Senin, 22 November 2010

Kosmologi Santri dalam Kisah

Riadi Ngasiran*
http://dutamasyarakat.com/

Karya sastra yang berkualitas tak harus sesuai dengan selera pasar. Karya yang sesuai dengan kaidah kesusastraraan, yang memperkaya peradaban, belum tentu diminati oleh pihak penerbit profesional karena tak banyak menarik keuntungan. Bila ditilik dari sisi kuantitas karya-karya Pramoedya Ananta Toer tak seberapa memperoleh pasar dibanding dengan karya-karya populer yang diminati oleh pasar dan digandrungi para pembaca. Tapi, bila ia emas tidaklah berubah jadi loyang demikian pula sebaliknya.

Ada pengakuan yang patut dicatat dari Ahmad Tohari, sastrawan Ronggeng Dukuh Paruk ketika ditunjuk sebagai juru Lomba Penulisan Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) tahun 2006. Sebenarnya yang diunggulkannya bukanlah yang kebetulan menjadi juara I, melainkan karya yang lain, berjudul Buku tanpa Kisah. Naskah ini berkisah seputar pesantren, tentang pendobrakan dinding pesantren. Tapi, akhirnya dewan juri memutuskan Hubbu karya Mashuri, lantaran dinilai sangat utuh dan padu ceritannya: berkisah tentang perjalanan seorang pemuda desa biasa menuju suatu ruang yang sangat jauh di sana, jauh dari tradisi keluarganya, jauh dari pesantren.

Mashuri adalah jebolan dua Pondok Pesantren yakni Pesantren Salafiyah Wanar dan Pesantren Tasisut Taqwa, keduanya berada di Lamongan. Dari sudut pandang seorang santri-Jawa inilah ia mengeksplorasi imajinasinya.

Kisah Hubbu diawali ketika Jarot, seorang mahasiswa Universitas Airlangga Surabaya, menemukan istilah yang pernah ia dengar dengan segenap perasaan, yang ingin dikuburnya jauh di lubuk dada: Sastra Gendra. Ungkapan itu mampu menyeretnya dari waktu kekinian, mengingatkannya pada masa kecilnya di desa Alas Abang dengan latar belakang budaya santri nan kental.

Ia teringat masa lalunya di lingkungan keluarga, juga di lingkungan pesantren yang telah menempa dirinya dengan segala renik uniknya. Ia teringat harapan keluarganya, agar dia meneruskan pesantren warisan leluhurnya di Alas Abang, meski ia memilih jalan sendiri: memberontak pada tradisi keluarga.

Sebagai puncak pemberontakan-nya, ia belajar di perguruan tinggi umum.

Begitu simpul tali kenangan itu tersentuh, walau ia sudah jauh dari Alas Abang, semua kenangan dan ingatannya seakan-akan terbuka, tumpah-ruah, termasuk kisah-kisah sedihnya saat menapaki masa-masa remaja di kampung halaman. Ia teringat rajutan kisah-kasihnya. Di antaranya kepada Istiqomah, seorang santri perempuan. Memang, semasa di pesantren, ia juga merajut kasih dengan gadis pujaannya itu, dengan model pacaran khas pesantren.

Istiqomah sering disebut Jarot dengan sapaan Priangan si Jelita.

Demikianlah, Jarot menjadi salah seorang di antara sekian juta mahasiswa yang turun ke jalan untuk berteriak: Turunkan Suharto! Sayang, seiring dengan tergulingnya penguasa Orde Baru itu, ternyata terguling pula dunia ideal Jarot. Ia merasa menjadi manusia paling nista di dunia; ia merasa tak lagi bisa mempertahankan nilai-nilai yang ia perjuangkan selama ini, juga masalah tabu seks yang seharusnya ia hindari. Ia terjerat affair cinta dengan Agnes, seorang gadis cantik, bermasalah, dan masih tetangga rumah kontrakannya.

Hubungan asmara mereka sampai pada taraf intim: seks pranikah. Sebagai seorang yang memiliki latar belakang santri dari keluarga terhormat, Jarot pun merasa sangat berdosa setelah melakukan perbuatan terkutuk itu. Pada titik inilah, Jarot benar-benar merasa dirinya identik dengan Begawan Wisrawa, meski sebelumnya ia juga merasa identik dengan tokoh wayang itu.

Begawan Wisrawa merupakan tokoh wayang yang tergelincir ke lembah nista, padahal awalnya ia ingin mengajarkan sebuah pengetahuan suci. Perlu diketahui, sebelum Jarot terjerat cinta dan tidur dengan Agnes, sebenarnya Jarot ingin mengembalikan orientasi rasa ketuhanan Agnes yang goyah.

Pada akhirnya Jarot pun bertindak ekstrim: ia memenggal kehidupannya dengan masa lalu, baik terhadap Surabaya maupun Alas Abang. Ia minggat ke Ambon bersama Agnes, sebagai satu ikrar penebusan dosa. Ia ingin memulai hidup baru, dengan beban keterpurukan jiwa yang hebat. Di Ambon pun ternyata banyak hal yang membuatnya sadar sekaligus tertampar. Apalagi ada peristiwa yang seakan-akan kembali menasbihkan kesalahannya: Agnes meninggal setelah melahirkan seorang bayi perempuan, yang ia beri nama Sonya. Ia lalu menikah dengan Zulaikha, berputeri satu. Ia beri nama Aida.

Semua episode sekitar masa kejatuhan masa muda Jarot itu dikuak oleh Aida, yang diharapkan Jarot bisa menjadi penyuci noda terhadap kesalahan dirinya sebagai orang tua di masa silam. Dengan jiwa muda dan jiwa zaman yang berbeda, tahun 2040, Aida menelusuri masa lalu dan obsesi ayahnya.
Aida pergi ke Surabaya untuk bertemu dengan Teguh sahabat Jarot, juga ke kampung Alas Abang guna bertemu dengan keluarga sang ayah yang sudah lama dilupakan, serta sama sekali tak dikenal Aida. Aida menemukan jawab berbagai rahasia yang dipendam ayahnya, termasuk obsesi agung pada masa muda Jarot.

Begitulah, pencarian eksistensi seorang santri. Setidaknya, kesadaran akan dirinya menjadi jendela untuk mengenal eksistensi dan kesadaran akan kekuatan di luar dirinya. Itulah orientasi Ketuhanan yang diangkat seorang penulis. Adakah hal itu merupakan bagian dari unsur biografis penulisnya? Sebagai pembaca, kita cuma bisa menduga-duga. Dan kita pun kerap diingatkan akan pandangan Barthesian: intepretasi naskah semau kita, anggap penulis sudah mati. Tapi, saya masih percaya ada unsur kosmologis seorang kreator: memberikan pantulan hidupnya dalam berkarya seni, baik pandangan hidup atau ideologisnya.

Kemunculan beragam karya sastra dengan latar kehidupan pesantren atau yang kemudian disebut sastra pesantren dalam khazanah sastra di Indonesia dewasa ini merupakan fenomena baru yang unik. Kemunculannya yang selanjutnya diikuti lahirnya penulis-penulis sastra dari kalangan remaja pesantren dinilai sebagai akhir dari keterasingan pesantren terhadap kehidupan perkotaan.

Kini lebih banyak lahir penulis-penulis sastra dari kalangan santri. Kita berharap, hal itu merupakan tanda berakhirnya alienasi, keterasingan, dunia pesantren terhadap kota. Memang, dalam sejarahnya, keberadaan pesantren di Indonesia muncul sebagai bentuk perlawanan terhadap penjajahan. Komunitas pesantren membuka ruang perlawanan terhadap pemerintah kolonial yang berbasis di kota dengan menciptakan banyak tradisi kebudayaan yang berbeda, termasuk dalam kesenian; sastra, musik, seni rupa, seni peran, dan sebagainya. Dalam perkembangannya, pesantren selalu mengambil posisi berlawanan dengan tradisi dan kebudayaan perkotaan yang dibawa kaum kolonial (kaum penjajah) Belanda pakai celana, santri pakai sarung. Belanda pakai dasi, santri pakai peci. Belanda membaca sastra roman, santri membaca nadhoman. Belanda memainkan musik jazz atau blues, santri memainkan musik gambus atau kasidah. Belanda hidup di kota, santri di desa. Begitu seterusnya. Semuanya dalam posisi berlawanan.

Oleh karenanya, munculnya penulis-penulis remaja dari pesantren yang baru terjadi dewasa ini merupakan warna tersendiri dalam dunia sastra di Tanah Air dan patut diapresiasi. Sastra tidak lagi terbagi pada sastra serius, sastra populer, dan lain-lain. Tapi juga ada sastra pesantren, katanya.
Di era 1960-an sempat muncul nama Jamil Suherman, novelis dari kalangan santri, karyanya mengambil setting pesantren. Namun, hal itu tidak menggejala dan seolah menjadi tren baru dalam dunia sastra seperti sekarang ini.

Sisi lain fenomena baru tersebut, generasi muda saat ini punya tambahan referensi bacaan sastra yang lebih memiliki semangat muda. Sastra pesantren juga berjasa dalam mengenal dunia pesantren kepada masyarakat luas. Dengan demikian, hal itu juga akan membantu merubah pandangan buruk orang luar terhadap pesantren yang belakangan dinilai sebagai sarang teroris.

Bagi sebagian orang, kehidupan pesantren merupakan kehidupan tertutup yang sulit dipahami. Banyak di antara mereka yang memiliki stigma negatif tentang pesantren. Novel tentang pesantren ini sedikit banyak bisa bercerita kepada masyarakat luas apa dan bagaimana hidup di pesantren dengan segala ritual dan tradisinya.

Perilaku santri bandel, selalu bikin ulah, anak kota yang masuk pesantren yang sok mengglobal tapi tak beretika dan pecandu narkoba dihadapkan dengan kehidupan santri yang selalu guyub dan menjaga nilai-nilai agama merupakan kisah nyata yang dituliskan kembali oleh tangan-tangan kreatif santri.

Tidak ada komentar:

A Musthafa A Rodhi Murtadho A Wahyu Kristianto A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Wachid BS Abdullah al-Mustofa Abdullah Khusairi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimanyu Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Maulani Adek Alwi Adhi Pandoyo Adrian Ramdani Ady Amar Afrizal Malna Agnes Rita Sulistyawati Aguk Irawan Mn Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Subiyakto Agus Sulton Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahm Soleh Ahmad Farid Tuasikal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Luthfi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadie Thaha Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rasyid AJ Susmana Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander Aur Alexander G.B. Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Rif’an Aliela Alimuddin Alit S. Rini Alunk Estohank Ami Herman Amich Alhumami Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminudin TH Siregar Ammilya Rostika Sari An. Ismanto Anaz Andaru Ratnasari Andhi Setyo Wibowo Andhika Prayoga Andong Buku #3 Andrenaline Katarsis Andri Cahyadi Angela Anies Baswedan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Sudibyo Anton Wahyudi Anwar Holid Anwar Siswadi Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Zulkifli Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayu Utami Azyumardi Azra Babe Derwan Bagja Hidayat Balada Bandung Mawardi Bayu Agustari Adha Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Bernadette Lilia Nova Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Bhakti Hariani Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budi Winarto Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Bustan Basir Maras Camelia Mafaza Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cecep Syamsul Hari Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Choirul Rikzqa D. Dudu A.R D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Dantje S Moeis Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Darmanto Jatman Dedy Tri Riyadi Delvi Yandra Denny JA Denny Mizhar Dewi Anggraeni Dian Basuki Dian Hartati Dian Sukarno Dian Yanuardy Diana AV Sasa Dinar Rahayu Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi Warsidi Edy Firmansyah EH Kartanegara Eka Alam Sari Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil Amir Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Evan Ys F. Budi Hardiman Fadly Rahman Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fani Ayudea Fariz al-Nizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatkhul Aziz Felix K. Nesi Film Fitri Yani Franditya Utomo Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Garna Raditya Gde Artawan Geger Riyanto Gendhotwukir George Soedarsono Esthu Gerakan Surah Buku (GSB) Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Tri Atmojo H. Supriono Muslich H.B. Jassin Hadi Napster Halim H.D. Hamberan Syahbana Hamidah Abdurrachman Han Gagas Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Priyatna Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasan Junus Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Helwatin Najwa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendriyo Widi Ismanto Hepi Andi Bastoni Heri Latief Heri Listianto Herry Firyansyah Heru Untung Leksono Hikmat Darmawan Hilal Ahmad Hilyatul Auliya Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur Husnun N Djuraid I Nyoman Suaka Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilenk Rembulan Ilham khoiri Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Budi Santosa Imelda Imron Arlado Imron Tohari Indiar Manggara Indira Margareta Indra Darmawan Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ingki Rinaldi Insaf Albert Tarigan Intan Hs Isbedy Stiawan ZS Ismail Amin Ismi Wahid Ivan Haris Iwan Gunadi Jacob Sumardjo Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean-Marie Gustave Le Clezio JJ. Kusni Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Julika Hasanah Julizar Kasiri Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kadir Ruslan Kartika Candra Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Ketut Yuliarsa KH. Ma'ruf Amin Khaerudin Khalil Zuhdy Lawna Kholilul Rohman Ahmad Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Krisandi Dewi Kritik Sastra Kucing Oren Kuswinarto Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lenah Susianty Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto M Shoim Anwar M. Arman A.Z. M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Harya Ramdhoni M. Kasim M. Latief M. Wildan Habibi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria hartiningsih Maria Serenada Sinurat Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Marsus Banjarbarat Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masriadi Mawar Kusuma Wulan Max Arifin Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Mezra E. Pellondou Micky Hidayat Mihar Harahap Misbahus Surur Moh Samsul Arifin Moh. Syafari Firdaus Mohamad Asrori Mulky Mohammad Afifuddin Mohammad Fadlul Rahman Muh Kholid A.S. Muh. Muhlisin Muhajir Arifin Muhamad Sulhanudin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Azka Fahriza Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Nafi’ah Al-Ma’rab Naskah Teater Nezar Patria Nina Setyawati Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noor H. Dee Noval Maliki Nunuy Nurhayati Nur Haryanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurudin Octavio Paz Oliviaks Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pamusuk Eneste Panda MT Siallagan Pandu Jakasurya PDS H.B. Jassin Philipus Parera Pradewi Tri Chatami Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R Sutandya Yudha Khaidar R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rahmat Sutandya Yudhanto Raihul Fadjri Rainer Maria Rilke Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridha al Qadri Ridwan Munawwar Rikobidik Riri Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rizky Andriati Pohan Robert Frost Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Romi Febriyanto Saputro Rosihan Anwar RR Miranda Rudy Policarpus Rukardi S Yoga S. Jai S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Gerilyawan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra SelaSastra ke #24 Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Subhan SD Suci Ayu Latifah Sulaiman Djaya Sulistiyo Suparno Sunaryo Broto Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunudyantoro Suriali Andi Kustomo Suryadi Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Susilowati Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Bahri Syam Sdp Syarif Hidayatullah Tajuddin Noor Ganie Tammalele Tan Malaka Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Tengsoe Tjahjono Th Pudjo Widijanto Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Joko Susilo Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Umar Kayam Undri Uniawati Universitas Indonesia UU Hamidy Vyan Tashwirul Afkar W Haryanto W.S. Rendra Wahyudin Wannofri Samry Warung Boenga Ketjil Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Web Warouw Wijang Wharek Wiko Antoni Wina Bojonegoro Wira Apri Pratiwi Wiratmo Soekito Wishnubroto Widarso Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Wing King WS Rendra Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yosi M. Giri Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Yuyu AN Krisna Zaki Zubaidi Zalfeni Wimra Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhaenal Fanani Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar Zulhasril Nasir