Jumat, 28 November 2008

Sastra dan Nasionalisme

Arie MP Tamba
http://jurnalnasional.com/

Obyek semua karya sastra adalah realitas. Merupakan hasil kontemplasi dan interpretasi pengarang dengan dunia realitas di sekitarnya, baik berupa realitas sosial ataupun realitas ide. Griffith menegaskan bahwa sastra merupakan ungkapan dari pribadi yang menulisnya. Kepribadian, perasaan, respon, pandangan hidup atau keyakinan pengarang akan selalu mewarnai karya yang diciptakannya.

Ideologi sebagai sebuah sistem berpikir normatif yang diyakini pengarang, secara langsung maupun tak langsung, sadar maupun tak sadar, akan mempengaruhi karya sastra. Sastra dapat menyuarakan ideology yang diyakini pengarangnya.

Ideologi yang muncul dalam teks sastra, tak hanya berupa sikap pandangan ideologis pengarangnya, namun bisa pula melalui teks sastranya tersebut pengarang memunculkan berbagai tafsiran bahkan menawarkan wacana tandingan atas sebuah ideologi. Dalam situasi demikian, pengarang akan memunculkan berbagai tawaran sebagai bentuk counter-ideology terhadap sebuah ideologi tertentu..

Ideologi merupakan hal yang sangat subjektif. Ideologi yang diyakini seorang sastrawan, secara otomatis dan bawah sadar akan menjadi kekuatan internal yang membangunkan kesadaran kritis dalam merespons dunia sekelilingnya.

Nasionalisme merupakan sebuah ideologi yang menyatakan kesetiaan dan pengabdian individu harus diserahkan pada bangsa. Kelahiran nasionalisme bisa dari kesadaran kolektif, bisa pula kesadaran akibat rekayasa oleh yang berkuasa kepada yang direkayasa, atau bisa pula sebagai reproduksi makna.

Contoh nasionalisme yang muncul akibat kesadaran yang dirakayasa dan dikonstruksi oleh kelompok dominan untuk kelompok subordinate, bisa dilihat pada ideologi nasionalisme yang ada di Indonesia. Pidato-pidato Bung Karno pada awal kemerdekaan Indonesia merupakan wujud konstruksi nasionalisme yang dibangunnya demi sebuah bangsa, yang disebut Benecdit Anderson sebagai komunitas imajinasi. Pidato-pidato bung Karno merupakan sebuah konstruksi yang dirancang untuk membangun rasa nasionalisme.

Nasionalisme dalam Sastra Indonesia
Sastra yang menyuarakan ideologi nasionalisme bukan barang baru dalam khazanah kesusastraan dunia. Karya-karya sastra dunia yang membicarakan nasionalisme tak terhitung jumlahnya, sekedar menyebut contoh, adalah Nolimetangere (Yoze Rizal, Philipina), Dr. Chivago (Boris Paternact), The Banished Negroes (Wordsorth, Perancis), Ourika ( Claire de Durass, Perancis), Nyanyian Lawino (Okot P Bitek, Afrika Selatan), A Woman Named Solitude (Andre Schwarz-Bart, Perancis), dan sebagainya.

Persoalan nasionalisme di Indonesia pun merupakan realitas yang merupakan lahan inspirasi yang subur bagi penciptaan karya sastra. Bahkan, identitas kenasionalan karya sastra merupakan isu yang panas dalam menentukan kelahiran sejarah sastra Indonesia. Itu berarti, nasionalisme bukan saja hadir sebagai sumber inspirasi belaka, namun sekaligus hadir sebagai penanda eksistensi terhadap keindonesiaan sebuah karya sastra.

Ajip Rosidi menegaskan bahwa kesadaran kebangsaan itulah yang menjadi pembeda antara kesusastraan Melayu dengan kesusastraan Indonesia. Kesadaran kebangsaan ini sebenarnya merupakan persoalan politis. Hal itu juga menunjukkan bahwa persoalan sastra Indonesia tak dapat dilepaskan dari persoalan politik.

Senada dengan pendapat di atas, A Teeuw mengatakan bahwa suatu ciri khusus perkembangan kesusastraan itu sebagian sejalan dengan gerakan nasionalis. Karena bahasa bisa sangat efektif dalam pergerakan nasionalis, maka sastra sebagai seni yang menggunakan media bahasa benar-benar memiliki peran politis dan budaya yang amat besar.

Ideologi nasionalisme menjadi issue penting bagi para sastrawan Indonesia sebenarnya muncul lebih dahulu sebelum ke-Indonesia-an itu sendiri dirumuskan. Cita-cita bangsa yang berdaulat jauh lebih dahulu muncul dibandingkan persoalan batas-batas kewilayahan.

Muhamad Yamin di tahun 1921, melalui puisinya Bahasa, Bangsa merindukan tanah airnya : /‘di mana Sumatra, di situ bangsa/di mana perca, di sana bahasa/Andalasku saying, jana benjana‘/. Dalam puisi tersebut, M. Yamin mengidentifikasi tanah airnya masih terbatas pada daerah kelahirannya saja. Bangunan imajinasi sebuah bangsa pada diri Yamin adalah masih terbatas pada kedaerahan saja. Namun delapan tahun setelah Yamin menulis puisi itu, rasa nasionalisme dan identifikasinya terhadap tanah air telah bergeser lebih luas, tak lagi sebatas Sumatra, tapi meluas keseluruh nusa, sebagaimana ia ungkapan dalam puisinya Indonesia, Tumpah Darahku.

Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 makin menghukuhkan persolan nasionalisme dalam konstelasi sastra Indonesia. Majalah Pujangga Baru dengan penuh kesadaran meneriakkan bahwa kesusastraan Indonesia mempunyai tanggung jawab dan kewajiban luhur yaitu menjelmakan semangat baru bangsa Indonesia. Dengan kesadaran akan semangat nasionalisme, majalah Pujangga Baru bersemboyankan “pembimbing semangat baru yang dinamis untuk membentuk kebudayaan persatuan Indonesia”.

Sutan Takdir Alisyahbana melalui novelnya Layar Terkembang, jelas-jelas menggambarkan semangat kebangsaan. Melalui tokoh Tuti, cita-cita dan pandangan STA terhadap generasi dan bangsa yang merdeka, bebas, idealis, dan bersemangat dituliskan dengan panjang lebar. Demikian juga dalam Manusia Baru karya Armyn Pane, mencitrakan sosok Indonesia yang diinginkan pengarangnya. Indonesia, diimpikan oleh Armyn Pane sebagai perpaduan Arjuna dan Faust. Perpaduan Timur dan Barat.

17 Agustus 1945 merupakan realisasi nasionalisme Indonesia. Indonesia sebagai bangsa yang berdaulat dimulai pada titik ini. Persoalan nasionalisme dalam sastra Indonesia berkembang tak hanya mempersoalkan persoalan identitas kebangsaan saja, namun bergeser pada persoalan revolusi untuk mempertahankan kemerdekan dari kolonialisme. Pada periodesasi ini, bermunculan karya-karya sastra yang bersetting perang revousi mempertahankan kemerdekaan.

Di Tepi Kali Bekasi dan Keluarga Gerilya karya Pramudya Ananta Toer tak hanya sekadar berkisah pada kepedihan-kepedihan akibat perang saja, namun juga menggambarkan gelora perjuangan fisik bangsa Indonesia mempertahankan kemerdekaan. Juga Royan Revolusi (karya Ramadhan KH), Guru Isa, Tak Ada Esok (karya Mochtar Lubis), Pulang (Toha Mohtar) menampakkan nafas yang sama.

Pada genre puisi, Chairil lewat sajak-sajaknya, misalnya, Aku, Persetujuan dengan Bung Karno, Kerawang Bekasi, Diponegoro dengan lantang meneriakkan semangat patriotisme. Demikian sajak-sajak sastrawan lain seperti Toto Sudarto Bachtiar, Rendra, Subagyo Sastrowardoyo, dan lain-lain, menggambarkan semangat yang sama.

Setelah berhasil mempertahankan kemerdekaan, persoalan nasionalisme di Indonesia tak berhenti begitu saja. Demikian juga dalam sastra Indonesia. Nasionalisme bergeser kembali dalam bentuk wacana. Karena pengaruh perubahan global, nasionalisme mengalami perubahan penafsiran. Dunia global memaksa setiap individu dalam Negara merekonstruksi kembali nasionalisme.

Globalisasi menyebabkan perbenturan nilai-nilai etnis (etnisitas) dengan nilai-nilai global, dan nasionalisme terjepit di antaranya. Cornelis Lay dalam bukunya Nasionalisme Etnisitas:Perubahan Sebuah Wacana Kebangsaan, menyebutnya sebagai terjepit di antara dua kekuatan besar yaitu globalisasi dan etnonasionalisme. Persoalan inilah yang menyebabkan Indonesia sebagai sebuah negara yang baru berkembang, berada dalam konteks kebangsaan yang sulit.

YB. Mangunwijaya sebagai sastrawan memunculkan persoalan-persoalan baru dalam nasionalisme tersebut melalui karya sastra. Dua novelnya, yaitu Burung-Burung Manyar dan Burung-Burung Rantau menawarkan pemikiran-pemikirannya tentang nasionalisme.

Dalam Burung-Burung Manyar, Mangun menyimbolisasikan bahwa Indonesia harus membangun sarang-sarang baru. Merumuskan kembali wujud masyarakat Indonesia dan menafsirkan nilai-nilai yang ada. Nasionalisme bagi Mangun berarti penciptaan identitas Indonesia, penciptaan kembali nation building yang harus menyertakan berbagai kemungkinan, bahkan dari kutub yang paling ekstrem seperti peran “pembelot” sebagaimana yang tercermin dalam tokoh Teto, tokoh utama Burung-Burung Manyar.

Melalui tokoh Teto ini, Mangunwijaya menafsirkan kembali nasionalisme dalam wilayah yang lebih luas. Teto merupakan simbol generasi Indonesia yang berdiri di dua kutub, lahir dalam kondisi kebudayaan campur, dua latar budaya, dan dua nilai. Merupakan sebuah generasi yang memiliki pribadi yang retak yang mencari jati diri, baik jati diri individual ataupun jati diri kebangsaan.

Burung-Burung Rantau lebih tegas lagi dalam menafsirkan hakekat nasionalisme. Nasionalisme tak lagi dibatasi oleh wilayah negara saja. Bagi Mangun, karena globalisasi generasi Indonesia kelak adalah masyarakat dunia. Bisa Jawa, India, Yunani, dan Barat. Generasi muda Indonesia akan memiliki konflik cultural dalam diri mereka akibat globalisasi.

Dalam novel ini. Mangun dengan tegas membuang unsur-unsur masa lalu yang feodal. Generasi Indonesia kelak haruslah seperti burung-burung rantau kalau ingin berkembang secara spiritual dan material. Harus berani membebaskan dirinya dari sarang untuk berani terbang keluar mencari berbagai alternatif kebenaran untuk membangun jati dirinya.

Dari uraian di atas tampaklah bahwa persoalan nasionalisme sebagai ideologi akan selalu menjadi sumber ide yang menarik bagi terciptanya karya sastra. Selama nasionalisme menjadi paradigma yang terbuka, yang membuka peluang untuk selalu ditafsir dan dikaji, maka para sastrawan akan selalu menarik untuk mengangkatnya dalam karya sastra. Tentu saja, sebagai sastrawan cara ungkap mereka mengenai nasionalisme berbeda dengan para sejarawan, negarawan, atau politikus. Dan pemikiran mereka berikut cara ungkapnya akan menjadi pembanding yang menarik, bahkan bisa sebagai wacana tandingan bagi arus-arus pemikiran yang berkait dengan persoalan nasionalisme.***

Tidak ada komentar:

A Musthafa A Rodhi Murtadho A Wahyu Kristianto A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Wachid BS Abdullah al-Mustofa Abdullah Khusairi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimanyu Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Maulani Adek Alwi Adhi Pandoyo Adrian Ramdani Ady Amar Afrizal Malna Agnes Rita Sulistyawati Aguk Irawan Mn Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Subiyakto Agus Sulton Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahm Soleh Ahmad Farid Tuasikal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Luthfi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadie Thaha Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rasyid AJ Susmana Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander Aur Alexander G.B. Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Rif’an Aliela Alimuddin Alit S. Rini Alunk Estohank Ami Herman Amich Alhumami Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminudin TH Siregar Ammilya Rostika Sari An. Ismanto Anaz Andaru Ratnasari Andhi Setyo Wibowo Andhika Prayoga Andong Buku #3 Andrenaline Katarsis Andri Cahyadi Angela Anies Baswedan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Sudibyo Anton Wahyudi Anwar Holid Anwar Siswadi Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Zulkifli Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayu Utami Azyumardi Azra Babe Derwan Bagja Hidayat Balada Bandung Mawardi Bayu Agustari Adha Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Bernadette Lilia Nova Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Bhakti Hariani Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budi Winarto Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Bustan Basir Maras Camelia Mafaza Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cecep Syamsul Hari Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Choirul Rikzqa D. Dudu A.R D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Dantje S Moeis Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Darmanto Jatman Dedy Tri Riyadi Delvi Yandra Denny JA Denny Mizhar Dewi Anggraeni Dian Basuki Dian Hartati Dian Sukarno Dian Yanuardy Diana AV Sasa Dinar Rahayu Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi Warsidi Edy Firmansyah EH Kartanegara Eka Alam Sari Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil Amir Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Evan Ys F. Budi Hardiman Fadly Rahman Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fani Ayudea Fariz al-Nizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatkhul Aziz Felix K. Nesi Film Fitri Yani Franditya Utomo Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Garna Raditya Gde Artawan Geger Riyanto Gendhotwukir George Soedarsono Esthu Gerakan Surah Buku (GSB) Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Tri Atmojo H. Supriono Muslich H.B. Jassin Hadi Napster Halim H.D. Hamberan Syahbana Hamidah Abdurrachman Han Gagas Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Priyatna Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasan Junus Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Helwatin Najwa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendriyo Widi Ismanto Hepi Andi Bastoni Heri Latief Heri Listianto Herry Firyansyah Heru Untung Leksono Hikmat Darmawan Hilal Ahmad Hilyatul Auliya Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur Husnun N Djuraid I Nyoman Suaka Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilenk Rembulan Ilham khoiri Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Budi Santosa Imelda Imron Arlado Imron Tohari Indiar Manggara Indira Margareta Indra Darmawan Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ingki Rinaldi Insaf Albert Tarigan Intan Hs Isbedy Stiawan ZS Ismail Amin Ismi Wahid Ivan Haris Iwan Gunadi Jacob Sumardjo Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean-Marie Gustave Le Clezio JJ. Kusni Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Julika Hasanah Julizar Kasiri Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kadir Ruslan Kartika Candra Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Ketut Yuliarsa KH. Ma'ruf Amin Khaerudin Khalil Zuhdy Lawna Kholilul Rohman Ahmad Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Krisandi Dewi Kritik Sastra Kucing Oren Kuswinarto Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lenah Susianty Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto M Shoim Anwar M. Arman A.Z. M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Harya Ramdhoni M. Kasim M. Latief M. Wildan Habibi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria hartiningsih Maria Serenada Sinurat Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Marsus Banjarbarat Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masriadi Mawar Kusuma Wulan Max Arifin Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Mezra E. Pellondou Micky Hidayat Mihar Harahap Misbahus Surur Moh Samsul Arifin Moh. Syafari Firdaus Mohamad Asrori Mulky Mohammad Afifuddin Mohammad Fadlul Rahman Muh Kholid A.S. Muh. Muhlisin Muhajir Arifin Muhamad Sulhanudin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Azka Fahriza Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Nafi’ah Al-Ma’rab Naskah Teater Nezar Patria Nina Setyawati Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noor H. Dee Noval Maliki Nunuy Nurhayati Nur Haryanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurudin Octavio Paz Oliviaks Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pamusuk Eneste Panda MT Siallagan Pandu Jakasurya PDS H.B. Jassin Philipus Parera Pradewi Tri Chatami Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R Sutandya Yudha Khaidar R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rahmat Sutandya Yudhanto Raihul Fadjri Rainer Maria Rilke Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridha al Qadri Ridwan Munawwar Rikobidik Riri Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rizky Andriati Pohan Robert Frost Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Romi Febriyanto Saputro Rosihan Anwar RR Miranda Rudy Policarpus Rukardi S Yoga S. Jai S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Gerilyawan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra SelaSastra ke #24 Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Subhan SD Suci Ayu Latifah Sulaiman Djaya Sulistiyo Suparno Sunaryo Broto Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunudyantoro Suriali Andi Kustomo Suryadi Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Susilowati Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Bahri Syam Sdp Syarif Hidayatullah Tajuddin Noor Ganie Tammalele Tan Malaka Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Tengsoe Tjahjono Th Pudjo Widijanto Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Joko Susilo Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Umar Kayam Undri Uniawati Universitas Indonesia UU Hamidy Vyan Tashwirul Afkar W Haryanto W.S. Rendra Wahyudin Wannofri Samry Warung Boenga Ketjil Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Web Warouw Wijang Wharek Wiko Antoni Wina Bojonegoro Wira Apri Pratiwi Wiratmo Soekito Wishnubroto Widarso Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Wing King WS Rendra Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yosi M. Giri Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Yuyu AN Krisna Zaki Zubaidi Zalfeni Wimra Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhaenal Fanani Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar Zulhasril Nasir