Sabtu, 13 Februari 2010

SISI GELAP PUAK MELAYU

Maman S. Mahayana *

Seorang pemulung, karena tak punya uang, kebingungan mengubur jenazah anaknya. Ia menggedong jenazah itu, sementara orang lalu-lalang seperti tak terjadi apa-apa. Seorang nenek ditemukan tewas lantaran kelaparan. Dua peristiwa ini terjadi di Jakarta. Di tempat-tempat lain, ada juga berita tentang gantung diri siswa SD gara-gara ia belum bayaran uang sekolah. Ada juga berita tentang sebuah keluarga yang mengalami lumpuh layu. Mereka menerima nasib begitu saja, karena tak ada biaya untuk berobat. Masih tak jauh dari Jakarta, beberapa anak mengalami busung lapar.

Sederet kisah lain tentang kemiskinan dan kelaparan, kini telah menjadi berita yang tak lagi mengejutkan. Bagaimana mungkin, kemiskinan dan kelaparan bisa terjadi di Jakarta dan kota di sekitarnya. Jakarta, kota yang bergelimang uang dan kemewahan itu, justru menyimpan kisah kemiskinan dan kelaparan. Itulah realitas paradoksal. Dan ketika tragedi kemanusiaan itu diangkat menjadi berita, masyarakat seolah-olah disadarkan, bahwa kepedulian kita terhadap masyarakat sekeliling, telah pudar, rasa kemanusiaan makin tersisih oleh berbagai kesibukan mengejar uang, reputasi, dan entah apa lagi. Jangan harap bantuan pemerintah. Lupakan pula Dewan Perwakilan Rakyat, karena mereka pun sudah lupa pada nasib rakyatnya sendiri. Bagaimana mungkin kenyataan itu terjadi di Indonesia, negeri yang konon kaya-raya, gemah ripah loh jinawi, dengan gotong-royong sebagai sokogurunya?

Kalangan pers bisa mengangkat peristiwa itu menjadi berita. Itulah salah satu wujud tanggung jawab sosialnya: mengangkat sisi kemanusiaan untuk menyentuh sisi kemanusiaan yang lain. Sastrawan, dengan caranya sendiri, tentu juga punya komitmen yang sama ketika ia dihadapkan pada problem sosial yang mengenaskan. Ia juga bermaksud memotret realitas sosial ketika realitas itu menggelisahkannya. Dalam sejarah sastra Indonesia, kita bisa menemukan berbagai persoalan yang menyangkut kehidupan masyarakat kita: tentang kemiskinan dan kelaparan, tentang penganiayaan dan pemerasan terhadap nasib rakyat kecil. Di situlah sastra menempati fungsinya sebagai potret sosial zamannya. Sastra memang bukan berita pers, tetapi fungsinya sama saja ketika sastra bermaksud menyentuh rasa kemanusiaan.

Sekadar menyebut beberapa nama, periksa saja cerpen-cerpen Muhammad Ali, Ahmad Tohari, Hamsad Rangkuti, atau Joni Ariadinata. Mereka banyak mengangkat kehidupan wong cilik dengan berbagai problemnya. Mereka mengangkat sisi gelap kaum yang tersisih, meski sesungguhnya kehidupan kaum yang tersisih itu berada di sekeliling kita. Hidup di antara kita. Dan kita kerap lalai, bahwa kita ikut bertanggung jawab atas nasib mereka.
***

Kini, dari pojok yang jauh, dari tanah Melayu, satu nama muncul dengan mengusung problem sosial masyarakat di sekitarnya yang miskin, lapar, dan teraniaya. Cara bertuturnya meyakinkan. Olyrinson, sebuah nama yang aneh dan terasa asing. Apakah ia juga mengangkat kehidupan gembel dan kaum gelandangan sebagaimana yang dilakukan Muhammad Ali dan Joni Ariadinata? Atau petani miskin dan kehidupan wong cilik seperti yang banyak kita jumpai dalam cerpen-cerpen Ahmad Tohari?

Olyrinson yang datang sebagai salah seorang warga puak Melayu coba mengangkat sisi gelap dan kegetiran warganya. Nurani kita, pembaca seperti diguncang. Ia laksana menuntut pentingnya rasa kemanusiaan ditumbuhkan. Kenyataan pahit masyarakat di sekitar adalah bagian dari tanggung jawab kemanusiaan kita. Olyrinson coba memotret kehidupan warga Melayu yang kere dan tersisih oleh tipu daya atau serangkaian teror penguasa. Mereka berkutat mempertahankan hidup yang terus- menerus dilindas tangan raksasa kekuasaan yang justru menguras kekayaan alamnya. Mereka terpaksa mencampakkan harga diri dan hukum yang berlaku, hanya lantaran tak ada pilihan untuk bertahan hidup. Maut di tenggorokan atau masuk penjara, pada hakikatnya sama saja ketika ia menyadari bahwa hidup tak punya pilihan lain. Mereka selalu dihimpit ketidakberdayaan lantaran tanah garapan, lahan penghidupan, habis dilindas roda industri. Mereka kerap tak dapat membedakan batas tipis antara kelaparan dan merenggang nyawa. Keduanya sama saja. Maka, tak ada lagi penderitaan buat mereka jika penderitaan itu sendiri telah lama lengket menempel dan menyatu dalam kehidupan keseharian mereka. Jika kemiskinan dan kelaparan telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari mereka, lalu di manakah tempatnya penderitaan?

Berbagai persoalan itulah yang secara realis diangkat Olyrinson dalam hampir semua cerpennya. Sungguh, kita dibawa memasuki kehidupan masyarakat Melayu yang paradoksal. Di satu pihak, Melayu penuh dengan mitos sejarah kebesaran masa lalu, kekayaan alamnya—hutan dan minyak bumi—yang kaya dan berlimpah. Tetapi, di pihak lain, warga Melayu tetap sekadar penonton yang dengan segala tangis-getirnya, melihat semua kekayaannya diangkuti, dibawa ke mana dan entah oleh siapa, dan tiba-tiba saja tampaklah di hadapan mereka, nyawa anak-istri sebentar lagi lepas. Tak ada lagi sesuatu yang dapat dimakan untuk hari itu dan hari esok. Mereka sadar, ketika perut tak dapat lagi diajak kompromi, maut menunggu di depan mata. Itulah salah satu kekhasan cerpen-cerpen Olyrinson. Mengajak kita ke dunia yang di dalamnya, kemiskinan, kelaparan, dan penderitaan seperti sudah menyatu sedemikian rupa.

Keseluruhan cerpen yang terhimpun dalam buku ini, tak pelak lagi merepresentasikan kegelisahan Olyrinson atas kegetiran nasib warga puaknya. Di sana, ada Emak yang teraniaya, Abah yang terpenjara atau mati tersengat aliran listrik, ibu yang tak pulang-pulang sementara adik mati dalam gendongan, atau serangkaian kisah tragis lainnya yang terasa asing dan jauh, namun tokh tetap mengganggu kenyamanan hati nurani kita. Terkadang kita merasakan, empatinya berubah menjadi tangis memilukan, terkadang pula berubah jadi kemarahan yang tak tersalurkan. Ia seperti marah pada sesuatu yang ia sendiri tak dapat melawannya. Tetapi justru dengan begitu, nurani kita dipertanyakan. Bukankah warga puak Melayu itu pun masih saudara kita juga yang menuntut tanggung jawab kita sebagai warga bangsa?
***

Sebagai cerpenis sesudah generasi BM Syamsuddin atau Taufik Ikram Jamil dan Fakhrunas MA Jabbar, Olyrinson tergolong pendatang baru, meskipun ia kerap memenangkan tempat terhormat dalam beberapa lomba penulisan cerpen. Gaya bertuturnya yang jernih, penuh empati, dan terkadang seperti menggugat rasa kemanusiaan kita, memberi keyakinan, bahwa sosok Olyrinson masuk kategori cerpenis yang menjanjikan. Mencermati tema-tema yang diangkatnya dan keberpihakannya pada nasib wong cilik, saya teringat pada apa yang pernah dilakukan Ahmad Tohari. Tetapi, dalam soal kemiskinan yang coba disuguhkannya, bayangan saya melayang jauh pada nasib yang sama yang dialami warga India, sebagaimana yang pernah ditulis Mulk Raj Anand atau Romen Basu.
***

Sesungguhnya banyak hal menarik yang menjadi kekuatan dan kekhasan antologi cerpen ini. Secara tematis, tentu saja antologi ini –harus diakui—telah ikut memperkaya tema cerpen Indonesia kontemporer. Mengingat gayanya yang realis, Olyrinson seperti berjalan sendiri di antara deretan cerpenis seangkatannya yang cenderung mengabaikan gaya itu. Dengan demikian, antologi cerpen ini, terasa seperti asing dan aneh sendiri.

Saya gembira membaca antologi cerpen ini, meskipun kadangkala dibuat jengkel oleh tema-temanya yang seperti menohok dan menggugat rasa kemanusiaan saya.

Bojonggede, 15 Juni 2006

________________
*) Maman S. Mahayana, lahir di Cirebon, Jawa Barat, 18 Agustus 1957. Dia salah satu penerima Tanda Kehormatan Satyalancana Karya Satya dari Presiden Republik Indonesia, Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono (2005). Menyelesaikan pendidikannya di Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FS UI) tahun 1986, dan sejak itu mengajar di almamaternya yang kini menjadi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB-UI). Tahun 1997 selesai Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Pernah tinggal lama di Seoul, dan menjadi pengajar di Department of Malay-Indonesian Studies, Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea Selatan. Selain mengajar, banyak melakukan penelitian. Beberapa hasil penelitiannya antara lain, “Inventarisasi Ungkapan-Ungkapan Bahasa Indonesia” (LPUI, 1993), “Pencatatan dan Inventarisasi Naskah-Naskah Cirebon” (Anggota Tim Peneliti, LPUI, 1994), dan “Majalah Wanita Awal Abad XX (1908-1928)” (LPUI, 2000).
http://sastra-indonesia.com/2010/01/sisi-gelap-puak-melayu/

Tidak ada komentar:

A Musthafa A Rodhi Murtadho A Wahyu Kristianto A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Wachid BS Abdullah al-Mustofa Abdullah Khusairi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimanyu Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Maulani Adek Alwi Adhi Pandoyo Adrian Ramdani Ady Amar Afrizal Malna Agnes Rita Sulistyawati Aguk Irawan Mn Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Subiyakto Agus Sulton Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahm Soleh Ahmad Farid Tuasikal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Luthfi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadie Thaha Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rasyid AJ Susmana Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander Aur Alexander G.B. Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Rif’an Aliela Alimuddin Alit S. Rini Alunk Estohank Ami Herman Amich Alhumami Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminudin TH Siregar Ammilya Rostika Sari An. Ismanto Anaz Andaru Ratnasari Andhi Setyo Wibowo Andhika Prayoga Andong Buku #3 Andrenaline Katarsis Andri Cahyadi Angela Anies Baswedan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Sudibyo Anton Wahyudi Anwar Holid Anwar Siswadi Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Zulkifli Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayu Utami Azyumardi Azra Babe Derwan Bagja Hidayat Balada Bandung Mawardi Bayu Agustari Adha Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Bernadette Lilia Nova Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Bhakti Hariani Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budi Winarto Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Bustan Basir Maras Camelia Mafaza Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cecep Syamsul Hari Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Choirul Rikzqa D. Dudu A.R D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Dantje S Moeis Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Darmanto Jatman Dedy Tri Riyadi Delvi Yandra Denny JA Denny Mizhar Dewi Anggraeni Dian Basuki Dian Hartati Dian Sukarno Dian Yanuardy Diana AV Sasa Dinar Rahayu Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi Warsidi Edy Firmansyah EH Kartanegara Eka Alam Sari Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil Amir Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Evan Ys F. Budi Hardiman Fadly Rahman Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fani Ayudea Fariz al-Nizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatkhul Aziz Felix K. Nesi Film Fitri Yani Franditya Utomo Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Garna Raditya Gde Artawan Geger Riyanto Gendhotwukir George Soedarsono Esthu Gerakan Surah Buku (GSB) Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Tri Atmojo H. Supriono Muslich H.B. Jassin Hadi Napster Halim H.D. Hamberan Syahbana Hamidah Abdurrachman Han Gagas Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Priyatna Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasan Junus Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Helwatin Najwa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendriyo Widi Ismanto Hepi Andi Bastoni Heri Latief Heri Listianto Herry Firyansyah Heru Untung Leksono Hikmat Darmawan Hilal Ahmad Hilyatul Auliya Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur Husnun N Djuraid I Nyoman Suaka Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilenk Rembulan Ilham khoiri Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Budi Santosa Imelda Imron Arlado Imron Tohari Indiar Manggara Indira Margareta Indra Darmawan Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ingki Rinaldi Insaf Albert Tarigan Intan Hs Isbedy Stiawan ZS Ismail Amin Ismi Wahid Ivan Haris Iwan Gunadi Jacob Sumardjo Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean-Marie Gustave Le Clezio JJ. Kusni Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Julika Hasanah Julizar Kasiri Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kadir Ruslan Kartika Candra Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Ketut Yuliarsa KH. Ma'ruf Amin Khaerudin Khalil Zuhdy Lawna Kholilul Rohman Ahmad Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Krisandi Dewi Kritik Sastra Kucing Oren Kuswinarto Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lenah Susianty Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto M Shoim Anwar M. Arman A.Z. M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Harya Ramdhoni M. Kasim M. Latief M. Wildan Habibi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria hartiningsih Maria Serenada Sinurat Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Marsus Banjarbarat Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masriadi Mawar Kusuma Wulan Max Arifin Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Mezra E. Pellondou Micky Hidayat Mihar Harahap Misbahus Surur Moh Samsul Arifin Moh. Syafari Firdaus Mohamad Asrori Mulky Mohammad Afifuddin Mohammad Fadlul Rahman Muh Kholid A.S. Muh. Muhlisin Muhajir Arifin Muhamad Sulhanudin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Azka Fahriza Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Nafi’ah Al-Ma’rab Naskah Teater Nezar Patria Nina Setyawati Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noor H. Dee Noval Maliki Nunuy Nurhayati Nur Haryanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurudin Octavio Paz Oliviaks Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pamusuk Eneste Panda MT Siallagan Pandu Jakasurya PDS H.B. Jassin Philipus Parera Pradewi Tri Chatami Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R Sutandya Yudha Khaidar R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rahmat Sutandya Yudhanto Raihul Fadjri Rainer Maria Rilke Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridha al Qadri Ridwan Munawwar Rikobidik Riri Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rizky Andriati Pohan Robert Frost Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Romi Febriyanto Saputro Rosihan Anwar RR Miranda Rudy Policarpus Rukardi S Yoga S. Jai S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Gerilyawan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra SelaSastra ke #24 Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Subhan SD Suci Ayu Latifah Sulaiman Djaya Sulistiyo Suparno Sunaryo Broto Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunudyantoro Suriali Andi Kustomo Suryadi Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Susilowati Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Bahri Syam Sdp Syarif Hidayatullah Tajuddin Noor Ganie Tammalele Tan Malaka Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Tengsoe Tjahjono Th Pudjo Widijanto Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Joko Susilo Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Umar Kayam Undri Uniawati Universitas Indonesia UU Hamidy Vyan Tashwirul Afkar W Haryanto W.S. Rendra Wahyudin Wannofri Samry Warung Boenga Ketjil Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Web Warouw Wijang Wharek Wiko Antoni Wina Bojonegoro Wira Apri Pratiwi Wiratmo Soekito Wishnubroto Widarso Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Wing King WS Rendra Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yosi M. Giri Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Yuyu AN Krisna Zaki Zubaidi Zalfeni Wimra Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhaenal Fanani Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar Zulhasril Nasir