaca samping pengendara, menengadahkan tangan. Mengharapkan receh jatuh ke tangan atau lambaian tangan tanda tak ada. Mereka semua hanya bocah usia SD. Berpakaian lusuh dan basah kuyup menawarkan jasa, menembus hujan untuk beberapa receh uang. Bukankah mereka tanggungan pemerintah?. Mendapat jaminan keselamatan, kesehatan dan hidup dari pemerintah. Tapi, mengapa mereka ada di jalan saat hujan deras?, bukan di rumah berlindung pada selimut?. Hanya sekedar janji manis pada aturan tertulis dari mulut besar pemerintah, bukan suatu usaha untuk membuktikannya.
Dari balik kaca bus kota, aku melihat semuanya, hal yang mungkin sudah menjadi rutinitas. Semua berhasil menarik perhatianku. Mereka yang berbicara lantang meski aku tak dengar, duduk diam melamun, asyik dengan hp, atau kepolosan anak kecil yang sedang bermain. Mereka yang mengendarai sepeda motor, mobil, atau hanya bertumpu pada kedua kaki untuk menapaki jalan beraspal. Kesibukan yang kutemukan di manapun. Kepentingan masing-masing dengan barang-barang di tangan atau pikiran di tempatnya.
Pikiranku melayang pada bangsaku, tanah airku yang sedang berkembang untuk menjadi negara maju. Menempuh berbagai cara supaya di kenal sebagai negara hebat. Mengonsumsi berbagai barang-barang import, bukan menciptakan hal dan barang baru, untuk menambah devisa negara. Di tiap lamuananku tentang Indonesia, muncul semangat besar untuk mengubahnya, bermimpi bisa memajukan Indonesia. Menjadi negara adidaya dengan produksinya. Alam yang lestari, majunya pendidikan dan industri, serta social budaya yang terbina baik. Membangun pabrik barang elektronik sendiri yang lebih maju dari bangsa lain dan mempunyai cabang di mana-mana. Tapi aku akan memajukan pendidikan terlebih dahulu, karena nasib bangsa selanjutnya ada di tangan kepolosan anak-anak sekarang. Bermimpi.
Hanya mimpi mustahil dan harapan kosong. Semangatku selalu saja hilang tiap aku perhatikan jalan. Kejadian demi kejadian tanpa tanggapan. Beku tiada ekspresi, hati kesal sambil mengumpat berkomentar. Ada pikiran berontak pada semua kebijakan, ketidaksetujuan dari persetujuan, dan penuntutan atas penindasan. Semua harapan untuk perubahan berujung kecewa mendalam. Karena semua akan terus tersimpan dalam lemari khayal, imajinasi tak kesampaian. Tambahan pada dokumen peristiwa dan rasa jengkel untuk keramaian kota, polusi dari asap kendaraan, mencemari bumi dan udara, yang terus saja ada. Kota dengan kesibukan tanpa henti siang dan malam. Tanpa udara segar pagi yang memberi semangat untuk menyambut hari.
Sejujurnya aku lebih senang tinggal di desa. Kealamian bisa kutemukan di tiap sudutnya. Hijau daun, kerumunan pohon menjulang tinggi, warna-warni bunga mekar, sungai jernih yang mengalir deras, juga keramahan penduduknya. Alasan yang tetap tak bisa membuat aku tinggal di desa, ayah terlalu keras kepala. Namun, berhasil memberiku semangat pulang. Juga hasrat besar untuk menjaga kelestariannya. Tetap alami dengan hawa dingin tiap pagi, dengan keceriaan anak gunung tiap bulan purnama, kecipak air sungai, pemandangan elok pedesaan. Kerinduan menyeruak bersama hembusan nafas berat.
Kebanggaan yang akan selalu kubawa kemanapun. Desa tempatku tumbuh besar, tempat aku mendapatkan pelajaran tentang arti perjuangan, kebersamaan, kesedihan, dan keceriaan. Segala macam hal desa adalah kebanggan tersendiri dalam diriku dan tak akan pernah hilang. Meski tiada kepastian tempatku berpijak, akan selalu ada bayangan tentangnya. Keyakinan untuk kembali.
