Kamis, 07 Oktober 2010

Perempuan Yang Menanti

Wina Bojonegoro
http://sastra-bojonegoro.blogspot.com/

Stasiun Pasar Turi selalu penuh sesak di malam hari. Lalu lalang manusia, bagai aliran sungai yang tak kenal henti, berbaur aneka kepentingan, bau badan, penjual koran, kuli angkut dan tak lupa calo. Beberapa menit lagi kereta Argo Bromo akan membawaku pulang ke Jakarta, pada rutinitas kehidupan yang sesungguhnya. Baru saja melangkahi peron, pengumuman sudah berkumandang, kereta telah siap di jalur satu. Tapi aku belumlah selesai. Perempuan ini aku tenteng kemari agar aku sempat bicara, semalam dan sepagian, bahkan sesiangan ini aku terlalu asyik mendengarkannya hingga tak ada waktuku bicara. Kini saatnya.

Kami duduk bersisihan di ruang tunggu dalam, sekali lagi kuamati profilnya dari samping. Dia wanita yang lelah, tetapi memiliki keteguhan dan kemampuan menguasai diri yang besar, nyalinya juga. Memanggil tukang koran saja dia hanya perlu bersiul. Merasa kuamati dia menoleh, tersenyum manis, melanjutkan keasyikan pada halaman koran sore. Didepan umum sama sekali ia tak berusaha menampakkan gaya penghibur, benar-benar profesional. Perempuan ini dikirim petugas receptionis hotel untuk memenuhi hasrat kelelakianku.
***

Mau minum , sapaku kemarin malam.

“Saya hanya minum sari buah”, jawabnya. Seraya memainkan bibirnya supaya nampak seksi. Aku menyodorkan segelas jus buah dari minibar. Dia menyilangkan kakinya, hingga nampak separuh pahanya yang padat.

Sudah lama terjun?

“Maksud Mas, melacur? Sudah hampir 2 tahun, bulan depan tanggal 11 tepatnya”.

Hahaha… ini baru menarik! Biasanya gadis-gadis penjual diri mengaku pendatang baru, meski sudah bertahun-tahun bergerilya.

Tekanan ekonomi? Tanyaku lagi

“Oh tidak. Saya melakukan dengan sadar. Menjadi pelacur adalah sebuah pilihan hidup. Mengapa Mas bertanya?”

Hanya ingin tahu. Broken home barangkali?

Wanita bertetek besar itu menerawang, matanya berputar-putar, melirikku dengan profesional.

“Mengapa aku harus berkata jujur pada sampeyan? Kalau kukatakan aku melacurkan diri karena tekanan ekonomi, apakah sampeyan mau menambahkan tips untuk saya? Atau jika karena broken home, apakah sampeyan bisa membiayai konsultasi psikiater dan menyediakan rumah singgah bagi para pelacur tanpa germo seperti saya? Sampeyan, seperti halnya para pemakai lainnya, tak akan mampu berbuat apa-apa untuk kami karena kalian menikmati keberadaan kami. Dan kenapa saya menjual diri? Alasan itu sungguh beragam. Tergantung dengan siapa saya berhadapan dan untuk kepentingan apa. Kalau sampeyan wartawan, saya akan mengakui alasan yang paling klasik, kemiskinan. Tapi mengapa sampeyan peduli?

Pelacuran ada dimana-mana dalam seluruh strata kehidupan. Dalam strata paling rendah terjadi di stasiun Wonokromo, di rumah-rumah gubug dengan bayaran hanya 10 ribu rupiah. Dalam Strata akademis ada dosen dengan mahasiswi, sesama mahasiwa di rumah kos mereka, atau sesama mahasiswa S2 yang mengerjakan tugas dalam sebuah kamar hotel berbintang. Ada teman kantor yang bobok siang atau tugas luar kota seperti sampeyan ini”.

Mereka, seperti sesama mahasiswa itu melakukan dengan cinta. Itu bukan prostitusi, kataku

“Prostitusi dan perzinahan adalah bagaikan dua sisi mata uang”, balasnya dingin. “Kasihan sekali jika setiap perzinahan selalu mengatasnamakan cinta. Tidakkah mereka malu berkata itu? Mengotori cinta yang agung dengan cairan jorok. Ada suami yang mengaku terpelajar tapi menggadisi perawan dengan dalih cinta. Ada sahabat yang tidur bersama dengan dalih cinta. Lalu kenapa aku melacur? Ini adalah karena cinta!
Haha! Cinta??

Aku begitu mencintai suamiku, sangat mencintainya. Dia memungutku dari kesepian yang hampa dan keterasingan. Dia menawarkan aku mimpi yang dimiliki seluruh perempuan, menikah dan punya anak! Aku bermimpi punya 5 anak, supaya hidupku meriah. Tapi aku perempuan baki. 6 tahun perkawinanku sia-sia.

Aku bukan perempuan beruntung!

Sekalipun kata simbah kelahiranku adalah tanggal tertinggi menurut almanak Jawa. Dalam pawukon, Sabtu Pahing adalah jumlah tertinggi, maka sesiapapun dilahirkan pada nepton itu, dia akan berjaya, dan peruntungannya tinggi. Tapi simbah salah, mungkin aku bukan terlahir pada nepton itu, bisa saja aku tergolong Ahad Pon jika kelahiranku lewat ashar. Orang Jawa menghitung waktu itu sebagai hari berikutnya.”

“Simbah, jam berapa aku lahir? Siapa yang menolong kelahiranku? Apa dia memotong peranakanku sehingga baki begini? Mengapa kau pulang tergesa-gesa? Setidaknya tunggulah sampai aku mempersembahkan seonggok daging hidup kemerahan yang meronta-ronta dan disebut orok. Atau buatkan aku jejamuan penyubur rahim jika orok itu tak juga muncul, atau pijatlah perutku ini agar bagus benar letak peranakanku. Sayang kau tak sempat menyaksikanku mencuci kaki suamiku di pelaminan.

Seharusnya kaulah yang menyiramkan air kembang setaman ke tubuhku di malam midodareni. Tapi kurasa kau pasti ada disitu malam itu, ditandai aroma susur yang tak perah lepas dari bibirmu. Kau pasti sedang bercengkerama dengan sesama arwah yang kau boyong dari surga, cangkruk di atas pohon sawo, tempat yang kau yakini sebagai favorit makluk halus. Kau pasti tengah berceloteh dengan mereka tentang masa kecilku, masa ketika aku tak dapat tidur sebelum menggerayangi tetekmu dibalik kutang lebar berkancing besar. Simbah, betapa aku menyayangimu!”

“Suamiku yang aku cintai itu pergi. Katanya pingin cari isteri yang subur. Ia tak peduli pada rasa sakitku, kehampaanku, sedihku, sepiku. Aku ingin mengatakan padanya ini bukan salahku. Kemandulan adalah kehendak Tuhan. Sama sekali aku tak memilih, apalagi meminta. Ini adalah karena aku terlahir pada Ahad Pon, bukan Sabtu Pahing seperti dirayakan simbah dengan bubur merah putih. Tetapi aku yakin, suatu saat nanti suamiku itu pasti kembali ke pelukanku, berlutut sembari bilang, maafkan aku isteriku. Marilah kita hidup berdua sampai dunia kiamat, hidup atas nama cinta, dengan atau tanpa keturunan.”

“Ia pasti kemballi suatu hari nanti, karena ternyata wanita-wanita diluaran itu tak cukup punya kasih sayang seperti yang kualirkan ke dalam setiap aliran nadinya. Kalau satu dua hari tak pulang, minggu depan ia pasti pulang. Mungkin bulan depan, atau tahun depan. Suamiku yang aku cintai itu tidak meninggalkanku, dia hanya kehilangan kesabaran.”

“Suamiku, betapa aku merindukanmu!

Dibalik jendela kaca buram itu aku selalu menantimu pulang, dengan harapan dan kecemasan. Menanti keajaiban! Namun setiap menyadari waktu berlalu dan tak ada tanda-tanda kau akan kembali, kakiku terasa membeku. Hatiku kosong. Tak tahukan kau arti kata mencintai? Dari kata CINTA. Dia adalah gabungan antara penyerahan, kepemilikan, pengabdian dan birahi. Kau tak paham? Barangkali aku harus mengajarimu lagi, suatu hari nanti jika kau kembali.

Tahukah kau, aku mengkhawatirkanmu. Siapa yang akan membersihkan telingamu? Kau suka meletakkan kepalamu di pangkuanku dengan sebotol Baby Oil dan beberapa batang cotton bud. Siapa pula yang akan membersihkan jerawatmu? Kau gemar bertelanjang dada, bahkan cuma ber kancut, menyerahkan punggungmu untuk ku raba dan kucongkel jerawat liar disana. Dan siapakah yang akan membuatkanmu semangkuk Indomi rebus dengan telur, sawi, bawang bombai dan teri medan?. Berapa musimkah kau pergi, suamiku yang kucintai? Mungkin tujuh, mungkin delapan. Segalanya tak pasti. Waktu berlalu dan dunia menua.”
***

“Tapi kamu belum tua,” kata temanku suatu hari

“Kamu hanya perlu mandi”, katanya.

Kenapa aku harus mandi? Hanya wanita yang mengharap kekasihnya datang saja yang wajib mandi dan berharum-harum. Apakah aku masih boleh berharap?

“Kamu dulu cantik bukan? Kenapa harus kehilangan kecantikanmu hanya karena ditinggal suami? Laki-laki yang tak bisa dicintai tak perlu lagi diperjuangkan. Kata Jostein Gaarder, tak ada gunanya mengejar sesuatu yang memang ingin lari. Ayo kamu mandi. Kudandani kamu ya, biar cantik lalu kita bersenang-senang”.

Aku dibawa ke salon. Mandi lulur, mandi susu, manicure, padicure, creambath, facial. Sehari suntuk. Mereka mendandani aku laiknya seorang puteri. Hmmmm..alangkah nikmatnya menjadi kaya, dapat membeli apapun, bahkan kecantikan.

“Tak ada kenikmatan yang gratis”, katanya.

“Supaya bisa begini terus, kau harus cari uang. Lihat, kau hampir tak dapat mengenali dirimu sendiri bukan? Kamu harus berpenghasilan untuk menjadi cantik. Sebaliknya, agar penghasilanmu tinggi, kau harus cantik, luar dalam. Harus baca koran. Nonton tivi. Khususnya berita. Laki-laki tak suka bidadari bodoh. Meskipun laki-laki itu sendiri makluk bodoh…hihii….kita hanya perlu berpura-pura orgasme untuk membuat mereka klimaks. Dasar bodoh!”

Laki-laki? Kenapa aku harus berhubungan dengan laki-laki?

“Karena hanya laki-laki lah yang suka menikmati kecantikan wanita. Kecuali kamu lesbi.”
***

“Sejak itu aku menjadi wanita profesional. Dibayar jam-jamaan. Tiba-tiba hidup menjadi bergairah, karena aku punya tujuan. Setidaknya untuk tetap cantik.”

Kamu masih cantik kok.

“Dan aku tak pernah pake kondom.”

Iya, aku juga tak suka pake kondom, rasanya tidak enak.

“Bukan itu alasanku. Aku ingin salah satu laki-laki hidung belang itu menghamili aku. Supaya dapat kutunjukkan pada suamiku tercinta, aku bukan perempuan baik!”

Dan kau tidak hamil?

“Tidak! Mungkin sperma para lelaki itu busung, atau encer, terlalu sering tumpah dimana-mana.”
***

Semalam itu hanya sekali kami bersebadan, selebihnya hanya berbincang sampai subuh. Aku mengajaknya ke Stasiun Pasar Turi ini karena aku harus mengatakan sesuatu,
Kenapa tidak menikah lagi, dengan orang yang tak perlu anak lagi?

“Aku tak punya cukup cinta buat orang lain. Suamiku sudah mengambil seluruhnya.”

Cinta tak mutlak harus ada dalam perkawinan, status dan rasa aman lebih penting.

“Kenapa aku harus menjual diriku hanya pada satu orang? Jika kepada banyak orang aku bisa mendapat uang lebih? “

Bagaimana jika ada pelangganmu yang mengajak menikah?

“Tidak.”

Mengapa?

“Laki-laki yang meniduri lonte pastilah dia lebih lonte dari pada lonte itu sendiri.”

Sby,11 Januari 2002

Tidak ada komentar:

A Musthafa A Rodhi Murtadho A Wahyu Kristianto A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Wachid BS Abdullah al-Mustofa Abdullah Khusairi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimanyu Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Maulani Adek Alwi Adhi Pandoyo Adrian Ramdani Ady Amar Afrizal Malna Agnes Rita Sulistyawati Aguk Irawan Mn Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Subiyakto Agus Sulton Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahm Soleh Ahmad Farid Tuasikal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Luthfi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadie Thaha Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rasyid AJ Susmana Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander Aur Alexander G.B. Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Rif’an Aliela Alimuddin Alit S. Rini Alunk Estohank Ami Herman Amich Alhumami Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminudin TH Siregar Ammilya Rostika Sari An. Ismanto Anaz Andaru Ratnasari Andhi Setyo Wibowo Andhika Prayoga Andong Buku #3 Andrenaline Katarsis Andri Cahyadi Angela Anies Baswedan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Sudibyo Anton Wahyudi Anwar Holid Anwar Siswadi Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Zulkifli Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayu Utami Azyumardi Azra Babe Derwan Bagja Hidayat Balada Bandung Mawardi Bayu Agustari Adha Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Bernadette Lilia Nova Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Bhakti Hariani Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budi Winarto Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Bustan Basir Maras Camelia Mafaza Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cecep Syamsul Hari Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Choirul Rikzqa D. Dudu A.R D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Dantje S Moeis Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Darmanto Jatman Dedy Tri Riyadi Delvi Yandra Denny JA Denny Mizhar Dewi Anggraeni Dian Basuki Dian Hartati Dian Sukarno Dian Yanuardy Diana AV Sasa Dinar Rahayu Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi Warsidi Edy Firmansyah EH Kartanegara Eka Alam Sari Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil Amir Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Evan Ys F. Budi Hardiman Fadly Rahman Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fani Ayudea Fariz al-Nizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatkhul Aziz Felix K. Nesi Film Fitri Yani Franditya Utomo Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Garna Raditya Gde Artawan Geger Riyanto Gendhotwukir George Soedarsono Esthu Gerakan Surah Buku (GSB) Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Tri Atmojo H. Supriono Muslich H.B. Jassin Hadi Napster Halim H.D. Hamberan Syahbana Hamidah Abdurrachman Han Gagas Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Priyatna Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasan Junus Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Helwatin Najwa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendriyo Widi Ismanto Hepi Andi Bastoni Heri Latief Heri Listianto Herry Firyansyah Heru Untung Leksono Hikmat Darmawan Hilal Ahmad Hilyatul Auliya Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur Husnun N Djuraid I Nyoman Suaka Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilenk Rembulan Ilham khoiri Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Budi Santosa Imelda Imron Arlado Imron Tohari Indiar Manggara Indira Margareta Indra Darmawan Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ingki Rinaldi Insaf Albert Tarigan Intan Hs Isbedy Stiawan ZS Ismail Amin Ismi Wahid Ivan Haris Iwan Gunadi Jacob Sumardjo Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean-Marie Gustave Le Clezio JJ. Kusni Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Julika Hasanah Julizar Kasiri Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kadir Ruslan Kartika Candra Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Ketut Yuliarsa KH. Ma'ruf Amin Khaerudin Khalil Zuhdy Lawna Kholilul Rohman Ahmad Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Krisandi Dewi Kritik Sastra Kucing Oren Kuswinarto Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lenah Susianty Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto M Shoim Anwar M. Arman A.Z. M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Harya Ramdhoni M. Kasim M. Latief M. Wildan Habibi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria hartiningsih Maria Serenada Sinurat Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Marsus Banjarbarat Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masriadi Mawar Kusuma Wulan Max Arifin Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Mezra E. Pellondou Micky Hidayat Mihar Harahap Misbahus Surur Moh Samsul Arifin Moh. Syafari Firdaus Mohamad Asrori Mulky Mohammad Afifuddin Mohammad Fadlul Rahman Muh Kholid A.S. Muh. Muhlisin Muhajir Arifin Muhamad Sulhanudin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Azka Fahriza Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Nafi’ah Al-Ma’rab Naskah Teater Nezar Patria Nina Setyawati Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noor H. Dee Noval Maliki Nunuy Nurhayati Nur Haryanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurudin Octavio Paz Oliviaks Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pamusuk Eneste Panda MT Siallagan Pandu Jakasurya PDS H.B. Jassin Philipus Parera Pradewi Tri Chatami Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R Sutandya Yudha Khaidar R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rahmat Sutandya Yudhanto Raihul Fadjri Rainer Maria Rilke Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridha al Qadri Ridwan Munawwar Rikobidik Riri Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rizky Andriati Pohan Robert Frost Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Romi Febriyanto Saputro Rosihan Anwar RR Miranda Rudy Policarpus Rukardi S Yoga S. Jai S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Gerilyawan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra SelaSastra ke #24 Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Subhan SD Suci Ayu Latifah Sulaiman Djaya Sulistiyo Suparno Sunaryo Broto Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunudyantoro Suriali Andi Kustomo Suryadi Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Susilowati Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Bahri Syam Sdp Syarif Hidayatullah Tajuddin Noor Ganie Tammalele Tan Malaka Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Tengsoe Tjahjono Th Pudjo Widijanto Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Joko Susilo Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Umar Kayam Undri Uniawati Universitas Indonesia UU Hamidy Vyan Tashwirul Afkar W Haryanto W.S. Rendra Wahyudin Wannofri Samry Warung Boenga Ketjil Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Web Warouw Wijang Wharek Wiko Antoni Wina Bojonegoro Wira Apri Pratiwi Wiratmo Soekito Wishnubroto Widarso Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Wing King WS Rendra Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yosi M. Giri Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Yuyu AN Krisna Zaki Zubaidi Zalfeni Wimra Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhaenal Fanani Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar Zulhasril Nasir