Jumat, 26 September 2008

Bangkit, Bung!

Bernando J. Sujibto

Tanpa dinyana sebuah momen bersejarah yang telah menjadi titik tolak kemerdekaan bangsa ini, Indonesia, sudah di depan mata. Tepat 20 Mei 1908 silam, atas nama kemanusiaan dan kesadaran kebangkitan yang kuat pemuda Boedi Oetomo berkumpul di Yogyakarta dan membahas persoalan kebangsaan yang tergadai, pecah, dan lumpuh di bawah kolonial. Bagaimana bayangan Anda ketika coba memejamkan mata dan masuk ke tengah masa kelabu masa silam? Pada masa itu tidak ada Indonesia; cuma ada Jawa, Sumatera, Borneo, Bugis, Madura dll. Di tengah kondisi demikian, perkumpulan pemuda (kalau sekarang saya konotasikan pemuda adalah mahasiswa) yang datang dari berbagai latarbelakang itu menghasilkan embrio untuk masa depannya. Dan kita merasakan itu sekarang! Apakah Anda merasakan (menyadari) semua (?).

Pada masa itu sangat sederhana, tapi kuat dengan gelora semangat. Kualitas pemuda–pemuda yang hendak bertekad itu biasa-biasa saja. Memang, masa itu tidak ada yang bisa diistimewakan jika dibanding dengan kaum muda era ini. Tetapi, mengapa masa itu begitu penting? Dan sekarang kaum muda (mahasiwa) tidak mampu menemukan, lalu melakukan pekerjaan sesederhana itu, atau meskipun hanya sekedar meneruskan (atau menjaga) spiritnya saja kita tidak mampu? Ya saya akui, generasi muda kita memang sedang penyakitan, kena inamnesia.

Sebagai bukti, jika perkumpulan plus diskusi yang mereka lakukan melahirkan nasionalisme, apakah diskusi, demo, dan negosiasi yang kita lakukan juga telah melahirkan spirit yang setara? Bung, renungkan ini: bahwa kita berdiri di atas luka-darah-merah-sejarah yang tak mudah dan murah. Para pejuang negeri ini (nenek moyang kita yang putih tulangnya itu) semakin keras tangisnya ketika kemerdekaan yang mereka perjuangkan tidak dihargai begitu saja. Para pejuang itu tidak butuh dihargai dengan perayaan-perayaan atau upacara konyol dan hampa. Mereka hanya berteriak: bangun dan bangkitkan Indonesia! Sementara kita sekian lama telah merapuhkannya. Jadi, Indonesia bukan nbanun dan bangkit tetapi meratap sepanjang waktu. Masalah bangsa silih berganti memupus masa depan bangsa ini. Teman, apa langkahmu?

Pendekatan budaya hingga lahir kesadaran ‘menjadi satu bangsa’ dilakukan pemuda-pemuda dalam menggalang rasa kebangsaan yang berlandaskan kepada pola budaya tradisional. Jika mencermati secara seksama, kelahiran BO dilatarbelakangi oleh kesadaran budaya sebagai wujud dari kebanggaan terhadap tradisi dan warisan budaya yang ditinggalkan oleh nenek moyang mereka. Awalnya Radjiman menyebarkan isu tentang ‘kejayaan Jawa’ yang membangkitkan rasa nasionalisme masyarakat Jawa. Sebagaimana disinyalir Robert Van Niel dalam tulisannya berjudul The Course of Indonesian History, pada awalnya tujuan mendirikan BO adalah mengembangkan kebudayaan Jawa (to promote Javanese cultural ideals). Tetapi pada gilirannya langkah BO telah menggugah spirit nasionalisme kepada semua rakyat Indonesia yang terkapar di wabah penjajah Belanda waktu itu.

Langkah BO menjadi manifestasi kebangkitan kesadaran terhadap kebudayaan selanjutnya. Di berbagai daerah muncul semacam perkumpulan yang kembali menjunjung kearifan budaya lokal. Di Sumatera ada Sanusi Pane dan Muahmmad Yamin yang bergabung dalam barisan "pelawanan budaya". Di daerah lain juga muncul bemacam jargon: "identitas nasional", seperti disuarakan Soekarno, dan "kepribadian nasional" dengan maksud melanjutkan dan mewujudkan cita-cita yang telah digagas oleh BO.

Demi mengokohkan keyakinan dan spirit masyarakat Jawa tentang kebudayaannya, pada kongres BO tahun 1908 Radjiman mengatakan bahwa "orang Jawa tidak mungkin menjadi orang Belanda". "Provokasi" ini menjadi awal membuka kesadaran bagi orang Jawa untuk menggalang rasa kebersamaan atas nama Bangsa Indonesia.

Bangun
Memang tidak baik meratapi. Yang baik adalah merefleksi (rereflection) dan instropeksi. Dalam salah satu refleksi kritisnya tentang masa depan bangsa Romo Y.B. Mangunwijaya, seorang budayawan dan "abdi" (baca: pejuang) masyarakat kecil, menuliskan ihwal tahun-tahun simbolis yang musti diperhatikan generasi muda Indonesia dewasa ini, yaitu 2008, 2028, dan 2045 (1999, 7). Romo Mangun menyebut tahun-tahun di atas bukan sebuah omong kosong. Karena bagi yang sadar sejarah, simbol angka di atas, khususnya 2028 dan 2045, adalah titik tolak bagi bangsa Indonesia bisa terbebas dari "ketakutan-ketakutan" akibat penjajahan. Setidaknya, dua tahun itu (1928 dan 1945) telah melahirkan spirit Indonesia baru yang gemilang!

Hasil renungan tajam dan mendalam Romo Mangun tersebut adalah kado spesial buat generasi muda demi menyongsong tahun 2045, di mana Indonesia memasuki seabad HUT kemerdekaan yang diimpikan Romo Mangun kita dapat memiliki negara dan masyarakat hukum yang bersih dan dapat dibanggakan, bebas dari ketakutan. 2045 memang masih jauh. Tetapi jika tahun-tahun berlalu tanpa nyana (tidak ada langkah konkrit dari kita buat masa depan bangsa yang cerah), di tahun 2045 cita-cita almarhum di atas bisa saja kandas karena Indonesia sudah tidak ada lagi.

Ironis memang ketika dalam praktiknya kita menemukan banyak kenaifan yang paradoksal yang terus merundung perjalanan bangsa ini. Ketakutan-ketakutan tidak pernah terbebas dari bangsa Indonesia. Setiap saat kita selalu disuguhi realitas yang menakutkan dan mengancam tekad kebangsa-negaraan kita yang multi-etnis, multi-budaya, dan multi-agama. Baik itu berupa konflik etnis yang tidak pernah reda; perseteruan paham tentang agama yang tiba-tiba mencuat, ataupun bentuk-bentuk lain yang acap menjadi momok terhadap stabilitas keindoneniaan kita.

Ketika Indonesia dirundung luka murung semacam itu, maka mustahil cita-cita kemerdekaan yang sebenarnya yang telah menjadi tekad founding fathers kita bisa tergapai. Tahun 2008 sudah didicicipi, tetapi kenyataan berbicara lain. Beberapa jajak pendapat dan laporan yang dirilis banyak media mapun lembaga independen yang kompeten menyatakan bahwa pertumbuhan dalam semua sektor tidak seperti yang diinginkan. Semua seperti berjalan di tempat. Untuk tahun 2008 ini, cita-cita tentang masyarakat hukum yang bersih seolah tidak akan berubah selama sistem dan watak yang dimainkan tetap seperti sediakala.

Peran generasi muda pada hari yang dinilai bersejarah bagi bangsa, 28 Oktober 1928, mempunyai satu kesimpulan dan pertalian mata rantai peristiwa bahwa aksi massa yang pernah dimainkan generasi Boedi Oetomo 1908, generasi Sumpah Pemuda 1928, generasi Proklamasi Kemerdekaan 1945, masing-masing adalah periode dimana posisi pemuda menjadi justifikasi atas persoalan riil bangsa dan lingkungan sekitarnya. Peran positif yang disumbangkan generasi muda dalam Sumpah Pemuda dijadikan sebagai langkah awal (starting point) bagi generasi muda dalam penyatuan langkah menuju kehidupan bermasyarakat yang bersatu dan bermartabat. Aksentuasinya tentulah pada kesamaan landasan berpijak bagi normalisasi kehidupan bermasyarakat yang damai sejahtera, yang melintasi batas-batas entitas etnis dan agama, seperti telah dibuktikan generasi tahun awal.

Kehadiran generasi muda, sebagaimana disinggung Taufik Abdullah, bukan semata-mata gejala demografis, tetapi juga sosiologis dan historis. Ia memandang generasi muda tidak gisi sebuah episode generasi baru dalam sebuah komunitas masyarakat, tetapi merupakan subjek potensial bagi sebuah perubahan pada komunitas itu sendiri. Di tangan kitalah masa depan bangsa dan negara Indonesia.

Tokoh-tokoh pemuda yang telah menjadi bagian dari kemerdekaan Indonesia seperti Mohammad Yamin (Jong Sumatranen Bond), Amir Syarifuddin (Jong Batak), Senduk (Jong Celebes), J. Leimena (Jong Ambon), adalah peserta-peserta aktif dalam melahirkan Sumpah Pemuda. Peran dan peranan mereka pada masa awal kemerdekaan adalah menjadi harapan dan tumpuan sepenuhnya kemerdekaan bangsa ini.

Mengingat kembali tragedi dan penderitaan masa lalu sama dengan mengoyak luka lama dan membubuhkan garam ke dalamnya. Akan tetapi, Th. Adorno mengatakan bahwa ingatan kolektif akan penderitaan justru merupakan sebuah keharusan imperatif. Bukan saja agar kekejaman sebagai sebuah tragedi historis itu tidak boleh terulang kembali, akan tetapi lebih dari itu ingatan kolektif justru menjadi sebuah jalan sejarah pembebasan dan sarana emansipatoris. Ingatan kolektif itu berkaitan erat dengan kerinduan, kegelisahan, dan harapan akan masa depan yang lebih baik.
Memaknai

Sebuah bangsa terbangun dari ‘anggitan-angggitan’, kata Goenawan Muhamad, atau dalam terma Benedict Adderson sebuah bangsa adalah imaged commmunity. Bayangan-bayangan yang berpendar dari latar belakang kemanusian yang multi itu kemudian membentuk sebuah bangunan kesatupahaman dan kesaturasaan yang menganggit sebuah bangsa dengan tambal nasionalisme. Bayangan ini sangat tepat untuk Indonesia, sebuah negara-bangsa (nation-state) yang terbanguhn dari kekompakan budaya.

Karena aneka ragam sokongan budaya dan agama yang telah membentuk keutuhan negeri ini maka satu hal yang tidak boleh dilupkan adalah potensi dan basik kedaerahhan yang kita puntai sendiri. Di tengah pencaharian identitas nasionalisem yang sedang marak ini, apresiasi terahadp kekyaan lokal adalah sebentuk realitas yang dengan sendirinya mengejwantahkan sporot nasionalime itu.

Sutan Takdir Alisjahbana di masa mudanya pernah mengatakan bahwa wujud nasionalisme bagi bangsa Indonesia adalah dengan apresiasi dan penghargaan yang dominan bagi kebudayaann daerahnya masing-masing. Mencermati dinamika kebudayaan ini, menarik mengutip Fuaf Hassan, bahwa dinamika kebudayaan bukan merupakan proses singkir-menyingkirkan apa yang lama dan kemudian menggantinya dengan yang baru.

Dinamika kebudayaan merupakan penjelmaan dari pertentangan antara dua daya, yaitu daya pelestarian (preservative) dan pengembangan (progressive). Dengan demikian kita perlu mencurahkan perhatian ihwal kebudayaan, yaitu mana yang perlu dilestarikan dan bagian mana yang perlu dimajukan. Kecerobohan kita terbukti di sini. Masyarakat berambisi bagaimana kebudayaan kita harus dimajukan semua demi menyelaraskan dengan perkembangan zaman.
Memaknai Indonesia adalah memaknai lokalitas itu sendiri. Karena konsep Indonesia adalah konsep yang abstrak sebelum kita memahami konsep konkrit kedaerahan yang kita punyai.

Salam.... Bangkit.....

Tidak ada komentar:

A Musthafa A Rodhi Murtadho A Wahyu Kristianto A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Wachid BS Abdullah al-Mustofa Abdullah Khusairi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimanyu Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Maulani Adek Alwi Adhi Pandoyo Adrian Ramdani Ady Amar Afrizal Malna Agnes Rita Sulistyawati Aguk Irawan Mn Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Subiyakto Agus Sulton Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahm Soleh Ahmad Farid Tuasikal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Luthfi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadie Thaha Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rasyid AJ Susmana Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander Aur Alexander G.B. Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Rif’an Aliela Alimuddin Alit S. Rini Alunk Estohank Ami Herman Amich Alhumami Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminudin TH Siregar Ammilya Rostika Sari An. Ismanto Anaz Andaru Ratnasari Andhi Setyo Wibowo Andhika Prayoga Andong Buku #3 Andrenaline Katarsis Andri Cahyadi Angela Anies Baswedan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Sudibyo Anton Wahyudi Anwar Holid Anwar Siswadi Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Zulkifli Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayu Utami Azyumardi Azra Babe Derwan Bagja Hidayat Balada Bandung Mawardi Bayu Agustari Adha Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Bernadette Lilia Nova Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Bhakti Hariani Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budi Winarto Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Bustan Basir Maras Camelia Mafaza Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cecep Syamsul Hari Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Choirul Rikzqa D. Dudu A.R D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Dantje S Moeis Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Darmanto Jatman Dedy Tri Riyadi Delvi Yandra Denny JA Denny Mizhar Dewi Anggraeni Dian Basuki Dian Hartati Dian Sukarno Dian Yanuardy Diana AV Sasa Dinar Rahayu Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi Warsidi Edy Firmansyah EH Kartanegara Eka Alam Sari Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil Amir Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Evan Ys F. Budi Hardiman Fadly Rahman Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fani Ayudea Fariz al-Nizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatkhul Aziz Felix K. Nesi Film Fitri Yani Franditya Utomo Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Garna Raditya Gde Artawan Geger Riyanto Gendhotwukir George Soedarsono Esthu Gerakan Surah Buku (GSB) Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Tri Atmojo H. Supriono Muslich H.B. Jassin Hadi Napster Halim H.D. Hamberan Syahbana Hamidah Abdurrachman Han Gagas Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Priyatna Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasan Junus Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Helwatin Najwa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendriyo Widi Ismanto Hepi Andi Bastoni Heri Latief Heri Listianto Herry Firyansyah Heru Untung Leksono Hikmat Darmawan Hilal Ahmad Hilyatul Auliya Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur Husnun N Djuraid I Nyoman Suaka Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilenk Rembulan Ilham khoiri Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Budi Santosa Imelda Imron Arlado Imron Tohari Indiar Manggara Indira Margareta Indra Darmawan Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ingki Rinaldi Insaf Albert Tarigan Intan Hs Isbedy Stiawan ZS Ismail Amin Ismi Wahid Ivan Haris Iwan Gunadi Jacob Sumardjo Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean-Marie Gustave Le Clezio JJ. Kusni Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Julika Hasanah Julizar Kasiri Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kadir Ruslan Kartika Candra Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Ketut Yuliarsa KH. Ma'ruf Amin Khaerudin Khalil Zuhdy Lawna Kholilul Rohman Ahmad Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Krisandi Dewi Kritik Sastra Kucing Oren Kuswinarto Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lenah Susianty Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto M Shoim Anwar M. Arman A.Z. M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Harya Ramdhoni M. Kasim M. Latief M. Wildan Habibi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria hartiningsih Maria Serenada Sinurat Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Marsus Banjarbarat Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masriadi Mawar Kusuma Wulan Max Arifin Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Mezra E. Pellondou Micky Hidayat Mihar Harahap Misbahus Surur Moh Samsul Arifin Moh. Syafari Firdaus Mohamad Asrori Mulky Mohammad Afifuddin Mohammad Fadlul Rahman Muh Kholid A.S. Muh. Muhlisin Muhajir Arifin Muhamad Sulhanudin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Azka Fahriza Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Nafi’ah Al-Ma’rab Naskah Teater Nezar Patria Nina Setyawati Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noor H. Dee Noval Maliki Nunuy Nurhayati Nur Haryanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurudin Octavio Paz Oliviaks Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pamusuk Eneste Panda MT Siallagan Pandu Jakasurya PDS H.B. Jassin Philipus Parera Pradewi Tri Chatami Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R Sutandya Yudha Khaidar R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rahmat Sutandya Yudhanto Raihul Fadjri Rainer Maria Rilke Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridha al Qadri Ridwan Munawwar Rikobidik Riri Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rizky Andriati Pohan Robert Frost Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Romi Febriyanto Saputro Rosihan Anwar RR Miranda Rudy Policarpus Rukardi S Yoga S. Jai S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Gerilyawan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra SelaSastra ke #24 Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Subhan SD Suci Ayu Latifah Sulaiman Djaya Sulistiyo Suparno Sunaryo Broto Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunudyantoro Suriali Andi Kustomo Suryadi Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Susilowati Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Bahri Syam Sdp Syarif Hidayatullah Tajuddin Noor Ganie Tammalele Tan Malaka Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Tengsoe Tjahjono Th Pudjo Widijanto Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Joko Susilo Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Umar Kayam Undri Uniawati Universitas Indonesia UU Hamidy Vyan Tashwirul Afkar W Haryanto W.S. Rendra Wahyudin Wannofri Samry Warung Boenga Ketjil Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Web Warouw Wijang Wharek Wiko Antoni Wina Bojonegoro Wira Apri Pratiwi Wiratmo Soekito Wishnubroto Widarso Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Wing King WS Rendra Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yosi M. Giri Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Yuyu AN Krisna Zaki Zubaidi Zalfeni Wimra Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhaenal Fanani Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar Zulhasril Nasir