Aku menarik nafas, mencoba menghirup kealamian dari sepanjang perjalanan. Bus merangkak pada jalan menanjak naik. Jalan raya utama menuju terminal Karang pandan. Suasana pegunungan mulai terasa, dingin menembus kaca bus. Hujan diluar masih tercurah lumayan deras. Lelah yang kuderita selama perjalanan tersembuhkan oleh sambutan kealamian. Bus berhenti di terminal Karang pandan, untuk menarik perhatian orang dengan jasa tumpangan. Tak lama bus kembali berjalan menuruni jalan yang sama, kemudian berbelok keselatan menuju tempat perhentian terakhir. Pohon-pohon di sekitar jalan masih basah air hujan.
Perbedaan kota dan desa di sepanjang jalan sangat terasa. Keramaian Solo yang mungkin terjadi siang malam dengan jalan desa yang berkelok dan jarang kendaraan. Solo sudah begitu ramai apalagi kota besar lainnya. Andai kota-kota besar Indonesia masih alami dengan kesegaran, apa yang akan terjadi?. Mungkin Indonesia akan jadi negara paling alami di dunia, mungkin juga dunia akan berkata ‘Indonesia primitif’. Mimpi!. Tapi kalau semua mau, bisa saja. Indonesia alami tapi pendidikan masyarakatnya terjamin, kaya hasil ekspor alam, serta maju dalam bidang apapun dan tetap seimbang.
Bus bekelak-kelok mengikuti jalan pegunungan. Penumpang ikut bergerak ke kanan dan kekiri. Aku terjepit tubuh langsing seseorang yang duduk disampingku sejak dari Solo tadi. Aku menoleh dan tersenyum padanya.
“Sorry mbak, soale jalane ya kayak gitu, Aku sering berharap lho kalau ono perbesaran jalan supaya lebih gedhe dan nggak berkelok koyo itu, aku paling sebel lewat sini”. Aku hanya bisa tersenyum pada perempuan itu. Tampaknya perempuan kota.
“Kalau nggak terpaksa, aku nggak mau lewat sini, naik bus ini. Seharusnya pemerintah potongi aja pohonnya, di jual untuk buat jalan pintas dan perbarui bus agar lebih gampang atau buat apalah yang maju biar gampang.”
Aku tetap tersenyum menanggapi ucapannya, meski hatiku berontak. Baru saja aku berpikir melestarikan alam, ternyata orang di sampingku berpikir beda jauh. Bus berhenti di terminal Matesih, perempuan tadi turun setelah nerocos entah apa dari tadi padaku. Aku masih memikirkan kata-kata awalnya, aku melamun sejak naik bus hingga tak tahu bahwa ada orang berpikiran lain denganku. Hujan sudah tak terlalu deras, ada kubangan-kubangan air di depan, juga tetesan sisa air hujan. Aku melangkah pulang kedesa, untuk melepas kerinduan bercengkrama dengan alam. Tentang semua khayalanku, mungkin tidak ya?.(khoko_ir@yahoo.com).
Matesih, 06 Juli ’07 / 22.59
Untuk semua mimpi menjelma kenyataan
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Selasa, 25 Januari 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Musthafa
A Rodhi Murtadho
A Wahyu Kristianto
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Wachid BS
Abdullah al-Mustofa
Abdullah Khusairi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimanyu
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Maulani
Adek Alwi
Adhi Pandoyo
Adrian Ramdani
Ady Amar
Afrizal Malna
Agnes Rita Sulistyawati
Aguk Irawan Mn
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Subiyakto
Agus Sulton
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahm Soleh
Ahmad Farid Tuasikal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Luthfi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadie Thaha
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rasyid
AJ Susmana
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander Aur
Alexander G.B.
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Rif’an
Aliela
Alimuddin
Alit S. Rini
Alunk Estohank
Ami Herman
Amich Alhumami
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminudin TH Siregar
Ammilya Rostika Sari
An. Ismanto
Anaz
Andaru Ratnasari
Andhi Setyo Wibowo
Andhika Prayoga
Andong Buku #3
Andrenaline Katarsis
Andri Cahyadi
Angela
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Sudibyo
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Zulkifli
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayu Utami
Azyumardi Azra
Babe Derwan
Bagja Hidayat
Balada
Bandung Mawardi
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Bernadette Lilia Nova
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Bhakti Hariani
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budi Winarto
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Bustan Basir Maras
Camelia Mafaza
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Choirul Rikzqa
D. Dudu A.R
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Darmanto Jatman
Dedy Tri Riyadi
Delvi Yandra
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Anggraeni
Dian Basuki
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dian Yanuardy
Diana AV Sasa
Dinar Rahayu
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Warsidi
Edy Firmansyah
EH Kartanegara
Eka Alam Sari
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil Amir
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
F. Budi Hardiman
Fadly Rahman
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fani Ayudea
Fariz al-Nizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatkhul Aziz
Felix K. Nesi
Film
Fitri Yani
Franditya Utomo
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Garna Raditya
Gde Artawan
Geger Riyanto
Gendhotwukir
George Soedarsono Esthu
Gerakan Surah Buku (GSB)
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Tri Atmojo
H. Supriono Muslich
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim H.D.
Hamberan Syahbana
Hamidah Abdurrachman
Han Gagas
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Helwatin Najwa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendriyo Widi Ismanto
Hepi Andi Bastoni
Heri Latief
Heri Listianto
Herry Firyansyah
Heru Untung Leksono
Hikmat Darmawan
Hilal Ahmad
Hilyatul Auliya
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husnun N Djuraid
I Nyoman Suaka
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilenk Rembulan
Ilham khoiri
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Budi Santosa
Imelda
Imron Arlado
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Margareta
Indra Darmawan
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ingki Rinaldi
Insaf Albert Tarigan
Intan Hs
Isbedy Stiawan ZS
Ismail Amin
Ismi Wahid
Ivan Haris
Iwan Gunadi
Jacob Sumardjo
Jafar Fakhrurozi
Jajang R Kawentar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean-Marie Gustave Le Clezio
JJ. Kusni
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Julika Hasanah
Julizar Kasiri
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kadir Ruslan
Kartika Candra
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Ketut Yuliarsa
KH. Ma'ruf Amin
Khaerudin
Khalil Zuhdy Lawna
Kholilul Rohman Ahmad
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Krisandi Dewi
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kuswinarto
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lenah Susianty
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
M Shoim Anwar
M. Arman A.Z.
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Harya Ramdhoni
M. Kasim
M. Latief
M. Wildan Habibi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria hartiningsih
Maria Serenada Sinurat
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Marsus Banjarbarat
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masriadi
Mawar Kusuma Wulan
Max Arifin
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Mezra E. Pellondou
Micky Hidayat
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Moh Samsul Arifin
Moh. Syafari Firdaus
Mohamad Asrori Mulky
Mohammad Afifuddin
Mohammad Fadlul Rahman
Muh Kholid A.S.
Muh. Muhlisin
Muhajir Arifin
Muhamad Sulhanudin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Azka Fahriza
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naskah Teater
Nezar Patria
Nina Setyawati
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noor H. Dee
Noval Maliki
Nunuy Nurhayati
Nur Haryanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurudin
Octavio Paz
Oliviaks
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Panda MT Siallagan
Pandu Jakasurya
PDS H.B. Jassin
Philipus Parera
Pradewi Tri Chatami
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rahmat Sutandya Yudhanto
Raihul Fadjri
Rainer Maria Rilke
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridha al Qadri
Ridwan Munawwar
Rikobidik
Riri
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rizky Andriati Pohan
Robert Frost
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Romi Febriyanto Saputro
Rosihan Anwar
RR Miranda
Rudy Policarpus
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Gerilyawan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra
SelaSastra ke #24
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Subhan SD
Suci Ayu Latifah
Sulaiman Djaya
Sulistiyo Suparno
Sunaryo Broto
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunudyantoro
Suriali Andi Kustomo
Suryadi
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Susilowati
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Bahri
Syam Sdp
Syarif Hidayatullah
Tajuddin Noor Ganie
Tammalele
Tan Malaka
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Tengsoe Tjahjono
Th Pudjo Widijanto
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Joko Susilo
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi
Umar Kayam
Undri
Uniawati
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Vyan Tashwirul Afkar
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyudin
Wannofri Samry
Warung Boenga Ketjil
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Web Warouw
Wijang Wharek
Wiko Antoni
Wina Bojonegoro
Wira Apri Pratiwi
Wiratmo Soekito
Wishnubroto Widarso
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Wing King
WS Rendra
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yosi M. Giri
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Yuyu AN Krisna
Zaki Zubaidi
Zalfeni Wimra
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhaenal Fanani
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Zulhasril Nasir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar