Sabtu, 29 November 2008

SCIENCE FICTION SUPERNOVA

Maman S. Mahayana *

Dua tanggapan atas Supernova yang dimuat Kompas (C. Sri Sutyoko Hermawan, Kompas, 11/3/2001 dan Tommy F. Awuy, Kompas, 18/3/2001) memperlihatkan kecerdasan kedua penulisnya dalam menganalisis novel karya Dee (Dewi Lestari) itu. Sebagai sebuah kritik umum, kedua tulisan itu berhasil menyajikan sebuah apresiasi. Ia dapat merangsang pembaca untuk menyimak sendiri novel itu.

Jumat, 28 November 2008

Gerilya Sastra

Sulistiyo Suparno
http://www.suaramerdeka.com/

MENGHARAPKAN pemerintah untuk lebih memperhatikan pelajaran sastra, seperti pungguk merindukan bulan. Masih untung sastra bisa nebeng pada mapel bahasa dan sastra Indonesia.

Entah mengapa para penggagas kurikulum masih memandang pelajaran bahasa dan pelajaran sastra sebatas cukup dijadikan satu. Setahu saya, keduanya memiliki perbedaan yang mendasar.

Pelajaran bahasa menekankan pada kemampuan anak didik untuk berkomunikasi, mengemukakan pendapat (lisan dan tulis). Sedangkan pelajaran sastra lebih menekankan pada kemampuan anak didik dalam mengolah imajinasi.

Pada tahap berikutnya, seorang yang menguasai ilmu sastra cenderung mampu berbahasa dengan baik. Sebaliknya, seorang yang menguasai ilmu bahasa belum tentu mampu membuat karya sastra. Dilihat dari output (kemampuan anak didik) saja sudah berbeda, lantas mengapa pelajaran bahasa dan sastra masih juga digabungkan?

Benarkah belajar sastra tidak bisa untuk bersaing di dunia kerja dibandingkan dengan belajar ilmu lain yang dibutuhkan pasar? Agaknya pendapat minor itu sudah terpatahkan bila kita melihat perkembangan sekarang. Seiring meningkatnya minat baca masyarakat, kebutuhan akan karya sastra pun meningkat.

Lihatlah di toko buku, telah bertebaran buku-buku sastra. Pengarang-pengarang dan penerbit buku sastra pun bermunculan. Seorang editor dari sebuah penerbitan bahkan mengakui, bahwa buku yang laris manis sekarang adalah buku-buku sastra, mulai dari sastra anak hingga untuk umum. Tidakkah ini dipandang sebagai peluang oleh kalangan pendidikan? Benarkah sastra tidak laku jual lagi?

Selama ini orang memiliki ilmu sastra lebih banyak karena autodidak. Pengarang-pengarang di negeri ini lahir karena ketekunannya belajar sendiri, karena mereka tidak memperolehnya di bangku sekolah.

Selama ini pula pelajaran sastra lebih banyak diajarkan dengan cara gerilya. Yaitu suatu cara yang mencoba keluar dari belenggu kurikulum. Pelatihan kepenulisan, seminar sastra, temu sastrawan, ekstrakurikuler sastra, adalah bagian upaya untuk mengajarkan sastra pada anak didik.

Gerilya sastra ini nampaknya lebih efektif bila dibandingkan dengan pemaksaan agar sastra dijadikan mata pelajaran tersendiri. Karena akan terjaring anak didik-anak didik yang benar-benar berminat pada sastra, dan itu aset yang sangat berharga. Jangan menuntut (bahkan merengek) lagi pada pemerintah. Pemerintah pun terlalu pusing dengan banyak tuntutan.

Lebih baik kita meringankan beban pemerintah. Sastrawan dan pihak sekolah bisa saling bekerja sama untuk memasyarakatkan sastra. Saya yakin banyak sastrawan dengan semangat tinggi akan menyambut gembira kerja sama itu. Semoga.

*)Penulis adalah cerpenis, tinggal di Limpung Batang.

Sastra dan Nasionalisme

Arie MP Tamba
http://jurnalnasional.com/

Obyek semua karya sastra adalah realitas. Merupakan hasil kontemplasi dan interpretasi pengarang dengan dunia realitas di sekitarnya, baik berupa realitas sosial ataupun realitas ide. Griffith menegaskan bahwa sastra merupakan ungkapan dari pribadi yang menulisnya. Kepribadian, perasaan, respon, pandangan hidup atau keyakinan pengarang akan selalu mewarnai karya yang diciptakannya.

Ideologi sebagai sebuah sistem berpikir normatif yang diyakini pengarang, secara langsung maupun tak langsung, sadar maupun tak sadar, akan mempengaruhi karya sastra. Sastra dapat menyuarakan ideology yang diyakini pengarangnya.

Ideologi yang muncul dalam teks sastra, tak hanya berupa sikap pandangan ideologis pengarangnya, namun bisa pula melalui teks sastranya tersebut pengarang memunculkan berbagai tafsiran bahkan menawarkan wacana tandingan atas sebuah ideologi. Dalam situasi demikian, pengarang akan memunculkan berbagai tawaran sebagai bentuk counter-ideology terhadap sebuah ideologi tertentu..

Ideologi merupakan hal yang sangat subjektif. Ideologi yang diyakini seorang sastrawan, secara otomatis dan bawah sadar akan menjadi kekuatan internal yang membangunkan kesadaran kritis dalam merespons dunia sekelilingnya.

Nasionalisme merupakan sebuah ideologi yang menyatakan kesetiaan dan pengabdian individu harus diserahkan pada bangsa. Kelahiran nasionalisme bisa dari kesadaran kolektif, bisa pula kesadaran akibat rekayasa oleh yang berkuasa kepada yang direkayasa, atau bisa pula sebagai reproduksi makna.

Contoh nasionalisme yang muncul akibat kesadaran yang dirakayasa dan dikonstruksi oleh kelompok dominan untuk kelompok subordinate, bisa dilihat pada ideologi nasionalisme yang ada di Indonesia. Pidato-pidato Bung Karno pada awal kemerdekaan Indonesia merupakan wujud konstruksi nasionalisme yang dibangunnya demi sebuah bangsa, yang disebut Benecdit Anderson sebagai komunitas imajinasi. Pidato-pidato bung Karno merupakan sebuah konstruksi yang dirancang untuk membangun rasa nasionalisme.

Nasionalisme dalam Sastra Indonesia
Sastra yang menyuarakan ideologi nasionalisme bukan barang baru dalam khazanah kesusastraan dunia. Karya-karya sastra dunia yang membicarakan nasionalisme tak terhitung jumlahnya, sekedar menyebut contoh, adalah Nolimetangere (Yoze Rizal, Philipina), Dr. Chivago (Boris Paternact), The Banished Negroes (Wordsorth, Perancis), Ourika ( Claire de Durass, Perancis), Nyanyian Lawino (Okot P Bitek, Afrika Selatan), A Woman Named Solitude (Andre Schwarz-Bart, Perancis), dan sebagainya.

Persoalan nasionalisme di Indonesia pun merupakan realitas yang merupakan lahan inspirasi yang subur bagi penciptaan karya sastra. Bahkan, identitas kenasionalan karya sastra merupakan isu yang panas dalam menentukan kelahiran sejarah sastra Indonesia. Itu berarti, nasionalisme bukan saja hadir sebagai sumber inspirasi belaka, namun sekaligus hadir sebagai penanda eksistensi terhadap keindonesiaan sebuah karya sastra.

Ajip Rosidi menegaskan bahwa kesadaran kebangsaan itulah yang menjadi pembeda antara kesusastraan Melayu dengan kesusastraan Indonesia. Kesadaran kebangsaan ini sebenarnya merupakan persoalan politis. Hal itu juga menunjukkan bahwa persoalan sastra Indonesia tak dapat dilepaskan dari persoalan politik.

Senada dengan pendapat di atas, A Teeuw mengatakan bahwa suatu ciri khusus perkembangan kesusastraan itu sebagian sejalan dengan gerakan nasionalis. Karena bahasa bisa sangat efektif dalam pergerakan nasionalis, maka sastra sebagai seni yang menggunakan media bahasa benar-benar memiliki peran politis dan budaya yang amat besar.

Ideologi nasionalisme menjadi issue penting bagi para sastrawan Indonesia sebenarnya muncul lebih dahulu sebelum ke-Indonesia-an itu sendiri dirumuskan. Cita-cita bangsa yang berdaulat jauh lebih dahulu muncul dibandingkan persoalan batas-batas kewilayahan.

Muhamad Yamin di tahun 1921, melalui puisinya Bahasa, Bangsa merindukan tanah airnya : /‘di mana Sumatra, di situ bangsa/di mana perca, di sana bahasa/Andalasku saying, jana benjana‘/. Dalam puisi tersebut, M. Yamin mengidentifikasi tanah airnya masih terbatas pada daerah kelahirannya saja. Bangunan imajinasi sebuah bangsa pada diri Yamin adalah masih terbatas pada kedaerahan saja. Namun delapan tahun setelah Yamin menulis puisi itu, rasa nasionalisme dan identifikasinya terhadap tanah air telah bergeser lebih luas, tak lagi sebatas Sumatra, tapi meluas keseluruh nusa, sebagaimana ia ungkapan dalam puisinya Indonesia, Tumpah Darahku.

Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 makin menghukuhkan persolan nasionalisme dalam konstelasi sastra Indonesia. Majalah Pujangga Baru dengan penuh kesadaran meneriakkan bahwa kesusastraan Indonesia mempunyai tanggung jawab dan kewajiban luhur yaitu menjelmakan semangat baru bangsa Indonesia. Dengan kesadaran akan semangat nasionalisme, majalah Pujangga Baru bersemboyankan “pembimbing semangat baru yang dinamis untuk membentuk kebudayaan persatuan Indonesia”.

Sutan Takdir Alisyahbana melalui novelnya Layar Terkembang, jelas-jelas menggambarkan semangat kebangsaan. Melalui tokoh Tuti, cita-cita dan pandangan STA terhadap generasi dan bangsa yang merdeka, bebas, idealis, dan bersemangat dituliskan dengan panjang lebar. Demikian juga dalam Manusia Baru karya Armyn Pane, mencitrakan sosok Indonesia yang diinginkan pengarangnya. Indonesia, diimpikan oleh Armyn Pane sebagai perpaduan Arjuna dan Faust. Perpaduan Timur dan Barat.

17 Agustus 1945 merupakan realisasi nasionalisme Indonesia. Indonesia sebagai bangsa yang berdaulat dimulai pada titik ini. Persoalan nasionalisme dalam sastra Indonesia berkembang tak hanya mempersoalkan persoalan identitas kebangsaan saja, namun bergeser pada persoalan revolusi untuk mempertahankan kemerdekan dari kolonialisme. Pada periodesasi ini, bermunculan karya-karya sastra yang bersetting perang revousi mempertahankan kemerdekaan.

Di Tepi Kali Bekasi dan Keluarga Gerilya karya Pramudya Ananta Toer tak hanya sekadar berkisah pada kepedihan-kepedihan akibat perang saja, namun juga menggambarkan gelora perjuangan fisik bangsa Indonesia mempertahankan kemerdekaan. Juga Royan Revolusi (karya Ramadhan KH), Guru Isa, Tak Ada Esok (karya Mochtar Lubis), Pulang (Toha Mohtar) menampakkan nafas yang sama.

Pada genre puisi, Chairil lewat sajak-sajaknya, misalnya, Aku, Persetujuan dengan Bung Karno, Kerawang Bekasi, Diponegoro dengan lantang meneriakkan semangat patriotisme. Demikian sajak-sajak sastrawan lain seperti Toto Sudarto Bachtiar, Rendra, Subagyo Sastrowardoyo, dan lain-lain, menggambarkan semangat yang sama.

Setelah berhasil mempertahankan kemerdekaan, persoalan nasionalisme di Indonesia tak berhenti begitu saja. Demikian juga dalam sastra Indonesia. Nasionalisme bergeser kembali dalam bentuk wacana. Karena pengaruh perubahan global, nasionalisme mengalami perubahan penafsiran. Dunia global memaksa setiap individu dalam Negara merekonstruksi kembali nasionalisme.

Globalisasi menyebabkan perbenturan nilai-nilai etnis (etnisitas) dengan nilai-nilai global, dan nasionalisme terjepit di antaranya. Cornelis Lay dalam bukunya Nasionalisme Etnisitas:Perubahan Sebuah Wacana Kebangsaan, menyebutnya sebagai terjepit di antara dua kekuatan besar yaitu globalisasi dan etnonasionalisme. Persoalan inilah yang menyebabkan Indonesia sebagai sebuah negara yang baru berkembang, berada dalam konteks kebangsaan yang sulit.

YB. Mangunwijaya sebagai sastrawan memunculkan persoalan-persoalan baru dalam nasionalisme tersebut melalui karya sastra. Dua novelnya, yaitu Burung-Burung Manyar dan Burung-Burung Rantau menawarkan pemikiran-pemikirannya tentang nasionalisme.

Dalam Burung-Burung Manyar, Mangun menyimbolisasikan bahwa Indonesia harus membangun sarang-sarang baru. Merumuskan kembali wujud masyarakat Indonesia dan menafsirkan nilai-nilai yang ada. Nasionalisme bagi Mangun berarti penciptaan identitas Indonesia, penciptaan kembali nation building yang harus menyertakan berbagai kemungkinan, bahkan dari kutub yang paling ekstrem seperti peran “pembelot” sebagaimana yang tercermin dalam tokoh Teto, tokoh utama Burung-Burung Manyar.

Melalui tokoh Teto ini, Mangunwijaya menafsirkan kembali nasionalisme dalam wilayah yang lebih luas. Teto merupakan simbol generasi Indonesia yang berdiri di dua kutub, lahir dalam kondisi kebudayaan campur, dua latar budaya, dan dua nilai. Merupakan sebuah generasi yang memiliki pribadi yang retak yang mencari jati diri, baik jati diri individual ataupun jati diri kebangsaan.

Burung-Burung Rantau lebih tegas lagi dalam menafsirkan hakekat nasionalisme. Nasionalisme tak lagi dibatasi oleh wilayah negara saja. Bagi Mangun, karena globalisasi generasi Indonesia kelak adalah masyarakat dunia. Bisa Jawa, India, Yunani, dan Barat. Generasi muda Indonesia akan memiliki konflik cultural dalam diri mereka akibat globalisasi.

Dalam novel ini. Mangun dengan tegas membuang unsur-unsur masa lalu yang feodal. Generasi Indonesia kelak haruslah seperti burung-burung rantau kalau ingin berkembang secara spiritual dan material. Harus berani membebaskan dirinya dari sarang untuk berani terbang keluar mencari berbagai alternatif kebenaran untuk membangun jati dirinya.

Dari uraian di atas tampaklah bahwa persoalan nasionalisme sebagai ideologi akan selalu menjadi sumber ide yang menarik bagi terciptanya karya sastra. Selama nasionalisme menjadi paradigma yang terbuka, yang membuka peluang untuk selalu ditafsir dan dikaji, maka para sastrawan akan selalu menarik untuk mengangkatnya dalam karya sastra. Tentu saja, sebagai sastrawan cara ungkap mereka mengenai nasionalisme berbeda dengan para sejarawan, negarawan, atau politikus. Dan pemikiran mereka berikut cara ungkapnya akan menjadi pembanding yang menarik, bahkan bisa sebagai wacana tandingan bagi arus-arus pemikiran yang berkait dengan persoalan nasionalisme.***

Politik Haji Ebod

Wira Apri Pratiwi
http://www.lampungpost.com/

TAK satu pun warga Pulau Panggung, tidak mengenal nama Haji Ebod. Juragan sawah, juragan tanah, dan juragan kawin menjadi gelar yang melekat untuk Haji Ebod. Tiga perempat sawah di kampung kami dimiliki Haji Ebod. Begitu juga dengan tanah di kampung ini, hampir seluruhnya dikuasainya. Dan untuk perkara kawin, tak ada yang bisa menandingi Haji Ebod. Di usianya yang kini menginjak 55 tahun, Haji Ebod sudah sebelas kali kawin. Tapi Ngah Dati, istri pertama Haji Ebod, masih menjadi perempuan yang paling disayang Haji Ebod.

Meskipun sudah sebelas kali kawin, Haji Ebod tak pernah hidup dengan lebih dua kali istri. Tiap kali Haji Ebod mau kawin, satu istrinya pasti dicerai duluan. Tapi itu tak pernah terjadi pada Ngah Dati.

Tiap kali Haji Ebod kawin lagi, hati kecil Ngah Dati menangis. Namun, didikan agama yang kental di dadanya, pada akhirnya bisa melapangkannya.

Suatu hari ada seorang warga di Pasar Baru yang iseng bertanya tentang seringnya Haji Ebod kawin, Ngah Dati hanya menjawab, "biar saja poligami, itu kan sunah Rasul." Sehabis itu, tak ada lagi yang berani bertanya padanya.

Kemasyhuran Haji Ebod, sebenarnya bukan hanya karena kekayaan dan seringnya beliau kawin. Namun, Haji Ebod jauh termasyhur sebagai pedagang minuman keras di kampung kami. Warga tidak berani menegur Haji Ebod, begitu juga kepala desa kami yang sama-sama takut melarang Haji Ebod untuk tidak menjual minuman keras itu. Maklum, dengan kekayaannya yang melimpah, Haji Ebod jadi banyak pengikutnya. Pengikutnya ini dijadikan Haji Ebod sebagai centengnya.

Satu kali memang pernah ada satu warga yang mengingatkan Haji Ebod. Dia adalah Ustaz Endang, satu-satunya guru ngaji yang ada di kampung kami. Tapi malang, sehari setelah mengingatkan Haji Ebod, malamnya Ustaz Endang didatangi orang-orang bertopeng. Dia dipukuli habis-habisan, rumahnya yang juga dipakai tempat ngaji anak-anak di kampung kami ludes dibakar. Meskipun mereka memakai topeng, warga sudah tahu orang-orang itu adalah centeng Haji Ebod.

Setelah kejadian itu, tak ada lagi warga yang berani melarang Haji Ebod, bahkan hingga bulan Ramadan tiba pun masih belum ada warga yang berani lagi melarangnya. Karenanya tak heran, meskipun di bulan suci, masih banyak pemuda di kampung kami yang mabuk-mabukan. Hampir tiap malam kami jumpai para pemuda mabuk-mabukan.

Dan sebaliknya, di masjid-masjid menjadi sepi dari pemuda yang tarawihan. Hingga pada suatu hari di bulan suci, datanglah Adin Nana ke kampung kami. Ia adalah anak angkat Haji Ebod. Konon, 23 tahun yang lalu, dia ditemukan Haji Ebod dalam keranjang di kebun pisangnya. Saat itu, Nana kecil terlihat diendus anjingnya Haji Ebod yang telah mati beberapa tahun lalu. Bayi itu lantas dijadikan anak angkat Haji Ebod karena memang Haji Ebod mandul. Anak itu lalu diberi nama Adin Nana. Di usianya yang ke-sepuluh, Adin Nana ikut pesantren di Banten sekaligus kuliah di sana, dan kini setelah 13 tahun menempa ilmu, ia kembali ke pangkuan orang tuanya.

Betapa gembira keluarga Haji Ebod dengan kedatangan Adin Nana, begitupun sebaliknya, Adin Nana begitu senang bisa berkumpul kembali dengan kedua orang tuanya.

Haji Ebod mengadakan syukuran, seluruh warga diundang. Syukuran itu diisi pengajian dan makan-makan. Pada kesempatan itu ternyata juga hadir keluarga Pak Lurah yang diwakili anaknya, Udo Jafar. Sebuah kehormatan yang luar biasa dikunjungi Udo Jafar. Konon, kata orang Udo Jafar adalah dosen, ia juga dekat dengan jajaran pemerintahan serta anggota Dewan. Ia dihormati warga sekampung, dan atas kedatangannya di acara syukuran, haji Ebod sangat tersanjung.

Di sesi terakhir, pas acara makan-makan, Udo Jafar diberi kesempatan bicara. Kesempatan itu tidak ditolak, dan segera Udo Jafar berdiri, lalu berpidato yang garis besarnya begini:

"Perlu bapak-ibu ketahui, bahwa sebentar lagi Lampung akan mengadakan pesta demokrasi pemilihan gubernur baru. Kita sebagai warga Lampung tentunya harus ikut andil untuk menentukan siapa pemimpin yang pantas untuk Ruwa Jurai. Nah, sekarang partisipasi bapak ibu sekalian bisa langsung disalurkan dengan memilih calon kita di pilkada nanti. Kaya pemilu kemarin, tentunya bapak ibu sekalian sudah tahu kan?"

Begitu kira-kira isi pidatonya. Warga bertepuk tangan. Suasana syukuran menjadi riuh. Haji Ebod tersenyum. Baginya, itu adalah bentuk pengakuan dari pejabat akan eksistensinya di kampung Bojong. Haji Ebod tidak tahu, kalau acaranya digunakan kendaraan politik oleh Udo Jafar. Warga pun tersenyum karena tidak lama lagi mereka akan dapat kaus, beras serta uang. Maka setelah malam itu. Rumah Haji Ebod sering dikunjungi warga, pasalnya warga mendengar kalau Udo Jafar memberi banyak beras dan uang pada Haji Ebod.

Benar saja, tak lama kemudian. Seluruh kampung penuh dengan poster, berisi gambar dua orang berpeci lengkap dengan nama, nomor dan partainya. Terutama di rumah Haji Ebod, ada baliho dan poster besar juga stiker. Rupanya, rumah Haji Ebod dijadikan posko cagub-cawagub majikan Udo Jafar.

Apa yang dilakukan Udo Jafar sangat cerdik. Ada banyak alasan untuk melibatkan Haji Ebod. Pertama, Haji Ebod dianggap orang kampung yang udik, yang pasti akan merasa bangga didekati politikus macam Udo Jafar. Dosen pula. Kedua, adalah kekayaannya.. Setidak-tidaknya Haji Ebod juga akan membantu mendanai kampanye di kampung. Untuk yang satu itu, Udo Jafar menjanjikan perlindungan terhadap bisnis Haji Ebod. Terakhir, adalah para centeng dan pengikutnya yang banyak dan dikenal sebagai preman. Kekuatan mereka akan dijadikan sebagai kekuatan eksternal untuk menakut-nakuti warga yang akan memilih calon lain. Begitu skema yang tergambar di otak Udo Jafar.

***

Ngah Dati sekarang sangat sibuk, ia mendadak rajin ke desa, sama Bu Lurah, ia kembali menghidupkan ibu-ibu PKK dan Dharma Wanita. Mengadakan latihan paduan suara, memasak, merangkai bunga dan acara lainnya. Haji Ebod sendiri kini banyak tinggal di rumah, bersama Udo Jafar ia sering kedatangan tamu. Ada dari kecamatan, kabupaten, sampai provinsi. Bahkan orang-orang sudah mendengar kabar tentang cagub dan cawagub yang tak lama lagi akan datang ke kampung mereka. Haji Ebod tentu akan semakin berbunga-bunga. Karena sudah barang pasti rumahnya yang dipilih sebagai tempat kunjungan. Halaman rumahnya yang luas akan disulap jadi tempat yang nyaman untuk tamu kehormatan.

Kabar itu memang benar adanya, seminggu lagi cagub dan cawagub akan hadir di kampung Pulau Panggung, seluruh warga turun ke jalan, membersihkan jalan dan selokan. Spanduk ucapan selamat datang sudah dipasang di gapura, umbul-umbul dipasang di sepanjang jalan. Suasana kampung menjadi meriah layaknya agustusan. Apalagi rumah Haji Ebod, selain ditempeli poster berukuran besar, Haji Ebod memasang lampu-lampu kerlap-kerlip berwarna-warni. Agar indah dan mewah, katanya.

Panggung kecil dibuat di halaman rumah. Karpet dan tikar digelar, ada sound system, dan dekorasi lain yang unik dan kreatif karya anak-anak karang taruna. Semuanya dibikin sesuai instruksi Udo Jafar. Padahal tadinya Haji Ebod hendak membeli sofa baru, juga menyewa kursi. Namun, kata Udo Jafar lebih baik lesehan saja, biar terlihat merakyat.

***

Menjelang magrib, warga sudah bersiap-siap. Jam tujuh rombongan datang. Tim penjemput yang sudah disiapkan segera bergerak menuju gapura. Malam itu adalah malam yang bersejarah bagi warga Pulau Panggung. Selain ceramah dari calon, acara itu juga akan diisi jaipong, teater, dan kasidahan sebagai jamuan untuk tamu.

Di rumah Yu Entin, suasana sangat heboh. Pasalnya kedua anak Yu Entin, Sari dan Suminten akan menari jaipong malam itu. Di depan pejabat, juga di depan keluarga Haji Ebod. Sungguh membuat mereka semakin bersemangat. Dua bersaudara itu teman Adin Nana sewaktu kecil. Mereka dari kecil sudah bersaing menarik hati Adin Nana, maka malam itu mereka akan tampil sebagus mungkin di depan Adin Nana. Dalam benak mereka, mungkin malam itu juga Adin Nana akan memilih satu dari keduanya.

"Kalo milih dua-duanya pun, kita mau ko!" celetuk mereka sambil tertawa.

Langit sangat cerah, bulan terang tepat di atas halaman rumah Haji Ebod. Orang-orang berduyun-duyun memadati halaman rumah haji Ebod. Bapak-bapak, Ibu-ibu, sampai anak-anak malam itu tumpah di satu tempat. Para centeng dengan mengenakan jaket kulit dan kaca mata hitam siap sedia berjaga-jaga, ditambah beberapa polisi dan tentara yang biasa mangkal di arena judi sintir di sawah bersama para penjudi di desa.

Iring-iringan rombongan telah tiba, lima mobil mewah memasuki lokasi. Warga berdesak-desakkan ingin menyalami para pejabat yang baru turun dari mobil. Para centeng dan aparat keamanan sibuk bukan main menghalau warga. Para tamu kehormatan itu segera duduk di barisan terdepan bersama keluarga pak Lurah dan Haji Ebod. Acara pun digelar. Layaknya hajatan pernikahan anak presiden, malam itu Kampung Pulau Panggung diselimuti pesta akbar. Namun, ada juga beberapa warga yang memilih diam di rumah, mereka yang sama sekali tak tertarik urusan politik atau mereka para pendukung calon lain. Apalagi mantan isteri dan gundik Haji Ebod. Mereka malah berkumpul di sebuah tempat untuk menggunjingkan kelakuan Haji Ebod. Bagi mereka, Haji Ebod adalah sosok jahat yang tak tahu malu. Mereka para korban poligami, malah bermaksud merencanakan sesuatu untuk menghancurkan Haji Ebod.

***

Termasuk di antara mereka yang tak menyukai perilaku Haji Ebod adalah anak angkatnya, Adin Nana. Malam itu ia bergeming di kamarnya. Dari awal memang ia tak suka keluarganya dimanfaatkan Udo Jafar untuk alat politik. "Ini pembodohan," pikirnya.

Haji Ebod celingukan mencari anaknya, ia ingin sekali mengenalkan anaknya pada pak cagub, ia berharap anaknya kelak bisa diangkat jadi PNS di pemda. Namun, orang yang dicari tidak kunjung muncul. Ngah Dati pun bolak-balik ke kamar memanggil Adin Nana. Akhirnya dengan langkah berat Adin Nana keluar, namun ia tetap tak mau duduk di depan.

Pembawa acara memberikan kesempatan terlebih dahulu pada Pak cawagub. Dalam pidatonya pak cawagub mengingatkan kalau Lampung saat ini membutuhkan sosok pemimpin yang saleh, jujur, dan amanah. Dan itu ada pada mereka. Di akhir pidato pak cawagub juga mengingatkan pada warga untuk mencoblos foto mereka.

"Bapak-bapak, ibu-ibu sekalian. Biar gampang, carilah foto yang berkumis, itu adalah pilihan bapak ibu sekalian. Itulah wajah kami."

Selanjutnya, giliran Pak calon gubernur yang pidato. Pak cagub bicara panjang lebar soal kondisi Lampung yang penduduknya masih mengalami kemiskinan dan kesengsaraan. Untuk itu ia memberikan beberapa solusi yang dijanjikan akan ia lakukan jika terpilih.

"Kenapa kita miskin? Itu karena kita bodoh. Masih banyak masyarakat Lampung yang buta huruf, itu disebabkan sulitnya masyarakat mengenyam pendidikan. Sekolah kita terlalu mahal, maka jika saya terpilih nanti, saya akan menggratiskan pendidikan!" Ucap Pak cagub berapi-api.

Tepuk tangan warga bergemuruh diiringi teriakan-teriakan. "Hidup, hidup, hidup!"

Malam semakin larut, seisi kampung hanyut dalam kegembiraan. Acara dilanjutkan dengan makan-makan.. Sebelum bubar, Udo Jafar sibuk membagi-bagikan amplop pada warga.

***

Menjelang pilkada, suasana kampung Pulau Panggung semakin ramai dan panas. Pasalnya calon lain pun berdatangan, tawuran antarcenteng terjadi. Tiap malam, motor para preman meraung-raung berkeliling kampung. Warga bingung harus memilih siapa, semua calon memberi mereka barang yang setara jumlahnya.. Adin Nana semakin tak betah di kampung. Akhirnya ia memutuskan untuk pergi kembali ke pesantren. Ia disuruh mengajar oleh Pak Kiai.

Haji Ebod sedih bukan kepalang ditinggal anaknya. Ia sakit-sakitan dan kemudian penduduk Pulau Panggung gempar, telah ditemukan sesosok mayat yang tak lain adalah Haji Ebod terdampar di tepi waduk bersama puluhan dus minuman keras yang biasa ia jajakan di warung. Warga menduga-duga kalau Haji Ebod jatuh terpeleset ketika hendak membuang semua miras sebagai tanda tobat.

Tanggamus, 2008

Acep Zamzam Noor: Gairah Sunyi Mencari Arti Abadi

Bandung Mawardi
http://www.lampungpost.com/cetak

AMIR Hamzah menjadi penyair awal yang fasih menuliskan sunyi dalam religiositas dan kisah cinta. Buku puisi Nyanyi Sunyi (1935) adalah babak penting dalam perpuisian Indonesia modern yang intens mengisahkan sunyi.

Amir Hamzah menuliskan pengertian: Sunyi itu duka/Sunyi itu kudus/Sunyi itu lupa/Sunyi itu lampus.

Sunyi adalah representasi dan realisasi eksistensi manusia dalam pelbagai peristiwa, kondisi, dan kisah. Sunyi mengantarkan manusia dalam religiositas dan kisah cinta manusia. Sunyi menjadi ciri penting puisi Indonesia modern yang terus diwarisi dan dituliskan penyair-penyair mutakhir.

Puisi-puisi sunyi Amir Hamzah menjadi bukti pergulatan penyair mangartikulasikan sunyi sebagai kondisi yang terkatakan atau terbunyikan. Amir Hamzah menjadikan puisi dari sunyi ke bunyi. Bunyi yang sunyi. Puisi Padamu Jua adalah puisi yang mengabarkan kisah manusia yang ingin intim dengan Tuhan. Kondisi batin direpresentasikan dengan kata-kata keras dan lembut yang memuncak dalam sunyi.

Sunyi adalah kisah dan kasih dalam religiositas. Amir Hamzah dalam bait akhir menuliskan: Kasihmu sunyi/Menunggu seorang diri. Sunyi dalam puisi-puisi Amir Hamzah adalah kondisi dalam dan luar yang ingin menguji dan menantang eksistensi manusia.

Puisi-puisi sunyi pun dituliskan Sapardi Djoko Damono dalam buku puisi DukaMu Abadi (1969). Religiositas menjadi ruh dalam buku itu yang ditulis Sapardi dengan lirik-lirik sunyi.

Sapardi sebelum fase DukaMu Abadi sudah menuliskan sunyi dalam puisi Pada Suatu Malam (1964). Sunyi dalam puisi itu diartikan dengan acuan kondisi hidup yang menggelisahkan. Gelisah itu memuncak dalam pengertian: barangkali hidup adalah/doa yang panjang, dan sunyi adalah minuman keras.

Sapardi dalam puisi Prologue mengisahkan religiositas manusia yang ingin intim dengan Tuhan. Puisi itu mengacu pada kuasa Tuhan dan babak-babak sejarah penting kehidupan manusia yang direpresentasikan dalam kisah Qain dan Bukit Golgota. Konklusi dari kisah itu adalah "sepi manusia".

Puisi-puisi sunyi religius yang diawali Amir Hamzah lalu Sapardi Djoko Damono dilanjutkan Acep Zamzam Noor dengan puisi-puisi sunyi dalam kisah cinta. Membaca buku puisi Menjadi Penyair Lagi (2007) Acep adalah membaca sunyi yang bertebaran. Buku itu mengabarkan puisi masih sanggup mencatat dan mengekalkan sunyi.

Buku itu memuat puisi-puisi awal Acep yang berada dalam alur puisi-puisi sunyi, yakni kumpulan puisi bagian pertama yang berjudul Ada yang Belum Kuucapkan.

Sunyi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005) diartikan sebagai tidak ada bunyi atau suara apa pun; hening; senyap; kosong; tidak ada orang; lengang; sepi. Pengertian itu bisa menjadi instrumen untuk membaca dan menginterpretasikan puisi-puisi Acep Zamzam Noor.

Sunyi terbaca dalam puisi Tak Bisa Kulupakan (1979) yang mengisahkan keinginan aku lirik melupakan pelbagai hal, kisah, suasana, dan peristiwa hidup. Keinginan itu sampai pada negasi-afirmasi bahwa ada ketidakmungkinan melupa terhadap "sepi yang sendu".

Puisi Kuhitung Detak Jam (1981) yang dengan fasih mengisahkan sepi dalam pengalaman waktu. Sepi adalah pengalaman dalam waktu yang susah tertandai dalam hitungan waktu definitif. Sepi membuat manusia merasa lama atau sesaat yang cenderung teralami dalam waktu fenomenologis.

Acep menulis: Kenapa sepi/Padaku seakan menagih janji. Sepi adalah kondisi dalam waktu yang mengandung tuntutan untuk menagih janji.

Sepi dalam puisi itu adalah pengalaman diri dalam waktu yang tergesa. Acep menuliskan sunyi yang eksistensialis dalam puisi Kwatrin Sunyi (1981). Kondisi alam dan kondisi diri berada dalam relasi manifestasi: Hutan sunyi dan senyap, hati pun rindu dendam.

Sunyi dan senyap terpahamkan sebagai kondisi yang memungkinkan ada represi untuk perasaan-perasaan yang ingin lekas terealisasikan. Sunyi yang represif itu ingin disimpulkan dalam baris penutup: Sepi dalam hatimu: sepi pun menjadi rahasia. Sepi adalah rahasia yang teralami secara personal dan tertutup. Sepi dalam puisi itu berbeda dengan sepi dalam puisi Sebuah Lagu (1981) yang terkesan menjadi pengalaman personal.

Penyair dengan simbolis menuliskan pengalaman sepi dalam hutan puisi. Sepi dalam hutan puisi menjadi puncak pengalaman yang eksistensialis karena hadir dalam rahasia-rahasia kata dan makna.

Sunyi sebagai puncak kisah cinta dituliskan Acep Zamzam Noor dalam puisi Sajak yang Lahir dari Senyuman Ria Soemarta (1982). Penyair dengan definitif menjadikan sunyi sebagai konklusi peristiwa dalam kisah cinta.

Kisah cinta yang berakhir dengan sunyi kerap menjadi penerjemahan cinta yang memuncak dan sublim. Pemaknaan sunyi dilanjutkan Acep dalam puisi Masih Buat Ria Soemarta (1982). Puisi ini mengabarkan sunyi adalah puncak pencerahan cinta. Kesadaran waktu atas sepi dari cinta mengantarkan aku lirik dalam sembilu atau kesedihan mendalam.

Kesedihan itu semakin membuktikan bahwa cinta adalah perubahan dan cinta bakal memupuskan sepi yang sia-sia. Acep menuliskan dengan cinta: Hidup akan berubah karenanya, jadi lebih bicara/ Dari sekadar sepi yang sia-sia.

Puisi-puisi awal Acep Zamzam Noor eksplisit menunjukkan pergulatan tematik atas kisah cinta dan sunyi. Pergulatan itu terbahasakan dengan liris dan romantis.

Acep dengan kesadaran estetika membuktikan diri atas "gairah sunyi mencari arti abadi" (puisi Tangis Darah, 1982). Acep intensif bergulat dengan kesunyian yang "ingin sampai pada sunyi yang abadi" (puisi Desember, 1982). Babak awal perpuisian Acep Zamzam Noor tak mungkin melepaskan diri dari sunyi sebab "sunyi ini terus menyeru" (puisi Lagu Murni, 1982).

Acep Zamzam Noor adalah penyair sunyi yang terus menulis dan mengekalkan sunyi dalam puisi. Sunyi dalam puisi-puisi Acep Zamzam Noor adalah pengalaman-pengalaman manusia yang eksistensialis. Sunyi sanggup dibahasakan dan dikisahkan Acep Zamzam Noor dalam puisi yang liris dan romantis. Acep Zamzam Noor adalah penyair yang ada dengan "gairah sunyi mencari arti abadi". Begitu.

*) Kritikus sastra dan peneliti di Kabut Institut (Solo)

Ketika Teks Suci Agama Ditafsir

http://www.lampungpost.com/
Judul: Dialektika Teks Suci Agama, Strukturasi Makna Agama dalam Kehidupan Masyarakat
Penulis: Syahrullah Iskandar dkk.
Editor: Irwan Abdullah dkk.
Penerbit: Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Cetakan: I, April 2008
Tebal: vi + 351 hlm.
Peresensi: Ainur Rasyid

INTERPRETASI dan pemaknaan terhadap teks suci agama (Alquran) dari dulu hingga sekarang melahirkan pro dan kontra dalam berbagai bentuk, antara kelompok pembaharuan (modernis) dan kelompok antipembaruan (konservatif) dengan parameter tekstualis atau kontekstualis. Hubungan teks suci agama dengan kebudayaan dan negara banyak melahirkan teks historis yang terus mendapat apresiasi maupun kritik.

Buku berjudul Dialektika Teks Suci Agama, Strukturasi Makna Agama dalam Kehidupan Masyarakat ini berusaha turut ambil bagian dalam mencari pemahaman yang objektif tentang hubungan agama, kebudayaan, dan negara yang memang tepat diperbincangkan saat ini. Tidak ada yang mengelak lagi, agama adalah seperangkat aturan yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia lainnya, dan manusia dan alam sekitarnya yang harus dicarikan wadah pemahaman yang mumpuni, agar kemesraan tetap terjaga.

Ketika teks suci agama ditafsir, banyak pemahaman lain akan muncul dan terus mencari sandarkan kepada referensi yang kuat dalam penafsirannya. Namun, yang ditekankan dalam pemahaman buku ini adalah mengontekstualisasikan teks dalam berbagai kondisi riil yang memerlukan beragam metode analisis dan cara pandang yang dinamis, tanpa meninggalkan tekstualitas yang menjadi sumber berikut historitasnya.

Bagi kelompok antipembaruan diklaim mengunakan metode tafsir yang monoton dan sangat tekstualitas sehingga tertutup dari kreativitas tafsir. Sedangkan kelompok pembaharuan sering diklaim sebagai orang yang terlalu kreatif menggunakan sudut pandang sosiologis dan meminjam berbagai teori Barat sehingga terlempar jauh dari makna aslinya yang mempunyai hitoritas teks-teks suci. Pada gilirannya keterikatan pada tekstualitas menimbulkan faham radikalis dan konservatif.

Berkaitan dengan ruang lingkup kebudayaan dan kenegaraan, perdebatan panjang terus mewarnainya. Ada yang berpendapat antara agama dan kebudayaan mempunyai kedudukan masing-masing. Bagi kalangan yang berpendapat agama adalah subordinat kebudayaan. Tentu hal ini didasarkan pada pandangan bahwa agama merupakan salah satu unsur dari kebudayaan. Dan yang berpendapat antara agama dan kebudayaan adalah sesuatu yang berdiri sendiri, tentu hal ini didasarkan pada sudut pandang wilayah keduanya yang berbeda, di mana agama samawi sebagai wahyu Ilahi yang merupakan wilayah Tuhan, sedangkan kebudayaan sebagai hasil kreasi manusia (hal. 1)

Begitu pun hubungannya dengan negara. Teks suci agama dan negara mempunyai hubungan yang tidak bisa dipisahkan (simbiosis-mutualis). Baik yang menghendaki integrasi antara agama-negara-negara-agama, atau pun yang mendukung agama berperan sebagai landasan bernegara (simbiosis). Keduanya sama-sama mengakui peran penting teks suci agama dalam interaksinya. Dipercaya teks suci ada karena adanya permasalahan yang tidak terpecahkan dalam suatu negara-bangsa.

Kebudayaan bagi suatu masyarakat bukan sekadar frame of reference yang menjadi pedoman tingkah laku dalam berbagai praktek sosial, tapi juga dapat menjadi semacam "barang" atau materi yang berguna bagi proses identifikasi diri dan kelompok. Dalam banyak studi telah diperlihatkan bahwa perbedaan dan perubahan wilayah tempat tinggal, latar belakang sosial, dan latar belakang kebudayaan merupakan konteks yang memberikan warna identitas kelompok atau suku bangsa.

Namun tak selamanya tafsir teks suci agama mampu menjawab permasalahan dalam suatu masyarakat, baik yang bersifat qath'i (mutlat) atau pun zhanni (tidak mutlak). Realitas ritual umat Islam yang tidak tertulis secara eksplisit, baik dalam Alquran maupun dalam Hadis yang diakui dan diamalkan oleh komunitas muslim tertentu tidak bisa disandarkan kepada teks secara mentah, maupun kontektualisi teks secara sepenggal. Contoh ritual yang mentradisi secara turun temurun seperti tahlilan, selametan, walimahan, kendurian, atau ritual tahunan yang menasional seperti perlombaan musabaqah tilawatil quran (MTQ).

Dalam kasus MTQ, Syahrullah Iskandar dalam tulisannya MTQ dan Negara: Sebuah Pendekatan Hegemonik (hal. 243) mengemukakan aspek penyelenggaraan juga pernah mengalami kontraversi di kalangan ulama. Kontroversi tersebut dapat dijustifikasikan dalam dua bentuk argumentasi: Normatif dan sosiologis. Secara normatif, MTQ dilegitimasi oleh QS. Al-Baqaroh (2): 148 serta Hadis Nabi saw. "Hiasilah rumahmu dengan bacaan Alquran" serta "Sebaik-baik kamu adalah orang yang memperlajari Alquran dan mengamalkan"

Atas dasar ayat ini, Syekh Umar Hubais, ahli fikih Mesir, memandang MTQ sebagai amal saleh dan tidak bertentangan dengan syariat. Sedangkan secara sosiologis, MTQ dipandang sebagai, dakwah dan pendidikan, serta pemenuhan kebutuhan masyarakat Islam di bidang seni dan budaya. (hal.251)

Namun, MTQ nasional yang digelar di Serang Banten dan dibuka Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 17 Juni malam sudah mengalami pergeseran nilai. Festival seni baca Alquran nasional ke-22 kali ini tidak ubahnya seperti perhelatan anak kecil yang terus dimeriahkan dengan berbau keduniawian saja, di mana bahasa tender dan kalkulasi biaya dan keuntungan menjadi penting ketimbang menghadirikan roh-roh qurani dalam relung hati masyarakat. Yang jadi peserta MTQ sekarang lumayan banyak, kurang lebih 3.186 qari dan qariah dari 33 provinsi dengan satu tekat ingin jadi juara dan ingin mengharumkan daerahnya masing-masing.

Kejadian-kejadian pergerseran tafsir seperti inilah yang menjadi fokus para intelektual muda dalam melakukan tafsir terhadap teks suci agama. Buku ini merupakan kumpulan hasil penelitian tentang isu sosial keagamaan yang dilakukan oleh peneliti dan dosen berbagai perguruan tinggi Islam Indonesia. Latar belakang yang beragam dari para penulis memperkaya sekaligus mengungkap aspek dalam problematika penafsiran teks dalam realitas sosial dan budaya disekitar ktia.

Buku ini juga mempertajam wawasan kita serta bisa menjadi wacana alternatif mengkaji tentang teks kaitannya dengan agama dan negara.

---------
*) Pemerhati sosial-budaya pada Institute of Social Humanity Studies Fishum UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

Berkaca pada Bayang-Bayang Hipokrasi

Hardi Hamzah
http://www.lampungpost.com/

Demsay, novelis tua Bangladesh yang mengutip Plato perihal Orang dalam Goa dan Bayang-Bayang, agaknya percaya betul tentang etik kekuasaan.

Kekuasaan, secara etika dilihat Demsay (1989) sebagai saran menterjemahkan hidup. Meski tidak terhimbas ahimsa-nya Ghandi, tapi Demsay terus mendorong etika pada setiap kekuasaan.

Dalam novelnya, Singgasana, ia mendeskripsikan manusia (elite politik), berada dalam goa, dan di goa tersebut terdapat bayang-bayang diri mereka dan sejumlah bayang-bayang problem rakyatnya.

Ada jarak atau jurang yang terlalu dalam yang ditengok Demsay. Novel bergaya fiksi politik itu, lebih banyak merefleksikan genggaman kekuasaan dalam nuansa rakyat jelata. Pada galibnya novel politik, memang bahasanya kaku, naratifnya lebih banyak karena kepandaian penulisnya menggatuk-gatukkan data dan fakta.

Walhasil, novel Demsay, mampu mengungkap kaum papa di seantero negara Asia, terutama negara Asia Selatan. Inilah yang kemudian, dilihatnya si papa hanya bayang-bayang dari elite politik. Dengan demikian, tegas Demsay, tak ada satu pun penguasa di negara Asia mengurusi rakyatnya..!! Dus mereka hanya menciptakan kemelaratan baru yang sistemik.

Dari sudut kebudayaan, kecenderungan dan tradisi masyarakat muslim dunia pun dirundung malang terus-menerus, tidak ada reaksi atas aksi yang dilakukan oleh siapa saja yang memimpin di negara-negara asia. Kita menyaksikan bangsa-bangsa asia menjadi kuli di mana-mana.

Gambaran umum tentang prostitusi di seluruh lini, realitas kerja industri yang terganjal, defisit neraca anggaran, wilayah konflik dan rawan pangan yang semakin meluas, menambah sederet kemiskinan lainnya di luar sandang, pangan, dan papan, kita memasuki kemiskinan moral yang bersamaan dengan kemiskinan struktural serta kultural.

Dalam annual report (laporan tahunan) WHO terbaru, menunjukkan dalam satu menit 500 ribu, ibu meninggal dunia melahirkan, dan setengah lebih karena gizi buruk. Sebagai bangsa, kita yang berada di Asia umumnya, khususnya Asia Tenggara, kini menaati tetesan gerak hidup revolusi hijau, meski ini tak kunjung datang.

Setiap kali kita berkaca pada hidup, yang terlihat pada wajah kita adalah hipokrisi, menjual etika, dan berimpitan dengan bayang-bayang. Inilah ruas yang tak dapat diukur, meski memakai buluh perindu sekalipun. Kita semata hanya degradasi dari konvergensi teknologi.

Dalam buku terbarunya The Streaming Wave, kenyataannya, Robert Insdat, tidak mampu menjangkau sistem apa yang patut diimplementasikan di dunia ketiga. Bahkan, menurutnya, General Election (pemilu) lebih banyak menjadi pilihan menarik elite-elite di negara yang selalu berada di titik nadir di berbagai aspek ini.

Barangkali, itulah sebabnya kita mulai me-return semangat-semangat lama. Secara kultural, apa arti nasion? apa arti ideologi? apa arti jati diri kita yang berada di jamrud khatulistiwa ini? Pertanyaan-pertanyaan yang kerap kita anggap klise, mesti tidak pernah bisa terjawab.

Wilayah yang kita masuki semuanya rawan, karena kita tidak pernah pandai merawat, industrialisasi, kita sikapi dengan mental budak dengan memainkan birokrasi. Partai-partai memungut sampah untuk dijadikan pemimpin. Impian tentang sistematika dan mekanisme yang berjalan tak pernah mengusung baju baru untuk suatu upaya memerlentekan rakyat.

Kalau globalisasi menuntut satu kata kunci kompetisi, kita hanya membangun ruang lain sebagai komunitas kerakusan. Cuci otak sebagai suatu kemestian, hanya berlatar pada seremoni dan proyek elite. Sementara itu, ruang publik kita, kita ambilkan ruang sumpek melalui nilai kognitif yang ngegolek-golek. Maka, apabila kecelakaan besar itu terjadi karena siklusnya berubah-ubah, selain liberalisme elite politik yang setengah mampus melawan globalisasi di seluruh aspek, juga hampir-hampir kita tidak berperan apa-apa pada cagar kehidupan apa saja, apakah informasi komunikasi, teknoindustri, psikokultural, dan beragam lagi yang menjadi keharusan, kita abaikan.

Dewasa ini, kita sedang mengikuti musim pilkada, tidak ubahnya seperti musim-musim yang lain. Riuh rendahnya, ya, bisalah dikatakan menguntungkan rakyat secara temporer. Namun, pilkada bukanlah suatu wahana, apalagi wadah untuk demokrasi yang selalu kita tempel-tempelkan di belakang keinginan kita untuk berkuasa.

Tetapi, pilkada bertasbih pada resultante dari keinginan kehausan. Kehausan elite untuk dan mempertahankan kekuasaan, dan di pihak lain, rakyat hanya ingin mendapatkan secuil nasi, secuil kehidupan, dan bukan harapan. Konkretnya, pilkada bukan dasar untuk membentuk suatu sistem politik demi daulat rakyat, tetapi ia hanya musiman. Dan, rakyat hanya ingin secuil kebutuhan mereka terpenuhi.

Manakala kebutuhan itu terpenuhi, meski sedikit, sekali lagi sedikit, sekurangnya telah lahir suatu harapan, suatu ekspektasi yang Insya Allah tidak tergerus oleh gesekan elite politik yang lagi-lagi hanya karena kehausan elite politik. Dan, kita pun berada pada titik yang dahaga pula. Semoga sebagai rakyat, ada wilayah yang menentukan bagi keberlangsungan rakyat, dengan sedikit menggeser kehausan elite politik. Wah, lagi-lagi karena elite politik.

---------
*) Peneliti madya pada InSCiSS, tinggal di Bandar Lampung

Adakah Estetika pada Ampas Kopi?

Budi P. Hatees*
http://www.lampungpost.com/

JANGAN pernah membuang ampas kopimu, karena kau bisa memanfaatkannya menjadi sesuatu yang sangat pantas dipajang di ruang tamu rumahmu, sesuatu yang bernilai estetika tinggi.

Itulah moral yang ingin disampaikan delapan perupa Lampung yang menggelar pameran lukisan bertajuk Me-rupa-kan Ampas Kopi di Ruang Seni Rupa Taman Budaya Lampung (29 Maret--2 April 2008). Mereka memanfaatkan ampas kopi sebagai pengganti cat, menggoreskan ragam bentuk rupa di atas medium kanvas, hingga terbentuk lukisan yang mewacanakan lokalitas Lampung.

Sebagai sebuah gagasan, kerja artistik para pelukis Lampung pantas mendapat apresiasi. Namun, kalau diandaikan bahwa kreativitas ini dapat mengatasi masalah sampah ampas kopi, jelas terlalu mengada-ada. Sebab, ampas kopi relatif tidak pernah menimbulkan masalah bagi masyarakat. Tidak sebanding dengan masalah akibat kafeina yang dikandungnya. Di samping mudah larut dalam air, produksi ampas kopi cenderung rendah. Apalagi di era sekarang, orang bisa menikmati secangkir kopi tanpa meninggalkan sebutir ampas pun.

Lantas, bagaimana memberi apresiasi atas kerja kreatif kedelapan perupa Lampung ini?

Ampas kopi bukan sekadar sebagai materi lukisan alternatif untuk menjawab mahalnya harga cat, bukan pula sebuah solusi untuk mengatasi persoalan sampah ampas kopi. Lebih dari semua itu, pameran lukisan yang digelar dalam rangka memperingati 44 tahun usia Provinsi Lampung ini, juga menjadi semacam gugatan atas kebijakan perkopian yang digerakkan pemerintah daerah.

Lukisan ampas kopi menjadi sangat kontekstual. Lampung sebagai salah satu produsen biji kopi di negeri ini, sudah lama sekali tidak lagi menjadi produsen. Pesona biji-biji kopi yang di pengujung abad 19 mengundang kolonialisme Belanda untuk mengeruknya, juga membuat petani dari Malaysia, Thailand, dan Vietnam datang untuk belajar budi daya kopi, kini tinggal sepenggal sejarah pahit tentang betapa buruknya pemerintah daerah mengatasi persoalan perkopian.

Perekonomian Lampung yang selama puluhan tahun sangat bergantung pada hasil pertanian dan perkebunan, tidak diimbangi pemerintah daerah dengan membuat kebijakan yang mampu menstimulasi para petani kopi. Sebaliknya, pemerintah daerah menunjukkan keberpihakan kepada pengusaha yang tergabung dalam Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI) dengan memberi izin kepada asosiasi itu untuk menarik iuran dari setiap butir kopi yang dijual petani. Padahal, petani sudah menjadi sapi perah para pengekspor dengan mengendalikan harga kopi. Petani sebagai produsen kopi kini tidak merasa diuntungkan oleh budi daya kopi yang dilakukannya selama bertahun-tahun itu.

Riwayat pohon kopi di Lampung, riwayat masa depan petani kopi yang sehitam warna kopi. Petani menebangi pohon kopi, mengganti dengan tanaman produksi lainnya seperti kakao. Ini membuat Lampung tidak lagi menjadi produsen kopi, sehingga sejumlah produsen bubuk kopi di daerah ini mengandalkan bahan baku dari petani-petani kopi di Sumatera Selatan. Kopi tidak lagi bisa mensejahterakan rakyat Lampung seperti pada dekade 1980-an.

Sebab itu, kerja kreatif para pelukis yang memosisikan ampas kopi sebagai materi penting dari lukisannya, mestinya memunculkan persoalan perkopian Lampung pada tataran tema lukisan. Dengan begitu, apa yang dilakukan para pelukis dapat meramaikan "pasar wacana" seni rupa Lampung, sesuatu yang makin jarang terdengar akhir-akhir ini. Sayangnya, lukisan-lukisan itu condong lebih mengutamakan "wacana pasar", di mana sangat kuat orientasi untuk menghasilkan lukisan-lukisan yang diminati oleh pasar.

Antara "pasar wacana" dengan "wacana pasar" mestinya mendapat perhatian yang sama dari para pelukis. Pertemuan "pasar wacana" dengan "wacana pasar" akan mengangkat para pelukis Lampung sebagai seniman yang mampu menghasilkan karya berkualitas artistik sekaligus berkualitas komersial. Kedua wacana ini hampir tidak bisa ditemukan tampil bersamaan dalam dunia seni rupa Lampung.

Padahal kedelapan pelukis, Ari Susiwa Manangisi, Bambang Irianto, Joni Putra, Koliman, Rosmedi Jamaluddin, Sutanto, Tince Megawati Johnson, dan Yulius Benardi, sudah malang melintang berpameran di sejumlah kota di Nusantara. Pengalaman berpameran tampaknya tidak begitu memengaruhi pada aras pemikiran tentang bagaimana menyejajarkan antara estetika dengan pasar. Setidaknya bisa dimulai dengan meningkatnya kesadaran akan pentingnya wacana karya.

Joni Putra, misalnya, yang dalam banyak karya sangat ekspresif dengan kemampuan luar biasa menampilkan aura tersembunyi dari objek-objek lukis yang sebagian besar manusia. Dalam pameran kali ini, lukisannya berjudul "Introspeksi", mewacanakan pentingnya membangun tradisi "berkaca". Di tengah persoalan deindividuasi yang merebak sebagai dampak kehadiran budaya massa, tradisi berkaca secara personal tidak lagi dianggap penting. Individu-individu lebih memilih "berkaca" pada massa, di mana dirinya bukan lagi sebagai individu, melainkan sebagai bagian dari massa.

Pentingnya wacana karya telah membuat banyak perupa mendulang sukses kerja. Apa yang dilakukan pelukis-pelukis di Bandung, misalnya, dengan mengubah arus pemikiran dalam kerja kesenian membuat karya-karya mereka diterima secara terbuka baik oleh pasar komersial maupun kritikus. Sebut saja yang dialami Ay Tjoe Christine, Dikdik Sayahdikumulloh, dan Arin Dwihartanto, di mana pasar menerima mereka dengan gempita, yang akhirnya membuat pergeseran pada estetika para pelukis lain di Bandung.

Dunia seni rupa Lampung sampai pada Sumatranformatif yang melibatkan kurator almarhum Mamannoor dalam ajang Lampung Art Festival 2004, bisa dikatakan kehilangan perspektif wacana. Event-event pameran yang digelar para perupa di Lampung, sering digarap tanpa kehadiran sebuah tema yang memadai. Bahkan, event pameran di luar Lampung yang diikuti para pelukis terkesan tidak meningalkan jejak pada tingkat pemikiran, sehingga kerja seni yang dijalani para pelukis terkesan sebagai kerja tradisi. Mereka hanya melanjutkan kebiasaan, di mana yang diandalkan cuma keterampilan menampilkan gambar rupa di atas kanvas.

Begitu juga yang bisa ditangkap dari event Me-rupa-kan Ampas Kopi. Titik tolak berupa "ampas kopi" sesungguhnya bisa bicara banyak hal seandainya mengkristal dalam tema-tema garapan lukisan. Sayangnya, ampas kopi hanya menunjukkan satu hal yang justru kurang bisa mendukung penguatan wacana rupa, yakni upaya "memanfaatkan ampas kopi" atau "kerja alternatif menjawab mahalnya harga cat".

Sebab itu, terhadap para pelukis yang sudah malang-melintang, ikut dalam pameran Me-rupa-kan Ampas Kopi menjadi semacam fenomena filsafat: di mana bobot pengalaman mereka dihadirkan dalam ajang ini?

Masyarakat awan tentu akan sangat kagum, ampas kopi dapat diubah menjadi lukisan yang layak dipanjang di ruang tamu rumahnya. Di sini, yang bermain adalah selera publik yang dibentuk oleh minim pengalaman atas estetika seni rupa. Nmaun, kekaguman masyarakat awam tidak ada kaitannya dengan bobot kehadiran seni rupa. Cat minyak, arang, akrilik, cat air, pensil, tanah, kopi, darah, dan lain-lain bisa dipahami pada tingkat permainan media dengan ragam perluasan kemungkinan estetik dari konvensi yang ada. Artinya, persoalan materi dalam seni rupa tidak terlalu mempengaruhi kualitas estetika seni, karena semua itu hanya persoalan media.

Pascamunculnya dadaisme di Barat, apa pun dapat menjadi media dan apa pun adalah media. Koko Bae di Palembang melukis dengan darah, tak berbeda dengan pelukis yang melukis dengan kopi. Yang paling pokok bukan darah atau kopi, tetapi bagaimaa otoritas si seniman yang berfilsafat dengan materi-materi seni rupa itu.

Dalam hal inilah setiap pelukis perlu menyadari bahwa seni rupa bukan sekadar wahana untuk mengekspresikan egosentrisme sempit guna menciptakan monumen-monumen estetik paripurna, melainkan terjemahan langsung dari kegiatan si seniman di tengah masyarakatnya. Sebab itu, seni rupa harus menjadi sebuah perayaan atas ragam kemungkinan dari berbagai persoalan yang berlangsung di lingkungan si seniman, sehingga bisa dipahami bagaimana otorisasi si seniman dalam menyikapi persoalan-persoalan tersebut.

Dalam konteks inilah kedelapan pelukis mestinya bisa mengambil posisi sebagai orang yang berfilsaat dengan bahasa rupa. Apakah mereka akan memberikan pemahaman filsafat atas ampas kopi, sehingga otoritas mereka sebagai seniman menjadi begitu dikenang masyarakat, ataukah mereka tidak lebih bagus dari sekumpulan anak-anak yang baru saja mengikuti lomba mewarnai di halaman rumah dinas Gubernur Lampung?

Ada banyak kemungkinan dari ampas kopi yang bisa dikedepankan sehingga tak sekadar sebagai materi lukis.

*) Esais, tinggal di Depok

Senin, 24 November 2008

PRAMOEDYA ANANTA TOER DAN HADIAH MAGSAYSAY

Maman S. Mahayana

Apa maknanya hadiah Magsaysay bagi kebudayaan dan kemanusiaan? Penghargaan atas nama mendiang Presiden Filipina, Ramon Magsaysay (1907—1957) yang tewas dalam kecelakaan pesawat tahun 1957 itu dimaksudkan sebagai penghormatan kepada seseorang yang mempunyai kebesaran jiwa dan semangat, integritas dan perjuangan untuk kebebasan.

Gerilyawan Sujinah Telah Berpulang

Web Warouw
http://www.sinarharapan.co.id/

JAKARTA – “Di langit biru, Engkau menungguku, di langit biru Engkau menyambutku, tenangku melangkah menuju Mu, di langit biru, Engkau menungguku.”

Bait teduh menyayat mengantar Sujinah (78) dalam tidur panjangnya kini. Tiada sanak keluarga, hanya kawan-kawan seperjuangannya meratap menyanyikan lagu-lagu rohani baginya. Itu sudah bukan masalah bagi Sujinah, karena merekalah keluarga sejatinya.

Masih teringat, di sebuah rumah di Jakarta Selatan, pada tahun 1997-1998, beberapa anak muda Partai Rakyat Demokratik (PRD) sempat bergantian bersembunyi di rumah Sujinah. Di rumah sederhana penuh buku dan naskah itu, perempuan ini terus memompa semangat mereka agar tidak pernah tunduk pada penindasan. “Hidup adalah tugas untuk berjuang terus!” demikian ia selalu mengingatkan.

Pada pagi hingga sore hari ia mengajar les privat bahasa Inggris. Sepulangnya, Sujinah menulis banyak hal. Bersama Sulami, Suharti dan beberapa ibu lainnya mereka mengkoordinasikan makanan, tempat tinggal dan obat-obatan bagi pemuda-pemuda yang masih dikejar-kejar aparat keamanan pada era Presiden Soeharto saat itu. Tangerang, Jakarta dan Bekasi. Kini mereka telah pergi semua.

Di dalam buku berjudul “Terempas Gelombang” karya Sujinah yang diterbitkan oleh Institut Studi Arus Informasi (ISAI) tahun 2000, diungkapkan bahwa pada masa perang kemerdekaan berkecamuk 1946-1947 (clash I), Sujinah masuk dalam Barisan Penolong sebagai kurir dan membantu logistik dapur umum di tengah medan pertempuran yang terjadi antara lain di daerah Ampel dekat Salatiga, hingga Tengaran dekat Semarang.

Dia bergaul akrab dengan para laskar pejuang muda yang kebanyakan dari TP (Tentara Pelajar), antara lain dipimpin oleh Achmadi yang di kemudian hari menjadi seorang menteri pada masa pemerintahan Soekarno.

Pada clash II yang berlangsung hingga tahun 1949, Sujinah juga ikut aktif bergerilya bersama tentara dan TP sampai di Bekonang dan tempat-tempat lain. Salah seorang pimpinannya yang masih diingat Sujinah ialah Soebroto yang di kemudian hari menjadi menteri. Ketika itu Soedjinah berperan sebagai kurir antar pasukan gerilya yang berada di desa dan di perkotaan. Siang malam harus jalan kaki menyusup di pedesaan untuk menghindari patroli Belanda.

Karya Jurnalistik
Tahun 1950 ketika terjadi cease fire, Sujinah kembali ke Kota Solo untuk melanjutkan sekolah sampai dapat menyelesaikan SMA-nya di Yogyakarta pada tahun 1952. Sujinah pernah mendapatkan beasiswa untuk lima tahun.

Dia manfaatkan beasiswa itu untuk masuk ke Universitas Gadjah Mada di Fakultas Sosial Politik, yang sayangnya hanya sampai tiga tahun karena beasiswa sudah tidak ada lagi.

Selanjutnya Sujinah aktif di Pesindo yang di kemudian hari menjadi Pemuda Rakyat dan juga di Gerwis (Gerakan Wanita Sedar) yang di kemudian hari menjelma menjadi Gerwani. Bahkan ketika Gerwis menyelenggarakan Konferensi Nasionalnya yang pertama di Surabaya tahun 1951, Sujinah sudah ikut serta bersama SK Trimurti sebagai salah seorang ketuanya.

Sujinah semakin aktif di organisasi ini dalam aksi-aksi menentang kenaikan harga bahan pokok, pemerkosaan dan pelecehan seksual yang menjadi salah satu tema perjuangan Gerwani yang banyak menarik simpati masyarakat perempuan. Sehingga sebelum pecahnya tragedi 1965 Gerwani merupakan organisasi wanita terbesar di Indonesia.

Ketika tahun 1955 diselenggarakan Festival Pemuda Sedunia di Praha, Chekoslovakia, Sujinah mengikutinya sebagai wakil dari Pemuda Rakyat. Setelah itu ia ditugaskan bekerja di Sekretariat Gabungan Wanita Demokratis Sedunia yang berkedudukan di Berlin Timur selama 2,5 tahun.

Tahun 1957 Sujinah baru kembali ke Indonesia dan banyak membuat karya-karya jurnalistik berupa laporan perjalanan yang pernah dilakukannya di berbagai surat kabar.

Sujinah juga membuat karya-karya sastra dengan menulis cerita pendek, esai atau puisi dan dimuat di berbagai media. Tahun 1963 Sujinah aktif sebagai penerjemah untuk perwakilan kantor berita asing di Indonesia, antara lain Pravda (Uni Soviet) di samping juga aktif menulis berita di surat kabar dalam negeri seperti Harian Rakyat.

Ditangkap
Buku “Terempas Gelombang” itu juga mengisahkan aktivitas Sujinah di DPP Gerwani di Bagian Penerangan dan Penerjemahan, yang membuatnya harus sering tidur di kantor. Sampai kemudian, terjadilah Peristiwa Gestapu dan dia bersama kawan-kawannya ditangkap dalam suatu penggerebekan yang dilakukan oleh aparat keamanan pada 17 Februari 1967 di Pasar Minggu, Jakarta Selatan.

Sujinah dibawa ke suatu tempat – mungkin sebuah sekolah tionghoa di daerah Pintu Besi yang dijadikan semacam posko di Gunung Sahari, Jakarta Pusat. Beberapa waktu kemudian ia bersama tiga kawannya dibawa ke tempat lain secara berpindah-pindah hingga lima kali untuk kemudian ditahan di Penjara Wanita Bukitduri dan diajukan ke pengadilan. Karena dianggap sebagai orang berbahaya, maka Sujinah dimasukkan ke sel khusus untuk diisolasi.

Menjelang meninggal dunia di RS St Carolus, Jakarta, Sujinah minta dinyanyikan lagu-lagu perjuangan seperti “Maju Tak Gentar”, “17 Agustus Tahun 45”, “Di Timur Matahari”, dan “Internasionale”. Pukul 13.15, hari Kamis 6 September 2007 Sujinah menghembuskan nafasnya yang terakhir dengan tenang. Tugas telah selesai!

Mengenang Sastrawan Pramoedya Ananta Toer

Andri Cahyadi
http://www.kabarindonesia.com/

Akhiri saja saya, bakar saya sekarang!-Jakarta 30 April 2006

KabarIndonesia - Entah sejak kapan saya mulai mengenal Pram. Sudah tak ingat lagi. Tapi rasa-rasanya berawal ketika mulai mengakrabi karyanya. Membuat saya seperti mulai mengenal beliau. Di bawah rindang pohon-pohon karet yang berdesakan rantingnya, dipagi hari ketika kabut masih singgah malas pergi dan bau hutan yang bercampur wangi tanah merah Depok, di sana saya menemukan dan membaca Tetralogi-Buru. Hutan Sastra yang direbut oleh para kaki lima, jalan setapak yang dalam sekejap menjadi lebar dan berubah fungsi menjadi pasar kaget.

Biasanya selepas penat kuliah, sering saya habiskan waktu untuk berdiskusi, tukar cerita dan ngobrol ngalor-ngidul dengan si penjual buku kaki lima hutan Sastra. Mereka adalah dua orang pemuda. Usia setengah baya. Cara berpakaiannya seperti abg 80an yang seorang lagi bahkan mungkin lebih tua-angkatan 70an. Dengan rambut panjang, keduanya persis seperti para kebanyakan pengagum musik heavy metal, lengkap dengan jeans ketat, kaos oblong, cuek seperti tak peduli perkembangan mode. Salah satu dari mereka adalah pria berparfum. Tipe cowok wangi. Dari kedua penjual buku ini kemudian saya terlibat jauh, perkenalan singkat saya dengan sastrawan Indonesia Pramoedya Ananta Toer.

Waktu saya kecil tak banyak buku bacaan bermutu untuk dibaca. Paling-paling hanya surat kabar, dan ketika kakak saya belajar mengeja, dimana saya belum bersekolah, yang sering dibaca bukan buku tapi Pos Kota, yang juga akhirnya mengawali saya mengenal siapa tokoh Harmoko.

Karena bapak saya cuma warga biasa saja seperti kebayakan penduduk kampung, kami tak punya akses tentang buku. Cuma Pos Kota dan harian Sentana yang kami pinjam dari tetangga sebelah rumah, setelah Ia selesai sibuk menebak-nebak kode buntut dan melihat angka Porkas. Karya Pram praktis tak pernah muncul diusia kanak-kanak saya, bisa jadi pada waktu itu, Tetralogi Buru-juga belum tuntas ditulis. Pram masih kesulitan untuk mencari cara mempublikasikan karyanya. Yang pada akhirnya berhasil dia titipkan kepada seorang aktifis agawan. Karya Pram pun mulai bergerak di khalayak umum.

Tidak seperti Aidit tokoh tersohor PKI, atau pandawa lima CC-PKI. Pram secara pribadi jarang disingung-singung dalam ruang sekolah Inpres di Bekasi tempat saya bersekolah. Pram tidak seperti sebagai orang PKI. Orang PKI yang harus dingat oleh anak-anak kecil seperti kami. Yang harus dihujat, yang kami dapati melalui pelajaran Sejarah dan PSPB dari guru-guru kami. PKI bagi kami murid-murid kelas lima SD sungguh bagai Iblis jahanam, seram dan maha menakutkan, setan-setan PKI yang pernah memporakporandakan Indonesia dan membunuhi para Jendral-Jendral. Proses itu juga saya terima pada setiap tanggal 30 September. Saya bersama orang sekampung juga melakukan ritual yang sama-yaitu memperingati pemberontakan PKI setiap tahun dengan cara menonton filem pemberontakan maha sadis-serentak dan Nasional. Pramoedya Ananta Toer (PAT) tak pernah disinggung-singgung sebagai PKI tidak seperti Aidit dan Kolonel Untung, dua karakter anatagonis G 30 S/PKI dalam sejarah versi Orde Baru yang abadi tersimpan dalam memori kami.

Sebagai anak kecil yang dibesarkan di kota Bekasi pada era tahun 80an budaya membaca jarang diantara penduduk kampung. Seusai sekolah anak-anak sebaya bermain bola ditanah lapang bercampur kawanan kambing dan domba atau menghabiskan sore di Kali Bekasi yang masih bening airnya, mengalir deras, di tengah dan celah batu-batu. Dan saya merasa beruntung. Di rumah kayu yang bertiang bambu itu--yang harus dibayar bapak setiap bulan, ada beberapa beberapa buku-buku populer yang diterbitkan oleh Gramedia. Dari mulai lima sekawan, Trio detektif, Bobo, hingga karya stensil-pornografi yang memperlancar masa puberitas. Saya lahap. Selebihnya hanya buku-buku pelajaran sekolah yang membosankan, Sastra tak beredar di kampung, apalagi tetralogi Pram. Sejak dilarang Jaksa Agung, makin sulit saja mendapakannya.

Di hutan Sastra, Depok, dimulailah perkenalan serius dengan karya-karya Pram (Tetralogi-Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, Rumah Kaca). Masih ingat betul, melalui Bopak dan Mujib si penjual buku kaki lima, yang selalu bisa saya temui di kantin IKJ-TIM, Cikini, Dari mereka saya kadang mendapat buku-buku Pram dan membacanya dengan gratis. Mujib yang memperkenalkan saya lebih jauh kemudian, beberapa kali kami juga sempat bolak-balik ke Bojong Gede. Bahkan hingga terlibat dalam proyek besar memasarkan sastra untuk melawan ingatan-Communistphobia-dengan cara usaha penerbitan kembali karya-karya Pram. Walaupun hingga selesai saya membaca karya-karya Pram lainya, saya pribadi tak bisa menemukan Komunisme dalam karya Pram, saya menilai karya Pram lebih kepada seorang individu yang amat mencintai bangsanya, cinta pada kemerdekaan individu serta menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan bagi sesama.

Hingga akhirnya hubungan kami pun berlanjut, saya dipercaya lebih oleh Mujib untuk menunggui lapak bukunya, di hutan Sastra, ketika Ia berhalangan. Sejak itu saya mulai bersentuhan dan terlibat penuh baik dalam dunia jual-beli buku, bajak membajak-buku, memotong jalur distribusi penerbit raksasa, hingga gerilya buku membuka lapak buku di Kampus Trisakti yang dikelola oleh Adik saya dan temannya.

Kami menjajakan karya Pram dikalangan kelas menengah, terpelajar, yang punya uang saku lebih tapi tak pernah kenal siapa PAT. Gerilya dengan membuka kaki lima buku pun mulai bercabang. Bahkan kami berencana untuk membuka lapak-lapak buku dengan diskon 30% disekolah-sekolah SMU se Jabotabek. Namun rencana tersebut tak pernah terlaksana. Biasanya saya dan dua orang teman membuka lapak sejak pukul 10.00 pagi hingga 6 sore di Hutan Sastra. Setiap pagi juga paling tidak dua kilo jarak saya tempuh dengan berjalan kaki. Melalui gang-gang dan kos-kos mahasiswa yang masih dibalut kabut, kota Depok yang bersuhu dingin dibandingkan Bekasi, berjalan kaki untuk menjual buku-buku.

Lebih dari 100 judul buku yang saya jajakan setiap hari. Rata-rata dari penerbit alternatif (Jogya, Bandung, dan Jakarta)-kata alternatif dipakai untuk memperhalus demi menjunjung etika bisnis penerbitan buku-para pembajak buku pada waktu itu. Hingga kini saya pun tak kunjung paham, apa yang membedakan buku itu hingga bisa disebut buku bajakan. Kualitas kertas yang jelek?. Ataukah lantaran buku-buku ini tidak diterbitkan oleh penerbit-penerbit besar semisal Gramedia, Balai Pustaka dan kelompok IKAPI atau bahkan karena tak memiliki nomer ISBN yang malas mengurusnya lantaran berbelit-belit dan birokratis, entahlah, bagi saya pada waktu itu menerbitkan buku karya Pram lebih berarti daripada mengurusi masalah legalitas dan etika koorporasi penerbitan buku. Apalagi kondisi objektif pada waktu itu lebih mengutamakan penyebaran buku kritis dan Sastra sebagai wacana perjuangan untuk mengubah paradigama Orde baru yang telah ditanam sejak saya kecil, persoalannya sesederhana itu, tak lebih.

Sejalan dengan mandeknya Reformasi dan perasaan trauma akibat sering ditembaki, serta marah karena kalah, membuat saya dan beberapa kawan yang telah berhasil merampungkan kuliah kebingungan, perasaan malas tak mau beranjak, takut melangkah kedepan mencari pekerjaan, sebagai kebutuhan dan alat pertanahan hidup, realita datang tanpa bisa ditolak. Saya dan beberapa kawan kehilangan semangat, terlalu sering berada dalam kondisi amoek-mengalami gangguan mental. Hingga pada suatu hari dengan terpaksa dan rasa putus asa saya memutuskan untuk menggunakan uang setoran buku untuk membayar kos bagi kami yang berjumlah sekitar lima orang-yang terlantar tak ada ujung pangkalnya. Uang buku yang semestinya harus saya serahkan kepada Mujib untuk hasil selama dua pekan lenyap, dan membuat perilaku Istrinya terhadap saya berubah total, negatif. Waktu itu Mujib harus sering pergi ke Jogjakarta untuk mengurus penerbitan karya Tetralogi Pram. Ada rencana Tetralogi akan terbit dengan sampul baru, yang dikerjakan oleh Bowo dan Si Ong.

Sejak saat itu Mujib kurang percaya kepada saya. Tapi kerja memasarkan dan memperluas karya Pram tak boleh berhenti. Saya dan Mujib makin sering mendatangi kota Jogyakarta dan Bandung. Mujib menjalin hubungan dengan distributor yang cukup besar, Adipura-Jogyakarta, untuk mencapai target pemasaran yang luas bagi karya Pram. Meskipun diwaktu mendatang hubungan tersebut akhirnya bubar juga lantaran ‘orang Adipura' mencetak buku Pram dalam jumlah berlebih, tidak sesuai dengan kontrak dan mengambil keuntungan. Hal itu terjadi ditengah-tengah gemuruh gerilya Communistphobia--melalui karya Pram semakin sukses dan membesar.

Saya masih ingat malam itu di Galeri Cipta II, Pram menggunakan batik lurik coklat. Tak ketinggalan sebatang Jarum super menghimpit jari-jarinya. Sambil berjalan tertatih-tatih, dengan senyum lebarnya, untuk menerima Tetralogi yang sudah berganti wajah, lebih apik, kini sampul buku Pram-nyambung sebagai seni dan karya sastra daripada kesan sebelumnya karya seorang tokoh Lekra yang ditakuti dan terlarang. Malam itu 8 April 2001, masyarakat Jakarta sejak malam itu secara ‘legal'mulai bisa membeli dan membaca karya Pram dengan bebas dibawah bayang larangan Jaksa Agung yang belum dicabut. Saya dan Mujib beserta kawan-kawan merampungkan peluncuran buku Pram malam itu juga. Seusainya kami bermalam menginap di motel milik kepolisian- kalau tidak salah, terletak di Gondangdia, setelah sebelumnya kami rayakan di sebuah Pub-Reggae di Selatan Jakarta, yang kini tak ada lagi. Kami merasa upaya pemasaran karya Pram semakin lebar saja, ditengah konflik diantara saya dan Mujib, kami tetap bersiteguh, demi sang pujangga dan Sastra, serta misi kemausiaan dan perjuangan kelas yang diwariskan.

Hampir empat tahun sudah saya tak lagi berhubungan dengan Mujib. Saya juga berhenti dari gerilya Sastra karya-karya Pram. Tak ingat lagi apa yang membuat saya dan Mujib tak lagi bekerja bersama. Saya lihat upaya itu memang sudah selesai. Gerilya sudah menang. Kini tak perlu lagi sembunyi dan membuat lapak buku kaki lima di kampus-kampus maupun sekolah. Hampir setiap akhir pekan juga saya mengunjungi Gramedia Matraman. Hampir setiap itu pula saya melihat Tetralogi Buru, Arus Balik, Gadis Pantai, Cerita dari Blora, Si Midah bergigi Emas, Bukan Pasar Malam, Jalan Raya Pos, hingga Terbakar Amarah sendiri yang paling akhir sebelum Pram pergi, memenuhi rak-rak buku Gramedia, Gunung Agung, Aksara -Kemang , bahkan QB yang elit sekalipun. Karya Pram telah bebas dari kutukan Komunis. Karya Sastra itu telah pulang kerumahnya. Menjadi wacana dan alat perubahan, Sastra yang membebaskan dalam hati dan ruhani setiap Insan yang membacanya. Sejak itu pula saya meperhatikan para abg, anak gaul, anak-anak kelas menengah dan anak-anak kampung kumuh Jakarta-yang biasanya hanya suka membaca karya-karya sampah gaya hidup kapitalis Jakarta, mulai melirik rak-rak tempat buku Pram berada. Dari sekedar hanya melihat sampul, yang makin eksklusif saja. Hingga membaca bagian belakang buku, yang di tulis oleh Muhidin M Dahlan (Gus Muh) -yang juga mulai berkarya--membuat orang tertarik dan membelinya, kemudian karena gaya bahasanya yang kuat.

Hari Minggu, kini, sudah menjadi rutinitas saya dan anak-anak untuk lari pagi. Tak mudah mengajak anak-anak yang gede di jalan dan salah asuh untuk lari dan memacu jantung mereka ditengah pagi buta. Jarak yang harus ditempuh lumayan jauh. Rumah yang terletak di Rawasari di Belakang Rutan Salemba hingga taman Suropati di Menteng sudah menjadi perjanjian menjadi jarak tempuh lari pagi.

Saya biasanya membujuk mereka dengan semangkuk bubur ayam Cirebon untuk lari pagi. Yang kami lahap bersama setelah menyelesaikan rute Percetakan Negara hingga taman Suropati dan mampir ditaman Lembang. Lumayan membuat pangkal paha terasa pegal dan betis menjadi tambah besar. Hari itu 30 April 2006. Saya, Don (seekor anjing, yang mati dengan naas diduga dibunuh kelompok garis keras) dan lima orang anak telah merampungkan lari pagi. Muka anak-anak mulai terlihat kesal dan bosan karena tak terbiasa lari pagi. Saya mencoba menyemangatinya dengan terus mengingatkan bahwasannya bubur Ciroebon sudah di depan mata kami, karena sekarang kami sudah di depan rumah sakit St. Carolus. Bubur ayam Cirebon terletak di gedung Kampus BSI Salemba, yang hanya berjarak setengah kilo lagi.

Setelah merampungkan satu mangkuk dan menunggu angkot telepon genggam berbunyi. Di layar telepon, muncul nomer orang Bekasi. Ternyata bapak. Jarang sekali kami berhubungan. Entah kenapa tiba-tiba Ia menelpon saya. Bapak menanyakan kabar saya seperti biasanya. Saya jawab baik, baru saja rampung lari pagi berama Don dan anak-anak jawab saya lagi. Kemudian dialog pun berlanjut, apakah saya tahu kalau Pram meninggal hari ini. Bapak melihatnya melalui Televisi. Pram akan dibumikan hari ini setelah Ashar di TPU Karet. Pembicaraan kami akhiri.

Segera saya mengirim SMS kepada Mujib dan sebagain kawan lainnya untuk kofirmasi. Saya terdiam. Dalam hati saya berbicara sendiri. Ah.. selesai juga akhirnya hidupnya Pram. Sudah waktunya ya. Tapi bagaimana nanti?. Bukankah dengan kematiannya, juga berarti matinya sebagian kebenaran. Pram adalah saksi sekaligus saksi sejarah pada jamannya dan kini dia pergi yang berarti lagi sebagian informasi juga turut menghilang kan. Entahlah, saya khawatir akan hal itu-sampai kapan bangsa ini bisa belajar dari sejarahnya dan berprilaku jujur.

Dengan menumpang Taksi saya, Indra dan Wawan tiba di TPU Karet. Rupanya kami tiba lebih awal. Atau mungkin rombongan pengatar jenazah yang terhambat lalulintas. Perut yang hanya terisi dengan Bubur Cirebon tadi pagi menagih untuk di isi kembali. Kami pun bergegas berjalan menuju gerobak tukang Bakso yang mengepulkan asap dan menarik selera. Lima belas menit kemudian rombongan Jenasah dan Ambulan datang.

Saya tak melihat Bopak hanya ada Mujib dan beberapa muka ‘orang gerakan' yang hanya mukanya saya kenal tanpa tahu nama mereka. Saya berjalan mengikuti rombongan keranda menuju lokasi peristirahaan terakhir Pram. Saya hanya melempar senyum kepada Mujib setelah lama kami tak bertemu. Kami tak berbicara satu sama lain. Tapi dengan sadar kami ingin mengantar dan melepas kepergian Pram.

Setelah Adik Pram selesai berpidato, Mbak Titi dan Ibu Maemunah menebar bunga dan Doa, serentak itu pula lagu Internasionale dan Darah Juang melepas Pram. Saya hanya melihat Gunawan Muhammad (GM) dan Romo Mudji bercengkrama tanpa bermaksud ikut bernyanyi atau memang tak pernah tahu bait kedua lagu tersebut. Pram sudah di dalam tanah. Banyak rangkaian bunga, salah satunya dari keluarga besar Jusuf Kalla, hanya bunga dan pesan tanpa ada kehadiran.

Taksi melaju kembali ke Percetakan Negara. Di jembatan Manggarai sang sopir sempat terganggu akibat tiupan angin yang mengangkat sampah disekitarnya dan diatas langit pun mendung dan terlihat lesu. Entah benar atau tidak. Kata Ibu hujan adalah pertanda baik dari Alam. Hari itu sekembalinya dari TPU Karet, tiba di Percetakan Negara, hujan pun turun. Alam seakan-akan ikut bersedih, menangis melalui titik-titik hujan, melepas Pram yang pergi dan hilang selama-lamanya.

Beberapa bulan setelah Pram meninggal saya sempat membaca liputan surat kabar. Yang memuat detik-detik cerita perjuangan Pram melawan maut. Lengkap disertai wawancara dengan Mujib. "Akhiri saja saya, bakar saya sekarang" begitu sepenggal pesan sastrawan Pramoedya Ananta Toer menjelang ajalnya.[]

MEMBENTANGKAN ISU SEJARAH SASTRA INDONESIA

Maman S Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/

E.Ulrich Kratz (Peny.), Sumber Terpilih Sejarah Sastra Indonesia Abad XX (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2000), xxxix + 980 halaman (termasuk lampiran)

Inilah rangkaian gagasan estetik mengenai sastra Indonesia abad XX. Sebuah pa-norama pemikiran yang coba mengangkat berbagai problem kesusastraan Indonesia da-lam rentang waktu satu abad. Dalam konteks itu, tampak jelas bahwa kesusastraan tidak sekadar produk imajinatif-estetik, melainkan juga sebagai bentuk lain dari pergulatan pe-mikiran yang merekam keterlibatkannya dalam berbagai aspek sosio-kultural zamannya. Itulah yang segera muncul ketika kita mencoba mencermati ke-97 artikel dalam buku ini.

E. Ulrich Kratz yang menyusun sejumlah artikel itu, mengandaikan bahwa sumber terpilih sejarah sastra Indonesia Abad XX itu, berisi berbagai pemikiran dan isu penting yang kerap dibicarakan dalam konteks sejarah sastra Indonesia Tentu saja yang dilakukan doktor pengajar Universitas London itu bukan tidak mengandung problem. Ia berhadap-an dengan artikel-artikel lain yang terpaksa disingkirkan. Itulah konsekuensi yang harus diterima saat ia memilah, memilih, dan kemudian menyusunnya hingga terbentang arus pemikiran yang pernah hingar-bingar mewarnai dinamika perjalanan sastra Indonesia.

Meskipun demikian, apa yang dilakukan Kratz sungguh merupakan sumbangan berarti bagi usaha penelusuran berbagai pemikiran mengenai kesusastraan Indonesia. Nama-nama ke-56 penulis yang artikelnya dimuat dalam buku ini, nyaris seluruhnya tidak diragukan lagi kualitasnya. Demikian juga ke-97 artikelnya, selain pernah dimuat dalam berbagai publikasi dalam rentang waktu 1928-1997, juga merupakan artikel yang meng-angkat isu-isu penting yang beberapa di antaranya, justru berkembang menjadi polemik. Oleh karena itu, kita dapat menerima jika Kratz menyebutnya sebagai Sumber Terpilih.

Sementara itu dalam hal yang menyangkut pemilihan tema, Kratz sungguh cerdas. Sejumlah masalah yang pernah menjadi isu penting, berhasil dibentangkan secara tematis. Dan ia berusaha menjaga benang merahnya, meskipun di sana-sini tampak tidak begitu lempang sistematikanya. Namun, seperti lazimnya menghimpun sejumlah tulisan yang berlimpah, problemnya selalu muncul di seputar kriteria dan alasan pemilihan.

Pemilihan artikel pertama “Poetoesan Congres Pemoeda Pemoeda Indonesia” yang menghasilkan Sumpah Pemuda, dan penjelasannya yang terdapat pada artikel kedua “Sumpah Indonesia Raja” yang ditulis Muhammad Yamin, misalnya, mengandaikan bah-wa kesusastraan Indonesia diawali pada 28 Oktober 1928. Jadi, Kratz terkesan sejalan dengan gagasan Nugroho Notosusanto perihal awal lahirnya kesusastraan Indonesia. Pa-dahal yang terjadi sebelum itu, terutama yang terekam dalam surat-surat kabar dan maja-lah akhir abad XIX dan awal abad XX merupakan bukti bahwa sastra Indonesia telah ter-sebar di berbagai media massa masa itu. Beberapa artikel itu menunjukkan bahwa pemi-kiran mengenai sastra Indonesia sebagai bagian dari kultur masyarakatnya telah berkem-bang semarak dan menjadi bahan pemikiran para pengarang dan kaum terpelajar kita.

Hal lain juga terjadi pada pemilihan artikel dari majalah Poedjangga Baroe.Tulis-an Armyn Pane, “Kesoesastraan Baroe I dan II” misalnya, tidak jelas dasar pemuatannya karena artikel Armijn Pane itu sebenarnya terdiri dari empat tulisan. Jika landasan pemi-lihan artikel itu: “karya-karya yang bergelut dengan soal perumusan kriteria dan sifat-sifat sastra Indonesia” (hlm. xvi), lalu mengapa empat artikel Amir Hamzah, “Kesoesas-teraan I–IV” atau empat artikel Sutan Takdir Alisjahbana “Poeisi Indonesia Zaman Baru I–IV” yang dimuat secara bersambung dalam Poedjangga Baroe periode yang sama, diluputkan? Soalnya, artikel Amir Hamzah secara jelas hendak menegaskan konsep kesu-sastraan Indonesia yang tidak dapat lepas dari pengaruh kesusastraan asing. Begitu pula artikel Takdir, justru menjadi dasar pemikirannya mengenai kriteria puisi lama dan baru. Dalam konteks kebudayaan, ia justru bersambungan dengan artikel Takdir “Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru” yang lalu berkembang menjadi Polemik Kebudayaan. Jadi, timbul pertanyaan, atas dasar apa artikel Amir Hamzah dan Takdir itu disisihkan?

Persoalan lain menimpa pula artikel “Poedjangga Baroe”. Mengapa bagian Su-sunan Redaksi, Rupa, dan Langganan yang terdapat dalam artikel itu, dihilangkan? Boleh jadi masalahnya akan lain jika Kratz mengambil artikel aslinya (Poedjangga Baru, 1, Juli 1933) dan tidak berdasarkan buku yang disusun C. Hooykaas (1947).

Mengherankan, bahwa Kratz tidak begitu tegas menjelaskan kriteria pemilihan se-jumlah artikel yang disusunnya itu. Ini berbeda dengan apa yang dilakukannya dalam “Pendahuluan” buku Bibliografi Karya Sastra Indonesia dan Majalah (1988: 21–43). Masalahnya menjadi lebih rumit jika kita mencoba menyisir kembali artikel-artikel yang terbit tahun 1950-an. Dan sesungguhnya, secara keseluruhan, masalah inilah yang menja-di titik rawan kriteria penyusunan yang dilakukan Kratz. Bagaimanapun juga, pertang-gungjawaban merupakan hal yang penting, meski penyusun mempunyai hak penuh atas pilihannya. Jika saja Kratz memberi keterangan atas pemilihan artikel-artikel yang dihim-punnya, niscaya kesan subjektif dapat dihindarkan.

Sejumlah masalah itu tentu saja tidak berarti apa-apa dibandingkan dengan kon-tribusi buku ini. Keseriusan Kratz dalam menghimpun serangkaian artikel dengan tema yang begitu beragam, menyodorkan banyak peluang bagi kita untuk melakukan penelitian lanjutan. Pemuatan empat artikel dari majalah Pedoman Masjarakat yang dipimpin Ham-ka, misalnya, menunjukkan bahwa Kratz tidak mengikuti mainstream sejarah kesusas-traan Indonesia yang selama ini telah baku diajarkan di sekolah-sekolah. Kesusastraan Indonesia pada dasawarsa 1930-an jelas tidak hanya terpusat pada majalah Poedjangga Baroe, melainkan juga majalah lain yang terbit waktu itu, termasuk Pedoman Masjarakat terbitan Medan. Secara tersirat, Kratz terkesan hendak menawarkan keberadaan sastra di luar Balai Pustaka yang waktu itu semarak dengan Medan sebagai salah satu pusatnya.

Untuk periode zaman Jepang, Kratz memilih tiga artikel yang dimuat Keboeda-jaan Timoer, Djawa Baroe, dan Pandji Poestaka. Meskipun artikel lain yang lebih me-wakili cukup berlimpah pada masa itu, terutama yang dimuat harian Asia Raja (1942–1945), setidaknya ketiga artikel itu memberi gambaran, bagaimana sikap para pengarang kita dalam berhadapan dengan kebijaksanaan Jepang di bidang kebudayaan. Malah, jika dimaksudkan untuk memberi gambaran keadaan kesusastraan zaman Jepang, tulisan H.B. Jassin “Kesusastraan di Zaman Jepang” sebenarnya jauh lebih representatif.

Mewakili perdebatan Angkatan 45, Kratz menampilkan delapan artikel. Sayang-nya, artikel Chairil Anwar, “Angkatan 45” tidak dimasukkan dalam buku ini. Padahal, artikel itu dimuat bersamaan dengan artikel Sitor Situmorang, “Angkatan 45” (Siasat, 6 November 1949). Meski begitu, ke-8 artikel itu representatif mengangkat simpang-siur gagasan tentang konsepsi estetik-kultural yang melandasi sikap Angkatan 45. Di sana, ju-ga ada artikel Jogaswara (Klara Akustia) “Angkatan 45 Sudah Mampus” yang kelak jadi polemik berkepanjangan dua kubu: humanisme universal dan realisme sosialis (Lekra).

Sampai awal tahun 1960-an, polemik itu melebar menjadi konflik ideologis antara sastrawan Lekra dan para penanda tangan Manifes Kebudayaan. Oleh sebab itu, beberapa artikel lain, sampai ke tulisan H.B. Jassin, “Angkatan 45” (Zenith, 3, 15 Maret 1951), sesungguhnya masih seputar perdebatan konsepsi dan penamaan Angkatan 45. Jika dita-rik benang merahnya, berbagai gagasan itu mesti dilengkapi pula “Mukaddimah Lekra”, lalu “Surat Kepercayaan Gelanggang” dan “Manifes Kebudayaan”.

Dasawarsa 1950-an merupakan masa yang paling demokratis, dan mulai kacau saat memasuki tahun1960-an. Perdebatan dan polemik terbuka yang menyangkut masa-lah sosial, politik, kebudayaan, termasuk sastra, hampir setiap hari menghiasi lembaran majalah atau surat kabar yang terbit waktu itu. Masalah yang jadi bahan perdebatan pun sangat beragam, mulai soal konsepsi estetik, fungsi sastra, tugas seniman, sastra populer, gagasan Angkatan Terbaru, sampai ke masalah hubungan sastra, ideologi, dan politik. Artikel-artikel yang dipilih Kratz cukup mewakili gambaran situasi sastra Indonesia masa itu, meski artikel-artikel dari kelompok sastrawan Lekra yang banyak menghiasi Zaman Baroe, Bintang Timur, Harian Rakjat, tidak dimasukkan dalam buku ini.

Memasuki zaman Orde Baru, kesusastraan Indonesia, di satu pihak memunculkan begitu banyak karya eksperimental, dan di lain pihak mendapat pengekangan terutama terhadap para sastrawan garis merah. Mereka yang dianggap musuh oleh golongan Lekra justru bersuara lantang menentang pelarangan itu. Belakangan ketika Pramoedya mem-peroleh hadiah Magsaysay, pembelaan itu malah jadi kontroversi. Sementara itu, arus eksperimentasi terus bergulir sampai tahun 1980-an. Abdul Hadi dan Korrie mencoba memberi label dengan nama Angkatan 70 dan Angkatan 80. Di luar itu, berbagai gagasan terus bermunculan menyemarakkan karya-karya yang terbit masa itu.
***

Sungguh Sumber Terpilih yang disusun Kratz ini menawarkan berbagai pemikiran yang niscaya dapat menjadi sumber tulisan atau penelitian berikutnya. Masalahnya tinggal bagaimana kita memanfaatkan berbagai gagasan berharga itu untuk turut serta menye-marakkan dan memperkaya dinamika perjalanan kesusastraan Indonesia.

(Maman S. Mahayana, Staf Pengajar FSUI, Depok).

PEREMPUAN-PEREMPUAN DI RERUNTUHAN HARGA DIRI

http://www.kompas.com/
Hamidah Abdurrachman

cina, malam kelabu, 13 desember 1937,
suara-suara yang tiba-tiba menyeruak kesunyian
telah mengubah peraduan menjadi persemayaman
perempuan tua, memeluk erat kedua cucu perempuannya
bersembunyi di kamarnya yang gelap
tamu yang tidak diundang, dengan seragamnya yang asing
telah meluluhlantakkan ketenangan malam
dan menukarkannya dengan tragedi,
pembantaian, pengrusakan dan pemerkosaan,
terjadi begitu nyata di depan mata sang perempuan tua,
tentara Jepang itu melepaskan semua hasrat mereka terhadap putrinya, menelanjanginya, memperkosanya dan menusuk dadanya dengan bayonet
dan menyodok botol parfum di liang vagina perempuan malang
ketiga mahluk ini akhirnya meregang nyawa dalam keaniayaan

meski berbeda tempat dan waktu
penindasan terhadap perempuan telah mewarnai setiap zaman
nyai ontosoroh, mungkin juga beribu nyai lainnya
dijual oleh orang tuanya demi melunasi hutang
menjadi gundik yang tidak memiliki hak atas apapun
termasuk cinta dan harga dirinya
ketika sang suami kembali ke tanah leluhurnya
semua harta bendanya dirampas oleh pemerintah
perempuan itu hanya mampu menyimpan lukanya diam-diam
Perempuan-perempuan lain memilih menjadi Ca Bau Kan
dari pada menahan rasa lapar dan kedinginan

Waktu yang bergulir dalam hitungan tahun
memberikan warna kehidupan yang berbeda bagi rakyat penjajahan
namun bagi perempuan2 yang ada hanyalah kematian
Jepang menjadikan perempuan-perempuan sebagai jugun ianfu
alat pemuas nafsu, budak dan tempat mereka menyimpan penyakit
yang mereka bawa dari pulau terapung
ketika mereka telah terjangkit
perempuan tersebut dibuang berserakan
bagai bangkai-bangkai bergincu

entah berapa banyak lagi
korban kekerasan dalam berbagai peristiwa
yang hanya berganti tanggal dan hari
timor timur, aceh, jakarta ...............
12-13 Mei 1998
perempuan-perempuan muda,
telah menjadi tumbal dendam etnis,
dalam batas waktu yang masih dapat disebut dengan jelas
kematian perempuan-perempuan yang meregang dalam keaniayaan, ketelantaran, atau hanya karena kecemburuan ............
aku ingatkan kalian dengan nama Marsinah, buruh perempuan yang
berhari-hari menelan kotoran anjing, menjadi tumbal kepuasan majikan dan anak-anaknya, akhirnya menyerah dalam dinginnya rawa-rawa,

perempuan-perempuan malang
di rumah mewah, di gubuk reot
di lorong-lorong kota
di kantor bertingkat
di hotel-hotel
di sawah tegalan
bahkan ditempat tidur
ada yang mampu bertahan
ada yang memilih diam
ada yang lari dari kenyataan
ada yang balas dendam
dan kekerasan tidak pernah berhenti

menjadi perempuan adalah takdir.
menjadi perempuan adalah pilihan yang telah ditetapkan
dengan seribu kepasrahan dan nrimo, kodrat yang dilekatkan oleh budaya. senyum manis, tutur kata lembut, berperangai halus, trampil di dapur dan kasur, membuat perempuan semakin terbelenggu
dan hanya pantas disebut konco wingking.

bahkan kartinipun tidak mampu menahan airmata
ketika ditengah perjuangannya memajukan kaumnya
tidak dapat menolak takdir ketika harus menikah dan dimadu

lihatlah pula kehidupan perempuan keraton
disembunyikan dibalik-balik tembok megah
bahkan disembunyikan dari dunia
menjadi segelas air yang bening untuk selalu siap diminum
atau dibuang ketika tak lagi dibutuhkan.

perempuan masa kini dipendopo-pendopo
sibuk merangkai bunga dan melanglang buana
berbicara tentang kemiskinan pada saat mereka sedang berpesta
membantu anak-anak dengan sisa-sisa pakaian mereka
yang mereka sendiri enggan memakainya lagi
perempuan-perempuan dipanggung politik
menggunakan nama perempuan sebagai alat untuk kepentingan
kelakpun perempuan hanya menjadi slogan atau bahkan tujuan untuk kesejahteraan mereka dan keluarganya.
Itulah perempuan-perempuan yang bukan hanya tidak memiliki nama
tetapi juga kehilangan identitas oleh kekuasaan dan kemewahan.

alam menjadi panggung airmata
setiap tahunnya ribuan anak perempuan dikorbankan
untuk menjadi pelacur-pelacur muda
dijadikan komoditas seks dunia,

disekeliling kita
anak anak belia menjadi tumbal setan
terluka oleh hawa nafsu
bahkan dari orang-orang yang seharusnya menjaganya
membiarkan dirinya menjadi alat perekat nama keluarga,
merelakan dirinya menjadi ibu dari benih yang ditanam bapak kandungnya malam itu bunga tak mampu bersuara, apalagi berteriak
“karena malu sama tetangga”, itu yang justru mboknya katakan
tetapi kepedihannya bukanlah hanya karena kehilangan kehormatan
namun kemusnahan harga diri lebih menunjam jantung
bahkan ketika setiap kali mala petaka itu kembali menelannya
helai rambutnya menjadi pisau yang mengiris kulit

perempuan-perempuan muda yang termakan bujuk rayu
mimpi tentang baju pengantin sutera putih
mengentas kemiskinan dengan kenikmatan yang diperdagangkan

perempuan-perempuan pekerja di negeri orang
menyerahkan nasibnya di tangan majikan

perempuan-perempuan malam menjajakan kenikmatan
menjual harga diri dan berpacu dengan kesempatan

perempuan-perempuan yang harus berebut cinta dengan kekasih suaminya
ketika harus memilih dicerai atau dimadu

perempuan-perempuan yang harus menelan siksa sebagai makanan
menjadikan malam sebagai teman berangan

perempuan-perempuan dibelahan dunia lain
bahkan membakar diri hanya sekedar menjadi simbol kesetiaan
menjadi budak keluarga sang suami demi status,
harus membayar dengan harga yang sangat mahal
untuk mendapatkan sebuah perkawinan

perempuan-perempuan di tanah Iraq,
diantara peluru perang melawan kekuasaan dajjal
dalam pakaian abaya yang menutup aurat
harus menjadi tumbal nafsu bejat para tentara berbaju loreng
mulut mereka harus menelan kotoran kelakian
tubuh mereka menjadi boneka mainan
dan nyawa mereka hany sebatas helaan nafas

perempuan-perempuan Palestina
berlari diantara mortir untuk menyelematkan anak-anak
dan berpacu dengan sang maut untuk mendapatkan sebuah kehidupan menyimpan makanan dalam jubah
menyimpan dendam dalam setiap denyut aura

perempuan-perempuan malang
tak mampu melawan
tak punya pilihan
kehilangan kesempatan
bahkan harga diripun telah runtuh
dalam lingkar melingkar jerat waktu

rasa sakit ini
entah siapa yang bakal mengerti
menjadi perempuan
menjalani sepi
mengais harap
dalam lingkar waktu
menjadi bayang, yang ketika berpaling sirna
perempuan-perempuan malang
aku kehabisan kata untuk bicara
aku kehabisan makna untuk memahami
aku kehabisan nafas untuk melangkah
aku kalah...............
tak mampu merengkuh air mata
bahkan sekedar mendekap hangat,
maafkan aku

~!@#$%^&* Dalam Cermin

AS. Sumbawi
 
Pada KBU sebuah wartel laki-laki itu kecewa. Perempuan itu tidak mengizinkan dirinya datang.
“Jangan marah, ya. Jangan marah….”
“Iyaa………”
“Bener. Jangan marah, ya!”
“Ya, santai saja. Santai, santai, santai,…”
Mereka diam.
“Oke, sudah kalau begitu. Terima kasih.”
Percakapan terhenti. Laki-laki itu menutup gagang telepon.

Perjuangan Kata

Tito Sianipar
http://www.korantempo.com/

Romo Mudji meluncurkan kumpulan puisi dan album musikalisasi puisi karyanya.

Mudji Sutrisno duduk di sebuah bangku di atas panggung setinggi kurang dari satu meter. Mengenakan sandal dan pakaian serba hitam, ia membacakan puisinya berjudul Surat. Puisi tentang bencana gempa Yogyakarta itu terasa semakin dramatis dengan diiringi petikan gitar oleh Ahmad Mudjid serta nada dan tempo dari keyboard yang dimainkan Ai Soedjadi.

Sudahkan kau seberangkan wewangi semboja heharum kuncup bunga talok ke rerintihan jasad

Setelah itu, Romo Mudji membawakan puisinya yang berjudul Andai Bencana Ada Peduli dengan iringan gitar akustik dan keyboard. "Puisi ini saya buat untuk mengenang korban bencana gempa Yogya," ujar rohaniwan berusia 53 tahun itu.

Puisi itu dibacakan Kamis malam lalu di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta. Perayaan sederhana itu digelar sekaligus untuk menandai diluncurkannya buku kumpulan puisi terbaru sang Romo yang berjudul Rekah Lembah produksi Hujan Kabisat dan cakram padat album musikalisasi puisinya.

Sebanyak 36 puisi dan 52 sketsa mengisi lembaran-lembaran putih buku setebal 120 halaman itu dan 12 musikalisasi puisi termaktub dalam cakram. Puisi dan sketsa itu dibuat Romo Mudji pada periode 1984 hingga 2007, yang menggambarkan perjalanan hidupnya. "Ini sekaligus menandakan perjalanan 25 tahun karya imamat saya," kata Mudji, yang ditahbiskan sebagai imam pada 30 Desember 1982.

Berbagai tema diangkat dalam puisi-puisinya. Selain soal gempa Yogya, Romo Mudji memuisikan kisah ibunya, kisahnya selama berada di Roma (Italia), refleksi hidup, kematian, hingga tragedi rusaknya alam.

Tengok saja puisi Gerhana, yang dibuatnya untuk mengkritik seniman yang semakin kurang peka terhadap penderitaan sekitar. Atau puisi su-Nya, yang merupakan refleksi hidup Romo. "Kita lahir sendiri, mati sendiri. Supaya bermakna, hidup ini harus diberi arti," katanya mengurai pesan dalam puisi tersebut.

Selain Romo Mudji, tampil beberapa nama beken lain membacakan puisinya malam itu, di antaranya Sita Nursanti, Syaharani, Andi Lesmana, dan Castanet. Mereka membawakan musikalisasi puisi Romo Mudji dalam berbagai cara. Sita, misalnya, membawakan puisi Sunyi dengan gaya kidung balada, sedangkan Syaharani membawakan Tragedi Bumi dengan gaya jazz diiringi keyboard oleh Sonny Hudisaksono.

Salah seorang penonton yang hadir malam itu, Sandy Harun, mengungkapkan kekagumannya terhadap karya Romo Mudji. "Bikin saya terenyuh dan mau menangis," ujar Sandy. Penonton lain yang juga sesama seniman, Arswendo Atmowiloto, memuji konsistensi Romo Mudji yang selalu menegakkan nilai-nilai kemanusiaan. "Beliau bagaikan lilin di tengah kegelapan," ujarnya.

Pesan-pesan kemanusiaan sudah tidak asing dalam karya-karya Romo Mudji. "Musik ini sebagai jembatan agar anak-anak muda mau mencintai puisi," ujarnya. Ia menyoroti minimnya apresiasi anak muda sekarang terhadap puisi. Padahal, dia melanjutkan, "Dengan puisi, hidup orang menjadi lebih baik."

Kepada Tempo, di halaman depan buku kumpulan puisinya, Romo Mudji berpesan, "Selamat berjuang dengan kata." Rasanya perjuangan dengan kata itulah yang dilakoni Mudji saat ini. "Saya bosan dengan politik karena memecah belah. (Adapun) seni menyatukan orang," ujarnya.

Tengoklah kata-kata yang ia susun dalam puisi Tragedi Bumi (2): kenapa mata hari kehilangan mata dan mata air jadi air mata di tanah air tanah air? di kita

Goblin Market: Fenomena Puisi Simbolis Rosetti

Oliviaks
http://www.korantempo.com/

Darah lebih kental daripada air, demikian kata pepatah. Dan lewat Goblin Market, puisi yang ditulis Christina Georgina Rosetti untuk Maria Francesca Rossetti, adiknya, persaudaraan dua kakak beradik perempuan menjadi istimewa.

Pada masa Victoria, sulit menemukan sosok pahlawan perempuan yang agresif. Christina berusaha menciptakannya dengan memadukan girl power yang pasif dan lazim pada zaman itu dengan sisterly love. Peran perawan yang tak ternoda sangat biasa kala itu dan digambarkan lewat karakter Lizzie dalam puisi. Judul awal puisi yang diterbitkan ke dalam buku Goblin Market and Other Poems adalah A Peep at the Goblins.

Banyak tafsiran terhadap Goblin Market. Yang paling sederhana adalah bahwa anak perempuan tidak boleh berbicara dengan lelaki tak dikenal dan sesama saudara perempuan harus saling mengasihi.

Selan itu, ada yang mengaitkannya dengan religiositas, sebagai cerminan Adam dan Hawa yang diusir ke bumi, serta Kristus yang mengorbankan diri untuk umat manusia. Dalam puisi, Lizzie mengorbankan diri untuk Laura, saudara perempuannya yang sekarat. Tapi ada juga yang menghubungkannya dengan tahapan kematangan sebagai perempuan dewasa.

Terkait dengan dunia seni, puisi itu dianggap sebagai cerminan pemberontakan karena tidak dimasukkannya perempuan dalam bidang ini. Christina bahkan dianggap bertutur soal politik feminismenya. Walau begitu, lebih banyak lagi yang menganggap puisi itu sensual dan berlumur seksualitas di sana-sini. Christina sendiri selalu menyatakan Goblin Market adalah puisi anak-anak.

Dalam Goblin Market, Christina bercerita tentang Laura dan Lizzie yang biasanya mengambil air di dekat mata air setiap petang. Setiap malam mereka mendengar panggilan dari kaum goblin, pedagang aneka buah mistis. Di awal puisi, Laura berlama-lama di mata air setelah Lizzie pergi. Karena tidak mempunyai koin untuk membeli buah, ia menukarnya dengan segenggam rambut dan “setetes air mata yang lebih berharga dari mutiara”. Setelah memakan buah sampai nyaris lupa diri, ia sadar dan pulang dengan mengambil satu dari biji-biji buah itu.

Lizzie yang bijak mengingatkan Laura tentang Jeanie, yang memakan buah dari lelaki goblin setahun sebelumnya dan meninggal di awal musim dingin setelah sempat lama menarik diri dan sakit. Laura terus berfantasi tentang pertemuan berikutnya dengan goblin setiap kali ia dan Lizzie menjalankan rutinitas mereka. Pada suatu malam, Laura melihat Lizzie dapat mendengar suara-suara goblin, sedangkan dia tidak. Ia jatuh sakit dan depresi untuk waktu yang lama. Ia menanam biji buah yang dulu diambilnya tapi tidak menghasilkan apa-apa.

Lizzie memperhatikan di pengujung musim gugur bahwa Laura sedang sekarat. Ia memutuskan pergi kepada para lelaki goblin untuk membeli buah mereka. Ia percaya hal itu akan menyembuhkan Laura. Ia pergi ke mata air dan membawa koin. Tapi lelaki-lelaki goblin itu menjadi tidak ramah saat ia ingin membeli buah mereka dengan koin. Mereka memaksa Lizzie memakan buah mereka, namun Lizzie menutup mulutnya. Sikap puisi ini terhadap godaan tampak ambigu, karena akhir yang bahagia membuka peluang pengampunan bagi Laura, sementara potret lazim “perempuan yang tergoda” pada masa Victoria berakhir dengan kematiannya.

Lahir di London pada 5 Desember 1830 dari pasangan Gabriele dan Frances Rosetti, Christina Georgina Rossetti sering sakit waktu kecil. Ia bersekolah di rumah dengan saudara-saudara lelakinya, Dante Gabriel dan William Michael Rossetti. Dante (1828-1882) menjadi pelukis dan penulis yang memulai gerakan avant-garde pertama pada 1848 dengan empat orang lainnya. William (1829-1919) adalah kritikus penting, yang mengedit karya-karya Whitman, Blake, dan Shelley; dia juga yang mengedit The Germ (1850), berisi beberapa puisi Dante dan lima puisi Christina (dengan nama samaran Ellen Alleyn).

Pada 1850, hubungan Christina dengan pelukis James Collinson berakhir ketika James bergabung dengan gereja Katolik. Kritikus menganggap tema kehilangan dan ketidakbahagiaan dalam karya Christina di kemudian hari mungkin terinspirasi (setidaknya sebagian) dari hubungannya dengan Collinson. Pada 1866, Christina menolak ajakan menikah dari Charles Cayley. Mungkin saja ini menjadi inspirasi puisinya yang terkesan sebagai komedi hitam, No, thank you, John.

Meski gagal dalam percintaan, perjalanannya dalam sastra berlanjut. Dua dari karyanya yang paling terkenal, Uphill dan A Birthday, dipublikasikan pada 1861. Pada tahun yang sama, Dante mengirim kumpulan puisi Christina kepada John Ruskin. Mereka mencari penerbit untuk puisi-puisi Christina dan berharap Ruskin setuju. Tapi Ruskin merasa puisi-puisi Christina belum cocok dipublikasikan walau ia menganggapnya penuh kekuatan dan keindahan. Ia menyarankan Christina untuk melakukan observasi agar bisa menulis seperti yang diinginkan publik.

Berbeda dari Ruskin, Alexander Macmillan berpikir sebaliknya. Ia mempunyai pandangan berbeda mengenai selera publik dan menerbitkan tiga puisi Christina di majalahnya. Pada 1861, Macmillan setuju untuk menerbitkan Goblin Market and Other Poems dan buku pertama Christina hadir dalam bentuk cetak pada Maret 1862.

A Musthafa A Rodhi Murtadho A Wahyu Kristianto A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Wachid BS Abdullah al-Mustofa Abdullah Khusairi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimanyu Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Maulani Adek Alwi Adhi Pandoyo Adrian Ramdani Ady Amar Afrizal Malna Agnes Rita Sulistyawati Aguk Irawan Mn Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Subiyakto Agus Sulton Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahm Soleh Ahmad Farid Tuasikal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Luthfi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadie Thaha Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rasyid AJ Susmana Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander Aur Alexander G.B. Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Rif’an Aliela Alimuddin Alit S. Rini Alunk Estohank Ami Herman Amich Alhumami Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminudin TH Siregar Ammilya Rostika Sari An. Ismanto Anaz Andaru Ratnasari Andhi Setyo Wibowo Andhika Prayoga Andong Buku #3 Andrenaline Katarsis Andri Cahyadi Angela Anies Baswedan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Sudibyo Anton Wahyudi Anwar Holid Anwar Siswadi Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Zulkifli Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayu Utami Azyumardi Azra Babe Derwan Bagja Hidayat Balada Bandung Mawardi Bayu Agustari Adha Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Bernadette Lilia Nova Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Bhakti Hariani Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budi Winarto Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Bustan Basir Maras Camelia Mafaza Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cecep Syamsul Hari Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Choirul Rikzqa D. Dudu A.R D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Dantje S Moeis Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Darmanto Jatman Dedy Tri Riyadi Delvi Yandra Denny JA Denny Mizhar Dewi Anggraeni Dian Basuki Dian Hartati Dian Sukarno Dian Yanuardy Diana AV Sasa Dinar Rahayu Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi Warsidi Edy Firmansyah EH Kartanegara Eka Alam Sari Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil Amir Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Evan Ys F. Budi Hardiman Fadly Rahman Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fani Ayudea Fariz al-Nizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatkhul Aziz Felix K. Nesi Film Fitri Yani Franditya Utomo Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Garna Raditya Gde Artawan Geger Riyanto Gendhotwukir George Soedarsono Esthu Gerakan Surah Buku (GSB) Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Tri Atmojo H. Supriono Muslich H.B. Jassin Hadi Napster Halim H.D. Hamberan Syahbana Hamidah Abdurrachman Han Gagas Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Priyatna Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasan Junus Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Helwatin Najwa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendriyo Widi Ismanto Hepi Andi Bastoni Heri Latief Heri Listianto Herry Firyansyah Heru Untung Leksono Hikmat Darmawan Hilal Ahmad Hilyatul Auliya Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur Husnun N Djuraid I Nyoman Suaka Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilenk Rembulan Ilham khoiri Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Budi Santosa Imelda Imron Arlado Imron Tohari Indiar Manggara Indira Margareta Indra Darmawan Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ingki Rinaldi Insaf Albert Tarigan Intan Hs Isbedy Stiawan ZS Ismail Amin Ismi Wahid Ivan Haris Iwan Gunadi Jacob Sumardjo Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean-Marie Gustave Le Clezio JJ. Kusni Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Julika Hasanah Julizar Kasiri Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kadir Ruslan Kartika Candra Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Ketut Yuliarsa KH. Ma'ruf Amin Khaerudin Khalil Zuhdy Lawna Kholilul Rohman Ahmad Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Krisandi Dewi Kritik Sastra Kucing Oren Kuswinarto Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lenah Susianty Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto M Shoim Anwar M. Arman A.Z. M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Harya Ramdhoni M. Kasim M. Latief M. Wildan Habibi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria hartiningsih Maria Serenada Sinurat Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Marsus Banjarbarat Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masriadi Mawar Kusuma Wulan Max Arifin Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Mezra E. Pellondou Micky Hidayat Mihar Harahap Misbahus Surur Moh Samsul Arifin Moh. Syafari Firdaus Mohamad Asrori Mulky Mohammad Afifuddin Mohammad Fadlul Rahman Muh Kholid A.S. Muh. Muhlisin Muhajir Arifin Muhamad Sulhanudin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Azka Fahriza Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Nafi’ah Al-Ma’rab Naskah Teater Nezar Patria Nina Setyawati Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noor H. Dee Noval Maliki Nunuy Nurhayati Nur Haryanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurudin Octavio Paz Oliviaks Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pamusuk Eneste Panda MT Siallagan Pandu Jakasurya PDS H.B. Jassin Philipus Parera Pradewi Tri Chatami Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R Sutandya Yudha Khaidar R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rahmat Sutandya Yudhanto Raihul Fadjri Rainer Maria Rilke Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridha al Qadri Ridwan Munawwar Rikobidik Riri Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rizky Andriati Pohan Robert Frost Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Romi Febriyanto Saputro Rosihan Anwar RR Miranda Rudy Policarpus Rukardi S Yoga S. Jai S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Gerilyawan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra SelaSastra ke #24 Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Subhan SD Suci Ayu Latifah Sulaiman Djaya Sulistiyo Suparno Sunaryo Broto Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunudyantoro Suriali Andi Kustomo Suryadi Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Susilowati Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Bahri Syam Sdp Syarif Hidayatullah Tajuddin Noor Ganie Tammalele Tan Malaka Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Tengsoe Tjahjono Th Pudjo Widijanto Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Joko Susilo Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Umar Kayam Undri Uniawati Universitas Indonesia UU Hamidy Vyan Tashwirul Afkar W Haryanto W.S. Rendra Wahyudin Wannofri Samry Warung Boenga Ketjil Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Web Warouw Wijang Wharek Wiko Antoni Wina Bojonegoro Wira Apri Pratiwi Wiratmo Soekito Wishnubroto Widarso Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Wing King WS Rendra Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yosi M. Giri Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Yuyu AN Krisna Zaki Zubaidi Zalfeni Wimra Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhaenal Fanani Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar Zulhasril Nasir