Catatan Kecil tentang Puisi Mardi Luhung
Imamuddin SA
http://forum-sastra-lamongan.blogspot.com/
Siapa yang tidak kenal dengan Mardi Luhung! Penyair yang kerap dipanggil Hendry ini adalah seorang guru sebuah lembaga pendidikan di Gersik. Selain ia tekun dalam dunia pendidikan, yang tidak kalah lagi adalah ketekunannya dalam dunia kesusastraan. Ia dapat dikatakan sebagai motor kesusastraan di Gersik. Perjuangan sastranya di kota tersebut sungguh luar biasa. Hal itu terbukti dari eksistensinya sebagai gerilyawan sastra. Ia mencoba memasyarakatkan sastra mulai dari lingkungan bawah sampai atas. Dari sekolah sampai jalanan.
Mardi dalam karya-karyanya, khususnya puisi kerap menyuarakan realitas sosial kemasyarakatan kotanya. Ia kerap menyuarakan kultur sosial masyarakat kota Gersik yang notabenenya adalah kota pantai atau pelabuhan. Itu tecermin dari logat bahasa dalam puisinya. Yaitu keras tanpa dihalus-haluskan, ujaran atau kosa kata nelayan, suasana pelabuhan dan pantai, narasi keseharian masyarakatnya di pasar, jalan, dan gang, serta ruang publik lainnya.
Berbicara kultur masyarakat pesisir, memang tidak dapat dipungkiri bahwasannya kita akan banyak menemukan nuansa kehidupan yang keras. Mulai dari logat bicara sampai perilaku masyarakatnya. Kondisi semacam itu tampaknya secara dominan dipengaruhi oleh letak geografis daerahnya. Dirujuk dari segi nenek moyangnya, masyarakat pesisir dalam realitas kesehariannya dituntut untuk melaut. Dalam kondisi semacam itu, pada dasarnya dalam kesehariannya, mereka dihadapkan dengan tantangan kematian, gemuruh ombak, dan nasib yang tidak menentu. Mereka masih dibayang-bayangi oleh ketidak mengertian bahwa ia akan dapat kembali ke darat atau tidak. Untung atau tidak.
Hal itulah yang pada dasarnya membentuk karakter dan mentalitas masyarakat pesisir yang keras dan berani. Mentalitas dalam kesehariannya dipertaruhkan dengan maut. Setiap hari mereka ditraining oleh kematian. Itu adalah makanan dan terapi mentalnya. Bayang-bayang akan kematian dan maut sudah terbiasa melingkupinya sehingga hal itu kurang terhiraukan lagi. Hal itu mampu mejadikan mereka berkemauan keras dan lantang menghadapi segala bentuk tantangan hidup.
Aspek tersebut juga dapat mempengaruhi logat bahasa mereka. Jika mentalitas selalu dicekoki dengan training-training semacam itu, maka lambat laun logat bahasa yang tercipta adalah logat bahasa yang bernada tinggi. Logat bahasa yang mencerminkan egosentris yang jika dirasa-rasa atau didengarkan mengandung nilai kesombongan. Padahal itu tidak sama sekali. Itu adalah logat bahasa alamiah yang terbentuk oleh alam. Belum lagi pengaruh deru ombak yang menyebabkan intonasi suara harus keras. Sebab kalau tidak keras, suara tidak akan sampai dengan jernih pada respondennya. Dan itu menyebabkan komunikasi terhambat. Jadi, logat yang keras, kasar, dan egosesntris merupakan harmonisasi bahasa yang terbangun dalam kultur masyarakat pesisir.
Puisi-puisi Mardi sangat kental menyuarakan masyarakat pesisir. Ia kerap menggambarkan bagaimana realitas sosial yang melingkupi pribadi-pribadi mereka. Dalam puisinya, Mardi pernah menyatakan kebenciannya terhadap orang-orang yang mengaggap bahwa masyarakat pesisir merupakan masyarakat yang tidak tahu aturan dan tidak memiliki unggah-ungguh dalam berperilaku. Terutama dari segi ungkapan bahasanya. Orang-orang tersebut kerap menganggap mereka kosro dan kasar. Bahkan kerap dianggap sebagai masyarakat yang kurang memperhatikan kebersihan lingkungannya.
…… “dan tahukah kau yang paling aku benci? // adalah ketika kita sama-sama ke sekolah // dan sama-sama disebut: “Orang Laut.”
Orang yang dianggap sangat kosro // kurang adat dan keringatnya pun seamis // lendir kakap yang sebenarnya sangat mereka sukai”…… (Pengantin Pesisir, bait: 5-6 dalam Ciuman Bibir Yang Kelabu, 2007:3).
Anggapan-anggapan orang semacam itulah yang sangat dibenci oleh Mardi. Jika ditelisik lebih jauh, bahwa sesungguhnya mereka sendirilah yang pada dasarnya tidak memiliki unggah-ungguh bahasa. Mereka dengan seenaknya mengklaim dan menilai masyarakat pesisir tanpa memperhitungkan sebab-musabab pembentukan dialek bahasa mereka. Mereka tidak sadar bahwa dialek orang pesisir semacam itu merupakan bentukan alam yang berfungsi sebagai balance dalam kehidupan ini. Jadi, bagi Mardi tidak perlulah seseorang mengklaim ini dan itu kepada masyarakat pesisir. Biarkan saja mereka mengembangkan dialektika masing-masing. Toh pada dasarnya dialektika semacam itu tidak mengganggu harmonisasi antara masrakat yang satu dengan yang lainnya. Justru itu adalah rahmatal lil alamin.
Kehidupan orang-orang pesisir tidak terlepas dari ikan. Dalam kesehariannya, mereka selalu menumpahkan pikiran dan keringatnya untuk melaut. Untuk menangkap ikan yang sebanyak-banyaknya sebagai usaha dalam mempertahankan hidup.
Sebab terlalu kentalnya hubungan mereka dengan ikan, aroma tubuhnyapun mengandung aroma ikan. Itu secara alamiah dan tidak dimanipulasi dengan parfum-parfum pada umumnya. Baunya sedikit amis.
Fenomena semacam ini yang mungkin menyebabkan timbulnya tindakan pengucilan terhadap anak-anak laut ketika mereka membaurkan diri dalam masyarakat luas yang berada sedikit jauh dari lingkungannya. Ini biasanya terjadi ketika anak-anak laut melakukan urban ke kota. Entah itu ketika menuntut ilmu ataupun yang lainnya. Kalau di Afrika Selatan ada yang namannya Politik Apartheid mungkin di sini ada Politik Ikan Pahit. Dan Mardi seolah bertindak sebagai Nelson Mandelanya. Dengan suara-suaranya, ia berusaha menghapus kesenjangan sosial yang ada. Melenyapkan perbedaan parfum ikan dengan parfum moderen. Menanamkan image persamaan harkat dan martabat antara masyarakat kota dengan masyarakat pesisir.
Menanamkan persamaan harkat dan martabat dalam pribadi seseorang sangatlah penting. Tidak membeda-bedakan antara yang satu dengan yang lainnya merupakan sebuah keutamaan. Ini adalah sebagian dari proses pemahaman diri. Memahami pribadi orang lain untuk diselami dan mencoba memposisikan diri sendiri pada posisi orang lain. Sebagaimana Abel Bonnard menyatakan bahwa persahabatan itu butuh pemahaman. Dengan sikap semacam itu, nilai solidaritas dan persahabatan akan terbangun kokoh. Jika solidaritas dan persahabatan telah terjalin antarindividu, maka persatuan dan kesatuan masyarakat dan bahkan bangsa akan tercipta. Sehingga perpecahan tidak akan terjadi. Tampaknya ini tidak sekedar tertuju pada masyarakat kota dengan masyarakat pesisir saja. Tapi juga untuk suku, agama, dan ras.
Kita kembali pada masyarakat pesisir. Bagi masyarakat pesisir, ikan adalah segala-galanya. Ikan adalah penopang hidupnya. Ikan adalah bulan. Dan bulan adalah ikan. Begitu kata mardi.
…… “Padamulanya bulan adalah ikan // yang menggeliat dan berdenyut // lewat jantung-tak-terbilangnya” …… (Pada Mulanya Bulan Adalah Ikan, bait:1dalam Ciuman Bibir Yang Kelabu, 2007:61).
Ikan sangat berarti bagi kehidupan masyarakan pesisir. Semua tawa dan kebahagiaan bermula dari ikan. Ikan dapat dikatakan roh bagi masyarakat pesisir. Yang namanya roh, berarti ia menjadi perantaraan kehidupan. Orang yang rohnya melayang, secara otomatis ia tidak dinamakan orang. Tetapi mayat. Itulah eksistensi ikan bagi masyarakat pesisir. Kehidupannya bertumpu pada ikan. Mata pencahariaanya berorientasi pada ikan. Jika sehari saja mereka tidak mendapatkan ikan, duka bersarang tak tertahan. Tidak ada lagi bulan di pantai. Tidak ada lagi senyum masyarakat pesisir. Dan dapat dikatakan pula, ikan adalah separuh nyawa dari masyarakat pesisir. Separuh nyawanya lagi adalah wanita.
…… “Tiga ratus anak laut membuntuti. // anak-anak laut yang separuh badannya adalah ikan. // Dan separuh lagi adalah kemontokan keremajaan.// Seperti ke montokan gadis-gadis pinggir pantai. // Yang percaya pada maut dan laut.” …… (Orang Tenggelam, bait:1 dalam Ciuman Bibir Yang Kelabu, 2007:133).
Orientasi wanita di sini cukup luas. Wanita dapat merujuk pada istri-istri dan gadis-gadis pesisir yang pada dasarnya keduanya itu berkonotasi pada cinta. Ikan bukan sekedar penyambung hidup sendiri, tapi ikan juga untuk menyambung hidup para wanita yang notabenenya tak mungkin melaut. Dengan mendapatkan ikan yang banyak, kesejahteraan keluarga akan tercapai. Begitu juga dengan cinta gadis-gadis remaja pun akan tegapai. Itu bagi mereka yang belum beristri.
Konon, secara mayoritas, orientasi wanita adalah materi. Siapa yang mengantongi uang banyak, dialah yang bakal menggenggam totalitas cintanya. Lihat saja, sebagaimana yang terjadi dalam kehidupan rumah tangga. Ketika sang suami banyak uang, kasih sayang dan cinta sang istri begitu menyeluruh. Namun ketika uang tidak ada, yang banyak terjadi adalah emosional dan kemarahan. Dan ini sudah wajar, sebab wanita dikatakan sebagai kaum hawa. Kaum yang selalu menomorsatukan hawa nafsunya. Menomorsatukan materi dan fisik kemanusiaannya. Lebih jauh lagi, coba tengok lokalisasi. Siapa yang berkantong tebal, dialah yang bakal dimuliakan oleh para wanitanya.
Tapi tidak perlu dipikir panjang. Keberadaan wanita adalah sebuah keniscayaan. Ia sebagai penanda kesempurnaan manusia. Sebab wanita merupakan bagian dari laki-laki yang telah terbelah. Penyatuan laki-laki dan wanita, entah itu secara jasmani maupun rohani merupakan sebuah usaha dalam melengkapi kepribadian masing-masing. Berusaha menutup ruang kosong kepribadian. Jadi tidak ada lelaki yang tidak suka dengan kewanitaan. Dan tidak ada wanita yang tidak suka dengan kelelakian. Ini adalah kodrat umum kemanusiaan. Jauh dari pada itu, setiap lelaki pasti sedikit banyak memiliki sifat kewanitaan. Dan wanita juga pasti sedikit banyak memiliki sifat kelelakian. Sebab pada mulanya mereka adalah satu tubuh.
Setiap manusia pasti memiliki keseimbangan diri. Sekasar-kasarnya orang, pasti memiliki kelembutan. Dan selembut-lembutnya pribadi seseorang, kadang kala memunculkan tabiat yang keras. Entah sedikit atau banyak, itu pasti terjadi. Begitu juga dengan masyarakat pesisir, meskipun tampak terlihat kasar, ia masih memiliki kelembutan hati. Tinggal respondenya saja yang harus mampu memasuki ruang kosong itu. Dan mengambil kelembutannya. Entah dengan cara apa dan bagaimana, pikirkan saja. Sebab setiap individu itu memiliki cara yang berbeda-beda dalam memasuki kepribadian individu lain. Tentunya disesuaikan dengan karakter masing-masing.
Secara sekilas, bagi orang yang baru membaur dengan masyarakat pesisir, ia akan merasakan aura kepribadian yang keras. Itu wajar saja. Sebab ia belum terlalu akrab dan belum menjalin hubungan emosional yang kuat. Jika keakraban dan hubungan emosional telah terbangun, maka secara alamiah pasti merasakan kelembutan aura kepribadiannya. Dan bahkan cinta dan kasih sayangnya. Paling tidak kita akan mengetahui kelembutannya yang tercurah pada keluarganya. Dan bahkan lingkungan kemasyarakatannya. Sebagaiman tecermin dalam ungkapan Mardi berikut.
…… “Sejauh mata memandang, sejauh itu pula aku // memandang yang berjalan di atas laut. Siapa gerangan // mereka? Wajah dan pakaian mereka seperti gelombang // lembut yang menyisir pantai dan rumah-rumah, bakau // dan perahu-perahu yang dibalik, yang warnanya sedang // dibatik, dan lambungnya ditambal dengan keringat, cinta // dan lendir ikan yang terpukat” …… (Yang Berjalan Di Atas Laut, bait:1 dalam Ciuman Bibir Yang Kelabu, 2007:131).
Perlu diketahui, bentuk solidaritas masyarakat pesisir itu sangat tinggi. Dan itu baru muncul jika seseorang mampu mengambil kelembutan hati mereka. Jarang seseorang mampu menyelami kepribadian masyarakat pesisir. Boro-boro menyelami, mendengar logat bicara dan perawakannya saja seseorang kebanyakan ogah bergaul. Alasan takutlah, mereka tak punya sopanlah, dan masih seribu alasan lagi diungkapkannya. Ini sebenarnya sebuah pandangan yang kurang objektif. Kebanyakan orang menilai dari segi luarnya saja dan melupakan kebatinannya. Bagi yang akrab bergaul tentunya pasti akan mengetahui hal itu.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Jumat, 20 Maret 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Musthafa
A Rodhi Murtadho
A Wahyu Kristianto
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Wachid BS
Abdullah al-Mustofa
Abdullah Khusairi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimanyu
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Maulani
Adek Alwi
Adhi Pandoyo
Adrian Ramdani
Ady Amar
Afrizal Malna
Agnes Rita Sulistyawati
Aguk Irawan Mn
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Subiyakto
Agus Sulton
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahm Soleh
Ahmad Farid Tuasikal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Luthfi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadie Thaha
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rasyid
AJ Susmana
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander Aur
Alexander G.B.
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Rif’an
Aliela
Alimuddin
Alit S. Rini
Alunk Estohank
Ami Herman
Amich Alhumami
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminudin TH Siregar
Ammilya Rostika Sari
An. Ismanto
Anaz
Andaru Ratnasari
Andhi Setyo Wibowo
Andhika Prayoga
Andong Buku #3
Andrenaline Katarsis
Andri Cahyadi
Angela
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Sudibyo
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Zulkifli
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayu Utami
Azyumardi Azra
Babe Derwan
Bagja Hidayat
Balada
Bandung Mawardi
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Bernadette Lilia Nova
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Bhakti Hariani
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budi Winarto
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Bustan Basir Maras
Camelia Mafaza
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Choirul Rikzqa
D. Dudu A.R
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Darmanto Jatman
Dedy Tri Riyadi
Delvi Yandra
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Anggraeni
Dian Basuki
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dian Yanuardy
Diana AV Sasa
Dinar Rahayu
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Warsidi
Edy Firmansyah
EH Kartanegara
Eka Alam Sari
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil Amir
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
F. Budi Hardiman
Fadly Rahman
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fani Ayudea
Fariz al-Nizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatkhul Aziz
Felix K. Nesi
Film
Fitri Yani
Franditya Utomo
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Garna Raditya
Gde Artawan
Geger Riyanto
Gendhotwukir
George Soedarsono Esthu
Gerakan Surah Buku (GSB)
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Tri Atmojo
H. Supriono Muslich
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim H.D.
Hamberan Syahbana
Hamidah Abdurrachman
Han Gagas
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Helwatin Najwa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendriyo Widi Ismanto
Hepi Andi Bastoni
Heri Latief
Heri Listianto
Herry Firyansyah
Heru Untung Leksono
Hikmat Darmawan
Hilal Ahmad
Hilyatul Auliya
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husnun N Djuraid
I Nyoman Suaka
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilenk Rembulan
Ilham khoiri
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Budi Santosa
Imelda
Imron Arlado
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Margareta
Indra Darmawan
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ingki Rinaldi
Insaf Albert Tarigan
Intan Hs
Isbedy Stiawan ZS
Ismail Amin
Ismi Wahid
Ivan Haris
Iwan Gunadi
Jacob Sumardjo
Jafar Fakhrurozi
Jajang R Kawentar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean-Marie Gustave Le Clezio
JJ. Kusni
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Julika Hasanah
Julizar Kasiri
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kadir Ruslan
Kartika Candra
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Ketut Yuliarsa
KH. Ma'ruf Amin
Khaerudin
Khalil Zuhdy Lawna
Kholilul Rohman Ahmad
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Krisandi Dewi
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kuswinarto
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lenah Susianty
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
M Shoim Anwar
M. Arman A.Z.
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Harya Ramdhoni
M. Kasim
M. Latief
M. Wildan Habibi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria hartiningsih
Maria Serenada Sinurat
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Marsus Banjarbarat
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masriadi
Mawar Kusuma Wulan
Max Arifin
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Mezra E. Pellondou
Micky Hidayat
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Moh Samsul Arifin
Moh. Syafari Firdaus
Mohamad Asrori Mulky
Mohammad Afifuddin
Mohammad Fadlul Rahman
Muh Kholid A.S.
Muh. Muhlisin
Muhajir Arifin
Muhamad Sulhanudin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Azka Fahriza
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naskah Teater
Nezar Patria
Nina Setyawati
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noor H. Dee
Noval Maliki
Nunuy Nurhayati
Nur Haryanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurudin
Octavio Paz
Oliviaks
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Panda MT Siallagan
Pandu Jakasurya
PDS H.B. Jassin
Philipus Parera
Pradewi Tri Chatami
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rahmat Sutandya Yudhanto
Raihul Fadjri
Rainer Maria Rilke
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridha al Qadri
Ridwan Munawwar
Rikobidik
Riri
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rizky Andriati Pohan
Robert Frost
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Romi Febriyanto Saputro
Rosihan Anwar
RR Miranda
Rudy Policarpus
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Gerilyawan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra
SelaSastra ke #24
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Subhan SD
Suci Ayu Latifah
Sulaiman Djaya
Sulistiyo Suparno
Sunaryo Broto
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunudyantoro
Suriali Andi Kustomo
Suryadi
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Susilowati
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Bahri
Syam Sdp
Syarif Hidayatullah
Tajuddin Noor Ganie
Tammalele
Tan Malaka
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Tengsoe Tjahjono
Th Pudjo Widijanto
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Joko Susilo
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi
Umar Kayam
Undri
Uniawati
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Vyan Tashwirul Afkar
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyudin
Wannofri Samry
Warung Boenga Ketjil
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Web Warouw
Wijang Wharek
Wiko Antoni
Wina Bojonegoro
Wira Apri Pratiwi
Wiratmo Soekito
Wishnubroto Widarso
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Wing King
WS Rendra
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yosi M. Giri
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Yuyu AN Krisna
Zaki Zubaidi
Zalfeni Wimra
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhaenal Fanani
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Zulhasril Nasir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar