S. Jai*)
http://ahmad-sujai.blogspot.com/
EMPAT aktor—seorang diantaranya perempuan—di atas panggung memitoskan sebentuk orang-orangan yang mengenakan sarung dan raut wajah tertutup topeng warna putih. Pada leher sebatang manusia yang digantung di ujung bambu persis di tengah panggung itu juga menjuntai selendang putih bersih.
Empat aktor itu khidmad memuja yang dilanjutkan dengan menyeka kulit tubuhnya sendiri dengan air, lalu menghentakkan kaki pada tanah dan sepanjang pertunjukkan actor-aktor bermain dalam bias cahaya api dari lilin di panggung bagian depan.
Aktor terus bermain dengan keseluruhan gesture dan idiom tubuhnya. Sesekali dua kali muncul tubuh aktor lain berperawakan sangat tinggi, aneh, berkaki palsu, berkepala warna merah, berdahi super besar, berjubah. Ia lebih menyerupai makluk angkasa luar dalam film-film Alien. Begitu aneh jelas itu bukan melukiskan tubuh manusia, mungkin tubuh setan atau sejenisnya yang dimainkan oleh manusia berlaku kekanak-kanakkan.
Itulah pertunjukkan Teater Payung Hitam dari Bandung Puisi Tubuh yang Runtuh yang kurang lebih berdurasi 30 menit, di Gedung Cak Durasim, Jl. Gentengkali 85 Surabaya, Kamis malam, 25 Maret 2010 lalu. Meski demikian Rahman Sabur (53), sang sutradara sengaja menggerakkan pola bermain tidak saja pada tubuh aktor-aktornya, melainkan juga dengan pukau slide bergambar topeng. Selain topeng itu sendiri yang lantas dikenakan oleh keempat aktornya.
Sampai di sini, tampaknya akan memunculkan asumsi ketidakpercayaan sepenuhnya pada tubuh, untuk tidak segera membawa pemahaman dominasi atas tubuh—sesuatu cara berpikir aristotalian yang jelas ditolak dari pilihan estetika pertunjukkan ini. Meski demikian hadirnya banyak elemen di luar tubuh aktor justru disadari karena berangkat dari spirit bahwa bagaimanapun tubuh tidak pernah sendiri. Setidaknya alam menjadi bagian dari tubuh atau tubuh telah menyatu dengan alam. Inilah yang coba ditaklukkan ke dalam semacam gagasan atau konsep estetis Teater Payung Hitam maupun oleh sang sutradara Rahman Sabur.
Kiranya menyebut nama Rahman Sabur ini penting mengingat berkali-kali ditegaskan spirit Puisi Tubuh yang Runtuh bermula dari persoalan yang sangat personal. Dalam arti persoalan pribadi—dan mungkin juga bukan soal ilmu pengetahuan—yakni perjuangan melawan penyakit stroke ketika tubuhnya sama sekali tidak bisa digerakkan dan juga tidak bisa berbicara. Pada tingkat ini, pada pribadi sutradara menyakini apa yang dikonsepkan dramawan Suyatna Anirun, bahwa berteater adalah untuk menemukan manusia, berhadapan dengan kenyataan. Rahman Sabur boleh menambah deretan teater sebagai terapi.
Di luar itu semua lebih banyak terkandung misteri atau rahasia teater: mitos, tradisi, identitas, simbol dan sudah barang tentu ideologi atau pengetahuan. Yaitu pengetahuan dalam bahasa sosiologi fenomenologi Peter Berger dan Thomas Luckmann perihal internalisasi maupun eksternalisasi dari sutradara maupun aktor-aktor di panggung atas realitas keseharian. Terus terang pada Puisi Tubuh yang Runtuh misteri ini menjadi hal yang sangat menarik dalam dunia hermeneutic sekaligus confuse, membingungkan karena menutup diri—apabila tak merelakan diri segera kembali menggunakan pola pikir model Aristotelian.
Mempertimbangkan mitos Cerita Panji misalnya akan berhadapan pada resiko membuat teks baru dari spirit Panji secara utuh, dan bukan demi sepenggal semisal menukil ruh dari tokoh Panji ataukah ruh Candra Kirana. Ini yang tampaknya tidak dilakukan oleh Teater Payung Hitam. Mitos adalah suatu dunia, demikian pula Cerita Panji adalah dunia. Sebagaimana puisi juga suatu semesta yang memang tidak sederhana. Apalagi musti ditambah dunia wayang topeng (Cirebon, Malang, Madura) di dalamnya yang memang mengambil inspirasi dari Cerita Panji. Sesuatu dunia bukanlah sebuah dunia. Sesuatu dunia adalah dunia yang tak berbingkai.
Karena itu menikmati pertunjukkan Puisi Tubuh yang Runtuh dengan menyederhanakan semesta-semesta, teks-teks tersebut adalah suatu hal yang memiskinkan sense of aesthetic. Dunia ini sangat rumit dan fatalnya tingkat kerumitan teks pertunjukkan ini justru disokong oleh sebuah cara berpikir penyederhanaan. Berbeda tentu saja, manakala menikmati kerumitan itu oleh karena “spiritulitas” memang segalanya tak mau diam. Bahkan sepotong topeng yang keindahannya menakjubkan justru saat berdiam diri, malah dikacaukan dengan gerakan yang pada akhirnya menghancur-leburkannya.
Satu hal amat menarik diajukan dalam analisis Zoetmulder pada Manunggaling Kawula Gusti. Dikatakan bahwa sebetulnya dalam diri Panji kita berjumpa dengan gambaran mengenai Tuhan yang menampilkan diri di dalam dunia. Ia seolah-olah meninggalkan kedudukannya yang asli selaku Dzat Mutlak lalu mengembara jauh diluar negeri-Nya, terlindung oleh samarannya sehingga hanya mereka yang terpilih dapat mengenal-Nya. Jenggalane nut tan adoh, Jenggala tan katilar (Megatruh Serat Centini). Juga dari teks Asmaradana, wayang topeng dengan kisah pernikahan Panji dan Kirana, Zoetmulder mengulas ada pesan bahwa manusia bisa tersesat oleh apa yang mereka anggap kenyataan. Hyang sukmalah yang menyembunyikan diri dalam badan manusia, sehingga manusia tidak melihat Dia dan hanya terserap oleh badan yang hanya berfungsi sebagai topeng.
Dengan kata lain menangkap spirit cerita panji, ruh dari bentuk sebuah mitos jauh lebih subtansial ketimbang menguasai bentuk artistik. Bentuk suatu pencapaian artistik boleh hancur dan tak perlu ditangisi. Agar tak tergelincir pada pengalaman kebimbangan dan sebagai penganut romantisisme yang kerdil dengan berbangga pada masa silam tanpa peradaban. Sebaliknya, mengharu-biru, berdarah-darah hanya dalam mempertahankan bentuk bakal menenggelamkan diri pada sikap narsistis.
Penyederhanaan atau usaha untuk menaklukkan suatu misteri ini tampaknya proses transformasi yang agak mengganggu pada pertunjukkan Teater Payung Hitam kali ini. Hal itu tampak sebagai usaha malu-malu untuk menggeser konsep teater dari titik kulminasi yang dicapainya di bawah baying-bayang proses teater. Utamanya saat beresiko menumbukkan tubuh dengan topeng, tradisi dengan modern, mitos dengan puisi, hitam dengan putih bahkan mungkin sakral dengan profan. Masing-masing punya sejarah dan takdir yang hanya dengan kejujuran, keiklasan dan kebesaran jiwa sanggup untuk bertemu, berdialog agar memperkaya diri berkat puncak-puncak kulminasi identitas teater.
Apa yang tersebut terakhir ini ditemukan pada konsep bermain dalam pengertian yang seutuh-utuhnya, setinggi-tingginya sonder reduksi ideologi berpikir tertentu. Apalagi cara berpikir model Cartesian yang kesohor cogito ergo sum. Sebetulnya hal itu bisa ditangkap dari bangun artistik pertunjukkan, dimana di panggung tergantung berayun lima bambu vertikal yang mengesankan alami namun sakral. Aktor-aktor tersebut bermain di ruang dan dalam kesepakatan permainan mereka sendiri. Kesepakatan bermain inilah meminjam istilah Johan Huizinga, yang menjadi ajang ruang luang untuk bergerak dalam diri maupun tubuh keaktoran—dan di sisi lain penikmat teks permainan dipertemukan dengan waktu dan ruang pertunjukan teater. Permainan adalah suatu perbuatan atau kegiatan sukarela yang dilakukan dalam batas-batas ruang dan waktu tertentu yang sudah ditetapkan, menurut aturan yang telah diterima tapi mengikat sepenuhnya dengan tujuan dalam dirinya sendiri, disertai oleh perasaan tegang dan gembira, dan kesadaran ”lain daripada kehidupan sehari-hari.”
Hanya dengan demikianlah apa yang menjadi credo muasal Teater Payung Hitam dalam “dialektika antara realitas dan idealitas” mampu menempuh lintas ruang waktu. Meskipun ketiganya baik dialektika, realitas maupun idealitas produk dari suatu aliran filsafat barat namun sanggup menembus proses tranformasi menuju kulminasi identitas teater pasca-modern Indonesia atau teater pasca mitos kita. Estetika baru yang pernah dicapai Teater Payung Hitam saat mendekonstruksi teks Kaspar-nya Peter Handke seakan inhern dengan situasi dan kondisi krisis kemanusiaan, ketidakadilan, kekerasan, otoritarianisme, politik pada massanya. Pendeknya, Teater Payung Hitam yang menurut kabar bakal menggelar karya terbaru Rahman Sabur ini pada public festival di Belgrade Serbia di Patosoffiranje International Multimedia Festival di Serbia yang berlangsung 2 Juli hingga 20 Agustus 2010 nanti, bakal melestarikan suatu utopian perihal kesepakatan abadi. Yakni sepakat untuk sejenak tidak menjadi manusia modern. Sejenak untuk menjadi makluk primitif oleh karena bentuk-bentuk permainan paling suci ada pada spirit hidup makluk primitif–sudah barangtentu termasuk di dalamnya dunia binatang.[]
*) Penulis adalah pengarang dan pegiat komunitas teater keluarga, tinggal di pinggiran hutan jati Lamongan selatan.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Musthafa
A Rodhi Murtadho
A Wahyu Kristianto
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Wachid BS
Abdullah al-Mustofa
Abdullah Khusairi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimanyu
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Maulani
Adek Alwi
Adhi Pandoyo
Adrian Ramdani
Ady Amar
Afrizal Malna
Agnes Rita Sulistyawati
Aguk Irawan Mn
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Subiyakto
Agus Sulton
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahm Soleh
Ahmad Farid Tuasikal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Luthfi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadie Thaha
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rasyid
AJ Susmana
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander Aur
Alexander G.B.
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Rif’an
Aliela
Alimuddin
Alit S. Rini
Alunk Estohank
Ami Herman
Amich Alhumami
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminudin TH Siregar
Ammilya Rostika Sari
An. Ismanto
Anaz
Andaru Ratnasari
Andhi Setyo Wibowo
Andhika Prayoga
Andong Buku #3
Andrenaline Katarsis
Andri Cahyadi
Angela
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Sudibyo
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Zulkifli
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayu Utami
Azyumardi Azra
Babe Derwan
Bagja Hidayat
Balada
Bandung Mawardi
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Bernadette Lilia Nova
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Bhakti Hariani
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budi Winarto
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Bustan Basir Maras
Camelia Mafaza
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Choirul Rikzqa
D. Dudu A.R
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Darmanto Jatman
Dedy Tri Riyadi
Delvi Yandra
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Anggraeni
Dian Basuki
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dian Yanuardy
Diana AV Sasa
Dinar Rahayu
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Warsidi
Edy Firmansyah
EH Kartanegara
Eka Alam Sari
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil Amir
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
F. Budi Hardiman
Fadly Rahman
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fani Ayudea
Fariz al-Nizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatkhul Aziz
Felix K. Nesi
Film
Fitri Yani
Franditya Utomo
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Garna Raditya
Gde Artawan
Geger Riyanto
Gendhotwukir
George Soedarsono Esthu
Gerakan Surah Buku (GSB)
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Tri Atmojo
H. Supriono Muslich
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim H.D.
Hamberan Syahbana
Hamidah Abdurrachman
Han Gagas
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Helwatin Najwa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendriyo Widi Ismanto
Hepi Andi Bastoni
Heri Latief
Heri Listianto
Herry Firyansyah
Heru Untung Leksono
Hikmat Darmawan
Hilal Ahmad
Hilyatul Auliya
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husnun N Djuraid
I Nyoman Suaka
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilenk Rembulan
Ilham khoiri
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Budi Santosa
Imelda
Imron Arlado
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Margareta
Indra Darmawan
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ingki Rinaldi
Insaf Albert Tarigan
Intan Hs
Isbedy Stiawan ZS
Ismail Amin
Ismi Wahid
Ivan Haris
Iwan Gunadi
Jacob Sumardjo
Jafar Fakhrurozi
Jajang R Kawentar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean-Marie Gustave Le Clezio
JJ. Kusni
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Julika Hasanah
Julizar Kasiri
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kadir Ruslan
Kartika Candra
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Ketut Yuliarsa
KH. Ma'ruf Amin
Khaerudin
Khalil Zuhdy Lawna
Kholilul Rohman Ahmad
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Krisandi Dewi
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kuswinarto
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lenah Susianty
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
M Shoim Anwar
M. Arman A.Z.
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Harya Ramdhoni
M. Kasim
M. Latief
M. Wildan Habibi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria hartiningsih
Maria Serenada Sinurat
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Marsus Banjarbarat
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masriadi
Mawar Kusuma Wulan
Max Arifin
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Mezra E. Pellondou
Micky Hidayat
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Moh Samsul Arifin
Moh. Syafari Firdaus
Mohamad Asrori Mulky
Mohammad Afifuddin
Mohammad Fadlul Rahman
Muh Kholid A.S.
Muh. Muhlisin
Muhajir Arifin
Muhamad Sulhanudin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Azka Fahriza
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naskah Teater
Nezar Patria
Nina Setyawati
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noor H. Dee
Noval Maliki
Nunuy Nurhayati
Nur Haryanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurudin
Octavio Paz
Oliviaks
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Panda MT Siallagan
Pandu Jakasurya
PDS H.B. Jassin
Philipus Parera
Pradewi Tri Chatami
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rahmat Sutandya Yudhanto
Raihul Fadjri
Rainer Maria Rilke
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridha al Qadri
Ridwan Munawwar
Rikobidik
Riri
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rizky Andriati Pohan
Robert Frost
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Romi Febriyanto Saputro
Rosihan Anwar
RR Miranda
Rudy Policarpus
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Gerilyawan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra
SelaSastra ke #24
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Subhan SD
Suci Ayu Latifah
Sulaiman Djaya
Sulistiyo Suparno
Sunaryo Broto
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunudyantoro
Suriali Andi Kustomo
Suryadi
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Susilowati
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Bahri
Syam Sdp
Syarif Hidayatullah
Tajuddin Noor Ganie
Tammalele
Tan Malaka
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Tengsoe Tjahjono
Th Pudjo Widijanto
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Joko Susilo
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi
Umar Kayam
Undri
Uniawati
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Vyan Tashwirul Afkar
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyudin
Wannofri Samry
Warung Boenga Ketjil
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Web Warouw
Wijang Wharek
Wiko Antoni
Wina Bojonegoro
Wira Apri Pratiwi
Wiratmo Soekito
Wishnubroto Widarso
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Wing King
WS Rendra
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yosi M. Giri
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Yuyu AN Krisna
Zaki Zubaidi
Zalfeni Wimra
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhaenal Fanani
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Zulhasril Nasir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar