Jumat, 28 Januari 2011

Pergerakan Sastra di Malang

Denny Mizhar
http://sastra-indonesia.com/

Polemik pembacaan atas pergerakan sastra di Malang dan pengakuannya pada wilayah Jawa Timur terjadi sejak lama. Tan Tjin Siong (1989) pernah menulis dengan nada gugatan dengan judul “Peta Sastra Malang” : “Sebagai warga Jatim pecinta sastra, rasanya kurang sreg kalau selama ini hanya keberadaan atau kegiatan sastra di Surabaya yang mendapat porsi paling banyak untuk dibicarakan. Ada kesan penganak tirian terhadap daerah lain…. Nah, apa Malang tak punya peta sastra yang menarik untuk dibicarakan? Ada. Bahkan bahkan peran sastranya di Jawa Timur tak bisa diabaikan”. Apa yang dituliskan oleh Tan Tjin Siong mendapat balasan oleh Sauripan Sadi Hutomo (1994) dalam bukunya “Kronik Sastra Indonesia di Malang” bahwa gugatan oleh Tan Tjin Siong tidak berdasar jika melihat dokumentasi-dokumentasi secara mendalam apa yang dilakukan oleh generasi pendahulunya di Malang. Sauripan Sadi Hutomo membagi dua pembacaan atas sastra Malang yaitu pembacaan sastra secara Emik dan Etik. Pembacaan bersifat Etik yakni pembacaan yang dilakukan oleh orang luar Malang sedang Pembacaan Emik pembacaan yang dilakukan oleh orang Malang sendiri.

Apa yang dilakukan oleh W. Harianto (WH) dengan tulisannya di Kompas Jatim pada 23 Desember 2010 adalah pembacaan secara Etik terhadap Perpuisian Mutahir Malang. WH menyebutkan ada nama tiga penyair Mutahir Malang. WH mengatakan “Terbukti pada beberapa tahun terakhir, booming penyair itu hanya euforia dan pseudo-reality. Namun, tidak banyak yang tercatat dari Malang ketika arah perpuisian kita sebatas kontemplasi redaksi di ruang tertutup”. Menjadi pertanyaan saya adalah ruang tertutup itu ruang yang hanya bisa dinikmati penyairnya saja atau tertutup hanya di Malang? Tetapi realitasnya tidaklah benar jika hanya berada dalam ruang tertutup itu. Jika menelisik gerakan penyair-penyair Malang. pada era 2000-an hingga sekarang. Misalnya terbitnya beberapa antologi puisi secara komunitas yang meluas atau persingungan penyair-penyair Malang antar komunitas dengan daerah lain. WH juga mengatakan bahwa “Malang hanya memiliki prosais Ratna Indraswari Ibrahim”. Peryataan itu akan gugur dengan sendirinya jika membaca antologi cerpen “Pledooi: Pelangi sastra Malang dalam cerpen” yang diterbitkan oleh MOZAIK BOOK bekerjasama Dewan Kesenian Jawa Timur.

Selain itu penyebutan nama-nama penyair mutakhir oleh WH masih belum merepresentasikan penyair Malang. Masih ada beberapa nama yang harus di sebutkan dalam dimanika kepenyairan Malang. Selain Ragil Suprinto Samid, Yusri Fajar dan Denny Mizhar masih ada beberapa nama jika hendak menyebutkan nama-nama penyair mutakhir Malang di antaranya Abdul Mukid, Lodzi Hadi, Lubis Grafura, Liza Wahyu, Masdar Zaenal, Masaly, Aziz Abdul Ghofar Andi Wirambara, Faradina I, Amrullah Budari, Ria AS, Tsabit Nur Paramita, Johan W, Royan Dwi J, Hasan Caleg, dll. Nama-nama itu yang pernah mengisi buku-buku antologi puisi yang diterbitkan secara indie, antologi puisi tunggal juga bersama ataupun mempublikasikan karyanya melaui media internet.

Gerak Sastra Malang

Jika WH melakukan pembacaan secara etik maka saya akan membaca secara emik. Gesekan-gesekan penyair malang dengan pergerakannya seusai periode 90-an. Pertama dapat diamati lewat komunitas-komunitas yang dibentuk oleh penyair Malang. Ada beberapa komunitas diantaranya Forum Penyair Muda Malang, Bengkel Imajinasi, Komunitas Sastra Reboan Pustaka Rakjat, Unit Kegiatan Mahasiswa Penulis UM, Komunitas Jalaludin Rumi, Komunitas Pramoedya, Komunitas Sastra Parkiran, Lembah Ibarat, Mafia Sastra UMM, dll. Saya pikir kesepian Puisi Malang yang disitir oleh WH tidaklah terjadi. Interaksi karya dan diskusi karya terjadi dalam komunitas-komunitas tersebut. Beberapa komunitas-komunitas tersebut pernah disinggahi beberapa penyair atau sastrawan yang sudah punya nama di percaturan sastra koran ataupun mereka yang terlibat dalam dinamika sastra Indonesia. Dan mereka melakukan diskusi intens.

Bagi saya, tidak perlu risau, Malang tidak perna dibaca oleh otoritas sastra Jawa Timur. Toh HB Jasin penah menulis “sastra berbahas Indonesia tidak hanya terjadi di pusat saja (baca: jakarta) tetapi di daerah-daerah juga ada (Sauripan, 1994). Ungkapan seorang paus sastra tersebut dapat digubah menjadi sastra tidak hanya terjadi di surabaya tetapi juga ada di Malang ataupun daerah-daerah wilayah Jawa Timur. Maka tidak menjadi soal jika Malang tanpa harus dibicarakan oleh Surabaya tapi Malang bergerak kesustraannya dengan caranya sendiri.

Akan tetapi interaksi antar komunitas-komunitas sastra di Malang kira-kira setahunan ini mulai redup. Karena penyair atau sastrawan Malang kebanyakan adalah mahasiswa, setelah lulus kuliah, sedikit yang menetap di Malang. Sehingga naik turunya komunitas-komunitas sastra di Malang terjadi. Kampus tidak bisa dipisahkan dengan gerak perpuisian di Malang. Karena basis atau kantong-kantong komunitas sastra masih didonomasi oleh kampus. Dari pergerakan sastra di Malang masih menyisakan satu problem, yakni pembacaan atas karya-karya penyair Malang secara mendalam dan koprehensip. Hal tersebut bisa dimungkinkan karena kurangnya kritikus sastra di Malang (?).

*) Pegiat Pelangi Sastra Malang dan Anggota Teater Sampar Indonesia-Malang.

Engkau & Sang Lain

Tia Setiadi
http://pawonsastra.blogspot.com/

Why should the aged eagle stretch its wings?
(T S. Elliot)

Sahabat, pernahkah engkau memperhatikan bunga teratai merah yang telah tumbuh dibawah air dan tiba-tiba mencuat kepermukaan kolam? Begitulah sebuah fragmen kepribadianmu tampil mengukuhkan presensinya diantara fragmen-fragmen lain, seperti sepotong langit yang melukis kebiruannya sendiri. Kebiruan yang dilukis itu adalah Wajah Sang Lain yang menyingkap sekaligus melenyap. Menyingkap karena wajah itu ternyata mourpheus, dengan morfologi tubuhnya yang simetris dan lengkap, dengan nama yang dapat kau panggil, dengan bagian-bagian indra yang masing-masing bisa dikenali dan dibedakan. Melenyap karena sungguhpun wajah itu berbentuk, engkau tak akan pernah tahu seutuhnya tentang kedukaannya, kebahagiaanya, nasibnya. Bisakah kau terjemahkan pandang matanya tatkala ia menerawang ke arah akanan? Atau pada satu titik dimana matanya bertemu matamu?. Adakah ia berbahagia ketika sesituasi denganmu?. Engkau hanya dapat menduga-duga.

Di sini, aku terkenang kata-kata Emanuel levinas tentang Wajah, dalam suatu wawancara singkat dengan Phlippe Nemo. “Wajah, kata Levinas, adalah makna pada dirinya sendiri. Engkau adalah engkau. Dalam arti ini dapat dikatakan bahwa Wajah itu tidak “dilihat”. Wajah tidak bisa menjadi isi yang engkau tangkap dengan pemikiran, wajah tidak bisa dirangkum, ia menghantar engkau ke sebrang”. Lantas, kita pun bertanya-tanya apa gerangan yang ada disebrang Wajah? Namun, bagaimana kita tahu apa yang di sebrang Wajah, kalau bahkan makna Wajah itu sendiri mrucut. Betapa susah sungguh/ Mengingat Kau penuh seluruh, kata Chairil Anwar dalam spenggal puisinya. Barangkali, “Kau” yang diseru oleh Chairil adalah Ia yang di sebrang Wajah itu. Maka, bila demikian halnya, setiap Wajah selalu mengandung tilas dari Sang Maha Lain. Ia nampak pada kita, seraya sembunyi. Kehadirannya mustahil direngkuh, sebab setiap Wajah membawa serta kesunyiannya sendiri-sendiri.

Namun kenapa gerangan cuma Wajah itu yang tersingkap atau membukakan diri padamu? bukan yang lainnya? kenapa elang mesti merentangkan sayap-sayapnya?, seperti sekeping pertanyaan TS.Elliot dalam sajak yang kunukil dimuka surat ini. Di sinilah letak misteri itu. Dan sebagaimana setiap misteri, ia menyangkal analisa nalar. Mendadak saja pelbagai kategorisasi tentang yang jelek dan yang jelita, yang anggun dan yang cacat, raib. Epifani Wajah itu oleh sang waktu mengetengahkan atmosfer sakral kedalam setiap rendezous. Ia menggaungkan jejak sayup-sayup dari Yang Suci. Ia menghindar dari segala penilaian. Penyair Coleridge menyatakan prosesi ini dengan frase yang indah, bahwa ia, Wajah itu, “falls sudden from heaven like a weeping cloud”.

Pada momen ketika weeping cloud itu menggelincir ke kanvas sanubari, seketika menyembul visiun-visiun baru, sebentang terra incognita, yang memberi efek ketentraman sekaligus kesakitan. Ini mirip momen puitik dan bahkan profetik. Akan tetapi, bagaimana mesti menerjemahkan visi yang menyerupai melodi? Bagaimana kata-kata mesti menanggungkan percikan imaji? Lihatlah, sahabat, kini engkau terkatung-katung diantara melodi dan visi, imaji dan kata-kata, ketentraman dan kesakitan. Dan tak mungkin bisa lari, sebab Wajah itu sudah memasuk-rasuki segalanya (Everything became a You and nothing was an It, bisik Auden). Bagai getar yang berkelebat dari atas, dari bawah, dari pinggir, dari selatan, dari utara, dari mana-mana, terus-menerus, berpendaran, ad infinitum. Mungkin momen inilah yang disebut mysterium terrible et fascinans (misteri yang menakutkan sekaligus memikat): Sebuah misteri “pewahyuan” dalam ektase waktu.

Nah, sahabat, demikianlah sekadarnya pemaknaan dariku, tentang fragmen perasaanmu pada si gadis jepang itu. Lima atau sepuluh tahun yang akan datang mungkin engkau akan sudah bersatu dengannya, mungkin tidak. Tapi bagaimana pun surat pendek ini telah bersaksi tentang engkau dan dia. Sekali-kali, di lain waktu, mungkin engkau tertarik membacanya kembali. Kini, sebelum undur dari surat ini, baiklah kunukil untukmu satu puisi Tagore yang subtil, yang boleh jadi suatu saat kau bacakan padanya:

Tangan berlekapan dengan tangan dan mata berlena
pandang dengan mata;demikian bermula rekaman kisah
hati kita

Malam purnama di bulan maret ; bau henna yang
harum diudara ; sulingku terkapar lena ditanah dan
karangan bungamu terbengkalai tidak selesai.

Kasih antara engkau dan aku ini sederhana bagai
sebuah nyanyi.

Kulitmu yang berwarna kuning muda memabukan
mataku

Karangan melati yang kaurangkai bagiku mengge
tarkan hati laksana puji.

Suatu permainan beri dan tahan, buka dan katup
kembali; beberapa senyum dan sipuan lembut serta re
rebutan manis tanpa guna

Kasih antara engkau dan aku ini sederhana bagai se
buah nyanyi.

Tak ada rahasia diluar kini; tak ada tuntutan untuk
yang langka; tak ada bayang dibalik pesona, tak ada
raba dipusat kelam

Kasih antara engkau dan aku ini sederhana bagai
sebuah nyanyi.

Kita tidak menyasar lari dari serba kata ke dalam
diam selalu;kita tidak mengangkat tangan bersumpah
janji untuk sesuatu diluar harapan.

Cukuplah apa yang bisa kita berikan dan kita dapat

Kita tidak merusak kegirangan hingga jadi berlebih
dan untuk memerah anggur kepedihan dari dalamnya.

Kasih antara engkau dan aku ini sederhana, bagai
sebuah nyanyi.

( Rabindranath Tagore, Tukang Kebun, kidung bagian ke-16 )

Dengan nukilan dari puisi Tagore tersebut, aku harap, aku telah memungkas surat ini sebagus-bagusnya. Sekian dulu, jangan lupa urus jenggotmu dan sebaiknya potong sedikit rambut ikalmu. Jangan lupa pula, sampaikan salamku pada setiap gadis yang mulutnya bagai wadah mutiara dan giginya seperti barisan biji-biji mentimun. Sampaikan juga salamku buat Agus Sinta, Faisal si cowok distro, dan Sedapati yang senyumnya seksi.

dari sahabat yang menyayangimu:

Tia Setiadi

Lekra (Meng)gugat Sejarahnya

Judul Buku : Lekra Tak Membakar Buku (Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950-1965)
Penulis : Rhoma Dwi Aria Yuliantri & Muhidin M. Dahlan
Penerbit : Merakesumba, Jogjakarta
Cetakan : I, September 2008
Tebal : 584 halaman
Peresensi: Misbahus Surur
http://soeroer.blogspot.com/

Beragam fakta yang terbuka sumbatnya saat ini, tak ubahnya korban dari pemberangusan dan usaha penghilangan jejak sejarah di masa lampau. Beberapa gerakan yang sebenarnya dulu punya peran-peran besar menghantarkan arah demokrasi dan berkebudayaan demi memajukan masyarakat bangsa dan negara ke arah yang lebih baik; lepas dari belenggu kolonialisme senyatanya, kerap kena telikung dan agitasi negatif. Bahkan ibarat ajaran sesat, ia harus dipetimatikan dan digembok dari luar, biar tidak ada orang yang tahu tentangnya, apalagi coba-coba meminatinya kembali. Ulah seperti ini merupakan upaya-upaya licik menjauhkan bahkan mengamnesiakan masyarakat terhadap sejarah. Ingatan kita seakan ditekan, lalu dijauhkan dari fakta yang sebenarnya. Pelekatan nama angker dan stigma buruk zaman orde baru itu, bagai hal lumrah yang mesti diterima.

