M.D. Atmaja
http://sastra-indonesia.com/
“Allahumma shalli ‘ala sayyidina Muhammad
ruh bersaksi sederaian gerimis menghantarkan rasa atmosfer semesta
terkumpul di dasar laut di kedalaman rongga dada pujangga [I]” (KPM, 2007: 1)
Begitu, Nurel Javissyarqi (NJ) mengawali karyanya yang berjudul Kitap Para Malaikat (KPM) dengan muqaddimah. Butiran puitik yang dibingkaikan sosok NJ melalui KPM-nya ini digerbangi shalawat atas Nabi, Muhammad SAW. Melantun, sebagai pembuka dari catatan panjang yang sungguh tidak bisa dianggap remeh. Seolah sudah mendapatkan deretan wangsit (baca juga dengan: kesaksian), NJ menembangkan shalawat untuk mengabari kita kalau Para Malaikat yang ditemui tidak hanya mentasbihkan keagungan Allah Ta’ala, melainkan juga berderet dalam rangka merajut doa untuk pengagungan Nabi SAW.
Membaca Kitab Para Malaikat
Mencermati sebait di awal ini, saya pun kemudian undur diri untuk mengheningkan diri sejenak. Menyusupi dan ikut bershalawat dalam hening sambil menimbang bobot kata pembuka dalam ayat I surat muqaddimah ini. Pasti, pikir saya dalam prasangka baik, sang NJ mengumpulkan sekarung nilai dalam shalawat yang tentu saja dapat dipergunakan sebagai bahan untuk menterjemahkan keakuratan usaha dalam rangka mengumpulkan berkah cahaya Ruhaniyyuun. NJ menapak tilas di perjalanan umurnya untuk mendaki dan bersusah sungguh demi mengungguli kemerlap dari makhluk-makhluk yang disucikan (KPM, 2007: 1).
Berhantar bait (baca: ayat) pertama dalam judul (baca: surat) Muqaddimah; Waktu di Sayap Malaikat, pun di sini NJ menitipkan doa keselamatan untuk seorang utusan, Nabi Besar Muhammad, penutup para Nabi Allah. “Ya Allah, limpahkanlah rahmat kepada Nabi Muhammad” NJ memulai mengungkapkan rasa yang dikristalkan dari dalam dada.
Penempatan sebaris doa ini, dimungkinkan saja, bahwa NJ bermaksud menebarkan keselamatan di muka bumi bersamaan dengan proses pembacaan KPM oleh masyarakat. Seperti yang pernah diungkapkan NJ sendiri pada hari Jum’at tanggal 23 Juli 2010 di Padepokan Selo Aji, Trowulan, Mojokerto, yang menyatakan bahwa, “KPM ini apabila cukup disimpan di rumah, niscaya rumah itu dapat terhindarkan dari marabahaya”. Pengakuan ini memberikan saya sekelumit bekal, adanya bait (baca: ayat) pertama di Muqaddimah KPM yang mengisyaratkan akan keselamatan dan sekaligus cinta, yang mendatangkan keselamatan tersebut, dari NJ pada keagungan Nabi Muhammad SAW. Khasanah cinta yang dibawa NJ, pun menjadi dorongan utama dalam panjangnya perjalanan. Masa ini membawa NJ berpapasan dengan simbol spiritual (maupun mistis) yang pada perkembangan selanjutnya menjadi pengalaman religi. Cinta, tertuang dalam estetika religius yang kental. Aspek ini membentuk KPM dengan sedemikian rupa sebagai sarana pemujaan atas cinta keilahian.
Akiya Yutaka (melalui Abdul Hadi W.M., 2004: 5) mengatakan bahwa doa dan cinta serta sembahyang memiliki peran yang sangat penting dalam proses penciptaan puisi. Muqaddimah; Waktu Di Sayap Malaikat memuat tiga aspek tersebut. Shalawat Nabi atas makro-kosmos. Sebait, yang sudah mengandungi doa, cinta serta sembahyang, seperti yang diungkapkan Akiya Yutaka di atas. Mendoakan karena mencintai, dan rasa cinta yang hadir menuntun pada sembahyang (sembah-Hyang). Akantetapi, dari tiga aspek maknawi proses penciptaan KPM, lebih didasari oleh aspek cinta. Rasa cinta, memiliki timbangan yang lebih berat daripada dua unsur yang lain.
Cinta (mahabbah) dapat diungkapkan sebagai nilai hidup yang merupakan santapan hati, makanan ruh dan juga kesenangan (Al-Jauziyah, 1998: 421). Melalui cinta ini, NJ menghidupkan jalan renungan untuk mensketsa warna jiwa cinta para Malaikat. Sampai pada noktah perjalanan tertentu, rasa cinta itu menjadi ruh pelita perjalanan jiwa yang bersaksi kemudian mengendap.
Rasa cinta menuntun pada laku perjalanan panjang yang secara tidak langsung menjadi laku dalam membuat gudang pengalaman. Perjalanan mistis (atau mungkin juga spiritual) yang menghenyak di dalam sanubari. Diawali dalam sesenggukan meresapi cinta yang menumbuh dalam batiniah yang dengan puisinya ini, NJ menasehati dirinya sendiri dan (tentu saja) para pembaca:
Maka jangan menghitung masa bertirakat,
hisaplah kutub keberadaan kekuatannya [V]
menempuh jalan pemahaman untuk sesuatu yang terus dicintai, terus disugestikan akan adanya keharusan akan kehendak sehingga menjadi tabu kalau sampai menghitung pengorbanan yang telah dipersembahkan. Cinta tidak memiliki rumus hitungan, tentang seberapa banyak yang akan didapat dengan seberapa banyak yang akan diberikan. Sebab itu, cinta jauh dari untung dan rugi. Di sana tidak ada hukum-hukum ciptaan manusia seperti ekonominya Smit atau matematika yang memiliki dasar hitungan. Rasa cinta adalah senyawa ilahiah, yang ketika mengatakan cinta musti dibarengi dengan perjalanan pemahaman sebagai nyawa persembahan seperti dalam ayat IV surat Muqaddimah.
Ikhlasnya dalam pengorbanan, melepaskan segala kepentingan yang mengunsurkan talian erat pada dunia. Dia hanya rasa untuk mencintai, yang entah dalam kadar memberi atau kadar menerima. Panjangnya dan beratnya perjalanan cinta akan membawa kekuatan serta maknanya sendiri, membuat setiap kita mendaki keluhuran jiwa yang melewati kedudukan Malaikat (Ruhaniyyuun).
Muqaddimah; Waktu Di Sayap Malaikat memiliki bangunan struktur makwani yang indah. Membawa audiens untuk berusaha keras menilik ke dalam diri. Melepaskan ego kebenaran sendiri untuk terus menerus berjalan di jalan rasa sebagai jalan hidup. Jadi, seperti dalam pandangan hidup masyarakat Jawa, manusia saat ingin mencapai pengalaman puncak religius beserta keluhuran tidak perlu keluar dari diri sendiri (Beatty, 2001: 224). Pengetahuan tentang diri, biasanya didorong kehendak dari cinta yang menghasilkan kerendahan diri. Hal ini cukup tersembunyi. Entah sengaja disembunyikan oleh NJ atau secara tidak sengaja termaktub di dasarnya tanpa pengetahuan si empu KPM, Nurel Javissyarqi.
Sebagaimana ilham dari para Malaikat (Ruhaniyyun), pengetahuan ini dibungkus dalam ayat VIV yang secara gamblang membawa pada hukum tua:
Tubuh letih mata senja setajam pandangan arif menakar peristiwa,
segenggam benih pada, senyum taburan suci para petani [XIV]
Baris pertama di ayat tersebut, menghadirkan nuansa “senja” serta “tubuh letih” yang berisyarat telah dilaluinya tapak laku yang panjang. Waktu yang tidak singkat dalam pengembaraan, dari muda ke masa tua. Simbolisme yang dibangun mengklaim soal kearifan yang dimiliki orang tua. Nah, orang tua di sini pun akhirnya membawa pada dua pengertian baru. Orang yang sudah berumur tua yang sudah makan banyak garam dunia, atau orang tua yang dikurung tanda kutip. Dua kriteria ini memiliki esensi yang sungguh berbeda jauh. Kalau orang tua karena tingkatan umur, membutuhkan adanya proses yang kedatangannya dapat ditunggu. Lain halnya dengan orang tua dikurung tanda kutip, dia bisa saja anak muda namun dengan usaha keras menjalani ritme pengetahuan yang dibutuhkan. Orang tua belum tentu menjadi orang tua (Wong Tua) dan yang muda tidak menutup kemungkinan mencapai taraf Wong Tua tersebut.
Keterkaitan struktur simbol antara tubuh letih dan (mata) senja) yang menuju pada kebijaksanaan dapat ditemukan dalam ayat “walaupun air laut berselimutkan kain sutra angkasa jiwa [XI]” oleh NJ, disimbolkan kembali dalam irama “segenggam benih pada [XIV]”. Tanaman satu ini tumbuh di lingkup masyarakat Jawa yang mengandung unsur kehidupan yang tinggi. Padi, kalau berisi dia akan menunduk, rendah diri, lain halnya apabila gabug, tidak berisi, batangnya akan tegak berdiri menantang langit.
NJ mungkin saja terlupa, kalau tidak setiap (mata) senja atau umur yang tua membuahkan kebijaksanaan. Akantetapi, NJ langsung menisbatkan nilai akan “tua” ini pada kaum petani. Golongan masyarakat yang terus berkurang peminatnya (ketimbang menjadi PNS), menjadi figur bagi manusia bijaksana. Mungkin, hal ini dipahami dari konsep laku hidup para petani itu sendiri. Membicarakan KPM, seperti yang sudah saya ungkapkan dalam tulisan “Membaca Kulit Luar Kitab Para MalaikatNurel Javissyarqi” bahwa sama dengan menelusuri kehidupan batin (dan juga mistis) masyarakat Jawa. Dengan demikian, kita dapat melihat simbol petani, sebagai golongan masyarakat pertama yang sering disebut dengan “abangan”. Petani (adalah) sebagai abangan yang menjalankan laku hidup Islam Kejawen (Koentjaraningrat dalam Magnis-Suseno SJ, 1985: 13).
Islam Kejawen (sebut juga Agami Jawi) sebagai agama dan juga pandangan hidup masyarakat petani, yang merupakan golongan masyarakat tradisional. Petani sebagai masyarakat tradisional karena kepercayaan dan perjalanan batin (spiritual) masyarakat Jawa telah berkombinasi antara kepercayaan masyarakat, Hindu-Budha, dan Islam yang sudah dijawakan. Hal ini sudah menjadi ciri khas kebudayaan Jawa yang cenderung menyaring kebudayaan luar untuk dijawakan (Magnis-Suseno SJ, 1985: 1).
Petani, hadir sebagai pandangan hidup masyarakat Jawa yang mempercayai buah dari perilaku (perbuatan). Misalnya, apabila kita berbuat kebaikan, maka kita pun akan memanen kebaikan. Keadaan ini sering muncul dalam ungkapan masyarakat Jawa yang saya kutip bebas, “Ngunduh wohing pakarti” yang dapat dimungkinkan sebagai hasil serapan dari kebudayaan Hindu-Budha mengenai hukum karma.
Prinsip kebijaksanaan petani yang dihadirkan NJ dalam Surat Muqaddimah, mengarahkan individu pada refleksi diri, seperti ungkapan dalam Dhammapada V (Narada, 1996: 93) di bawah ini:
“Oleh diri sendiri kejahatan dilakukan,
oleh diri sendiri seseorang dicemari,
oleh diri sendiri kejahatan tidak dilakukan,
oleh diri sendiri seseorang disucikan.
Baik kekotoran maupun kesucian bergantung pada diri sendiri.
Tak ada seorang pun yang disucikan oleh orang lain.”
Kegiatan bercocok tanam (petani) mengetengahkan pandangan hidup yang sederhana namun mampu menghindarkan manusia dari penderitaan. Pandangan hidup tersebut, mungkin dijawakan oleh masyarakat Jawa dari ajaran Samyutta Nikaya (Narada, 1996: 87) yang mengungkapkan bahwa, “Sebagai benih yang kau tabur demikian pula akan kau petik buahnya”.
Pandangan hidup yang mengedepankan nilai (serapan dari) dunia petani juga mendapatkan pengaruh (katakan juga sebagai penegasan) dari ajaran Islam yang sudah termodifikasi di Persia dan India. Tabur-tuai, begitu garis besar pandangan hidup ini, banyak terdapat dalam khasanah Islam. Untuk mendukung gagasan ini, saya mencoba mengambil contoh, sabda Nabi SAW (Al-Qasimi, 2010: 342) yang mengungkapkan nilai timbal balik, yaitu “Sesungguhnya orang yang tidak menyayangi, maka tidak akan disayangi.” Sabda Nabi SAW ini menyiratkan arti pentingnya peran individu dalam merasakan akibat. Harus ada sebab untuk mencapai akibat, dan sebab ditentukan oleh diri sendiri sebagai subjek utama. Firman Allah dalam surat Ar Ra’d ayat 11, yang menyatakan bahwa “Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum, kalau kaum itu sendiri tidak mau merubah nasibnya” merupakan penegasan utama dalam gagasan ini.
