Maman S. Mahayana *
Adakah jejak alam dalam prosa Indonesia mutakhir? Jika frase jejak alam itu dimaksudkan sebagai latar cerita, tentu saja cukup berlimpah novel Indonesia yang coba mengangkat perkara itu. Tetapi, jika jejak alam itu dimaksudkan sebagai problem manusia dalam berhadapan dengan alam, maka itulah yang terjadi dalam novel Indonesia modern. Novel Indonesia jadinya semacam potret pandangan dan sikap sastrawan Indonesia yang berbeda pandangan dan sikap sastrawan Eropa atau Amerika.
Bagaimanapun juga, novel (: sastra) adalah representasi kegelisahan sastrawan atas berbagai persoalan yang berada di lingkungannya. Boleh jadi ia cemas berhadapan dengan dirinya sendiri yang dalam karya sastra digambarkan sebagai konflik batin ketika manusia tidak dapat memahami dirinya sendiri. Bukankah misteri manusia yang paling fundamental adalah ketidakmampuannya memahami dirinya sendiri: manusia merupakan misteri bagi manusia itu sendiri.
Selain konflik manusia dengan dirinya sendiri, konflik lain yang menghadirkan kegelisahan itu, tidak lain disebabkan oleh problem sebagai akibat interaksi dengan sesama manusia. Mengingat manusia sejak awalnya berbeda dan keberbedaannya itu sangat ditentukan oleh kebebasan yang sudah melekat pada diri setiap manusia sejak ia dilahirkan, maka konflik antarmanusia tidak akan pernah selesai dalam kehidupan ini. Konflik itulah yang kerap dieksploitasi novelis ketika ia membangun karakterisasi tokoh-tokoh rekaannya. Maka novel –dan prosa secara keseluruhan—nyaris tidak pernah meninggalkan konflik antartokoh-tokohnya itu.
Lalu, bagaimanakah konflik manusia dengan alam dan dengan Tuhan? Alam sering kali diperlakukan sebagai sesuatu yang menyimpan kekuatan gaib mahadahsyat ketika ia memperlihatkan kuasanya. Pada saat seperti itu, tidak ada pilihan lain bagi manusia selain melakukan doa-doa bujuk-rayu, bermohon agar alam memberi belas kasihan kepada manusia dan ia tidak mempertontonkan keganasannya. Tetapi di saat yang lain, kesadaran bahwa alam pada dasarnya tidak berbeda dengan makhluk lain di jagat raya ini, maka persahabatan—persaudaraan dengan alam merupakan sikap yang bijaksana. Dari sanalah mulai terjadi tegur sapa dengan alam. Ada etika dalam memperlakukan alam. Keterpesonaan manusia pada alam kemudian wujud dalam berbagai bentuk ekspresi. Itulah manusia yang menyadari, bahwa alam merupakan bagian yang tak terpisahkan dengan tata kehidupan manusia.
Meski begitu, sebagian besar manusia cenderung memperlakukan alam sebagai lahan eksploitasi. Manusia adalah penguasa bumi. Maka, kekayaan alam adalah hak manusia. Oleh karena itu, manusia bebas memanfaatkan kekayaan itu untuk sebesar-besarnya kesejahteraan manusia. Demi dan atas nama kesejahteraan itu pula, manusia menyembunyikan keserakahannya dalam menguras kekayaan alam. Pada tataran itu, tentu saja pengolahan, pemanfaatan, dan pengurasan kekayaan alam untuk kesejahteraan manusia, dapat dibenarkan sejauh di dalamnya ada etika, ada kesopansantunan.
Bukankah manusia, sebagai sesama makhluk ciptaan Tuhan, sesungguhnya masih bersaudara dengan alam dan makhluk hidup lainnya di jagat raya ini? Tetapi, manusia yang mempunyai kesadaran seperti itu terlalu sedikit dibandingkan manusia yang justru memilih mengumbar nafsu pengurasannya. Maka alam menjadi lahan eksploitasi; kekayaannya dikuras habis. Terjadilah kerusakan ekosistem. Mulailah kampanye tentang kembali ke alam (back to nature) menjadi semacam gerakan penyadaran.
Sementara itu, konflik manusia dengan Tuhan, cenderung bersifat teologis. Manusia coba memahami keberadaan sesuatu yang mahakuasa, menggugat ajarannya, atau mempertanyakan keberadaannya. Ketika persoalan itu disajikan sebagai karya sastra, ia terpaksa dibungkus dalam kemasan struktur formal keseluruhan karya itu dengan tidak melupakan aspek estetika yang hendak diselusupkan dan melekat di dalam segala unsurnya. Jika tidak menyatu dalam keseluruhan karya itu, ia akan tergelincir pada kubangan doktrin, dogma, dan karya itu menjelma menjadi serangkaian khotbah.
Begitulah, karya sastra pada dasarnya mengungkapkan keempat hal itu: konflik dengan dirinya sendiri, dengan sesama manusia, dengan alam, atau dengan Tuhan. Bagaimanakah dengan sastra Indonesia (: novel) yang coba mengangkat persoalan itu, khasnya yang menyangkut hubungan manusia dengan alam?
***
Jika sastra (: novel) diyakini sebagai representasi gagasan sastrawannya ketika berhadapan dengan serangkaian konflik laten itu, maka jejak alam dalam novel Indonesia mutakhir laksana potret masyarakat Indonesia dalam memandang dan memperlakukan alam. Dalam hampir semua novel Indonesia yang coba menempatkan alam tidak sekadar sebagai latar cerita, tetapi juga sebagai masalah yang coba diangkatnya, alam bukanlah ancaman yang mencemaskan—menakutkan. Oleh karena itu, alam tidak diperlakukan sebagai problem yang serius. Bahkan, dalam banyak puisi penyair Indonesia, alam (laut, gunung, hutan, sawah, dll) justru menjadi objek yang penuh pesona, inspiring. Maka yang muncul adalah kekaguman mereka pada alam. Jadi, jejak alam dalam novel Indonesia adalah ekspresi kekaguman, keterpesonaan, dan hasrat melakukan persahabatan—persaudaraan dengan alam.
Alam dalam novel Indonesia seolah-olah (nyaris) tak tersentuh sebagai sebuah problem yang serius. Alam adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan sastrawan (: manusia) Indonesia. Maka, menegaskan kembali pernyataan tadi: jejak alam yang muncul dalam novel Indonesia adalah ekspresi keterpesonaan, kekaguman, pemujaan, dan hasrat melakukan persahabatan—persaudaraan. Alam bukanlah ancaman atau sesuatu yang harus diselamatkan.
Begitulah, perjalanan novel –bahkan juga secara keseluruhan, kesusastraan—Indonesia laksana tak memandang alam sebagai persoalan yang perlu diangkat sebagai tema cerita. Lihat saja novel Muda Teruna (1922) Muhammad Kasim yang paling awal mengangkat latar alam sebagai bagian penting dari tema cerita. Gunung, hutan, lereng, dan laut adalah tempat bermain para tokohnya yang sudah menjadi sahabat mereka sejak kecil. Maka, laut yang mestinya mengubur jasad Marah Kamil, tokoh utama novel itu, malah justru menjadi penyelamat ketika ia dikejar para perompak.
Dalam Dian yang Tak Kunjung Padam (1932), Sutan Takdir Alisjahbana yang “menggagalkan” percintaan Yasin—Molek, ternyata punya maksud lain. Yasin yang ditinggal mati sang kekasih lantaran sakit, akhirnya memutuskan untuk menyepi di dekat Danau Ranau, di lereng gunung Seminung. Alam pegunungan yang indah telah menyihirnya untuk tinggal di sana sampai ajal menjemputnya. Dan kematian itulah nikmat akhirat atas cinta sucinya pada sang kekasih.
Dalam Tenggelamnya Kapal van der Wijck (1939), Hamka menempatkan laut sebagai puncak tragedi percintaan yang gagal Zainuddin—Hayati. Meski tak ada deskripsi mengenai keindahan laut, tenggelamnya kapal van der Wijck yang salah satu korbannya Hayati, justru terkesan hendak menegaskan bahwa cinta Zainuddin kepada Hayati tetap abadi sampai ajal menjemput keduanya. Jika tidak terjadi kecelakaan itu, Hayati akan selamat sampai ke Padang dan seumur hidupnya akan digayuti penyesalan dan perasaan berdosa sampai maut menjemputnya.
Begitulah, sejauh pengamatan, jejak alam dalam novel Indonesia sebelum perang adalah jejak yang tak penting semata-mata lantaran memang tidak ada persoalan di sana. Oleh karena itu, boleh dikatakan bahwa novel Indonesia sebelum perang adalah novel sosial. Problem kemasyarakat itulah yang paling banyak mendapat sorotan.
***
Dalam sejumlah novel Indonesia mutakhir, gambaran tentang alam yang mengancam atau yang harus diselamatkan, juga tidak banyak kita jumpai. Dalam Keluarga Gerilya (1948) Pramoedya Ananta Toer, hutan adalah daerah perlindungan mereka –para gerilyawan, sementara kota—yang dikuasai Belanda—adalah wilayah ancaman. Titik perhatian novel itu memang bukan pada semangat mengangkat latar alam, melainkan pada persoalan nasionalisme.
Berbeda dengan sejumlah novel yang telah disinggung tadi, A.A. Navis dalam Kemarau (1957) memperlihatkan kesadaran pentingnya alam bagi kehidupan manusia. Kemarau panjang yang menghancurkan pesawahan di kampungnya telah memaksa Sutan Duano mencari cara lain memanfaatkan alam. Tokoh inilah yang kemudian menjadi perintis, bagaimana air danau dapat dimanfaatkan untuk pengairan sawah. Berkat usahanya itu pula, desa itu tidak lagi mengalami pacelik panjang. Inilah novel Indonesia yang memperlakukan alam sebagai lahan garapan, sebagai lapangan pekerjaan yang dapat mengangkat kesejahteraan bagi kehidupan manusia.
Novel Harimai! Harimau! (1975) Mochtar Lubis, jelas menempatkan hutan (: alam) sebagai latar cerita. Tetapi hutan dalam novel itu tidaklah menjadi sorotan utama. Mochtar Lubis lebih banyak mengeksploitasi karakter tokoh-tokohnya. Hutan menjadi sekadar lanskap belaka yang tidak begitu fungsional mempertajam bobot masalah yang dihadapi tokoh-tokohnya.
Dalam deretan panjang perjalanan novel Indonesia, latar alam selain cenderung diluputkan, juga ditempatkan sebagai sesuatu yang keberadaannya memang baik-baik saja. Bahkan, dalam novel Kubah (1980) Ahmad Tohari, Kelok Lima (2002) B. Jass atau Gadis Permata Bunda (2003) Deddy Effendie, kecenderungan melakukan persahabatan dengan alam justru sangat menonjol. Dalam novel-novel itu, alam adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan mereka. Bahkan lagi, dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk (1982; versi lengkap2003), kondisi alam yang sesungguhnya sangat tidak memberi kesejahteraan bagi kehidupan penduduk, juga masih tetap diperlakukan dengan kesadaran sebagai sesuatu yang harus dijaga dan dihormati.
Perlu disebutkan di sini dua novel yang tidak dapat diabaikan ketika kita membicarakan latar alam dalam novel Indonesia. Kedua novel itu adalah Upacara (1978) karya Korrie Layun Rampan dan Namaku Teweraut (2000) karya Ani Sekarningsih. Meskipun kedua novel itu mengangkat latar alam masyarakat Dayak (Upacara) dan Papua (Namaku Teweraut) dengan sangat meyakinkan, persoalan yang justru terjadi bukanlah pada alam itu sendiri, melainkan masuknya budaya luar dan persoalan adat yang melegitimasi keteraniayaan kaum perempuan. Jadi, kembali, alam bukanlah yang menjadi persoalan utama, sebab yang lebih banyak disoroti adalah kehidupan masyarakatnya.
***
Dari perbincangan sekilas-pintas itu, pertanyaannya kini: mengapa novelis Indonesia—bahkan juga sastrawan Indonesia secara keseluruhan—tidak menempatkan alam sebagai sesuatu yang harus dijaga dan diselamatkan? Mengapa alam tidak ditempatkan sebagai ancaman yang harus ditaklukkan? Kiranya makin jelas bagi kita, bahwa sastra pada hakikatnya merupakan representasi kultural. Mengingat alam bagi masyarakat Indonesia telah memberi penghidupan yang membahagiakan, lalu untuk apa pula keberadaannya dipersoalkan?
Begitulah, novel Indonesia pada dasarnya merupakan novel kemasyarakatan. Hal tersebut tampak jika kita mencermati perjalanan tematik novel-novel kita. Sebelum merdeka, misalnya, para novelis kita cenderung mengangkat problem adat yang kerap digunakan sebagai alat legitimasi kekuasaan berhadapan dengan kemajuan zaman. Pada awal kemerdekaan sampai tahun 1950-an, persoalan nasionalisme dan sistem kepercayaan, mulai mendapat sorotan. Meskipun secara tematis terjadi perkembangan tematik, substansinya tetap sama, yaitu hendak menegaskan konsep dan identitas masyarakat—atau bangsa—Indonesia. Atau, boleh jadi juga itu berkaitan dengan gugatan atas mentalitas bangsa Indonesia yang di sana mengeram lekat mentalitas bangsa terjajah.
Gambaran tersebut menjadi jelas jika kita coba membandingkannya dengan kesusastraan dari negara lain. Langkah perbandingan ini tentu saja penting untuk menegaskan kembali, bahwa sastra pada hakikatnya merupakan representasi kultural. Dengan demikian, mempelajari kesusastraan sebuah bangsa dapatlah kiranya digunakan sebagai pintu masuk mempelajari kebudayaan bangsa yang bersangkutan. Sebutlah dua novel India –Pater Pancali karya Bibhutibhushan Banerji dan Madu dalam Saringan (Nectar in a Sieve) karya Kamala Markandaya, dan sebuah novel Bangladesh, berjudul Pohon Tanpa Akar (1990) karya Syed Waliullah. Membaca kedua novel India itu, kita laksana memasuki sebuah panaroma kegersangan alam yang kering kerontang. Alam menjadi sesuatu yang menakutkan. Kelaparan dan kemiskinan, bukanlah lantaran penduduknya hidup dalam kubangan kemalasan, melainkan lantaran alam tidak memberinya penghidupan. Bahkan, sebaliknya, keganasan alam itu pula yang menghancurkan kehidupan mereka. Kemarau panjang telah membakar lahan-lahan pertanian dan ketika musim penghujan datang, banjir menghancurkan segalanya.
Dalam Pohon Tanpa Akar, gambaran serupa tampak pula di sana. Kemiskinan lebih disebabkan oleh alam yang tidak memberinya kehidupan. Maka, agar tetap bertahan hidup, cara apa pun sangat mungkin dilakukan, termasuk dengan melakukan penipuan atas nama agama. Dan ketika kemapanan mulai menjauhkan kemelaratan, datanglah banjir yang seketika itu juga menghancurkan segalanya.
***
Demikianlah, jejak alam dalam novel (: sastra) Indonesia adalah ekspresi kekaguman dan persaudaraan dengan alam. Jika alam telah memberinya penghidupan, mengapa pula harus dipersoalkan. Jika pun alam harus diselamatkan, maka penyelamatannya itu sendiri terutama pada usahanya menghancurkan kerakusan manusianya, sebagaimana tampak pada novel Ediruslan Pe Amanriza, Dikalahkan Sang Sapurba (2000). Di sana dikisahkan, bagaimana penghidupan penduduk pribumi asli (: Melayu) tergusur oleh para pemilik modal yang kemudian menguasai perkebunan di sana.
***
Jika ditarik benang merah jejak alam dan manusia dalam prosa Indonesia mutakhir, maka yang akan kita jumpai di sana adalah sebuah persahabatan—persaudaraan manusia Indonesia dengan alam yang telah menyediakan segalanya bagi kelangsungan hidup mereka. Jika kini berbagai persoalan muncul di berbagai wilayah negeri ini tentang penggundulan hutan di Kalimantan, pembakaran lahan perkebunan di Sumatera, dan pencemaran lingkungan akibat kehadiran pabrik-pabrik, kilang minyak, dan eksplotasi kekayaan alam yang tak terkendali, sumbernya bukanlah pada alam itu sendiri, melainkan pada manusianya yang tak mau bersahabat dengan alam. Boleh jadi problem kerusakan alam di negeri ini akan melahirkan karya-karya romantik sebagaimana yang terjadi di Eropa selepas revolusi industri.
Manakala kita hendak melacak jejak manusia Indonesia dalam prosa kita, maka yang segera muncul adalah semangat merumuskan indentitas keindonesiaan dan permusuhan pada mentalitas sebagai bangsa terjajah. Dalam wilayah inilah sesungguhnya novel Indonesia merepresentasikan dirinya sebagai potret bangsa yang sekian lama terkungkung oleh mental kolonial.
Nah!
msm/mpu/bandung/4—6/11/2008.
____________________
*) Maman S. Mahayana, lahir di Cirebon, Jawa Barat, 18 Agustus 1957. Dia salah satu penerima Tanda Kehormatan Satyalancana Karya Satya dari Presiden Republik Indonesia, Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono (2005). Menyelesaikan pendidikannya di Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FS UI) tahun 1986, dan sejak itu mengajar di almamaternya yang kini menjadi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB-UI). Tahun 1997 selesai Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Pernah tinggal lama di Seoul, dan menjadi pengajar di Department of Malay-Indonesian Studies, Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea Selatan. Selain mengajar, banyak melakukan penelitian. Beberapa hasil penelitiannya antara lain, “Inventarisasi Ungkapan-Ungkapan Bahasa Indonesia” (LPUI, 1993), “Pencatatan dan Inventarisasi Naskah-Naskah Cirebon” (Anggota Tim Peneliti, LPUI, 1994), dan “Majalah Wanita Awal Abad XX (1908-1928)” (LPUI, 2000).
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Musthafa
A Rodhi Murtadho
A Wahyu Kristianto
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Wachid BS
Abdullah al-Mustofa
Abdullah Khusairi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimanyu
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Maulani
Adek Alwi
Adhi Pandoyo
Adrian Ramdani
Ady Amar
Afrizal Malna
Agnes Rita Sulistyawati
Aguk Irawan Mn
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Subiyakto
Agus Sulton
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahm Soleh
Ahmad Farid Tuasikal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Luthfi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadie Thaha
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rasyid
AJ Susmana
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander Aur
Alexander G.B.
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Rif’an
Aliela
Alimuddin
Alit S. Rini
Alunk Estohank
Ami Herman
Amich Alhumami
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminudin TH Siregar
Ammilya Rostika Sari
An. Ismanto
Anaz
Andaru Ratnasari
Andhi Setyo Wibowo
Andhika Prayoga
Andong Buku #3
Andrenaline Katarsis
Andri Cahyadi
Angela
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Sudibyo
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Zulkifli
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayu Utami
Azyumardi Azra
Babe Derwan
Bagja Hidayat
Balada
Bandung Mawardi
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Bernadette Lilia Nova
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Bhakti Hariani
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budi Winarto
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Bustan Basir Maras
Camelia Mafaza
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Choirul Rikzqa
D. Dudu A.R
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Darmanto Jatman
Dedy Tri Riyadi
Delvi Yandra
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Anggraeni
Dian Basuki
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dian Yanuardy
Diana AV Sasa
Dinar Rahayu
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Warsidi
Edy Firmansyah
EH Kartanegara
Eka Alam Sari
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil Amir
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
F. Budi Hardiman
Fadly Rahman
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fani Ayudea
Fariz al-Nizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatkhul Aziz
Felix K. Nesi
Film
Fitri Yani
Franditya Utomo
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Garna Raditya
Gde Artawan
Geger Riyanto
Gendhotwukir
George Soedarsono Esthu
Gerakan Surah Buku (GSB)
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Tri Atmojo
H. Supriono Muslich
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim H.D.
Hamberan Syahbana
Hamidah Abdurrachman
Han Gagas
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Helwatin Najwa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendriyo Widi Ismanto
Hepi Andi Bastoni
Heri Latief
Heri Listianto
Herry Firyansyah
Heru Untung Leksono
Hikmat Darmawan
Hilal Ahmad
Hilyatul Auliya
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husnun N Djuraid
I Nyoman Suaka
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilenk Rembulan
Ilham khoiri
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Budi Santosa
Imelda
Imron Arlado
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Margareta
Indra Darmawan
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ingki Rinaldi
Insaf Albert Tarigan
Intan Hs
Isbedy Stiawan ZS
Ismail Amin
Ismi Wahid
Ivan Haris
Iwan Gunadi
Jacob Sumardjo
Jafar Fakhrurozi
Jajang R Kawentar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean-Marie Gustave Le Clezio
JJ. Kusni
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Julika Hasanah
Julizar Kasiri
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kadir Ruslan
Kartika Candra
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Ketut Yuliarsa
KH. Ma'ruf Amin
Khaerudin
Khalil Zuhdy Lawna
Kholilul Rohman Ahmad
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Krisandi Dewi
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kuswinarto
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lenah Susianty
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
M Shoim Anwar
M. Arman A.Z.
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Harya Ramdhoni
M. Kasim
M. Latief
M. Wildan Habibi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria hartiningsih
Maria Serenada Sinurat
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Marsus Banjarbarat
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masriadi
Mawar Kusuma Wulan
Max Arifin
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Mezra E. Pellondou
Micky Hidayat
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Moh Samsul Arifin
Moh. Syafari Firdaus
Mohamad Asrori Mulky
Mohammad Afifuddin
Mohammad Fadlul Rahman
Muh Kholid A.S.
Muh. Muhlisin
Muhajir Arifin
Muhamad Sulhanudin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Azka Fahriza
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naskah Teater
Nezar Patria
Nina Setyawati
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noor H. Dee
Noval Maliki
Nunuy Nurhayati
Nur Haryanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurudin
Octavio Paz
Oliviaks
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Panda MT Siallagan
Pandu Jakasurya
PDS H.B. Jassin
Philipus Parera
Pradewi Tri Chatami
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rahmat Sutandya Yudhanto
Raihul Fadjri
Rainer Maria Rilke
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridha al Qadri
Ridwan Munawwar
Rikobidik
Riri
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rizky Andriati Pohan
Robert Frost
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Romi Febriyanto Saputro
Rosihan Anwar
RR Miranda
Rudy Policarpus
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Gerilyawan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra
SelaSastra ke #24
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Subhan SD
Suci Ayu Latifah
Sulaiman Djaya
Sulistiyo Suparno
Sunaryo Broto
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunudyantoro
Suriali Andi Kustomo
Suryadi
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Susilowati
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Bahri
Syam Sdp
Syarif Hidayatullah
Tajuddin Noor Ganie
Tammalele
Tan Malaka
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Tengsoe Tjahjono
Th Pudjo Widijanto
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Joko Susilo
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi
Umar Kayam
Undri
Uniawati
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Vyan Tashwirul Afkar
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyudin
Wannofri Samry
Warung Boenga Ketjil
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Web Warouw
Wijang Wharek
Wiko Antoni
Wina Bojonegoro
Wira Apri Pratiwi
Wiratmo Soekito
Wishnubroto Widarso
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Wing King
WS Rendra
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yosi M. Giri
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Yuyu AN Krisna
Zaki Zubaidi
Zalfeni Wimra
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhaenal Fanani
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Zulhasril Nasir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar