Nurel Javissyarqi*
http://forum-sastra-lamongan.blogspot.com/
Memitos, istilah saya untuk menyebut kebalikan dari kata jangka (ramal, meramal). Di Jawa ada pengistilahan ngerogo sukmo, semacam meranggehnya sukma. Maka memitos sejarah, serupa ngeranggeh cerito atau merengkuh cerita lama. Sejenis membongkar ingatan di bawah sadar sejarah bathin-raga kemanusiaan. Ini semoga bukan bentuk kelebihan hormon pengarang.
Ketika waktu memberi tempat bagi manusia, maka segera hadir temuan-temuan yang berlangsung dari alam bathin fikirannya, sebagaimana tergambar pada karya patung Aguste Rodin, Homo Sapiens.
***
Saat itu, alam raya masih akrab awan-gemawan, pegunungan, embun dedaunan murni, serta gegua yang belum terjemah-jamah kemanusiaan. Sebelum jaman batu, pahat juga ukiran. Sewaktu warna menjadi tolak ukur pemaknaan, bentuk menjelma simbul pengertian, di sini peradaban mulai bergerak.
Sebelum lontar dan hitam tinta ditemukan, hitam-putih pencahayaan, menajamkan bayangan makna. Dan suara-suara mulai berkembang, bergema jeritan serta tangisan sampai menemuan vokal.
Waktu itu, pewarna hidup menjelajahi kehendak kelestarian. Betapa relief-relief dalam gua sebagai saksi pelajaran akan bebentuk pepohonan, hewan-gemewan, segala macam terus diterjemahkan ke dalam wujud huruf. Ini penyederhanaan yang sangat menakjubkan, pemadatan yang mencapai kebakuan huruf-huruf Arab, Cina, Jawa, Abjad, Romawi dan lainnya.
Hal itu terjadi serentak, Tuhan mentakdirkan gelombang seirama melingkupi gravitasi bumi, yang tercurah dari ozon Keilahian pada sap langit terendah. Apapun terjadi sebab kehendak menguasai, lagi berkuasa menentukan gerak kehidupan serta misteri dalam kuasa-Nya.
Lalu manusia mempelajari kehendak-kehendak terahasia. Inilah leloncatan menyepadankan imaji tercerah dari batu sandungan, semisal kesadaran atas kesalahan langkah. Dan manusia, makluk paling cerdas dalam memperbaiki jalannya kisah, demi langkah selanjutnya.
Sementara sejarah sastra di balik selisipan peristiwa tersebut. Terlihatlah dalam mitos, bahwa awal kali karya sastra dengan kata-kata, bukan hadir dadakan. Diawali surat-surat rahasia seorang raja kepada panglimanya, dan dari penguasa satu ke lainnya, ini yang muncul di permukaan. Sedang orang-orang bijak telah berkidung sebelum adanya alat kata, suara-suara itu terekam turun-temurun ke batok kepala anak-anaknya semacam sastra lisan.
Kiranya sampai pada tahap kelembutan budhi, manusia mulai mengkawinkan keindahan alam, kelestarian lingkungan dengan tragedi yang berlangsung di sekitar, tersimpan pada guratan di tulang, kulit bambu juga di tebing kesaksian keadaban.
Hal ini seiring lahirnya sulapan atau sihir, dan pengalaman akrobatik sebagai penghibur, menghipnotis sesamanya. Tentu dalam kepanjangan ini, status atas keahlian yang menentukan kedudukannya di mata wilayah tersebut. Menjadi sadarlah, bahwa pengolahan bathin, penajaman jiwa, mampu mengungkap kerahasiaan alam-ketuhanan, menjadikan dirinya nyala obor kemanusisan.
Ini didasari tersadarnya insan oleh sebentuk lupa, maka catatan menjelma hukum kebijakan, demi kelangsungan mata rantai peradaban. Seperti halnya catatan bisa usang pun terbakar. Tetapi akal budhi siapa menghilang? Inilah kelebihan yang dimiliki insan berpekerti. Sanggup membaca gejala alam serta dirinya, menjadi manfaat kala terjaga, menjaga nilai-nilai insani.
Serentak maju kesimpulan ini sebagai pengantar bahwa kesusastraan tak lahir tiba-tiba, tapi melewati proses, tumbuh di dalam proses, proses itu saya namai reingkarnasi puitika, atau kedalaman merengkuh, meranggeh kesempatan demi lebih baik. Dan wewarna-rupa gelombang-suara, masing-masing memiliki maksud tujuan kuat, meski impian ideal pada arti sesungguhnya, atau hakikat yang diinginkan berupa khak berbeda rasa.
Kata mitologi, karya sastra lahir dari perayu. Para perayu itu melukis kecantikan yang dirayu, dengan keindahan yang tampak di permukaan bumi, pun rayuan akan alam tak terabah, tidak terjangkau indrah. Ini kemauan luar biasa insan pada pengetahuan kegaiban, jagad ganjil di ruangan diri. Saat itu, gerak masa menimbang kekuatan akal budhi, lalu Tuhan meniup firma-Nya. Inilah waktu ditentukan, dibatasi.
Waktu pencarian akan kesejatian hidup berketuhanan. Kenapa harus bertuhan? Secara singkat dapat dijawab, kegaiban ruh siapa sanggup menjangkau? Ini permasalahan yang mengikut-lingkup perjalanan, kelemahan tak sempurna. Dan kesadaran akan ketidakmutlakan dirinnyalah, yang mengharuskan bersandar pada kata kepasrahan.
Kenapa pasrah? Manusia bisa pegal-membosan serta berlalu sia-sia, ketaksadaran yang sanggup membuyarkan kehidupan, minimal meruntuhkan sejarah dirinya. Maka tidur istirah, merupakan penghimpun kekuatan demi langkah selanjutnya lebih mantap. Dan kesusastraan, semacam tanah belum terolah, kata-kata kaku yang kudu digemburkan, agar menjadi ladang subur demi menyegarkan pepadian, tampak indah dipandang dan harumnya dinanti semua orang.
Ini daya rayu terhimpun -menjadi penikmat tersedot dalam grafitasi- hasil penciptaan. Mungkin ini bersamaan ditemukannya magnit pertamakali di Megnesia. Para perayu diawali para utusan. Kenapa mengembangkan jiwa rayuan? Sebab dengan itu, umat manusia taat mengikuti, dan sifatnya berupa kasih sayang.
Tuhan mengembangkan cinta kasih ke bumi, demi cahaya pewarnaan dalam kehidupan. Ini perangkat rindu pun kidungan menjelma nyanyian yang dikumandangkan demi menyembuhkan haus-dahaga alam spiritual, bersamaan kemakmuran alam material. Lalu orang-orang setelahnya mencontoh jiwa utusan, demi mendapati umatnya menerima aturan, dengan rindu diselesaikan lewat ketaatan, peribadatan.
Terompet keimanan menghibur telinga, yang tidak curiga tetapi kecemburuan yang menajamknannya. Kecemburuan ingin dikasihi elusan lembut ayat-ayat sahaja. Ini lirikan mata bathin memandang kecantikan warna spiritual. Lirik yang meyelaraskan jalannya penceritaan keindahan, segar diteguk ketika dalam kepahitan. Atau menambah sedap saat tidak dalam selera makan.
Suasana lagulah menajamkan rindu, serupa perayaan kala kerjanya cinta berjalan terngiang-ngian, membangkitkan dinaya dzikir menghidupkan kalbu senantiasa. Sebab perjalanan insan memiliki daya tangkap berbeda, yang sampai menyesuaikan karakter pendengarannya. Ini menghadirkan lahirnya pelbagai aliran, sebab daya tangkap perasaan yang menentukan sikap-warna bilamana diwujudkan lewat karya.
Semacam anak-anak sungai filsafat dari tujuannya, awan menjelajah pada laut pengertian, obyektivitas kenyataan musti ke sana. Di sini tergantung kelincahan arus sungai melompati bebatu, mengajak reranting ide dilayarkan. Atau daun-daun terjatuh ke sungai ide, sesegar asal kesakitan yang dialaminya.
Itulah jalan belajar perayu atas kehendak Perayu. Dan nurani bermekaran di taman pemilik kalbu yang tak terpagari keangkuhan, sebab rerambatan dedahan mempercantik jiwa bunga-bunga. Atau harapan akhir sang dahan, menanti dipersembahkan di telinga perkawinan budaya, serta untuk permandian suci, pun demi rangkaian belasungkawa pada yang dicintai.
Ini alam perjuangan insan, perjumpaan hangat dunia kasmaran. Layunya sang bunga seperti kematian insan -kepasrahan karya. Maka kerelaan yang membangkitkan putik-putik sari bermunculan di musim semi pasurgan. Kebahagiaan itu niscaya setelah melewati kematian, sebab kebanggaan hidup takkan kekal -berserakan.
Tidak bias padanan ini, jika digayuh bersama jalannya penciptaan yang telah ada dan seterusnya. Ini sebanding melayang jatuh mensejarah. Serpihan ini, ibarat dedaunan yang diambil kawanan burung untuk sarangnya. Dan masih berusaha mencari pasangan, demi meneruskan keturunan. Menyedot sayap gemawan, tanpa mengepak pun jauh beterbangan. Semacam pengapungan logis, tanpa sayap tanpa warna tanpa kata, ibarat angin berhembus di kulitan-(ter)rasa. Maka kekulit hati paling sensitif yang cepat merasuk, terserbuki pancaran ini cahaya.
Saya kira sudah cukup, semoga tidak membuang waktu juga mengotori kertas percuma, pun menghabiskan tinta tiada guna. Semoga kepasrahan yang kudu ditindak-lanjuti setelah membaringkan diri mengapungkan badan. Tersebab angin terus mengitari bumi menghitung usianya. Demikian saya tutup dengan perkataan Muhammad Iqbal;
Tujuan warna, bukanlah hanya keadaan kesadaran kita sekarang, tetapi juga membuka arah masa depannya. (dari buku Annemarie Schimmel. Berjudul, Gabriel’s Wing; A Study into the Religious Ideas of Sir Muhammad Iqbal).
***
*) Pengelana dari desa Kendal-Kemlagi, Karanggeneng, Lamongan, Jatim, Okt 2004.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Musthafa
A Rodhi Murtadho
A Wahyu Kristianto
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Wachid BS
Abdullah al-Mustofa
Abdullah Khusairi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimanyu
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Maulani
Adek Alwi
Adhi Pandoyo
Adrian Ramdani
Ady Amar
Afrizal Malna
Agnes Rita Sulistyawati
Aguk Irawan Mn
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Subiyakto
Agus Sulton
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahm Soleh
Ahmad Farid Tuasikal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Luthfi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadie Thaha
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rasyid
AJ Susmana
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander Aur
Alexander G.B.
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Rif’an
Aliela
Alimuddin
Alit S. Rini
Alunk Estohank
Ami Herman
Amich Alhumami
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminudin TH Siregar
Ammilya Rostika Sari
An. Ismanto
Anaz
Andaru Ratnasari
Andhi Setyo Wibowo
Andhika Prayoga
Andong Buku #3
Andrenaline Katarsis
Andri Cahyadi
Angela
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Sudibyo
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Zulkifli
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayu Utami
Azyumardi Azra
Babe Derwan
Bagja Hidayat
Balada
Bandung Mawardi
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Bernadette Lilia Nova
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Bhakti Hariani
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budi Winarto
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Bustan Basir Maras
Camelia Mafaza
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Choirul Rikzqa
D. Dudu A.R
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Darmanto Jatman
Dedy Tri Riyadi
Delvi Yandra
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Anggraeni
Dian Basuki
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dian Yanuardy
Diana AV Sasa
Dinar Rahayu
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Warsidi
Edy Firmansyah
EH Kartanegara
Eka Alam Sari
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil Amir
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
F. Budi Hardiman
Fadly Rahman
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fani Ayudea
Fariz al-Nizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatkhul Aziz
Felix K. Nesi
Film
Fitri Yani
Franditya Utomo
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Garna Raditya
Gde Artawan
Geger Riyanto
Gendhotwukir
George Soedarsono Esthu
Gerakan Surah Buku (GSB)
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Tri Atmojo
H. Supriono Muslich
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim H.D.
Hamberan Syahbana
Hamidah Abdurrachman
Han Gagas
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Helwatin Najwa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendriyo Widi Ismanto
Hepi Andi Bastoni
Heri Latief
Heri Listianto
Herry Firyansyah
Heru Untung Leksono
Hikmat Darmawan
Hilal Ahmad
Hilyatul Auliya
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husnun N Djuraid
I Nyoman Suaka
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilenk Rembulan
Ilham khoiri
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Budi Santosa
Imelda
Imron Arlado
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Margareta
Indra Darmawan
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ingki Rinaldi
Insaf Albert Tarigan
Intan Hs
Isbedy Stiawan ZS
Ismail Amin
Ismi Wahid
Ivan Haris
Iwan Gunadi
Jacob Sumardjo
Jafar Fakhrurozi
Jajang R Kawentar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean-Marie Gustave Le Clezio
JJ. Kusni
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Julika Hasanah
Julizar Kasiri
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kadir Ruslan
Kartika Candra
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Ketut Yuliarsa
KH. Ma'ruf Amin
Khaerudin
Khalil Zuhdy Lawna
Kholilul Rohman Ahmad
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Krisandi Dewi
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kuswinarto
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lenah Susianty
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
M Shoim Anwar
M. Arman A.Z.
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Harya Ramdhoni
M. Kasim
M. Latief
M. Wildan Habibi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria hartiningsih
Maria Serenada Sinurat
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Marsus Banjarbarat
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masriadi
Mawar Kusuma Wulan
Max Arifin
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Mezra E. Pellondou
Micky Hidayat
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Moh Samsul Arifin
Moh. Syafari Firdaus
Mohamad Asrori Mulky
Mohammad Afifuddin
Mohammad Fadlul Rahman
Muh Kholid A.S.
Muh. Muhlisin
Muhajir Arifin
Muhamad Sulhanudin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Azka Fahriza
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naskah Teater
Nezar Patria
Nina Setyawati
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noor H. Dee
Noval Maliki
Nunuy Nurhayati
Nur Haryanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurudin
Octavio Paz
Oliviaks
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Panda MT Siallagan
Pandu Jakasurya
PDS H.B. Jassin
Philipus Parera
Pradewi Tri Chatami
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rahmat Sutandya Yudhanto
Raihul Fadjri
Rainer Maria Rilke
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridha al Qadri
Ridwan Munawwar
Rikobidik
Riri
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rizky Andriati Pohan
Robert Frost
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Romi Febriyanto Saputro
Rosihan Anwar
RR Miranda
Rudy Policarpus
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Gerilyawan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra
SelaSastra ke #24
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Subhan SD
Suci Ayu Latifah
Sulaiman Djaya
Sulistiyo Suparno
Sunaryo Broto
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunudyantoro
Suriali Andi Kustomo
Suryadi
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Susilowati
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Bahri
Syam Sdp
Syarif Hidayatullah
Tajuddin Noor Ganie
Tammalele
Tan Malaka
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Tengsoe Tjahjono
Th Pudjo Widijanto
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Joko Susilo
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi
Umar Kayam
Undri
Uniawati
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Vyan Tashwirul Afkar
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyudin
Wannofri Samry
Warung Boenga Ketjil
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Web Warouw
Wijang Wharek
Wiko Antoni
Wina Bojonegoro
Wira Apri Pratiwi
Wiratmo Soekito
Wishnubroto Widarso
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Wing King
WS Rendra
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yosi M. Giri
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Yuyu AN Krisna
Zaki Zubaidi
Zalfeni Wimra
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhaenal Fanani
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Zulhasril Nasir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar