Ribut Wijoto
http://www.sinarharapan.co.id/
Ketika sedang suntuk mempelajari kembali puisi Chairil Anwar, saya tiba-tiba teringat Hugh Trevor-Roper, sejarawan yang membahas historiografi abad ke delapan belas. ”Prestasi yang dicapai oleh sejarawan abad ke delapan belas sangat luar biasa”, tulisnya dalam buku The Listener (1977). Abad ke-18 telah semena-mena terhadap data dan peristiwa sejarah. Segala yang terjadi di masa silam dinilai dan ditafsirkan dengan norma dan realitas masa sekarang. Seolah-olah nilai masa sekarang bersifat mutlak dan masa silam bersifat relatif.
Semena-mena, sejarawan abad ke-18 tidak akan pernah sampai pada ”apakah yang sesungguhnya terjadi di masa silam”. Mengapa seseorang, di masa silam, melakukan tindakan perang, bertobat, atau bunuh diri. Sejarawan abad tersebut tidak sedang berbicara untuk masa silam. Tujuan penelitian sejarah ada pada masa kini. Masa silam hanya kambing hitam untuk gagasan masa kini. Masa silam telah diperkosa. Tetapi begitulah, setiap perkosaan senantiasa menimbulkan kejutan, kenikmatan, pembisuan, dan ketegangan. Tergelar berbagai konsekuensi berkat pemerkosaan. Kemungkinan-kemungkinan yang sebelumnya terkunci rapat, dan tidak terperkirakan, bisa terbuka lebar, bahkan setiap orang dapat memasukinya. Aku, kita, dan mereka menjadi asing karena perkosaan.
Kesuntukan tiba-tiba menipis, saya mengalami pergeseran cara berpikir. Chairil Anwar, penyair yang semula saya posisikan sebagai artefak, data sejarah, berubah menjadi penyair yang berproses di kekinian. Puisi-puisi Chairil Anwar, saya anggapkan ditulis di masa sekarang, ditulis bukannya di masa silam. Saya akan semena-mena, seperti juga sejarawan abad ke delapan belas, terhadap puisi Chairil Anwar, agar saya memperoleh sesuatu yang tidak terkirakan. Konkretnya, saya akan membandingkan puisi Chairil Anwar dengan puisi yang benar-benar ditulis di masa sekarang. Pilihan jatuh pada puisi Arief B. Prasetyo, seorang penyair yang dikenal dengan antologi Mahasukka (terbitan Indonesia Tera, 2000).
***
Mempersandingkan puisi Chairil Anwar dengan Arief B. Prasetyo, saya menemukan adanya greget personalitas dalam merakit kata. Kedua penyair seakan saling berlomba menciptakan situasi garang dalam puisi. Kata-kata berkesan tegang, liar, kuat berotot, dan diliputi semangat individual. Ekspresi yang menekankan konflik kejiwaan manusia. Puisi seperti di tempatkan sebagai sarana mempertunjukkan kedirian berlumur persoalan pelik. Keindahan puisi diraih melalui problem, sejauh mana puisi mampu memberi gambaran amat personal atas pengalaman ”kebrutalan” hidup manusia. Arief B. Prasetyo dan Chairil Anwar sama-sama menebarkan kebrutalan teks puisi.
Pembukaan puisi ”Aku” dari Chairil Anwar: Kalau sampai waktuku, ‘Ku mau tak seorang ‘kan merayu, Tidak juga kau. Arief B. Prasetyo membuka puisi ”Mahasukka” dengan kalimat: Di pinggulmu selusin sayap ingin mengerjap, kunang-kunang terbang, menikung, mengiang, membandang, terus, terus, cepat, ringkus, remas, hempas, keras-keras, jadi jerit bianglala yang terkulai di telaga, yang terberai, terkapar mengagapai-gapai akar darah. Kedua puisi sama-sama merepresentasikan kegalauan kejiwaan manusia di tengah kehidupan, sungguh ironis, yang juga galau.
Chairil Anwar memberi gambaran keinginan untuk tidak mau terganggu oleh siapa pun. Kedirian mutlak, tanpa tekanan dan keterlibatan lain-lain pihak. Chairil Anwar, besar kemungkinan, memilih masuk ke wilayah eksistensialisme. Manusia melakukan tindakan karena ia ingin melakukannya, bukan karena ada orang lain menyuruh atau mengkondisikan. Kemerdekaan pribadi ”aku”.
Gambaran puisi Arief B. Prasetyo terbalik dari puisi Chairil Anwar, kedirian tokoh dalam puisi menyebabkan berbagai pengaruh terhadap lingkungan. Manusia membuat segala makhluk ingin mendekat, terlibat aktif, dan berguna. Pesona manusia menciptakan ketergantungan gejolak adegan. Manusia menjadi pusat dari gerak lingkungan. Antroposentrisme, manusia sebagai pusat alam semesta. Tokoh dalam puisi Arief B. Prasetyo ”terlibat” dalam lingkungan dan menentukan arah ”nasib” lingkungan.
Keakanan puisi dalam terjadi dalam Chairil Anwar. Kalau sampai waktuku, ku mau, kalimat ini menandakan peristiwa masih belum terealisasi. Angan baru hendak menciptakan peristiwa. Berlainan dengan puisi Arief B. Prasetyo, peristiwa terjadi dalam keakanan bercampur kekinian. Selusin sayap ingin mengerjap, kunang-kunang terbang, kalimat ini memiliki dua tingkat waktu. Tahap pertama adalah keakanan dan tahap kedua adalah kenyataan sekarang. Batas tegas antara keakanan dan kekinian mungkin dihindari oleh Arief B. Prasetyo. Keduanya menggelibat bersamaan. Teks puisi yang berupa adonan keakanan dan aktualitas.
Perbedaan konsepsi waktu dalam teks puisi dari kedua penyair membuat puisi Arief B. Prasetyo tampak lebih kompleks di dalam menyajikan peristiwa. Chairil Anwar mengisyaratkan, ”saya adalah personal tertentu dan saya ingin menciptakan kondisi tertentu”. Arief B. Prasetyo mengisyaratkan, ”saya adalah personal tertentu, ingin menciptakan kondisi tertentu, dan saya sedang terlibat dalam peristiwa tertentu”. Lebih jauh lagi, Arief B. Prasetyo menandaskan kurang adanya perbedaan antara keinginan dan kenyataan.
Pilihan waktu konvergentif atau campuran pada puisi Arief B. Prasetyo didukung oleh campuran diksi (pilihan kata) yang variatif. Bermacam kata dengan lingkungan yang berbeda dipadukan dalam membentuk pernyataan kenyataan. Misalnya kata ”pinggul”, barang dari tubuh manusia yang berbentuk bulat simetris dan bernuansa sensual, dipertautkan dengan ”kunang-kunang”, barang dengan lingkungan hewani yang keluar saat malam dan ”sebagai orang Jawa, saya percaya” kunang-kunang bernuansa kematian. Saya kelelahan ketika membayangkan kerumitan penciptaan puisi Arief B. Prasetyo. Konsentrasi tema dan perspektif yang kuat dibutuhkan agar campuran kata tidak mengalami keterpecahan atau non-kesinambungan.
Chairil Anwar juga melakukan keberanian dalam memilih kata. Hanya saja, keberanian Chairil Anwar terasa bersahaja bila dibandingkan dengan kerumitan puisi Arief B. Prasetyo. Hanya saja lagi, kebersahajaan Chairil Anwar didukung oleh strategi fonologis. Penghilangan satu-dua abjad di dalam kata. Misalnya kata ”aku” cukup ditulis dengan ”ku”, kata ”akan” ditulis ”’kan”, dan kata ”tidak” cukup ditulis ”tak”. Kekentalan peristiwa mendapat dukungan fonologis.
Dua bentuk keberanian proses perakitan kata, Chairil Anwar yang berani menyingkat kata dan Arief B. Prasetyo yang berani mencampurkan kata, bukannya tidak berpengaruh terhadap ilustrasi kenyataan. Masing-masing kenyataan dalam puisi Arief B. Prasetyo mengandung beberapa kenyataan bawahan. Kenyataan terdiri dari serangkaian, memang lebih tepatnya jalinan, kenyataan-kenyataan lain. Tercipta sebuah kenyataan pluralis. Kenyataan mewakili dirinya sendiri sebagai identitas khusus, dan bersama-sama dengan kenyataan lain, kesemuanya membentuk kenyataan baru. Ini produksi jalinan kenyataan yang berbeda dengan produksi kenyataan dalam puisi Chairil Anwar.
Penyingkatan fonologis oleh Chairil Anwar, menciptakan satu kenyataan yang padat, menggumpal, ketat ekspresi, serta tatanan utuh. Chairil Anwar seakan tidak ingin kenyataan puitik hasil ciptaannya terkontaminasi oleh identitas kenyataan bawahan. Chairil Anwar percaya terhadap kenyataan tunggal, tempat terwujud kegalauan jiwa manusia. Artinya, penafsiran atas kejiwaan manusia terfokus dalam satu kenyataan. Kepadatan kenyataan. Mungkin inilah keinginan Chairil Anwar, membuka penafsiran dari ketunggalan kenyataan. Ibarat sebuah kilatan petir, peristiwa sekilas yang memacu berbagai macam penafsiran justru karena ketidak-lengkapan peristiwanya. Apa latar peristiwa, terjadi pada siapa, berdomisili di mana; bergantung kepada isian pengalaman jiwa manusia yang tentu saja berbeda-beda. Ambiguitas, rangkap-rangkap penafsiran yang dimungkinkan oleh kekhususan teks puisi Chairil Anwar.
Ambiguitas juga, saya percaya Arief B. Prasetyo menyadari dan sengaja melakukan, yang terjadi pada puisi ”Mahasukka”. Satu kenyataan dalam puisi Chairil Anwar adalah ambigu. Setiap kenyataan dalam puisi Arief B. Prasetyo juga ambigu. Kalimat, di pinggulmu selusin sayap ingin mengerjap, memustahilkan penafsiran laten. Sejumlah makna dapat dimasukkan dalam kenyataan yang dibentuk oleh kalimat tersebut. Penafsiran menjadi bertingkat-tingkat ketika satu kenyataan dijalin dengan kenyataan lain yang juga bermuatan ambigu. Tingkatkan penafsiran makin semakin ambigu ketika jalinan kenyataan membentuk sebuah kenyataan besar. Jalinan kenyataan. Jalinan makna, berbagai penafsiran dimungkinkan oleh teks puisi Arief B. Prasetyo.
Kecuali perbedaan pola kenyataan, Chairil Anwar dan Arief B. Prasetyo memiliki cara berbeda untuk menarik minat pembaca dalam memproduksi penafsiran. Puisi menyediakan perangkap yang mengikat pembaca untuk betah, bahkan mengulang-ulang pembacaan, dan melakukan apresiasi teks. Semacam perawan yang mendandani badan dengan beragam aksesoris dan aneka kosmetik, ada satu tujuan terselip, agar lawan jenis betah atau bergairah memandang sembari melakukan tindakan-tindakan apresiatif. Membaca puisi, seseorang seperti memasuki wilayah privasi penuh rambu-rambu dan tanda seru. Kesadaran tersedot dan kegairahan tafsir bangkit.
Arief B. Prasetyo merajuk pembaca melalui rentetan gelora ilustrasi. Bermula dari pinggul, semua orang tahu ”pinggul” merupakan bagian tubuh berdaya sensual tinggi, pembaca diajak berkeliling ke tempat-tempat teatrikal. Di situ ada selusin sayap ingin mengerjap, ada kunang-kunang terbang, menikung, dan membandang. Di situ, di pinggul itu, ada gerak remasan, hempasan, ada ringkusan, dan ada yang terkapar menggapai-gapai akar darah. Dari tempat yang semula akrab, adakah orang yang tidak mempunyai pinggul, pembaca ditarik ke tampat-tempat asing dengan kejadian-kejadian asing. Dimensi pengalaman pembaca tersentak. Pengalaman yang melampaui kenyataan konkret, tetapi terjadi dan bermula dari bagian tubuh yang sangat akrab dengan setiap laju kehidupan.
Melalui kepadatan kata-kata, Chairil Anwar membetot keangkuhan jiwa pembaca. Keinginan menikmati kesendirian. Kebebasan mutlak; tanpa seorang pun mengganggu, terlibat, dan merayu pun tidak. Penajaman ilustrasi jiwa dalam puisi Chairil Anwar potensial merangsang pembaca menimbang-nimbang langkah tempuh, menjadikannya sebagai bahan renungan mengambil sikap hidup. Setiap orang menginginkan kebebasan, sama besarnya dengan keinginan mendapat pelayanan orang lain. Chairil Anwar berhasil menajamkan salah satu keinginan tersebut sehingga menutup antitesis keinginan pertama. Reduksi terjadi, maksimalitas sekaligus, atas kenyataan. Pembaca pun terprovokasi untuk melakukan penafsiran teks.
Bila diperbandingkan dengan puisi ciptaan Arief B. Prasetyo, pola perangsangan makna dalam puisi Chairil Anwar tampak bersahaja. Puisi Arief B. Prasetyo pun dapat dibaca dengan cara memahami puisi Chairil Anwar. Beberapa peristiwa dalam ”Mahasukka” merupakan hasil redukasi, sekaligus maksimalisasi, terhadap kenyataan jiwa manusia. Misalnya, jiwa yang menjerit serupa bianglala di telaga, atau jiwa yang terkapar menggapai-gapai akar darah. Chairil Anwar hanya menggunakan satu ekspresi jiwa. Sedangkan Arief B. Prasetyo, beberapa ekspresi jiwa dipertontonkan.
Pengalaman yang lebih luas digelar oleh puisi Arief B. Prasetyo. Sebaliknya, pola tamasya peristiwa dalam puisi Arief B. Prasetyo tidak dapat diperlakukan terhadap puisi Chairil Anwar. Kapasitas puisi Chairil Anwar terlalu bersahaja, atau tidak tersediakan tempat bagi pusaran makna.
Motivasi ”kata” dalam puisi Arief B. Prasetyo dan puisi pun berbeda. Chairil Anwar menggunakan kata secara langsung merujuk pada penciptaan pikiran. Pembaca dihadapkan pada kondisi tusukan kejiwaan. Misalnya, ku mau tak seorang kan merayu. Puisi Chairil Anwar tidak menyisakan kesempatan bagi basa-basi. Puisi Arief B. Prasetyo, pada akhirnya, memang ditujukan pada pikiran. Hanya saja arah jalan yang ditempuh sedikit melingkar. Kata dipergunakan sebesar-besarnya untuk mencipta gambar atau adegan. Misalnya, di pinggulmu selusin sayap ingin mengerjap. Hasil dari gambar atau adegan itulah yang menjadi referensi menuju pikiran. Melalui kelangsungan motivasi kata, tanpa penundaan seperti puisi Arief B. Prasetyo, kebersahajaan puisi Chairil Anwar makin kentara.
***
Apakah dengan perbedaan karakter puitik, Chairil Anwar yang bersahaja dan Arief B. Prasetyo yang berlimpahan, menjadikan satu dari keduanya lebih indah atau muatan estetikanya lebih tinggi? Saya hanya memastikan, kedua penyair memiliki perbedaan gaya pengucapan.
Penggunaan perangkat puitik yang berlimpahan, bisa jadi, sumber penting pengalaman jiwa. Kebersahajaan pengucapan, bisa jadi, cara tepat pengungkapan jiwa. Keduanya berbeda seperti perbedaan karya sastra bentuk haiku dengan karya sastra bentuk novel. Karya pertama terdiri hanya tujuh belas suku kata. Karya kedua terdiri dari puluhan ribu bahkan ratusan ribu suku kata. Sulit dipastikan, manakah lebih indah dari keduanya.
Tulisan ini hanya berpretensi pada cara wajar memandang penyair dan ciptaannya. Puisi bisa bebas untuk ditafsirkan. Puisi bebas juga diproduksi ulang. Saya kurang bersepakat dengan perhatian berlebihan terhadap penyair. Tindakan tersebut hanya akan memposisikan penyair dan karyanya sebagai mitos.
Saya bergembira, tulisan ini meyakini ”puisi Chairil Anwar tidak lebih bagus atau lebih buruk dari puisi Arief B. Prasetyo” dan dari penyair lain. Lebih bergembira lagi, tulisan ini meyakini adanya pergeseran, mungkinkah ini sebuah perkembangan, konsepsi estetika dalam kepenyairan pasca-Chairil Anwar.
Surabaya, 2002
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Musthafa
A Rodhi Murtadho
A Wahyu Kristianto
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Wachid BS
Abdullah al-Mustofa
Abdullah Khusairi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimanyu
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Maulani
Adek Alwi
Adhi Pandoyo
Adrian Ramdani
Ady Amar
Afrizal Malna
Agnes Rita Sulistyawati
Aguk Irawan Mn
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Subiyakto
Agus Sulton
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahm Soleh
Ahmad Farid Tuasikal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Luthfi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadie Thaha
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rasyid
AJ Susmana
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander Aur
Alexander G.B.
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Rif’an
Aliela
Alimuddin
Alit S. Rini
Alunk Estohank
Ami Herman
Amich Alhumami
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminudin TH Siregar
Ammilya Rostika Sari
An. Ismanto
Anaz
Andaru Ratnasari
Andhi Setyo Wibowo
Andhika Prayoga
Andong Buku #3
Andrenaline Katarsis
Andri Cahyadi
Angela
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Sudibyo
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Zulkifli
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayu Utami
Azyumardi Azra
Babe Derwan
Bagja Hidayat
Balada
Bandung Mawardi
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Bernadette Lilia Nova
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Bhakti Hariani
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budi Winarto
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Bustan Basir Maras
Camelia Mafaza
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Choirul Rikzqa
D. Dudu A.R
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Darmanto Jatman
Dedy Tri Riyadi
Delvi Yandra
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Anggraeni
Dian Basuki
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dian Yanuardy
Diana AV Sasa
Dinar Rahayu
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Warsidi
Edy Firmansyah
EH Kartanegara
Eka Alam Sari
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil Amir
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
F. Budi Hardiman
Fadly Rahman
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fani Ayudea
Fariz al-Nizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatkhul Aziz
Felix K. Nesi
Film
Fitri Yani
Franditya Utomo
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Garna Raditya
Gde Artawan
Geger Riyanto
Gendhotwukir
George Soedarsono Esthu
Gerakan Surah Buku (GSB)
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Tri Atmojo
H. Supriono Muslich
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim H.D.
Hamberan Syahbana
Hamidah Abdurrachman
Han Gagas
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Helwatin Najwa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendriyo Widi Ismanto
Hepi Andi Bastoni
Heri Latief
Heri Listianto
Herry Firyansyah
Heru Untung Leksono
Hikmat Darmawan
Hilal Ahmad
Hilyatul Auliya
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husnun N Djuraid
I Nyoman Suaka
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilenk Rembulan
Ilham khoiri
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Budi Santosa
Imelda
Imron Arlado
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Margareta
Indra Darmawan
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ingki Rinaldi
Insaf Albert Tarigan
Intan Hs
Isbedy Stiawan ZS
Ismail Amin
Ismi Wahid
Ivan Haris
Iwan Gunadi
Jacob Sumardjo
Jafar Fakhrurozi
Jajang R Kawentar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean-Marie Gustave Le Clezio
JJ. Kusni
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Julika Hasanah
Julizar Kasiri
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kadir Ruslan
Kartika Candra
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Ketut Yuliarsa
KH. Ma'ruf Amin
Khaerudin
Khalil Zuhdy Lawna
Kholilul Rohman Ahmad
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Krisandi Dewi
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kuswinarto
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lenah Susianty
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
M Shoim Anwar
M. Arman A.Z.
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Harya Ramdhoni
M. Kasim
M. Latief
M. Wildan Habibi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria hartiningsih
Maria Serenada Sinurat
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Marsus Banjarbarat
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masriadi
Mawar Kusuma Wulan
Max Arifin
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Mezra E. Pellondou
Micky Hidayat
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Moh Samsul Arifin
Moh. Syafari Firdaus
Mohamad Asrori Mulky
Mohammad Afifuddin
Mohammad Fadlul Rahman
Muh Kholid A.S.
Muh. Muhlisin
Muhajir Arifin
Muhamad Sulhanudin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Azka Fahriza
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naskah Teater
Nezar Patria
Nina Setyawati
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noor H. Dee
Noval Maliki
Nunuy Nurhayati
Nur Haryanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurudin
Octavio Paz
Oliviaks
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Panda MT Siallagan
Pandu Jakasurya
PDS H.B. Jassin
Philipus Parera
Pradewi Tri Chatami
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rahmat Sutandya Yudhanto
Raihul Fadjri
Rainer Maria Rilke
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridha al Qadri
Ridwan Munawwar
Rikobidik
Riri
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rizky Andriati Pohan
Robert Frost
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Romi Febriyanto Saputro
Rosihan Anwar
RR Miranda
Rudy Policarpus
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Gerilyawan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra
SelaSastra ke #24
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Subhan SD
Suci Ayu Latifah
Sulaiman Djaya
Sulistiyo Suparno
Sunaryo Broto
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunudyantoro
Suriali Andi Kustomo
Suryadi
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Susilowati
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Bahri
Syam Sdp
Syarif Hidayatullah
Tajuddin Noor Ganie
Tammalele
Tan Malaka
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Tengsoe Tjahjono
Th Pudjo Widijanto
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Joko Susilo
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi
Umar Kayam
Undri
Uniawati
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Vyan Tashwirul Afkar
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyudin
Wannofri Samry
Warung Boenga Ketjil
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Web Warouw
Wijang Wharek
Wiko Antoni
Wina Bojonegoro
Wira Apri Pratiwi
Wiratmo Soekito
Wishnubroto Widarso
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Wing King
WS Rendra
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yosi M. Giri
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Yuyu AN Krisna
Zaki Zubaidi
Zalfeni Wimra
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhaenal Fanani
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Zulhasril Nasir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar