Zuarman Ahmad
http://www.riaupos.com/
SUATU hari saya masuk ke dalam studio tari menyaksikan para penari latihan. Lama sekali saya termenung menyaksikan mereka latihan menari. “Tari ‘kita’ tetap seperti dahulu juga, itu ke itu juga, tidak pernah berubah,” kata-kata saya dalam hati.
Kenapa Saya berani mengatakan seperti ini? Karena saya dulu pernah juga jadi pemusik tari, bahkan sebagai komposer untuk tari sampai juga ke negeri-negeri Eropa, Cina, dan beberapa negara Asia Tenggara, dan sudah tak dapat lagi menghitung jumlahnya memainkan musik, membuat musik tari, musik pengiring tari kelompok tari “di sini” (baca: Riau) .
Kenapa tari ‘kita’ tetap seperti itu ke itu juga? Apa sebenarnya yang tidak pernah ada dalam tari ‘kita’, apa sebenarnya yang kurang pada tari ‘kita’? Dan sejumlah pertanyaan-pertanyaan itu akhirnya saya sampaikan pada para penari yang sedang latihan di studio tari sebuah perguruan tinggi itu ketika mereka sedang istirahat. Pertanyaan yang menganjal itu adalah sebuah kata yang bernama “rasa”. Karena ada tiga hal yang seharusnya ada dalam sebuah tari, yang dalam istilah tarinya disebut wirasa, wirama dan wiraga. Istilah ini diambil dari bahasa Jawa, yang bermakna: rasa, irama, dan raga.
Tari orang Melayu Riau pada dasarnya hanya mencakupi dua hal untuk keharusan itu yakni wirama (irama) dan wiraga (raga). Wirama (irama) menuangkan musikal dalam tari tersebut, sedangkan wiraga adalah bentuk gerak tari itu sendiri (tubuh). Hal yang jarang dan bahkan tak pernah ada secara estetika dalam tari orang Melayu Riau adalah wirasa (rasa, jiwa, roh). Sebuah kesenian yang tidak mempunyai jiwa ataupun kehilangan jiwa sama dengan “robot” menari, juga “robot” bermain musik. Jadi, apakah jiwa dari kesenian itu sebenarnya?
Dalam sebuah karya seni, yang dihasilkannya itu adalah sebenarnya perasaan dari jiwanya sendiri. Pada musik misalnya, dengan kehadiran tehnologi canggih, semua suara alat musik dapat ditampilkan dalam sebuah perangkat alat musik yang bernama organ atau para musisi juga menyebutnya kibod (dari kata keybord) atau organ-tunggal, bahkan yang tepat mungkin adalah band-tunggal atau orkestra-tunggal. Karya-karya musik dapat dimainkan dengan menggunakan fasilitas MIDI (singkatan dari Musical Instrumen Digital Interface) dengan perangkat komputer atau organ (keybord) yang menggunakan piranti MIDI, namun penampilan karya musik seperti itu tetaplah seperti permainan “robot” @ tidak memiliki rasa atau jiwa.
Begitu juga halnya dengan permainan musik yang tidak ada jiwa (rasa) di dalamnya. Saya setuju dengan pernyataan banyak pengamat musik bahwa sekarang anak-anak sangat luar biasa permainan musiknya, tetapi tidak ada penjiwaan dalam memainkan lagu tersebut. Kalau begitu apa bedanya kita (manusia) dengan robot? Sebab, kalau hanya untuk ketelitian memainkan nada-nada melodi sebuah lagu, robot sangatlah teliti (kecuali peralatannya rusak), namun robot tetaplah robot, tidak mempunyai rasa (jiwa). Inilah juga keuntungan pada sisi yang lain seorang seniman yang belajar musik tanpa mengenal notasi, karena mereka hanya mengandalkan rasa (jiwa), namun ingat juga di sisi yang lain juga permainan musik memerlukan juga wirama (irama) dan wiraga (teknik). Semua orang akan dapat menulis cerita atau puisi, namun tidak semua orang akan dapat menumpahkan rasa (jiwa) dalam puisi-puisinya. Karena itu, dalam latihan-latihan teater, olah-rasa sangatlah penting selain juga olah tubuh (raga).
Rasa atau jiwa dalam kesenian adalah juga dinamika, pada dunia musik yakni semua hal yang berhubungan dengan perbandingan keras-lembut bunyi nada-nada melodi yang dimainkan. Namun, rasa tidak hanya mengenai persoalan dinamika (dalam bahasa Yunani: dynamica) yang juga berhubungan dengan tehnologi cara memainkan musik, tetapi, rasa adalah juga bagaimana seluruh jiwa, semangat dalam tubuh batin seorang musisi ikut larut dalam memainkan musik.
Pada periode Barok, dalam karakter musiknya telah memasukkan ornamentasi sebagai pembangun ekspresif melodi, dimana perubahan dinamika terjadi secara mendadak, juga diperkenankan segala sesuatu yang dapat membantu mewujudkan ekspresivitas lagu, seperti bagaimana menginterpretasikan musik yang akan dimainkan itu. Kata Barok berasal dari bahasa Portugis, barocco, yang berarti mutiara yang memiliki tepi yang tidak beraturan. Istilah yang popular di kalangan pedagang permata ini kemudian dipakai dalam kesenian terutama musik sebagai ‘memperkaya gaya seni’, yang dalam istilah musik disebut dengan nada hias (ornamentasi) yang menjadi usaha untuk memasukkan rasa dalam permainan musik. Seterusnya pada periode Klasik, pengkayaan-pengkayaan ekspresivitasnya bertambah kuat, misalnya dengan pemakaian vibrato pada tempat-tempat tertentu, seperti nada-nada yang bernilai panjang yang ditahan.
Yang penting dalam pembicaraan tentang rasa ini adalah bagaimana seluruh jiwa, semangat dalam tubuh batin seorang musisi luruh dan bersebati dalam permainan musik itu sendiri. Karakter merupakan yang sangat penting dalam hal ini. Ada dua jenis karakter dalam pembicaraan tentang musik. Pertama, karakter yang dimiliki oleh musisi itu sendiri, misalnya seorang virtuoso akan menemukan karakternya sendiri dalam permainan musiknya, dan karakternya yang tersendiri akan dibicarakan di sepanjang zaman. Karakter yang kedua, yakni alat-musik yang dimainkan. Pada perkembangannya, ada dua jenis alat-musik, yakni alat-musik yang dibuat pada periode awal seperti violin, cello, contrabass, guitar, apa yang disebut dengan akustik dalam pengertian alat-musik manual yang dimainkan langsung apa adanya, tanpa bantuan amplifier atau piranti elektronik lainnya sebagai penguat bunyinya.
Alat-musik jenis akustik dapat dimainkan dengan rasa dan jiwa si pemusik. Ada dua hal yang dapat ditampilkan dari jenis alat-musik ini, pertama si pemain akan dapat mencurahkan segala rasa dan jiwa batinnya dalam memainkannya, dengan mengetengahkan karakter si pemain; kedua, bunyi atau suara yang ditimbulkan dari alat-musik itu sendiri menimbulkan karakter tersendiri. Misalnya, bagaimanapun suara seruling bambu mempunyai karakter dari bunyi yang dkeluarkan dari sebatang buluh, dan si peniupnya akan bersebati dan saling menjiwai, saling merasai antara seruling (sebagai alat-musik) dengan peniupnya (manusia). Hal ini akan sangat berbeda dengan bunyi atau suara seruling yang ditimbulkan dari alat-musik organ atau yang disebut dengan istilah alat-musik elektronik. Bagaimanapun pandainya seeorang memainkan suara seruling pada organ, namun karakter seruling yang dikeluarkannya tidak akan dapat menyamai karakter alat-musik aslinya yakni seruling bambu atau seruling yang terbuat dari buluh itu. Bunyi seruling pada organ itu tidak mempunyai rasa atau jiwa dari bambu atau jiwa dari buluh, dan juga rasa dan jiwa si pemainnya tidak dapat ditimbulkan, karena pengaruh tiupan dari mulut si peniup seruling (manusia) menjadi pengaruh yang juga tak dapat dipungkiri dalam mengetengahkan karakter alat-musik seruling ini, yakni bambu (alat-musiknya) dan si peniupnya (manusia).
Bagaimanapun pandainya memainkan bunyi accordion atau saxophone pada organ atau sejenisnya, tidak akan sama karakter yang diciptakannya dengan bunyi accordion atau bunyi saxophone akustik, karena karakter accordion atau saxophone akustik yang asli tidak akan sama dengan bunyi kedua alat-musik itu yang ditimbulkan oleh organ dengan bantuan piranti elektronik lainnya. Bunyi accordion atau saxophone pada organ hanya menyerupai suara accordion atau saxophone akustik, dan tidak dengan karakternya. Apa sebabnya? Karena dalam permainan accordion atau saxophone akustik asli mempunyai rasa dan jiwa dari alat musik itu dan rasa atau jiwa dari pemainnya, sedangkan pada bunyi accordion atau saxophone pada organ rasa dan jiwa tidak dapat dicapai oleh kedua bunyi alat-musik itu. Pada piano akustik dan piano elektrik (bunyi yang ditimbulkannya dibantu oleh piranti lain seperti amplifier dan listrik) akan sangat berbeda sekali karakter dan rasa atau jiwa yang ditimbulkannya.
Rasa dan jiwa (roh) yang lain adalah pada pemain musik itu sendiri. Sebuah lagu akan memiliki rasa, jiwa atau roh kalau pemain musiknya memainkannya dengan rasa, jiwa atau roh batinnya. Ekspresi sesungguhnya diciptakan dari rasa atau jiwa batin si pemain. “Musik tidak dapat membuat orang terharu, kalau pemainnya sendiri tidak terharu”, kata Carl Philipp Emanuel Bach. “Melodi sebagai wujud musik”, seperti yang pernah dikatakan oleh Mozart mengucapkan “pikiran-pikiran musik, tema-tema tertentu yang menjadi pegangan bagi pendengar”, tulis Wouter Paap. Betapapun, musik yang kita anggap sederhana yang dimainkan oleh piul (violin, biola) Pak Ondan di kampung (dulu) dalu-dalu, dapat membangkitkan birahi seorang gadis dan tojun tingkok (terjun dari tingkap rumah) tergila-gila mengejarnya. Dalam cerita yang lain, dengan ketulusannya serta mencurahkan segala rasa serta jiwanya, musik Orpheus dapat meluluhkan hati penjaga pintu gerbang kota orang mati dalam mitologi Yunani, sehingga ia diizinkan menjenguk calon isterinya Eurydice yang sudah mati karena digigit ular berbisa ketika masih di dunia. Sehingga Cristoph Willibald Gluck, komponis Jerman abad ke-18 pada tahun 1762 membuat karya opera tiga babak yang judulnya diubah dalam bahasa Itali sebagai Orfeo ed Euridice. Raniero da Calzabigi menulis libretto-nya yang diambil dari kisah Orpheus dan Eurydice. Dengan musiknya yang indah menyihir, Orpheus meyakinkan penjaga pintu gerbang Hades untuk menghidupkan kembali Eurydice kekasihnya.
Alangkah sejuknya hati ketika kita sembahyang pada subuh hari di sebuah masjid sederhana kampung kita yang masih pastoral, dengan suara lagu bacaan ayat suci Alquran imam tua yang biasa-biasa saja, tetapi hati dan jiwa kita luluh dalam suasana subuh pedusunan itu. Rasa dan jiwa yang ditimbulkan dari keharuan dan ketulusan imam masjid kampung itu membuat jamaah (makmum) sembahyang subuh itu menjadi haru pula, karena sesungguhnya “melodi adalah esensi jiwa yang berubah menjadi bunyi”, kata Diepenbrock, seorang komposer Belanda yang pernah ada.
Jadi, mari memasukkan rasa (jiwa, roh) dalam karya seni kita, dalam musik kita, karena tanpa jiwa atau roh (rasa) sebuah raga tidak berarti apa-apa. Tanah akan tetap menjadi tanah, kalau roh tidak dimasukkan ke dalamnya. Dan, menjadi diri sendiri adalah tujuan akhir dari seniman.***
*) Musisi dan pecinta sastra. Tunak dan berprestasi di bidang yang digelutinya ini selain mengelola Majalah Budaya Sagang sebagai redaktur.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Selasa, 23 Desember 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Musthafa
A Rodhi Murtadho
A Wahyu Kristianto
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Wachid BS
Abdullah al-Mustofa
Abdullah Khusairi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimanyu
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Maulani
Adek Alwi
Adhi Pandoyo
Adrian Ramdani
Ady Amar
Afrizal Malna
Agnes Rita Sulistyawati
Aguk Irawan Mn
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Subiyakto
Agus Sulton
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahm Soleh
Ahmad Farid Tuasikal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Luthfi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadie Thaha
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rasyid
AJ Susmana
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander Aur
Alexander G.B.
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Rif’an
Aliela
Alimuddin
Alit S. Rini
Alunk Estohank
Ami Herman
Amich Alhumami
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminudin TH Siregar
Ammilya Rostika Sari
An. Ismanto
Anaz
Andaru Ratnasari
Andhi Setyo Wibowo
Andhika Prayoga
Andong Buku #3
Andrenaline Katarsis
Andri Cahyadi
Angela
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Sudibyo
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Zulkifli
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayu Utami
Azyumardi Azra
Babe Derwan
Bagja Hidayat
Balada
Bandung Mawardi
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Bernadette Lilia Nova
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Bhakti Hariani
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budi Winarto
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Bustan Basir Maras
Camelia Mafaza
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Choirul Rikzqa
D. Dudu A.R
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Darmanto Jatman
Dedy Tri Riyadi
Delvi Yandra
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Anggraeni
Dian Basuki
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dian Yanuardy
Diana AV Sasa
Dinar Rahayu
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Warsidi
Edy Firmansyah
EH Kartanegara
Eka Alam Sari
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil Amir
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
F. Budi Hardiman
Fadly Rahman
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fani Ayudea
Fariz al-Nizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatkhul Aziz
Felix K. Nesi
Film
Fitri Yani
Franditya Utomo
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Garna Raditya
Gde Artawan
Geger Riyanto
Gendhotwukir
George Soedarsono Esthu
Gerakan Surah Buku (GSB)
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Tri Atmojo
H. Supriono Muslich
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim H.D.
Hamberan Syahbana
Hamidah Abdurrachman
Han Gagas
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Helwatin Najwa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendriyo Widi Ismanto
Hepi Andi Bastoni
Heri Latief
Heri Listianto
Herry Firyansyah
Heru Untung Leksono
Hikmat Darmawan
Hilal Ahmad
Hilyatul Auliya
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husnun N Djuraid
I Nyoman Suaka
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilenk Rembulan
Ilham khoiri
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Budi Santosa
Imelda
Imron Arlado
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Margareta
Indra Darmawan
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ingki Rinaldi
Insaf Albert Tarigan
Intan Hs
Isbedy Stiawan ZS
Ismail Amin
Ismi Wahid
Ivan Haris
Iwan Gunadi
Jacob Sumardjo
Jafar Fakhrurozi
Jajang R Kawentar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean-Marie Gustave Le Clezio
JJ. Kusni
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Julika Hasanah
Julizar Kasiri
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kadir Ruslan
Kartika Candra
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Ketut Yuliarsa
KH. Ma'ruf Amin
Khaerudin
Khalil Zuhdy Lawna
Kholilul Rohman Ahmad
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Krisandi Dewi
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kuswinarto
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lenah Susianty
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
M Shoim Anwar
M. Arman A.Z.
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Harya Ramdhoni
M. Kasim
M. Latief
M. Wildan Habibi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria hartiningsih
Maria Serenada Sinurat
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Marsus Banjarbarat
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masriadi
Mawar Kusuma Wulan
Max Arifin
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Mezra E. Pellondou
Micky Hidayat
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Moh Samsul Arifin
Moh. Syafari Firdaus
Mohamad Asrori Mulky
Mohammad Afifuddin
Mohammad Fadlul Rahman
Muh Kholid A.S.
Muh. Muhlisin
Muhajir Arifin
Muhamad Sulhanudin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Azka Fahriza
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naskah Teater
Nezar Patria
Nina Setyawati
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noor H. Dee
Noval Maliki
Nunuy Nurhayati
Nur Haryanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurudin
Octavio Paz
Oliviaks
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Panda MT Siallagan
Pandu Jakasurya
PDS H.B. Jassin
Philipus Parera
Pradewi Tri Chatami
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rahmat Sutandya Yudhanto
Raihul Fadjri
Rainer Maria Rilke
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridha al Qadri
Ridwan Munawwar
Rikobidik
Riri
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rizky Andriati Pohan
Robert Frost
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Romi Febriyanto Saputro
Rosihan Anwar
RR Miranda
Rudy Policarpus
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Gerilyawan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra
SelaSastra ke #24
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Subhan SD
Suci Ayu Latifah
Sulaiman Djaya
Sulistiyo Suparno
Sunaryo Broto
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunudyantoro
Suriali Andi Kustomo
Suryadi
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Susilowati
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Bahri
Syam Sdp
Syarif Hidayatullah
Tajuddin Noor Ganie
Tammalele
Tan Malaka
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Tengsoe Tjahjono
Th Pudjo Widijanto
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Joko Susilo
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi
Umar Kayam
Undri
Uniawati
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Vyan Tashwirul Afkar
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyudin
Wannofri Samry
Warung Boenga Ketjil
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Web Warouw
Wijang Wharek
Wiko Antoni
Wina Bojonegoro
Wira Apri Pratiwi
Wiratmo Soekito
Wishnubroto Widarso
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Wing King
WS Rendra
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yosi M. Giri
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Yuyu AN Krisna
Zaki Zubaidi
Zalfeni Wimra
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhaenal Fanani
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Zulhasril Nasir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar