Minggu, 27 Juni 2010

Puisi Imron Tohari, Denny Mizhar, Muhajir Arifin

http://www.sastra-indonesia.com/
JERAMI
Imron Tohari

Aku cemburu
Bagaimana bisa kau seperti itu
Tabah dalam sakitmu
Harum dalam lukamu

Sebelum garing tubuhmu ditetak
kau tompang bulir-bulir padi merunduk
dan bersama angin, meliuk
mengiringi senyum-senyum yang
asyik bercengkrama di pematang

Engkaulah sebenar-benarnya pecinta
dengan lembut berkata-kata
“Jangan bakar aku
jangan bakar aku
tak ingin asapku koyak moyak jumantara*)
dan lalu meniadakan tawa penggembala
di kala masa”

Jikalau lalu akhirnya awan memecah derai
pergantian hari membusukkan raga
jerami. Adalah darma pecinta
membuat benih jamur tumbuh dari tubuh yang luka

Wahai Sang Pembuat Cinta
yang meniupkan nafas-nafas kehidupan
Dari rahim-rahim tanah yang liat

: Tidaklah hamba seketika akan jadi jerami
kecuali pada angin hamba menitip
abjad-abjad yang tersusun dari air mata
serupa mantra

“Tuhan. Dengan panasnya tungku asmara
hati ini
bila mulai mengeras tempa menjadi lembut
bila mulai beku bakar menjadi hangat
dan jadikan putih— bila mulai karat”

Duhai, wahai, Sang Pembuat Cinta
yang duduk agung di singgasana nurani

Tidaklah hamba ingkar adanya luka
Jikalau tiba saat marah kecewa
tak sepatutnya menorehkan pedih juga
kepahitan yang kini mendera-dera
telah kujadikan tembang kasih
tembang kasih

Tembang…
Kasih…

15 Juni 2010

*) ju•man•ta•ra kl n awang-awang; langit; udara.



PUISIKU MAU KEMANA
Denny Mizhar

:Ia yang melahirkan aku

Entah kemana ia berlari.
Sedang aku masih di sini

Pernah aku menghampiri
Dengan suci bahasa illahi
Menderetkan kata hati
untuk menundukkan diri

Tetap saja ia tak mau terkunci

Sekali bersua kembali
Ia menangisi melati
Tangkainya patah lagi
Tak ada harum mewangi

Sebab itu ia tak mau mendekam dalam diri

Sempat juga ia sembunyi
Dalam perut tak berisi
Beryanyi-nyanyi tantang negeri
Dan memaki-maki
Mengharap keadilan kembali

Karena itu ia tak mau bungkam sendiri

Kadang juga menelusup di alam sepi
Menjerat suasana sunyi
Mengasingkan diri dengan bersemedi
Dalam pekat malam hari

Dengan itu ia tak mau dicari

Kemana puisiku pergi
Ku harap ia kembali
Mematuki tubuh ini

Malang, Juni 2010



LAMONGAN-KEDIRI
Muhajir Arifin

ada yang pelan-pelan membunuhku ketika jauh darimu
ha!
betapa ingin kuingkari ruang dan waktu

lamongan-kediri
o
nyeri sekali, dihujan duri

lamongan-kediri
ah
akan kutembus dadamu yang putih sebentar lagi

(2009)

Berkesenian dari Pinggiran

Ilham khoiri, Dahono Fitrianto
http://cetak.kompas.com/

Geliat seni modern di Indramayu, Jawa Barat, mungkin bisa mewakili gambaran susahnya berkesenian dari daerah pinggiran. Para seniman di kawasan pantai utara Jawa ini gamang: belum kukuh mengolah kekuatan lokal, tetapi juga sulit mengikuti dinamika seni kontemporer. Bagaimana usaha mereka mencari jati diri?

Gerimis merintik di Kota Indramayu, Kamis (26/11) siang. Sejumlah seniman berkumpul di Panti Budaya, gedung pertemuan bersahaja yang disulap jadi ruang seni, sanggar tari, sekaligus markas Dewan Kesenian Indramayu (DKI). Beberapa orang sibuk berlatih menari, sebagian bermain musik, beberapa lagi asyik berbincang.

”Kami sering berkumpul di sini untuk sekadar ngobrol atau mengurus kegiatan seni,” kata Syayidin (43), pelukis sekaligus Ketua DKI. Dua pelukis muda lain, Abdul Gani alias Adung dan Abdul Aziz, ikut menemani.

Lulusan Jurusan Kriya Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta tahun 1992 itu bercerita, ada 15-an pelukis di situ yang aktif berkarya secara modern. Mereka pernah berpameran di beberapa gedung di daerah itu. Bagaimana karya mereka?

Syayidin banyak mengangkat figur manusia yang umumnya tengah memainkan alat musik. Lukisannya cenderung impresionis-ekspresif: disapukan cepat, hanya menonjolkan bagian tertentu, serta menonjolkan aspek gerak.

Beda lagi dengan lukisan Adung yang bergaya realisme fotografi. Obyek manusia digambar tunggal dan rinci dengan latar bidang diblok satu warna. Kadang, diimbuhi unsur topeng merah berwajah Klana, tokoh populer dalam tari topeng Indramayu.

Karya dua seniman ini tak jauh berbeda dari tren seni rupa di kota besar. Corak lukisan Syayidin mengingatkan pada sapuan SP Hidayat, pelukis asal Indramayu yang dianggap sukses dan rajin berpameran lewat Linda Gallery di Jakarta. Gaya Adung selaras dengan realisme-fotografis ala lukisan kontemporer China yang masih digemari di Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta.

”Kami memang sering melihat-lihat katalog pameran di kota,” kata Syayidin yang pernah mencoba berkesenian di Jakarta, tetapi kemudian balik lagi ke Indramayu.

Mengkota

Hasrat mengacu pada seni kota (sebut saja mengkota) juga berlangsung di bidang seni modern lain, katakanlah sastra dan teater modern. Kegiatan sastra di Indramayu ditopang banyak penyair dan beberapa penulis cerpen muda. Mereka mendirikan Yayasan Sastra Indramayu dan Forum Masyarakat Indramayu, menggelar pentas baca puisi dalam kegiatan ”Panen Puisi” serta menerbitkan sejumlah buku antologi puisi, seperti Tanah Garam (1992) dan Percakapan Ombak (2002).

Beberapa penyair menerbitkan antologi sendiri. Penyair Yohanto A Nugraha menerbitkan Orasi Sunyi (2005), Supali Kasim dengan Bergegas ke Titik Nol (2007), dan Acep Syahril lewat Negri Yatim (2009). Mereka pernah mengundang sejumlah penyair nasional, seperti Sapardi Djoko Damono, Abdul Hadi WM, Jamal D Rahman, dan Afrizal Malna.

Ketimbang terus berkubang dengan problem lokal, puisi mereka banyak membicarakan isu nasional, mulai dari soal Reformasi, ketimpangan kota dan desa, berbagai kisruh negeri, atau fenomena televisi. Bagaimana dengan gaya puisinya?

”Kami dekat dengan gaya puisi Afrizal Malna,” kata Yohanto alias Abuk. Gaya berpuisi Afrizal yang reflektif, visual, dan seakan tanpa beban narasi dianggap cocok dengan para penyair di situ.

Dalam berteater, Indramayu punya sejumlah kelompok teater modern, seumpama Basic/Coret, Studio 50, Merah-Putih, dan Gigin Lintang. Hanya saja, pertunjukan teater belum stabil karena masih bergantung pada kegiatan seremoni tahunan, seperti ulang tahun kabupaten atau tanggapan. Pentas terakhir, ”Monolog Tarling Jumiatin” oleh Studio 50, dianggap mencerminkan bentuk terbaru.

Naskah garapan Ucha M Sarna itu ditangani sutradara Candra N Pangeran, jebolan STSI Bandung. Lakon ini mengangkat kisah TKI yang bermasalah saat pulang kampung. ”Bentuknya seperti tarling yang diabsurdkan, agak dekat dengan gaya teater Payung Hitam Bandung,” kata Ucha.

Gamang

Pertumbuhan seni rupa, sastra, dan teater modern di Indramayu menggambarkan para seniman di daerah itu masih gamang. Pada satu sisi mereka berusaha menguntit dinamika seni kontemporer dengan mengadopsi tema urban beserta gaya kesenian di kota. Usaha itu belum melahirkan karya bernas yang mengukuhkan eksistensi mereka di pentas nasional.

”Kami masih kesulitan menembus kancah nasional,” kata Abdul Aziz, penyair dan pelukis kaligrafi.

Pada sisi lain, akibat usaha mengadopsi urbanisme itu mereka malah menjadi agak berjarak dari problem lokal dan akar tradisi. Lukisan seniman di sana, misalnya, tak lagi berangkat dari lukisan kaca tradisional atau lukisan dekorasi sandiwara, juga tak banyak merespons problem lokal. Sastra modern tak mengembangkan sastra tutur tradisi seperti Macapat alias Kepujanggan (syair yang ditembangkan). Begitu pula teaternya belum mengolah kekuatan sandiwara rakyat yang masih hidup sampai sekarang.

Sebenarnya para seniman di Indramayu menyadari, problem sosial di kawasan itu bisa jadi inspirasi berkarya. Kekuatan novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari terletak pada kemampuan mengangkat problem lokal di Banyumas. Di tangan Teater Garasi asal Yogyakarta, pergulatan hidup di jalanan pantura melahirkan lakon teater-tari Jejalan yang menarik.

”Masalahnya, kami masih kurang percaya diri, kurang total dalam mengeksplorasi kekuatan lokal dalam seni modern,” kata Ucha. Penggiat teater Suparto Agustinus menambahkan, dana kurang dan manajemen lemah juga turut mengganggu proses kreatif.

Meski begitu, para seniman itu bertekad bakal bekerja lebih keras demi menemukan jati diri. ”Kami tak akan pernah berhenti berkesenian,” kata Acep Syahril lantang.

Semangat semacam itu juga tersirat pada patung monumen perjuangan di belakang jalan Bundaran Mangga, salah satu persimpangan penting di Kota Indramayu. Patung buatan para seniman Indramayu dan Jakarta itu menampilkan sosok lelaki kekar mengacungkan galah panjang. Sayang, bentuk efek gerak pada patung itu juga tak lepas dari hasrat tampak mengkota: mirip gaya realisme patung karya Nyoman Nuarta di Bandung dan Jakarta.

Langit Ketiga Puluh Tiga

Sunlie Thomas Alexander
http://suaramerdeka.com/

Ketika bunga padma mekar, itulah saat baginya untuk pergi mencari jalan menuju langit ketiga puluh tiga, sam sip sam thian 1). Hanya di kala bunga padma mekarlah, ia dapat menemukan jalan itu. Sebagaimana yang selalu dikatakan pamannya yang tua. Mengapa, pamannya juga tidak mengerti. Karena memang begitulah petunjuk yang terdapat dalam Kitab Thung Su 2) yang tak dapat ditawar-tawar, tukas pamannya.

Tetapi kini, di sebuah tebing tinggi, ia terpaksa berhenti sejenak. Dia tengadahkan wajah ke langit. Mencoba mencari posisi matahari. Sia-sia. Langit begitu muram dengan awan hitam tebal yang bergumpalgumpal. Karena itu untuk mengetahui waktu yang tepat pun sulit baginya. Padahal ia harus segera menuju ke timur, ke arah matahari terbit. Arah mana orang-orang selalu menghadap dengan tiga batang hio di depan dada saat memanjatkan doa. Karena arah itulah yang telah diberitahu oleh seekor burung kundul tanpa bulu ekor yang dilihat di tepi hutan karet tiga hari lalu. Burung itu sambil memekik keras terbang ke arah timur dari pinggiran hutan terbakar.

Ia memang selalu yakin Song Ti 3) akan senantiasa membimbingnya lewat pertandapertanda di langit dan bumi. Namun saat ini, ketika letak matahari pun tak dapat diketahui, pertanda apakah yang diberikan mendung?
Maka diletakkannya buntalan kainnya di tanah tebing. Membuka ikatan buntalan itu, lalu mengeluarkan sebuah kompas dari sana.
Dia cari-cari tempat yang datar hingga ditemukan sebuah batu cadas yang pipih untuk meletakkan kompas. Dia perhatikan dengan saksama kompas pemberian seorang pendeta bermata kudus itu berputar, menunggu sampai huruf E terdiam.

Untuk beberapa waktu, ia masih terpaku di atas tebing tinggi itu, memandang ke kejauhan dengan mata terpicing. Berharap menemukan sebuah pondok atau pohon lebat tempat ia dapat berteduh bila hujan tiba-tiba runtuh. Tetapi sejauh matanya sanggup memandang, yang tampak hanyalah hamparan rumput kering meranggas dengan sebuah sungai kecil yang mengalir di kejauhan. Namun firasatnya mengatakan kalau di balik sungai kecil itu ada perkampungan. Dia masukkan kompas kembali ke dalam buntalan lalu bergegas berlari menuruni tebing. Hujan rintik-rintik langsung menyergap begitu kaki menginjak padang rumput kering. Sejenak hatinya agak ragu, namun ia cepat-cepat membaca doa untuk memusnahkan segala ganjaran:

Lam bu kiu khou khiu lan Kwan See Iem Pou Sat,
Pek chian ban ek hut, heng ho sua sou hut 4)

Doa itu, yang diajarkan oleh pamannya, memancar bagaikan sebuah mata air di pegunungan yang melenyapkan dahaga, menyiram kebimbangannya. Ia pun berlari kencang menerobos hujan yang menderas.

***

Ia berangkat pada hari suci Kwan Iem Pou Sat 5) mencapai moksa, 19 Lak Gwee.
Ketika itu hujan juga turun dengan derasnya 6). Pamannya mengiringi kepergiannya dengan menabuh sebuah gendang kecil berwarna merah yang biasa digunakan dalam ritual di kelenteng sambil melantunkan syairsyair dari Kitab Suci Koo Ong Kwan See Iem Keng.

Sebuah kitab yang syahdan bila dibaca sebanyak 1000 jurus, akan membuat kesulitan pupus seperti embun disapa matahari pagi. Bahaya api tak akan mendekati, senjata tajam tidak mempan, kemarahan berbalik jadi kesukaan, dan kematian menjadi kehidupan. Itu juga kata pamannya, meski pada awalnya ia hanya percaya dengan setengah hati. Tetapi sejak kecil ia memang telah diwajibkan membaca kitab tersebut dengan tekun, hingga menghafal semua doa-doa yang terdapat di dalamnya.
Pagi itu, sesudah bersujud kepada delapan Pou Sat dan membakar tiga batang hio menghadap ke langit timur dengan bergegas karena hujan rintik-rintik mulai turun, ia pun meninggalkan rumah yang membesarkannya.
Sebenarnya hatinya masih diliputi perasaan was-was mesti meninggalkan pamannya yang tua, yang akan tinggal sendirian setelah kepergiannya. Tetapi perjalanan itu telah begitu lama memanggil, sejak pamannya membuka Kitab Thung Su pada suatu malam dan menemukan takdirnya tertera di sana. Ia tahu, ia tidak akan dapat menolak takdir itu lantaran tanggal, bulan, dan tahun kelahirannya tercantum jelas di sana. Sebagaimana Hou Xiang Tjhe 7) tidak dapat menolak takdir menjadi dewa, meskipun harus menjalani tiga kali reinkarnasi.

Sejak semula ia tahu, kalau perjalanan ini tidaklah mudah. Akan penuh dengan rintangan. Tak urung pada malam itu ia sempat tergetar. Dan tak dapat memejamkan mata hingga pagi menjelang. Teringat ia pada kisah Rahib Tang yang mendapat takdir melakukan perjalanan ke Barat untuk mencari kitab Mahayana dengan dikawal tiga siluman yang bertaubat.

***

Masa kecilnya dihabiskan di kampung kecil yang hibuk dengan doa, dengan bunyi gong yang nyaring bergema dari kelenteng tua, dan santer aroma hio itu. Setiap pagi dan sore, berduyun-duyun orangótua-muda, besar-kecil, laki-perempuanóbakal datang ke kelenteng besar yang dijaga dua buah arca Khilin 8) di muka pintunya tersebut.
Memohon rezeki, penyembuhan penyakit, atau meminta jodoh. Pamannya selalu sibuk melayani orang-orang yang datang, membuka-buka Kitab Sam Se Su 9), membacakan pantun dan syair-syair, juga mantera bagi para Thung Se 10)yang akan menjadi perantara dewa-dewi dalam ritual. Ia selalu membantu. Memotong kertas-kertas kuning untuk phu 11), atau menyiapkan hio dan gelas-gelas berisi air putih. Tak jarang pula ialah yang menabuh gong besar dari kuningan, tiga puluh tiga kali. Dari perlahan hingga semakin cepat hingga suara gong yang lantang bergaung jauh ke ujung tanjung.

Bila siang hari dan kelenteng sepi dari pengunjung, biasanya ia akan duduk di bawah sebatang pohon ceri besar di seberang kelenteng sambil memperhatikan laju perahu-perahu sampan para nelayan yang menyisir sungai berkelok-kelok. Sampai sampansampan itu lenyap di belakang kelenteng.
Kadang ia akan mengeluarkan seruling bambu dari dalam tas rumput resam yang selalu dibawa, memainkan lagu-lagu tua yang sering dinyanyikan pamannya. Suara tiupan seruling itu akan terbawa angin, saling tindih-menindih dengan suara gesekan daundaun bambu yang tumbuh rimbun di seberang sungai.
Lalu pada malam-malam yang panjang, sambil duduk berdiang di depan tungku di dapur, pamannya akan berkisah tentang riwayat Buddha, juga bagaimana para Pou Sat dan dewa-dewi menempuh jalan berliku-liku hingga mencapai langit ketiga puluh tiga.
Tempat segala yang baik dan bijak berdiam.
Pintu gerbangnya dijaga oleh Dewa Erl Lang bermata tiga dan Anjing Langit. Tak ada seorang pun yang dapat memasuki gerbang suci tersebut selain orang-orang yang memang telah ditakdirkan Song Ti untuk memasukinya, tukas sang paman. Pamannya juga mengajarinya membaca pelbagai macam mantera pengundang dewa. Yang dihafalnya dengan tersendat-sendat

Thi mun sam sip sam thian thai kau cu
Thai song ng ngian cin lo kiun
Bong mu chit chien liung tu cun12)

Sampai pagi itu, ia terbangun pagi-pagi sekali. Udara yang masih diliputi kabut tipis begitu dingin menggigit. Setelah memberi makan ayam dan bebek peliharaan, ia melihat bunga padma di kolam ikannya telah mekar. Ia tahu, itulah tanda baginya untuk pergi. Hari itu adalah hari kesempurnaan Kwan Iem Pou Sat.

***

Aku mendengar cerita ini dari seorang tua di sebuah kota kecil yang pikuk. Kota yang terletak di tepian timur sungai kecil keruh itu dulunya –kata orang tua yang bicara denganku-adalah sebuah kampung yang kumuh, miskin, dan terbelakang. Para penduduknya selalu berwajah murung dan lebih suka menghabiskan waktu dengan melamun, bermain gaple atau menyabung ayam. Bila Tuan datang ke kampung itu, yang akan Tuan temui hanyalah pemandangan yang sangat tidak menyenangkan. Jalanjalan berdebu dipenuhi sampah, rumahrumah tua tak terawat yang lebih mirip kandang berdempetan. Dengan lelaki-lelaki yang termenung sepanjang hari di muka rumah bersama segelas kopi, perempuan-perempuan dekil yang selalu bermuka masam, serta anak-anak yang kurus kering berperut buncit.
Kampung itu betul-betul terpencil. Satu-satunya penghubung kampung tersebut dengan dunia luar hanyalah jembatan bambu kecil di sungai yang tinggal menunggu waktunya ambruk. Untuk menemukan kendaraan bermotor, Tuan harus berjalan kaki puluhan kilo hingga tiba di kampung lain yang terdekat.

Sampai pada suatu hari, ketika hujan turun dengan begitu deras, padahal telah berbulan-bulan hujan tak turun, Llewatlah orang suci itu dengan sebuah buntalan kumal, dengan sekujur tubuh yang basah kuyup. Wajahnya begitu elok, bercahaya laksana malaikat. Membuat perempuan-perempuan terpukau takjub. Dan ketika ia berbicara, suaranya penuh wibawa dengan tutur kata yang begitu halus. Karena itu percayakah, Tuan, kalau begundal yang paling laknat pun seolah menjadi tak berdaya?
Serempak pintu-pintu rumah segera terbuka untuknya singgah berteduh (Syahdan, orang suci itu sendiri juga nyaris tak percaya. Ia jadi terkenang pada pendeta bermata kudus tinggal di atas bukit yang memberinya sebuah kompas. Pendeta tua yang telah mengajarinya membaca pertanda di langit).
Maka ia pun memilih salah satu rumah, yaitu rumah orang tua yang bercerita padaku.
Karena hujan tidak juga reda sementara hari semakin gelap, akhirnya orang suci itu memutuskan untuk bermalam di rumah tersebut. Orangñorang kampung pun seketika berdatangan mengerumuninya. Mendapatkan kejadian yang tak disangka-sangkanya itu, sambil menyantap ubi rebus dan menghirup kopi yang disuguhkan, orang suci itu akhirnya bercerita. Ia bicara tentang penderitaan Buddha dan perjalanan para Pou Sat, seperti yang selalu dikisahkan pamannya kepadanya. Juga mengenai dirinya sendiri.
Orang-orang yang mendengarkan jadi ternganga dengan muka terbengong-bengong, lalu berebutan menciumi tangannya.

Ah, aku jadi ikut-ikutan terpukau mendengar cerita yang dituturkan orang tua yang kutemui di kota kecil itu… Konon, ketika keesokan pagi-pagi sekali, orang suci itu akan berangkat lagi meneruskan perjalanannya ke timur, orang-orang kampung melepaskannya dengan air mata bercucuran.
Anak-anak dan para perempuan bergantian memeluknya.

Begitulah Tuan, setelah keberangkatannya, di kampung itu pun mulai terjadi perubahan yang tak terduga. Wajah para penduduk berangsur-angsur mulai tampak cerah.
Perempuan-perempuan mulai suka bernyanyi ketika mandi-mencuci di sungai dan anakanak tampak begitu riang bermain.
Kemudian seperti digerakkan oleh sesuatu yang gaib, tak dinyana satu per satu para lelaki diikuti para perempuan mulai kembali turun ke ladang. Ada pula yang berternak dan membuka warung makan di pinggir jalan.
Entah kenapa, kehadiran orang suci itu bukan hanya membangkitkan semangat para penduduk tetapi juga seperti membawa berkah.
Hujan menjadi kerap turun, menyuburkan kembali tanah-tanah yang retak, membuat tanaman-tanaman meruap hijau segar.

“Orang-orang tak henti-hentinya bersyukur. Setiap kali malam Minggu tiba, mereka berkumpul di tanah lapang, tua-muda hingga kanak-kanak. Mereka bernyanyi, menabuh gendang dan rebana, lalu berjoget dengan riuh,“ kata orang tua yang bicara denganku itu menerawang.

Tak lama kemudian satu demi satu para perantau pun mulai berpulangan. Termasuk yang telah meninggalkan kampung puluhan tahun dan belum pernah sekali pun pulang lagi. Hal itu kemudian disusul dengan berdatangannya orang-orang asing. Mereka membuka perkebunan sawit, toko-toko, bahkan kemudian mendirikan pabrik es.
Dalam kurun waktu lima tahun, siapa yang menduga kampung kumuh yang senyap itu telah berubah menjadi sebuah kota kecil yang hiruk-pikuk.

Aku semakin tercengang. Tapi orang tua yang bicara padaku itu tiba-tiba berhenti berkisah. Sekilas aku menangkap sebersit sinar matanya yang begitu pilu. Aku menunggu dengan jantung berdebar-debar.
Cukup lama. Sampai akhirnya ia kembali membuka mulut bicara. Suaranya terdengar serak dan parau, seperti menyimpan suatu beban yang amat berat.

Dengan mata berkaca-kaca, ia kemudian bercerita bagaimana pada suatu sore sepulang dari ladang, ia menemukan ibunya sedang bergelut dengan seorang lelaki asing dalam kamar. Amarahnya tanpa dapat dibendung, langsung mendidih serupa minyak sayur yang dituangkan ke atas wajan panas. Tanpa berpikir panjang, dikuncinya pintu rumah dari luar. Lalu dengan tubuh bergetar dituangkannya bensin ke sekeliling rumah dan langsung menyalakan korek api hingga dalam waktu sekejap saja, papan-papan lapuk rumah tua peninggalan mendiang ayahnya itu telah berderak-derak dilahap lidah api yang meliuk-liuk ganas. Sambil tertawa terbahakbahak seperti orang kurang ingatan, ia pun berkacak pinggang menyaksikan bagaimana rumah yang membesarkannya itu semakin tenggelam dalam kobaran api bersama jeritan-jeritan histeris di dalamnya. Aku merasa kedua lutut goyah, dan mulutku begitu kering. Kejadian itu telah puluhan tahun yang lalu, waktu itu orang tua yang menceritakan padaku masihlah seorang pemuda tanggung.

Aku tidak tahu –agaknya juga tidak seorang pun yang tahu, termasuk lelaki tua yang berkisah padaku–di mana orang suci itu sekarang. Ke mana ia pergi dan apakah ia berhasil menemukan jalan menuju langit ketiga puluh tiga. Aku hanya mengenang cerita tentang orang suci itu sebagai sebuah cerita yang aneh dan menuliskannya untuk Tuan.

Bangka, 2004-2007/ Yogyakarta, 2010

Catatan:
1. Sam sip sam thian: langit lapis ketiga puluh tiga. Dalam khazanah mitologi, konon merupakan khayangan tingkat tertinggi. Tempat Kaisar Giok (Nyuk Fong Thai Ti) dan para dewata berdiam.
Keberadaannya sering digambarkan secara profan dalam sejumlah karya sastra Cina klasik seperti Si Yu Ki, Nan Yu Ki, Tung Yu Ki dan lain-lainnya yang sangat kental dengan ajaran Buddha. Penyebutannya juga ditemukan dalam banyak mantera ritual Lok Thung (trance) yang dilakoni para penganut Senisme (berasal dari kata Sen=dewa).
2. Thung Su: semacam buku pintar yang berisi berbagai perihal tentang dunia-akhirat.
3. Song Ti: salah satu sebutan untuk Tuhan.
4. Dikutip dari Kitab Suci Koo Ong Kwan See Iem Keng.
5. Pou Sat: Bodhisatva.
6. Pada hari-hari suci para Bodhisatva (dan dewata), konon diyakini akan selalu turun hujan deras.
7. Hou Xiang Tjhe: salah satu dari Delapan Dewa (Pat Sien). Konon ia menolak keras takdirnya menjadi dewa lantaran cintanya kepada isteri dan ibunya yang sudah tua. Sehingga Kerajaan Langit menghukumnya bereinkarnasi sampai tiga kali.
8. Khilin: binatang Barongsay, binatang ganjil perpaduan singa dan naga.
9. Sam Se Su: sejenis buku primbon.
10. Thung Se: medium/ pengantara para dewata dalam ritual Lok Thung (trance).
11. Phu: kertas kuning persegi panjang yang berisi mantera penolak bala.
12. Mantera mengundang Dewa Thai Song Lo Kiun.

Puisi-Puisi Satmoko Budi Santoso

http://sastrakarta.multiply.com/
MATA MALAMKU, 1

mata malamku membiru
terpagut neon, lampion dan portal
yang menjulang di kota-kota

mata malamku disergap maut
berkelebat di antara bayang-bayang hitam
menggigil di pinggiran trotoar

mata malamku mengaduh
mengingat cabikan taji angka-angka
beban almanak atas usia

mata malamku memicing
menerka kesempatan yang lewat
sebelum siang terjagalkan kepastian

Yogyakarta, 2006



MATA MALAMKU, 2

kita ingat: bangku panjang di alun-alun
yang telah diduduki sepasang pengantin (yang belum terakadkan)
“jangan lupa pada pacar lama
undanglah semau ia,” ucap salah seorang
melintas di belakang bangku panjang itu
pergi, menjejak sisa tapak-tapak kaki
agar alpa maksud hati

Yogyakarta, 2006



KUNANG-KUNANG, 1

sebagai kunang-kunang aku melintas
pada mata malammu terseok di antara lampion
yang menggigil digampar hujan

sebagai kunang-kunang aku berserah
mungkin masih ada tempat istirah
dari rindu-dendam kampung halaman
tempat hamparan sawah resah dibajak

Yogyakarta, 2006



KUNANG-KUNANG, 2

kuingat kunang-kunang yang kemilau
menggampar mata sesiapa pun yang mengerjap malu
menunduk di sepanjang pematang

sebagai petani aku biasa berjalan malam hari
bertabrakan dengan ratusan kunang-kunang
yang melintas tak tahu malu, tak tahu diuntung
menjadi cermin suka-cita hari-hariku
yang kerap muram karena bencana
karena cuaca yang berang
mengguyur sawah tak tahu maksud
tergelincir dari musim yang salah

Yogyakarta, 2006

Kamis, 03 Juni 2010

Facebook dan Sastra Kita

Panda MT Siallagan
http://www.hariansumutpos.com/

Sastra Indonesia mutakhir diwarnai beragam defenisi dan polemik yang menyertai perjalanannya. Pernah menghangat perdebatan tentang sastra kontekstual versus sastra universal di era 80-an, lalu belakangan menyusul sejumlah polemik tentang sastra buku, sastra majalah, sastra koran, sastra saiber, sastra komunitas dan terakhir sastra facebook.

Maka bicara tentang sastra Indonesia mutakhir, sungguh tak lagi mudah. Kita telah menemukan sejumlah karya sastra multimedia, yang lahir dari hati dan pikiran para blogger dan kini merebak liar fenomena facebook. Sejak munculnya situs sastra www.cybersastra.net beberapa tahun lalu, aliran dan gerak kreativitas kesusasteraan di jejaring maya ini terus menderas. Dan secara objektif, para blogger dan facebooker itupun sudah banyak lahir jadi penulis di koran-koran. Inilah sastra kontemporer kita paling objektif. Banyak karya yang bertaburan di ranah maya itu terkadang justru mengalahkan kualitas karya-karya yang muncul di koran.

Terlepas dari polemik tentang kualitas, fenomena facebook dalam perjalanan sastra Indonesia kontemporer menjadi penting diperbincangkan. Paling tidak, kehadiran facebook terbukti telah mampu memicu gairah dan tradisi menulis di kalangan pengguna. Bahkan telah banyak dari mereka mulai tampil dan berkompetisi di berbagai media massa baik lokal maupun nasional. Dan menariknya, facebook juga mampu merangsang gairah penerbitan buku-buku sastra meskipun masih terbatas dilakukan sejumlah komunitas.

Salah satu buku karya para facebooker yang saat ini ramai dibicarakan di jejaring maya dalah Merah yang Meremah. Buku ini merupakan kumpulan puisi 10 Penyair Perempuan di Facebook yaitu Dewi Maharani, Faradina Izdhihary, Helga Worotitjan, Kwek Li Na, Nona Muchtar, Pratiwi Setyaningrum, Shinta Miranda, Susy Ayu, Tina K dan Weni Suryandari. Perlu diketahui, 10 perempuan ini berasal dari berbagai tempat di tanah air, bahkan ada yang berasal dari Taiwan.

Mengejutkan, buku ini mendapat tanggapan serius dari sejumlah sastrawan Indonesia. Leonowens SP, misalnya, menyebutkan bahwa puisi-puisi dalam buku itu menyentuh, imajinatif, sarat makna, dan cerdas.

Medy Loekito, penyair Indonesia yang kerap menulis haiku, mengatakan bahwa hadirnya buku itu mengejutkan. “Sungguh mengejutkan membaca perkembangan puisi penyair wanita Indonesia yang ditampilkan lewat media cyber. Tampak dengan jelas betapa kebebasan yang disediakan oleh media cyber ini terutama FB betul-betul tidak tersia-siakan. Dan kemampuan penyair wanita Indonesia “menjinakkan” media cyber ini jelas berperan penting bagi perkembangan sastra Indonesia,” katanya.

Selain penerbitan buku, berbagai komunitas sastra juga bermunculan di facebook. Komunitas Anak Sastra, misalnya, hadir di facebook sebagai penggiat sastra dan linguistik. “Kami menyadari peranan bahasa dan sastra begitu besar dalam menunjang Indonesia yang mampu melawan budaya Globalisasi. Majulah Bahasaku Jayalah Sastraku,” begitu pengelola menuliskan tagline-nya. Hingga Jumat (8/1), di akun ini tercatat 621 member Lalu ada Sastra Indonesia, gubahan anak-anak UI. Jejaring ini menampilkan tagline bernuansa solidaritas: Kami banyak. Kami satu. Kami Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, 2008!

Akun lain adalah bernama Komunitas Mata Aksara, sebagaimana tercantum di bilik infornya, hadir untuk mengambil peran sebagai wadah telaah sastra, penerbitan dan workshop penulisan. Lebih jauh, komunitas ini juga memfokuskan komitmennya terhadap telisik sastra dan penulisan populer, kajian budaya (culural studies), kajian spiritual, kajian sosial, dan kajian pendidikan.

Di jejaring ini, tercatat sebagai dewan redaksi Handoko F Zainsam, Khrisna Pabichara, Salahudin Gz, Yayan R. Triyansyah. Beberapa nama ini sudah mulai muncul dalam intensitas terbatas di sejumlah media.

Bagaimana dengan Medan? Sejauh ini belum kelihatan adanya kelompok kreatif memanfaatkan jejaring populer ini membangun sastra di daerah ini. Generasi terbaru pencinta sastra dan para sastrawan yang ‘udah di menara gading’, agaknya lebih suka main FB sendiri tanpa berusaha membangun semangat kreatif generasi baru lewat kompensasi saiber ini.

Untunglah ada facebook milik Fakultas Sastra UISU, selain sastramedan.com. Tapi di kedua media ini, belum kelihatan adanya energi baru tentang upaya membangun sastra di Medan atau di Sumut. Facebook memiliki keunggulan tertentu karena di sana berbagai kelompok bisa berinteraksi lebih komunikatif, massal, dan bebas.

Tapi bagaimanapun, perkembangan sastra Indonesia bukan soal Sumut, Sumbar, Jawa, Bali, Kalimantan dll, tapi soal bagaimana para pekerja sastra menyumbangkan pikiran untuk Indonesia dan dunia di tempat dan kebudayaannya masing-masing dan menggunakan segala wadah secara kreatif.

Simak perkataan penyair Heru Emka, “Cukup wajar bila FB menjelma menjadi media baru yang cukup ekspresif untuk mencurahkan berbagai ungkapan perasaan, termasuk puisi yang sebelumnya menjadi wilayah angker bagi orang awam seperti kata Chairil Anwar: “Yang bukan penyair tidak ambil bagian”. Bukankah penyair itu bukan darah turunan dan siapa saja boleh menulis puisi? (berbagai sumber)

Rabu, 02 Juni 2010

Sajak-Sajak Saut Situmorang

http://sautsitumorang.wordpress.com/
27 Mei 2006

aku kehilangan jalan pulang kepadaMu, kekasihku

tikungan jalan dan batu kerikil
yang selalu menyapaku
dengan hangat matahari tropik sore itu
sudah tak ada di tempatnya yang dulu.
begitupun rumah rumah batu sederhana
dan gang kecil berlobang
yang membawaku
ke gairah matamu
yang selalu menunggu
di anak kunci pintu.
anak anak masih ribut
main layangan,
perkutut dan cicakrawa
masih saling tukar nyanyian
tentang kampung halaman

yang hilang dari ingatan…

aku kehilangan jalan pulang kepadamu, kekasihku
dan cuma mampu berdiri
termangu
berusaha membayangkan
senyummu

harum tubuhMu pun hilang
dicuri bumi di subuh khianat itu!

Jogja, 21 Juli 2006



bantul mon amour

di antara reruntuhan
tembok tembok rumah, di ujung
malam yang hampir sudah, kita hanyut
dipacu selingkuh kata kata, seperti bulan
yang melayari tepi purnama di atas kepala. rambut kita
menari sepi di angin perbukitan
yang menyimpan sisa amis darah
& airmata.
lalu laut menyapa
dengan pasir pantai & cemburu
matahari pagi. tak ada suara
burung laut, para pelacur pun
masih di kamarnya bergelut. dalam kabut
alkohol aku biarkan kata kata
menjebakku dalam birahi
rima metafora. kemulusan kulit
kupu kupumu & garis payudaramu
yang remaja membuatku cemburu
pada para dewa yang, bisikmu,
menggilirmu di altar pura mereka. aku menciummu
karena para dewa tidak
memberimu cinta sementara aku
cuma punya kata kata
yang berusaha melahirkan makna.

jogja 2007



aku ingin

aku ingin bercinta denganmu
waktu gempa lewat

di kota kita.

saat itu
pasti tak ada
keluh cemas, sinar mata ketakutan
atau gemetar kakimu
yang membuatku termangu,

berbuat apa tak tahu.

aku ingin bercinta denganmu
waktu kematian itu
kembali,

mengusik retak retak lama
di dinding rumah
yang tegak

berusaha tetap gagah.

aku tak ingin
melihat kematian

mempermainkanMu.

Jogja, 9.8.2007

Bumi Kesunyian ”Arco Etrusco”

Ribut Wijoto
http://www.sinarharapan.co.id/

Puisi memang tidak bisa dikekang. Puisi ”Arco Etrusco” (antologi puisi Di Atas Umbria, 1999:7-8) dari Acep Zamzam Noor menunjukkan perilaku itu. Sebuah puisi tentang sunyi. Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan terakhir (2001) mendefinisikan ”sunyi” sebagai tidak ada bunyi atau suara, tidak ada orang, dan tidak banyak transaksi. Sunyi, suatu kondisi dan situasi yang mirip dengan lengang, hening, senyap, dan sepi. Tetapi puisi Acep tampaknya melampaui artian kamus, melampaui pemahaman publik, dan memilih pemahaman yang amat pelik: sunyi bukan lagi lengang.

Dari mana asalnya sunyi? Ke mana sunyi bertempat tinggal? Bait pertama puisi ”Arco Etrusco”: Kesunyian kita, dibangun dari tumpukan batu dan terowongan-terowongan gelap, lengkung-lengkung tiang dan menara katedral. Kesunyian kita, berlumut pada tembok-tembok dan menjadi undak-undakan waktu yang terus menanjak. Puisi ”Arco Etrusco” telah melampaui konsensus istilah.

Sunyi dipahami bisa terjadi dari segala benda, beragam situasi, bahkan sunyi datang dari tempat-tempat asing. Benda apa pun yang terpegang tangan manusia, seperti kejutan dalam sulap, diubah menjelma sunyi. Tiada benda mampu luput dari identitas kesunyian.

Sunyi memasuki tubuh pergerakan waktu, demikian yang diisyaratkan puisi ”Arco Etrusco”. Sejak lampau, saat sekarang, dan waktu kelak; sunyi senantiasa menggelibat erat. Tidak saja mengikuti, sunyi justru menjadi alat penggerak waktu. Mesin waktu. Ke mana waktu berusaha melangkah, adakah waktu pernah berhenti, sunyi siap mengantarkan. Semisal manusia, sejak lahir hingga kematian, seluruh usianya senantiasa dilekati kesunyian, dihidupi kesunyian.

Penggambaran pola penciptaan situasi sunyi dalam puisi ”Arco Etrusco”, yang bersifat bebas dan tidak terduga, berkesesuaian dengan kinerja ”hyperteks” yang digagas oleh Roland Barthes. Hyperteks dihasilkan dari kompleksitas referensi dan pencitraan. Pengibaratan teks adalah mata rantai elektron yang bergerak bebas dalam lorong pengganda. Seperti sunyi, bahan penciptaan hyperteks bisa berupa bahan apa saja. Seperti sunyi, hyperteks mampu hadir dalam setiap pergerakan waktu.

Hyperteks merupakan representasi dari ketakberhinggaan. Lanjutan puisi ”Arco Etrusco”: Terbaca pada dinding angin, kebisuan mega, dan hujan yang tertahan di udara. Lalu kita menyaksikan semuanya. Gedung-gedung dibangun dan dirubuhkan, jalan-jalan melingkar seperti kata-kata, pohon-pohon meregang dan menyusut. Tapi matahari tetap membakar lubuk tanah dan mayat-mayat tegak dari kematiannya. Semuanya kesunyian kita. Semuanya adalah kesunyian. Sunyi semua. Absolutisitas ini dimungkinkan karena sunyi mengalami pertumbuhan dan percepatan-percepatan. Pada peristiwa apa pun, dan bergerak ke mana pun, manusia akan menemukan kesunyian telah tegar bertengger.

Akrobatik gambaran kesunyian puisi ”Arco Etrusco” menciptakan penafsiran yang amat terbuka. Karena semua adalah kesunyian, berarti semua hal dapat dipahami melalui pemahaman karakter kesunyian. Perluasan medan wacana. Sunyi menghubungkan wilayah-wilayah yang jauh, menghubungkan referensi yang berbeda-beda bahkan berlawanan. Hyperteks. Menurut Kimberly Amaral dalam Hypertext and Writing: An overview of the hypertext medium (1994), ”Tersedia informasi yang berlimpah-limpah di sekitar hyperteks”. Seseorang dilegalkan untuk masuk lewat segala lorong, dan setelah sampai di dalam sunyi, tersedia pilihan lorong yang jumlahnya lebih banyak lagi untuk melanjutkan perjalanan. Semuanya berposisi horisontal, sejajar, dan setara. Tidak ada keutamaan, tidak ada yang lebih penting. Semua penting. Semuanya kesunyian kita.

Sunyi dalam puisi ”Arco Etrusco”, tidak seperti kelengangan sunyi dalam pengertian kamus, dapat dianalogikan dalam kapasitas radio memanjakan pendengar. Sebuah radio menghubungkan pendengar dengan berbagai stasiun pemancar. Pendengar pun memperoleh aneka berita, informasi selebritas, informasi harga cabe, siaran pemerintah, dan pendengar diberi kesempatan berpartisipasi menentukan lagu. Semua ada di radio.

Semuanya kesunyian kita. Menurut Barthes (S/Z), ”Di dalam teks ideal ini ada banyak jaringan (rèseaux) dan ada banyak interaksi, yang tidak saling mengungguli. Ini sebuah galaksi penanda, dan bukannya struktur petanda. Kode siap memperluas cakrawala sejauh pencapaian mata, bahkan melampaui kesanggupan indera manusia.” Asal mula sunyi, tempat-tempat yang disinggahi, referensi yang disajikan, akrobatik ilustrasi, aneka peristiwa yang melatari, dan seluruh penampakan kesunyian dalam puisi ”Arco Etrusco” memang membentuk tamasya tanda. Sebuah galaksi penanda, mengandaikan adanya makna-makna, dan bukannya struktur petanda, kemustahilan makna paten disebabkan tajamnya sindikasi pertentangan dalam setiap materi teks. Makna hanya mungkin untuk diandaikan tetapi tidak mungkin untuk ditetapkan. Begitu banyak wujud kesunyian sehingga mustahil merangkum dalam satu kepastian konsep. Sunyi, tidak sesederhana di dalam kamus, tampil sebagai ketakberhinggaan.

Sunyi dalam puisi ”Arco Etrusco” tentu bukannya tanpa struktur sama sekali. Kata-kata dalam puisi, sekali lagi perlu ditekankan, membentuk jaringan. Tanda-tandanya ada dan bisa dikenali. Berumah pada pergerakan waktu dan berpijak pada kerutan-kerutan ruang. Kesan sunyi ini mungkin cocok dengan pemikiran Jacques Derrida tentang kesatuan konstan Albert Einstein. Pada sebuah simposium di John Hopkins University (1966) Derrida menjelaskan, ”Ia adalah suatu aturan permainan yang tidak menguasai permainan; ia adalah suatu peraturan permainan yang tidak mendominasi permainan”. Sunyi seperti halnya permainan, memiliki peraturan, hanya saja, sama seperti permainan-permainan yang lain tetap masih ada karakter main-main, penuh kejutan, menggoda, sublim, dan tanpa kebakuan. Tidak ada kepastian hukum dalam permainan.

Jaringan kesunyian yang berjubel ilustrasi dan mendekati pola permainan. Hyperteks, ini merupakan tantangan besar bagi strukturalisme. Para pembaca karya sastra yang strukturalis terbiasa mencari makna teks dan memastikan makna hasil pencarian ketetapan. Kerja pencarian makna yang dijalaninya terancam kesia-siaan. Menurut Leo Kleden dalam ”Teks, Cerita dan Transformasi Kreatif” (Kalam, 1997), strukturalisme memang memiliki ciri khusus, ”berpegang teguh pada postulat dasar bahwa arti karya wacana tidak bergantung pada maksud pembicara, pendengar atau realitas yang dibicarakan, melainkan pada struktur teks semata-mata”. Padahal pemaknaan kesunyian dalam puisi ”Arco Etrusco” bergantung kepada kepentingan pembaca. Makna dapat diperoleh sejauh batas horison harapan pembaca, yang tentu saja, arah dan intensitas setiap pembaca berbeda. Makna yang diperoleh pembaca, lebih tepat disebut ”seakan-akan makna”, pada perkara hyperteks, hanya berupa fragmentasi dari sekian ragam makna yang dimungkinkan oleh puisi. Masih banyak makna melingkup dalam kerahasiaan, bahkan melampaui kesanggupan indera manusia.

Bait terakhir puisi ”Arco Etrusco”: Disusun dari tumpukan batu dan kebisuan pintu-pintu, lorong-lorong perkampungan dan labirin tanpa ujung. Kesunyian kita, menghitam pada patung-patung dan menjadi kalimat-kalimat gelap, tapi senantiasa dibaca waktu, dengan matanya yang retak-retak. Kompleksitas sunyi semakin tampak dalam akhir puisi tersebut. Ada disebutkan juga, labirin tanpa ujung, sebuah niat untuk selalu menghindari perhentian gerak. Menghindari makna paten. Labirin. Sunyi yang amat riuh, gaduh, penuh pertautan metafor, sekaligus antarmetafor saling merapuhkan, saling berlawanan, sekadar untuk menuju pembebasan.

Mungkin semestinya, pada setiap diksi, frase, atau penggalan larik puisi ”Arco Etrusco” perlu diberi catatan kaki. Fungsinya menunjukkan keberkaitan puisi dengan segala referensi, dilema pemikiran yang diterjuni puisi, pertentangan antarilustrasi, dan penyesatannya terhadap realitas. Lebih dari itu, catatan kaki perlu untuk memaparkan bahwa segala yang dirujuk oleh puisi tidak selamanya memiliki pertautan di luar teks.

Catatan kaki terhadap puisi ”Arco Etrusco”, apabila dikonkretkan, tentu akan menghasilkan pasar raya teks naratif. Jaringan referensi yang tidak membentuk keutuhan referensi, seakan hanya kebetulan bertempat dalam satu teks. Kondisi yang mirip dengan seseorang yang secara serentak membunyikan 40 radio, merk radionya sama, dengan stasiun pemancar yang berbeda-beda. Bingar. Sulit dibayangkan ada orang mampu berkonsentrasi terhadap 40 fokus suara. Memakai logika terbalik, puisi mampu merekat beragam referensi dalam satu (hyper)teks. Keajaiban, penciptaan puisi tentu bukan suatu keajaiban, hanya saja potensi referensi puisi layak untuk dihormati, layak untuk dipelajari.***

Penulis adalah esais sastra, tinggal di Surabaya

Masih Dihuni Muka Lama

Risang Anom Pujayanto
http://www.surabayapost.co.id/

”Sebagian besar sastrawan Surabaya dihasilkan dari lomba baca puisi, tapi lomba baca puisi 2009 kemarin seperti tidak ada yang bisa diharapkan untuk memunculkan nama baru di kancah kesusastraan daerah maupun nasional,” kata Ketua Dewan Kesenian Surabaya (DKS), Sabrot D Malioboro saat memberikan sambutannya di acara Malam Sastra Surabaya (Malsasa) 2009, di pendapa Taman Budaya-Jatim (29/12). Malsasa 2009 diharapkan dapat kembali memotivasi geliat kesusastraan Surabaya ke depan, lanjutnya.

Seperti Malsasa 2007 yang bertajuk ’Surabaya 714’, Malsasa 2009 juga menggelarpentaskan puisi dan geguritan. Hanya saja cerita pendek (cerpen) atau cerita cekak (cerkak) tidak kembali ditampilkan. Ini bukan menjadi masalah karena konsep awal Malsasa yang dilakukan sejak tahun 1989 memang adalah sekumpulan penyair untuk turut berpartisipasi merayakan hari jadi kota pahlawan. Dengan versi khas penyair, mereka menulis dan membacakan puisi.

Khusus Malsasa 2009 yang dilaksanakan di pendapa Taman Budaya-Jatim ini diikuti oleh 26 penyair dan penggurit dari 11 kota di kawasan Jatim. Penyair dan penggurit dari Banyuwangi, Blitar, Sidoarjo, Mojokerto, Lamongan, Caruban, Surabaya, Malang, Ngawi, Madiun dan beberapa kota lainnya, selain berkumpul untuk mempersembahkan sesuatu untuk kota Surabaya, ajang ini juga menjadi ajang menjalin tali silahturrahim antar-seniman Jatim.

Beberapa nama yang ikut dalam barisan Malsasa 2009 ini. Antara lain; AF Tuasikal, Akhudiat, Anas Yusuf, Aming Aminoedhin, Bagus Putu Parto, Bambang Kempling,Bonari Nabonenar, Budi Palopo, Beni Setia, Fahmi Faqih, Hardho Sayako SPB, Herry Lamongan, J F X. Hoery, Kusprihyanto Namma, Tan Tjin Siong, Tengsoe Tjahjono, Rusdi Zaki, Ribut Wijoto, R Giryadi, Sabrot D, Malioboro, Samsudin Adlawi, Suharmono Kasijun, Pringgo HR, Puput Amiranti, W Haryanto, dan Widodo Basuki.

Sementara sebagai variasi pemeriah acara Malsasa 2009, Sanggar Alang-Alang pimpinan Didit HP juga turut mengisi acara. Dengan alat tradisional, mereka memainkan irama lagu-lagu daerah Jatim. Dua penari semakin melengkapi acara kesenian malam itu menjadi menjadi semakin meriah.

Ketua Forum Sastra Bersama Surabaya, Aming Aminoedhin menjelaskan, Malsasa 2009 ini dimaksudkan untuk kembali membisikkan sastra kepada telinga masyarakat. Pasalnya, gaung sastra di Surabaya dan Jawa Timur kurang terdengar lagi. Suaranya sangat lirih. Kalau pun ada, gregetnya masih melingkupi area intern.

”Saya tidak melihat signifikansi penyelenggaraan kegiatan sastra di Jawa Timur, khususnya di Surabaya,” tegas Aming Aminoedhin.

Sejatinya, penyelenggaraan sastra di Surabaya dan Jatim tidak bisa dikatakan minim. Tercatat setiap bulan ada diskusi sastra dalam ’Halte Sastra’. Baru-baru ini, Festival Seni Surabaya 2009 juga menggelar lomba nembang macapat, lomba geguritan, dan lomba maca crita cekak dengan bahasa Jawa Suroboyoan. DKS juga menggelar baca puisi pada pertengahan Desember 2009. Sementara di tingkat Jatim ada Festival Bazar Tantular yang diselenggarakan di Museum Mpu Tantular. Dalam festival ini juga masih mengikutkan bidang sastra. Kendati begitu, kata Aming, tidak adanya output yang jelas dalam semua pagelaran sastra tersebut membuat sastra tidak terlihat ketimbang seni-seni lainnya.

”Barangkali fakta kegiatan tersebut sanggup membuktikan bahwa sastra Jawa Timur tidak lesu darah. Hanya gaungnya saja yang kurang bergairah,” kata pria yang pernah dijuluki sebagai ’Presiden’ Penyair Jatim itu.

Melihat acara Malsasa 2009 dapat dikatakan terdapat beberapa hal menarik untuk dicatat. Pertama, penyair dan penggurit yang berpartisipasi merupakan seniman sastra senior. Kedua, semacam aktualisasi diri karena ternyata ada penyair atau penggurit yang mampu membacakan masing-masing karyanya dengan baik. Ketiga, sastra Surabaya dan Jatim masih berhenti pada lingkaran genre persajakan. Sempat keluar, berkembang, tapi kembali lagi. Bagi sastrawan Surabaya; sastra adalah puisi, tanpa kebalikan. Keempat, semangat tinggi sastrawan Jatim tak pernah mati.

Khusus pernyataan terakhir, bahwa dikatakan semangat tidak pernah mati karena kegiatan Malsasa meskipun berbekal dengan dana minim, terlebih didanai secara mandiri, tetapi perhelatan acara Malsasa 2009 masih bisa berlangsung dengan lancar dan meriah.

”Dari dulu untuk membuat buku antologi puisi, Kami selalu patungan sendiri. Ini jika dikatakan sebagai proyek, maka proyek merugi. Meski begitu, Kami ingin membuktikan dedikasi Kami kepada dunia kesusastraan Surabaya dan Jatim,” papar Aming Aminoedhin. Setidaknya, Malsasa 2009 mampu memberi warna baru dan sanggup membuat angin segar dalam peta pentas sastra Surabaya dan Jatim, imbuhnya.

Upaya mengadakan Malsasa 2009 ini tidak sia-sia. Teknik pembacaan puisi yang meliputi penampilan panggung, vokalisasi, ekspresivitas sangat mendukung suasana atas teks. Aming Aminoedhin, misalnya. Eksplosivitas pembacaan puisi Aming yang meledak-ledak dengan suara menggelegar, kadangkala disertai dengan satu kakinya terangkat di atas kursi menunjukkan bahwa puisi merupakan persoalan serius yang mencengkeram problematika kehidupan.

Sementara Sabrot D Malioboro sebaliknya. Kelugasan teknik pembacaan menjadi kekuatan tersendiri dalam mentransfer isi puisi yang diharapkan kepada pendengar. Mendayu-dayu, tenang seolah berada di tanah lapang yang penuh kebebasan. Bebas mencerap apa saja tanpa ketakutan. Baris kata cinta itu membahana di samudera luas. ’Bulan berlayar’.

Lain Aming Aminoedhin, lain Sabrot D malioboro, lain pula Akhudiat. Salah satu sesepuh Bengkel Muda Surabaya itu menggunakan kekuatan prolog sebagai penghantar masuk ke dalam pembacaan puisi. Persoalan kiamat 2012, teleskop hubble, dan kelakar cerdas merespon tata cara kesetiaan Aming dalam berpuisi pun terlontar dari mulutnya serupa gerbong panjang. Rentetan narasi sebelum dirinya membacakan salah satu puisi yang pernah dibuatnya.

”Ketika buih di laut menjelma kata Allah, dan di atasnya berdiri Aming yang sedang membaca puisi,” begitu akhir prolog Akhudiat.

Berbicara Malsasa, sejatinya tema yang diangkat berkisar tentang lingkungan dan habitus Surabaya. Entah berkisar tentang kebersihan, kesemerawutan, kekumuhan, kekasaran, sumpah serapah kota, keserakahan, sejarah dan sebagainya asalkan akrab dengan keSurabayaan.

Dan, antologi puisi Surabaya Kotaku di tahun 1989 yang di dalamnya ada nama-nama sastrawan besar seperti Aming Aminoedhin, Ang Tek Khun, Viddy Alymahfoedh Daery, Roesdi-Zaki, Jil P Kalaran, Pudwianto, dan Herry Lamongan menjadi peletak tradisi Malsasa yang digelarpentaskan hingga saat ini. Namun karena watak dasar seorang seniman yang tak mau dikotak-kotakan, maka tematik ini pun menyebar ke berbagai arah, seperti percintaan, daun, bulan, mentari, gunung, bahkan kata dengan segala keampuhan daya ungkapnya.

”Ijinkan Saya membuka Malsasa 2009 ini dengan puisi Akhudiat yang berjudul Keindahan Ada Di Mana-Mana,” kata Aming Aminoedhin. Bersama kita buka majelis puisi ini, Selamat Menikmati.

Sajak-Sajak Sabrank Suparno

GARUDA MAJAPAHIT

Kepada para perintis, pendiri republik ini
Maha Patih Gajah Mada
Aku ingin menziarahimu sejenak untuk sekedar pelepas rindu atau bertegur sapa
Sebab surat sumpah serapahmu yang kau kumandangkan
beratus-ratus tahun silam, tak kunjung kami baca.

Maha Patih Gajah Mada
Saat kau bertengger di singgasana tahta
Jawa-Nusantara mercusuar di dua pertiga belahan dunia

Kaulah garuda raksasa itu
Serak koarmu menggelegar
Kepakan sayapmu lebar
Jarahan terbangmu jauh tuk lintasi seribu benua dan berjuta pulau
Akomodasi daya tatapan mata tajam incar mangsa buruan
Perawakanmu kekar dan bulu-bulu yang sangar
Kaki kuku-kukumu cakar cengkeram erat menjerat

Datanglah gerombolan bandit berambut pirang
Mula-mula! mereka ngasak dan ngemis di negerimu ini
Kemudian kesengsem dengan kemolekan dan kekayaan ibu pertiwi

Maha Patih Gajah Mada
Ibu pertiwi sang kekasih belahan jiwa kemudian dirayu deiperkosa
Harta, kecantikannya di embat habis-habisan untuk
Mempermolek istri mereka di seberang sana

Bukan sekedar jatuh tertimpa tangga, melainkan tenggelam dalam pusaran muara
Gajah Mada sang Garuda Perkasa ditembak, ditangkap dan dimasukkan ke dalam sangkar tiga setengah abad.

Lepas dari sangkar tiga setengah abad, Sang Garuda kemudian ditangkap lagi pemburu Nipon, di tangkap lagi oleh Komunis, ditangkap lagi oleh Orde Baru, ditangkap lagi Orde Reformasi, ditangkap lagi, lagi dan lagiii.

Selama dalam sangkar, Garuda itu beranak pinak dan bercucu cicit. Anak cucu garuda dalam sangkar tak sehebat kakeknya dulu

Anak cucu dalam sangkar tak bisa terbang jauh di alam bebas. Badannya kaku, kepak sayapnya terkelungkup, kekuatannya lunglai, nafasnya engal-engal, dan bulu-bulunya rontok.
Anak-anak dan cucu-cucu garuda tak bisa lagi mengincar dan menyergap santapan, kecuali makanan yang sudah dihidangkan di depan mata.
Tak ada lagi kekondangan, kebanggaan sebagai anak-cucu keturunan garuda, kecuali yang bisa dilakukan hanyalah ngucuk, ngucuk dan ngucuk, notol, notol, dan notol, ngucuk dan notol tander apa saja didepannya.

Wahai nenek moyangku sang Garuda Raksasa……………..
Setelah melampaui masa setengah milenium ini aku tak tau lagi
Kami generasimu yang keberapa?
Yang jelas kami bukan lagi anak dan cucu garuda, melainkan emprit-emprit dan cipret-cipret.

Seribu abad lebih kami terkurung sampai geriap rasanya.
Siapa yang akan melepaskan garuda ini? Siapa?

Wahai Indonesia!
Kau adalah anak yang dilahirkan Majapahit tahun 45 kemarin sore. Kenapa kau lahir sebagai anak durhaka yang membunuh dan memperkosa ibu pertiwi.
Kau lahir sebagai anak nakal yang nyatroni agama sebagai teman sepermainan.

Wahai Indonesia!
Lepaskan!
Lepas anak yang bernama cinta kasih dan kebersamaan
anak-anak yang bernama kesejahteraan
anak-anak yang bernama keluasan dan kelapangan

Hancurkan sangkar-sangkar itu
Tutup dan musnakan pabrik-pabrik sangkar

Terbanglah garudaku, terbanglah, terbanglah, terbanglah gingga benua seribu.



Mutara Dari Timur

Dan hampir aku tak bias bedakan
Mana matahari,mana engkau
Keduanya sama-sama libas gelap,hadirkan pagi

“Ma..! ma..! Matahari hengkang dari semak persembunyian ma.! Ia tersenyum lebar tawarkan cinta”,teriak Jawa sambil berdiri di halaman rumah.

“Apakah itu kau..menjelma..! Ataukah seruak hatimu ditampilkannya..!”

Kenapa ada..biji merni yang tak terkonstaminasi.Tubuh dan berkembang, tinggi dan menjulang, tanpa rumus, tanpa campuran.

Meski kau hadir tepat waktu, tetap saja ribuan harapan bertumpu.

Pengelilingmu seakan tak percaya, kalau itu celoteh seruak suaramu.”Para perempuan tidak mendidik anak-anaknya untuk memiliki rasa nasionalisme pada negaranya.

Mereka menyekolahkan, membiayai anak-anak untuk kemudian menyuruh pergi mencari uang sebanyak-banyaknya.

Perempuan ini melahirkan anak,yang tak lagi memiliki negri ini.Anak ini melahirkan cucu yang tak lagi memiliki negri ini.

Anak mereka dijadikan tumbal di gedung-gedung mewah,di rumah hangar binger,di pabrik mesin pencetak uang.

Perempuan yang telah merusak generasi, maka perempuan pula yang harus membenahi.

Jangan berharap apa yang telah diberikan bangsa ini kepadamu. Tapi bergeraklah apa yang bisa kau berikan untuk bangsamu.

Mutiara dari timur,..Jawa ..mengagumimu.

Kritik Sastra dan Alienasi Kaum Akademisi

Fahrudin Nasrulloh*
http://www.surabayapost.co.id/

Seperti apakah perkembangan sastra mutakhir Jawa Timur? Pertanyaan ini tidak gampang dijawab dalam satu penyoalan tapi justru dari sanalah kita bisa terus berupaya menggalinya dari berbagai perspektif. Perkembangan sastra di Indonesia boleh dikatakan sangat kuat dan menggembirakan. Munculnya berbagai jenis-bentuk dan genre sastra dalam dekade terakhir ini memperkaya khasanah sastra kita; melalui beragam perspektif dari hasil riset mereka di dalam kehidupan dan perkembangan persoalan di wilayah perkotaan yang memunculkan karya-karya yang dapat diandalkan dan mampu mengisi perbendaharaan rohani. Secara khusus misalnya, munculnya para penulis perempuan yang menguakkan diri mereka ke dalam masyarakat melalui novel, cerpen, dan puisi yang nampak seiring dengan tema-teman feminisme yang juga disorot dengan berbagai perspektif lain.

Begitu pula dengan para penulis lainnya yang berusaha untuk lebih memperkaya sastra melalui sejarah lokal melahirkan karya-karya yang bukan hanya dalam perspektif sastra saja, tapi bisa juga sebagai kontribusi di dalam perkembangan pemikiran sosial, antropologi, etnografi, keagamaan, dan lain-lain. Yang menarik, kini kita temukan suatu cara kerja dari kalangan penulis yang dengan intensif melakukan riset dan studi perbandingan melalui penelitian dari perspektif sosiologis, antropologi, etnografi, nilai-nilai religius, politik, etos kerja ekonomi. Semuanya itu dijadikan sebagai bahan dalam penciptaan karya.

Marilah kita ambil contoh puisi karya Mardi Luhung, salah satu penyair Jawa Timur yang kini sangat menonjol bukan hanya di wilayahnya saja, namun juga berpengaruh dalam kehidupan sastra di Indonesia. Puisi yang dihasilkan dari pengamatan yang intensif terhadap berbagai cerita lokal, legenda, mitos, fabel, dan celoteh humor warga serta cara pandang hidup dalam kehidupan seks dan sejarah leluhur keluarga menjadi bagian dari proses penciptaan penyair yang berdomisili di Gresik ini. Sama halnya dengan Nurel Javissyarqi, penyair Lamongan, melalui proses perjalanannya dalam studi keagamaan selama 8 tahun dan proses pencarian dasar-dasar pemikiran lokal yang dipadukan dengan keyakinannya serta sejumlah arus pemikiran global dari para pemikir pos moderen hingga membentuk keunikan dan kelebihan tersendiri pada puisi-puisinya.

Pada wilayah Novel, Mashuri yang dengan tekun dan nampak kuat menciptakan suatu kerangka dan muatan lokal membuat banyak kalangan pengamat sastra di Jakarta terperangah. Sementara itu Zoya Herawati yang kini sedang menyelesaikan suatu novel yang paling tebal di wilayah Jatim dan Indonesia, sekitar 7-8 ratus halaman, merupakan hasil penelitian sepanjang 10 tahun di Madura. Novel dengan latar belakang sejarah sosial pada tahun 1960-an dan ditarik hingga kini, serta ulang-alik pada masa lampau secara terus-menerus, membuktikan, bukan hanya secara teknik, kepiawaian Zoya. Tapi juga memberikan perspektif dan membongkar posisi kaum perempuan akibat sistem politik yang tidak adil.

Itulah kilasan singkat sebagai ilustrasi dari perkembangan mutakhir sastra di Jawa Timur, yang sesungguhnya masih terdapat bukan hanya satu atau dua namun belasan atau bahkan puluhan penulis yang bisa dihandalkan. Jawa Timur sangat mungkin bisa menjadi simpul sejarah sastra seperti juga sastra Jawa lama yang pada abad ke-16 sangat kuat mempengaruhi perkembangan di wilayah Jawa Tengah (baca: Mataram), seperti yang pernah didedahkan oleh de Graaf.

Namun, perkembangan sastra Jawa Timur yang menggembirakan itu, tidaklah didukung oleh atmosfir tradisi kritik yang baik. Misalnya kita bertanya-tanya, siapakah kalangan kampus atau akademisi yang menulis kritik sastra mutakhir di Jawa Timur? Kita dapat menoleh dan mempertanyakan hal ini pada kalangan akademisi, selain kita sudah bosan disesaki akan data jumlah peminat jurusan sastra Indonesia yang setiap tahunnya meluluskan ratusan orang yang rata-rata tidak jelas orientasi spiritnya. Sementara itu kita juga menyaksikan peningkatan strata pendidikan para pengajar yang kini rata-rata magister dan tak sedikit yang meraih doktor. Lalu, untuk apakah jenjang pendidikan yang tampak tinggi dan wah itu dan berada dalam posisi sebagai akademisi jika mereka tidak melecut diri untuk menggali dan mengembangkan khasanah sastra mutakhir? Adakah mereka menganggap sastra mutakhir Jawa Timur tak layak untuk dikupas dan dijadikan bahan studi yang sebenarnya melimpah itu?

Yang menyedihkan adalah dari kalangan akademisi kita, pada sisi lain mereka tidak juga melakukan penelusuran pada masa silam, tiadanya kupasan sastra di masa lampau, dan oleh sebab itu sastra mutakhir tak pula tersentuh. Ironi lainnya, justru kalangan penulis sangat intensif melakukan penelitian kembali dalam proses penciptaan karyanya. Jadi, apa sesungguhnya tugas akademisi, selain mengajar, bukankah melakukan penelitian? Ataukah mereka mengalami sejenis disorientasi atau aborsi intelektual? Bila memang demikian, boleh jadi para akademisi telah terkubang dalam kondisi alienasi, dan tak berbeda seperti kebanyakan pegawai negeri!

*) Penggiat Komunitas Lembah Pring Jombang.

Mitos Panji dalam Bingkai Puisi Payung Hitam

S. Jai*)
http://ahmad-sujai.blogspot.com/

EMPAT aktor—seorang diantaranya perempuan—di atas panggung memitoskan sebentuk orang-orangan yang mengenakan sarung dan raut wajah tertutup topeng warna putih. Pada leher sebatang manusia yang digantung di ujung bambu persis di tengah panggung itu juga menjuntai selendang putih bersih.

Empat aktor itu khidmad memuja yang dilanjutkan dengan menyeka kulit tubuhnya sendiri dengan air, lalu menghentakkan kaki pada tanah dan sepanjang pertunjukkan actor-aktor bermain dalam bias cahaya api dari lilin di panggung bagian depan.

Aktor terus bermain dengan keseluruhan gesture dan idiom tubuhnya. Sesekali dua kali muncul tubuh aktor lain berperawakan sangat tinggi, aneh, berkaki palsu, berkepala warna merah, berdahi super besar, berjubah. Ia lebih menyerupai makluk angkasa luar dalam film-film Alien. Begitu aneh jelas itu bukan melukiskan tubuh manusia, mungkin tubuh setan atau sejenisnya yang dimainkan oleh manusia berlaku kekanak-kanakkan.

Itulah pertunjukkan Teater Payung Hitam dari Bandung Puisi Tubuh yang Runtuh yang kurang lebih berdurasi 30 menit, di Gedung Cak Durasim, Jl. Gentengkali 85 Surabaya, Kamis malam, 25 Maret 2010 lalu. Meski demikian Rahman Sabur (53), sang sutradara sengaja menggerakkan pola bermain tidak saja pada tubuh aktor-aktornya, melainkan juga dengan pukau slide bergambar topeng. Selain topeng itu sendiri yang lantas dikenakan oleh keempat aktornya.

Sampai di sini, tampaknya akan memunculkan asumsi ketidakpercayaan sepenuhnya pada tubuh, untuk tidak segera membawa pemahaman dominasi atas tubuh—sesuatu cara berpikir aristotalian yang jelas ditolak dari pilihan estetika pertunjukkan ini. Meski demikian hadirnya banyak elemen di luar tubuh aktor justru disadari karena berangkat dari spirit bahwa bagaimanapun tubuh tidak pernah sendiri. Setidaknya alam menjadi bagian dari tubuh atau tubuh telah menyatu dengan alam. Inilah yang coba ditaklukkan ke dalam semacam gagasan atau konsep estetis Teater Payung Hitam maupun oleh sang sutradara Rahman Sabur.

Kiranya menyebut nama Rahman Sabur ini penting mengingat berkali-kali ditegaskan spirit Puisi Tubuh yang Runtuh bermula dari persoalan yang sangat personal. Dalam arti persoalan pribadi—dan mungkin juga bukan soal ilmu pengetahuan—yakni perjuangan melawan penyakit stroke ketika tubuhnya sama sekali tidak bisa digerakkan dan juga tidak bisa berbicara. Pada tingkat ini, pada pribadi sutradara menyakini apa yang dikonsepkan dramawan Suyatna Anirun, bahwa berteater adalah untuk menemukan manusia, berhadapan dengan kenyataan. Rahman Sabur boleh menambah deretan teater sebagai terapi.

Di luar itu semua lebih banyak terkandung misteri atau rahasia teater: mitos, tradisi, identitas, simbol dan sudah barang tentu ideologi atau pengetahuan. Yaitu pengetahuan dalam bahasa sosiologi fenomenologi Peter Berger dan Thomas Luckmann perihal internalisasi maupun eksternalisasi dari sutradara maupun aktor-aktor di panggung atas realitas keseharian. Terus terang pada Puisi Tubuh yang Runtuh misteri ini menjadi hal yang sangat menarik dalam dunia hermeneutic sekaligus confuse, membingungkan karena menutup diri—apabila tak merelakan diri segera kembali menggunakan pola pikir model Aristotelian.

Mempertimbangkan mitos Cerita Panji misalnya akan berhadapan pada resiko membuat teks baru dari spirit Panji secara utuh, dan bukan demi sepenggal semisal menukil ruh dari tokoh Panji ataukah ruh Candra Kirana. Ini yang tampaknya tidak dilakukan oleh Teater Payung Hitam. Mitos adalah suatu dunia, demikian pula Cerita Panji adalah dunia. Sebagaimana puisi juga suatu semesta yang memang tidak sederhana. Apalagi musti ditambah dunia wayang topeng (Cirebon, Malang, Madura) di dalamnya yang memang mengambil inspirasi dari Cerita Panji. Sesuatu dunia bukanlah sebuah dunia. Sesuatu dunia adalah dunia yang tak berbingkai.

Karena itu menikmati pertunjukkan Puisi Tubuh yang Runtuh dengan menyederhanakan semesta-semesta, teks-teks tersebut adalah suatu hal yang memiskinkan sense of aesthetic. Dunia ini sangat rumit dan fatalnya tingkat kerumitan teks pertunjukkan ini justru disokong oleh sebuah cara berpikir penyederhanaan. Berbeda tentu saja, manakala menikmati kerumitan itu oleh karena “spiritulitas” memang segalanya tak mau diam. Bahkan sepotong topeng yang keindahannya menakjubkan justru saat berdiam diri, malah dikacaukan dengan gerakan yang pada akhirnya menghancur-leburkannya.

Satu hal amat menarik diajukan dalam analisis Zoetmulder pada Manunggaling Kawula Gusti. Dikatakan bahwa sebetulnya dalam diri Panji kita berjumpa dengan gambaran mengenai Tuhan yang menampilkan diri di dalam dunia. Ia seolah-olah meninggalkan kedudukannya yang asli selaku Dzat Mutlak lalu mengembara jauh diluar negeri-Nya, terlindung oleh samarannya sehingga hanya mereka yang terpilih dapat mengenal-Nya. Jenggalane nut tan adoh, Jenggala tan katilar (Megatruh Serat Centini). Juga dari teks Asmaradana, wayang topeng dengan kisah pernikahan Panji dan Kirana, Zoetmulder mengulas ada pesan bahwa manusia bisa tersesat oleh apa yang mereka anggap kenyataan. Hyang sukmalah yang menyembunyikan diri dalam badan manusia, sehingga manusia tidak melihat Dia dan hanya terserap oleh badan yang hanya berfungsi sebagai topeng.

Dengan kata lain menangkap spirit cerita panji, ruh dari bentuk sebuah mitos jauh lebih subtansial ketimbang menguasai bentuk artistik. Bentuk suatu pencapaian artistik boleh hancur dan tak perlu ditangisi. Agar tak tergelincir pada pengalaman kebimbangan dan sebagai penganut romantisisme yang kerdil dengan berbangga pada masa silam tanpa peradaban. Sebaliknya, mengharu-biru, berdarah-darah hanya dalam mempertahankan bentuk bakal menenggelamkan diri pada sikap narsistis.

Penyederhanaan atau usaha untuk menaklukkan suatu misteri ini tampaknya proses transformasi yang agak mengganggu pada pertunjukkan Teater Payung Hitam kali ini. Hal itu tampak sebagai usaha malu-malu untuk menggeser konsep teater dari titik kulminasi yang dicapainya di bawah baying-bayang proses teater. Utamanya saat beresiko menumbukkan tubuh dengan topeng, tradisi dengan modern, mitos dengan puisi, hitam dengan putih bahkan mungkin sakral dengan profan. Masing-masing punya sejarah dan takdir yang hanya dengan kejujuran, keiklasan dan kebesaran jiwa sanggup untuk bertemu, berdialog agar memperkaya diri berkat puncak-puncak kulminasi identitas teater.

Apa yang tersebut terakhir ini ditemukan pada konsep bermain dalam pengertian yang seutuh-utuhnya, setinggi-tingginya sonder reduksi ideologi berpikir tertentu. Apalagi cara berpikir model Cartesian yang kesohor cogito ergo sum. Sebetulnya hal itu bisa ditangkap dari bangun artistik pertunjukkan, dimana di panggung tergantung berayun lima bambu vertikal yang mengesankan alami namun sakral. Aktor-aktor tersebut bermain di ruang dan dalam kesepakatan permainan mereka sendiri. Kesepakatan bermain inilah meminjam istilah Johan Huizinga, yang menjadi ajang ruang luang untuk bergerak dalam diri maupun tubuh keaktoran—dan di sisi lain penikmat teks permainan dipertemukan dengan waktu dan ruang pertunjukan teater. Permainan adalah suatu perbuatan atau kegiatan sukarela yang dilakukan dalam batas-batas ruang dan waktu tertentu yang sudah ditetapkan, menurut aturan yang telah diterima tapi mengikat sepenuhnya dengan tujuan dalam dirinya sendiri, disertai oleh perasaan tegang dan gembira, dan kesadaran ”lain daripada kehidupan sehari-hari.”

Hanya dengan demikianlah apa yang menjadi credo muasal Teater Payung Hitam dalam “dialektika antara realitas dan idealitas” mampu menempuh lintas ruang waktu. Meskipun ketiganya baik dialektika, realitas maupun idealitas produk dari suatu aliran filsafat barat namun sanggup menembus proses tranformasi menuju kulminasi identitas teater pasca-modern Indonesia atau teater pasca mitos kita. Estetika baru yang pernah dicapai Teater Payung Hitam saat mendekonstruksi teks Kaspar-nya Peter Handke seakan inhern dengan situasi dan kondisi krisis kemanusiaan, ketidakadilan, kekerasan, otoritarianisme, politik pada massanya. Pendeknya, Teater Payung Hitam yang menurut kabar bakal menggelar karya terbaru Rahman Sabur ini pada public festival di Belgrade Serbia di Patosoffiranje International Multimedia Festival di Serbia yang berlangsung 2 Juli hingga 20 Agustus 2010 nanti, bakal melestarikan suatu utopian perihal kesepakatan abadi. Yakni sepakat untuk sejenak tidak menjadi manusia modern. Sejenak untuk menjadi makluk primitif oleh karena bentuk-bentuk permainan paling suci ada pada spirit hidup makluk primitif–sudah barangtentu termasuk di dalamnya dunia binatang.[]

*) Penulis adalah pengarang dan pegiat komunitas teater keluarga, tinggal di pinggiran hutan jati Lamongan selatan.

VOTUM SANG PENYAIR: Pemikiran dan Pemberontakan Octavio Paz

Imamuddin SA
sastra-indonesia.com

Saya bukan mempengaruhi dan bukan mendoktrin siapapun. Saat ini cobalah alihkan segala bentuk imajinasi dan logika pada satu arah sudut pandang yaitu kesusastraan. Sastra merupakan satu bentuk perwujudan agung dan suci yang terpancar dari kedalaman pribadi seorang manusia. Ia menjelma dalam hidup dan kehidupan sebagai cahaya kejujuran yang memancarkan sinar kemalanya yang berbinar-binar. Ini tak pandang bentuk dan tampilanya.

Sajak-Sajak Saut Situmorang

http://sautsitumorang.wordpress.com/
sajak

bunga gugur, manusia mati, langit dan bumi memang tak punya perasaan.

tapi apalah perasaan! cuma gerimis di bumi, jatuh dari langit. kadang kau terperangkap di dalamnya, waktu menunggu bis kota terakhir sebelum senja tiba.

kesedihan kursi kursi kosong di bar ini seperti membawa masuk sepi jalanan malam kota di luar, membuat lagu penyanyi reggae itu seperti tangis duka imigran terdampar di negeri yang tak kenal bahasa ibunya. gadis gadis bar sibuk dengan lipstick dan tubuhnya, menanti para petualang malam yang bakal turun dari neon neon langit malam, menjanjikan cinta duri mawar merah. begitulah gumam sebotol bir kosong di meja di depanku.

aku sedang dipermainkan sepi dan hujan bulan Februari di tengah kota Jakarta yang kehilangan derai tawa gadis gadis manis dari utara. suara hujan di atap hotel dan kipas angin yang bersikeras mengusir nyamuk dan pengap kamar menambah kelam sunyi yang memberat di kusut rambut dan sprei kasur bekas tamu entah semalam.

suara kejam hujan di atap itu membangkitkan birahiKu pada bayang garis tubuh gadis utara yang tak menepati janji menanti di jalan batu kecil sebuah kota tua berkanal hitam sampah seribu malam yang lalu…

perlukah mewarnai malam hijau, kuning atau biru! nikmati saja! karena malam hitam maka bulan & bintang bintang jadi indah, maka kunang kunang pun jadi hidup birahinya & lihatlah! sebuah ekor bintang berkelebat di ujung langit sana! terbakar cakrawala! seperti kunang kunang raksasa mencari kekasihnya! seperti aku mencari harum birahi tubuhMu di jalanan kotaku…

nama nama lalu jadi makam makam, terbuat dari konkrit-semen. dari memori tawa dan tangis yang tak jelas lagi penyebabnya. sementara waktu terus saja membawa kita ke nama nama baru.

biarkan merpati membangun sarangnya di ujung tangga yang menuju ke atap sebelum musim dingin tiba, aku bangun sarangKu di lengkung alis mata cintaMu.

dimana saké hangat mengalir lembut seperti birahi di situlah mekar puisi, dimana birahi mengalir lembut seperti senyuman, seperti cinta…
***



karena laut, sungai lupa jalan pulang

di kota kecil itu
gerimis turun
dan kita basah
oleh senyum dan tatapan tatapan curian
yang tiba tiba mekar jadi ciuman ciuman panjang…

karena laut, sungai lupa jalan pulang
dan batu batu hitam
daun daun gugur
danau kecil di lembah jauh
jadi sunyi
kehilangan suara jangkrik suara burung

gerimis yang turun
mengikuti terus
di jalan jalan gunung
pasar hiruk pikuk
bis antar kota
pertunjukan pertunjukan malam yang membosankan
sampai botol botol bir kosong
tempat lampu neon berdustaan dengan bau tembakau

karena laut, sungai lupa jalan pulang
dan di meja-warung basah oleh gerimis
sebuah sajak setengah jadi
mengabur di kertas tissue yang tipis

1997



cinta, dalam retrospektif alkohol akhir tahun

bulan menyinari
tubuh telanjangMu di
kaca jendela
kamar dan Kau
jadi kupu kupu
harum mawar liar
terjerat dalam
pelangi mimpi
sepiKu.
tersenyumlah
pada cicak yang
tidur dalam kelam
rambutMu.

aku minum bir
bersama
purnama. aku di
trotoar jalan, dia
di atas atap
rumah. aku tak
suka pada mereka
yang masuk
menemu malam
dan ribut
menantang bulan.
seorang pelacur
menawarkan
gerhana bulan.

aku merasakan
puting susuMu
menggeliat
menyerah dalam
rangkulan bibir
birahiKu.
rambutKu basah
harum tubuh
telanjangMu.
telaga mawar merah
melati putih
tempat ikan ikan mas
bercanda dengan
bulan perak.
desah rintihMu
membakar cicak
cicak mabuk di
langit kamar.

aku minum sendiri
malam ini. seorang bidadari
kerajaan langit
mencuri
bulan
dan menyembunyikannya
di balik pekat
tirai hujan. aku dan
arakku menggigil
diguyur sepi.

Aku ingin
tersesat
di labirin
birahi garis
tubuhMu, mencari
bulan gerhana
yang hilang di
dataran
ranum perut betinaMu…

seperti perahu kertas
yang dihanyutkan
bocah iseng di
kali itu, seperti
layang layang
yang meliuk di
ujung jari bocah
di tanah lapang itu,
Aku ingin
hanyut mabuk di
musim semi
buah dadaMu. kupu
kupu membuat sarang
di lengkung alisMu
yang basah
keringat mawar
itu.

musim membawa
hujan ke didih
danau, menghalau
debu mengendap
di mata, kenapa
Kau usir dia,
wahai putri
langitKu yang perkasa?

ada kupu kupu
tertegun sepi
menatap kerlip
lampu di alis
hitam malam.
terkenang riang
mekar kelopak
kembang sebelum
badai itu datang,
dulu. angin mati
membuatNya tiba
tiba menggigil.

jogja, 2003

Syarah Kitab Para Malaikat

Untuk Sebuah nama: Sonia Scientia Sacra

Robin Al Kautsar
http://www.sastra-indonesia.com/

I
Penyair memberi judul sebuah puisinya (antologi puisi?) dengan memunggah kata Kitab. Salah satu kata yang memiliki bentangan makna yang cukup lebar. Kitab bernuansa sebagai kitab suci, kitab keagamaan, kitab wejangan / pedoman hidup yang harus disikapi takzim (walau belum pernah membacanya sekalipun) karena isinya menunjukkan kesucian dan kebesaran yang harus diperjuangkan dan kita tuju. Sementara di sisi lain ada sebuah kitab yang tidak kalah serius, seperti Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), namun sering dicibir orang dengan “Kasih Uang Habis Perkara.”

Judul Kitab Para Malaikat sering menggoda saya untuk menghubungkan dengan Al-Kitab Perjanjian Lama yang di dalamnya memuat judul-judul: Kitab Hakim-Hakim, Kitab Para Raja, Kitab Para Pengkhotbah. Tetapi tidak sampai di situ, Kitab Para Malaikat juga memiliki bagian yang bernama Surat Kepada Gerilyawan yang ditulis oleh orang lain, sama seperti Al-Kitab Perjanjian baru yang memiliki bagian yang bernama Surat Paulus kepada Jemaat di Roma, Surat Paulus kepada Jemaat di Galatia, Surat Paulus kepada jemaat di Efesus dan lain-lain yang juga ditulis orang lain (Paulus).

Judul itu juga mengingatkan saya pada masterpiece Iqbal yang berjudul Javid Nama (Kitab Keabadian) yang mendeskripsikan semacam mikrajnya Penyair Iqbal ke dunia lain dengan dibimbing oleh Mursyid Jalaluddin Rumi.

Apakah kemiripan judul dengan dua kitab tersebut Kitab Para Malaikat ingin menjadi “sastra serius,” “sastra profetik” atau “sastra sufi” yang berpretensi menyodorkan “posisi yang tegas” yang setelah menegasikan kebobrokan manusia kemudian menunjukkan jalan kebenaran atau paling tidak sesuatu yang paling penting secara moral kepada masyarakat luas? Mari kita kaji Kitab ini bersama-sama.

Di depan pintu kitab ini saya diminta untuk percaya bahwa kitab ini merupakan kumpulan puisi (antologi puisi). Tetapi setelah melongok kitab ini sekilas yang penuh dengan panorama judul dan bait puisi secara masif, saya memutuskan untuk menyikapinya sebagai satu puisi panjang, dan bukan antologi puisi, sebagaimana Al- Kitab, Javid Nama serta serat-serat dalam sastra Jawa. Walaupun sayang penomoran dengan angka romawi sangat mengganggu penikmatan saya. Penomoran tersebut walaupun tampak seperti epigon dari kitab suci, justru sangat mengotori layar kesadaran pembaca.

Di depan pintu kitab ini saya sangat bertanya-tanya dengan nama-nama besar filsuf, matematikus, ahli bahasa, kritikus sastra, sufi serta penyair, yang anehnya terakhir justru bukan nama orang, tapi nama sebuah isme. Apakah maksudnya ini? Apakah penyair tidak nyaman hanya sebagai penyair, sehingga harus memperluas identitasnya (kebanyakan mereka ahli fikir)? Atau sekedar kegenitan belaka bahwa penyair sangat onsesif untuk punya nama besar? Sebenarnya saya malu mempertanyakan ini. Tapi saya kira ini penting karena jerawat runyam itu terpampang mencolok di pusat wajah. Maafkan saya.

II
Sebagai sebuah kitab mula-mula terbayang bahwa kitab ini akan berisi gambaran zaman terbaru dari makluk terkutuk (Iblis, Kafir, Musyrik, Kapitalis, Nihilis, Liberalis, Hedonis) di satu sisi dan makluk beriman (pengusung wahyu yang kini tidak begitu laku) di sisi lain, yang saling berhadap-hadapan (walaupun tidak mungkin hitam putih), dan Tuhan menguji masing-masing mereka dalam situasi yang berbeda secara saingnifikan dengan masa yang sudah-susah. Tetapi perkiraan saya meleset. Saya tidak menemukan percikan api dari dua benda tajam yang berbenturan. Tidak. Justru penyair terlalu banyak bernyanyi tentang masa lampau dunia pesantren sorogan yang serba koheren, dengan idiom-idiom alam, sedang kita hidup di alam mikroelektronik-digital yang merayakan paradox dan dibayang-bayangi pemanasan global. Bahkan penyair sebenarnya lebih banyak menggumam dan menghindari pernyataan-pernyataan yang tegas-menyodok. Jadi saya tidak melihat sikap baru sebagai hasil dari penyingkapan baru. Perjalanan sang penyair yang diawali dengan bertengger di atas sayap malaikat tidak jelas mau ke masa depan yang mana, mau membawakan misi apa? Dan sayangnya perjalanan yang “menggetarkan” ini tidak didahului oleh doa yang syahdu ke hadirat Tuhan, kecuali sekadar sholawat pendek yang bernuansa agak menjaga jarak dengan Tuhan. Saya dari bawah kibasan sayap malaikat tidak bisa melihat “perbekalan unik” dan “senjata canggih” yang dibawa oleh sang penyair, kecuali butir-butir warisan sufi lama yang agak kusam.

Maafkan saya. Saya ingin melihat pergulatan sufi zaman ini, di mana kemiskinan dapat merontokkan mental masyarakat, termasuk kemiskinan para ulama dan pejabat. Saya harap bait ini bukanlah magnum opus sang penyair dalam menatap masa depan:

Sengaja mengunjungi masa silam
Puja keagungan di tengah pencarian kesejatian


Membasuh kaki-kaki kembara ke makam para wali



III
Di mata saya Nurel adalah calon penyair profetik atau sufi (santai saja, jangan dibaca terlalu serius) yang dapat kita harapkan di masa depan, karena energi juang yang dimilikinya sudah cukup terkenal dan dia juga adalah sosok “penyair pejalan jauh” yang punya nafas panjang dan istiqomah. Saya yakin karyanya yang akan datang benar-benar merupakan Kitab Para Manusia (Masa kini dan Masa Depan), karena kematangannya menyalam sampai ke inti manusia dan kemanusiaan. Manusia jelas lebih kompleks daripada Malaikat.

Ketika Baghdad dikepung oleh tentara Jengiz Khan, dan umat jatuh nyalinya. Justru seorang sufi buta turun ke pasar menyampaikan khotbah yang membakar.

Saya yakin Nurel akan mampu menunaikan tugas penyair sufi masa depan yang berani melakukan “perjalanan ke dalam” dan sekaligus “perjalanan keluar,” yang penuh dengan resiko.

Tugu, 5 Nop 09.

A Musthafa A Rodhi Murtadho A Wahyu Kristianto A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Wachid BS Abdullah al-Mustofa Abdullah Khusairi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimanyu Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Maulani Adek Alwi Adhi Pandoyo Adrian Ramdani Ady Amar Afrizal Malna Agnes Rita Sulistyawati Aguk Irawan Mn Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Subiyakto Agus Sulton Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahm Soleh Ahmad Farid Tuasikal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Luthfi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadie Thaha Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rasyid AJ Susmana Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander Aur Alexander G.B. Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Rif’an Aliela Alimuddin Alit S. Rini Alunk Estohank Ami Herman Amich Alhumami Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminudin TH Siregar Ammilya Rostika Sari An. Ismanto Anaz Andaru Ratnasari Andhi Setyo Wibowo Andhika Prayoga Andong Buku #3 Andrenaline Katarsis Andri Cahyadi Angela Anies Baswedan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Sudibyo Anton Wahyudi Anwar Holid Anwar Siswadi Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Zulkifli Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayu Utami Azyumardi Azra Babe Derwan Bagja Hidayat Balada Bandung Mawardi Bayu Agustari Adha Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Bernadette Lilia Nova Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Bhakti Hariani Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budi Winarto Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Bustan Basir Maras Camelia Mafaza Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cecep Syamsul Hari Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Choirul Rikzqa D. Dudu A.R D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Dantje S Moeis Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Darmanto Jatman Dedy Tri Riyadi Delvi Yandra Denny JA Denny Mizhar Dewi Anggraeni Dian Basuki Dian Hartati Dian Sukarno Dian Yanuardy Diana AV Sasa Dinar Rahayu Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi Warsidi Edy Firmansyah EH Kartanegara Eka Alam Sari Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil Amir Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Evan Ys F. Budi Hardiman Fadly Rahman Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fani Ayudea Fariz al-Nizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatkhul Aziz Felix K. Nesi Film Fitri Yani Franditya Utomo Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Garna Raditya Gde Artawan Geger Riyanto Gendhotwukir George Soedarsono Esthu Gerakan Surah Buku (GSB) Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Tri Atmojo H. Supriono Muslich H.B. Jassin Hadi Napster Halim H.D. Hamberan Syahbana Hamidah Abdurrachman Han Gagas Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Priyatna Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasan Junus Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Helwatin Najwa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendriyo Widi Ismanto Hepi Andi Bastoni Heri Latief Heri Listianto Herry Firyansyah Heru Untung Leksono Hikmat Darmawan Hilal Ahmad Hilyatul Auliya Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur Husnun N Djuraid I Nyoman Suaka Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilenk Rembulan Ilham khoiri Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Budi Santosa Imelda Imron Arlado Imron Tohari Indiar Manggara Indira Margareta Indra Darmawan Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ingki Rinaldi Insaf Albert Tarigan Intan Hs Isbedy Stiawan ZS Ismail Amin Ismi Wahid Ivan Haris Iwan Gunadi Jacob Sumardjo Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean-Marie Gustave Le Clezio JJ. Kusni Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Julika Hasanah Julizar Kasiri Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kadir Ruslan Kartika Candra Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Ketut Yuliarsa KH. Ma'ruf Amin Khaerudin Khalil Zuhdy Lawna Kholilul Rohman Ahmad Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Krisandi Dewi Kritik Sastra Kucing Oren Kuswinarto Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lenah Susianty Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto M Shoim Anwar M. Arman A.Z. M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Harya Ramdhoni M. Kasim M. Latief M. Wildan Habibi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria hartiningsih Maria Serenada Sinurat Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Marsus Banjarbarat Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masriadi Mawar Kusuma Wulan Max Arifin Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Mezra E. Pellondou Micky Hidayat Mihar Harahap Misbahus Surur Moh Samsul Arifin Moh. Syafari Firdaus Mohamad Asrori Mulky Mohammad Afifuddin Mohammad Fadlul Rahman Muh Kholid A.S. Muh. Muhlisin Muhajir Arifin Muhamad Sulhanudin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Azka Fahriza Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Nafi’ah Al-Ma’rab Naskah Teater Nezar Patria Nina Setyawati Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noor H. Dee Noval Maliki Nunuy Nurhayati Nur Haryanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurudin Octavio Paz Oliviaks Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pamusuk Eneste Panda MT Siallagan Pandu Jakasurya PDS H.B. Jassin Philipus Parera Pradewi Tri Chatami Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R Sutandya Yudha Khaidar R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rahmat Sutandya Yudhanto Raihul Fadjri Rainer Maria Rilke Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridha al Qadri Ridwan Munawwar Rikobidik Riri Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rizky Andriati Pohan Robert Frost Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Romi Febriyanto Saputro Rosihan Anwar RR Miranda Rudy Policarpus Rukardi S Yoga S. Jai S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Gerilyawan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra SelaSastra ke #24 Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Subhan SD Suci Ayu Latifah Sulaiman Djaya Sulistiyo Suparno Sunaryo Broto Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunudyantoro Suriali Andi Kustomo Suryadi Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Susilowati Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Bahri Syam Sdp Syarif Hidayatullah Tajuddin Noor Ganie Tammalele Tan Malaka Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Tengsoe Tjahjono Th Pudjo Widijanto Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Joko Susilo Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Umar Kayam Undri Uniawati Universitas Indonesia UU Hamidy Vyan Tashwirul Afkar W Haryanto W.S. Rendra Wahyudin Wannofri Samry Warung Boenga Ketjil Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Web Warouw Wijang Wharek Wiko Antoni Wina Bojonegoro Wira Apri Pratiwi Wiratmo Soekito Wishnubroto Widarso Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Wing King WS Rendra Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yosi M. Giri Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Yuyu AN Krisna Zaki Zubaidi Zalfeni Wimra Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhaenal Fanani Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar Zulhasril Nasir