Pada era-era ketika Republik ini masih bayi, kendati bangsa ini telah meraih citanya-citanya; mencapai kemerdekaan yang diimpi-impikan sudah sejak lama. Sesungguhnya Indonesia belumlah lepas betul dari cengkeraman kuku ideologi imporan penjajah. Terbukti di era itu, virus imperialisme, kolonialisme serta feodalisme tak lelah-lelah menggerogoti dan menginfeksi Republik baru, Indonesia. Ruh ideologi imporan itu terus berkamuflase, seakan dengan model yang pada dasarnya sama ia mencipta dalam berbagai versi baru yang berbeda. Saat itu, secara hukum internasional, Indonesia telah merdeka, namun kuku kolonialisme, imperialisme serta feodalisme masih keberatan melepas seluruh cengkeramannya.

Saat ambruknya demokrasi parlementer, tak seorangpun tahu seperti apa bentuk pemerintahan yang akan datang. Sampai diambillah sebuah kebijakan baru oleh presiden Soekarno. Era itu diberi nama era ”Demokrasi Terpimpin” (1957-1965). Bentuk pemerintahan ini diambil tersebab terus berlanjutnya masa-masa krisis berkebangsaan. Dalam sejarah tercatat, era ini sebagai era paling kacau pasca revolusi 1945. Proses revolusi tertahan oleh prahara-prahara dan sengketa politik di dalam negeri.

Di era itu, garis politik negara mengkredokan Manifesto Politik (Manipol). Dalam berbagai ranah segalanya mesti ditujukan untuk mengabdi pada revolusi yang belum selesai. Tak terkecuali dalam lapangan berkebudayaan, sikap berkebudayaan dan berkesenian harus diarahkan pada arus untuk mengabdi pada masyarakat: “Seni untuk rakyat” dan “Politik sebagai panglima”. Pada era-era berat inilah panggung kebudayaan dikuasai oleh Lekra (Lembaga Kebudajaan Rakjat). Karena itu, lembaga kebudayaan ini tercatat sebagai yang paling responsif terhadap bahaya laten musuh-musuh revolusi.

Dengan ikhtiar memayungi setiap laku kebudayaan bangsanya pada mazhab realisme sosial, para sastrawan Lekra ini dalam laku kesenian menganjurkan kembali ke basis, dalam artian, kembali ke jalur tradisi revolusioner; “Mendobrak pendjadjahan dari segala segi jang mungkin”. Sebuah garis revolusi kebudayaan yang ditarik dan dirumuskan dari seorang sastrawan revolusioner klasik Nusantara, Abdullah bin Abdulkadir Munsji (1796-1854). Dengan tetap menjunjung tinggi kredo kebudayaan bukan semata konsumsi kaum suka hibur, demi pemenuhan nafsu kesenangan yang tanpa batas, tetapi harus diabdikan sepenuhnya untuk rakyat dan tujuan revolusi yang masih bayi. Harapan berkesenian mereka adalah seni tidak sekadar tempat menuangkan keindahan, namun seni dan sastra harus dapat mengabdi. Menjadi sarana, bahkan alat politik untuk mengurai ketimpangan sosial.

Karena tugas dan misi yang diemban pekerja budaya seperti ini diklaim menyimpang dari watak sastra dan pakem berkebudayaan. Terjadilah geger budaya di era itu. Misi dan sikap berkebudayaan seperti itu banyak menuai penentangan-penentangan keras kubu Manifestan. Yakni kelompok yang berseberangan dengan watak ideologi Lekra. Inilah yang terjadi di panggung budaya era 60-an. Para seniman-sastrawan yang tak sekata dengan ideologi anutan Lekra ini berpolemik panjang hingga berlarut-larut.

Namun saat tumbangnya Orde Lama dan tampilnya Orde Baru, Lekra dianggap sebagai tukang bikin kisruh, tukang ganyang buku dan pembuat onar. Lekra memang dilahirkan dari rahim para manusia yang mayoritas adalah orang-orang dengan ideologi kiri; Sosialis-Komunis. Kendati begitu, dalam penelusuran buku ini, Lekra bukanlah underbow dari partai yang pada zamannya Soeharto dicap terlarang itu. Lekra secara geneologi faham berkebudayaan bertali-temali dengan mazhab realisme sosialis ala Maxim Gorky, sedang dalam keterkaitan ideologi berkiblat pada Marxis-Leninis. Tak dimungkiri pula bila lembaga ini dalam garis perjuangannya memang searah dengan garis politik PKI. Pun sebagian besar pekerja budayanya juga adalah organ-organ komunis. Namun betulkah waktu itu mereka mengebiri kebebasan mencipta kubu manifes? Bagaimana sebenarnya? Jawabannya akan kita temukan dalam esai panjang ini.

Buku ini tersusun melalui jejak rekam sumber tunggal, rubrik budaya koran Harian Rakjat yang hidup sepanjang tahun 1950-1965. Dan dapat terwujud berkat kerja kreatif dan telaten tak kenal lelah, dua orang penulis muda yang juga kerani di Indonesia Buku (I: BOEKOE). Penulis memanfaatkan secara intensif lembar-lembar kebudayaan Harian Rakjat yang tertimbun sekitar 30-an tahun, dari ruang terlarang sebuah perpustakaan di Jogjakarta. Namun tidak mudah, untuk meriset koran terlarang itu mereka harus minta izin secara persuasif pada para penjaga pustaka, lantas menyeleksi 15 ribuan artikel budaya dengan cepat, sebab katanya mereka harus balapan dengan rayap rakus kelaparan, yang juga berminat menyantap koran-koran usang bersejarah itu. Dan dengan memakan waktu sekitar 1,5 tahun, siang malam, akhirnya dapat mereka rampungkan.

Barangkali inilah sebuah buku hasil riset pertama tentang sebuah lembaga kebudayaan (Lekra) terlengkap, yang merekam hiruk pikuk laku kebudayaan era Demokrasi Terpimpin. Buku ini seolah menjadi antitesis bagi tuduhan-tuduhan yang sudah kadung melekat ke Lekra. Misalnya, dalam buku Prahara Budaya (1995) yang dieditori Taufik Ismail & DS Moeljanto, Lekra kena tuduh terlibat perilaku vandalisme membakari buku-buku berbau USIS (sebuah kantor informasi milik Amerika) dan penyebab dilarangnya buku-buku karya sastrawan Manifes. Buku ini hendak menjawab kritik pedas itu. Namun untuk mendapatkan suatu informasi yang tak sepihak, dan agar dapat mendalami kekisruhan itu secara proporsional, kiranya layak pula kita baca lagi buku-buku yang juga merekam perpolitikan di era yang kata Syafi’i Ma’arif sarat gesekan itu. Misalnya seperti, Kesusastraan dan Kekuasaan-nya Goenawan Mohamad (1993), beberapa buku & esai HB Jassin serta Muchtar Lubis, dan terutama informasi dari buku Social Commitment in Literature and the Arts: the Indonesian ”Institute of People’s Culture” 1950-1965 (1986) karya Keith Foulcher.

Buku ini sangat layak diapresiasi. Namun karena penulisnya keburu bangkrut secara ekonomi (tanpa bekingan dana), –seperti yang telah mereka akui di milis-milis. Sedang buku ini belum sempat beroleh seorang penyunting. Tak heran bila di sana sini nantinya, akan kita temukan beberapa kesalahan juga kejanggalan redaksional yang (serba mungkin juga) dapat mempengaruhi substansi sejarah yang dimuatnya. Sedikit kekurangannya lagi, seperti huruf yang terlalu kecil, pemakaian kertas yang berkualitas rendah di mata, sungguh sangat disayangkan untuk ukuran buku yang mendokumentasikan sejarah Lekra. Kendati begitu, semua kesalahan tadi kiranya tetap tak dapat mengurangi besarnya informasi sejarah serta komplitnya ulasan dalam buku ini.

*) Pegiat buku, tinggal di Malang.

Rabu, 26 Januari 2011

Gaun yang Kusimpan

S.W. Teofani
http://www.lampungpost.com/

INI gaun terindah yang kumiliki. Kutisik dengan peniti hati, kusulam dengan benang jiwa. Setiap rendanya adalah tembang hatiku saat membayangkan malam yang agung bersamamu. Setiap rajutannya adalah senandung doa tentang masa yang akan kita jaga.

Kekasih, kau adalah lelaki pertama yang kupercaya menghantarkanku ke pesta. Padamu kupercayakan sebentuk hati yang kelak harus kau jaga.

Kubiarkan setiap mata mengejamu sebagai paro nyawaku. Sukma yang kelak memanjakan pada setiap keluh.

Engkau datang tepat saat gaun itu sempurna membalut tubuhku. Aku berkaca, keindahan bagai diturunkan dari ketinggian nirwana. Bukan karena gaun itu putih sempurna, tapi kilau hatiku yang melampaui awan tanpa mega. Bukan karena selendang keemasan yang melengkapi warnanya, tapi cahaya bahagia yang hanya bisa dirasai Kamaratih kala berjumpa Kamajaya.

Aku mengangguk takzim di hadapanmu. Ungkapan terima kasih atas kesabaranmu menungguku merapikan diri. Menata hati atas kegugupan saat hendak melangkah di sisimu. Di depan ribuan tatap mata di pesta itu. Tapi, tatap lembutmu menenangkanku. Dengan santun kau jaga aku meniti tapak demi tapak ke altar agung. Aku merasa nyaman, umpama tangkai tersemat di dahan. Aku bermantel damai, melebihi kedamaian yang dijanjikan puncak ketenangan.

Di antara jiwa-jiwa yang ria, aku merasa paling bahagia. Di antara gegap gempita pesta, aku hening, memaknai seluruhmu yang nyata di sampingku. Hingga pesta usai, hati kita tak masai.

Malam itu kita melangkah di atas nada jiwa. Suara menjadi kersik yang mengurangi makna. Kata menjadi penanda yang tak kita pilih untuk menyampaikan seluruh denting rasa. Diam menjadi lebih agung dari segala racikan doa. Tarikan napas menjadi ketuk dawai yang lebih lembut dari gamelan Jawa. Malam kita tutup tanpa pesan. Karena perpisahan menjadi hantu paling menakutkan bagi jiwa yang menabur pengharapan.

Esok adalah janji hati untuk semakin mengukuhkan panji. Kau hadapkan aku pada wanita agung yang membuatmu mengada di dunia. Kau kenalkan aku pada laki-laki yang kau sebut bapak. Kau sambangkan aku pada kerabatmu sebagai wanita pilihan yang akan kau satukan dengan empu kehidupanmu. Tak ada kata yang mewakili ungkapan bahagia, tak ada bahasa yang melampaui suka. Aku menunggu, di mana hari menjadi batas bagi jalan-jalan yang kita lempangkan. Aku tak meragukanmu!

Kemudian kita saling memanai waktu. Menghitung yang lalu dan tiba. Menjuntai yang mungkin dan yang musykil. Aku mendapatimu bagai petarung yang terluka. Aku ingin membalut setiap sayatan di tubuhmu, tapi carikku tak pernah sampai. Aku ingin mengeringkan setiap tetes darahmu, tapi tanganku telah lunglai. Kau diam laksana patung Brahmana tanpa dosa. Kau acuhkan aku yang menggapai hingga masai. Terbentur pada seluruh angkuh yang kau cipta.

Aku mengingatkanmu tentang jalan kita. Kau diam. Aku melangkah sendirian, mengungkai seluruh kenang yang memungkinkan kau kembali ke jalan itu. Tapi aku semakin limbung. Kutarik bongkahan masa lalu yang memberatkan seluruhku. Engkau diam di entah. Hingga aku hempaskan segala beban.

“Kekasih, akankan kita lanjutkan perjalanan. Atau kuhapus setiap tapak yang pernah kita jejak?”

Kau diam bagai gitar tanpa temali. Hatiku merasai beban batinmu.

“Jika kau tak sanggup lanjutkan, mari istirahat. Pohon rindang akan memulihkan tenagamu. Jika kau terluka, aku yang akan mengobati. Jika kau takut dengan masa depan, lihatlah, aku punya selaksa pengharapan untuk menegarkanmu. Aku siap memapahmu sampai di menara-menara suci. Apa yang kau ragukan pada seluruhku?”

Kau tetap diam menyamai kesunyian siksa.

“Kekasih, aku tak kan meminta yang tak kau beri. Aku tak kan mengharap yang tak kau punya. Aku ikhlas pada yang ada.”

“Ada yang tak kau ketahui.” Aku terkesima, suara itu seperti telah berabad kunantikan.

“Aku tak sebaik yang kau kira, aku tak sesuci yang kau sangka.”

“Adakah aku ingin dikhitbah malaikat. Apakah aku mendamba menikah dengan nabi? Aku juga manusia biasa. Aku tak menengok masa yang telah binasa. Esok adalah masa yang akan menyucikan kita. Menyepuh setiap dosa, sebelum kembali pada ridho-Nya. Apa lagi yang kau ragukan?”

Kembali kau diam, melebihi tapa gunung-gunung. Kulihat bimbang pada seluruhmu. Untuk pertama kali aku meragukanmu.

“Ada yang lain?”

Engkau tertunduk, melampaui kedalaman ceruk.

Kata-kataku habis. Hatiku lebih hening dari gugusan batu. Kita biarkan ombak mengamuk, halilintar bergemuruh, angin menggoyahkan semesta. Kabut turun, alam mulai menampakkan kengerian. Dalam getar kerapuhan, lirih aku mengeja….

“Kekasih……jika karena luka, aku masih sedia. Jika karena dosa, aku bisa terima. Tapi karena yang lain…aku tak punya kata.”

Kau menunduk tanpa daya.

“Jangan pergi,” ketakutanmu sebanding bayi merah kehilangan ibunya.

“Apa yang kau beratkan dariku?”

“Kau satu-satunya wanita yang pernah kuhadapkan pada empu kehidupanku.”

“Karena itu aku percaya, karena itu aku tak ragu. Tapi… pengkhianatan melebihi belati tajam yang mengoyak jantungku.”

“Bertahanlah.”

“Untuk apa?”

Tundukmu menembus pusat bumi. Terpekur pada geming sempurna.

“Aku bisa pahami kekhilafan, tapi aku tak bisa menyakiti hati lain, hati perempuanmu.”

Hening… tetes-tetes bening mewakili denting.

***

Sahara menuntunku merindukan oasis. Aku sisir hamparan pasir bersama kengerian angin gurun. Entah di mana tepi, di mana ujung. Kaki terus melangkah. Tapak-tapaknya dibimbing oleh arah yang belum pernah kujamah. Aku memandang sekeliling. Dari seluruh penjuru, tak kudapati penanda kehidupan. Hanya tebaran pasir diterpa percik-percik terik.

Aku menghela, kadang Tuhan menghendaki manusia benar-benar dalam kesendirian mengarungi padang hidup yang tepinya entah di mana. Tapi di sanalah kita benar-benar bersama-Nya. Keyakinan itu mengukuhkan kalbu untuk melanjutkan apa yang seharusnya. Aku bersimpuh, ingin menanggalkan apa-apa yang harus kutinggalkan.

Tundukku sebanding takzim para sufi.

“Roby…..aku bukan Siti Hajar. Yang begitu tulus melepas suami tercintanya dengan hati lain. Tapi beri aku kebesaran hati seperti yang Kau anugerahkan kepadanya.

Aku bukan Ibrahim, yang ikhlas menyerahkan kepada-Mu anak semata wayangnya. Tapi, beri aku keikhlasan serupa ketika Kau ambil apa-apa yang tak harus kujaga.

Aku bukan Nabi Isa, yang menyerahkan pipi kanannya ketika ditampar pipi kirinya. Tapi berikan aku percikan pemaafnya, untuk menerima setiap duka yang tak kuduga.

Kudongakkan kepala, menatap jauh cakrawala. Kudapati bersih sempurna, petanda hujan tak kan tiba. Kuteringat sehelai gaun pesta. Putih serupa. Kan kulipat dengan jemari jiwa. Kusimpan pada lemari hati yang mungkin tak kan kukenakan lagi.

Bandar Lampung, Ujung 2009
- Happy birthday my best friend Eli D., 25 Desember 2009
- Kado untuk telaga hatiku, 28 Desember 2009

Bukavu, Cerpen-cerpen Puitis Helvy Tiana Rosa

Ahmadun Yosi Herfanda
Koran Republika
 
Cerpen tak sanggup membatalkan Helvy Tiana Rosa dari seorang penyair.
Komentar pendek (endorsement) Putu Wijaya itu memang tidak tepat benar, tapi cukup mewakili gaya beberapa cerpen Helvy Tiana Rosa yang terkumpul dalam buku kumpulan cerpen terbarunya, Bukavu:

KIAT UNIK MENULIS ALA MAMAN S. MAHAYANA*

Sutejo
http://thereogpublishing.blogspot.com/

Tujuh tahun berkenalan dengan seseorang adalah waktu yang pendek jika jarak membentang, tetapi jadi waktu yang panjang kala hati tertali dalam hubungan guru-murid. Begitulah, barangkali hal menarik yang dapat penulis petik ketika mengenalnya. Ia selalu memberikan motivasi, mendorong etos untuk berbuat, dan tak jarang “memberi” pujian. Begitulah selalu. Tetapi tidak jarang, lelaki itu langsung memberikan kritik ketika ada kekurangan yang menurutnya adalah kelemahan.

Pada tanggal 11/6/08 ketika ia mengenalkan penulis dengan seorang peneliti dari Malasyia, dia langsung komentar, “Kritik ya! Kalau berhadapan dengan orang kita tak perlu takut. Semua orang sama. Mereka belum tentu lebih pinter dari kita. Tegak dan sigap, katanya.” Bagi, penulis hal itu kritik konstruktif yang saya sambut dengan lapang dada. Dua lelaki Malasyia itu adalah Prof. Datuk Abdul Latif Abu Bakar dan Prof. Abdullah Zakaria bin Ghazali (Universitas Malaya Kuala Lumpur). Hal itu, terjadi di sebuah seminar internasional di Jakarta. Dan, lelaki “sang guru” itu adalah Maman S. Mahayana (Universitas Indonesia).

Apa yang menarik dipetik dari pengalaman Maman? Lelaki ini lebih dikenal sebagai kritikus sastra yang telah begitu banyak menulis buku diantaranya 9 Jawaban Sastra (2005), Bermain-main dengan Cerpen (2006), Ekstrinsikalitas Karya Sastra (2007). Dalam menulis kritik, misalnya, hal yang sering dikatakan adalah: (a) jangan banyak menggunakan istilah asing (b) pergunakan bahasa yang sederhana tetapi bermakna, (c) jangan bombastis, dan (d) lakukan secara tajam dan argumentatif.

Empat hal ini seperti pigura yang senantiasa memberikan batas atas gagasan dalam berekspresi. Esai, yang kemudian, banyak saya tekuni –terus terang— ada kecenderungan untuk menerjemahkan pesan sang Maman. Yang oleh beberapa mahasiswa, ia sering dipanggil sang Dewa Mahayana. Hal itu paralel dengan teori fungsionalisasi yang sering disarang Budi Darma dalam penampingan kepenulisan pada para mahasiswa. Bahwa segala sesuatu dalam deret kalimat “harus” berfungsi. Karena itu, kalau bisa diungkapkan 5 kalimat mengapa harus 15 kalimat? Begitulah barangkali jika diungkapkan secara oratoris. Untuk ini, memang kejernihan dalam berbahasa merupakan sebuah kunci penting. Demikian atas teori tertentu yang dipergunakan dalam sebuah esai, misalnya, tidak boleh bombastis. Secukupnya.

Di sinilah, sesungguhnya dalam penulisan esai, memang, yang dibutuhkan adalah eksplorasi, impresi, dan investigasi yang mendalam. Gaya tentunya tidak terikat. Sebagaimana sifat esai yang pribadi, maka kekhasan tulisan yang “tidak terikat” merupakan pilihan yang tepat. Sebuah esai, karena itu, dituntut kompetensi bidang yang andal di samping kejelian dalam mengajinya. Inilah, pesan terdalam yang sering dipesankan Maman dalam penulisan ulasan berupa esai.

Selama ini, dalam berbagai pelatihan penulisan fiksi, Maman S. Mahayana mengilustrasikan kemampuan dasar yang penting dimiliki calon penulis. Kemampuan dasar itu mencakup diantaranya: (a) mendeskripsikan ruang dan tempat, (b) mendeskripsikan profil, (c) menarasikan peristiwa, (d) merangkai kejadian, (e) melatihkan gaya cerita, (f) membuat potongan kisah, (g) melukiskan karakter, dan sebagainya. Kemampuan dasar dalam penulisan fiksi seringkali merupakan faktor yang perlu dimiliki. Logikanya, hal-hal itu akan menjadi bahan penting dalam pembangunan kemampuan kreatif selanjutnya. Cerpen yang baik, misalnya, kata Maman mutlak menuntut kemampuan pembuatan seting yang menarik. Karena hal itu merupakan hal pertama. Ia mencohtohkan Ahmad Tohari, seorang novelis yang kuat dalam penulisan setting. Mau tidak mau, memang, setting akan berandil atas karakter tokoh yang dipilihnya.

Karena itu, jika Anda pengin menulis fiksi tentunya pesan-pesan ini tidak boleh diabaikan. Kekokohan totalitas cerita karena itu, mau tidak mau, ditentukan oleh kekokohan aspek-aspen pembangunnya. Baru setelah itu, kemengaliran dalam penceritaan. Ibarat alir air, sebuah cerita mampu mengantarkan aliran imajinasi seakan-akan pembaca arus dalam geraknya. Kalaupun tokoh bercakap, seakan tokoh hidup dalam pikiran yang diciptakannya. Dalam bahasa Budi Darma, dengan alat demikian, tokoh akan bisa hidup (bercahaya?) lewat pikiran dan bahasa yang digunakannya dalam dialog.

Lebih dari itu, hal lain yang penting Anda miliki adalah pentingnya kebiasaan membaca. Membaca, kata Maman, adalah ruang dialog, ruang berbagi, dan ruang pemodelan. Bagaimana akan menulis cerpen kalau tidak tahu cerpen. Di sinilah, ukuran pertama-tama setelah orang mampu membedakan karakter cerpen (termasuk yang baik dan buruk), baru akan terjadi proses transformasi pengetahuan secara tidak langsung. Cerpen yang baik, katanya, tokohnya tidak harus banyak. Tetapi inspiratif dan menggerakkan imaji pembaca.

Pada tengah Juni 2008 lalu, hal itu juga diungkapkan pada penyair Nurel Javissyarqi (asal Lamongan). Lelaki kurus yang bukan pendidik (karena alergi keberaturan pola guru) itu terus-menerus terjebak dalam ruang diskusi. Apakah kemudian karya itu baik atau tidak, tentunya akan terus bisa diperdebatkan. Hanya, yang penting dipahami adalah dalam menulis maupun memahami teks sastra ada tiga kode menarik yang perlu direnungkan: (a) kode bahasa, (b) kode budaya, dan (c) kode sastra. Penguasaan penulis dalam menulis teks sastra, tentunya mutlak menguasai ketiganya.

Kode bahasa akan menuntun pada ketepatan dan keruntuntan, termasuk kejernihan dalam berbahasa. Kode budaya akan menggiring penulis pada kemampuan membuat imajinasi pembaca lewat pilihan kata yang berbudaya, mencerminkan konteks sosial, dan lain sebagainya. Di sini, penulis merupakan bagian dari struktur budaya itu sendiri, dan karenannya pilihan bahasa itu pun dengan sendirinya merupakan simbol kebudayaan sosial masyarakatnya. Dalam menampilkan tokoh-tokohnya, misalnya, tokoh tidak boleh tercerabut dalam “koridor budaya” ini. Baik secara bahasa maupun kemungkinan simbol-simbol budaya yang melingkarinya. Sedangkan, kode sastra mengingatkan kita bahwa tulisan sastra bukanlah bahasa biasa. Tetapi bahasa indah estetik yang memberikan ruang imajinasi, ruang bayang hingga terawang angan pembaca yang terus alirkan pikiran bimbang. Artinya, teks sastra memang bukanlah menyuguhkan kebenaran mutlak. Tetapi, pemaknaan yang terus berproses dan berulang sehingga kebenaran yang ditawarkan pun bersifat implisit.

Maman, barangkali termasuk sedikit orang yang sabar dalam meberikan pengantar para penulis muda. Melalui bahasa yang kadang “bombastis” untuk menggali motivasi yang diantarkannya sesungguhnya selalu ada bahasa komunikasi penting yang menarik untuk direfleksikan. Ditawar ulang. Tugas kritikus, katanya, memberikan ruang dialog, membuka pintu, dan membukakan jendela estetis. Sejauh dan sedapat mungkin. Kritikus sastra bukanlah pembunuh kreativitas tetapi penumbuh dan penggali keestetikan yang –barangkali pula—masih terpendam.

Bagaimanapun, lanjutnya, menulis dan berkesenian membutuhkan latihan yang terus-menerus. Mengapa? Jika Anda penulis (terlebih calon penulis) berhenti berlatih adalah kemandekan. Kemandekan artinya kepuasan. Padahal dunia kepenulisan adalah dunia alir air laut yang terus bergulung dan berombak. Kepenulisan terus-menerus mengalami pendakian sesekali, tetapi mengalami penurunan pula dalam kala yang berbeda. Artinya, latihan (dan pembacaan atas teks-teks terbaik) merupakan ruang pemodelan kreatif yang menarik untuk dilatihkan. Ini sama sekali bukan berarti pemasungan kreatif, tetapi lebih dari itu, adalah ruang tinju untuk membangkitkan nyali tak henti untuk meniti. Jalan kepenulisan adalah titian hati dai satu sisi dan di sisi lain adalah titian pikir. Memadukan keduanya adalah butuh kearifan kreatif –yang seringkali—antar penulis bersifat unik.

Bagaimana dengan Anda? Meminjam bahasa motivasi, berlatih adalah saat penemuan diri, dan berlatih pula adalah kala berdoa. Pasrah atas hasil yang diungkapkan bersifat gerak menerima dan berubah. Untuk itu, berlatihlah untuk menemukan style diri, bahasa pengucapan, sehingga akan menjadi pesona pada saatnya.
***

*) Pernah dimuat di Ponorogo Pos.

MENGUSUNG SUMBER SEGALA SUMBER

Maman S. Mahayana *

Kami adalah ahli waris jang sah dari kebudajaan dunia dan kebudajaan ini kami teruskan dengan tjara kami sendiri. Kami lahir dari kalangan orang-banjak dan pengertian rakjat bagi kami adalah kumpulan tjampur-baur dari mana dunia-dunia baru jang sehat dapat dilahirkan.

Menelusuri Jejak Skriptorium dan Tradisi Pernaskahan Masyarakat Kediri, Jombang, dan Lamongan*

Agus Sulton
http://pondokpayak.wordpress.com/

Pendahuluan
Tradisi menulis sudah dimulai sejak berabad-abad lampau sebelum Islam datang ke Jawa Timur. Hal ini, terbukti dari penemuan batu bertulis—yang banyak tersebar di Jawa Timur. Secara tidak langsung bukti peninggalan tersebut merupakan produk peradaban nenek moyang kita pada masa pengaruh Hindu-Budha. Tulisannya masih berbentuk Kakawin atau tembang Gedhe dengan aksara Jawa kuno. Keberadaan ini—diperkuat dengan temuan prasasti Poh Rinting 851 Saka di desa Glagahan kecamatan Perak kabupaten Jombang, prasasti Geweng 855 Saka di desa Teggaran kecamatan Peterongan kabupaten Jombang, dan prasasti Anjukladang 937 M masa pemerintahan Pu Sindok, dalam prasasti itu menjelaskan bahwa pusat pemerintahan yang semula di Medang (Jawa Tengah) kini berpindah ke Watugalug. Diduga Watugalug merupakan pusat pemerintahan Mataram kuno terletak di kecamatan Diwek kabupaten Jombang. Sejumlah prasasti, candi dan artefak banyak diketemukan oleh masyarakat Watugaluh.

Seiring berjalannya waktu tradisi tulis beralaskan batu mulai ditinggalkan dialihkan ke daun lontar, tulang, dan ukiran kayu, tetapi alas tulis batu tidak bisa lepas ditinggalkan begitu saja masih banyak mpu dari keluarga kerajaan yang masih tetap menggunakannya. Hal ini, terkait dengan perkembangan pola pikir pujangga istina kerajaan, bahwa menulis suatu kebutuhan untuk pendokumentasian (mencitrakan kekuasaan raja), sehingga lontar dijadikan posisi harmoni untuk menuliskan kesusastraan, silsilah raja, atau sekedar gambaran kehidupan istana karena lontar itu sendiri mempunyai daya kreasi penampungan tulisan yang tidak terbatas. Mamam S. Mahayana (2005: 21), selain menyuguhkan hiburan (kesusastraan) supranatural, fungsi pujangga pada istana kerajaan adalah sebagai aparat yang dapat mencitrakan kekuasaan raja dan melegitimasi kekuasaan raja. Oleh karena itu, selain praktis—tersimpan dalam bumbung (potongan bambu) lontar juga punya fungsi signifikan, yaitu pembacaan lontar pada saat upacara adat (Arps, 1990: 36, dalam Mulyadi).

Dalam konteks perkembangannya, kehidupan istana kerajaan mengalami kemunduran setelah Islam masuk melalui pesisir Timur pulau Jawa. Begitu juga karya tulis yang dihasilkan sangat memberikan dampak yang begitu pesat dan semakin beragam persoalan. Asdi S. Dipodjojo (1986: 7) membagi persoalan-persoalan tersebut menyangkut masalah:

1.hukum dan undang-undang
2.bermacam-macam pengetahuan
3.pelajaran agama Islam
4.ilmu tasawuf, dan
5.bermacam-macam hikayat

Persoalah atau ragam konsep tersebut nantinya akan dijadikan sebagai alat untuk mempengarui masyarakat yang sebelumnya masih memeluk agama Hindu, Budha, atau memeluk animisme, dinamisme. Sekitar abad ke-16 seorang penyiar agama Islam dari Arab bernama Maulana Malik Ibrahim menetap di Gresik. Penyiar lain bernama R. Mahdun (Sunan Bonang) atau Syakh al Barri yang terkenal dengan karyanya Wukuf Sunan Bonang merupakan hasil interpretasi dari kitab Ihya Ulumuddin karya Imam al-Ghazzali. Ulama-ulama tersebut melakukan penyiaran agama Islam (Islamisasi) terhadap penduduk sekitar dengan beragam cara, diantaranya menggunakan gamelan di depan halaman masjid pada saat memperingati kelahiran Nabi Muhammad selama satu minggu (Dipodjodjo, 1986: 19-20). Cara tersubut lebih efektif untuk mempengarui masyarakat pada saat itu, karena kebudayaan masyarakat Jawa lebih tinggi tarafnya, yaitu berpandangan hidup Hindu-Budha yang berlangsung berabad-abad lamanya (Dojosantosa, 1985: 5).

Pada gilirannya—Islam terus mengalami perkembangat begitu pesat terjadi pada abad ke-18 sampai dipelosok-pelosok Kediri, Jombang, dan Lamongan. Ini terbukti dari banyaknya manuskrip yang tersebar di perkampungan dan jejak sriptorium (sanggar tempat menulis atau penyalin naskah/manuskrip). Manuskrip-manuskrip itu memakai aksara Jawa, Arab, atau pegon (Arab-Jawa) dan masih tersimpan secara pribadi di pelosok-pelosok perkampungan, di langgar (mushola), masjid, dan pondok pesantren kuno yang jauh dari peradaban modern (lereng perbukitan atau ditengah hutan kecil).

Manuskrip (naskah) yang dikoleksi masyarakat itu kondisinya sangat memperihatinkan, karena sebagian naskah banyak yang berlubang (dimakan rayap), tercecer (tanpa sampul), dan rapuh (memet). Beberapa faktor yang menyebabkan kerusakan tersebut tidak lain, adalah kurangnya perawatan (faktor primer) dan umur naskah, sehingga banyak naskah-naskah koleksi pribadi masyarakat awam—yang tidak ada sampulnya, dan bagian lembaran naskah banyak yang sobek, akhirnya hampir (sebagian) masyarakat Kediri, Jombang, Lamongan yang menyimpan naskah dalam kondisi seperti ini selanjutnya dibakar. Praktik pembakaran naskah bukan suatu hal yang aneh dan konyol, ini seperti adat atau kebiasaan orang awam di daerah. Robson (1994: 18-19) mengatakan sebagai ”rendah diri budaya” dan sesuatu yang dianggap maju adalah kebanyakan yang kebarat-baratan, sehingga sesuatu yang bernafaskan sumber sejarah nenek moyang (manuskrip) dianggap kuno dan terbelakang. Sikap seperti ini tidak ubahnya rasa hormat yang di buat-buat untuk segala sesuatu yang modern atau baru. Padahal, manuskrip dalam produk budaya diperankan sebagai penggalian internalisasi nilai-nilai atau semacam wodr of view dari sirkulasi alamiah akan dunia hiperrealitas (Sulton, 2010). Sementara itu, Robson menambahkan (1994: 9) dalam usaha membentuk ”kebudayaan nasional” yang terdiri dari ”puncak-puncak kebudayaan daerah” atau dapat membentuk dasar untuk ”identitas Indonesia” atau kebanggaan akan prestasi masa lalu.

Dengan demikian, keberadaan manuskrip-manuskrip di Kediri, Jombang, dan Lamongan merupakan warisan (khazanah) hasil budaya yang perlu untuk dikembangkan dan dilestarikan, selanjutnya dilakukan pengkajian lebih dalam agar mutiara yang terkandung dalam naskah benar-benar terungkap. Tamara A. Susetyo Salim (2008) mengungkapkan, bahwa manuskrip sebagai sebuah artefak budaya, yakni hasil karya budaya manusia, merupakan sumber informasi yang penting, baik diperpustakaan, kearsipan, museum, serta pusat-pusat dokumentasi serta informasi lainnya. Dari segi kandungan isinya, naskah-naskah yang tersebar di daerah-daerah itu banyak mengungkapkan ajaran-ajaran, tradisi, dan perkembangan agama Islam. Siti Baroroh Baried, dkk (1994: 10), dalam bukunya mengenai pengantar teori filologi, menyebutkan bahwa dari segi kandungan isinya naskah-naskah nenek moyang bangsa Indonesia menyimpan banyak informasi, seperti pengobatan, sejarah, ajaran-ajaran agama, dsb. Naskah-naskah yang menyimpan ajaran agama Islam banyak yang menggunakan tulisan Arab, Jawa, dan Pegon (Arab-Jawa), hal ini sangat penting untuk memahami sejarah perkembangan dan kehidupan agama Islam di Indonesia. Dari sini artefak budaya nampak sebagai akar kekuatan terciptanya identitas dan jatidiri bangsa, dan akhirnya terhindar dari posisi Indonesia yang subordinat atau pincang dalam posisi epigonis.

Usaha semacam itu tidak bisa lepas dukungan dari multi-pihak. Yang penting tetap konsisten dan tidak ditunggangi oleh beberapa kepentingan sepihak. Seperti apa yang sering terjadi belakangan ini, mendalami filologi karena unsur keterpaksaan—bertendensi untuk meraih beasiswa dan gelar semata. Padahal setelah gelar diraih, mereka akan demostikasi atau sekedar sadar budaya di lidah (penjinakan sosial budaya). Serangkaian ini akan memberikan perenungan kepada kita—yang terutama berkecimpung di ranah disiplin ilmu filologi. Masalah lain yang muncul, yaitu penelitian di Indonesia yang saat ini lebih memprioritaskan pada telaah teks, persoalan mengenai pengkoleksian dan pemeliharaan diabaikan. Seperti apa yang disinggung oleh Robson (1994: 4-5), keasyikan dengan pelestarian merupakan sebetulnya gejala, bahwa pasiennya sudah mati dan hanya tunggu dikremasi. Untuk itu kita sesegera mungkin melakukan langkah dengan gagasan yang jelas dalam usaha pelestarian dan sasaran dari pencapaian suatu hal.

Memang, pada dasarnya—yang penting untuk dikembangkan bukanlah semata-mata bentuk penelitian filologinya, melainkan lebih pada apresiasi kita terhadap naskah sebagai bagian masa lalu (Lubis, 2001: 6). Sampai saat ini hanya beberapa gelintir orang yang peduli untuk preservasi atau semacam perawatan, penggalian, digitalisasi terhadap naskah-naskah koleksi pribadi di masyarakat. Padahal kalau kita sedikit telusuri lebih dalam, koleksi naskah pribadi yang ada di Kediri, Jombang, dan Lamongan sungguh luar biasa jumlahnya, terutama manuskrip Islam (kitab ajaran). Sekitar abad 18-20 M banyak dilakukan penyalinan manual besar-besaran, terutama oleh sesepuh desa atau beberapa kyai dari pesantren, yaitu berupa kitab wacan (aksara pegon) dan kitab bermakna ”jenggotan” yang sekarang sudah dicetak ulang. Data ini penulis peroleh selama melakukan pelacakan dari kampung-kampung, pondok pesantren kuno, dan pemilik sanggar-sanggar budaya—dari tahun 2007-2010. Bisa dipastikan naskah yang dikoleksi secara pribadi oleh masyarakat Kediri (minus tankunswi), Jombang, dan Lamongan saat ini—yang belum terungkap jumlahnya sekitar 5.000-lebih, dalam kondisi 70% tidak terawat. Hal ini, dibutuhkan keterampilan atau metode tersendiri untuk melakukan melacak akan keberadaan naskah-naskah tersebut.

Selanjutnya dari konsep dan gagasan di atas, tulisan ini akan menjelaskan konsep naskah, fungsi penulisan (penyalinan) naskah, dan apa saja yang melatar belakangi tradisi pernaskahan pada masa lalu di perkampungan dan pesantren, terutama di wilayah Kediri, Jombang, dan Lamongan begitu luar biasa. Di samping itu, tulisan ini juga akan menggambarkan sedikit mengenai konsep skriptorium dan jejak skriptorium (tempat naskah-naskah dilakukan penyalinan oleh juru tulis) di Kediri, Jombang, dan Lamongan.

Jombang, 13 Juli 2010
*Ini merupakan dokumen/renungan—selama penulis melakukan penelitian di beberapa kolektor-koletor manuskrip di perkampungan dan pesantren-pesantren kuno. (fb: soeketboe@yahoo.com)

Sajak-Sajak Nurel Javissyarqi

http://pustakapujangga.com/2011/01/poetry-of-nurel-javissyarqi-7/
[NYANYIAN KEMBARA]

Ketika embun dendangkan laguan pagi
deras arus sungai berkelok syair abadi
menuju lereng jiwamu menyibak fajar.

Jika saksi langit awan malam tertunda,
kabut menebali menyelimuti kota-kota.

Ia anak pebukitan memetik pelajaran,
hingga kini berbagi kenang memaknai.

Mengusik dentingan air petikan angin,
lagu busa di pantai-pantai menggapai
dedaunan kalbu menyimak keguguran.

Bisikan kantuk, kaki-kaki bayangan
sayap-sayap kekupu berhamburan,
menabur sangsi di sepanjang jalan.

Ke lereng-lereng malam kesunyian
ia dendangkan jejiwa setiai mawar.

Duri kata-kata berbicara kembara,
sayap elang berbaur angin udara.

Cakar-cakar sujud di atas kepala,
langit tak berjarak rambut basah.

Sayang, tiada kecup kasih mesra.



[STASIUN SENJA]

Menunggu waktu gelisah memandang
berlalu-lalang getaran menanti kasih,
sambil menghitung warna kedatangan.

Mendengar degup dada meninjau kereta,
menuju batas pandangan di stasiun senja
menantikan janji dengan jantung terluka.

Lembayung jingga senyum menebar bunga,
di ladang perburuan memikat merpati putih
ke sangkar hitam nyawa menemui kekasih.



[BUNGA ABADI]

Di astana langit, suara terompa menapaki tangga gemawan
di sekitar jembatan mengulum degup jantung gentayangan,
menyisiri kemalaman kasih pantai, janji luluh dalam dekapan.

Ombak-gelombang membuncah memecah nafas-nafas bintang,
saat bulan hadir menciummu bunga keabadian. Membaca luka
singgah sebelum terbang kucurkan keringat darah perjuangan.

Kaki-kaki kuasamu sesusu madu mengaliri bibir para pemberani,
sekepak sayap paling pekat, dalam goa sunyi kelembutan lautan.

Berpakaian kekekalan, di ujung maut menyongsong fajar jaman;
anak-anak bermain di tepian keasingan, tak ada penuntun mimpi
menjadi buta memandang, ketika ketakmampuan tetap bertahan.



[MEMAKNAI LANGKAH]

Telah kukosongkan perut untukmu
sehaus tenggorokan mencipta rindu,
tapi belum kukenal sedekat leher dulu.

Menumpang kapalmu menyusuri waktu,
pantai mencari awan berkaki senyummu,
langit tentramkan kantuk di ruang tunggu.

Bercerita butiran pasir perjalanan mata lelah,
meleleh timbunan kenang hari-hari atas api.

Tak terpegang sehabis disergap pekabutan,
lalu hasrat beku menemukan tujuan faham.



[LANGGAM LAUTAN]

Gulungan gelombang saling tabrak berkejaran,
pecah tersimpan gemawan ditelan arus lautan.

Menemui kasih di astana samudra bintang berkedipan,
sederup air redupkan tembang mekarkan lekuk malam.

Setubuh meliuk lambaian sampur menyimak tarian masa,
berseri-serasi setaburan tembang puji membahana sukma.

Menjelajahi kisah percintaan di senggang langgam pertemuan,
dimulai surutnya gairah rahasia, meninggi tenggelamkan nalar.

Batasan mimpi mewujud kesadaran hening kerinduan terdengar,
tetabuhan bertalu-talu diselipan hujan melambungkan rentangan.

Kembara menemukan ajal tiada sia-sia ke ujung asmara berlayar,
diterjang ombak jejiwa, membelah senyum langit nafasnya ganjil.

Memasuki telinga timangan nada sunyi mengigau galaukan nasib
; kesendirian mengisi lewat membisikkan lafal-lafal ruh semesta.



[RINDUNYA GELOMBANG]

Ruang malam mencipta sayap di selat kerinduan
dan punggung pertemuan awan ditempa purnama.

Saat batasan dada ombak bergulung menghempas
sederuan kelelawar melintasi panggung gemintang.

Menghampiri anak-anak kangen lukisan ketegaran
:
karang petapa hening angin ribuan tahun silam turun
persembah kabut perasaan menunggu dipukuli cemas.

Selendang timur tersibak elusan tangan lautan pemuda
menjala ikan-ikan di hamparan luasnya fajar prasangka.

Seekor burung terbang pada layar gumpalan mendung,
menyambut mentari sepenggala membuka kulit siang.

Diganti warna biru menindas kepak dendam menawan,
panasnya cahaya bersekutu angin ribuan mil di pantai.

Tangis percikan ombak pada petak ladang tersapu terik,
lagu gelora kandas atas pertanyaan tak kunjung jawab.

Menanti bertepat waktu berbulir-bulir garam semangat
:
hari-hari berlalu bisu semusim lupamu perjalanan bayu
ke pebukitan lembah, garam geram asam rontok sudah.

Selasa, 25 Januari 2011

Pulang

Riri
http://pawonsastra.blogspot.com/

Pulang ke desa minggu ini harus kujalani dengan naik bus. Ayah yang biasanya jemput ada urusan penting tak bisa di tinggalkan. Aku harus rela menggunakan fasilitas transportasi kota yang paling utama itu. Menempuh perjalanan kurang lebih 2 jam di dalam bus beraroma khas penumpang. Peluh dan keringat dari tubuh mereka, aroma parfum dan minyak wangi yang mereka pakai, juga bau barang-barang bawaan. Di tambah penumpang yang berdesak-desakan, tak memberi sedikit celah untuk udara berganti.

Seperti biasa ketika aku pulang, aku hanya akan mendapati hal tak berkesan dalam perjalanan. Aku duduk dekat jendela, kepala bersadar di jok kursi, mata memandang keluar jendela. Di luar tampak kesibukan masing-masing orang kota. Kali ini aku pulang naik bus, namun kadang dengan sepeda motor bersama ayah, atau naik mobil bareng keluarga budhe. Dan semua biasa saja, tak ada yang berkesan, tak ada yang kuanggap menyenangkan.

Tiap perjalanan pulang aku lebih suka memperhatikan jalan dan orang-orang di luar. Di dalam mobil aku tak begitu menggubris apa yang di bicarakan keluarga budhe, di bus sampai tak dengarkan kondektur yang minta ongkos perjalanan, di sepeda motor tak pedulikan ayah yang bertanya kabar. Meskipun aku sering melakukan perjalanan seperti ini. Seperti orang desa yang pertama kali ke kota. Sebenarnya rumahku memang berada di sebuah desa di kaki gunung lawu. Keinginan ayah menyekolahkan aku di sekolah yang bagus meski jauh, membuat aku harus tinggal bersama keluarga budhe di kota dan bisa pulang ke rumah tiap akhir pekan.

Siang ini langit tak seperti biasanya, sinar terang matahari terhalang awan hitam yang menebal. Tampaknya akan turun hujan. Beruntung aku ada dalam bus meskipun sesak. Karena nanti aku tak akan kehujanan.

Minggu kemarin aku pulang di jemput ayah melewati jalan yang sama dipayungi terik matahari. Kendaraan terus berlalu lalang, tak peduli pada panas matahari, asap kendaraan, juga debu-debu kendaraan dan kota yang membuat mata merah. Adalah hal-hal menyebalkan yang selalu kudapatkan jika bersepeda. Salah satu penyebab lapisan azon makin bolong dan menaikkan suhu panas bumi. Akibatnya es di kedua kutub bumi meleleh, menambah lautan makin luas dan luas daratan berkurang.

“Ngapunten mbak, ongkos!”, suara kondektur bus meminta ongkos, menyadarkan dari alam khayalku. Aku mengambil empat lembar seribuan dari dalam dompet.

“Matesih”, kuserahkan pada kondektur itu dengan senyum bersalah dan malu.

Aku kembali melihat keluar. Akhir-akhir ini hujan mulai sering turun, padahal sekarang bulan Juli. Menurut perkiraan dan pembagian musim, bukan waktu musim hujan untuk Indonesia. Harusnya masih kemarau. Entahlah, sekarang musim dan cuaca tak lagi bisa di perkirakan. Musim hujan jadi kemarau, dan begitu juga sebaliknya kemarau jadi hujan.

Menurut pakar agama, itu karena orang Indonesia banyak dosa lalu Tuhan marah menurunkan bencana. Adanya banjir yang melanda salah satu negara bagian Eropa, pendapat orang barat, merupakan tanda-tanda akan berlangsungnya perubahan musim. Aku sendiri tak tahu. Yang aku tahu alam mulai berubah, perubahan tanpa permintaan, tanpa kesadaran manusia dan tanpa tanggapan.

Di luar awan hitam makin tebal, seperti peringatan pada manusia bahwa hujan akan turun deras dan lama. Beberapa pedagang di pinggir jalan mulai memasukkan barang dagangan. Orang-orang mempercepat langkah untuk lekas sampai tujuan tanpa kehujanan. Dan aku beruntung berada di bus, sebab andaikan bersepeda motor dan menggunakan mantel aku belum tentu terhindar dari percikan air dan tak akan bisa perhatikan jalan dengan nyaman.

Beberapa wilayah kering yang kehujanan akan merasa senang dengan air yang berlimpah dari langit. Tanaman di ladang, sawah, dan kebun akan tersirami tanpa bersusah payah mencarikan air. Namun hujan yang mengguyur deras terus menerus di sertai angin kencang, bisa juga merugikan. Merusak padi siap panen, melongsorkan tanah miring diatas pemukiman penduduk, juga banjir besar. Kesemuanya menjatuhkan korban harta maupun jiwa. Bila musim hujan inginnya panas agar jemuran cepat kering. Jika yang berlangsung musim kemarau, inginnya cepat hujan supaya tak kepanasan dan gerah. Namun apapun yang berlangsung manusia hanya bisa berkomentar.

Pertanda hujan akhirnya terbukti, hujan langsung mengguyur deras. Jalan seketika basah. Disambut orang-orang dengan berlarian mencari tempat berteduh, pengendara sepeda motor berhenti untuk memakai mantel. Hujan berangin kencang siang ini disertai juga petir yang berkilatan dan suara halilintar beradu. Di depan sebuah toko yang sudah tutup, berdiri dua orang laki-laki dan perempuan. Terpisah tak terlalu jauh. Tiba-tiba suara halilintar menyambar keras. Aku jadi membayangkan, andai si cewek kaget mendengar halilintar lalu reflek memeluk si cowok. Mungkin si cewek akan memerah malu dan cowok tersenyum senang, atau malah cewek marah-marah meyalahkan cowok memanfaatkan kesempatan. Aku tersenyum geli membayangkannya.

Lampu merah menyala, bus berhenti. Di luar sana, ada beberapa bocah membawa botol minuman berisi deterjen bubuk. Lalu tanpa disuruh, di semprotkan ke kaca depan mobil yang berhenti. Pembersih kaca mobil otomatis bergerak membersihkan. Sementara bocah tadi mendekati kaca samping pengendara, menengadahkan tangan. Mengharapkan receh jatuh ke tangan atau lambaian tangan tanda tak ada. Mereka semua hanya bocah usia SD. Berpakaian lusuh dan basah kuyup menawarkan jasa, menembus hujan untuk beberapa receh uang. Bukankah mereka tanggungan pemerintah?. Mendapat jaminan keselamatan, kesehatan dan hidup dari pemerintah. Tapi, mengapa mereka ada di jalan saat hujan deras?, bukan di rumah berlindung pada selimut?. Hanya sekedar janji manis pada aturan tertulis dari mulut besar pemerintah, bukan suatu usaha untuk membuktikannya.

Dari balik kaca bus kota, aku melihat semuanya, hal yang mungkin sudah menjadi rutinitas. Semua berhasil menarik perhatianku. Mereka yang berbicara lantang meski aku tak dengar, duduk diam melamun, asyik dengan hp, atau kepolosan anak kecil yang sedang bermain. Mereka yang mengendarai sepeda motor, mobil, atau hanya bertumpu pada kedua kaki untuk menapaki jalan beraspal. Kesibukan yang kutemukan di manapun. Kepentingan masing-masing dengan barang-barang di tangan atau pikiran di tempatnya.

Pikiranku melayang pada bangsaku, tanah airku yang sedang berkembang untuk menjadi negara maju. Menempuh berbagai cara supaya di kenal sebagai negara hebat. Mengonsumsi berbagai barang-barang import, bukan menciptakan hal dan barang baru, untuk menambah devisa negara. Di tiap lamuananku tentang Indonesia, muncul semangat besar untuk mengubahnya, bermimpi bisa memajukan Indonesia. Menjadi negara adidaya dengan produksinya. Alam yang lestari, majunya pendidikan dan industri, serta social budaya yang terbina baik. Membangun pabrik barang elektronik sendiri yang lebih maju dari bangsa lain dan mempunyai cabang di mana-mana. Tapi aku akan memajukan pendidikan terlebih dahulu, karena nasib bangsa selanjutnya ada di tangan kepolosan anak-anak sekarang. Bermimpi.

Hanya mimpi mustahil dan harapan kosong. Semangatku selalu saja hilang tiap aku perhatikan jalan. Kejadian demi kejadian tanpa tanggapan. Beku tiada ekspresi, hati kesal sambil mengumpat berkomentar. Ada pikiran berontak pada semua kebijakan, ketidaksetujuan dari persetujuan, dan penuntutan atas penindasan. Semua harapan untuk perubahan berujung kecewa mendalam. Karena semua akan terus tersimpan dalam lemari khayal, imajinasi tak kesampaian. Tambahan pada dokumen peristiwa dan rasa jengkel untuk keramaian kota, polusi dari asap kendaraan, mencemari bumi dan udara, yang terus saja ada. Kota dengan kesibukan tanpa henti siang dan malam. Tanpa udara segar pagi yang memberi semangat untuk menyambut hari.

Sejujurnya aku lebih senang tinggal di desa. Kealamian bisa kutemukan di tiap sudutnya. Hijau daun, kerumunan pohon menjulang tinggi, warna-warni bunga mekar, sungai jernih yang mengalir deras, juga keramahan penduduknya. Alasan yang tetap tak bisa membuat aku tinggal di desa, ayah terlalu keras kepala. Namun, berhasil memberiku semangat pulang. Juga hasrat besar untuk menjaga kelestariannya. Tetap alami dengan hawa dingin tiap pagi, dengan keceriaan anak gunung tiap bulan purnama, kecipak air sungai, pemandangan elok pedesaan. Kerinduan menyeruak bersama hembusan nafas berat.

Kebanggaan yang akan selalu kubawa kemanapun. Desa tempatku tumbuh besar, tempat aku mendapatkan pelajaran tentang arti perjuangan, kebersamaan, kesedihan, dan keceriaan. Segala macam hal desa adalah kebanggan tersendiri dalam diriku dan tak akan pernah hilang. Meski tiada kepastian tempatku berpijak, akan selalu ada bayangan tentangnya. Keyakinan untuk kembali.

Aku menarik nafas, mencoba menghirup kealamian dari sepanjang perjalanan. Bus merangkak pada jalan menanjak naik. Jalan raya utama menuju terminal Karang pandan. Suasana pegunungan mulai terasa, dingin menembus kaca bus. Hujan diluar masih tercurah lumayan deras. Lelah yang kuderita selama perjalanan tersembuhkan oleh sambutan kealamian. Bus berhenti di terminal Karang pandan, untuk menarik perhatian orang dengan jasa tumpangan. Tak lama bus kembali berjalan menuruni jalan yang sama, kemudian berbelok keselatan menuju tempat perhentian terakhir. Pohon-pohon di sekitar jalan masih basah air hujan.

Perbedaan kota dan desa di sepanjang jalan sangat terasa. Keramaian Solo yang mungkin terjadi siang malam dengan jalan desa yang berkelok dan jarang kendaraan. Solo sudah begitu ramai apalagi kota besar lainnya. Andai kota-kota besar Indonesia masih alami dengan kesegaran, apa yang akan terjadi?. Mungkin Indonesia akan jadi negara paling alami di dunia, mungkin juga dunia akan berkata ‘Indonesia primitif’. Mimpi!. Tapi kalau semua mau, bisa saja. Indonesia alami tapi pendidikan masyarakatnya terjamin, kaya hasil ekspor alam, serta maju dalam bidang apapun dan tetap seimbang.

Bus bekelak-kelok mengikuti jalan pegunungan. Penumpang ikut bergerak ke kanan dan kekiri. Aku terjepit tubuh langsing seseorang yang duduk disampingku sejak dari Solo tadi. Aku menoleh dan tersenyum padanya.

“Sorry mbak, soale jalane ya kayak gitu, Aku sering berharap lho kalau ono perbesaran jalan supaya lebih gedhe dan nggak berkelok koyo itu, aku paling sebel lewat sini”. Aku hanya bisa tersenyum pada perempuan itu. Tampaknya perempuan kota.

“Kalau nggak terpaksa, aku nggak mau lewat sini, naik bus ini. Seharusnya pemerintah potongi aja pohonnya, di jual untuk buat jalan pintas dan perbarui bus agar lebih gampang atau buat apalah yang maju biar gampang.”

Aku tetap tersenyum menanggapi ucapannya, meski hatiku berontak. Baru saja aku berpikir melestarikan alam, ternyata orang di sampingku berpikir beda jauh. Bus berhenti di terminal Matesih, perempuan tadi turun setelah nerocos entah apa dari tadi padaku. Aku masih memikirkan kata-kata awalnya, aku melamun sejak naik bus hingga tak tahu bahwa ada orang berpikiran lain denganku. Hujan sudah tak terlalu deras, ada kubangan-kubangan air di depan, juga tetesan sisa air hujan. Aku melangkah pulang kedesa, untuk melepas kerinduan bercengkrama dengan alam. Tentang semua khayalanku, mungkin tidak ya?.(khoko_ir@yahoo.com).

Matesih, 06 Juli ’07 / 22.59
Untuk semua mimpi menjelma kenyataan

Kidung Rebung

S.W. Teofani
Lampung Post, 2 Januari 2011

MENGAPA tak sekarang saja kita tebang rumpun rebung itu, Ibu? Apa lagi yang kita tunggu. Bukankah semak laknat itu menyisakan mimpi buruk pada malammu, juga siangku. Kita telah kehilangan nakhoda biduk pada ganasnya gelombang hidup. Laki-laki yang sangat mencintai bambu, mungkin melebihi cintanya padamu, juga padaku. Tapi kau tak pernah cemburu pada bambu-bambu itu. Bahkan saat akhirnya dengan sadis pohon kesumat itu menjadi sebab kematian laki-lakimu, ayahku.

Aku ingin segera meleyapkan rumpun aur itu, Ibu. Biar usai pedih ini. Agar lenyap bayang senyap pada tetumbuhan yang merenggut seluruh suluh hidupku: cengkerama dengan ayah di rembang petang, di antara betung dan aur, menyisahkan kenang yang mengguncang. Memelantingkan seluruh siksa ditinggalkan, mengundang ruang raung yang hilang.

Benar hutan bambu itu sesak kenangan, tapi nganga luka pun ia suguhkan. Aku memilih melenyapkan semua, Ibu. Agar tunai seluruh kenang, juga dendam.

Ayah pasti marah padaku, jika kuleburkan pohon hidupnya. Tapi, bukankah akhirnya pohon-pohon itu jua yang merenggut nyawanya? Karena cinta selalu menagih pembuktian, ayah menyatakan cintanya. Cinta pada rerimbun bambu, sejak bertunas hingga meranggas. Bahkan hingga bambu-bambu itu menghendaki cinta yang tandas. Lalu ke mana kehilangan ini aku sangsangkan, bila tiap bilah bambu adalah keriut lara lukaku.

Engkau diam Ibu, tak mengiyakan, pun menolak hasratku. Ingin yang kusampaikan dengan ungkap dusta, agar tak tercipta pedih bagimu, juga lara untukku. Kau hanya tersenyum dengan sungging yang mendamaikan, sekaligus meresahkan. Seperti rimbun bambu yang teduh, juga membuntal gatal. Tersebab bulu halusnya yang terselip pada setiap pelepah dan batang.

Maafkan aku Ibu. Aku mencintamu, tapi kali ini aku ingin mencintai diriku sendiri.

Di hatimu telalu banyak bilik. Aku tak sempat memasukinya satu per satu. Sebanyak bilik rumah bambu yang ditatah ayah, dibawa ke kota-kota yang jauh, dikagumi indahnya, dipuji pesonanya. Tanah kita pun masyhur karena tangan terampil ayah. Dari rakyat biasa hingga pejabat terpesona karyanya. Engkau turut tersenyum bangga, pada laki-lakimu, yang tetap kau cintai, bahkan hingga tinggal tilas yang mengenangkanmu.

**

Kan kupelihara hutan bambu itu, Suamiku. Sebagaimana dirimu menjagaku, juga anak kita. Kau merawat bambu-bambu itu sepenuh waktu, tapi aku percaya, kau jaga kami dengan seluruh hatimu. Sepeninggalmu, bambu-bambu ini yang menemaniku. Kesiurnya mengingatkan pada bisikmu tentang ketabahan. Deritnya mengenangkan pada suaramu saat memanggilku, dengan pelan,…dalam, pada sepenarikan napas yang membuat kita sadar pada amanah kemaslahatan. Lalu muncul pucuk-pucuk rebung yang menjanjikan hari esok nan panjang. Rebung itu bertumbuh menjadi aur baru yang menggantikan. Hingga siap ditinggalkan batang induknya yang kita tebang.

Tapi tidak diriku, Suamiku. Kau tinggalkan aku saat rebung kita begitu belia. Ia belum siap menanggung derita. Tapi aku berbaik sangka, kau yakin kumampu menjaganya. Selain ketundukkan kita pada keharusan semesta yang mengajari lega lila pada ingin-Nya. Meski ada lembar hatiku mengeja hal lain yang kita amini dengan kedipan mata. Lalu kita tertunduk karena kesalahan yang tak kita kehendaki.

Kau ajari aku menyayangi bambu seperti menjaga kehidupan. Kau tak akan menebang betung jika tumbuhan itu tak menginginkan. Bahkan kau tahu, mana batang yang berkenan kau tebang, dan mana yang enggan kau pinang. Tak akan kau tebang batang betung yang menyusui rebung. Kau rawat dia hingga tunai sang betung mengasuh rebung. Jika pada titimangsa tua, ketika bulan tak lagi purnama, kusaksikan batang-batang betung rebah dengan indah. Pada pangkuanmu, pada tanganmu yang begitu piawai menjadikannya lebih berharga. Akan kusaksikan betapa mesranya kau menyambut batang betung itu. Dan betapa cemburunya aku pada kemanjaan rumpun rumput istimewamu. Batang-batang itu seperti tahu, kaulah yang akan menatah titah mengada; memberi manfaat bagi semesta. Jika sampai waktunya, bambu itu pasrah pada tanganmu mencipta. Batang betung dan aur itu percaya, kau mampu mendandaninya menjadi permata yang disanjung puja. Bukan sekadar kayu bakar yang tersia.

Di hari nahas itu, aur dan betung mengutukmu. Rumpun itu merasa dikhianati, sebagaimana kau tersiksa atas pengingkaran pada anak jiwamu, juga seluruh hidupmu. Aku tahu, Suamiku, betapa sulitnya debat hatimu saat itu.

Seluruhmu tergadai antara titah dan tembang manah. Kau sanggupi wisma angsana di taman kota praja. Yang Mulia meminta mahakaryamu tercipta dari bambu terbaik yang dipilihnya. Dia tunjuk serumpun betung nan memesona; setiap jiwa terkagum pada pikatnya. Dengan santun kau katakan pada Yang Mulia, betung itu belum sampai titimangsa. Kau tawarkan batang lain yang tak kalah jelita. Telah kau siapkan pada musim tebang sebelumnya.

Tapi siapakah engkau, Suamiku. Engkau tak punya daya untuk menawarkan kebenaran di hadapan penguasa. Apalah arti pengetahuanmu di hadapan kemauan raja. Dengan senyum getir, kau iyakan mata murkanya. Dia puas dalam tawa. Tak ada yang lebih tahu dari nafsunya. Tak ada yang sanggup menentang maunya. Apalah arti seorang perajin bambu di hadapan kuasanya. Sebentar lagi istana bambu yang diidamkannya tercipta, meski menumbalkan kemaslahatan muasalnya.

Aku tahu, Suamiku, untukmu yang begitu takzim pada gerak mayapada, memangkas betung dengan tergesa adalah perbuatan sia-sia. Bagimu, ini langkah zalim pada semesta. Satu betung kau bawa, berdasa rebung binasa. Tapi bisakah penguasa berlapang dada pada kearifan alam raya?

Suamiku, di belakangmu aku terdiam. Mengikuti langkahmu yang gamang. Tak kulihat lagi semringahmu menyambut rebahnya lurus batang. Kau begitu bimbang. Akan kau tebang betung yang tengah menyusui rebung. Akan kau pangkas hatimu untuk titah. Tapi aku tak percaya, kau berani mengingkari tembang rejang kehidupan.

Langkahmu gundah, mendekat batang betung dengan pasrah. Tanganmu gemetar saat menempelkan parang pada batang yang tak hendak rebah. Ketika parang kau angkat, riuh jerit rimbun rebung pilu menyayat. Direbutnya parang hatimu yang mendekat. Tangis mereka pecah saat besi tajam itu semakin rapat. Gendang telingamu tak mampu menangkap apa pun, selain sayat pilu sedu sedan rebung. Tanganmu goyah, entah ke mana parang terarah, hingga senjata itu memilih tuannya. Darah mengucur di pucuk-pucuk rebung, juga bambu betung. Tangis rebung reda, atas peristiwa tak terduga, berganti isakku kehilanganmu. Tak lama, rebung-rebung itu, petung itu, aur itu, turut tersedan. Melafalkan kidung penyesalan akan kepergian. Menembangkan kehilangan manusia yang akan menjaga dan merawatnya, juga memolesnya hingga memesona. Kemudian, kota ini menjadi sepi, tak lagi wangi.

**

“Mengapa tak sekarang saja kita tebang rimbun aur itu, Ibu? Kan kubuat sebuah kota dengan rumah-rumah bambu di atasnya. Pasti negeri ini akan masyhur lagi.”

“Anakku, menanam ada masanya, memetik pun ada waktunya, jangan kau ganggu bambu-bambu itu. Lihatlah, anak-anaknya tengah menyusu.”

“Ah..ibu, manalah putingnya, manalah airnya, ibu jangan mengada-ada. Akulah anak ibu yang akan merawatnya, dengan menjadikannya lebih berharga.”

“Pada mangsa setelah dasa, kala bulan tak lagi purnama, tebanglah induknya saja. Biarkan anak-anaknya bertumbuh menggantikannya.”

“Akan aku tebang semuanya, Ibu. Agar tak lagi ada ular yang bersembunyi di semaknya. Kan kubangun rumah-rumah bambu di atasnya, biar tanah kita jadi legenda.”

“Anakku, buah cinta hutan bambu, jangan turuti nafsu. Apalah arti legenda, jika musnah segala yang ada. Kita ambil sebagian saja, seperlu hajat kita, bumi akan panen raya setelah padam purnama.”

“Duh Ibu, kekasihku, teman jiwa ayahku,…mengapa kau eja purnama, zaman tak lagi menghiraukannya. Esok ada batang beton yang menggantikan bambu betung itu.”

“Duh..anakku, kau saksikan matahari muncul di waktu pagi, terbenam di senja kala, tentu ada maksudnya. Tuhan tak ciptakan itu dengan sia-sia. Adalah perputaran waktu yang menggantikan warsa. Membuat kita belajar tentang musim, tema titimangsa. Benar semua waktu baik, Anakku. Maka disebut baik, karena mengandung kebaikan untuk yang lainnya. Pandailah kau membaca sasmita, pertanda yang dipersembahkan alam untuk kita. Cermatlah dirimu berteman dengan musim, agar menjadi sahabat semesta.”

“Duh..Ibu, tidakkah semua telah berlalu. Kita hidup di zaman tanpa musim, tak beda ketika purnama atau gulita.”

“Anakku, ibu telah tua. Tinggal merawatmu, juga rumpun rebung itu. Menjaga kinasih ayahmu, menata kelarasan mayapada.”

“Duh Ibu, aku anakmu seorang saja, kan kulakukan yang terbaik bagi semua.”

***

“Suamiku, maafkan aku. Tak tuntas kuajarkan kearifan pada anak kita. Kini aku hidup tanpamu, tanpa hutan bambu. Yang tertinggal ngiang kidung rebung yang meratapi namamu.”

Jatimulyo, ujung 2010

Happy birthday my best friend Elly D., 25 Desember 2010
Kado untuk Suluh Jiwa, 20 Desember 2010

Sumber: menjumput dari http://kklampost.blogspot.com/2011/01/cerpen-sw-teofani.html

Sabda Cinta al-Husna

Camelia Mafaza
http://sastra-indonesia.com/

“Sembilan bulan ini akan terasa nikmat ya mas”, ucap Anisa Al-Husna pada Rahmat suaminya.

“Tentu, dan akan lebih nikmat setelah sembilan kedepan kita lalui, yakni saat anak kita lahir”, jawab Rahmat. “ Pasti indah ya Ma, ada aku, kamu dan anak kita”, sambung Rahmat yang memang sudah lama mendambakan kehadiran seorang anak.

Husna dan rahmat telah menikah selama 7 tahun, tapi karena Tuhan belum memberikan kepercayaan pada mereka, mereka belum juga dikaruniai anak. Banyak usaha sudah mereka lakukan, baik secara medis maupun non medis, namun usaha itu selalu berujung sia-sia.

Hingga hari itu tiba, Husna dinyatakan hamil oleh dokter, sujud dan syukur mereka panjatkan keharibaan Tuhan yang telah menanamkan benih dirahim Husna.

“Mas, aku kepingin pepes mangga”, rajuk Husna suatu malam
“Pepes mangga, ma? Mana ada orang jualan pepes mangga malam-malam begini ma?”, tanya Rahmat.

“Pokoknya aku mau pepes mangga, sekarang!”, kata Husna.

Setengah mengantuk Rahmat bangun dari tempat tidurnya. “Baiklah, dimana aku bisa membeli pepes mangga, Ma?”, tanya Rahmat.

“emm…, di warung Bu Projo saja mas, biasanya disana ada pepes mangga”.

Rahmat mengambil mobil digarasi, kemudian meluncur menerobos malam yang pekat. Saat itu pukul 01.00 dini hari. Mungkin kebanyakan orang sedang terlelap dibuai mimpi, tapi karena ingin memenuhi keinginan istrinya, Rahmat rela menahan kantuknya hanya untuk membeli pepes mangga untuk sang istri tercinta. Sampai di Jl. Wachid Hasyim 15, tempat warung Bu Projo, terlihat papan kecil bertuliskan Closed didepan pintunya.

“Wajar bila warung Bu Projo sudah tutup, saat ini memang sudah sangat malam. Aku harus cari dimana pepes mangga malam-malam begini?! Mungkin percuma aku cari dimana-mana, karena pasti jam segini warung-warung sudah tutup”, ucap Rahmat dalam hati.

Rahmat kembali pulang. Sesampainya dirumah ia meminta maaf pada Husna, karena ia pulang denagn tangan kosong. “Maafkan aku Ma, aku tidak mendapatkan pepes mangga”.

“Tidak apa-apa Mas, aku sudah tidak kepingin pepes mangga kok. Aku sekarang kepingin kopi manis saja mas. Kita begadang malam ini.

Bukankah besok adalah hari minggu, Mas Rahmat kan libur kerja, jadi tidak apa-apa kan sekali-kali kita begadang”, tanya Husna.

“Iya, baiklah kita begadang! Kamu siapkan kopi manis dan cemilan, aku siapkan tempat diteras ya Ma?”.

“Oke!”, jawab Husna senang.

Setelah semuanya siap, mereka duduk diteras sambil memandangi pekat langit malam yang menghias dirinya dengan kerlip bintang.

“Aku suka suasana seperti ini Mas, hatiku terasa lapang dan tenang melihat langit lepas. Betapa Maha Kuasanya Tuhan ya Mas. Dia-lah yang telah mempertemukan kita dan mentakdirkan kita untuk membangun keluarga bersama. Semoga rumah tangga kita menjadi rumah tangga yang barokah ya Mas!”, ucap Husna sambil memeluk Rahmat.

“Iya istriku, tentu akupun berharap begitu. Aku juga ingin rumah tangga kita selalu harmonis, selalu rukun, dan selalu berusaha mengerti keadaan satu sama lain. Aku mencintaimu, juga mencintai calon buah hati kita di rahimmu”, ucap Rahmat.

“Kau akan selalu menjagaku, Mas?”, tanya Husna.

“Tentu, dengan segenap jiwa dan ragaku”, jawab Rahmat.

“Terima kasih suamiku, akupun akan selalu menjaga cintamu. Aku ingin tidak ada perpisahan diantara kita. Aku ingin selalu menamani hidupmu”, kata Husna sambil menitikkan air mata.

“Kenapa kau menangis, Ma? Tidak akan ada kata perpisahan diantara kita. Kita akan selalu bersama selamanya”, jawab Rahmat seraya memeluk Husna erat.

Jam berdentang tiga kali, mereka terlelap berselimut langit gelap di teras. Bersama mimpi dan angan-angan yang akan mereka renda dimasa depan.

***

Hari-hari Bachtiar Rahmat dan Anisa Al-Husna semakin erat dengan kebahagiaan. Tak terasa, usia kandungan Husna telah memasuki bulan kesembilan. Menurut hasil USG anak mereka perempuan. Sebuah nama cantik nan indah telah terpilih oleh calon ibu si jabang bayi sudah terpilih, ANGGUN CIQUITTA FIQOLBI UMMI, yang artinya Anggun gadis manis dihati ibu. Selain itu, Husna dan Rahmat juga sudah membeli perlengkapan dan baju bayi. Semuanya berwarna merah muda, begitu manis dan lucu.

“Anakku tercinta, tak sabar rasanya mama menanti kelahiranmu. Pasti kamu cantik dan lucu. Mama selalu berdoa, semoga kelak kau menjadi anak yang sholehah dan selalu bertaqwa kepada Allah SWT. Amin”, doa Husna sambil mengelus-elus perutnya yang sudah semakin membesar.
“Aduh, aduh…!!!”, rajuk Husna tiba-tiba.

“Mas Rahmat, perut Husna sakit mas”, panggil Husna kepada Rahmat.

Rahmat yang sedang bersiap hendak berangkat kerja panik mendengar suara istrinya, “kenapa perutmu Ma? Apakah ini tandanya kau akan segera melahirkan?”, tanya Rahmat.

“Aku tidak tau mas, yang pasti perutku terasa sakit sekali”.
“Baiklah, kita ke rumah sakit sekarang”.

Rahmat menggendong Husna menuju mobil. Sesampainya di rumah sakit, Husna diperiksa oleh dokter. Ternyata benar, Husna memang akan melahirkan.

“Sabar ya sayang, aku akan selalu menemanimu”, kata Rahmat. Husna meringis menahan sakit. Perawat membawa Husna ke ruang bersalin.

“Mohon maaf Pak Rahmat, anda tidak boleh masuk ruangan ini”, ujar perawat.

“tapi saya ingin menemani istri saya, suster!?”, jawab Rahmat.
“Sekali lagi mohon maaf, ini sudah jadi peraturan rumah sakit”, kata perawat itu, sambil berlalu.

***

Ya ayyuhan nafsul mutmainnah. Irjii ila robbiki rodhiyatam mardhiyah. Fadhuli fi ibadi wal huli jannati. Rahmat teringat ayat Al-Qur’an tersebut kemudian bergegas menuju musholla rumah sakit. Rahmat sholat dua rokaat dan berdoa untuk keselamatan istri dan anaknya disaat persalinan. “Ya Allah, aku mohon berilah keselamatan kepada istri dan anakku, berilah kemudahan kepadanya ya Allah”, doa Rahmat setengah berbisik. Sayup-sayup terdengar jeritan seorang perempuan dan tangisan bayi. “apakah itu suara istri dan anakku?”, tanya hati Rahmat. Kemudian dia bergegas menuju ruang persalinan yang letaknya tak jauh dari musholla. Dokter belum keluar dari ruang persalinan.

Dengan berharap-harap cemas rahmat menunggu. Satu jam Rahmat menunggu di depan ruang persalinan, “kenapa dokter tidak kunjung keluar, bukankah tadi sudah kudengar tangis seorang bayi” ucap Rahmat.

Akhirnya dokter keluar, wajahnya terlihat pucat dan matanya terlihat sayup.

“Bagaimana keadaan istri saya, dokter?”, tanya Rahmat menghampiri.

Dokter memandang Rahmat, lalu berkata “maafkan kami Pak Rahmat, kami sudah berusaha semampu kami, tapi Tuhan berkehendak lain”, jawab dokter.

“Apa maksudnya, dok? Istri dan anak saya baik-baik saja kan”

“Putri pak rahmat telah terlahir selamat dan dia sehat. Tapi istri pak rahmat tidak tertolong”.

“Apa maksud anda, dokter? Itu tidak mungkin terjadi, istri saya baik-baik saja kan?”, Tanya Rahmat sambil mengguncang bahu dokter.

“Kami mohon maaf pak, semoga Pak Rahmat bisa bersabar”, kata dokter menutup pembicaraan.

Allahu kholiqussamaawati wal ardl. “Apa yang terjadi, ya Allah. Kenapa kau mengambil istriku??”, ucap Rahmat seraya luruh bersimpuh. Ia pingsan.

***

Pemakaman Anisa Al-Husna telah usai dilangsungkan. Para pelayat sudah pulang kerumah masing-masing. Sekarang yang tinggal hanyalah Rahmat, si mungil Anggun, dan ibunda Rahmat yang baru datang dari desa. Rahmat menggendong si mungil Anggun, dengan menitikkan air mata dia berkata, “ayah akan selalu menjagamu, nak. Ayah menyayangimu seperti halnya mama menyayangimu. Tapi kini mama telah pergi untuk selamanya. Doakan mama tenang disisi Allah ya nak. Meskipun mama telah tiada, ayah yakin cinta mamaakan selalu abadi untuk kita”. Rahmat memeluk erat anaknya, seperti merasakan kasih sayang sang ayah, bayi berumur satu hari itu tertidur dipelukan ayahnya.

“Rahmat ibu menemukan kotak ini dimeja, mmungkin ini untukmu”, ucap ibunda Rahmat seraya memberikan sebuah kotak kecil berwarna biru muda, warna kesukaan Rahmat.

“Apa ini, Bu?”, tanya Rahmat.
“Ibu tidak tau, coba bukalah agar kita tau apa isinya!”.

Rahmat membuka kotak itu pelan-pelan. Terlihat sebuah arloji baru dan sepucuk surat di dalamnya.

Surabaya, 12 Januari 1998
Untuk suamiku tercinta
Bachtiar Rahmat

Suamiku, anak kita dirahimku gerak-gerak terus. Mungkin dia tak sabar ingin bertemu ayahnya. Terima kasih suamiku, kau telah memberiku segalanya. Kurasakan saat-saat disampingmu adalah saat terbaik dan saat paling bahagia sepanjang hidupku. Oleh karena itu, jagalah dirimu baik-baik, jangan biarkan hal buruk menimpamu.

Hari ini detik-detik jelang peringatan hari lahirmu, hatiku diliputi perasaan bahagia. Tak pernah terbayang olehku, aku bias sebahagia perasaanku akhir-akhir ini. Meski kadang gundah menghampiri, tapi ingin ku katakana kepadamu suamiku, aku benar-benar bahagia bersamamu.

Tak ada hal istimewa yang aku bungkus, selain doa tulus dan cinta yang selalu merona dihatiku untukmu.

Suamiku, aku mencintaimu dengan segenap jiwa dan ragaku. Maafkan karena aku tak pernah bisamenjadi yang terbaik dan terindah untuk hidupmu, yang bias kau banggakan dan membuatmu tersenyum. Inilah aku dengan segala kekurangan dan kelemahanku. Terimalah aku dengan segala kealpaanku,
karena aku…
sangat
MENCINTAIMU.

With Love,
Anisa Al-Husna

Tangis Rahmat pecah membaca surat terakhir istrinya. “Akupun sangat mencintaimu istriku. Kan kukenang engkau sebagai yang terindah yang pernah aku punya”.

-END-

Ku persembahkan sebagai tanda cinta
Untuk suami dan anakku

Jombang, 18 Nopember 2010

*) dari buku Sehimpun Cerpen Jombang “Hujan Sunyi Banaspati” Dekajo 2010.

Pohon Keramat

Denny Mizhar
http://sastra-indonesia.com/

Malam purnama di tahun baru Jawa. Semua penduduk desa Antabrantah timur berbondong-bondong menuju pohon besar yang terletak di dekat sungai. Tepatnya pohon tersebut terletak di perbatasan desa Antrabrantah timur dan Antrabantrah barat. Meskipun sama nama desa tersebut, para penduduknya memiliki pandangan hidup yang berbeda. Desa Antrabarantah timur masih cenderung percaya, desanya ada yang mbaurekso, tinggalnya di pohon besar yang sekarang akan dipuja juga diberi sesajen. Mereka menganggap pohon tersebut harus dirawat, jika tidak maka malapetaka akan menimpah desanya. Sedang desa Antrabrantah Barat tidak mengenal sama sekali hal-hal yang berbau tahayul, penduduknya modern berfikirnya rasional, pekerjaannya banyak dikantoran. Sedang Desa Antrabarantah timur kebanyakan penduduknya adalah bertani. Perbedaan yang jauh. Antara desa Antabrantah Timur dan Antabrantah Barat. Terkadang mereka bersitegang tentang pemahaman dan cara pandang hidup mereka. Desa Antrabrantah timur, diwakili Parman sebagai kepala desa yang sering menghadiri rapat di kecamatan. Sedang Desa Antrabaratah Barat diwakili oleh Stiven.

Malam yang sakral bagi desa Antraberantah timur, seluruh penduduknya berpesta selamatan di dekat pohon besar: melakukan ritual, pertunjukan kesenian tradisional, bau kemayan bertebaran, bunga tujuh rupa tak ketinggalan. Sedangkan Desa Antaberantah barat biasa saja, kebanyakan penduduknya masih sibuk kerja, memanjakan diri pergi mengunjungi klub-klub malam dan beberapa tidur pulas.

Sebenarnya di desa Antrabrantah barat juga tertanam pohon bersar mirip dengan pohon yang ada di desa Antaberantah timur. Tapi sejak setahun lalu sudah tumbang. Kerena kepala desa mereka menjualnya pada investor yang sedang mencari lokasi mendirikan perumahan. Stive, sebagai kepala desa Antaberantah barat, sebelum menjual pada investor telah diingatkan oleh Parman Kepala desa Antaberantah timur. Perdebatan sengit terjadi dikantor kecamatan.

“Stive, jangan sekali-kali menjual tahan di perbatasan desamu dan desaku. Leluhur kita pasti akan marah, bila itu kau lakukan. Desamu dan desaku memiliki leluhur yang sama. Pohon trembesi besar yang ada di desamu adalah leluhur kita laki-laki. sedang Pohon trembesi besar di desaku adalah leluhur kita perempuan”. Stive tak mau diam. Dia juga angkat bicara. “Sekarang mana buktinya bila pohon trembesi itu ada leluhur kita. Mereka sudah mati dan tidak akan hidup lagi. Otakmu yang harus dibenahi. Jika kami dari kampung Antaberantah Barat menjual tanah dan di sana ada pohon besar, tentu desa kami akan mendapat keuntungan besar. Masyarakat kami pun bisa menikmati hasilnya dengan mendirikan bangunan tempat wisata. Mereka juga bisa memiliki dan mebeli hunian rumah nyaman yang didirikan oleh investor. Isi kepalamu itulah yang membuat wargamu masih tradisional”.

Pak Kartono sebagai kepala kecamatan tidak bisa melerai. Malahan menyerahkan urusan tersebut untuk diselesaikan sendiri. Kecenderunagn Pak Kartono membela Stive, sebab di luar forum sebelum rapat dimulai Pak Kartono sudah dihubungi oleh Stive, jika tanahnya desanya laku, pak Kartono juga mendapat bagian. Tidak dapat dicegah lagi, penjualan atas tanah milik desa Antaberantah Barat yang berbatasan dengann desa Antaberantah Timur.

Seluruh penduduk Antaberantah Timur was-was karena pasangan dari pohon yang dikeramatkan dan dipercayai sebagai rumah leluhur meraka harus ditebang. Sebenarnya Parman tahu, bahwa apa yang dipercaya oleh masyarakatnya adalah tak masuk akal. Bukan soal itu, parman ingin mepertahankan pohon-pohon besar yang ada di desa Antaberantah. Parman adalah segelintir orang desa Antaberantah timur yang berpendidikan tinggi. Sebab kenekatannya pergi ke kota untuk kuliah ia menyandang sarjana pertanian. Kepedulian Parman pada desanya yang membuatnya kembali lagi di desa Antaberantah Timur. Padahal Ia mendapat penawaran dari salah satu pengusaha di kota untuk bekerja di perusahaannya yang bergerak di bidang pertanian. Tapi Parman tidak mau, Ia masih ingin mengembangkan tanah kelahirannya. Ia masih ingin bertani tradisional, meneruskan orang tuanya. Hingga pada suatu hari ada pemilihan lurah, Parman mencalonkan dirinya. Sebagai lurah, banyak yang simpati pada Parman karena kepeduliaannya pada pertanian dan membimbing penduduknya untuk bertani dengan baik, rama lingkungan dan menghasilkan tanaman yang bekualitas. Secara ekonomi sebenarnya masyarakat desa Antaberatah timur tidak kesusahan setelah datangnya Parman kembali ke desa. Ia juga mencari saluran-salauran pemasaran hasil pertanian desanya ke kota. Tidak seperti sebelumnya, harus melewati tengkulak yang membeli hasil panen dengan murah dan menjual dengan mahal di kota.

Berbeda dengan Stive, ia anak keturunan Belanda yang masih tinggal di desa Antaberantah Barat. Sebab itu ia suka membangun kampungnya agar masyarakatnya modern. Karena bekerja sebagai petani baginya adalah pekerjaan tradisional dan hanya orang-orang malas saja yang suka bertani. menanam benih, menunggu hingga panen. diselanya Sambil menunggu panen mereka berleha-leha di rumah. ada yang berjudi ada yang adu ayam. itulah pikiran yang dimiliki Stive.

Penduduk Antaberantah Timur menabur kembang di pohon yang dikeramatkan. Suara gending-gendingan mengalur rampak. Di bawah pohon pisang Parman merenung tentang apa yang terjadi suatu hari nanti di desa Antaberantah Barat, jika pohon-pohon ditebang semua dan didrikan bangunan. Apalagi pemanasan global sedang merong-rong bumi. Keasrian desa akan hilang, Ketahan air akan berkurang. Sebenarnya kalau ia berprinsip dengan ilmu-ilmu yang dipelajari waktu dibangku kuliah dulu tentu ia akan berfikir seperti Stive. Ia hanya ingin melestarikan pohon keramat itu dengan cara pandang masyarakat. sebenarnya Ia juga tak percaya akan penunggu pohon tersebut. Yang Ia percaya adalah pohon-pohon akan menyelamatkan desanya dari banjir dan udara yang sejuk juga asri itu saja. Melalui alam fikir masyarakat itulah hal tersebut dilakukan.

Menjelang pagi, pesta perayaan tahun baru Jawa usai. Semua penduduk desa Antaberantah Timur kembali pulang, bertepatan dengan gerimis yang datang. Parman tak segera pulang, ia berteduh di pos dekat pohon trembesi besar yang dikeramatkan oleh penduduk desanya. Ia menyuruh istrinya pulang.

“Pulanglah dek, aku akan di sini dulu”

“Ayo pulang juga mas, mendungnya tebal. sepertinya hujan lebat akan datang”

“Gampang dek, nanti mas juga pulang. jika sudah ingin pulang”

“Jangan terlalu berfikir keras mas, tentang desa Antaberantah Barat. Toh mereka sudah punya kepala desa yang memikirkan mereka”

“Tidak dek, aku hanya kasihan pada penduduk Antaberantah Barat yang dididik oleh Kepala desanya untuk hidup dengan mengutamakan materi belaka”

“Sudahlah mas…., baiklah adinda pulang dulu. Jaga diri ya mas. Hujannya sepertinya akan deras”

Sambil berlari kecil, Istri Parman meninggalkannya. Hujan deras sudah menyapa. Parman melihat lampu-lampu yang menyala berkerlipan di desa Antaberantah Barat. Parman merebahkan tubuhnya di pos yang tersedia tikar. Parman tertidur. Di tidurnya Parman bermimpi. Ada air bah turun dari pegunungan yang di desa agak jauh dari desa Antaberantah. Desa yang penduduknya semua berkebun kopi, tanah yang dibuatnya menanam kopi dahulunya adalah hutan lebat. Tapi atas perintah dari salah satu aparatur Pemerintah yang memiliki HPH, mereka membabat pohon-pohon di sana. Airnya semakin besar. Hingga sampai di sungai perbatasan Desa Antaberantah timur dan Antaberantah Barat. Air bah yang membawa batu-batu mengerus tanah hingga sungai menjadi lebar. Rumah-rumah yang didirikan oleh investor atas penjulanan tanah dan penebangan Pohon keramat di desa Antaberantah Barat pun iku hanyut. Air tak sampai menyentuh rumah penduduk Antaberantah Timur, sebab pohon-pohon besar yang mereka keramatkan menopang pergerakan air bah tersebut. orang berlarian dari desa Antaberantah Barat menuju Desa Antaberantah timur. Kentongan pun berbunyi. Semua penduduk Antaberantah timur berkumpul di pos dekat Pohon dekat pohon keramat. Parman melihat Stive terbawa air bah dan tak ada yang menolongnya bersama orang-orang-orang yang tinggal diperumahan dekat sungai perbatasan desa Antaberantah timur dan barat.

“Mas…Mas… Bangun, ada banjir…. Mas…”

Parman pun bangun di samping kiri dan kanannya banyak orang-orang berkumpul beberapa Ia kenal dan ada juga yang tidak dikenalnya.

“Astagfirullahaladzim… aku tidak bermimpi”

Malang, Desember 2010

Jumat, 21 Januari 2011

Peremajaan Kebudayaan Indonesia

Darmanto Jatman
http://www.suaramerdeka.com/

LEBIH dari sepuluh tahun yang lalu, Rama Mangunwijaya mendirikan Sekolah Dasar Mangunan. Beliau sudah patah arang dengan generasi beliau, juga generasi berikutnya, karena sudah mengalami dekadensi moral yang luar biasa, bukan cuma mentalitasnya now, tetapi juga kependidikannya. Karena itu beliau bekerja keras untuk mewujudkan kependidikan “bebas sekolah” –maksudnya tentu saja sekolah seperti yang sampai sekarang kita kenal di bawah Departemen Pendidikan Nasional itu, yang bibit kawit-nya didirikan oleh Pemerintah Hindia-Belanda dalam rangka Politik Etis. Rama Mangun memimpikan awal satu generasi bebas korupsi, tidak berani menipu dengan statistik dan metodologi, sangat kenal presisi, dan sudah pasti kreatif, dan berani.

Mungkin generasi itu mulai nampak bibit kawitnya ketika di tengah kekosongan prestasi Indonesia di berbagai bidang, anak-anak Indonesia memenangui berbagai award dalam olimpiade ilmu pengetahuan dunia. Tidak cuma satu atau dua, tapi beberapa kali hampir melakukan “sapu bersih” hadiah. Prestasi yang membangkitkan PD (rasa Percaya Diri) bangsa.

Ternyata, awal milenium ketiga ini memang sedang terjadi kebangkitan nasional kedua. Tepatnya peremajaan. Ungkapan Inggrisnya rejuvenisation. Ingat to obat yang diperkenalkan sebagai “juvelon” untuk menjaga agar orang tetap bugar kayak remaja atau juvenile delinquency –kenakalan remaja– yang sering membuat kita putus asa karena “tradisi” tawurannya?! Ternyata bangsa kita sedang mlungsungi pada awal milenium ini. Tidak hanya di bidang sains, olahraga, juga kesenian macam-macam. Seni rupa, bukan saja sudah lahir remaja-remaja seni rupawan pria, tetapi juga gadis, eh, perempuan. Juga seni sastra, lahir novelis-novelis muda seperti Dee, Ayu Utami, Oka Rusmini. “Perempuan lagi, perempuan lagi,” bisik Bilung. Apalagi dalam berbagai “kuasi seni” yang disebut seni massa atau seri pop, alamak, bukan main buanyaknya. Ada Agnes Monica, ada Marshanda, “ada Ciprut” bisik Bilung lagi tanpa malu-malunya.

That’s it! Itu dia prospek kebudayaan masa depan kita. Peremajaan dalam arti sesungguhnya, bukan sekadar “yang tua pensiun diganti yang muda.”

Kuasa Budaya Media

Pelan tapi pasti, budaya media mendominasi kognisi bangsa. Munculnya kaum selebriti produksi televisi –yang oleh almarhum Harry Roesli– disebut sebagai “pembodohan bangsa” –menyisihkan berbagai isu kebangsaan (dan kerakyatan, gumam Bilung seperti pengentasan bangsa dari sindrom kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan yang sudah menjadi kewahiban moral negara. Hiburan, yang memang merupakan keunggulan siaran televisi, menghegemoni tugas-tugas kultural lain seperti pendidikan dan informasi– sehingga muncul kemasan-kemasan infotainment, edutainment dengan entertainment sebagai payung? “Negeri yang sengsara memang membutuhkan hiburan; tidak cuma dari showbiz, juga religlobiz,” kembali Bilung intervensi dari balik pesawat televisi. Pernyataan Bilung untuk sebagian benar. Lihatlah India dengan Bollywoodnya yang gumebyar, padahal disemua jalan di perkotaannya, dengan mudah kita ketemu pengemis yang sengsara. “Lha apa Amerika Serikat juga negeri yang kesrakat karena Hollywood yang gumebyar, sexy, sensasional, penuh glamor?!

Aniway. Tahun 2004 ini adalah tahun padat show media, eh, televisi, yang melibatkan seluruh jaringan kehidupan bangsa. Participatory Entertainment, yang digemari oleh anak-anak, dewasa sampai orang tua dengan AFI (Akademi Fantasi Indosiar), lalu Indonesian Idol, lantas KDI lengkap dengan AMI Award, FFI dan lain-lain dan sebagai –lengkaplah demam entertainment (bukan “consolation” lo) di negeri kita. Demam ini nampak kalau kita mau mendengar wacana bangsa di mana pun WNI berada. Bukan lagi ekonomi atau politik yang mereka perbincangkan, tapi paket-paket acara televisi termasuk tayangan misteri (maksudnya “memedi”), selebriti (maksudnya: perselingkuhan dan perceraian), serta sinetron remaja (maksudnya: cinta asmara di sekolah) serta berbagai acara lain yang dapat ranking.

Adanya lembaga sensor, KPI (Komite Penyiaran Indonesia), justru mengungkapkan apa pun yang dikemas di televisi dan disiarkan itu sudah absah (legitimate), tersosialisasikan, terpranatakan dan akhirnya terinternalisasikan. Nah. Ini yang bisa bikin repot, karena “lesson learned” dari berbagai acara hiburan ini memang bisa runyam karena menanamkan nilai-nilai instan seperti “rich & famous now!” –lihatlah betapa antusiasnya remaja-remaja di seluruh Indonesia praktis ikut seleksi AFI, II, KDI, Indonesian Model dan lain-lain dan sebagainya. Sekalipun memang seleksi-seleksi plus pelatihan yang dilaksanakan bisa mendidikkan pula disiplin kerja, keberanian tampil, serta berbagai kualitas kepribadian yang dipersyaratkan dalam dunia kerja secara global seperti kompetitif, percaya diri dan sebagainya.

Tahun 2004 bisalah dikatakan sebagai puncak perubahan alias transformasi legitimasi nilai-nilai rural-agraris menjadi urban-industrial. Dengarlah kritik dari alumnus Fakultas psikologi UGM yang bekerja di berbagai perusahaan gede, bahwa lulusan UGM –biar pun pintar-kurang PD, kurang kompetitif– sehingga dalam rekrutmen dikalahkan oleh lulusan fakultas psikologi universitas lain.

Mendengar kritikan itu saya teringat Trunajaya, pangeran Madura yang berontak melawan Sunan Amagkurat itu. Ketika dia berhasil menguasai singgasana Mataram Trunajaya sesumbar: “Sudahlah Bung, dasar kamu tedhak turunnya petani; kembalilah ke sawah macul sambil ngurusi sapi!” Inilah perubahan yang amat jelas dari etos “wani ngalah luhur wekasane” jadi “kamu pasti bisa” seperti yang diujarkan oleh Shiv Khern.

Sudah bukan zamannya untuk malu-malu lagi menonjolkan diri. Lihatlah SBY, satriya piningit dari Pacitan itu, dalam kampanye kepresidenannya ia teges berkata: “We are the best.” Dan budaya media memenangkan beliau sampai 60%, sampai-sampai orang ragu akan keefektifan partai dalam menuai suara pemilu.

Nggak Jawa Lagi

Jawa –paling tidak secara normatif– memang serbahalus. Bahkan dalam memerintahpun amat halus. Pakai “Tolong” atau “Maaf” –tapi pemerintahannya bisa amat otoriter, begitu tulis Hans Antlov. Berbagai ungkapan perkara seks yang blakblakan seperti “Vagina,” pasti dicap “tidak njawani”; tapi “tidak njawani” itu bisa “durung Jawa” seperti stigma yang diberikan “makhluk halus” dari Jawa itu terhadap perilaku “wong sabrang” yang “gonyak-ganyuk nglelingsemi” — bisa juga “sudah tidak Jawa lagi,” “post-Jawa.” Ungkapan “Jawa kliwat” itu sesungguhnya sudah bisa kita pergunakan untuk memberi label pada Jawa generasi sekarang, seperti tuduhan Bilung: “Jawa kok serbaterbuka. Tubuh terbuka. Perasaan terbuka. Priye?”; tapi mau dibilang “dulu Jawa” wong ya orang Jawa. Kalau ngomong pakai bahasa Jawa, cuma ngoko campur Indonesia, campur Inggris, campur macam-macam bahasa lokal. Sudah lebih sering nonton film Hollywood, Bollywood, Mandarin ketimbang wayang apa ketoprak apa gamelan. Dandannya juga jauh dari bebet kain, surjan dan semacamnya, malah-malah pakai jins, jas atau sama sekali nggak pakai apa-apa.

Bagi mereka, identitas Jawa sudah tidak jalan lagi kecuali ketika mereka melaksanakan upacara siklus hidup seperti mitoni, procotan, tedhak siten, atau tahlilan, ziarah kubur. Dalam hati manusia “post-Jawa” atau “transkultural Jawa” ini, Jawa muncul bagai “atavisme.” Di tengah berbagai pertimbangan kritis, Bilung ndhodhok memegang tanah dan sesambat: “Gusti. Gusti!”

Sementara tentang kesusasteraan Jawa sendiri, Arswendo Atmowiloto menyebutnya sebagai “Jawa Ngeyel” karena tidak mati-mati –padahal sastra Jawa itu cuma hidup bila ada seminar yang memang disengaja untuk nguri-uri sastra Jawa. Repotnya paling tidak dalam geguritan –putika sastra Jawa itu peniruan saja dari perpuisian Indonesia pasca-Chairil Anwar. Toh sastra Jawa (dan sastra-sastra lain, seperti Sunda dan Bali) memperoleh mesiu tambahan ketika “otonomi daerah” mulai diberlakukan. Muncullah euforia seni daerah (seni geografis, istilah yang dipakai Triyanto Triwikromo) dalam bentuk seni rakyat, seni massal, seni pop –cuma tahun 2004 ini kesadaran ini didukung oleh pengembangan wacana dengan penggalian “local wisdom” & “local genius.” Restorasi Jawa tidak hanya dilakukan oleh Yayasan Kanthil, Swagotra, Permadhani, Ki Enthus Susmono, Ki Slamet Gundana, tetapi juga oleh Tanto Mendut yang tidak bosan-bosannya bikin festival kesenian pegunungan — yang menolak hegemoni kesenian keraton dan “memaksa”-nya berdialog dengan kesenian pedesaan.

Artinya, mereka sedang memperkenalkan kembali Jawa Plural, Jawa multikultural sampai kelak-dalam waktu singkat –muncul Transkultural Jawa yang memenuhi ramalan: “Dibilang Jawa sudah bukan; dibilang bukan Jawa masih.”

Inilah masa depan yang dekat dari kesusasteraan, kesenian, kebudayaan kita di Jawa Tengah ini khususnya.

Skenario Kabudayan

Pertanyaan adalah: adakah peremajaan kembali kebudayaan kita tahun 2004 ini sudah maktub dalam “script of life” kita, atau hanya sebuah intermeso, improvisasi atau bahkan deviasi? Secara instink (baca: kesadaran kosmis), rasanya kok kita yakin adanya skenario ini, seperti kita yakin akan “sangkan-paraning dumadi” –juga dalam perjalanan kultural bangsa. Tapi kalau benar ada peremajaan kembali, bukankah bakal ada krisis identitas lagi? Bukankah sastrawan, seniman, ilmuwan, agamawan kita hanya akan ubek saja dengan cari pengakuan? “Lha ya ngono,” seru Bilung, “Lha wong kebanyakan elite budaya kita tu sibuk golek keplok gitu lho!” Biar begitu mbok ya kita dengan pendapat Triyanto Triwikromo: “Identitas tu tidak geografis lagi, tapi pada kualitas karya.” Lha mbok ya gitu. Biarpun kita mengalami peremajaan, “golek keplok,” tapi urusannya sudah kekesadaran yang lebih tinggi: Kreativitas otentisitas, orisinalitas. Gitu! Bacalah dengan mata batin Anda!

A Musthafa A Rodhi Murtadho A Wahyu Kristianto A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Wachid BS Abdullah al-Mustofa Abdullah Khusairi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimanyu Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Maulani Adek Alwi Adhi Pandoyo Adrian Ramdani Ady Amar Afrizal Malna Agnes Rita Sulistyawati Aguk Irawan Mn Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Subiyakto Agus Sulton Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahm Soleh Ahmad Farid Tuasikal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Luthfi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadie Thaha Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rasyid AJ Susmana Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander Aur Alexander G.B. Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Rif’an Aliela Alimuddin Alit S. Rini Alunk Estohank Ami Herman Amich Alhumami Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminudin TH Siregar Ammilya Rostika Sari An. Ismanto Anaz Andaru Ratnasari Andhi Setyo Wibowo Andhika Prayoga Andong Buku #3 Andrenaline Katarsis Andri Cahyadi Angela Anies Baswedan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Sudibyo Anton Wahyudi Anwar Holid Anwar Siswadi Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Zulkifli Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayu Utami Azyumardi Azra Babe Derwan Bagja Hidayat Balada Bandung Mawardi Bayu Agustari Adha Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Bernadette Lilia Nova Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Bhakti Hariani Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budi Winarto Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Bustan Basir Maras Camelia Mafaza Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cecep Syamsul Hari Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Choirul Rikzqa D. Dudu A.R D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Dantje S Moeis Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Darmanto Jatman Dedy Tri Riyadi Delvi Yandra Denny JA Denny Mizhar Dewi Anggraeni Dian Basuki Dian Hartati Dian Sukarno Dian Yanuardy Diana AV Sasa Dinar Rahayu Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi Warsidi Edy Firmansyah EH Kartanegara Eka Alam Sari Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil Amir Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Evan Ys F. Budi Hardiman Fadly Rahman Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fani Ayudea Fariz al-Nizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatkhul Aziz Felix K. Nesi Film Fitri Yani Franditya Utomo Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Garna Raditya Gde Artawan Geger Riyanto Gendhotwukir George Soedarsono Esthu Gerakan Surah Buku (GSB) Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Tri Atmojo H. Supriono Muslich H.B. Jassin Hadi Napster Halim H.D. Hamberan Syahbana Hamidah Abdurrachman Han Gagas Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Priyatna Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasan Junus Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Helwatin Najwa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendriyo Widi Ismanto Hepi Andi Bastoni Heri Latief Heri Listianto Herry Firyansyah Heru Untung Leksono Hikmat Darmawan Hilal Ahmad Hilyatul Auliya Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur Husnun N Djuraid I Nyoman Suaka Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilenk Rembulan Ilham khoiri Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Budi Santosa Imelda Imron Arlado Imron Tohari Indiar Manggara Indira Margareta Indra Darmawan Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ingki Rinaldi Insaf Albert Tarigan Intan Hs Isbedy Stiawan ZS Ismail Amin Ismi Wahid Ivan Haris Iwan Gunadi Jacob Sumardjo Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean-Marie Gustave Le Clezio JJ. Kusni Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Julika Hasanah Julizar Kasiri Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kadir Ruslan Kartika Candra Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Ketut Yuliarsa KH. Ma'ruf Amin Khaerudin Khalil Zuhdy Lawna Kholilul Rohman Ahmad Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Krisandi Dewi Kritik Sastra Kucing Oren Kuswinarto Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lenah Susianty Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto M Shoim Anwar M. Arman A.Z. M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Harya Ramdhoni M. Kasim M. Latief M. Wildan Habibi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria hartiningsih Maria Serenada Sinurat Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Marsus Banjarbarat Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masriadi Mawar Kusuma Wulan Max Arifin Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Mezra E. Pellondou Micky Hidayat Mihar Harahap Misbahus Surur Moh Samsul Arifin Moh. Syafari Firdaus Mohamad Asrori Mulky Mohammad Afifuddin Mohammad Fadlul Rahman Muh Kholid A.S. Muh. Muhlisin Muhajir Arifin Muhamad Sulhanudin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Azka Fahriza Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Nafi’ah Al-Ma’rab Naskah Teater Nezar Patria Nina Setyawati Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noor H. Dee Noval Maliki Nunuy Nurhayati Nur Haryanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurudin Octavio Paz Oliviaks Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pamusuk Eneste Panda MT Siallagan Pandu Jakasurya PDS H.B. Jassin Philipus Parera Pradewi Tri Chatami Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R Sutandya Yudha Khaidar R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rahmat Sutandya Yudhanto Raihul Fadjri Rainer Maria Rilke Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridha al Qadri Ridwan Munawwar Rikobidik Riri Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rizky Andriati Pohan Robert Frost Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Romi Febriyanto Saputro Rosihan Anwar RR Miranda Rudy Policarpus Rukardi S Yoga S. Jai S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Gerilyawan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra SelaSastra ke #24 Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Subhan SD Suci Ayu Latifah Sulaiman Djaya Sulistiyo Suparno Sunaryo Broto Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunudyantoro Suriali Andi Kustomo Suryadi Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Susilowati Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Bahri Syam Sdp Syarif Hidayatullah Tajuddin Noor Ganie Tammalele Tan Malaka Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Tengsoe Tjahjono Th Pudjo Widijanto Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Joko Susilo Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Umar Kayam Undri Uniawati Universitas Indonesia UU Hamidy Vyan Tashwirul Afkar W Haryanto W.S. Rendra Wahyudin Wannofri Samry Warung Boenga Ketjil Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Web Warouw Wijang Wharek Wiko Antoni Wina Bojonegoro Wira Apri Pratiwi Wiratmo Soekito Wishnubroto Widarso Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Wing King WS Rendra Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yosi M. Giri Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Yuyu AN Krisna Zaki Zubaidi Zalfeni Wimra Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhaenal Fanani Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar Zulhasril Nasir