Sepintas, melihat nilai universal yang tertuang dalam simbol ini memberikan pengalaman pada penulis, bahwa hukum petani memiliki keuniversalan nilai kebijaksanaan untuk manusia dalam menjalani hidup. Hakekat hidup dari masyarakat Jawa, yang dituangkan NJ menawarkan kearifan mencerahkan. Mendewasakan jiwa karena mampu menjadi makanan hati bagi individu yang memahami. Surat Muqaddimah menumbuhkan pengertian yang menuntun pembaca pada klimaks, khatarsis dipenuhi dengan baik. Demikian, pembaca dapat meraih “Hadiahkan bulir-bulir jagung dari keranjang emasmu … [XV]”.
Ayat selanjutnya memberikan gambaran dalam nuansa baru. Ini, yang mungkin menurut Marhalim Zaeni (Javissyarqi, 2006: 473) yang disebut sebagai “… lompatan-lompatan makna dalam bahasa yang berguling-guling, ada jerit dari jerih kata yang diperas berulang-ulang, ada laut yang saling berbalik arah debur ombaknya.” Sebelum menyempatkan diri menjajaki ayat selanjutnya, saya ingin mengetengahkan lompatan-lompatan pikiran itu. NJ, awalnya memasang padi dan petani, namun, makna petani pun disusupi dengan jagung yang menggandeng kalimah pengembaraan.
Kita bisa melihat pada ayat XVI surat Muqaddimah berikut:
Membasuh kaki-kaki kembara ke makam para wali,
Ada teratai bermekaran dalam bentangan waktu petang hari,
Malamnya purnama siangnya menutup kelopak-kelopak penuh rahasia [XVI]
Melalui ayat ini, adanya penegasan akan pengembaraan dari tanah suci ke tanah suci lainnya. Perjalanan yang pada akhirnya membawa pada penemuan akan keindahan. Manifestasi keindahan yang dihadirkan oleh pengalaman masa lalu dari para Wali yang saat ini telah menjadi pepunden. Pemujaan dan cinta kasih akan ajaran manusia bijak. Di langkah pengembaraan mengunjungi orang-orang mati, NJ menemukan makna tersendiri. Pun, di sana, pada wilayah yang sering dianggap sebagai akhir dari kehidupan, NJ menghisap aroma kesucian makna atas kehidupan itu sendiri yang hadir bersamaan dengan kesempurnaan cahaya (akhir).
Ayat XVI surat Muqaddimah menyuguhi kita dengan simbolisasi dari bunga Teratai yang dapat dimaknakan sebagai kesucian jalan (dan maupun tujuan). Teratai yang berpadu dengan purnama, bulan di tanggal 15 dalam penanggalan Jawa (malam) yang dapat dimaknai sebagai kesempurnaan. Teratai dan rembulan dalam perjalanan ziarah, sebagai simbolisasi pembukaan akan rahasia. Nur ilahi, yang entah berupa wangsit (baca: bisikan) yang hanya akan di dapat di waktu malam.
Perjalanan malam di mana di dalam suatu riwayat yang tersebar dari mulut ke mulut, di katakan sebagai jalan dalam mencapai derajat tinggi di dunia dan alam selanjutnya. Masyarakat Jawa, mengenal istilah tirakat, yang disinggung dalam ayat V surat Muqaddimah, yaitu sebagai jalan tapa brata untuk mengurangi tidur demi mendapatkan wahyu. Hal ini biasanya dilakukan di malam hari, dimana, menurut kepercayaan masyarakat Jawa, malam hari sebagai waktu yang heneng (diam) yang dipenuhi dengan wening (kejernihan). Di saat seperti ini juga, menjadi waktu bagi para Malaikat (Ruhaniyyuun) untuk turun ke bumi dalam rangka mencatat manusia yang mencintai Keluhuran (Hidup atau Urip), dan menebar pengetahuan (wahyu atau pertanda) serta rahmat.
Apabila kita membandingkan dalam pemikiran sejarah ajaran Islam, malam hari juga menjadi malam yang sakral untuk beribadah. Ajaran Islam mengetengahkan ibadah di malam hari yang sering disebut dengan Qiyamullail yang di dalamnya terdapat berbagai manfaat. Allah SWT memerintahkan umat Islam untuk menjalankan Qiyamullail yang ada dalam Surat Al-Furqan ayat 64, “Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka”. Pun, kita bisa melihat bagaimana Allah SWT memperjalankan Nabi SAW dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha waktu malam hari.
Perjalanan malam yang dapat juga disebut dengan tirakat adalah perjalanan beribadah. Perjalanan ini tentu saja berbeda dengan perjalanan kencan semalaman atau perjalanan rombongan anak muda dalam arakan motor panjang yang sok-Mbois. Perjalanan, yang lebih pada penyelaman ke dalam diri demi mencapai pemahaman dan pengertian akan hakikat kehidupan. Kegiatan merasuki diri sendiri ini dapat dipastikan adanya kehendak sebagai dasar dari laku atas pelaksanaan dari doa, cinta, dan juga sembahyang.
Jarak yang ada di antara diri (individu) dengan pemahaman hakekat kerahasiaan yang tersembunyi dan biasanya terungkap di malam hari. Melakukan perjalanan ini akan membuahkan buah nikmat dari prihatin (menjalani kesusahan), harus ditempuhi bersama yakin dan ketulusan dalam kesabaran yang penuh. Hingga, sang NJ pun menulis demikian:
Memindahkan rasa sakitmu dari tangan alam ke titian waktu,
serpihan cahaya langit membatu granit, serupa butiran garam
dihempaskan ombak ke bunga karang berulang-ulang [XVII]
Niat yang sudah diungkapkan dalam ayat V surat Muqaddimah ini membuat seorang pejalan harus rela untuk tidak menghiraukan sakit saat terpaksa berhadapan dengan diri sendiri. Masa bertirakat (dalam ayat V) yang (mungkin) adalah perjalanan panjang membuatnya tertatih sendirian. Si pejalan ini hanya memiliki pengetahuan sebagai bekal yang dimunculkan dalam simbol serpihan cahaya langit dan butiran garam, pun berpapasan dengan gelombang. NJ (sang pejalan) di sini, mungkin saja sadar diri kalau dirinya manusia biasa, hawa nafsu dan rasa cinta pada dunia menjelma menjadi ombak dan bunga karang yang hampir saja (mungkin sudah) mengalahkan dirinya.
Hal musabab yang perlu ditilik lebih dalam adalah nuansa batin yang ada di sana. Pejalan (manusia) yang bertekat bulat sampai menemukan sucinya kesempurnaan, masih terpeleset di getir hawa nafsu sendiri. Lalu, bagaimana NJ menulis panjang lebar kalau, toh, dirinya sendiri berjatuhan di sana, setelah ilmu semasa pengembaraan dikalahkan (dihancurkan) sendiri? Ini bisa saja menjadi nasehat untuk kita (dan tentu saja untuk NJ sendiri) bahwa di dalam diri manusia ada musuh (serta kawan) yang perlu dicurigai.
Melepaskan halaman pertama dicerna pikiran, saya memberanikan diri untuk membuka lembaran setelahnya. Di sini, terjadi lompatan pemikiran kembali. NJ meresapkan simbil dan menghiaskan bunga Wijayakusuma pada bangunan struktur maknanya. Perjalanan yang menurut saya, jauh merasuk ke dalam sendi-sendi kebatinan masyarakat Jawa. Bagaimana NJ memandang bunga Wijayakusuma ini, yang dalam penciuman sepintas sebagai syarat seorang Ratu Adil. Pun, NJ menghadirkan sosok Imam Mahdi yang ditunggu-tunggu manusia se-Jawa.
Nurel Javissyarqi membingkaikan mimpi tua atas hijrahnya masyarakat yang penuh dengan kekacauan dan penderitaan dalam masa pageblug, dilangkahkan ke titian menuju ke tatanan yang diidamkan. Hidup manusia yang dipenuhi berkah dalam situasi yang selamat dan sejahtera. NJ, memberikan hubungan yang cukup jelas antara bunga Wijayakusuma dengan kehadiran Ratu Adil dalam ayat XVIII surat Muqaddimah. Akhirnya, saya mengheneng dan mengheningkan pikiran untuk sejenak. Membayangkan mimpi kami (manusia Jawa) menyoal kedatangan Ratu Adil. Dia (Ratu Adil) sosok pemimpim yang mendapatkan petunjuk Allah dalam kerja pemerintahannya untuk membawa seluruh manusia dalam kesejahteraan, yang seperti diramalkan Raja Jayabaya dari Kediri (Yoedoprawiro, 2000: 57-58).
Ratu Adil, sebagai mimpi kolektif masyarakat Jawa, oleh NJ dikatakan bahwa kedatangannya dibarengi dengan bunga Wijayakusuma yang merekah. Saya terhenyak, keluar rumah dan mencari bunga Wijayakusuma itu, mengamati daunnya namun saya tidak mendapatkan pengertian akan Ratu Adil. Wijayakusuma sebagai syarat penobatan yang akhirnya dapat direngkuh sebagai pemahaman atas tingkatan kemampuan seseorang dalam menjadir raja. Tingkatan ini bisa disebut sebagai kriteria akan kemampuan yang harus dipenuhi.
Ayat XVIII dalam Muqaddimah ini memiliki hubungan dengan sejarah keyakinan masyarakat Jawa. Apabila sosok Ratu Adil adalah seorang penguasa Tanah Jawa, maka bunga Wijayakusuma adalah sosok pribadi dan laku dari penguasa tersebut. Hal ini dapat kita lihat lebih jauh di dalam Serat Centini yang menceritakan bagaimana Raja Kresna melabuh Wijayakusuma untuk menjadi bekal bagi seorang penguasa (Ranggasutrasna dkk, 1992: 11-12).
Manfaat Wijayakusuma ini masih tersembunyi di dalam KPM. Mungkin, NJ ingin menjadikan setiap pembaca KPM sebagai pengelana sebagaimana sosok NJ sendiri. Dalam ayat XX, tabir misteri itu sedikit dibuka dalam nuansa tersendiri, sebagai berikut:
Dasarnya sakit ada tombonya, sejengkal air bengawan mengaliri mata kaki,
menikmati tapakan melangkahi bencah membaca peta pesisir,
menjelma tarian pulang berjejak makna peristiwa sejarah [XX]
Suka atau tidak, NJ benar-benar memaksa kita untuk menjadi pengelana. Lewat lompatan pikiran yang sungguh mengagetkan ini, NJ merasuki jiwa yang tadinya diam untuk bergejolak dan mengikuti rasa hati. Di ayat XX surat Muqaddimah ini, kita musti kembali pada Wijayakusuma. Mengurai putihnya kelopak, daun serta batang yang menjulur. Lalu, apa yang sebenarnya akan kita cari untuk memahami ayat XX surat Muqaddimah ini? Menurut hemat saya, NJ membangun struktur tanda yang bertujuan untuk mengingatkan kita agar tidak melupakan jati diri, atas asal-muasal tanah kelahiran (Hidup). Di setiap tanah yang menjadi tempat tertumpahnya darah, ada jalan lain yang dapat membawa kita pada kesempurnaan.
Lalu, kenapa saya masih saja menyarankan agar terus mencermati Wijayakusuma sampai ke dalam? Cerita masa lalu (sejarah dan bisa saja dongeng) yang bersemayam di tanah ini, maksud saya adalah Jawa, dapat dijadikan sebagai uraian akan jawaban. Hal ini bisa kita lihat dari bagaimana NJ menghadirkan semangat dan mimpi akan Ratu Adil yang diramalkan Jayabaya. Kita juga mendapati semangat untuk membacai lembaran kitab lama demi meraih syarat pemahaman akan bagaimana sebenarnya hakekat seorang raja. Wijayakusuma untuk mengobati luka hati yang merebak (Ranggasutrasna dkk, 1992: 12), air bengawan sebagai laku pengetahuan kalau sungai menuju pada muara laut yang lapang menerima segala tanpa membedakan dan mencaci. Tarian pulang menjabarkan mengenai ajakn untuk mencermati hati sendiri, dan kemudian sejarah membawa kita pada pengolahan rasa akan asal-muasal kehidupan. Sejarah yang dalam ayat XX surat Muqaddimah KPM lebih menjorokkan pengertian pada hakekat kehidupan manusia, seperti dalam pandangan hidup masyarakat Jawa mengenai: “Sangkan paraning dumadi.”
Menilik sejarah sangkan paraning dumadi yang dapat diuraikan sebagai dasar atas perjalanan batin manusia dalam usaha memahami asal kehidupan itu sendiri. Konsep ini, menurut Maqnis-Suseno (1985: 117), sebagai inti dari spekulasi kegiatan mistik masyakat Jawa (Agama Jawi), yang mana memiliki tujuan untuk mencapai kesatuan antara mati di dalam hidup dan hidup di dalam mati. Menjalani laku dalam usaha memahami sangkan paraning dumadi, berarti melakukan perjalanan batin tingkatan spiritual yang paling tinggi. Keadaan ini, yang oleh NJ, dituang dalam ayat XXI surat Muqaddimah di bawah ini:
Mengagungkan rahmatNya sejauh menimba sumur terdalam,
jikalau bersemedi di dalam gua nurani [XXI]
Menjalani laku untuk mencapai sangkan paraning dumadi akan mengajak manusia mencapai pemahaman akan hidup, dimana terjadinya penyatuan yang materi dan yang batin. Dalam konteks ini, seringkali disebut sebagai proses penyatuan antara Tuhan dan hamba. Memahami untuk mengerti (ngerti dalam bahasa Jawa) karena sebagian manusia Jawa menyatakan kalau sebenarnya Tuhan tidak dijumpai di Mekah, melainkan dalam batin sendiri (Mulder, 1984: 24). Usaha yang perlu dilakukan untuk mencapai kemanunggalan ini, seperti kata Mulder di atas bahwa, Tuhan ada di dalam hati, maka manusia (Jawa) harus memahami keberadaan diri sendiri. Pencapaian ini terlebih dahulu perlu memahami nilai dari sangkan paraning dumadi, sebagai pengetahuan mengenai manusia (Beatty, 2001: 268).
Tujuan ini, jelas menuntut untuk menjalankan etika kebatinan, yang oleh Mulder (1984: 39), disebutkan sebagai “Sepi ing pamrih, rame ing gawe. Memayu hayuning bawana.” Ayat XXI surat Muqaddimah juga mengandung unsur ini. Benar-benar membentangkan aspek pemaknaan atas simbolisme yang NJ bangun bersamaan dengan aura jalan kebatinan Jawa. Tentu saja, ini sebagai hasil yang bukan karena faktor kebetulan, melainkan tumpukan dari kerja keras yang terarah karena laku yang dijalankan.
Tapak perjalanan batin masyarakat Jawa yang (sepertinya) telah dilalui NJ membawa pada penyaksian yang termaktub dalam ayat XXII surat Muqaddimah. Atas penyaksian itu, NJ memberikan pemastian dengan ayat XXIII dan XXIV surat Muqaddimah. Sampai pada ayat XIV surat Muqaddimah ini, NJ menjabarkan pada kita mengenai ruang batin yang selama ini mendarah daging dalam kehidupan (masyarakat Jawa).
Muqaddimah; Waktu Di Sayap Malaikat, mungkin saja sebagai gambaran keseluruhan atas Kitab Para Malaikat yang terdiri dari 20 Surat (judul). Perempuan, seperti dalam surat Membongkar Raga Padmi juga dibahas di sini. Penjelmaan sosok pendamping kaum Adam yang sungguh kharismatis, sekaligus misterius akan memancing setiap kita untuk bertanya. Atau mencari tahu sendiri tentang peran perempuan dalam “Hikayat di bawah sadar penciptaan [XXVI]” maupun sesuatu “yang mengalir di bawah hati senantiasa berabadi [XXVII]”. Kemisteriusan dalam bingkai penuh pesona itu yang mungkin saja mendorong NJ untuk berkelana (kalau tidak boleh dikatakan berburu) medan keperempuanan.
Sejauh apa pun kita mencoba menyisik babak akhir dari surat Muqaddimah ini, melulu kita akan menemukan aroma cinta. Aroma yang entah untuk diri sendiri, Nabi, Katuhanan, atau pada jalan hidup itu sendiri. Cinta hadir dalam berbagai macam produk, kalau dimisalkan meja makan, di sana akan kita temui nasi cinta, es cinta, air minus cinta, sayur cinta dan sederet yang lain dalam aneka produk dan rasa.
Lalu bagaimana cinta di dalam KPM dan kehidupan itu tersuguh untuk kita? Pun, NJ telah menjawabnya, seperti yang dia tuliskan di ayat terakhir: Ragamu menghantui, tekatmu berjembatan, ia di sisihmu disetiap engkau rebah [XXXIX].
Bantul – Studio SDS Fictionbooks, 22 Desember 2010.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Musthafa
A Rodhi Murtadho
A Wahyu Kristianto
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Wachid BS
Abdullah al-Mustofa
Abdullah Khusairi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimanyu
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Maulani
Adek Alwi
Adhi Pandoyo
Adrian Ramdani
Ady Amar
Afrizal Malna
Agnes Rita Sulistyawati
Aguk Irawan Mn
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Subiyakto
Agus Sulton
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahm Soleh
Ahmad Farid Tuasikal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Luthfi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadie Thaha
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rasyid
AJ Susmana
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander Aur
Alexander G.B.
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Rif’an
Aliela
Alimuddin
Alit S. Rini
Alunk Estohank
Ami Herman
Amich Alhumami
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminudin TH Siregar
Ammilya Rostika Sari
An. Ismanto
Anaz
Andaru Ratnasari
Andhi Setyo Wibowo
Andhika Prayoga
Andong Buku #3
Andrenaline Katarsis
Andri Cahyadi
Angela
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Sudibyo
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Zulkifli
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayu Utami
Azyumardi Azra
Babe Derwan
Bagja Hidayat
Balada
Bandung Mawardi
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Bernadette Lilia Nova
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Bhakti Hariani
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budi Winarto
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Bustan Basir Maras
Camelia Mafaza
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Choirul Rikzqa
D. Dudu A.R
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Darmanto Jatman
Dedy Tri Riyadi
Delvi Yandra
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Anggraeni
Dian Basuki
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dian Yanuardy
Diana AV Sasa
Dinar Rahayu
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Warsidi
Edy Firmansyah
EH Kartanegara
Eka Alam Sari
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil Amir
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
F. Budi Hardiman
Fadly Rahman
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fani Ayudea
Fariz al-Nizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatkhul Aziz
Felix K. Nesi
Film
Fitri Yani
Franditya Utomo
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Garna Raditya
Gde Artawan
Geger Riyanto
Gendhotwukir
George Soedarsono Esthu
Gerakan Surah Buku (GSB)
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Tri Atmojo
H. Supriono Muslich
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim H.D.
Hamberan Syahbana
Hamidah Abdurrachman
Han Gagas
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Helwatin Najwa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendriyo Widi Ismanto
Hepi Andi Bastoni
Heri Latief
Heri Listianto
Herry Firyansyah
Heru Untung Leksono
Hikmat Darmawan
Hilal Ahmad
Hilyatul Auliya
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husnun N Djuraid
I Nyoman Suaka
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilenk Rembulan
Ilham khoiri
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Budi Santosa
Imelda
Imron Arlado
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Margareta
Indra Darmawan
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ingki Rinaldi
Insaf Albert Tarigan
Intan Hs
Isbedy Stiawan ZS
Ismail Amin
Ismi Wahid
Ivan Haris
Iwan Gunadi
Jacob Sumardjo
Jafar Fakhrurozi
Jajang R Kawentar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean-Marie Gustave Le Clezio
JJ. Kusni
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Julika Hasanah
Julizar Kasiri
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kadir Ruslan
Kartika Candra
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Ketut Yuliarsa
KH. Ma'ruf Amin
Khaerudin
Khalil Zuhdy Lawna
Kholilul Rohman Ahmad
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Krisandi Dewi
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kuswinarto
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lenah Susianty
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
M Shoim Anwar
M. Arman A.Z.
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Harya Ramdhoni
M. Kasim
M. Latief
M. Wildan Habibi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria hartiningsih
Maria Serenada Sinurat
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Marsus Banjarbarat
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masriadi
Mawar Kusuma Wulan
Max Arifin
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Mezra E. Pellondou
Micky Hidayat
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Moh Samsul Arifin
Moh. Syafari Firdaus
Mohamad Asrori Mulky
Mohammad Afifuddin
Mohammad Fadlul Rahman
Muh Kholid A.S.
Muh. Muhlisin
Muhajir Arifin
Muhamad Sulhanudin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Azka Fahriza
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naskah Teater
Nezar Patria
Nina Setyawati
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noor H. Dee
Noval Maliki
Nunuy Nurhayati
Nur Haryanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurudin
Octavio Paz
Oliviaks
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Panda MT Siallagan
Pandu Jakasurya
PDS H.B. Jassin
Philipus Parera
Pradewi Tri Chatami
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rahmat Sutandya Yudhanto
Raihul Fadjri
Rainer Maria Rilke
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridha al Qadri
Ridwan Munawwar
Rikobidik
Riri
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rizky Andriati Pohan
Robert Frost
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Romi Febriyanto Saputro
Rosihan Anwar
RR Miranda
Rudy Policarpus
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Gerilyawan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra
SelaSastra ke #24
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Subhan SD
Suci Ayu Latifah
Sulaiman Djaya
Sulistiyo Suparno
Sunaryo Broto
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunudyantoro
Suriali Andi Kustomo
Suryadi
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Susilowati
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Bahri
Syam Sdp
Syarif Hidayatullah
Tajuddin Noor Ganie
Tammalele
Tan Malaka
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Tengsoe Tjahjono
Th Pudjo Widijanto
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Joko Susilo
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi
Umar Kayam
Undri
Uniawati
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Vyan Tashwirul Afkar
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyudin
Wannofri Samry
Warung Boenga Ketjil
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Web Warouw
Wijang Wharek
Wiko Antoni
Wina Bojonegoro
Wira Apri Pratiwi
Wiratmo Soekito
Wishnubroto Widarso
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Wing King
WS Rendra
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yosi M. Giri
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Yuyu AN Krisna
Zaki Zubaidi
Zalfeni Wimra
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhaenal Fanani
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Zulhasril Nasir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar