Sabtu, 30 Agustus 2008

NatURalis ELementer

Nurel Javissyarqi
http://www.sastra-indonesia.com/

Waktu-Waktu Yang Digaris Bawahi

Setelah beberapa waktu perjalankan tubuh keliaran imaji menerka kejadian lalu di sekitar pengembaraan, sebagai mata uang lain selain membaca buku. Persoalan terfokus di satu titik perasaan, kejadian obyektif bagi bahan pengulangan demi meyakinkan observasi mencapai tangga lebih tinggi, lompatan menuju dunia ide.

Wewaktu digaris bawahi itu masa-masa bukan berdasarkan luangnya waktu semata atau menggebunya aktivitas terselesaikan tidur. Wewaktu merupakan barisan masa teruntuk kedekatan realitas membaca wacana berupa rindu kenangan.

Perolehan gesekan tajam yang bukan berangkat dari hati memendam hasutan. Tapi kepaduan penyelidikan berkesadaran menerima situasi demi bahan banding menjadi pelengkap niat menuju keteguhan.

Ketakutan bertindak berjalan melewati tulisan ialah tidak beralasan atas bahayanya jaminan kwalitas. Sebab hasil pengembaraan belum sampai terjual jika durung diperdagangkan serupa pencerahan.

Kita tak perlu berhitung matemastis akan gairah kesempatan atas kesepakatan keberanian melangkah. Bukankah perasaan menandaskan perbedaan, jika dimasukkan jenjang keterjagaan, merawat ingatan demi denyutan gairah waktu digaris bawahi.

Itu momentum ketepatan rasa menjelma formula. Bagaimana pun lemahnya yang digaris bawahi tetap terlahirkan. Walau persoalan mutu sebuah pengakhiran patut diterima demi lantasan selanjutnya.

Wujud yang dimaknai berasal kehalusan pekerti atas bertugasnya kalbu berdenyutan gelombang ke pantai. Suatu warna dirawat halus mencipta bunga menawan, menggiurkan anak nelayan bermata pandang pengetahuan.

Kita kembara tak habis selesai, terus mengevolusi diri ke wilayah esensial demi perjamuan akhir malam bertautan ruh. Kesadaran melewati batas titian harus diperjalankan mencapai warna ganjil tempaan. Tidakkah yang miris di hati jua pernah bersarang dari realitas sosial?

Kalau menilik kurun waktu manunggalnya keabadian karya, akan terketahui tak seberapa kalimah di buku-buku tiada lain jalan biasa, pengulangan yang memberi secumput sumbangsi. Jika gemuruh dada tak membuka lebar-lebar kemungkinan lain dari waktu-waktu digaris bawahi.

Saya ajak saudara ke wilayah dipersuntukkan diri dari beberapa kebersiapan naluri menarik pengembaraan empiris yang didealektik bersama nalar telah ada. Membaca satuan masa, guna perimbangan materialis-eksistensialis, soasialis dan naturalis.

NatURalis ELementer

Sebelumnya biarkan saya tertawa berbahak, agar racun keegoisan menguap melewati pencernaan jiwa dalam menggagas ini ke muka. Teknik keberlawanan berusaha mengikis kebahagaian temuan kebablasan, agar nanti tidak mengalirkan racun yang dimulai mentahnya perolehan masa-masa.

Terus terang saya geli menceritakan pendapatan ini, serupa saat-saat mengintip soal besar lewat beberapa jari tangan menyilang. Atau diri ini sedang malu-malu sebagai bahan pokok kalau nanti dipersoalkan.

Tidaklah gampang meruncingkan keadaan tanpa melewati tahan tertentu seperti kerja dipaksa tidak mengindahkan kesakitan, al hasil jadi bahan tertawaan. Tapi seberapa lama garis tawa menuju keseriusan. Detik-detik persamaan itu, mutu gagasan tak menjadi guyonan, namun menjelma guyuran sejuk atas keringat diperdalam merasai keseriusan.

Lelembaran terbangun ini mata rantai yang mudah dijabarkan lewat berlainan warna, ketika senaturalis elementer. Memang benar suatu konsep takkan komplit kalau tak direalisasikan, maka berangkatlah berkaki-kaki kesadaran nyawa.

Manusia dipersipkan sebagai makluk sempurna bersegala ingatan-kelupaan menuju kesadaran terawat menjelma terkuat menjalani hari-hari terus bertambah. Sejarah berulang dan pengejaran akan bayang tak pernah sampai kecuali ke titik kulminasi, drajad penyeimbang kendali sumbu yang dikeluarkan dari sikap optimis.

Pelajaran meningkatkan pendewasaan diri terbuka atas angin selatan-utara, timur barat jadi zaitun berkembang, berbunga di taman peradaban. Mengambil saripati beda pendapat atas dialektika positif yang berangkat dari naluri bodoh diawalnya.

Kita ambil unsur perubahan yang tampak sanggup mengendalikan suatu waktu, sebab telah banyak kecelakaan terjadi atas fanatisme, hati tak membangun rasio perasaan. Ini terpetik demi mencapai kedudukan yakin akan naturalis elementer; pembelajaran beberapa kasus kegagalan, ditarik ke dalam dada pencerah, bukan melewati ruang-waktu sama yang tak patut digaris bawahi.

Sebab suatu proses bagaimana pun kemiripannya tetap memiliki perbedaan pun persamaan gandanya mempunyai sifat berbeda. Ini patut diselidiki jauh ke dalam, bahan sudah ada dijadikan penyeimbang, meski membangun daya di garis tengah amat was-was menegangkan.

Batas Genius dan Goblok

“Dunia seperti baru saja terbentuk, sehingga banyak benda belum mempunyai nama dan untuk menyatakan benda-benda itu, kita harus menunjukkannya” (One Hundred Years of Solitude, G.G. Marquez).

Kabut mitos itu jawaban tak mematikan. Berada di ruang tinggi diselimuti lamur pegunungan, diterangi cahaya imaji berpelangi pengertian bagi memperhatikan.

Tidakkah kepastian konsep kenyataan kongkrit yang diadakan dari konstruksi pemikiran pun asumsi banyak orang seperti uap menggapai realitas, diterima sebagai kepastian. Meski dalam kurungan definisi kelompok masyarakat, namun terus mengevolusi mengupas keberadaannya sampai kenyataan tidak terbantah.

Mitos diperankan orang-orang bodoh yang tak mau menyebut suatu tanda dijadikan nama. Berangkat dari orang gigih mencari kebenaran hakiki, dengan tak langsung percayai meski kebenaran umum. Ia memiliki mata kecurigaaan tajam, perasaan peka bisikan kalbu yang dikelolah jiwa tangguh menghadapi terpaan gunjingan.

Penolakan dengan menuntut alasan semula keyakinan dibalik. Dibalik kemungkinan tersembunyi, ada keharusan ditempatkan, meski dilain masa tersapu mundur keberadaannya. Sebab pola di sekeliling mengharuskan satuan sikap konstruktif.

Olehnya mitos itu musuh penampakan rayu sebab pemilik jiwa sanggup memitos, mengetahui permukaan bedak, jika disinari cahaya keremangan senja atau waktu sempit ditentukan malam. Mitos dimaksudkan membuang undang-undang kepastian diganti pertimbang elastis, sinaran imbang mengelupas bedak perayu lewat akalan.

Di bagian terpisah, orang pintar menandatangani penemuanya dengan penghakiman selera yang tampak menyamaratakan sakit. Pengkotak wilayah demi kemajuan yang katanya membawa merata. Namun yang terjadi penindasan terus bertabrak jungkir balik. Saling tumbuk atas selera masing-masing di segenap wacana perdagangan, gerakan pencarian prestasi yang berangkat dari gengsi dan habis oleh kesia-siaan.

Benar jika peraturan diberlakukan akan baik, membebaskan persoalan. Tapi apakah benar seluruhnya jika salah satu cabang aturan mulai dilenakan? Akan merambat ke puncak hitungan pengelabuhan undang-undang, semisal menampakkan selera humor, padahal sedang tidak dalam keadaan senang.

Tidakkah ketika bungkus bermain sugesti berperan, padahal nyatanya demi merayu pendengar yang ringan tangan bertepuk tangan. Sebab para pesaksi itu dari lahir otaknya tidak digerakkan. Lalu saya bertanya pada pembuat aturan: “Apakah kau bangga menjajah masyarakat?”

Tetap saja kau mengekspoitasi, meski hati kecil punya rasa malu atas kebodohan berpakaian genius. Lagi-lagi saya cuplik kalimat Marquez dari One Hundred Years of Solitude: “Seseorang takkan terikat pada suatu tempat sampai ada yang meninggal dan dikubur di sini, di tanah ini.”

Saya teringat kematian Socrates di taman pengetahuan. Kematian yang dipaksa menancapkan tanda, lalu diusung ke mana saja hingga semua orang dilewatinya mempercayai.

Di kedalaman hati saudara saya bertanya: “Apakah kenyataan sesungguhnya itu di ujung kenyataan badan, dalam kenyataan fikiran?“

Di sini saya tak ingin jawaban langsung bertubi-tubi apun mengendap. Saya ingin itu kau simpan demi temukan kepastian. Perubahan yang teralami akan menuntun pada jawaban sebenarnya.

Akan sampai ke puncak keseriusan, meski tak di bangku kuliah. Kau selalu merawat rindu demi kepastian diri. Inikah watak genius, para pemitos yang tak sengaja mencipta atas pantulan pesona dirinya. Kenyataan paling esensial perubahan, mengedepankan perasaan menjelajahi fikiran sehatnya lagi jernih tanpa polusi.

Saat menerima mendekati ambang kegilaan, telah kenyang bacaan sewaktu jemari kelelahan menulis persoalan, saat itu memahami batas nalar pekabutan mitologi. Kelelahan, bosan, suntuk, itu struktur rumah atas bangunan rasio. Saya hindari persoalan itu dengan berbagai pola untuk mengurangi, menahan jangan sampai gejala tubuh psikis menggerogoti kalbu, meski sehalus perembesan.

Ada saatnya istirahat atas lelah, namun tak harus demikian menyikapi lingkungan jiwa. Seringkali orang takut kematian, kala itu sebenarnya takut hidup, hakikat jiwanya telah mati. Sebab ketakutan serupa malaikat mengundat pencabutan nyawa. Tatkala itu kau tengah di puncak kenyataan antara hayal logika meruapi melodi kuat menempuh tangga kesejatian. Daerah kepastian terhadapi yang tak memerlukan tumbal, tapi sanggup membuat keyakinan.

Atau orang-orang rasional yang berada di tengah perjalanan, masih bimbang meneruskan lalu tergiur pulang. Lantas mengambil kesimpulan di tengah jalan sebagai jawaban. Sebuah sikap pengecut tak mau membentur perasaan yang membuat berkecamuknya fikiran. Persimpangan mencekit tenggorokan, tak miliki keyakinan datangnya setetes hujan. Sebab itukah kau menganggap tidak logis (?).

Meski seringkali orang-orang genius melewati hari-harinya menemukan keajaiban, tapi tidak memandangnya keajaiban. Katanya itu hal lumrah, namun kenapa tidak melogikakan lebih berani seksama. Apakah hawatir dibilang tidak konsisten atas gagasan semua sedari daya fikir kelewat?

Saya sebagian orang-orang bodoh menerangkan. Apakah itu kepintaranmu dan kau tak mampu berbicara jauh tentang aku, sebab dibatasi kecerdikanmu. Seperti hakim mempelajari kasus, tapi tak berada dalam persoalannya. Sejenis orang menghitung hujan yang tak mau kehujanan. Sedang aku bersama yang lain kehujanan menghitungmu kedinginan berselimutkan ketakutan di rumah keangkuhan.

Keangkuhanmu tidak menerima bahwa kau dungu yang membuatmu lebih dungu. Hanya sekali ini saya masuki urusanmu atas balasanmu terlalu, telah mencampuri persoalan kesunyianku. “Orang baik berangkat dari kedunguan, orang jahat berangkat dari kepintaran.” Itulah yang kuberikan, wahai yang pintar di tengah-tengah bangsaku. Yang kau anggap tak memiliki keyakinan ilmu.

Inilah batasan timur-barat, namun saya tak berada dalam satu sisi. Kami berada di tengah kalian, setelah mengetahui pemikiran barat perasaan timur. Saya yang kau anggap tak miliki pendirian, padahal teguh di tengah. Lalau kau bertanya: “Kenapa kau geser tempat dudukmu, sedang kau sejatinya berada di timur?” Saya jawab: “Itulah yang kau lihat dari jarak kepintaranmu, pun yang lain menganggap saya kanginan kebarat-baratan.”

Saya berusaha sepohon zaitun, jasadku dari timur atau mungkin pemikiranku dari barat, namun hatiku di tengah kalian yang berseteru. Saya harum kembangkan ini agar berdamai, meski kata kalian tak mungkin. Itulah yang kau lakukan, membuang kemungkian demi keuntungan menggencet pihak lain, sehingga hatimu tak berada di tengah sebagai nilai kemanusiaan lestari.

Sampai batas ini, kalian kudu berani menanggalkan keinginan meminum untuk menghilangkan kelelahan, sebab perjalanan masih jauh. Dinaya mengusir haus, sanggup melupakan rindumu menemukan ambang keadilan. Tidakkah ketika beban bertambah, tambah pula kekuatan?

Kamis, 28 Agustus 2008

Perjuangan Mengangkat Sastra Pinggiran

Musfi Efrizal

Puisiku bukan batu Rubi ataupun Zamrud, Puisiku adalah debu, namun debu Karbala (Fuzuli, 1556)

Sastra jurnal memang jarang diperbincangkan oleh masyarakat pengkaji dan penikmat sastra. Hal ini dikarenakan sastra lebih populer lewat media koran atau buku (baca : sastra koran dan sastra buku). Tidak mengherankan jika muncul pernyataan “jangan sebagai seorang pengarang/pujangga/penyair apabila karyanya belum dimuat di koran”. Hal ini jelas sangat mendeskreditkan sekaligus melecehkan beberapa penulis yang berada di daerah pedalaman atau pinggiran.

Polemik sastra kota dan sastra pinggiran memang sempat didengungungkan, namun yang penting untuk disoroti adalah kualitas karya yang dihasilkan. Sastra pinggiran dengan segala kekurangannya bukan berarti kualitasnya rendahan, pun demikian meskipun sastra kota dengan segala hal yang dapat dijangkaunya dan didukung oleh upaya saling mengangkat nama di antara para penulis belum tentu karya mereka berkualitas.

Jurnal Kebudayaan The Sandour yang sudah menerbitkan edisi III merupakan salah satu upaya untuk mengangkat sastra pinggiran tersbut. Sarat lelah letih kadang memang harus dirasakan untuk mengais remah-remah karya para penulis kecil yang tidak pernah bermimpi karyanya akan dipublikasikan apalagi sampai dibukukan meskipun lewat jurnal.

Secara garis besar Jurnal Kebudayaan The Sandour edisi III ini dipilah menjadi lima bagian. Bagian pertama memuat puisi, puisi-puisi yang ditampilkan yaitu karya dari Budhi Setyawan, Raudal Tanjung Banua, S. Yoga, Kirana Kejora, Alfiyan Harfi, Jibna Sudiryo, Dadang Ari Murtono, Saiful Bakri, Suyitno Ethexs, Jr Dasamuka, Dody Kristianto, Ach. Muchtar Ansyori, dan A. Ginanjar Wilujeng.

Bagian kedua memuat esai dari Hamdi Salad, Gugun El-Guyanie, Y. Wibowo, Fahruddin Nasrullah, Liza Wahyuninto, Achmad Muchlish Amrin, dan Sri Wintala Achmad. Bagian ketiga berisikan cerpen dari naskah Hardjono WS, Azizah Hefni, A. Rodhi Murtadho, dan Salman Rusydie Ar.

Bagian keempat adalah halaman khusus yang dipersembahkan untuk mengenang KH. Zainal Arifin Thoha (5 Agustus 1972-16 Maret 2007) dan KRT. Suryanto Sastroatmodjo (22 Februari 1957-17 Juli 2007) yang diberi topik In Memoriam Suryanto Sastroatmodjo yang ditulis oleh Herry Lamongan. Dan bagian terakhir pada jurnal ini memuat novelet dari Suryanto Sastroatmodjo.

Memang sengaja ada penulis-penulis kenamaan yang diambil naskahnya untuk disejajarkan dengan beberapa penulis lokal. Selain sebagai motivasi juga untuk menghapuskan senioritas dalam sastra. Tidak ada istilah sastrawan junior, tidak ada sastrawan senior, bahwa semuanya ditentukan oleh kualitas karyanya.

Jurnal Kebudayaan The Sandour edisi III ini juga bercerita perihal miskinnnya kritikus sastra di Indonesia. Di tengah karya sastra yang terus membludak, tidak ada kawalan dari para kritikus sastra yang akan menilai dan membuatkan genre-genre terhadap karya-karya yang dihasilkan. Akibatnya, Indonesia kaya akan sastrawan, kaya kaya sastra tapi minim kualitas. Hal ini dituturkan oleh Liza Wahyuninto dalam esainya yang bertajuk “Kritik “Sakit” Sastra Indonesia”.

Jurnal Kebudayaan The Sandour ini cocok dibaca bagi kalangan manapun, dan dikhususkan bagi pengkaji sastra (baik komunitas sastra maupun akademisi sastra), pegiat budaya dan pelajar yang menginginkan literatur baru mengenai sastra, terutama berkenaan dengan sastra pinggiran.

Judul: Jurnal Kebudayaan The Sandour
Dewan Redaksi: Nurel Javissyarqi, dkk.
Edisi: III, 2008
Halaman: 155 Halaman
Penerbit: PUstaka PuJAngga & Forum Sastra Lamongan
Peresensi: Musfi Efrizal*)
dijumput dari http://koranpendidikan.com

Senin, 25 Agustus 2008

RAS PEMBERONTAK

Persembahan buat almarhum Zainal Arifin Thoha, Suryanto Sastroatmodjo, serta kawan-kawanku semuanya.
Nurel Javissyarqi*

Pembuka
Ini luapan kesemangatan luar biasa tentang hidup. Buah berkah yang harus disyukuri, dijalankan sebagai kerja kudu cepat melaju, keras lagi tangguh dalam pertahanan. Saya sebut ras pemberontak itu, tandingan dari sifat kelembekan yang selalu menjegal langkah-langkah lincah kita saat berlari.

Ialah gairah besar harus diledakkan kecuali ingin datangnya bisul lebih parah lagi. Bisul itu pemberhentian tidak nyaman juga sangat menyakitkan. Maka songsonglah sebelum datangnya sakit menyerang. Kita diadakan sebagaimana ada, dan terus hadir di segala jaman dan sejarah kemanusiaan. Tanpa kita dunia bengong, pikun, melempem, lumpuh, apalagi ditambah laguan melemahkan jiwa, atas dasar nilai-nilai mandul.

Marilah melancarkan jawab, sebab hanya kita yang bisa menjawab persolaan yang menghadang, oleh telah diberi limpahan kemampuan lebih di atas mereka yang enggan berjuang. Kaki-kaki ini langkah prajurit tidak kenal siang-malam, tidak peduli ilalang pun duri-duri mengancam. Semua menjadi lunak saat mengetahui situasinya. Maka rebutlah peta, kita jabarkan kepada ras yang mulia. Di sana ada titik-titik harus dikuasai, semua akan dimengerti jika segera beranjak dari kursi. Manfaatkan segala rasa demi perasaan ke luar, kita tebarkan bius untuk melucuti hasrat keinginan tanggung, sebab itu pengganggu.

Kita tidak membedakan warna kulit atau asal suku, suatu bangsa, lewat melihat wajah masing-masing dalam perkumpulan, tentu sanggup mengenal, membedakan. Kita paling cemerlang dan menjadi perhatian orang-orang yang tidak percaya diri. Kita singkirkan semuanya yang sekadar jual tampang tanpa isi. Kitalah diri, bukan sekumpulan preman tanpa perhitungan, lebih di atas segala sesuatu yang pengancam nilai-nilai rendah.

Marilah naik lebih tinggi, dengan ketinggian kita bisa menghimpun kekuatan, sayap-sayap kita rentangkan, kekuatan muda benar-benar mengalirkan darah kita. Senantiasa bergejolak dalam segenap situasi, terus menjadi yang pertama-terkemula di setiap penelitian. Kita awal dan akhir pertunjukan di muka bumi. Tanpa kita dunia kosong melompong.

Jangan sampai anak-anak kita buta nilai huruf, ini kesalahan ras kita yang lain di masa lalu, di masa perang sedang bergolak, carilah sendiri siapa itu. Kita harus lebih lihai dari para pengecut atau anak-anak pecundang. Darah kita telah dijanjikan kemenangan, jikalau benar sabar dan teguh dalam memperjuangkan pendirian. Perlu juga menghitung tarikan nafas, agar yang keluar tidak sia-sia di tengah pertempuran.

Aturan sedemikian padat itu hasil luapan menggelora. Menancapkan keyakinan sedalamnya, agar ras mulia tidak luput menjadi tanggung. Olehnya, jangan berjalan mundur, lebih baik berlayar ke samping jika angin kencang membahayakan jiwa. Tetap menuju pada yang teryakini, tercita-citakan menghimpun kekuatan dari ras-ras pemberontak.

Hujan teman kita, gemuruh badai guruh dan panas semangat keluar sedari warangka berita wacana nalar-nalar kita. Sebab itu teruskanlah menggabungkan segala ungsur kalau tidak mau disingkarkan saudara yang lain. Saat itu tidak lagi memegang ras kita, darah yang mulai, darah berontak. Mati-hidup kita tidak lagi berkeadaan penasaan, apalagi menciptakan teka-teki membingungkan.

Kita membawa keterbukaan juang bagi semua. Terbuka dan selalu membuka diri, dengan itu kita dapat menyelidik lebih jauh topeng-topeng yang dipakai para pengecut. Kita singkirkan satu-persatu agar tidak mengacaukan suasana persidangan, sebuah rapat besar membahas perjuangan ras kita di muka bumi.

Biarkan mereka menyebut kita segerombolan penyamun, penyadap atau apa saja tidak mengenakkan telinga. Tetapi tentunya kita yakin; perasaan yang berkata begitu, segera dan saat itu juga tengah bergetar ketakutan oleh kesemangatan kita yang terus memuncak kepada gunung tertinggi. Kita tidak perlu menancapkan bendera di suatu ketinggian, namun tancapkan tanda pada setiap barisan-barisan kita di segala lini pejuangan.

Jikalau mengibarkan bendera kemenangan atau apa saja, orang tanggung segera mengetahui, walau mereka ragu dan takut kalau segera ke sana, kepada kita. Karena itu, pelajarilah kejiwaan para tanggung secara seksana, kita pilih menjadi bagian jika sekiranya mau mengikuti prosesi sejarah besar kita nanti, dan sudah, juga sedang terjalankan kali ini.

Nenek moyang kita para pencipta sejarah dalam seumur hidupnya yang gemilang, tidak pernah keluar dari goa pertapaan. Mari sinauhi keseluruan ilmu, lebih-lebih menyuntuki sebagai hal pelajaran masa, dan terus diperdalam agar benar-benar dalam lingkaran merah keberanian, ras pemberontak. Nenek moyang kita pencetus tatanan hayat di muka bumi yang dirahmati, dayadinaya kita. Ketika dipercaya, manfaatkan semaksimal mungkin, janji harus ditepati. Tidakkah kepercayaan untuk kita ialah harta berlimpah?

Pun harus berani mengorek borok, dengan itu kita mengetahui sejauh dalam dan bodohnya diri ini. Sekali lagi, ras kita keterbukaan, buka pintu lebar-lebar dari semua lapisan dalam mencari inti demi penelitian lebih agung nan mulia. Yang sedang terkerjakan kita suntuki tiap-tiap masa, tidak peduli apakah perut ini terisi atau sedang lapar. Saat luapan terus ternyatakan-teringinkan, dan pernyataan menjelma anak-anak kudu kita rawat, sebab dengan itu ras kita semakin kuat.

Perlu digaris bawahi, kita buang ritual tidak penting, waktu sekadar mengedepankan muka. Jikalau terus maju segera bertemu saudara-saudara yang lain. Nenek moyang kita para pelaku yang sanggup mewarnai sejarah. Dan tidak perlu mencipta hal baru kecuali lebih manfaat maha-mutu. Laksanakan perintah, sebab energi kita berasal dan kembali. Kita tidak perlu mengaku-aku pewaris dunia, saudara tentu mengetahui, sejauh mana diri berjuang demi ras, ras pemberontak yang kukuh pendirian, keimanan.

Sungguh diperhatikan, harus tekun mempelajari kecelakaan-kebodohan, hal itu menghambat sangat perjuangan. Marilah terus mengajarkan kepada anak-anak, tentang perjuangan kelas antara ras kita dengan ras pengecut. Perhatikan juga, jangan sampai mengambil anak dari keturunan pengecut, sebab darah pengecut sangatlah fatal, bisa membinasakan keturunan kita menjadi darah terendah jikalau bercampur dengannya.

Kita harus memberikan perhatian lebih kepada keturunan kita, yang mau keluar dari kepulaun, sebab sejatinya moyang kita para penjelajah. Kita bukan penjajah atau pun penindas ras lain. Kita memegang hukum; siapa berjuang tentu mendapatkan limpahan. Para pengecut mencibir kita, sebab tak mampu melaksanakan perintah bathinnya, darah mengalir di tubuhnya bukan darah berontak atau pencetus, bukan darah juang yang kita rasakan alirannya disetiap saat.

Kerinduan kepada junjungan yang harus diperjuangkan, nenek moyang kita terhormat. Para pemuka peradaban, pencerah segala kalbu menjadi tuntunan umat bersegenap syukur atas perjuangan yang dilimpahkan-Nya. Kita lantunkan tembang-tembang menggairahkan, perjuangan tidak kering nyanyian kalbu yang menggerakkan seluruh pancaran hayat. Melangkah bersegala terus ternyanyikan, berjuang berseluruh tetembangan membahana ke pelosok sejati rasa, segenap hati umat manusia. Itulah tujuan kita, mencipta dunia dengan ras-rasa berontak atas kedirian yang lemah, oleh sifat kebinatangan yang lembek dalam jiwa.

Penerus dan Penebus
Pada bagian pembuka kita mulai mengetahui dari hal-hal kecil terawat, dipelihara dengan kekukuhan menggelora, sedari kegigihan tajam dan terus hingga dinamakan cita-cita, pantaslah diperjuangkan. Dari ringan yang tidak mereka perhitungkan, kita memulai pemberangkatan ini.

Ini berkah dari ketajaman mata bathin yang sanggup mengambil mereka yang abai, yang menganggap kita dungu atau kelewat gila, sebab saat melihat kita dalam berproses. Sementara sudah tidak ada ketika kita telah naik menanjak, karena nafas-nafas mereka telah habis di tengah jalan. Karenanya, aturan pernafasan harus diperhatikan betul, agar tidak ikut terjatuh di tengah jalan atas meremahkan. Kwalitas bukan meremehkan yang lain, kecuali benar-benar tertandakan bahwa mereka benar-benar pengecut.

Tentu saudara mengetahui bagaimana cara membangkitkan jiwa, kala sedang terlena bujuk para perayu, dengan membaca biografi nenek moyang terhormat. Ini bukan pembelajaran tetapi bagaimana terus membangkitkan semangat, tiada saat-saat padam sebelum ruh meninggalkan badan.

Basis kita keimanan amanah yang diberikan tuhan, itulah gelora nyawa bagi penebus kesalahan sejarah dibuat kaum licik, yang mengambil perhatian sejarah dengan hal-hal membingungkan jiwa kedamaian, tidak membawa mangfaat selain dogma tanpa hasana pengajaran indah. Kebangkitan kita, ras pemberontak yang mendiami bumi berkesungguhan, kesuntukan menggebu.

Iktikatnya mengajak seluruh lapisan berjuang, jika menerima menjadi pewaris terhormat, darah pemberontak dari kemapanan merugikan, kita rong-rong para mencipta hutang negara yang berlimpah kebodohan. Darah pemberontak tahu bagaimana mempertahankan hidup, agar tidak ada saat-saat menciptakan ruang meminta-minta sumbangan apalagi berhutang. Sebab telah menebusnya dengan kerja keras terus-menerus. Dan kepasrahan kita maknai dinamis, tidak puas keadaan selain tuhan menimpahkan hal pemberhentian atau mati. Kita sadap yang membuat kita lena, terus maju menumpahkan gelora perjuangan atas ras kita.

Tidakkah saudara sudah membaca buku-buku atas kelas kita? Memperjuangkan martabat kemanusiaan dengan kedudukan semestinya, tidak membedakan warna kulit atau golongan, pun keilmuan apa saja. Kitalah panji-panji penanggung jawab di antara yang ragu-gagu ketakutan atau merasa bersalah karena tidak mau melangkahkan kaki-kaki atas orang-orang tua yang kolot. Kita berdiri mewujudkan piramida gagasan luar biasa.

Kita tidak mencipta menara gading atau patung mengerikan yang sekadar menghipnotis orang lewat, namun kita terus merangsek seangin kencang membuat kendaraan perubahan iklim wacana. Kitalah jalannya perubahan, berkendaraan dengannya tetapi bukan anak-anak perubahan. Kita kendali sang perubahan, mengambil energi-energi terlewati untuk terus merangsek sampai ke pantai damai, ras yang diberkati keringat juang.

Tentu kita sadar, tidak mungkin saling membunuh-menikam, meski itu kejiwaan yang lain. Sadarlah kalau saling bantai serang, kemakmuran dan keberlangsungan ras segera habis. Tidakkah kita butuh saling bahu membahu, mencanangkan kerja besar membuat milinium bagi kejiwaan kita. Tetapi bukan berarti sama-sama kalau tidak ada perlunya. Saudaraku ras berontak, pasti akan bertemu jika gigih memperjuangkan keyakinan yang selalu merawat kejiwaan tunggal bernama tekat, segera berjumpa dalam aura agung, gelora paling tinggi setelah badai hilaf.

Kita sadar, kekuatan kita sering kali terpatahkan alam. Bersekutulah, pergunakan tubuh alam menjadi tameng-tameng, menancapkan pepohonan tegar demi dinding-dinding rumah. Kita bukan sekelompak penebang hutan sembarangan, kita merawat alam, hewan-gemewan bersatu-padu, maka kealamian juang tetap terjaga. Tidakkah dapat mengambil manfaat dari merawat kemungkinan pada permukaan-kedalamannya, menjadikan energi terus menggelora?

Proses menentukan diri ini sungguh-sungguh ras berontak atau tidak. Jangan berhenti di pertigaan atau perempatan. Sebab itu laluan yang bisa membuat kita tersingkir kalau sedang lemas saat menempuh jalan perjuangan. Jika hendak berhenti, masukilah gua keheningan paling sunyi, untuk kembali kepada hakekat sebenarnya, dari awal sebagai insan diberkahi.

Sekali lagi jangan berhenti di tengah-tengah, nanti hilang kedirianmu, dan tidak memiliki pesona lagi di hadapan saudara yang lain juga orang-orang lemah. Jangan dipermalukan langkah sendiri, terus maju dan terus. Inilah kesempatan berharga; nyawa, waktu luang, kesehatan, kekayaan. Saya tidak menyebut jabatan itu kekuatan, kalau tidak meleburkan dirinya sebagi ras kita, berontak.

Dan saling memberi kasih sesama yang ragu kurang pengalaman, sebab hakekatnya ia punya semangat membaja, sekali tarik saja sanggup berlari ribuan mil. Tentu kita bisa membedakan orang ragu karena takut, atau sungkan kepada pendahulu yang gelap, dengan ragu sebab sifat alamiah pemberontakan belum terbuka.

Kita wajib membuka kran-kran yang lemah, agar alirannya menggelinjak deras, dengan itu kekuatan ras semakin berlimpah, tenaganya tidak terdeteksi kecuali oleh kedirian yang lain, mawas diri atas langkah tertempuh. Memangfaatkan perubahan masa kecondongan gerak matahari, dengan kefahaman itu tidak lagi dalam kerangka ruang-waktu, kita merangsang bersegala pola-pola pergerakan, sehingga lebur sebab kita ialah tubuh dari perubahan, angin pencerahan, daulat kasih sayang kesungguhan cinta.

Kefahaman lingkungan perlu dibicarakan lebih dalam, dengan itu tidak dikuasai perubahan. Namun sebelum meleburkan ruang-waktu, kita harus jeli menyelidik, belajar tekun atas gejala agar tidak kecelik kalau mengetahui perubaan tubuh atau proses kreatif yang begitu menanjak bergelora. Tidakkah sering merasakan keberhasilan, dengan itu jangan terus terlena tipuan menghanyutkan diri, kita harus hati-hati menterjemahkan kejiwaan hasil, tidak perlu ragu merevisi jiwa-jiwa yang tidak baik demi tonggak lebih mapan lagi tangguh.

Anggap saja capaian itu sekadar gula-gula yang segera habis di tengah laluan kala mengunyah. Tandas nikmat selesai hingga tidak tergiur balik serupa. Tergerak kebaharuan, perawatan bidang kita teliti menarik sebagai tambahan energi. Pun pula diperhatikan meski diberi dayadinaya belimpah kudu merawatnya. Bukan kelompak kita yang memiliki sifat meremehkan, meski persoalan kecil-kecil. Saya tegaskan, jangan sekali-kali berdiskusi dengan yang memiliki jiwa-jiwa pengecut, itu musuh utama ras kita.

Ini bagian penerus-penebus, sebab moyang kita ada yang bekerja belum selesai bukan sebab apa, lantaran umurnya diambil yang Kuasa. Ia bukan manusia manja lingkungan, tidak ongkang-ongkang kaki kidungan melenakan yang kita anggap suatu kengerian. Cengeng, putus-asa ialah hal yang patut dipelajari agar sang jiwa tidak masuk ke jurang terdalam. Sekali saja terjadi akan ketagihan, sebagaimana kita lihat orang-orang cengeng terus merengek di ketiak si tuan atau ibunda kesambillauan.

Keseluruhan saya terangkan di atas, demi terkembang sebagai hal kebaharuan yang terus menerus kita tingkatkan. Tidak akan berhenti meski usia sudah lanjut, sebab hakekat kelemahan ialah usaha kita yang tidak sungguh, kecuali tuhan memprotoli kelebihan itu, saat ketuaan merambati tubuh, tetapi kejiwaan kita terus menggelora seharusnya. Ini hadiah bagi ras kita, ras berontak. Semoga kita bisa mempelajari lebih tinggi lagi dalam, berdiri sejajar dengan nenek moyang kita yang terhormat.

Bermain dalam Keseriusan
Tentu saudara mengetahui bagaimana tradisi permainan kita, melemparkan kartu-kartu kecil untuk mengelabuhi musum-musuh. Kita persiapkan perjalanan panjang tersebut dengan sekumpulan tenaga besar, sebab nantinya kita ciptakan karya-karya percobaan. Semakin mengerti pengalaman berperang, menambah faham situasi medan pertempuran.

Mangfaatkan nyawa rangkap kesungguhan, ketidakmaluan serta gunakan energi yang tidak kenal lelah, terus mengejar yang bersenyum meremehkan di atas kasur air. Kita anak-anak pinggiran kali di luar pagar, tersisikan, tetapi bukan itu lantas hanyut pertemuan arus. Tidakkah percaya, kitalah sang duta perubahan. Dengan berada di luar pagar dapat bermain seenaknya, seideal-mungkin. Biarkan mereka terbawa arus masa, tentu kita bisa mengetahui sejauh mana musuh-musuh berlari.

Mereka tidak akan tahu kapan kita menciptakan ledakkan di samping telinga di depan mata publik. Sekiranya ledakan kurang besar atau tidak berarti apa, tentu kita tidak perlu malu, dan menghimpun balik daya cipta lebih dari sebelumnya. Dengan senantiasa mengawasi musuh-musuh, celah-celah bagaimana bermain dengan permainan kita, di medan mereka atau tidak jelas waktunya.

Yang faham hakekat waktu-waktu kita, hanyalah golongan kita dan mereka tidak mengerti kapan kita menciptakan dan meledakkannya, sebab mereka disibukkan permainannya. Ini harus dimanfaatkan, menarik massa sebanyak-banyaknya dari kalangan kita, lalu merambat di pinggiran kota. Setelah massa lapisan bawa telah menjadi persekutuan, tidak harus lagi mendatangi, tetapi tentu mereka segera mengunjungi panggung milik kita berjubel massa.

Serta jangan sampai ada penyusup datang mengacaukan panggung, meski juga tidak berani. Kita jangan segan menghakimi pengacau di atas panggung, sebab apa yang terbangun ialah milik kita sendiri, berasal dari kesemangatan kerja. Jikalau sekiranya mereka ingin masuk lingkaran dan mengikuti arah, kita beri jalan terbuka. Dan semakin lama lingkaran api unggun melebar, terus membesar, maka sebaiknya menciptakan lingkaran lagi di kota-kota besar, dengan itu bisa lebih punya nafas rangkap, jikalau mereka suatu masa berhasrat menumpas kita.

Lewat beberapa lingkaran kita buat, unsur-unsur ras kita, bertambah lama semakin tidak diabaikan, menjadi ancaman besar yang berpangku tangan melihat kita dengan kesinisan. Kita tahu debu-debu kita tidak mungkin masuk ke ruang-ruang elit, sebab terhalang kaca-kaca tebal. Tetapi tidakkah mereka pasti keluar jalan-jalan? Jalan pulang? Dan melihat lingkarang kita makin membesar, dan yang semakin banyak itu.

Kita ialah massa riel sebab lintasan kita selalu di jalan-jalan, massa kita telah mengetahui sejauh mana langkah dengan keyakinan itu. Kita tunjukkan sejauh ketepatan menang dari massa mereka sekelumit tidak jelas, yang mereka gembar-gemborkan selama ini sekadar nama tidak memiliki kejelasan pendirian. Kita ciptakan lembaga-lembaga tandingan yang tidak kalah dengannya. Dana kita berasal keringat sungguh. Yang tidak sungguh-sungguh bukanlah ras kita. Kita berangkat dari jalan-jalan tidak terlihat, lalu tampak bersama debu-debu perjalanan hayat nan abadi.

Tentu saudara mengetahui, debu selalu berada di bawah, sekali melayang mengenai pandangan mata mereka. Itulah kita, terus ciptakan kemungkinan lain, sesuatu yang tidak diperhitungkan, namun kita senantiasa menghitung langkah ini bermatang tempaan. Oleh sebab itu, harus mengetahui perubahan-perubahan. Dengan kekuatan alamiah, kita sanggup hidup lestari dan mereka yang terkena arus perubahan selalu tumbang di bawah kaki-kaki, oleh sesama mereka tidak memiliki emosional persahabatan. Kita masih di bawah sana, tentu tahu bagaimana debu-debu terlayangkan ke kelopak-kelopak mata, itulah saatnya mengambil alih waktu. Dan kartu-kartu yang besar masih aman dalam genggaman tangan kita.

Sekali-kali jangan anggap permainan selesai, kita harus kian jeli kedatangan anak-anak tanggung mereka. Sekali lagi, yang memiliki sifat pengecut, senantiasa tak puas menyaksikan keberhasilan atas kesungguhan kita. Dengan pengalaman mereka juga, kita timbah keilmuan bagaimana rentangan sayap-sayap, melebarkan kekuasaan seluas-luasnya, sehingga cakar-cakar ini benar-benar menancap dalam kalbu anak-anak kita terhormat, bukannya elusan.

Di sini menampilkan keseriusan beropera sekaligus propaganda. Perlu diperhatikan, di sisi kiri dan kanan masih berdiri tegak musuh-musuh. Rawatlah kewaspadaan, jangan sampai tumbang karena mengenang kilau perjuangan. Jangan mengikuti cara-cara yang melupakan tapak-tapak kaki hayati. Pengalaman ialah guru paling bijak, memantapkan diri menunjukkan kegigihan menjadi belati tajam setiap saat. Kitalah sang penanti sekaligus yang dinanti perubahan.

Meski keberhasilan kita lebih tinggi nilainya sebab berangkat dari bawah, tetapi tidak perlu melangsungkan pesta, tentu kita faham dalam tradisi, tak ada pesta bagi anak-anak kita. Pesta kita bersatu alam, membimbing anak-anak menjadi tangan-tangan perkasa. Bagi kita, pesta ialah pendidikan. Mencukupi kebutuhan anak-anak dengan wacana yang pernah kita kerjakan, itulah kabar sesungguhnya.

Jangan sekali-kali meliuk menari di lingkungan mereka apalagi bergaya sepertinya. Kita manusia kembara yang siap menenggelamkan orang-orang angkuh di depan publik. Kita beri pelajaran musum-musuh, bukan hanya mereka yang bisa naik eskalator, sebab itu hal kemudahan. Tetapi coba lihat apakah mereka sanggup menaiki tangga kayu? Saya melihat mereka takut menaikinya, apalagi jalan-jalan di trortoar malam tiga belas.

Kelebihan kita tidak sungkan terbebani hasil. Keberhasilan bagi tradisi kita sudah jelas dari pelajaran masa, hanya acungan jempol, senyum manis yang pasti hilang. Seperti gula-gula yang kita remuk dengan gigi-gigi laksana mengampuh kreweng moyang. Tidak menganggap keberhasilan kalau tidak seluruh lapisan mengikuti tarian gigi-gigi kita, tarian pemberontak yang menabrak kemapanan mencipta terkumpulnya darah pesakitan.

Dan harus terus menguatkan barisan, meski sebagian di antara kita sudah di atas panggung pagelaran, sebab ras-rasa kita yang ada juga tidak mau menyerahkan begitu saja kedudukan tanpa kita berusaha sunggu-sunguh, serta seharusnya melebihi para pendahulu.

*) Pengelana yang tinggal di desa Kendal-Kemlagi, Karanggeneng, Lamongan.

Minggu, 24 Agustus 2008

Sajak Mardi Luhung

BAPAKKU TELAH PERGI

Bapakku telah pergi
menemui pembakaran
ruang suci tempat selesaian

tapi ekor-ekor yang ditinggalnya
membelit tubuhku
menciptakan jarak, yang ujungnya

masih dipegangnya
batasnya tak teraba
maka jadilah itu: “Hantu”

bapakku telah pergi, memang
tapi hantunya itu demikian kuat
demikian mendesak

sampai bagian dalam tubuhku
bergetar, berpusar, seperti
tubir, seperti gerigir

si sayap-sayap tembikar
yang selalu melipatiku
seperti melipati ladang-ladang itu

tanah harapan di mana
aku telah menyerahkan kesetiaan
bangkit dan runtuh, runtuh dan bangkit

dan gelembung yang bugil
lewat duapuluh jari aku pahat. Kuberi
mata, mulut, telinga, hidung, dan organ

lalu beberapa kata: ”Hantu tadi”
lalu beberapa ekor: ”Ujungnya di bapak”
lalu sebuah meja, payung dan kursi

“Selamat datang,” kataku

aku dan gelembung pun saling berkata
dan saling terbuka
seterusnya sebuah percakapan

demikian asal-mula
aku membikin sebuah lahan di gelembung
demikianlah seterusnya aku mengada

sambil terus dilipati hantu
sambil terus berpegangan pada ekor
yang ujungnya di bapak

yang memberi nama pada
setiap nama yang kupanggil
dan kuseru

yang melingkupi bumi
di mana aku
terbaring atau berkelamin

menegak atau ditegakkan
menyedot atau disedot
menetak atau ditetak

lalu menempeli keningku
seperti tempelan tato kelabu
yang memancar bagai merkuri

kemudian merajuti setiap
diri anak-anakku dan anak
dari anak-anakku

dan membikin mereka percaya
jika tato kelabu dan lahan di gelembung itu
memang terwaris atas kromosomku

dan bukan atas hantu:
“Hantu Bapak”

bapakku telah pergi, memang
memenuhi pembakaran
ruang suci tempat selesaian…

Gresik,1995

Jumat, 22 Agustus 2008

Menjadikan Ketakutan Sumber Kekuatan

Judul Buku : Fear is Power
Penulis : Anthony Gunn
Penerbit : Hikmah
Cetakan : I, Oktober 2007
Tebal : x + 312 Hal
Peresensi : A. Qorib Hidayatullah*

Syahdan, Joe Bugner, mantan juara tinju dunia kelas berat, bertanding dua kali melawan Muhammad Ali dan kalah dalam kedua kesempatan tersebut. Lalu, ia dinasehati oleh Muhammad Ali, “siapapun yang masuk ring tinju tanpa rasa takut adalah orang bodoh.” Rasa takut menghampiri kehidupan manusia suatu hal niscaya, kendati ditepis, ketakutan mesti dipastikan mampir juga.

Wujud dari rasa takut tiap-tiap orang, cukup beragam. Misalkan, ada rasa takut ditolak, bila ia mengajak pergi pacarnya untuk kencan. Ada rasa takut hendak mempresentasikan opininya secara bebas diforum berkumpulnya banyak orang. Ada pula rasa takut mengembalikan barang cacat ke toko asal ia membeli, yang dimungkinkan akan terjadi percekcokan antara penjual dengan pembeli, dsb.

Meski serasa sepele, rasa takut berpotensi mengabrukkan kehidupan seseorang. Ibarat gelombang pasang dilaut, rasa takut siap menggulung dan menggilas siapa saja. Manusia bukanlah sepotong gabus yang setelah terombang-ambing dapat dengan mudah dihempaskan ke daratan dan menjadi sampah di pantai. Seamsal sumber masalah terbesar dalam kehidupan manusia, bermuara pada rasa ketakutannya. Sehingga, perihal kegagalan dan kesuksesan seseorang, turut ditentukan bagaimana ia piawai menyikapi rasa takut yang dimiliki.

Ironis, bila seseorang terjangkit rasa takut, tak ayal ia dianggap sebagai manusia lemah-rapuh tak berdaya. Sejarah tentang unggulnya harapan di zaman bergelimang daya-dera yang menggilas. Sejarah yang gagal membikin manusia bertekuk lutut menyerah pada nasib. Rasa takut diibaratkan tanggungan aib. Menyebabkan, orang pun bingung untuk temukan cara bagaimana menghilangkan dan menutupi rasa takutnya agar tak muncul-mengemuka. Bukan sebaliknya, rasa takut tak dipetik hikmah sebagai sumber kekuatan mahadahsyat.

Secara alamiah, rasa takut menjadi pelindung alami, akan memicu kelenjar adrenalin mengeluarkan hormon ke pembuluh darah, yang disebut adrenalin (atau epinefrin). Adrenalin membantu memproduksi serangkaian perubahan nyata dalam tubuh. Semua perubahan itu bertujuan mempersiapkan kewaspadaan akan bahaya (signal of warning).

Antony gunn, penulis buku ini, menjelaskan bagaimana rasa takut memiliki potensi positif dan negatif dialegorikan seperti halnya air. Tanpa air, kita mati; terlalu banyak air, kita tenggelam. Namun, jika dimanfaatkan dengan baik, rasa takut, layaknya air, merupakan alat pemberi kehidupan. Ketika dituangkan ke dalam wadah, air membentuk sesuai wadahnya. Begitu juga dengan rasa takut, menyesuaikan dengan situasi diri seseorang. Menjadi piranti kebetulan yang bermakna.

Temuan Gunn dalam karyanya ini, menawarkan sepuluh rahasia sederhana mengatasi, memaksimalkan dan memanfaatkan rasa takut. Gunn berhasil menyiasati rasa takut dengan mengubahnya menjadi inspirasi hidup hebat yang dapat memunculkan sikap berani hingga dijadikan alat capai dalam meraup banyak keuntungan. “Rasa takut adalah faktor motivasi yang sangat kuat. Takut gagal merupakan komponen pusat menuju sukses,” ujar Alan Jones, mediator kepribadian dan pembicara publik paling berbakat di Australia.

Sebagai psikolog spesialis rasa takut, Gunn, berikhtiar dan beriktikad gigih, bermodal kuriositas tinggi mencari tahu konsepsi orang-orang (ia sebut “pakar rasa takut”) yang menghadapi rasa takut dengan cara berbeda. Gunn mendapati mereka para pakar rasa takut mendekati situasi berisiko tinggi tak bedanya saat sedang berjalan dan melintas di taman yang indah. Pokok pertanyaan Gunn, “Bagaimana para pakar rasa takut bisa mengatasi rasa gugupnya? Bisakah semua orang melakukannya?” Inilah kunci sukses eksperimen Gunn, ketika awal kali ia meneliti dan mewawancarai beberapa pakar rasa takut.

Optimisme Penuh Harap
Menyitir falsafah semangka, meski kulit luar tampak hijau tak berdaya, tapi daging dalam merah menyala. Persoalan hidup yang kian rumit tak terelak, karut-marut bahkan getir, menuntut kelihaian hadapi risiko dan tantangan besar sekalipun, membutuhkan manajemen matang dalam melakukannya.

Kecenderungan diri yang hanya ingin terus-menerus berada di zona nyaman tanpa masalah, justru membawa kiriman asap tebal rasa takut yang dimilikinya. Sehingga, diri itupun akan terjebak dalam labirin penundaan tindak laku untuk melaksanakan tugas atau pekerjaan, sebab kadung diliputi rasa takut yang luar biasa.

Gunn ditiap bab dalam bukunya ini, tanpa lelah mengajarkan secara berulang-ulang, bahwa perihal menunda melakukan sesuatu karena takut gagal, takut salah, takut hasilnya jelek, dsb, merupakan tipuan ilusif dari rasa takut itu sendiri. Gunn menginginkan lewat karyanya ini, tercipta orang yang penuh spekulasi dan tak goyah hadapi banjir problem. “Tak ada keputusan lebih baik daripada keputusan salah,” ujarnya.

Lebih jauh, Gunn, mengimbau segeralah untuk ambil keputusan. Tidak memutuskan sama saja dengan terlalu lama berpikir dan tidak berbuat apa-apa. Cara tercepat untuk menjembataninya adalah dengan mengambil keputusan. Penundaan tidak menginginkan seseorang mengambil keputusan, agar tetap dapat terpenjara di zona nyamannya.

Mengambil keputusan dan bertindak dengan melangkah sedikit demi sedikit, merupakan dua alat untuk mengalahkan penundaan. Tekanan hidup bukanlah bencana melainkan rahmat. Suasana hati turut memproyeksikan pesimisme. Memutus mata rantai depresi dengan menumbuhkan optimisme penuh harap. Tapi yang perlu diingat, jangan membuat keputusan strategis saat kondisi mental sedang buruk, capek, dan tertekan. Proses penyelaman ke dalam diri jangan sampai membuat tenggelam dan terputus dengan dunia nyata. Tanggalkan kecenderungan berpikir usang (tend to think the way they are). Cari alternatif jalan keluar terbaik (tend to think the way they could be).

Terakhir, buku ini merupakan gubahan duologi gabungan genius keprigelan seorang maestro menciptakan motivasi sekaligus kedalaman refleksi seorang pemikir yang bersikeras hendak mengubah tragika nasib menjadi ironi. Sehingga, buku ini layak dibaca siapapun, agar terbimbing visi dan nilai, mengambil manfaat dari kemalangan, kerendahan hati, serta keterpanggilan.

Kamis, 21 Agustus 2008

LUPA, HUTANG & REVOLUSI

Nurel Javissyarqi*

Lupa menyebabkan hutang, dan atau pun hakikat lupa ialah hutang. Hutang dapat terlupa, menambah bengkak nominal bunga. Lantas kesadaran hadir mecekik menghapus kenangan. Tetapi sungguh di depan itu jurang, maka kita harus mundur ke belakang, merevolus diri, berperang melawan kebijakan. Kembali kepada waktu semula untuk mendapatkan waktu kini dan nantinya, dengan kesungguhan bertambah keyakinan dari pengalaman lupa, hutang serta terlena.

Di setiap lapis kesadaran kita baca. Merasakan betapa fitroh pengembangan membutuhkan kebertemuan hukum serta pendapat yang bersilang-saling pengertian, jika tak ingin terjebak berbalik pada sudut tepian. Marilah membongkar sederet peristiwa di atas dengan menggunakan beberapa pandangan, agar tidak terhanyut lamunan seorang peneliti yang kebablasan mengenai harapan tinggi tanpa tendensi kehakikian.

Kita sadar, setiap yang mengisi denyutan kehidupan, sarat dengan esensi dan manfaatnya akan didapat kalau meletakkan isi tersebut pada tempat yang pasti. Pasti di sini bukan hukum saklek satu pandangan kebenaran, juga bukan hukum dualitas membingungkan. Namun bagaimana kita seperti pelukis, mengambil obyek lewat beberapa sudut mata bathin nan cantik. Setiap sudut yang hadir terbaca juga terlaksana; memiliki artian bertambahnya maksud dari penelitian yang diulang-ulang.

Atau bisa disebutkan, keberadaan ruang itu kesadaran akan hutang yang harus dibayar kreatifitas, dan masa-masa memaknai ruangan lebih dimengerti lewat adanya tenggang masa renungan jarak pergumulan. Bermula dari keadaan menyerupai atau kebenaran itu hadir sungguh berkait. Pun besarnya kuasa bangsa atau perorangan tentu masih ada sisi-sisi membutuhkan kekuatan lain demi topangan keseimbangan kemajuan, menanggulangi kejatuhan tak terfikirkan. Apalagi suatu negara yang masih carut-marut dalam pencarian struktur tubuh serta jiwanya.

Kita seperti bayangan enggan memeluk tubuh, pula enggan memanjangkan bayangan. Selalu berada di daerah remang, tidak percaya diri, was-was kurang berani melakukan lompatan inisiatif, keraguan tak mendekte ke arah pendewasaan. Padahal kejatuhan diri, tidak seharusnya dibiarkan terlupa begitu saja sebagai hal biasa. Apa memang sebab dengkul otak sudah ngapal dengan kegagalan-kegagalan, sampai merasa tak mungkin tersembuhkan, apalagi sukses membayar hutang (?).

Mungkin sebaiknya kita menyepi di perkampungan masing-masing demi tersadarkan, atau dikerangkeng kondisi sakit tubuh ini, agar yang dalam jiwa sanggup diterbangkan. Sebab tak mungkin mengepak melesat sambil membawa bayangan, apalagi masih segan berbuat pembebasan. Kita harus memuntahkan hal-hal pokok yang tidak pernah dikeluarkan, darah kental dalam diri harus dibuang, dendam direalisasikan lewat kerja terindah kemesraan.

Baiklah, meski awalnya ragu tersebab gentar hawa menyerang pintu rumah, maka sejak awal berakrablah sapaan angan, pastikan mengenal beberapa kabar berita, agar yang terterima tak lagi asing dan menemukan sela-sela menerobos tubuh dengan jiwa. Kita tahu lupa tersebab sering melena, enggan merawat tahap rasa untuk dirasa lebih dari sekadar rutinitas.

Setiap berpapasan, usahakan jeli merekam. Dan di kala santai, rekaman itu pengintip mencuri waktu, lantas kesempatan akan berbicara; kita mendapati pada diwaktunya. Maka seharusnya sedikit demi sedikit menabung ingatan, membayar hutang lewat tahap memungkinkan berjalan. Yang perlu diperhatikan itu sarana transportasi dalam keadaan terjaga, istirahnya cukup memulihkan daya demi gairah terpenjara bisa keluar dengan ledakan kesadaran. Olehnya setiap lapisan masalah, harus merasakan kesadaran diri hingga topangannya makin bertambah; sama-sama berjuang melaksanakan cemburu kalau menguntungkan sisi kesadaran, merawat perhatian agar tidak lepas dari tanggung jawab.

Kita biarkan sakit ringan, itu cara mendapati kekebalan saat berhadapan atau persinggungan yang ada, dijadikan jarak tempuh lebih bermakna. Oleh ketika garis-garis dimaknai, nama-nama pendapat kita masukkan, meramu perasaan logika yang ada, barulah memperolah yang sejati dari beberapa elemen, sebab menarik itu mencabut akar serabut.

Olehnya kehati-hatian harus dituntut, mewaspadai hutang nantinya mencekik, untuk menambah gairah kerja, bukannya malah mengungkung melupakannya sebab teramat berat beban derita. Karenanya, anggaplah sakit itu latihan, cemooh, rasa malu tak beralasan harus dilampaui, bukan dihindari yang nantinya mentok, saat dalam keadaan tak lagi memiliki suatu apa dikarena malu berlebihan.

Perlunya kasih membangun sesama, akan membantu memulihkan kesadaran yang pernah kita lakukan. Atau ternyata cerminan kasih memantulkan rasa sayang kepada diri, dengan bersikap santun melangkah, bersih dari nalar atau perhatian yang tak menyandang makna berlebih. Atau sebaiknya sapaan dimaknai sejauh memberi arti dengan selalu melapangkan penerimaan baik.

Atau marilah masuk ke dalam, mencari yang diselami David Home: Ketika aku memasuki apa yang aku namakan diriku, aku selalu ragu akan persepsi tertentu, mengenai panas atau dingin, cahaya atau bayangan, cinta atau benci, rasa sakit atau kenikmatan. Aku tak pernah mendapati diriku…(kutipan T.Z. Lavine). Di sini kita melihat Home meragukan realitas umum, nilai-nilai yang disepakati kadang bertolak belakang, ini tergantung penerimaan kita dalam mengerjakan tugas dengan ringan atau berat.

Ada patut diperhatikan dari situ, tubuh menjaga kondisi dengan selalu berfikiran positif agar panerimaan sesuai dengan yang diinginkan. Juga tak menjadi nilai tambah yang kadang berkebalikan dari nilai universal yang diidam. Tapi nyatalah, kita mengembangkan diri dengan tetap dalam kondisi dinamis atau abruk, tergantung kelihaian menyikapi persoalan agar tidak tumpah sia-sia.

Atau David Home serupa mengatakan; insan senantiasa dalam keadaan miris, timbangan selalu bergoyangan tertiup angin, kalau sekiranya tak menempatkan mengenai suatu pilihan. Inilah ambang di mana insan dalam keadaan lena, kalau tidak selalu melatih diri dengan kesadaran yang dikelolah, agar menjadi dan terus menjadi, dari keadaan yang genting.

Dan keyakinanlah menghatarkan rasa mencecap nikmatnya madu perjuangan. Sebuah istirah dari kerja kemungkinan damai terbesar sebelum datangnya fajar dijanjikan berupa balasan. Yakni terus melaksanakan titah yang kita yakini dari kondisi yang selalu berjempalitan dalam diri. Di sinilah penekanan Home akan keraguan itu terjadi, menjadi gugusan keyakinan jika benar meyakini kondisi dengan rasa senang berjalan di jalur penalaran positif, mengambil hasil perjuangan tidak lagi sia-sia.

2 Agustus 2006.
*) Pengelana dari desa Kendal-Kemlagi, Karanggeneng, Lamongan, JaTim.

Malcolm X dan Ãœbermensch Kulit Hitam

Judul Buku : Malcolm X Untuk Pemula
Penulis : Bernard Aquina Doctor
Penerbit : Resist Book
Cetakan : I, Mei 2006
Tebal : xi + 186 hlm
Peresensi : A. Qorib Hidayatullah

Setiap manusia, dapat dipastikan berprakarsa sama, yaitu ingin mengangkat harkat dan martabat rasnya masing-masing. Abraham Maslow dalam teori kebutuhan dasar pokok manusia, mentesiskan bahwa manusia mengantongi rasa ingin dihargai oleh orang lain.Tentu, perjuangan membutuhkan ikhtiar gigih, anti letih, tahan getir, dengan mengasah kecerdasan srawung. Dalam hal ini, Malcolm X meyakini kecerdasan itu hanya bisa didapat lewat lama-lama membaca buku, dan aktif bergiat diorganisasi.

Perjuangan yang terus-menerus diasah hingga lancip pasti temukan ketajamannya sendiri. Ibarat pisau daging, apabila terus dipertajam akan mempermudah dalam pengirisannya. Begitu juga tentang kisah Malcolm X, yang telah mencicipi manis asamnya pergulatan hidup, hanya demi “pengakuan” atas ras dan keadilan hak-hak sipilnya. Sehingga, inilah nantinya yang menjadi tema sentral gagasan revolusionernya, hingga menghantarkan namanya dikenang dalam sejarah.

Syahdan, Malcolm X kecil sudah diwarisi benih sikap berani oleh sang ayah, yaitu Earl yang mati dibunuh. Ibarat aforisma kearifan popular: “Buah kelapa jatuh tak jauh dari pohonnya”, ini juga berlaku pada Malcolm X, ia juga mati kerena dibunuh.

Malcolm X merupakan putra ketujuh dari pasangan Earl dengan Louise. Ia lahir pada bulan 19 Mei 1925 di Omaha, Nebraska. Dari sisi fisik, Malcolm X memiliki tampang yang tidak umum, karena ia berdarah campuran. Kakeknya dari pihak ibu berdarah Skotlandia, yang memberi Malcolm X kulit terang, rambut berwarna pirang-pasir, dan matanya mempunyai warna campuran tak biasa antara coklat, biru, dan hijau tergantung kondisi cahaya.

Sejak kecil, Malcolm X telah menerima pelajaran-pelajaran hidup sederhana bahkan sengsara. Keluarganya yang miskin, kerap kali membuat ia kelaparan, karena tak cukup makanan untuk dimakan. Meski demikian, ia tak pernah mengeluh sedikit pun, sebab yang dianggapnya sebagai pelajaran penting kelak ketika ia dipertemukan oleh sang ayah dengan pemimpin karismatik, Marcus Garvey.
***
Dalam buku Malcolm X untuk pemula, karya teks ilustratif Bernard Aquina, Malcolm X digambarkan sebagai pemuda yang nekat dalam mengambil keputusan apa yang dapat dijadikan acuan hidupnya saat itu. Terbukti, ia membikin geng dengan kawan-kawannya guna melakukan perlawanan kecilnya.
Tapi paling menarik dari kisah Malcolm X adalah hidupnya yang tak menentu.

Seiring ranumnya karakter, ia terus bergolak dinamis agar pencapaian utuh berpengharapan dapat teraih. Misalnya, ia menyempatkan diri untuk menjadi selebritas dilingkungan kulit hitam, padahal “profesi” barunya ini sangat bertentangan dengan dunia yang ditapaki sebelumnya. Yaitu, dunia hitam-getir, penuh keterhimpitan, berpenampilan awat-awutan (gembel), serta berbau tak sedap.

Namun, berkat perkenalannya dengan Marcus Garvey, pendiri United Negro Improvement Association (Asosiasi Perbaikan Negro Bersatu) atau UNIA, adalah awal karir revolusinya untuk tunjukkan taring tajam kekritisannya guna mengkritik ketimpangan sistemik oleh kulit putih Amerika kepada kulit hitam Afro-Amerika.

Semangat awal lahirnya organisasi UNIA, adalah untuk membangun masyarakat yang secara ekonomi yang tak lagi tergantung pada kulit putih Amerika, dengan cara membangun properti, industri, jasa-jasa, serta perdagangan. Perlawanan tanpa diawali intrik politik, seakan terkesan menabuh tong kosong nyaring bunyinya, sebab tiada isi.

Karir organisasi Malcolm X, dapat dibilang sering gonta-ganti, dengan melesat pindah dari organisasi yang satu ke organisasi lainnya yang dirasa lebih andal dalam mem-back up sepak terjangnya. Cukup lama berada di UNIA, ia beralih ke organisasi keislaman, yaitu NOI (Nation of Islam) dibawah kepemimpinan Elijah Muhammad.

Malcolm X saat itu, sangat ta’at patuh atas titah-perintah yang diberikan oleh Elijah Muhammad kepadanya. Secara otomatis, melihat keseriusan Malcolm X dalam turut berda’wah melawan penindasan, Elijah tak sampai hati. Kemudian, ia angkat Malcolm X sebagai kawan kepercayaannya, dengan mengutusnya ke tempat-tempat yang dirasa perlu di advokasi.

Suatu jalinan memang tak melulu mulus, tanpa putusnya estafet rantai perkawanan. Jalinan perkawanan Elijah dengan Malcolm X, akhirnya putus juga karena beberapa alasan. Elijah yang berstatus pimpinan NOI, melakukan skandal, yaitu menghamili perempuan-perempuan hingga punya anak. Bentuk konsekuensi tindak skandalnya, Elijah lalu dijebloskan kepenjara.

Guna upaya pembebasannya, Malcolm X sebagai kawan karib turut membantu Elijah agar tak jadi didepak ke sel tahanan. Seribu cara pun dilakukan oleh Malcolm X, tapi upaya itu berakhir dengan sia-sia, karena Elijah memang nyata-nyata terbukti bersalah . Ia telah malanggar garis moral yang dibikinnya sendiri secara ketat.

Perpisahannya dengan Elijah, Malcolm X mengepakkan sayap ekspansi ke negara-negara Islam lainnya, yaitu Saudi Arabia. Selain itu juga, ia pun berhaji ke Makkah dan memperluas link dengan tokoh-tokoh Islam terkenal. Disinilah ekstase keimanan Malcolm X terlihat bernas, ia semakin arif berkonsepsi dalam hidup.

Akhirnya, Malcolm X kembali lagi ke Afro-Amerika. Sekembalinya, gagasannya semakin cemerlang, sehingga ia disebut sebagai nabi kebanggga kaum kulit hitam. Bahkan, ia tak ragu-ragu lagi menyatakan bahwa perlakuan kulit putih Amerika atas kulit hitam (Afro-Amerika) merupakan pengebirian atas hak sipil masyarakat. Usaha untuk menambat estafet penindasan tersebut, Malcolm X “mengemis” keadilan ke PBB, dan melakukan gerakan masif bersama antar kaum hitam. Inilah yang nantinya disebut dengan “kuasa kulit hitam.”

Membaca buku seri pengantar kajian tokoh Malcolm X ini, beragam raupan pesan perjuangan aktivasi demi pengakuan ras. Resiko yang akrab dengan istilah perjuangan atau revolusi, taruhannya adalah nyawa. Dan lagi buku ini, lewat imbuhan ilustrasi demi mempermudah pemahaman atas bacaan teks-teks isi, menjadi tarik tersendiri bagi pembaca. Terakhir, karena buku ini adalah buku kajian tokoh untuk pemula, sangat baik bila pembaca tak berhenti hanya dengan membaca buku ini. Selamat membaca!

Puisi-Puisi Javed Paul Syatha

Lakilaki Tua Dan Becaknya

aku menyaksikan sendiri
lakilaki tua itu terjungkal dari becaknya
lantaran arakarakan polisi bermotor
mengangkangi jalan raya
memainkan klakson dan sirene
(ada juga yang pakai pentungan)

mengiring mobilmobil kijang berwarna
biru tua, berpelat merah berseri
berkecepatan tinggi.

lakilaki tua itu nyaris menangis
didapatinya
becak yang kumal itu; semakin ringsek!
kakinya tergores dan berdarah
keningnya berwarna biru kemerahmerahan

sungguh
lakilaki tua itu menahan duka yang berat
dan aku tak sanggup untuk tidak menangisinya.

Lamongan, 2000



Tentang Dendam

aku kelak kau tangkap
dalam misterimu
dalam hentakan sangat kerasnya

"akulah memukul roboh hotel
bertingkat itu"

tentang dendam
yang tak pernah kau mengerti
tentang samenanjung jiwa
di samudra sunyi

kepada tanah kelahiranku
harusnya kau tangkap juga
kristal mata ini
yang berpuluh tahun merangkum kenangan
kesejarahan
menjadi pantai nestapa

gelombang dan waktu kelak meringkus
segala
saat kita tidak lagi berdamai
dengan semesta akar jiwa sendiri
maka apa kan abadi
mengalir jauh keluar diri ini
jiwa agung lamongan kita.

Lamongan, 2004



Boom Bali

bali pada puncak teror boom
indonesia terkini
adalah kafe, hotel dan pantai

waktulah itu
dalam suatu ledakan sunyi
menyapa galungan
sebuah keheningan yang menyerupai kebutaan
pagi;
legian kala itu

aku di lantai paling bawah
aku di dalam kafe
bergayut pada pasirpasir waktu
menyerpih gelombang kuta
aku menyaksikan gelombang berderu dari pantai
suara gemerincing gelasgelas alkohol
dan logamlogam dan kaca yang beradu

"ada sesosok tubuh mencabikcabik sendiri
meledakkan serpih namanama membabi buta"

siapa dipersimpangan memilih ketersesatan
menuntun kalender mencuri hariharinya
dalam rongga kenangan

mengantongi bayangbayang ngeri
anak negeri
aku mengutukmu?….

Lamongan, 3 September 2005

Selasa, 19 Agustus 2008

Sampah

A Rodhi Murtadho

Sampah? Sudah melebihi jajaran pegunungan, bahkan sudah punya keinginnan untuk membentuk galaksi. Mengalahkan Bima Sakti. Entah mulai kapan keinginan itu mulai tercipta. Yang pasti sejak mereka mampu membentuk planet sampah lengkap dengan satelitnya.

Aku tak tahu bagaimana mereka berkomunikasi. Keakraban muncul. Berkembang biak tanpa perkawinan yang berarti. Yang aku tahu keinginan mereka, dalam kacamata mereka, baik dan tulus dari hati nurani. Menggalang persatuan demi mewujudkan cita-cita mereka.

“Bagaimana kita bisa berkembang biak cepat di bumi ya?” ucap salah satu sampah yang menyerupai botol, “padahal manusia sangat punya keinginan memusnahkan kita.”

“Itu gampang,” kata salah satu sampah yang hancur, tak berbentuk, tak menyerupai apapun, “kita bisikkan pada industri untuk membuat kemasan yang tidak bisa didaur ulang dan tidak mudah terurai oleh bakteri. Seperti diriku yang kian hari makin hancur oleh bakteri sialan ini. Bentukku sungguh menyedihkan.”

“Ya…ya. Boleh juga. Lantas bagaimana tentang rencana kita untuk menyingkirkan manusia dari bumi.”

“Tentu saja akan kita lakukan. Semua koloni seantero jagad juga sudah siap. Tinggal mengatur strategi saja.”

Aku bahkan tidak percaya, langkah mereka sudah sedemikian jauhnya. Bahkan manusia yang menciptakan mereka, ingin mereka singkirkan. Apalagi dengan rencana mereka yang ingin berkembang biak besar-besaran. Makin membuatku khawatir.

Manusia memang hanya mampu berpikir tanpa bisa mewujudkan pikiran itu. Sementara mereka, sampah, bisa mewujudkan keinginan mereka dengan setiap tidakan yang dilakukan manusia. Layaknya dapat dikatakan bahwa mereka sudah memiliki setiap diri mereka sendiri. Sedangkan manusia hanya memiliki sampah dari dirinya.

Bahkan pikiran yang seharusnya menjadi kelebihan dan kebanggan manusia, sekarang, menjadi sampah. Pikiran sampah. Tak pernah terdengar, tercampakkan yang pasti, kegemilangan dari kecerdasan pikiran. Semua hanya mampu menciptakan sampah baru.

Kuberanikan diriku menghadap pada jutaan sampah. Dalam keadaan sedang diskusi dan menyiapkan strategi. Dengan sedikit risih yang muncul. Kulihat di jajaran sampah pemandangan yang tak lulus sensor. Tanpa memperhatikan keadaan sekitar. Tak juga kaget dengan kedatanganku.

Leleran cairan hasil hubungan mereka pun tercecer tak tertampung. Cairan yang seharusnya berada dalam rahim. Menjadi calon orok. Kupahami itu karena aku tahu kalau mereka hanya memiliki kelamin tanpa rahim. Sungguh pemandangan yang luar biasa biadabnya menurut orang-orang suci.

“Hai sampah! Jangan kau terlalu berani pada manusia. Manusia juga punya rencana menghancurkan kalian,” ucapku, “bukan hanya menyerahkan kalian pada bakteri saja, tapi lebih dari itu kalian tidak akan bisa berkembang biak karena akan kuciptakan sendiri kemasan atau benda yang bisa dipakai lagi dan tidak akan dibuang.”

“Bagaimana kau akan melakukan?” jawab salah satu sampah yang hampir tidak berbentuk, yang tadi bercakap dengan botol sampah, “kami tahu itu akan hanya ada dalam pikiranmu. Atau paling tidak, jika terwujud hanya akan ada padamu saja. Kami akan tetap berkembang biak melalui pikiran dari manusia lainnya bukan kau tentunya.”

“Kau akan kubakar!”

“Dengan apa kau akan membakarku? Kalau kau membakarku tentu dengan mudah aku menjadi sampah baru. Sampah udara. Dengan mudah aku dapat berkembang biak. Membuat sampah baru lagi. Sampah manusia.”

“Bagaimana caranya? Kau hanya sampah dan bagaimana kau bisa menjadikan manusia sebagai sampah. Bukankah sampah tetap menjadi sampah dan manusialah yang menghasilkanmu.”

“Aku hidup. Ya, karena aku hidup sekarang. Dengan bentukku sekarang, kusengat penciuman manusia. Dan kalau kau bakar aku, aku dengan mudah dapat masuk ke paru-paru manusia, aliran darah, jantung, otak, bahkan setiap lubuk hati manusia. Manusia akan lumpuh, tak punya perasaan lagi. Yang akan menjadi sampah kami berupa tubuh yang sudah ditinggalkan rohnya. Atau tubuh yang sudah ditinggalkan otak dan pemikiran tentang kami.”

Tumpukan-tumpukan sampah berloncatan di hadapanku. Memperlihatkan diri kalau mereka hidup. Sempat aku terheran. Bagaimana mereka hidup? Sementara mereka hanya barang mati tak berharga. Bentuk mereka pun tak pantas dikatakan sebagai makhluk hidup. Siapa yang memberi mereka nyawa? Atau mereka hidup dari baterai atau semacamnya tapi tak kulihat itu pada diri mereka.

“Hai sampah,bagaimana kau hidup?” tanyaku.
“Aku hidup dari pikiran manusia, nyawa kami dari hasil pemikiran yang dituangkan pada diri kami.”
“Lantas, semangatmu?”

“Kami dapat semangat juga dari pemikiran manusia. Selain dari perasaan senasib kami, sesama sampah, bertemu dengan saudara-saudara yang lain di tempat manusia mempertemukan kami.”

Semakin terperangah aku dibuatnya. Bagaimana mungkin sampah mempunyai perasaan. Punya semangat juang. Sementara manusia saja kadang-kadang tidak mempunyai perasaan. Tidak punya semangat juang untuk membasmi sampah-sampah ini.

Aku merasa semakin terpojok dengan sampah-sampah ini. Tak heran kalau mereka sudah bisa membentuk gunung. Planet dan satelitnya. Lantas bagaimana jika mereka menyerangku? Apa yang bisa kulakukan? Untuk lari pun tak mungkin. Karena setiap memandang hanya kutemukan sampah. Tanah yang kuinjak layaknya berubah menjadi lautan sampah.

“Ehmmm…,Tuan Sampah, bagaimana kalau manusia dan sampah saling berdamai? Hidup berdampingan, saling membantu, dan bertenggang rasa.”
“Tidak bisa. Manusia sudah memperlakukan kami tidak sewajarnya.”
“Maksud, Tuan?”

“Kau lihat sendiri, kami dibuang ke angkasa luar setelah bumi tak mampu lagi menampungnya. Untungnya kami bisa membentuk jajaran planet. Jadi kami bisa hidup. Enak saja mau damai! Kami akan menumpas habis manusia, mengusirnya dari bumi.”

“Ke mana Tuan akan mengirim kami?”
“Jelas ke angkasa luar. Sama seperti mereka mengirim saudara-saudara kami. Biar merasakan betapa tidak enaknya hidup di luar orbit.”

Gundukan-gundukan sampah mulai berdiri. Mengelilingiku. Nyalang mata mereka penuh emosi. Kepalan tangan mereka memaksaku memperbesar rasa takutku yang ada.

Aku mulai berpikir kalau mereka ada dan hidup seperti saat ini. Atau keinginan mereka untuk menyingkirkan manusia itu benar adanya. Barisan mereka yang kuat semata-mata disebabkan kelalaian kami. Menganggap remeh sampah. Aku teringat ketika koloni mereka tak begiu banyak. Mereka tak punya kekuatan. Tapi tata ruang tempat tinggal kami memberi peluang mereka berkembang pesat. Kebiasaan kami, membuang mereka sembarangan, sering dimanfaatkan mereka.

“Eh…, begini,” tubuhku mulai bergetar, “Tuan Sampah bagaimana kalau Tuan kami pergunakan lagi.”

“Manusia? Menggunakan sampah? Untuk apa? Dan mana mungkin? Kami tahu kebiadaban manusia. Penginkaran-pengingkaran yang mereka lakukan. Bahkan sesama manusia. Menciptakan lingkungan tanpa kami katanya. Mana buktinya? Semuanya hanya omong kosong. Apalagi janjimu seorang diri. Bagaimana kami bisa percaya?”

“Lantas mau Tuan apa?”
“Manusia harus menjadi budak kami!”

“Mana mungkin Tuan. Kami sebenarnya yang diciptakan Tuhan untuk lebih berakal. Bukan sampah. Itu tak mungkin terjadi karena derajat kami sebenarnya lebih tinggi dari sampah.”

Gundukan-gundukan sampah mulai menghantamku. Memegang erat tubuhku. Bahkan ada yang sempat masuk ke dalam tubuhku melalui rongga hidung, mulut, telinga, anus. Aku mersakan otakku diremas sampai pecah. Darahku pun mulai muncrat keluar. Jantungku mereka keluarkan. Bahkan seluruh isi perut sampai terburai keluar. Hatiku pun mereka sayat-sayat menjadi potongan kecil-kecil. Sampai kudapati diriku sudah menjadi sampah.

Gresik, 17 April 2006

Senin, 11 Agustus 2008

Propaganda Hitam

Komentar Pentas “Daerah Perbatasan” Teater Gapus

Mashuri
http://mashurii.blogspot.com/

‘Daerah Perbatasan’ bukan terra incognita yang menyepikan kesadaran; bukan ‘perang posisi’ antara the center dan the margin dalam kerangka pemikiran Gramsci; bukan pula ‘wilayah hitam nan kosong’ tanpa entitas atau ranah-ranah tak terjangkau di bawah alam sadar manusia; ‘Daerah Perbatasan’ berada dalam pergulatan arus kesadaran antara cita-cita dan mati. Sebuah tempat yang bisa menjadi akhir sekaligus awal dari perjalanan manusia dan masa depannya.

‘Daerah Perbatasan’ segelap orang tua yang mencari anaknya di medan laga, di antara bangkai-bangkai yang mulai membusuk, ditingkah suara gagak memekakkan telinga. Saat si anak ditemukan terluka dan masih bernafas, orang tua harus memutuskan nasib si anak. Apakah si anak harus mati demi cita-cita; sebagai hero, atau dibiarkan hidup merana tanpa status dan sia-sia: sebuah kemanusiaan yang hadir dalam titik nadlirnya. Dan, ‘mati demi cita-cita’ pada akhirnya bisa menjadi pilihan yang harus segera diputuskan.

‘Daerah Perbatasan’ ingin mengalirkan bahwa sebuah cita-cita, meski gelap dan muram memang harus diperjuangkan; karena harga diri ada dalam pertaruhan dan pergulatan dengan kemenangan dan hasil yang tak terberi; ia harus diraih, meski dengan bunuh diri. Toh nasib hanya anak kecil yang bisa disalib; sekaligus dinistakan; karena dunia berada di tangan manusia.

Tidak kebetulan, bila ‘Daerah Perbatasan’ diilhami sajak ‘Daerah Perbatasan’ (1970) karya Subagio Sastrowardoyo. Sajak-sajak yang tidak hanya memberi api untuk bergulat dengan kematian, tetapi sekaligus memberi ruang pergulatan sendiri tentang posisi manusia di dunia; tentang nasib tragis jabang yang terlontar ke lantai bumi, tentang manusia yang telah mencapai tepi dan tak mungkin kembali, dan tentang drama penyaliban: saat manusia berguman ‘Berilah aku senjata. Beri aku gigi dan kuku dan pedang untuk memerangi kebengisan ini’, tentang orang hitam yang bangkit dari bukit karang, dan lain-lainnya dan lain-lainnya, hingga kematian makin akrab: ‘sebab aku (manusia) bisa terbang dengan sayap sendiri ke langit’. Sebuah pergulatan panjang, sekaligus pengasingan, dan perjalanan yang menembus tapal batas yang tak mudah diraba dari takdir manusia.

Sedangkan di sini, dalam pergulatan ini, pementasan ‘Daerah Perbatasan’ bukan pemihakan pada nilai-nilai; bukan berbicara siapa yang layak menjadi panglima. Karena ‘hidup terlalu menuntut’. Pengendali bisa saja kebenaran atau kebiadaban. Masing-masing adalah perspektif jungkir balik; siapapun bisa mengklaim paling benar dari sebuah pergulatan. Justifikasi bisa saja dijatuhkan sebagai dalil sebagai pembenar tindakan. Dan, hasil akhir bukanlah jaminan siapa yang paling berkuasa, dan siapa yang paling benar di sebuah ruang ketika kesadaran berhumbalang dari dua arah yang berseberangan

Pada titik itulah, pertaruhannya bukan lagi gerak yang agresif atau diam yang pasif; atau bukan pada diam yang aktif atau gerak yang pasif, tapi pada pilihan yang menentukan; apakah kematian harus diputuskan atau ditunda. Ataukah kehidupan harus dikorbankan untuk sebuah perubahan. Inilah black propaganda abadi; sebuah propaganda hitam bagi titik balik kesadaran kemanusiaan. Karena segalanya bermuara dan bertitik tekan pada kontradiksi manusia dan masa depan manusia yang berada di tangan manusia. Tuhan sudah selesai dan mimpi panjang tentang takdir adalah roda-roda yang meminta tangan manusia untuk menggelindingkannya. Di dunia, manusia tidak hanya terasing, tetapi ia harus memutuskan jalannya sendiri: sebuah keadilan bukan dinanti tapi ditegakkan!

Pertarungan dalam ‘Daerah Perbatasan’ bukan pada absurditas (sebentuk rutinitas manusia menggelindingkan batu besar ke puncak bukit Olimpus; dan dewa kembali menjatuhkannya ke dasar) bukan pula idealisme Hegelian (konsep ideal sejarah, tentang waktu dan kesempurnaan tatanan manusia dan dunia dalam sebuah dialektika); atau sebentuk cara untuk memahami dan mendekati kompleksitas hidup; tetapi pertarungan di sini, adalah pertarungan hidup. Menyelam di dalamnya dan menjatuhkan sebuah pilihan; antara terus hidup dalam cita-cita atau sekaligus mampus. Tapi yang pertama dibayangkan dalam pementasan ini bukan langkah-langkah panjang; tetapi diri yang terpojok di sebuah ruang, dihimpit dinding keras hingga sulit nafas, dan harus memilih dua pilihan yang tak ditampik atau dihindari.

‘Daerah Perbatasan’ hanya memberi dua pilihan: revolusi atau mati!

Surabaya, 2004

Minggu, 10 Agustus 2008

Refleksi Superrealis

Jamban
Mashuri

Kini, di saat hiperrealitas demikian sengkarut, saya hanya merindukan sebuah jamban. Jamban bagi saya adalah ruang pribadi yang unik, yang bisa mengatasi ruang dan waktu. Saya bisa merasakan kehadiran saya seakan-akan penuh, baik dalam alam kesadaran dan ketaksadaran.

Panggilan-panggilan kerinduan itu datang, ketika segala hal yang berada di luar diri, dipenuhi dengan rekayasa-rekayasa. Apalagi, aroma kapitalisme semakin mengglobal dan menelan segala hal yang bersifat pribadi. Tak jarang, sisi kemanusiaan saya terseret dalam sebuah titik nadir. Saya sampai terengah-engah untuk menemukan sesuatu yang ‘pure’ diri saya sendiri.

Mungkin Adam Smith, Karl Marx, Max Weber atau Daniell Bell juga mengendus adanya kemungkinan itu, kemungkinan rekayasa yang mencengkeram kehidupan manusia. Tetapi saya lebih memaknai dan menyikapinya dengan merengkuh kembali apa yang pernah saya alami, dalam sebuah kurun waktu, untuk mengukur kedirian yang semakin nisbi, bermain dalam simulakra-simulakra yang tiada berkesudahan.

Di jamban, saya bisa mengenali sesuatu yang harus disingkirkan dari tubuh secara detail. Bila jamban itu jamban yang dibangun dari anyaman bambu, yang memiliki celah untuk mengintip, maka dengan agak malu-malu, saya akan menengok jauh ke dalam sana, melihat belatung-belatung merubung tahi dengan semangat berapi-api. Jika jamban itu dari ubin, saya akan melihat kotoran saya lewat selangkangan.

Anehnya, ruap bau busuk yang menusuk tidak mengendorkan semangat untuk mengembarakan imajinasi, yang paling liar sekalipun. Di sinilah, letak kelebihan jamban: meski bau busuk, tetapi orang yang sudah duduk di atasnya akan kerasan untuk berlama-lama. Kiranya, hal itu seperti watak dasar kekuasaan (politis).

Di sinilah, dalam kekuasaaan diri saya, saya merasa terlepas dari rekayasa. Saya selalu menganggap dunia kini dipenuhi rekayasa. Bagaimana tidak, dalam segala hal, dalam masalah yang paling intim sekalipun, tak lepas dari upaya rekayasa, seperti pada masalah gambaran alat kelamin ideal dan cara yang ‘baik’ dan ‘benar’ dalam bersenggama. Kumparan tehnologi virtual dan multimedia telah menjejalkan citraan-citraan itu bertubi-tubi ke setiap kepala. Bahkan batas yang real dan tiruan atau turunan nyaris tanpa penghalang.

Mungkin, ketakutan saya pada kehilangan sisi manusia dari diri demikian besar dan menghantui. Saya hanya tahu, bahwa arus global dan hiperreal mengalir demikian deras dan bagaimanapun harus dihadapi. Saya hanya berusaha mengembalikan segala apa yang saya miliki, termasuk ingatan-ingatan, mimpi, imajinasi dan kehendak tentang pembebasan menjadi hakiki: milik saya pribadi. Mungkin saya, akan menenggelamkan diri dalam arus dan pusaran besar mesin waktu yang datang bergulung-gulung dan siap menelan segala hal, tidak juga alam bawah sadar saya.

Dan sambil menyedot rokok, di atas jamban, saya akan mengenali bau terbusuk dari tubuh saya dengan gairah seorang pemberontak: melayangkan seribu kunang-kunang di kepala, pada palung kegelapan dari lamunan, dalam kembara-kembara yang jauh. Untuk mengundang gairah yang terpendam, yang lebih purba, yang mengatasi sekaligus membongkar realitas-realitas yang berlimpahan. Juga untuk menembus batas ruang dan waktu, yang kadang sudah tidak terasa lagi jaraksnya. Meskipun, pada hakekatnya ‘realitas-realitas’ itu hanya maya dan pura-pura.

Sambil jongkok dan ngeden, saya akan mencipta mesin waktu sendiri dalam kurun parsial-parsial yang sangat subyektif, mengenali ide-ide yang terentang, ide-ide yang masih murni. Jika mampu menyelami ke gelap jiwa, saya bisa mengintip kembali hati nurani, yang kini nyaris tergilas, karena segala hal lebih menghamba pada materi dalam jagat kapitalisme nan duniawi.

Mungkin, di jamban, saya bisa menemukan tuhan dalam diri saya sendiri dan membunuh atau menyingkirkan (untuk sementara) tuhan-tuhan lain. Maka, ketika Nieatzcshe mengatakan, tuhan telah mati. Saya pun mengamininya. Tuhan-tuhan yang berada di luar lingkar diri dan melakukan penetrasi pada segala kehendak memang harus disingkirkan.
Masih mengikuti filsuf yang berfilsafat dengan palu itu, setelah meneriakan kematian tuhan, Nieatzcshe pun berkata: “Zarathustra, lihatlah aku”. Lihatlah manusia, yang terbebas dari tuhan. Lihatlah saya yang terbebas dari tuhan-tuhan baru yang bisa membelenggu manusia. Tuhan-tuhan yang diciptakan manusia sendiri. Meskipun, harus ditebus dengan kegilaan! Tetapi bukankah kegilaan itu kreatif?

Di jamban, saya melakukan dekonstruksi dari segala tuhan yang dijejalkan dalam pikiran, perasaan dan kesadaran saya. Saya bisa berlama-lama, sambil menghela nafas panjang untuk sebuah arus yang telah memenangkan pertempuran ‘diam-diam’ dan besar dengan sosialisme. Di jamban saya melakukan teror pada kesadaran saya yang hampir terenggut oleh pertunjukan maha besar dan spektakuler akhir dari sejarah.

Di wilayah pinggiran, dengan buang air besar, saya berusaha merebut diri saya. Hiperreal silahkan berjalan, kapitalisme global silahkan berjalan, terorisme global silahkan melangkah. Tapi di jamban, saya telah menemukan ruang dan waktu untuk lepas dari segala hal yang menyetir kehendak dan meracuni pikiran waras saya.

Surabaya, 2004

Wisata Buku Lawas di Yogyakarta

Fahrudin Nasrulloh

Salah satu keistimewaan ketika mengunjungi Yogya adalah menelisik toko-toko buku yang tersebar di sejumlah tempat. Ada T.B. Social Agency, T.B. Diskon Toga Mas, T.B. Tiga Serangkai, T.B. Gramedia dan komplek toko buku Taman Pintar yang bersebelahan dengan Taman Budaya dan benteng Vredeberg, dan lain-lain. Namun sekarang untuk mencari buku-buku lawas susah sudah, bahkan nyaris nggak ada. Tahun 1970-an hingga 1980-an, menurut berbagai sumber, masih banyak dijumpai buku-buku lawas yang bermutu.

Yang saya maksud dengan buku lawas (dalam arti spesifik bisa berati buku kuno, seperti naskah-naskah serat atau babad) adalah buku yang sudah tidak diterbitkan dalam jangka waktu lama oleh sejumlah penerbit tertentu. Karena itu, buku lawas dapat dikategorikan dalam empat jenis. Pertama, buku lawas umum (meliputi buku filsafat, sastra Indonesia dan Barat, psikologi, dan lain-lain). Buku lawas filsafat Barat seperti Meditation karya Rene Descartes, atau Suluk Awang-awung (antologi puisi) karya Kuntowijoyo, sudah hampir tidak ada. Saya pernah dapat satu karya Salman Rushdie, The Satanic Verses (Viking Penguin Inc., 1988). Semula si penjual mematok harga 250 ribu, tapi saya bisa membelinya dengan harga 50 ribu. Juga Tatanegara Majapahit (Yayasan Prapantja: Jakarta, 1962) karya Muhammad Yamin. Buku ini terdiri dari 7 jilid -- yang konon seharga 300-an ribu -- sudah sulit dilacak. Meski sebagian kecil buku-buku semacam ini mungkin terdapat di perpustakaan, semisal di perpustakaan Kolese Ignatius di Kota Baru yang, kabarnya, koleksi bukunya terbilang lengkap. Tapi jangan terlalu banyak berharap.

Kedua, buku lawas cerita silat dan komik. Buku cerita silat (cersil) semisal karya-karya S.H. Mintardja sudah sulit dicari. Ada sekitar belasan judul cersilnya. Kebanyakan dari karyanya pernah dimuat di koran Kedaulatan Rakyat, seperti Nagasasra Sabuk Inten. Karya ini sekarang telah diterbitkan oleh koran tersebut sebanyak 3 jilid (satu jilid seharga 100 ribu). Sementara karyanya yang lain masih terserak di banyak penggemarnya dahulu. Jika di Taman Pintar bisa ditemukan, ada sebagian yang terjilid rapi, tapi ada juga yang tercecer dalam bentuk serial. Dahulu, saya pernah bertemu di Taman Pintar, pada 2004, dengan Pak Muhlis; yang memiliki koleksi lengkap S.H. Mintardja. Saya pun membuktikan ke rumahnya, di Bantul. Lengkap memang. Mulai Nagasasra Sabuk Inten, Api di Bukit Menoreh hingga Misteri Kembang Kecubung. Saking gandrungnya, Pak Muhlis ludes membaca semua karya Mintardja itu. Bahkan dia nekat menjelajahi kota-kota besar seperti Jakarta, Semarang dan Surabaya untuk melengkapi koleksinya. Meski, ketika butuh uang, dia terkadang juga menjualnya sebagian. Dia pernah menawarkan kepada saya (boleh ke orang lain) untuk membeli seluruh karya S.H. Mintardja tersebut dengan harga 10 juta.

Welahdalah! Ini rumah apa kolong tikus? Seolah mata tiba-tiba bolong, saat saya melihat ruang tamu yang disesaki timbunan majalah, buku-buku dijejer bersap-sap, dan berkardus-kardus cersil sampai nyaris menyentuh genteng yang telah disisir dan dikelompokkan berdasar judul, jilid, dan serinya. “Seluruh karya Mintardja lengkap, Nak Udin. Jika sampeyan berminat, semua akan saya lepas 10 juta saja. Jangan lama-lama mikirnya!” Mendengar tawaran itu, saya cuma tertegun dan tersenyum kecut. Yang terlintas di benak: peristiwa apa saja dalam puluhan tahun hingga ia dapat mengumpulkan seluruh cersil Mintardja? Belum lagi cersil dari pengarang lain yang juga seabrek koleksinya. “Saya nggak berduit sebanyak itu, Pak. Tapi saya yakin, suatu hari, akan datang sang pembeli ke rumah ini,” pungkas saya.

Wow! Sementara cersil lain dari pengarang lain juga memenuhi koleksinya. Yang pasti, Di Taman Pintar sekarang jarang ada. Kalaupun ada, mahal sekali harganya. Ada pun buku komik lawas, makin jarang lagi, seperti karya-karya lama Ganes TH , Hans Jaladara, dan lain-lain.

Ketiga, buku lawas jenis keislaman. Satu sisi, buku jenis ini sudah banyak diterbitkan. Lebih-lebih oleh penerbit yang konsern pada tema-tema keislaman yang ragamnya, terkait dengan pertimbangan laku-jual di pasar, memang tak terhingga banyaknya. Seperti buku Durratun Nashihin, Riyadus Shalihin atau Bulughul Maram telah berkali-kali dicetak ulang oleh banyak penerbit. Dan memang laris manis. Tapi untuk mencari buku semisal Al-Atsarul Baqiyah Anil Qurunil Khaliyah karya Al-Biruni, saya pastikan tak ada di Yogya (baik di toko buku atau di perpustakaan UIN sekalipun). Atau karya-karya monumental dari Ibnu Haitam (Risalah Sina’at Syi’ir), Ibnu Arabi (Futuhul Makkiyah), Al-Baqli (Masrab Al-Arwah), As-Sulami (Tabaqatus Shufiyya), Al-Maki (Qut al-Qulub) dan lain-lain, jelas kelabakan untuk mencari mereka. Kecuali sejenis kitab tersebut, mungkin, dimiliki kiai-kiai yang gandrung baca kitab. Untuk mencari yang agak ringan saja; tentang madharat dan manfaat rokok dan kopi, karya Kiai Ihsan Jampes berjudul Irsyadul Ikhwan fi Syarhil Qahwa wa al-Dukhan, Anda musti memburunya ke Jampes, atau ke Lirboyo, atau ke T.B. Firdaus di Pare. Bukan di toko kitab kuning, di Yogya.

Keempat, buku lawas Jawa kuno. Menyusuri jenis buku ini sebenarnya mudah, tapi jangan harap bisa dibawa pulang. Anda cukup cari buku hasil suntingan T.E. Behrend berjuluk Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara Museum Sonobudoyo (Djambatan, 1990, Jakarta). Buku ini ada di perpustakaan Sonobudoyo, Yogya. Atau di penerbit Djambatan. Di Taman Pintar? setahu saya, nggak ada. Buku katalog itu memuat 1350 naskah Jawa kuno yang mencakup tema sejarah, silsilah, hukum, ihwal wayang, sastra wayang, sastra Jawa kuno dan sastra Islam kejawen, piwulang, primbon, bahasa, musik, tari-tarian, perkerisan, adat-istiadat, dan lain-lain.

Pengalaman tak terlupakan saya ketika, pada Desember 2005, di toko buku loak, milik Mas Widodo (di komplek Lt. II pasar Bringharjo), saya pernah menemukan sebuah buku lawas berisi kumpulan cerita ringkas dari para sastrawan Indonesia tempo doeloe berjudul Maleise Bloemlezing: Uit Hedendaagse Schrijvers, bertarikh 1947, terbitan J.B. Wolters-Batavia dan Sevire-Den Haag, yang disusun oleh Dr. G.W.J. Drewes (harga: 30 ribu). Ada belasan cerita unik, dengan ejaan lama, dari beberapa sastrawan semisal, M. Kasim, S. Hardjosoemarto, A. Datuk Madjoindo, Hersevien M. Taulu, S. Takdir Alisjahbana, H.A.M.K. Amrullah, Habib Sutan Maharadja, Seoman H.S., Ardi Soma, A. Soetan Pamoentjak N.S., A. Moeis, Selasih, Hamidah, N. St. Iskandar, Toelis Soetan Sati, I. Gusti Njoman P. Tisno dan H.S.D. Moentoe.

Tentu jika bukan pencinta dan pemburu buku yang bandel, sangatlah kerepotan melacak buku-buku tersebut. Bagi mereka yang sudah lama menyusuri jagat pernak-pernik buku pastilah memiliki kepuasan tersendiri ketika mereka telah menemukan buku yang mereka inginkan. Kendati ada juga pemburu buku lawas yang tidak begitu getol membaca, tapi semata hanya ingin mengoleksi saja. Ya, apa pun alibinya, kita layak untuk menghargainya. Sebab, buku adalah jendela dunia, dan peradaban manusia, salah satunya, dibangun dari tradisi membaca. Karena, “Sebuah buku”, ujar Cervantes, “adalah halte sejarah; tetirah abadi segala ingatan dan pengetahuan, meski tanpanya, kehidupan akan tetap berjalan apa adanya.” Memang, sebuah buku bukan sekadar lembaran kertas dan rekatan lem. Melainkan di dalamnya menyimpan sebentang peradaban, di mana manusia hidup bersamanya, dengan harapan dan cita-cita.

Suara Merdeka, 15 Juli 2007.

Sabtu, 09 Agustus 2008

SENI DAN REVOLUSI

Nurel Javissyarqi*

Seni ditentukan oleh masanya (Albert Camus).
Kita ketahui ada seni musik, tari, karawitan, pedalangan, perdagangan pun berperang. Seni belah diri, melukis, pahat, drama, penulisan, percintaan, politik, mengajar dan masih banyak lagi.

Seni menelusup ke segenap bidang, dicipta dari orang-orang berbakat yang istikomah dalam menjalani pilihannya. Lalu kita mengambil, mengangkatnya sebagi ilmu.

Pada kesempatan lain saya pernah berkata, karya seni tercipta atas rasa berlebih, rindu bergelora, cinta membara ke segenap kemungkinan menjelma peralatan, demi tercapai tujuan.

Bahasa lain, pencipta seni itu orang-orang bertetap hati, setia menjalani apa yang diyakini, sehingga di bidangnya memiliki banyak temuan yang mencengangkan orang disampingnya. Dan gegaris yang dituju-kembangkan itu (menjalani hidup bagi seni) akan menciptakan hal mengagumkan, terlahirlah jurus baru, strategi anyar, analisa lebih cermat.

Benar apa kata Albert Camus, Seni ditentukan masanya. Seni berperang sebab situasi menuntut hal tersebut hadir, seni membangun sebab saat berkeadaan damai, masa-masa benah-membenahi. Hanya orang-orang berbakat yang berani menyungguhi keyakinannya, sanggup menciptakan nilai seni.

Di sini ada tuntutan pemilahan bidang yang disenangi, lagi sanggup menciptakan tingkatan, sampai yang terlaksana bukan pengulangan. Tetapi naiknya tapakan kaki, kepada tangga keahlian di satu bidang yang dibakati, digelutinya.

Saya tidak berbicara struktur secara ketat yang seringkali melukai pribadi orang berbakat, kita perlu jarak pandang penelitian lebih bijak. Sehingga orang-orang yang sedang di jalur ini tidak merasa tertekan atau digurui, sebab dalam menciptakan karya seni, sebenarnya tiada istilah guru selain daripada pengalaman.

Sebagian orang mengatakan, seni itu pemberontakan dari sebelumnya, perasaan berlebih atas daya rindu. Di sini tempatnya, kerinduan sanggup menciptakan gugusan karya monumental nan abadi.

Atas kayungyung kepada yang dicintai, daya kangen sejenis percobaan abadi, atas timbangan masa menggebu yang sekali waktu dituangkan dalam lelembaran, demi waktu-waktu yang perlu digaris bawahi.

Atau kerinduan itu persamaan dari keabadian, seni berbicara dalam kurungan pelita warna cemburu, kemalangan, suntuk, meledak-ledak dan segala nantinya menjadikan tanda.

Berbincang mengenai pemberontakan dari hal sebelumnya, berarti memiliki pondasi kesadaran dulu, ditariknya sebagai benang teruntuk kain tenun dan perbuatannya disebut sebagai daya seni.

Ketika dirimu menolak, maka tidak mandul atau mati. Seorang pekerja seni berangkat dari sini, dengan gairah kepercayaan berlimpah. Yang tampak berlebih itu efek kenyataan di sekitar sangsi teriris, sejenis was-was pecahan batu yang ditiup angin kencang.

Dan saya menamakan taupan revolusi. Dapat dikatakan, berseni itu cara belajar mengendalikan diri dalam mengeluarkan potensi. Yang lahir kejernihan berangkat dari endapan rindu menuntut sesuatu. Pengekangan ialah seni belajar menempa diri, sebagai kebersatuan manunggal untuk menciptakan karya.

Sejenis pemasukan yang dikelolah melewati perdagangan nilai, sehingga hasil yang harap bukan berdasarkan keberuntungan semata uang, tetapi dengan kacamata perhitungan elastis nan rahayu. Disebut elastis rahayu? Sebab berada pada lingkaran kemendadakan, yang sekali tempo menuntut dijumlah, dan jarak tersebut berlainan daripada kesiapan, namun memiliki kesigapan mental.

Pemberontakan atas hinaan, apakah penghinaan berupa kasih sayang atau cinta yang mematikan, yang tidak berbicara seimbang, dengan tampak mendominasi kekuasaan. Di sinilah keindahan seni berbicara, menyeimbang rasa saling terima, tiada berkekurangan.

Dan seni memberontak itu berangkat dari penerimaan cukup lama, atas elusan sayang berlebih, maka daya tuntut di lingkungan tersebut bisa disebut seni pembelaan atas jarak padat ditempuh. Berbicara di sekitar wilayah keyakinannya sebagai sesuatu yang baru.

Aliran-aliran yang ada dalam kesenian, bermula dari watak para pembawanya. Saat watak ditempa sedemikian rupa, oleh tempat-waktu usia pencarian, menjelmalah kemurnian, kehasan temuan. Atas pencarian dirinya berpribadi, atau beraliran, dan orang-orang menamakan, memanggilnya penggagas.

Meski semua telah tertanda, tidak lepas dari seni romantik yang pernah disinggung, sebagai bapaknya keilmuan. Lahirnya tanda harus dimengerti penerusnya, teruntuk bahan pelajaran yang padat cecabang jawaban, berlapang pengertian.

Dan pengolahan data di sekitar wacana dalam segenap bidang, pengawinan demi mencapai formula memungkinkan jalan baru. Serta kebuntuan soal dapat diselesaikan, meski masa kemarin terdapat penundaan.

Inilah rumusan, tetapi di sana-sini terlalu ketat pada puncaknya sekarang. Menggelinding bola lempung, reracikan pendapat yang menjadikan wacana penyembuh bagi gairah terkekang. Pun harus diperhatikan, agar jangan sampai menimbulkan semacam reformasi kebablasan atau senafsunya.

Seni dan revolusi, dua pasang mata tajam analisis. Mempelajarinya ialah sarat tingkatan, pengendapan, koreksi serta daya pacuan dalam kurungan pelita kasih sayang.

*)Pengelana dari desa Kendal-Kemlagi, Karanggeneng, Lamongan.

Lamongan: Gerakan Sastra dan Buku “Indie”?

Abdul Azis Sukarno

Ada yang menarik ketika dengan tidak sengaja saya berkunjung ke kota kecil di sebelah utara Surabaya akhir Maret 2007 lalu, di mana sosok Amrozi si pelaku salah satu kasus bom Bali berasal. Tapi, tentu bukan dalam masalah di mana kota tersebut akhir-akhir ini akrab dengan kata-kata ‘teroris’, ‘bom’, atau semacamnya, dan diam-diam menjadi bahan perhatian pihak keamanan baik dalam maupun luar negeri. Melainkan, peranannya dalam bidang kesusastraan Indonesia, khususnya di Jawa Timur.

Lamongan, demikian nama kota tersebut, tiba-tiba menggelitik ‘adrenalin’ saya (istilah ini senang sekali digunakan kawan saya Fahrudin Nasrulloh dalam tulisan-tulisannya yang konon biar terkesan gagah, he-he…), untuk minta ditulis perihal anak-anak mudanya yang bersastra dengan gerakan “aneh” dan semangat yang lumayan tidak kalah dengan kawan-kawan seperjuangannya di kota-kota lain seperti Malang dan Surabaya, barangkali.

Ya, gerakan “aneh”, jika kita mengamati perkembangan sastra kontemporer Indonesia. Di mana, ketika era sastra buku dan sastra majalah beralih ke sastra koran dan kini malah sebagian melirik sastra “cyber”, para kreator muda Lamongan malah bergerak sebaliknya. Seperti satu pasukan barisan yang mendapat aba-aba, “balik kanan jalan terus”. Itu pun masih ditambah tidak lewat jalur resmi pada umumnya. Tentu saja tepat sekali jika saya menyebutnya gerakan sastra dan buku “indie”.

Yang lebih detailnya adalah, karena di samping mengarang atau berposisi sebagai penulisnya, mereka juga berusaha untuk menerbitkan sendiri, bahkan ada juga yang sampai pada fase mendistribusikan sendiri. Sehingga, otomatis tak ada seleksi penilaian di sini seperti kalau kita menyerahkan naskah ke penerbit-penerbit resmi, yang masing-masing pastinya dalam memilih naskah, punya selera dan cara meyeleksi yang berbeda. Bahkan, soal kualitas atau tidak bagi mereka adalah nomor sepuluh alias yang penting terbit dahulu. Masalah penilaian terserah pembaca.

Soal penggarapan format bukunya juga beragam, dari mulai yang masih stensilan kuno (fotokopi, streples, selesai) hingga yang “lux” seperti buku pada umumnya yang kini dijajakan di toko-toko buku juga ada. Sebut saja untuk contoh terakhir seperti dua karya Nurel Javissyarqi yang berjudul Takdir Terlalu Dini (edisi revisi) dan Trilogi Kesadaran-nya, serta Rodli TL lewat novel Dazelove-nya. Dengan jumlah untuk cetakan pertamanya yang hanya berkisar antara 500-1000 eksemplar, tidak lebih.
Begitupun dalam menyikapi media massa atau lomba-lomba penulisan sastra, hampir 95 persen karya-karya mereka (puisi, cerpen dan esei) belum teruji di sana.

Sebuah pemberontakan yang sungguh berani!
Tentu saja, karena gerakan yang dilakukan adalah melawan arus besar.
Pertanyaan kemudian, faktor-faktor apakah yang membuat hal tersebut dapat terjadi? Dari beberapa pengamatan dan obrolan saya dengan mereka, memang banyak hal yang bisa dijadikan alasan:

pertama, masalah kesulitan mengakses media massa dan jaringan internet. Di sana hanya ada 3 koran (Jawa Pos, Kompas, dan Surya) yang bisa dijangkau. Itu pun 2 di antaranya harus mendapatkannya di kota. Sementara jarak yang mesti ditempuh dari teman-teman saya ke kota lumayan jauh. Bahkan, dari teman tempat menginap saya saja (±10 km atau lebih, barangkali). Begitupun warnet yang menurut A. Syauqi Sumbawi jumlahnya tidak lebih dari 4 buah (di mana dua atau tiga atau bahkan semuanya tidak mempunyai jam kerja 24 jam). Padahal untuk mendekati koran saat ini, akses kedua media tersebut jelas harus dekat.

Kedua, ketidaksabaran untuk segera memiliki karya yang dibukukan. Pernyataan ini awalnya saya kutip dari jawaban saudara Rodli TL ketika saya tanya, mengapa tidak berproses kreatif di koran dahulu sebagaimana teman-teman kreator pada umumnya, yang kemudian ia jawab dengan kalimat begini, “Saya sudah mencobanya, Mas, ngirim naskah ke beberapa koran tapi karena enggak dimuat, ya langsung saja saya bikin naskah yang bisa segera diterbitkan sendiri.”

Ketiga, pengaruh dari teman-teman yang telah mengawali sebelumnya. Dalam hal ini, tentu saja, nama Nurel Javissyarqi tidak bisa dilewatkan. Bahkan, saya kira di Lamongan yang melakukan hal tersebut cuma dia sendiri—maklum waktu di Yogya ia sempat me-lounching salah satu buku “indie”-nya tersebut yang berjudul Kajian Budaya Semi (2005) bahkan tahun-tahun sebelumnya sempat juga menyosialisasikan karya perdana-nya, Takdir Terlalu Dini (2001)—, eh tak tahunya merembet juga ke teman-teman lainnya. Terutama Alang Khoeruddin, lewat penerbit Ilalangnya yang tak kalah produktif, telah banyak pula karyanya yang diterbitkan, ditambah beberapa antologi puisi bersamanya. Menyusul kemudian AS Sumbawi, Rodli TL, Javid Paul Syatha, Imamuddin SA, Imam Qodim Al-Haromain, dan lain-lainnya. Belum lagi mereka yang hanya ikut antologi bareng.

Keempat atau terakhir adalah idealisme dan kepercayaan diri yang tinggi. Di mana tentu saja tanpa point ini, tak akan berlahiranlah karya-karya mereka tersebut.

Dari fenomena di atas, wajah Lamongan memang terkesan menjadi lain sekarang, dibanding daerah-daerah tetangganya semacam Gresik, Tuban, atau Bojonegoro. Kehidupan apresian sastra anak mudanya terus menggeliat di antara banyak keterbatasan-keterbatasan. Meski gerakan mereka jelas tidak sama dengan gerakan ala RSP (Revitalisasi Sastra Pedalaman) yang dulu salah satunya dimotori Kusprihyanto Namma dari Ngawi, dan sempat menggegerkan publik sastra kita awal tahun 1990-an, melalui polemiknya di beberapa surat kabar terbitan pusat dan daerah dan diskusi-diskusinya di beberapa wilayah.

Namun lewat ‘pemberontakan’ seperti penerbitan buku, tidak mustahil—karena sifatnya lebih konkrit—bisa jadi hal itu akan lebih ‘berbekas’. Asal ‘api’-nya (meminjam bahasa almarhum pelukis Nashar untuk menyatakan semangat) tidak cepat padam. Toh, mereka perlu waktu kalau benar-benar ingin membuktikannya.

Selain itu, mungkin yang perlu menjadi catatan adalah bahwa gerakan mereka tidak ada sangkut pautnya secara politis dalam konteks dunia kesusastraan sebagaimana gerakan yang saya sebutkan tadi. Di mana mereka tumbuh begitu saja tanpa adanya perlawanan terhadap sebuah hegemoni. Hal ini bisa dilihat langsung dari cara bergerak mereka yang sepertinya berjalan “serempak” padahal kenyataannya tidak alias “berkumpul tapi tidak berkumpul”.

Sayang, di sini saya tidak bisa menjelaskan jumlah secara rinci karya-karya sastra mereka yang telah diterbitkan tersebut, di samping karena ada beberapa penulis yang malu menyebutnya, singkatnya waktu pengamatan saya saat berkunjung ke sana. Tapi, untuk nama-nama penerbitnya selain PUstaka puJAngga (PuJa) dan Pustaka Ilalang, ada juga SastaNesia dan beberapa lainnya.

PUstaka puJAngga sendiri telah memproduksi sepuluh lebih judul sastra karya direkturnya Nurel Javissyarqi. Belum lagi Pustaka Ilalang mengikutinya, disusul SastaNesia & LaRoss. Lamongan dengan kegiatan sastranya semacam itu akhir -nya layak dijadikan contoh bahwa daerah-daerah lain bisa juga mengikuti jejaknya. Terutama bagi daerah-daerah yang merasa kesepian dalam soal akses media massa, internet, atau hiruk pikuk dunia penerbitan ala Yogyakarta, Jakarta, dan Bandung.

“Tak ada rotan akar pun jadi.” Mungkin pepatah ini cukup tepat untuk mengatakannya. Ya, di tengah keterbatasan-keterbatasan dalam hal media sosialisasi berkarya mereka sanggup menunjukkan identitasnya lewat penerbitan buku “indie” tersebut.

Sebagai catatan pamungkas, semoga setelah fase ini masih ada fase lain: produktivitas dan kualitas secara materi bisa terus ditingkatkan lagi agar kegiatan sastra mereka tidak bisa dilirik sebelah mata oleh publik sastra Indonesia. Agar arwah almarhum Satriagraha Hoerip bisa tersenyum puas dengan kota kelahiran tercintanya. Agar teman-teman sastra yang namanya telah mencuat ke permukaan nasional dan konon ada yang malu menyebutkan kota asalnya jadi kembali insaf. Agar Abdul Wachid BS yang kini aktivitas sastranya lebih dikenal di Purwokerto bisa sering-sering mudik ke kampung halamannya (he-he...). Agar Heri Lamongan tergerak untuk menerbitkan antologi tunggalnya (he-he, lagi). Agar gemanya tidak kalah dengan kasus Amrozi. Trims. Salam sastra.

Yogyakarta, April 2007
Abdul Azis Sukarno, Penyair, tinggal di Yogyakarta.

A Musthafa A Rodhi Murtadho A Wahyu Kristianto A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Wachid BS Abdullah al-Mustofa Abdullah Khusairi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimanyu Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Maulani Adek Alwi Adhi Pandoyo Adrian Ramdani Ady Amar Afrizal Malna Agnes Rita Sulistyawati Aguk Irawan Mn Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Subiyakto Agus Sulton Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahm Soleh Ahmad Farid Tuasikal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Luthfi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadie Thaha Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rasyid AJ Susmana Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander Aur Alexander G.B. Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Rif’an Aliela Alimuddin Alit S. Rini Alunk Estohank Ami Herman Amich Alhumami Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminudin TH Siregar Ammilya Rostika Sari An. Ismanto Anaz Andaru Ratnasari Andhi Setyo Wibowo Andhika Prayoga Andong Buku #3 Andrenaline Katarsis Andri Cahyadi Angela Anies Baswedan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Sudibyo Anton Wahyudi Anwar Holid Anwar Siswadi Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Zulkifli Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayu Utami Azyumardi Azra Babe Derwan Bagja Hidayat Balada Bandung Mawardi Bayu Agustari Adha Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Bernadette Lilia Nova Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Bhakti Hariani Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budi Winarto Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Bustan Basir Maras Camelia Mafaza Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cecep Syamsul Hari Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Choirul Rikzqa D. Dudu A.R D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Dantje S Moeis Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Darmanto Jatman Dedy Tri Riyadi Delvi Yandra Denny JA Denny Mizhar Dewi Anggraeni Dian Basuki Dian Hartati Dian Sukarno Dian Yanuardy Diana AV Sasa Dinar Rahayu Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi Warsidi Edy Firmansyah EH Kartanegara Eka Alam Sari Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil Amir Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Evan Ys F. Budi Hardiman Fadly Rahman Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fani Ayudea Fariz al-Nizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatkhul Aziz Felix K. Nesi Film Fitri Yani Franditya Utomo Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Garna Raditya Gde Artawan Geger Riyanto Gendhotwukir George Soedarsono Esthu Gerakan Surah Buku (GSB) Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Tri Atmojo H. Supriono Muslich H.B. Jassin Hadi Napster Halim H.D. Hamberan Syahbana Hamidah Abdurrachman Han Gagas Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Priyatna Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasan Junus Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Helwatin Najwa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendriyo Widi Ismanto Hepi Andi Bastoni Heri Latief Heri Listianto Herry Firyansyah Heru Untung Leksono Hikmat Darmawan Hilal Ahmad Hilyatul Auliya Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur Husnun N Djuraid I Nyoman Suaka Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilenk Rembulan Ilham khoiri Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Budi Santosa Imelda Imron Arlado Imron Tohari Indiar Manggara Indira Margareta Indra Darmawan Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ingki Rinaldi Insaf Albert Tarigan Intan Hs Isbedy Stiawan ZS Ismail Amin Ismi Wahid Ivan Haris Iwan Gunadi Jacob Sumardjo Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean-Marie Gustave Le Clezio JJ. Kusni Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Julika Hasanah Julizar Kasiri Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kadir Ruslan Kartika Candra Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Ketut Yuliarsa KH. Ma'ruf Amin Khaerudin Khalil Zuhdy Lawna Kholilul Rohman Ahmad Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Krisandi Dewi Kritik Sastra Kucing Oren Kuswinarto Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lenah Susianty Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto M Shoim Anwar M. Arman A.Z. M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Harya Ramdhoni M. Kasim M. Latief M. Wildan Habibi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria hartiningsih Maria Serenada Sinurat Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Marsus Banjarbarat Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masriadi Mawar Kusuma Wulan Max Arifin Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Mezra E. Pellondou Micky Hidayat Mihar Harahap Misbahus Surur Moh Samsul Arifin Moh. Syafari Firdaus Mohamad Asrori Mulky Mohammad Afifuddin Mohammad Fadlul Rahman Muh Kholid A.S. Muh. Muhlisin Muhajir Arifin Muhamad Sulhanudin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Azka Fahriza Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Nafi’ah Al-Ma’rab Naskah Teater Nezar Patria Nina Setyawati Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noor H. Dee Noval Maliki Nunuy Nurhayati Nur Haryanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurudin Octavio Paz Oliviaks Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pamusuk Eneste Panda MT Siallagan Pandu Jakasurya PDS H.B. Jassin Philipus Parera Pradewi Tri Chatami Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R Sutandya Yudha Khaidar R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rahmat Sutandya Yudhanto Raihul Fadjri Rainer Maria Rilke Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridha al Qadri Ridwan Munawwar Rikobidik Riri Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rizky Andriati Pohan Robert Frost Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Romi Febriyanto Saputro Rosihan Anwar RR Miranda Rudy Policarpus Rukardi S Yoga S. Jai S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Gerilyawan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra SelaSastra ke #24 Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Subhan SD Suci Ayu Latifah Sulaiman Djaya Sulistiyo Suparno Sunaryo Broto Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunudyantoro Suriali Andi Kustomo Suryadi Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Susilowati Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Bahri Syam Sdp Syarif Hidayatullah Tajuddin Noor Ganie Tammalele Tan Malaka Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Tengsoe Tjahjono Th Pudjo Widijanto Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Joko Susilo Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Umar Kayam Undri Uniawati Universitas Indonesia UU Hamidy Vyan Tashwirul Afkar W Haryanto W.S. Rendra Wahyudin Wannofri Samry Warung Boenga Ketjil Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Web Warouw Wijang Wharek Wiko Antoni Wina Bojonegoro Wira Apri Pratiwi Wiratmo Soekito Wishnubroto Widarso Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Wing King WS Rendra Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yosi M. Giri Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Yuyu AN Krisna Zaki Zubaidi Zalfeni Wimra Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhaenal Fanani Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar Zulhasril Nasir