Jumat, 26 Desember 2008

Estetika Sufistik dan Sastra Indonesia

Tjahjono Widarmanto*
http://newspaper.pikiran-rakyat.com/

SUATU teks disebut sebagai karya sastra apabila mampu memberikan kepada pembacanya suatu pemahaman baru dan mendalam tentang kompleksitas kehidupan manusia. Teks tersebut harus sanggup menjalin interkomunikasi antara hakikat realitas dan hati sanubari. Harus dapat menampilkan suatu segi dari realitas yang belum seutuhnya diketahui, realitas paling abstrak, yang sanggup membangun kesadaran kontemplatif tentang apa hakikat hidup, kehidupan, manusia, dan kemanusiaan.

Oleh karena itu, objek karya sastra selalu manusia sehingga sastra merupakan sebuah fakta kultural atau fakta kemanusiaan. Jadilah teks sastra sebagai fakta kemanusiaan, fakta kejiwaan, dan fakta kesadaran kolektif sosiokultural.

Demikian juga dengan sastra Indonesia. Sepanjang perkembangannya selalu mencoba merefleksikan segala persoalan kejiwaan manusia Indonesia yang barangkali amat universal sehingga tidak mustahil juga digelisahkan manusia lainnya, seperti persoalan cinta, keterasingan, kematian, penindasan, bahkan kesangsian terhadap jati dirinya sendiri.

Perkembangan sastra Indonesia bersumber dan mengarah pada dua sisi. Sisi pertama, mengacu pada bentuk-bentuk pembaharuan yang bersumber dari Barat, yang tergambar pada isi dan pandangan hidup yang merupakan hasil penjelajahan sastrawannya terhadap pemikiran-pemikiran modern yang bernafaskan filsafat Barat. Sisi kedua, merupakan bentuk kecenderungan sastrawannya yang lebih mengacu pada penggalian jejak-jejak akar etnisnya sendiri atau cenderung menggali khazanah spiritualisme Timur.

Salah satu bentuk penggalian etnis dan spiritualisme Timur itu adalah bentuk-bentuk kesusastraan Indonesia yang bernapaskan sufistik. Pandangan-pandangan sufistik yang muncul pada karya-karya sastra Indonesia bersumber dari berbagai ajaran. Ada yang menggali pada sumber ajaran sufi Islam (tasawuf), ada yang menggali pada ajaran Kebatinan Jawa, dan ada pula yang melacak jejak-jejak ajaran mistik Hindu-Buddha.

Karya-karya sastra Indonesia yang bersumber pada pandangan sufistik Islam (tasawuf) menggali pandangan-pandangan Islam yang sangat universal. Pandangan-pandangan itu antara lain tentang eksistensi Tuhan yang monoteisme, kecintaan dan kerinduan (mahabah) yang hebat pada Tuhannya, kesempurnaan hidup di jalan Tuhan, eksistensi manusia sebagai makhluk dan hubungannya dengan Khaliknya, sikap hidup zuhud, serta konsep widhatul wujud (widhatul syuhud).

Tak jauh dari karya-karya sufi yang berakar pada pandangan tasawuf, karya-karya sastra sufi yang bersumber pada ajaran sufistik Jawa (kebatinan/kejawen) juga memproyeksikan kegelisahan manusia mencari jawab terhadap persoalan-persoalan ketuhanan. Persoalan-persoalan ketuhanan ini juga bertitik tolak pada persoalan eksistensi Tuhan dan eksistensi manusia berikut sikap hidup dan hubungan manusia dengan Tuhannya.

Dalam filosofi Jawa, persoalan-persoalan tersebut diistilahkan dengan sangkan paraning dumadi, manunggaling (jumbuhing) kawula gusti, narima, mamayu-mayu hayuning bawana, dan sebagainya. Sedangkan dalam mistik Hindu-Buddha disebut sebagai atman-brahman, sangkhya, bhakti yoga, dan sebagainya.

Genre sastra sufistik, utamanya yang bersumber pada sufistik Islam (tasawuf), kebanyakan berbentuk puisi. Kecenderungan ini karena terilhami Alquran yang ditulis dalam bentuk puisi yang amat indah, penuh simbol, dan penuh pandangan hidup yang menakjubkan. Sebagai bentuk ekspresi pun, terutama untuk ekspresi pengalaman rohani dan religius, genre puisi amat cocok karena personal, unik, universal, sarat simbol, dan mistik.

Sebenarnya, genre sastra sufi dalam konstelasi sastra Indonesia sudah dikenal sejak periode kesusastraan Melayu. Pada periode itu, sastra sufi dikenal dengan istilah sastra kitab. Dalam perjalanan sejarah sastra Indonesia selanjutnya, sejak era Amir Hamzah, sastra sufi telah menjadi bagian kekayaan sastra Indonesia dan terus berkembang dengan berbagai ragam ekspresi. Tradisi sastra sufi dalam sejarah sastra Indonesia terkini pun masih ditulis sastrawan-sastrawan mudanya seperti Acep Zam-Zam Noor, Jamal D. Rahman, Abdul Wachid B.S., Hamdy Salad, Ulfatin CH, Ahmad Syubbanuddin Alwy, dan masih banyak lagi.

**

WALAU ditulis dengan berbagai ekspresi dan bentuk pengucapan, sastra sufi memiliki karakteristik kecenderungan estetika yang sama. Kecenderungan estetika sastra sufi itu di antaranya adalah ekspresi kerinduan kepada Allah. Para penyair selalu tertarik pada wilayah sunyi. Sunyi akibat merasa jauh dari kekasih hatinya, yaitu Allah. Ketertarikan pada dunia sunyi yang penuh jeritan rindu kepada Tuhannya itu, bisa diamati begitu dominan pada puisi-puisi Amir Hamzah, Acep Zam-Zam Noor, dan Jamal D. Rahman.

Untuk menggambarkan kerinduan, pencarian, dan kecintaan (mahabah) pada Tuhannya itu, para penyair sufi sering menggunakan simbol burung (pada puisi-puisi Jamal D.Rahman), kekasih (digunakan Amir Hamzah, Emha Ainun Nadjib, Acep Zam-Zam Noor), gadis atau dara, api, dsb. Dan muara gelombang sunyi itu bagi para penyair sufi ini adalah berakhir pada kepasrahan. Ditulis dengan indah oleh Jamal D. Rahman sebagai "bersedekap di keleluasaan langit dari rindu ke rindu".

Kepasrahan ini menyiratkan betapa para penyair sufi ini mengakui kehinaan dan keterbatasan dirinya sebagai makhluk yang tak berdaya di hadapan Tuhannya. Pengakuan ini jelas tergambar dalam ekspresi…/mengetuk pintu demi pintu.jam berdetak/di lantai.dinding pun terjaga.dan ombak bangkit/dari jendela.aku tersungkur lewat pintu-pintu itu,/angin mengusung zikirku dari alif ke alif, dan asmamu/mengerang di padang-padang sembahyang/ ("Di Padang Sembahyang", Jamal D. Rahman).

Karakteristik estetika sufi yang lain adalah ekspresi khas sufi tentang penyatuan hamba dengan Tuhannya. Dalam konsep tasawuf dikenal dengan istilah widhatul wujud. Merupakan suatu konsep dan persepsi kesatuan dalam kegandaan serta kegandaan dalam kesatuan. Tuhan tidaklah dihayati sebagai Dia yang berada di sana namun juga hadir bersama manusia. Tuhan memang tak terjangkau tapi bisa didekati (taqarub) sebab Dia juga Mahadekat.

Ajaran sufi mengisyaratkan adanya hubungan yang tak terpisahkan antara alam dan manusia. Manusia merupakan mikrokosmos (jagat kecil-dunia kecil), sedangkan alam merupakan makrokosmos (jagat besar-dunia besar). Manusia dan alam merupakan dua kaca yang masing-masing memantulkan permukaan yang lain. Di satu sisi, manusia terwujud karena adanya hubungan dan ketergantungan dengan makrokosmos, sedangkan di sisi lain makrokosmos dikuasai manusia (Burcahdt, 1984).

Tampaknya, berangkat dari konsep makro-mikrokosmos ini mengakibatkan kecenderungan para penyair sufi untuk bermain-main dengan natural symbols untuk melukiskan kegelisahan pencarian, kerinduan, dan kepasrahannya pada Tuhannya. Dalam larik-larik puisi "Lautan Jilbab"-nya, Emha berteriak berzikir, beristigfar/ bagai merontokkan bintang-bintang/dari tangkainya/. Ia juga menggunakan kata debu, lumut, padang, cahaya. Hal serupa juga cenderung digunakan Amir Hamzah dan Zawawi Imron dengan mengusung citraan alam: samudra, pelangi, kabut, kelamkan kabut tubir pantai. Sedangkan Jamal D. Rahman dan Acep Zam-Zam Noor mengusung citraan alam burung, sungai, gurun, malam, ombak, kabut, cahaya, langit-langit waktu, tebing, dingin angin, zikir gunung, tahajud malam, tahajud gurun, daun, guruh, gerimis, dan sebagainya.

Natural symbols itu mereka pakai untuk membangun asosiasi yang tajam, membentuk metafora-metafora yang merangsang imagi, sekaligus menghadirkan sebuah emosi tertentu pada diri pembaca. Sekadar contoh, bisa diamati pada larik-larik ini: …./ombak pun menggelepar.mengibaskan sayapnya pada matahari/ tapi di curam hatiku gelisahmu masih menggema menuruni/lembah tahajudku di padang doa-doa:daun-daun bersujud,/memaknai diam gunung-gunung.mengisi lembaran jiwaku/dengan tasbih dan kedinginan (Ombak pun Menggelepar, Jamal D. Rahman).

Tampaknya kegelisahan-kegelisahan "mencari Tuhan" akan terus menjadi tema yang menarik bagi para sastrawan. Selama kegelisahan-kegelisahan itu hadir menjadi salah satu persoalan eksistensial manusia maka karya sastra sufistik akan terus ditulis. Kehadiran karya-karya sastra sufistik itu tentu saja akan memperkaya khazanah sastra Indonesia. Dan, bagaimana wujud ekspresi estetika mereka akan menjadi kajian-kajian stilistika yang penting dalam posisi teori, sejarah, dan kritik sastra Indonesia di masa mendatang.***

*) Penyair dan pemerhati budaya.

Selasa, 23 Desember 2008

Sastra Sejarah: Sastra dan Sejarah

Marhalim Zaini
http://www.riaupos.com/

ADA persepsi yang seolah melekat-kuat di tubuh dunia Melayu, seolah identik, seolah bersebati, bahkan ia (kerap) menjadi sentral, ketika sistem sosio-politik feodalisme kerajaan, kita suguhkan dalam sebuah ruang perbincangan. Banyak sudah para ahli, juga para pengarang, dari zaman ke zaman merespon, menelaah, menggali berbagai materi dari berbagai perspektif.

Buhari al Jauhri misalnya, di tahun 1603 M menyusun Taj al-Salatin yang berisi di antaranya tentang nasehat dan petunjuk bagaimana menjalankan pemerintahan dengan adil, tentang konsepsi kerajaan, serta tentang siapa yang paling layak menyandang gelar raja dengan berbagai persyaratannya. Dalam Sulalat al-Salatin (lebih dikenal dengan Sejarah Melayu) oleh Tun Sri Lanang (1612 M) juga demikian, pun tak jauh berbeda dalam Bustan al-Salatin oleh Nuruddin al-Raniri (1638 M). Lalu Raja Ali Haji juga menulis Tsamarat al-Muhimmat yang juga bermuatan tentang konsep kerajaan dan etika politik di zamannya. Dan tengok juga Tuhfat al-Nafis, yang ditulis oleh Raja Ali Haji di istana Riau (1866-1872) beberapa tahun setelah Sultan Mahmud IV disingkirkan dari istana Lingga oleh Belanda, adalah semacam manifestasi pemikiran-pemikirannya tentang ide-ide politik dunia Melayu sekaligus menawarkan persepsi yang berbeda dalam memandang falsafah mitos di dunia kerajaan.

Lalu, apakah persebatian antara dunia Melayu dan kerajaan ini, kemudian dapat dimaknai oleh generasi zaman kini sebagai sebentuk pemahaman tentang falsafah kebudayaan Melayu secara umum, sekaligus termanifestasikan dalam konsepsi sistem pemerintahan sekarang? Agak rumit dan kompleks menjawabnya. Soalnya kini, bukanlah bagaimana caranya kita harus berduyun-duyun untuk memutar langkah ke belakang, kembali ke masa lampau, menjadi tradisionalis, dan bahkan menjadi (kembali) feodalis, akan tetapi setumpuk karya warisan bangsa Melayu itu, yang lahir dari sebuah tradisi intelektual di lingkungan istana raja-raja Melayu, mutlak menjadi semacam sumber-sumber yang dapat melahirkan karya-karya kreatif yang baru. Namun yang jadi problem kemudian adalah, mampukah (atau maukah) kita mencerna dan melakukan tafsir atas sesuatu yang telah tak aktual, sesuatu yang berada jauh dalam wilayah sejarah kita di masa kini, menjadi sesuatu yang dapat menawarkan aktualitas, menawarkan tentang cara pandang yang baru dari sebuah kehidupan masyarakat yang menyuguhkan kearifan-kearifan, dan lalu menyempal dalam zaman yang sedang berlari ini.

Karya sastra, dalam konteks kerja kreatif serupa yang saya maksud di atas, adalah sebuah ruang alternatif. Dia (karya sastra) bekerja sebagai medium ekspresi yang efektif untuk dapat memahami seluk-liku kehidupan dalam berbagai kemungkinan. Jika dalam sejarah, kita menemukan berbagai fakta, berbagai nama, berbagai peristiwa dalam wilayah yang serba terikat-akurat oleh sistem ilmiah yang lahir dari proses pengamatan yang cermat, penelitian yang detil, maka dalam sastra ruang-ruang imajiner lebih dapat hidup dan berkembang dalam ketajaman tafsir, perenungan yang dalam, serta pengahayatan akan nilai-nilai. Keduanya, sejarah dan sastra, acapkali terjadi tarik menarik ketika kita mulai kembali mambahas tentang dunia kepenulisan kita. Sebab, seperti tak bisa tidak, sejarah yang tertulis di negeri ini selalu disertai dengan ragam mitos yang dapat mengurangi kadar ‘kebenaran’-nya sendiri. Sehingga kitab Sejarah Melayu (Sulalat al-Salatin) pun sempat diragukan sebagai sebuah karya sejarah, apalagi Hikayat Hang Tuah misalnya yang kerap menghadirkan kontraversi.

Mengahadapi novel Bulang Cahaya karya Rida K Liamsi, hemat saya, adalah sama halnya menghadapi proses tarik-menarik tersebut. Meski penulis novel tampak lebih menghindar dari sebutan ‘novel-sejarah’ dengan tidak menerakan angka-angka tahun terjadinya peristiwa (ditambah dengan penegasan penulis sendiri dalam Catatan Pembuka di lembar awal novel ini), namun kesan historis tetap melekat-menyertainya, sebab hampir seluruh nama-nama tokoh, juga nama-nama setting tempat, merujuk pada ‘fakta-fakta’ sejarah. Dan tentu saja, dengan demikian, tak dapat serta merta ‘membunuh’ ingatan kolektif kita tentang sejumlah peristiwa sejarah tersebut. Akan tetapi tidak lantas kemudian membuat novel setebal 327 halaman ini kehilangan bentuknya sebagai sebuah karya sastra yang menarik. Sebagai ilustrasi, kalau saja tiba-tiba disuguhkan pada anda kitab Tuhfat al-Nafis dan novel Bulang Cahaya, yang secara garis besar kisahnya (sejumlah episode) merujuk pada riwayat yang sama, hampir dapat saya pastikan pilihan anda akan jatuh pada Bulang Cahaya. Kenapa begitu? Tanpa mengecilkan makna dan arti penting kedua naskah tersebut, sebagai orang yang hidup di zaman serba instan dan pragmatis ini, membaca Tuhfat al-Nafis adalah sebuah kerja yang membutuhkan cara baca yang khusus dengan kemampuan pemahaman yang khusus pula, sementara membaca Bulang Cahaya seolah kita sedang membaca sesuatu yang lampau, sesuatu yang jauh, tapi terasa dekat dengan diri kita. Artinya, ada yang masih terasa berdenyut di nadi kita, sesuatu yang selama ini kita anggap sebagai ‘kuburan’. Ada ketertarikan yang kuat dari dalam diri kita untuk ikut memiliki sejarah sebagai bagian yang tak terpisahkan dari hidup kita. Sebab dalam sejarah, mensinyalir Michel Foucault, menyimpan wacana atau juga instrumen, sehingga ia menjadi teropong untuk dapat membaca peristiwa dan kehidupan manusia masa kini.

Saya kira, inilah kerja penafsiran itu. Sumber-sumber yang kita miliki dari masa lalu, adalah kekayaan kita. Betapa dahsyat daya kreatif yang tertuang dalam banyak karya Andre Gide misalnya yang menyadap karya klasik macam Oedipus yang merupakan kekayaan budaya klasik Yunani. Lalu J.W. Goethe dengan mengangkat karya klasik Jerman macam Faust. Atau seorang pengarang Inggris, James Joyce, bukankah kebesaran namanya tersebab novelnya berjudul Ulysses yang mengolah dari mitologi Yunani. Mari kita baca drama-drama Sofokles, Euripides, Aeschylus misalnya, yang hidup empat-lima abad sebelum Masehi, nafasnya masih juga sampai ke zaman kini karena terus menerus diisi oleh gagasan-gagasan filosofis sesuai dengan dinamika zamannya. Di Indonesia kita mengenal karya-karya Pramoedya Ananta Toer semisal tetralogi Bumi Manusia-nya atau Arok Dedes yang khusus membeberkan peristiwa makar/kudeta dalam konteks pemerintahan ala Jawa. Dalam Arok Dedes, meski yang dikisahkannya adalah peristiwa politik di abad 13, asosiasi kita justru dibawa Pram ke dalam kisah ‘perebutan kekuasaan’ di tahun 1965 dalam catatan sejarah bangsa ini. Dan semangat yang terasa menjalar dari novel Bulang Cahaya karya Rida K Liamsi ini, adalah semangat yang dibangun dari cara kerja kreatif yang serupa itu.

Paradigma Kekuasaan, Seksualitas, dan Posisi Perempuan

Apa yang dapat kita bayangkan dari sebuah struktur pemerintahan yang feodalistik, tak lain adalah manifestasi dari hirarki kekuasaan. Tersebab, selain ia demikian menggoda dan memesona, kedudukan raja, adalah kedudukan yang suci, kedudukan yang sentral di mana ‘daulat’ disimbolkan ke atasnya. Dalam konsep Melayu tradisional, semasa monarki absolut bertahta, rakyat sangatlah tergantung pada anugerah raja, sebab raja dianggap ‘pemberian’ Tuhan. Raja-lah yang menghitam-putihkan setiap keputusan. Dalam Novel Bulang Cahaya, kita dapat kembali ‘membayangkan’ prihal kekuasaan yang serupa itu.

Kerajaan Lingga, adalah setting sentral bergulirnya peristiwa-peristiwa dalam novel ini. Dari sana diurai, bagaimana ‘kekuasan’ bergerak dalam berbagai sendi, berbagai sisi dalam kehidupan para bangsawan. Raja Djaafar, adalah seorang tokoh bangsawan berdarah campuran Melayu-Bugis, yang di awal novel ini telah di-identifikasikan sebagai sosok lelaki yang selama lima tahun menanggung dendam, rasa sakit hati yang dalam. Tapi dendam karena apa? Sakit hati tersebab apa? Jawabannya tak dapat segera kita temukan dari mulut Raja Djaafar sendiri, tapi dari sebuah percakapan rombongan yang menjemput Raja Djaafar di Selangor untuk berkenan kembali ke Riau dan menjadi Yang Dipertuan Muda menggantikan Yang Dipertuan Muda Raja Ali yang telah wafat. Bahwa ada dua versi sebab utama kenapa Raja Djaafar seolah berpatah arang untuk dapat kembali ke Riau. Pertama, Raja Djaafar kecewa kenapa bukan dia sebagai anak kandung paling tua, yang menggantikan Yang Dipertuan Muda Raja Haji Syahid Fisabilillah di Teluk Ketapang, tapi justru Raja Ali anak Daeng Kembodja (paman saudara Raja Djaafar) yang diangkat dan dipilih dalam rapat para pembesar kerajaan Riau, terutama dari pihak Bugis. Kedua, ini soal hati. Soal cinta. Raja Djaafar bukan main kecewa ketika Tengku Buntat (anak semata wayang Tengku Muda Muhammad), perempuan Melayu yang selama ini jadi tambatan hatinya, gadis tercantik di Riau, yang dipanggil dengan nama pujian Bulang Cahaya, harus menikah dengan Tengku Husin.

Dari dua versi sebab-musabab di ataslah, hemat saya, cerita dalam novel ini disandarkan. Dan keduanya, sama-sama menyembunyikan potensi riwayat konflik yang saling terkait dan saling memberi pengaruh yang kemudian mengembangkan episode demi episode novel ini. Diangkatnya Raja Ali sebagai Yang Dipertuan Muda, merupakan sebuah keputusan politik yang dilatari oleh konflik perebutan kekuasaan Melayu-Bugis. Bermula ketika Belanda dilumpuhkan oleh Inggris, yang otomatis membatalkan pemberlakuan perjanjian Belanda dan Riau (setelah perang) di kapal Utrecht yang berisi bahwa Sultan Mahmud harus mengakui kekalahannya dan berjanji untuk tidak lagi menjadikan orang Bugis sebagai Yang Dipertuan Muda. Belanda pada saat itu memang demikian membenci dan bermusuhan dengan Bugis terutama karena ulah Raja Ali yang menyerang Residen Belanda David Ruhde di Pulau Bayan. Nah, ketika Inggris berkuasa, Raja Ali hendak merebut kembali jabatan Yang Dipertuan Muda, karena ia menganggap itu adalah hak orang Bugis. Raja Ali kemudian menyerang Riau. Dengan dibekali keahliannya dalam berperang, terutama perang melawan kompeni Belanda di Tanjung Palas, setelah lebih 20 hari berperang, akhirnya pasukan Raja Ali memenangkan pertempuran. Raja Ali berhasil menguasai sejumlah pulau. Namun belum sempat mereka menyerbu Tanjungpinang, Sultan Mahmud memerintahkan untuk menghentikan peperangan, dan menyuruh kedua belah pihak (Raja Ali dan Tengku Muda Muhammad) untuk segera menghadapnya di Pulau Bulang.

Dalam pertemuan inilah, terjadi tarik-menarik kepentingan, tawar-menawar politis, antara Melayu dan Bugis. Pihak Bugis yang demikian kuat mendesak untuk segera mengembalikan hak-hak mereka sebagai orang Bugis, tampak mendominasi pembicaraan. Sehinga dengan segala macam argumentasi, akhirnya lewat mulut Raja Andak, salah seorang penasehat kerajaan dan ketua pemangku adat dari pihak keturunan Bugis, Sultan Mahmud menetapkan titahnya.

Apa yang dapat ditangkap dari peristiwa ini adalah bahwa kekuasaan sedang beroperasi dalam suatu struktur hukum dan politik yang bertengger di telunjuk Sultan Mahmud. Dan pada saat yang sama, strategi-strategi juga bekerja dalam institusi dan mekanisme subordinasi sebuah ‘negara.’ Namun siapakah sesungguhnya yang diuntungkan oleh keputusan ini? Rupanya, kita sedang diajak oleh penulis novel ini menelisik ke dalam dominasi wacana kelompok/puak yang masing-masing hendak menunjukkan eksistensinya lewat kekuasaan. Pertelingkahan Bugis-Melayu nampak cukup mengambil porsi yang luas dalam novel ini. Tengoklah bagaimana Rida K Liamsi mendiskripsikan prediksi tentang strategi-strategi cerdik di balik keputusan Sultan Mahmud tersebut, sekaligus memberi gambaran tentang bagaimana politik kekuasaan dan kekuasaan politik dapat masuk ke dalam wilayah ‘seksualitas’. Bahwa intinya adalah pihak Bugis ‘dimenangkan’ oleh keputusan tersebut.

Pertama, pengangkatan Raja Ali sebagai Yang Dipertuan Muda dapat “memadamkan kemarahan pihak Bugis yang merasa budi mereka selama ini akan dikesampingkan dan Sumpah Setia Melayu-Bugis akan dihapus. Artinya, jabatan Yang Dipertuan Muda kekallah di tangan keturunan Bugis” (hal. 178-179). Dan pada saat yang sama, pihak Melayu yang diberi jabatan Temenggung Riau, tetap dalam posisi ‘dirugikan’ karena berada di bawah setingkat dari Raja Muda, dan berarti di bawah dari keturunan Bugis. Kedua, perkawinan Sultan Mahmud dengan Raja Hamidah juga bermuatan politis. Orientasi Bugis adalah hendak menggapai kedudukan kekuasaan paling tinggi, yakni kursi Sultan Mahmud (yang selama ini diduduki oleh pihak Melayu). Keturunan dari Sultan Mahmud dan Hamidah inilah nanti yang paling berhak menggantikan Sultan Riau. Ketiga, yang dituju oleh pihak Bugis dari perjodohan Tengku Husin dengan Tengku Buntat adalah juga sebuah siasat jangka panjang untuk meraih kursi kekuasaan Sultan Riau. Yakni keturunan dari mereka inilah (yang berdarah Melayu-Bugis) yang kelak dapat menggantikan kedudukan Sultan.

Yang menarik dari fenomena ini bagi saya adalah tentang bagaimana wacana kekuasaan dapat dengan tegas dan leluasa masuk ke dalam wacana ‘seksualitas’ seperti yang saya singgung di atas. Ada paradigma tentang prosedur tubuh manusia sebagai entitas potensial dalam tubuh sosio-politik yang dapat beroperasi membentuk dan membangun wacananya sendiri. Sehingga muncul istilah ‘pekawinan politik’ di atas ranjang pengantin Melayu-Bugis. Bukan hal baru memang, sebab seolah sudah jadi soal klasik dalam kisah-kisah di dunia kerajaan kita. Namun, dari sini kita seolah dapat berkesimpulan (kembali) bahwa wacana ‘seksualitas’ menjadi medium laluan bagi wacana kekuasaan untuk menegaskan dirinya. Ada relasi yang saling menandaskan eksistensinya. Akan tetapi pada saat yang sama pula, paradigma pun bergeser, bahwa darah/kasta/keturunan/etnis menjadi superior dalam sistem kekuasaan, dan bahkan kemudian menjelma menjadi – apa yang disebut Michel Foucault– sebagai “kekuasaan yang sesungguhnya.” Bagi Foucault, yang menjadi bagian dari teknik kekuasaan adalah diskriminasi, yang berarti menciptakan ketidaksamaan. Artinya, dari sana akan lahir bentuk-bentuk perlawanan. Perlawanan-perlawanan inilah yang menegelompokkan orang-orang ke dalam kategori-kategori identitas.

Artinya, ketika ada yang superior, maka ia dominan. Dominasi ini pada gilirannya dapat pula menggeser apa yang hakiki dari sebuah hubungan ‘seksualitas’ yang beralaskan ‘cinta’. Agak klise memang. Tapi karena sifat dari (kata) ‘cinta’ yang kerap ambigu dalam proses permaknaannya, maka kerap pula menimbulkan persepsi (juga perspektif) yang tidak tunggal. Dalam Bulang Cahaya, ‘cinta kuasa’ secara sekilas dapat mengalahkan ‘kuasa cinta’ dalam banyak hal. Cinta, tidak cukup berkuasa dalam mengatasi problem-problem kekuasaan yang menjadi batu-batu besar pengganjal.

Dengan begitu, bukan berarti saya sedang mengajak kita untuk meyakini bahwa novel ini harus berakhir happy-ending, barulah cinta beroleh kekuasannya secara mutlak. Tapi mari kita tengok bagaimana cinta juga tak ‘diperhitungkan’ dalam banyak kejadian di novel ini. Misalnya yang paling menonjol, bagi saya, adalah munculnya sebutan ‘istri anugerah.’ Istri anugerah adalah perempuan yang ‘diberikan’ kepada seorang lelaki (bangsawan) yang telah berjasa pada kerajaan (andai saja ini masih berlaku sampai sekarang, alangkah senangnya hati laki-laki, tapi siap-siaplah kena demo, he…). Yang hendak saya katakan di sini adalah bahwa bagaimana sesungguhnya posisi perempuan (yang serupa itu) dalam konstelasi hidup berkebudayaan di dunia feodalisme Melayu. Perempuan, dalam posisi semacam itu, jelas tak memiliki daya tawar (hak) apapun untuk menentukan pilihan bagi keberlangsungan hidupnya sebagai manusia. Ia (perempuan) bagai sebuah ‘barang mati’ yang dapat dengan mudah dimiliki. Ia (perempuan) seolah menjadi tempat singgah saja bagi tumbuhnya benih-benih kekuasaan dalam rahimnya. Meski, ada argumentasi filosofis sebagai pembelaan yang mengikutinya, misalnya: “perempuan (pada zaman itu) justru sangat bangga dan wajib berbahagia karena telah terpilih sebagai istri anugerah.”

Rida K Liamsi, saya kira, memang sedang mengajak kita untuk terus menggali paradigma-paradigma filosofis tentang realitas (faktual) yang tersaji dalam Bulang Cahaya. Karakter-karakter perempuan dalam novel ini lebih menunjukkan bahwa mereka tampak tak ‘berkuasa’ menghadapi tekanan-tekanan politis dari berbagai arah. Dan otomotis laki-laki lebih mendominasi. Bukan berarti pula kemudian para perempuan ini menerima begitu saja. Meski lebih terasa sekilas, seolah tersembunyi, perlawanan itu (sebagai sebuah wacana feminisme), mencuat juga dalam sejumlah tempat. Misalnya ketika ibu Raja Djaafar, Tengku Putih Bangsawan Johor, menceritakan perihal silsilah keluarga (termasuk istri-istri Ayahnya, Rajah Haji) pada Raja Djaafar, tersirat dalam sebuh narasi yang berbunyi begini, “Djaafar sempat melihat ibunya menerawang jauh. Memandang keluar tingkap Dalam Besar dan seakan-akan mengenang suatu peristiwa yang pedih dan pahit” (hal. 69-70). Dan lalu ditegaskan kembali dalam narasi pada paragraf berikutnya, “Raja Djaafar tersenyum sejenak, meskipun dia tahu, ketika bercerita itu, ibunya tampak getir. Mungkin cemburu” (hal. 70). Jelas, bahwa kata ‘cemburu’ di sini menyiratkan ketidak-berterimaan Tengku Putih atas istri-istri Raja Haji. Sekaligus menegaskan tentang sebuah perlawanan terselubung.

Pada bab lain, kita akan menemukan perlawanan terselubung itu tampak lebih mencuat. Yakni ketika Raja Djaafar mencoba menelusuri penyebab sakitnya Sultan Mahmud. Seorang tabib memprediksi bahwa selain karena Sultan diserang penyakit barah hati, Sultan juga termakan racun. Nah, soal racun inilah yang kemudian diduga membabitkan orang-orang terdekat istana, terutama bagian dapur. Raja Djaafar menduga bahwa kalau racun masuk dalam makanan, maka hanya permaisuri-permaisuri dan kepala-kepala dayang dan biduanda yang paling tahu. Raja Djaafar kemudian terbayang pada para permaisuri Sultan. Apakah Engku Puan Pahang dan Engku Puteri yang memang sedang berebut kasih Sultan dan keduanya tak dapat mewarisi putera mahkota. Sementara permaisuri yang dua lagi, seorang keturunan Bugis, seorang keturunan Melayu. Kedua permaisuri ini memiliki seorang putera. Maka ada indikasi mereka membidik kursi Sultan Riau Lingga. “Apakah racun itu karena perebutan cinta dan kuasa di ranjang baginda, atau perebutan kedudukan putera mahkota?” Gumam Raja Djaafar (hal. 264). Meski dalam novel ini dugaan tersebut hanya tersimpan menjadi dugaan semata, dan terkesan misterius, namun makna sebuah perlawanan di sini telah pun disuguhkan oleh penulis. Entah kemudian lebih memberi kesan tentang peliknya problematika kekuasaan dalam sebuah kerajaan, atau pun hendak menunjukkan peliknya juga problematika sebuah keluarga (dengan istri banyak).

Sosok utama yang kerap disebut dan sekaligus jadi cahaya di negeri Bulang dalam novel ini adalah Tengku Buntat. Karakter tokoh ini pada awalnya dapat diidentifikasikan sebagai sosok yang cukup keras dalam bersikap. Terutama ketika dia meluahkan amarah pada Raja Djaafar karena dia mengetahui tentang peristiwa perkelahian Raja Djaafar dengan Tengku Ilyas, anak Melayu yang juga tergila-gila dengan Buntat.

Namun, pada bab berikutnya, ketika Raja Djaafar memutuskan untuk kembali ke Riau, dan hendak menguatkan hatinya yang rawan terhadap cinta lamanya pada Tengku Buntat, Raja Djaafar justru berucap, “Beta tak mau berkawin dengan perempuan yang lembut, tak berani menentang, terlalu mudah menyerah. Beta tak mau mengingat lagi sifat Buntat. Lembut, pasrah, dan tak berani menempuh halangan” (hal. 200). Meski perkataan ini muncul ketika Raja Djaafar terkenang bagaimana naik pitamnya dia dulu ketika mendengar kabar Tengku Buntat kawin dengan Tengku Husin, akan tetapi kalimat ini mengandung pembenaran yang dapat merujuk pada kenyataan yang sebenarnya, yang memang dialami oleh dan terjadi atas Tengku Buntat.

Dan pada saat yang bersamaan pula, sosok perempuan lain muncul, yakni istri Raja Djaafar sendiri, Raja Lebar. Dalam sebuah narasi, Raja Lebar digambarkan sebagai perempuan yang memiliki perangai yang keras, tegar, dan tidak mudah menyerah. Karakter semacam ini, kemudian juga memunculkan tokoh perempuan lain bernama Ratu Mas. Ratu Mas adalah ibu tiri Raja Djaafar, putri Sultan Jambi. Di mata Raja Djaafar, ibu tirinya ini adalah wanita perkasa, salah seorang pahlawan perang Riau di Teluk Ketapang.

Wacana perlawanan tokoh-tokoh perempuan yang muncul dalam novel ini, hemat saya, masih tenggelam oleh wacana kekuasaan (yang didominasi laki-laki), sehingga si ‘Bulang Cahaya’ pun tidak tampak bercahaya dalam konteks tematik. Namun, agaknya pengarang memang sedang tidak mendudukkan keberpihakannya dalam wilayah yang semacam itu. Pengarang hendak mewartakan pada kita sebuah tafsir atas luka cinta, yang tak mampu mengartikulasikan bahasanya dalam dunia feodalisme kerajaan Melayu. Itulah realitas. Namun pengarang masih menyisihkan sebuah tempat yang lain, sebuah ruang yang tak berbatas, sebuah waktu yang tak bertepi, untuk cinta dapat bersemi. Tempat itu mungkin bernama humanisme-universal.

Terakhir, saya hendak mengatakan bahwa, novel Bulang Cahaya yang bergerak mengalir dalam struktur plot berbingkai yang filmis (bagai gambar-gambar dalam sebuah film) ini, dengan detil setting dan deskripsi suasana yang hidup, dengan bahasa yang sangat kuat pengaruh struktur bahasa Melayu, adalah sebuah novel yang romantis.***

Rasa Musik

Zuarman Ahmad
http://www.riaupos.com/

SUATU hari saya masuk ke dalam studio tari menyaksikan para penari latihan. Lama sekali saya termenung menyaksikan mereka latihan menari. “Tari ‘kita’ tetap seperti dahulu juga, itu ke itu juga, tidak pernah berubah,” kata-kata saya dalam hati.

Kenapa Saya berani mengatakan seperti ini? Karena saya dulu pernah juga jadi pemusik tari, bahkan sebagai komposer untuk tari sampai juga ke negeri-negeri Eropa, Cina, dan beberapa negara Asia Tenggara, dan sudah tak dapat lagi menghitung jumlahnya memainkan musik, membuat musik tari, musik pengiring tari kelompok tari “di sini” (baca: Riau) .

Kenapa tari ‘kita’ tetap seperti itu ke itu juga? Apa sebenarnya yang tidak pernah ada dalam tari ‘kita’, apa sebenarnya yang kurang pada tari ‘kita’? Dan sejumlah pertanyaan-pertanyaan itu akhirnya saya sampaikan pada para penari yang sedang latihan di studio tari sebuah perguruan tinggi itu ketika mereka sedang istirahat. Pertanyaan yang menganjal itu adalah sebuah kata yang bernama “rasa”. Karena ada tiga hal yang seharusnya ada dalam sebuah tari, yang dalam istilah tarinya disebut wirasa, wirama dan wiraga. Istilah ini diambil dari bahasa Jawa, yang bermakna: rasa, irama, dan raga.

Tari orang Melayu Riau pada dasarnya hanya mencakupi dua hal untuk keharusan itu yakni wirama (irama) dan wiraga (raga). Wirama (irama) menuangkan musikal dalam tari tersebut, sedangkan wiraga adalah bentuk gerak tari itu sendiri (tubuh). Hal yang jarang dan bahkan tak pernah ada secara estetika dalam tari orang Melayu Riau adalah wirasa (rasa, jiwa, roh). Sebuah kesenian yang tidak mempunyai jiwa ataupun kehilangan jiwa sama dengan “robot” menari, juga “robot” bermain musik. Jadi, apakah jiwa dari kesenian itu sebenarnya?

Dalam sebuah karya seni, yang dihasilkannya itu adalah sebenarnya perasaan dari jiwanya sendiri. Pada musik misalnya, dengan kehadiran tehnologi canggih, semua suara alat musik dapat ditampilkan dalam sebuah perangkat alat musik yang bernama organ atau para musisi juga menyebutnya kibod (dari kata keybord) atau organ-tunggal, bahkan yang tepat mungkin adalah band-tunggal atau orkestra-tunggal. Karya-karya musik dapat dimainkan dengan menggunakan fasilitas MIDI (singkatan dari Musical Instrumen Digital Interface) dengan perangkat komputer atau organ (keybord) yang menggunakan piranti MIDI, namun penampilan karya musik seperti itu tetaplah seperti permainan “robot” @ tidak memiliki rasa atau jiwa.

Begitu juga halnya dengan permainan musik yang tidak ada jiwa (rasa) di dalamnya. Saya setuju dengan pernyataan banyak pengamat musik bahwa sekarang anak-anak sangat luar biasa permainan musiknya, tetapi tidak ada penjiwaan dalam memainkan lagu tersebut. Kalau begitu apa bedanya kita (manusia) dengan robot? Sebab, kalau hanya untuk ketelitian memainkan nada-nada melodi sebuah lagu, robot sangatlah teliti (kecuali peralatannya rusak), namun robot tetaplah robot, tidak mempunyai rasa (jiwa). Inilah juga keuntungan pada sisi yang lain seorang seniman yang belajar musik tanpa mengenal notasi, karena mereka hanya mengandalkan rasa (jiwa), namun ingat juga di sisi yang lain juga permainan musik memerlukan juga wirama (irama) dan wiraga (teknik). Semua orang akan dapat menulis cerita atau puisi, namun tidak semua orang akan dapat menumpahkan rasa (jiwa) dalam puisi-puisinya. Karena itu, dalam latihan-latihan teater, olah-rasa sangatlah penting selain juga olah tubuh (raga).

Rasa atau jiwa dalam kesenian adalah juga dinamika, pada dunia musik yakni semua hal yang berhubungan dengan perbandingan keras-lembut bunyi nada-nada melodi yang dimainkan. Namun, rasa tidak hanya mengenai persoalan dinamika (dalam bahasa Yunani: dynamica) yang juga berhubungan dengan tehnologi cara memainkan musik, tetapi, rasa adalah juga bagaimana seluruh jiwa, semangat dalam tubuh batin seorang musisi ikut larut dalam memainkan musik.

Pada periode Barok, dalam karakter musiknya telah memasukkan ornamentasi sebagai pembangun ekspresif melodi, dimana perubahan dinamika terjadi secara mendadak, juga diperkenankan segala sesuatu yang dapat membantu mewujudkan ekspresivitas lagu, seperti bagaimana menginterpretasikan musik yang akan dimainkan itu. Kata Barok berasal dari bahasa Portugis, barocco, yang berarti mutiara yang memiliki tepi yang tidak beraturan. Istilah yang popular di kalangan pedagang permata ini kemudian dipakai dalam kesenian terutama musik sebagai ‘memperkaya gaya seni’, yang dalam istilah musik disebut dengan nada hias (ornamentasi) yang menjadi usaha untuk memasukkan rasa dalam permainan musik. Seterusnya pada periode Klasik, pengkayaan-pengkayaan ekspresivitasnya bertambah kuat, misalnya dengan pemakaian vibrato pada tempat-tempat tertentu, seperti nada-nada yang bernilai panjang yang ditahan.

Yang penting dalam pembicaraan tentang rasa ini adalah bagaimana seluruh jiwa, semangat dalam tubuh batin seorang musisi luruh dan bersebati dalam permainan musik itu sendiri. Karakter merupakan yang sangat penting dalam hal ini. Ada dua jenis karakter dalam pembicaraan tentang musik. Pertama, karakter yang dimiliki oleh musisi itu sendiri, misalnya seorang virtuoso akan menemukan karakternya sendiri dalam permainan musiknya, dan karakternya yang tersendiri akan dibicarakan di sepanjang zaman. Karakter yang kedua, yakni alat-musik yang dimainkan. Pada perkembangannya, ada dua jenis alat-musik, yakni alat-musik yang dibuat pada periode awal seperti violin, cello, contrabass, guitar, apa yang disebut dengan akustik dalam pengertian alat-musik manual yang dimainkan langsung apa adanya, tanpa bantuan amplifier atau piranti elektronik lainnya sebagai penguat bunyinya.

Alat-musik jenis akustik dapat dimainkan dengan rasa dan jiwa si pemusik. Ada dua hal yang dapat ditampilkan dari jenis alat-musik ini, pertama si pemain akan dapat mencurahkan segala rasa dan jiwa batinnya dalam memainkannya, dengan mengetengahkan karakter si pemain; kedua, bunyi atau suara yang ditimbulkan dari alat-musik itu sendiri menimbulkan karakter tersendiri. Misalnya, bagaimanapun suara seruling bambu mempunyai karakter dari bunyi yang dkeluarkan dari sebatang buluh, dan si peniupnya akan bersebati dan saling menjiwai, saling merasai antara seruling (sebagai alat-musik) dengan peniupnya (manusia). Hal ini akan sangat berbeda dengan bunyi atau suara seruling yang ditimbulkan dari alat-musik organ atau yang disebut dengan istilah alat-musik elektronik. Bagaimanapun pandainya seeorang memainkan suara seruling pada organ, namun karakter seruling yang dikeluarkannya tidak akan dapat menyamai karakter alat-musik aslinya yakni seruling bambu atau seruling yang terbuat dari buluh itu. Bunyi seruling pada organ itu tidak mempunyai rasa atau jiwa dari bambu atau jiwa dari buluh, dan juga rasa dan jiwa si pemainnya tidak dapat ditimbulkan, karena pengaruh tiupan dari mulut si peniup seruling (manusia) menjadi pengaruh yang juga tak dapat dipungkiri dalam mengetengahkan karakter alat-musik seruling ini, yakni bambu (alat-musiknya) dan si peniupnya (manusia).

Bagaimanapun pandainya memainkan bunyi accordion atau saxophone pada organ atau sejenisnya, tidak akan sama karakter yang diciptakannya dengan bunyi accordion atau bunyi saxophone akustik, karena karakter accordion atau saxophone akustik yang asli tidak akan sama dengan bunyi kedua alat-musik itu yang ditimbulkan oleh organ dengan bantuan piranti elektronik lainnya. Bunyi accordion atau saxophone pada organ hanya menyerupai suara accordion atau saxophone akustik, dan tidak dengan karakternya. Apa sebabnya? Karena dalam permainan accordion atau saxophone akustik asli mempunyai rasa dan jiwa dari alat musik itu dan rasa atau jiwa dari pemainnya, sedangkan pada bunyi accordion atau saxophone pada organ rasa dan jiwa tidak dapat dicapai oleh kedua bunyi alat-musik itu. Pada piano akustik dan piano elektrik (bunyi yang ditimbulkannya dibantu oleh piranti lain seperti amplifier dan listrik) akan sangat berbeda sekali karakter dan rasa atau jiwa yang ditimbulkannya.

Rasa dan jiwa (roh) yang lain adalah pada pemain musik itu sendiri. Sebuah lagu akan memiliki rasa, jiwa atau roh kalau pemain musiknya memainkannya dengan rasa, jiwa atau roh batinnya. Ekspresi sesungguhnya diciptakan dari rasa atau jiwa batin si pemain. “Musik tidak dapat membuat orang terharu, kalau pemainnya sendiri tidak terharu”, kata Carl Philipp Emanuel Bach. “Melodi sebagai wujud musik”, seperti yang pernah dikatakan oleh Mozart mengucapkan “pikiran-pikiran musik, tema-tema tertentu yang menjadi pegangan bagi pendengar”, tulis Wouter Paap. Betapapun, musik yang kita anggap sederhana yang dimainkan oleh piul (violin, biola) Pak Ondan di kampung (dulu) dalu-dalu, dapat membangkitkan birahi seorang gadis dan tojun tingkok (terjun dari tingkap rumah) tergila-gila mengejarnya. Dalam cerita yang lain, dengan ketulusannya serta mencurahkan segala rasa serta jiwanya, musik Orpheus dapat meluluhkan hati penjaga pintu gerbang kota orang mati dalam mitologi Yunani, sehingga ia diizinkan menjenguk calon isterinya Eurydice yang sudah mati karena digigit ular berbisa ketika masih di dunia. Sehingga Cristoph Willibald Gluck, komponis Jerman abad ke-18 pada tahun 1762 membuat karya opera tiga babak yang judulnya diubah dalam bahasa Itali sebagai Orfeo ed Euridice. Raniero da Calzabigi menulis libretto-nya yang diambil dari kisah Orpheus dan Eurydice. Dengan musiknya yang indah menyihir, Orpheus meyakinkan penjaga pintu gerbang Hades untuk menghidupkan kembali Eurydice kekasihnya.

Alangkah sejuknya hati ketika kita sembahyang pada subuh hari di sebuah masjid sederhana kampung kita yang masih pastoral, dengan suara lagu bacaan ayat suci Alquran imam tua yang biasa-biasa saja, tetapi hati dan jiwa kita luluh dalam suasana subuh pedusunan itu. Rasa dan jiwa yang ditimbulkan dari keharuan dan ketulusan imam masjid kampung itu membuat jamaah (makmum) sembahyang subuh itu menjadi haru pula, karena sesungguhnya “melodi adalah esensi jiwa yang berubah menjadi bunyi”, kata Diepenbrock, seorang komposer Belanda yang pernah ada.

Jadi, mari memasukkan rasa (jiwa, roh) dalam karya seni kita, dalam musik kita, karena tanpa jiwa atau roh (rasa) sebuah raga tidak berarti apa-apa. Tanah akan tetap menjadi tanah, kalau roh tidak dimasukkan ke dalamnya. Dan, menjadi diri sendiri adalah tujuan akhir dari seniman.***

*) Musisi dan pecinta sastra. Tunak dan berprestasi di bidang yang digelutinya ini selain mengelola Majalah Budaya Sagang sebagai redaktur.

Menuju Sastra Nobel

Edy Firmansyah
http://www.suarakarya-online.com/

Sejak Pramodya Ananta Toer meninggal 30 April 2006 silam, kegalauan banyak sastrawan negeri ini hingga sekarang adalah belum adanya sastrawan Indonesia yang menerima hadiah nobel. Meski setiap tahun ada ratusan sastrawan dari seluruh dunia yang diunggulkan mendapatkan Nobel untuk Sastra meski akhirnya yang terpilih hanya satu orang tetapi tak satupun sastrawan Indonesia yang disebut-sebut sebagai calon kandidat.

Memang semasa Pramodya Ananta Toer masih hidup, Indonesia boleh berbangga. Sebab dialah satu-satunya sastrawan Indonesia yang berkali-kali dicalonkan untuk mendapatkan hadiah bergengsi dibidang sastra itu. Tapi Pram keburu meninggal. Dan kesempatan seorang putra Indonesia untuk mendapatkan hadih Nobel pun lewat.

Pertanyaan mendasar adalah benarkah ini petunjuk bahwa kualitas manusia Indonesia, terutama yang menjadi sastrawan, atau setidaknya karya-karya mereka masih sangat rendah? Mengapa hanya Pramoedya Ananta Toer yang selalu menjadi wakil Indonesia dalam kandidat peraih Nobel Sastra?

Adalah HB. Jassin, sang Paus Sastra Indonesia, yang mengakui bahwa sastrawan kita harus merasa "rendah" diri dihadapan "sastra(wan)" dunia. Pasalnya, kita masih kekurangan makanan yang bergizi untuk dapat bersaing dalam perebutan hadiah Nobel itu. Apa makanan bergizi itu? Budaya.

Hingga saat ini masih sedikit sastrawan Indonesia yang menggarap keunikan budaya sebagai bahan dasar karya-karya mereka. Budaya yang dimaksud adalah keragaman berbagai kebudayaan nusantara yang jumlahnya mencapai ribuan kebudayaan itu yang melebur menjadi satu sebagai budaya Indonesia. Dalam peleburan itu sejatinya budaya Indonesia mampu melahirkan sastra tinggi, yakni sastra mampu menegosiasikan beragam budaya dalam di masyarakat. Sastra yang demikian adalah sastra yang mampu mendongrak hegemoni dan menjadi corong bagi masyarakat yang terpinggirkan.

Namun yang terjadi justru sebaliknya. Kebudayaan Indonesia yang unik itu dimarjinalkan. Para sastrawan dan budayawan justru lebih memilih budaya eropa sebagai bahan dasar kesusastraan Indonesia. Sastra Indonesia diarahkan untuk publik kelas menengah. Jika ditarik ke belakang akar dari itu semua adalah pengaruh politik kolonial yang berhasil menumpas tumbuhnya kesusastraan nasional yang berbicara tentang kemerdekaan bangsa pada saat itu.

Sebagai gantinya, ditumbuhkan kesusastraan berorientasi barat, yang menghembuskan keuniversalan nilai-nilai sastra, sehingga sastra alpa untuk berbicara tentang kemerdekaan dan pembebasan. Pada saat itulah muncul sastra Angkatan Balai Pustaka, yang merupakan cikal bakal kesusastraan Indonesia modern yang sekarang (Arif Budiman, 1985;104)

Padahal berdasarkan pantauan Ajip Rosidi, setiap pengarang dengan latar budaya yang besar pada waktunya secara bergiliran mendapat hadiah Nobel.

Demikianlah kita lihat pengarang dengan latar budaya Jepang (Kawabata Yasunari, 1968; Oe Kenzaburo, 1994), dengan latar belakang Arab Islam (Nadjib Mahfudz, 1988), dengan latar belakang budaya Hitam Afrika (Wole Soyinka, 1986), latar belakang budaya Cina (Gao Xingjian), sedangkan dari latar belakang budaya India adalah sastrawan Asia pertama yang memperoleh hadiah Nobel (Rabindranath Tagore, 1913).(Horison XXXXI, 2006;16)

Memang pengarang dari latar belakang budaya Melayu belum ada yang mendapatkan hadiah tersebut. Tapi beberapa sastrawan yang berlatar belakang budaya kerap menjadi kandidat. Pertama, Pram yang menulis dengan bahasa nasionalnya, Indonesia. Kemudian, Frankie Sionik Jose dari Filipina yang menulis dalam bahasa Inggris.

Mengapa Pram? Karena Pram mampu membebaskan diri dan hegemoni kuasa dalam teks-teks sastra. Yakni sastra yang hanya mengagung-agungkan kelas klas atau kasta satria, sedang klas-klas atau kasta-kasta dibawahnya tidak punya peran sama sekali.

Dalam pidato tertulisnya menerima penghargaan Magsaysay, di Manila, Pram mengatakan bahwa sastra yang dilahirkan dalam pangkuan kekuasaan dan berfungsi memangku kekuasaan semacam itu, langsung menggiring pembaca pada sastra hiburan, memberikan umpan pada impian-impian naluri purba pada pembacanya. Sejalan dengan Machiavelli, sastra demikian menjadi bagian alat tak langsung kekuasaan agar masyarakat tak punya perhatian pada kekuasaan negara.

Singkatnya, agar masyarakat tidak berpolitik, tidak mengindahkan politik. Sastra dari kelompok kedua ini membawa pembacanya berhenti di tempat. Dan Pram memilih untuk tidak berpihak pada sastra seamcam itu.

Sehingga tak heran jika Pramoedya Ananta Toer Sarat meski sarat kritik terutama terhadap budaya Jawa yang dominan tapi nuansa humanisme menjalar disetiap halaman-halamannya lengkap dengan berbagai kompeksitas nation pada zamannya.

Dengan kata lain, sastra Pram adalah sastra yang menghadirkan kenyataan sejarah. Dan apa yang disebut kenyataan di Indonesia, memang cukup memojokkan kelas menengah. Sebab mereka mapan diatas penderitaan.(Seno Gumira Adjidarma, 2005;24). Makanya jangan heran jika karya Pram di Indonesia justru dilarang dibaca khalayak.

Karenanya selama sastra Indonesia masih mengelus-elus pantat kelas menengah dan kaum mapan, Sehingga karya yang lahir bagaikan operasi sabun dan hiruk pikuk cinta yang tidak masuk akal, jangan harap Sastra(wan) Indonesia mampu meraih Nobel. ***

Bingkai: Sastra dan Cinta di Reruntuhan Kekuasaan

Jafar Fakhrurozi.
http://www.lampungpost.com/

MENINGGALNYA mantan Presiden Suharto disambut beragam oleh masyarakat. Mereka yang berkabung, di koran, misalnya, selain foto-foto yang memperlihatkan tangis keluarga, kerabat, dan kroni-kroninya. Juga menampilkan gambar wajah-wajah dukacita dari sebagian rakyat kecil yang kadung mencintai Suharto. Namun dalam beberapa hari setelah masa kabung itu, demonstrasi massa mulai digelar di mana-mana, mereka menolak berkabung dan terus menuntut proses hukum atas kejahatan orang paling besar di Indonesia itu.

Itulah sikap dan perasaan manusia. Mencintai dan membenci adalah pilihan yang lumrah, sebagaimana kita mencintai pasangan, walau buruk rupa, buruk hati, buruk laku juga tetaplah emas bagi pasangannya. Cinta itu buta, begitu kata seorang bijak.

Dalam kanvas kesenian, cinta itu bisa dilukiskan tanpa batas. Ranah susastra, khususnya. Walau ditekan sana-sini, tetaplah ia eksis sampai kini. Tetap dinamis dan dialektis dalam kemasan yang kreatif, kemasan oportunis, pragmatis atau penjilat sekalipun. Segalanya tetap hidup dan terus bermetamorfosis. Cinta itu juga mengalir walau hidup di bui, diberedel, atau diasingkan ke hutan rimba. Justru semakin dibekap, semakin kuatlah ia berontak. Pemberontakan itu adalah titik kulminasi sebuah cinta.

Harus diakui, sastra telah mendokumentasikan perjalanan bangsa kita. Bahkan bukan hanya seaedar dokumentasi, sastra dengan beberapa bukti otentik menunjukkan peranannya bagi terciptanya spirit nasionalis-patrotis (me) Indonesia. Beberapa karya di awal kemunculan sastra modern Indonesia, telah mampu merespons situasi sosial politik bangsa yang terjajah lewat karya-karya roman dan puisi dari para sastrawan pelopor.

Sampai pada akhirnya muncul babak panas yang disebut oleh Taufik Ismail dan D.S. Moelyanto sebagai prahara budaya, yakni polemik budaya antara Lekra dan Manikebu yang diakhiri kejayaan blok Manikebu. Blok Manikebu inilah yang mengiringi kejayaan rezim otoritarian Suharto. Maka ketika bicara dinamika Orde Baru, Manikebu perlu untuk ditanya-untuk mengganti mempertanggungjawabkan atas terciptanya tatanan sosial politik yang hegemonik dan sentralistik. Pencipta jalan bagi kendaraan pengangkut sumber alam nusantara ke lumbung elite. Seorang penyair macam Taufiq Ismail yang tangannya berdarah sebab ikut menumpahkan kawan-kawannya ke lubang penjara dan kematian, Goenawan Mohammad yang semakin mapan hasil simbiosisnya dengan mainstream dan mindset dunia, atau Pramoedya Ananta Toer dan Wiji Thukul yang "dihilangkan" hak-haknya oleh karena melawan arus, semuanya, adalah potret sastra Indonesia Orde Baru yang mesti jadi fakta sejarah kelam.

Orde Baru seperti rumah yang dihiasi lampu di sekelilingnya, tapi gelap gulita di dalam. Masyarakat dipaksa belajar dari apa yang mesti mereka lihat, bukan dari apa yang mereka lihat. Televisi, koran, radio, serta media massa lainnya hanya menampilkan gambar dan berita yang indah. Sastra dipaksa membuat definisi baru mengenai humanisme dan rasa sosial. Tidak aneh kalau sastra dengan estetika macam itu seperti mengalami kebangkitan.

Dinamika era 70-an sampai 80-an adalah era emas di mana, karya sastra lahir dan membanjir. Namun, apa yang ada tidak lebih dari dokumentasi sekadarnya. Bahkan di era 80-an, muncul sastra populer yang bernilai rendah yang tanpa disadari, keberadaannya adalah pembenaran akan sisi gelap industrialisasi. Itulah imperialisme kultural yang berdampak pada pola hidup masyarakat yang individualistis, hedonis, dan glamor. Padahal betapa masyarakat sedang mengalami ketertindasan strukural, pembodohan dan manipulasi akan sejarah mereka yang sebenarnya. Bahwa tujuan kemerdekaan salah satunya adalah untuk membebaskan diri dari belenggu penjajahan dan penindasan. Itulah kematian sastra kita yang lahir dari proses katarsis yang tidak lahir dengan sejujurnya, namun secara paksaan dan ketertekanan.

Dalam menyikapi situasi demikian, sebagian penyair misalnya lebih memilih untuk menenangkan diri, atau serius menggugat dan menggali jati dirinya lewat puisi-puisi sufistik. Era 80-an merupakan era karya-karya sufistik. Puisi sufistik muncul sebagai pelarian rohani atau sekadar penghiburan hati di tengah pembangunan yang merajalela. Oleh Agus R. Sarjono disebut sebagai upaya "berhijrah" membangun wilayah baru yang lebih spiritual dibanding material. Sebuah upaya memberi harga pada rohani di tengah gejala pelecehan rohani di sana sini. (Sastra dalam Empat Orba halaman 93). Walaupun kemudian aliran sufistik itu perlahan memudar, berganti dengan sastra kritis menjelang kejatuhan rezim Suharto. Tapi itulah yang dimaksud kejujuran, bahwa tekanan sosial politik yang menimpa masyarakat mampu dipahami oleh para sastrawan sebagai inspirasi bagi karya-karyanya.

Puisi sufistik, seperti yang ditulis oleh Zawawi Imron, Abdul Hadi, Soni Farid Maulana, atau Ahmadun Yosi Herfanda adalah upaya menginsafi rasa cinta dan kematian. Bahwa, kematian itu adalah ujung dari setiap perjalanan. Dan cinta menjadi panduan manusia dalam menjalani hidup yang sementara menuju sebuah kehidupan yang kekal. Sebagaimana dalam sajak Ahmadun Y. Herfanda yang berjudul Doa Sederhana (jika cinta itu angin, rentangkan layarku/pada udara yang tak panas dan tak dingin/ jika cinta itu laut, layarkan perahuku/ pada ombak yang tak badai dan tak mati/)

Sebagaimana karya sastrawan sufistik pada umumnya, tema pokok karya-karya penyair sufistik adalah cinta Ilahi (isyq), sebuah gagasan tentang jalan dan metode kerohanian mencapai kebenaran. Dalam puisi Doa sederhana tersebut misalnya, cinta ditempatkan dalam lembah (makam) baka (kekal) dalam metafora alam seperti angin, udara, laut, ombak, dan badai (lambang keabadian/baqa)) dari tujuh lembah yang harus dilalui untuk menemui Sang Khalik, lambang hakikat ketuhanan dan hakikat diri manusia.

Pada perkembangannya, estetika puisi religius kini ditradisikan dan menjadi estetika sejuta umat. Sebagian kelompok mengklaimnya sebagai sastra Islam. Hubungannya dengan orde Suharto adalah bagaimana agama waktu itu telah menjadi alat untuk kekuasaan. Beberapa tragedi HAM dihakimi oleh keputusan MUI, hingga meletuslah eksekusi terhadap kelompok-kelompok pengajian yang dianggap sesat. Hari ini, bagaimana agama dijadikan kendaraan oleh partai politik (parpol) untuk kepentingan dunia semata. Bukankah kemunafikan itu telah ada dalam kasak-kusuk sastra agama.

Kemunafikan bertebar di mana-mana. Padahal puisi religius berlatar belakang jauh dari politik dan agama, justru ia mencoba membuat persfektif lain tentang filsafat manusia dan ketuhanan. Itulah pemaknaan cinta sejati. Para penyair religius di tahun 80-an itu menyadari bahwa cinta itu dinamis.

Penyair sadar, bahwa ketika kondisi sosial sudah amat menggelisahkan, hingga tak mampu membuatnya terus berlari dari kenyataan, maka mereka kemudian banyak membuat puisi-puisi yang sarat kritik sosial di akhir abad Orde Baru. Baca sajak Ahmadun yang berjudul Indonesia, Aku tetap Mencintaimu (1997--1998), dan Sajak Bulan-Bulanan (1997), atau sajak Soni Farid Maulana yang berjudul Aku Bergerak ke Arahmu (1998). Dalam sajak-sajak itu para penyair merespons kondisi sosial yang menelikung mereka. Seperti yang ditulis oleh Abdul Hadi dalam Hikmah, Gagasan Cinta dalam Sastra Sufi, bahwa demikianlah yang diungkapkan dalam kesastraan sufi itu bukan semata-mata pengalaman dan keadaan jiwa yang dialami ahli suluk dalam menempuh jalan cinta dan makrifat; melainkan juga contoh-contoh dalam kehidupan individu dan masyarakat yang berkaitan dengan amal dan ibadah. Misalnya tentang ikhtiar dan perjuangan manusia yang tak kenal lelah mencapai kebenaran, serta godaan-godaan hawa nafsu yang sering tak dapat diatasi dengan akibat hatinya keruh dan penglihatan batinnya kabur terhadap hakikat ajaran agama.

Masa kepemimpinan Suharto, sastra bukanlah sektor yang dibanggakan. Dari sekian negarawan, pejabat, atau aparatur militer, bukanlah para penggemar sastra, maka wajar kalau tingkat intelektualitasnya pun diragukan. Hasilnya, negara Indonesia tak mampu berbuat banyak dalam konstelasi internasional. Bandingkan dengan negara lain yang tradisi literalnya bagus. Jerman, Inggris, Amerika, sampai Rusia yang hari ini memimpin adalah negara yang banyak memproduksi sastrawan besar. Mereka kaum negarawan, bangsawan, dan kaum cendekia, memberikan penghargaan yang tinggi terhadap sastra. Bahkan sebagian dari mereka pun banyak menulis buku. Vaclav Havel, seorang presiden Ceko, adalah salah satu dari sedikit pemimpin yang melek sastra. Karya-karyanya juga kemudian menjadi inspirasi Ceko hari ini.

Memasuki era reformasi, ditandai kejatuhan Suharto. Telah dianggap sebagai pintu masuk atau titik cerah kehidupan masyarakat yang lebih baik. Demokrasi menjumpai titik tolak yang bagus. Kondisi itu dilihat sastra sebagai peluang untuk berkembang. Kebebasan berpikir dan berkarya. Namun setelah apa yang muncul dalam dua dekade terakhir, ternyata sangatlah memprihatinkan. Berakhirnya polemik Lekra dan Manikebu seperti mengakhiri dinamika sastra kritis. Sastra kini kebanyakan tak terlalu peduli persoalan kebangsaan. Runtuhnya rezim otoritarian tahun 1998 tidak dipandang sebagai transisi nasionalisme kita. Kita lupa kalau penjajahan gaya baru ala globalisasi semakin mempersempit rasa nasionalisme kita.

Sebagian sastrawan malah memanfaatkanya untuk melahirkan karya-karya yang sangat ringan, tidak perlu ruwet, asal diterima masyarakat. Kini kematian Suharto, memberikan beragam pilihan di benak rakyat. Tentang bagaimana menempatkan cinta dalam diri kita, dan memosisikannya lebih jauh ke depan, yakni bagi perjalanan panjang masa depan Indonesia.***

*) Penggiat sastra di ASAS UPI, Bandung. Menulis puisi, cerpen, dan esai.

Antara Sastra dan Kekuasaan

Ammilya Rostika Sari*
http://newspaper.pikiran-rakyat.com/

HARI-hari di tahun 1955 dihabiskan seseorang yang nantinya menjadi presiden Amerika Serikat dengan berdagang pupuk. Rupa-rupanya ia punya usaha yang cukup santai. "Saya tidak punya buruh dan juga tidak punya pelanggan," katanya. Jadi, ia sering kali nongkrong saja di atas karung-karung pupuk itu sambil membaca buku. Suatu kali ia membaca antologi puisi para penyair modern, dan terbaca olehnya sebuah puisi. "Saya tidak mengerti makna puisi itu," katanya. "Tapi saya mengerti baris yang terakhir." Itulah kalimat after the first death, there is no other. Puisi itu milik Dylan Thomas, yang belakangan kita temui lagi dalam film "Dangerous Minds" (John N. Smith, 1995), kali ini lewat Michelle Pfeiffer.

Ketika kemudian Jimmy Carter, sang pedagang pupuk itu menjadi presiden Amerika Serikat pada 1976 dan ditandai oleh dua buku (Why Not the Best? dan A Government as Good as Its People), rakyat Amerika segera menemukan dari autobiografi dan kumpulan pidato itu, bahwa presiden mereka itu selain seorang pembaca yang hebat juga adalah seorang pencinta puisi. Ia bukan cuma membaca Dylan Thomas dan James Dickey yang jadi jatah fakultas sastra, tetapi juga menyukai puisi seorang penyair jalanan yang mengamen bernama Bob Dylan.

Apa boleh buat. Partai Demokrat yang jarang menang akhirnya bisa melibas Gerald Ford dari Partai Republik, yang waktu itu presiden, karena banyak orang yang masih kecewa dengan ulah Nixon, dari Vietnam sampai Watergate, dan mencari seorang presiden yang cinta damai. Maka terpilihlah Jimmy Carter, yang pernah menjadi Gubernur Georgia, seorang petani kacang yang tidak dikenal.

Namun, orang-orang Amerika akhirnya toh menyadari betapa presiden mereka itu terlalu lembek, ketika sejumlah warga Amerika disandera di Kedubes AS di Teheran pada tahun 1979. Politik, dalam hubungannya dengan kekuasaan, memerlukan aksi yang dramatis dan sensasional, bukan puitis. Popularitas Jimmy Carter merosot dan dalam pemilihan berikutnya Partai Republik menang lagi. Kali itu mereka memilih Ronald Reagan--seorang aktor kelas dua yang sering berperan sebagai koboi jago tembak. Seberbudayanya orang Amerika, mereka lebih suka melihat dirinya sebagai koboi ketimbang penyair.

Jimmy Carter tentu sangat mengerti soal ini. Apakah tangan-tangan kekuasaan mempunyai hati? Ia menunjukkan The Hands that Signed the Paper, masih dari Dylan Thomas.

Great is the hand that holds dominion over// Man by a scribbled name// That five kings count the dead but do not soften// The crusted wound nor stroke the brow// A hands rules pity as a hand rules heaven// Hands have no tears to flow//.

Mungkin kita harus memerhatikan kalimat yang terakhir. Kalimat yang juga sering dikutip oleh Jimmy Carter. Kita mungkin ingat Dylan Thomas, Chairil Anwar, dan Raja Ali Haji. Akan tetapi, terkadang ketika orang sudah mulai berkuasa maka ia mulai lupa. Sebab dalam kekuasaan, bunga warna-warni kadang lenyap oleh birokrasi atau tangan besi.

Kekuasaan tanpa warna-warni keindahan puisi juga adalah suatu bentuk pengasingan. Dalam dunia perwayangan, kita tentu ingat kisah Maharaja Parikesit, yang membelitkan seekor ular mati pada pendeta Samiti saat pendeta itu tak menjawab kemana kijang yang diburu Maharaja pergi. Akhirnya Parikesit pun dikutuk oleh Srenggi, anak Samiti, bahwa ia akan mati oleh Naga Raksasa tujuh hari lagi.

Dalam kekuasaan seseorang memang bisa terlihat gagah. Namun, bagaimana orang tersebut jika tanpa kekuasaan?

Bukan kegelisahan dahsyat yang hendakkan semua itu. Bukan siksa menunggu yang menyuruhku.... Tapi kurindukan kemenangan-kemenangan, kemenangan yang mengalahkan kecut hatiku. Karena memang kutakutkan selamat tinggal yang kekal. Seperti bila dari tingkap ini kuembuskan napasku dan tak kembali tanpa burung-burung, tanpa redup sore di pohon-pohon tanpa musim….

Inilah yang dikatakan Parikesit. Ternyata kursi kekuasaan, seperti ditulis banyak orang, justru adalah tempat paling sepi di dunia. Seseorang yang jatuh dari kursi kekuasaan akan lebih tahu makna "Betapa ia ternyata lahir dan akan mati sendiri, tanpa orang-orang di sekitarnya."

*) Mahasiswa Sastra Jerman Universitas Padjadjaran.

Sabtu, 20 Desember 2008

Zoom dan Zero

Putu Wijaya
http://putuwijaya.wordpress.com/

Veronita Agnez telah menulis pertanyaan mewawancarai saya lewat email dalam rangka penulisan skripsi. Tetapi pertanyaan-pertanyaannya, seperti tidak menyimak wawancara langusng sebelumnya.

Pertanyaan-pertanyaan itu tipikal pertanyaan mahasiswa yang malas, yang menyuruh orang lain menceritakan segalanya. Akhirnya saya minta dia menyimak dulu hasil wawancaranya sendiri sebelumnya serta melihat VCD pertunjukan, lalu beropini dan kemudian baru bertanya sehingga terjadi dialog. Syukurlah dia mengerti maksud saya.

Lalu dia memperbaiki pertanyaannya dan memberikan daftar pertanyaanbaru yang membuat saya gembira. (Vero, sekarang pertanyaannmu sudahbagus. Oke kemajuan pesat.

Kalau menulis skripsi, khususnya tentangsaya, jangan takut berpendapat, karena saya merayakan perbedaan).Banyak kejadian yang saya alami, para mahasiswa sudah dibikin sepertirobot oleh pertanyaan-pertanyaan yang sudah terpola, khususnya bagiyang ingin cepat-cepat lulus saja (termasuk yang saya lakukan sendiri waktu mahasiswa) – mudah-mudahan di masa mendatang hal tersebut bisakita musnahkan.

Vero:
Bagaimana pola penyutradaraannya Zoom dan Zero? Yang saya perhatikan dalam pertunjukan Zero dan Zoom, pertunjukannya selalu mengunakan layar, gerak, eksplorasi tubuh dan sangat minim sekali dialog yang keluar dari pemain, kalau pun ada hanya bahasa-bahasa simbol yang ingin menyatakan sesuatu. Seperti dalam zero para pemainnya hanya mengeluarkan suara yang mengeram seperti binatang.

Yang saya ingin tanyakan karena mas putu dalam setiap pertunjukantidak pernah memakai konsepsi dramaturgi, bagaimana cara mas putumengatur pemain yang ada di panggung, sehingga para pemain itu bisa menampilkan sebuah pertunjukan yang utuh, dan tidak terlihat sekali adanya kesalahan walaupun mungkin dari para pemain banyak melakukan improvisasi.

Apakah dalam setiap pertunjukan yang mas lakukan, mas Putu membebaskan pemain untuk mengeksplorasi apa saja, tanpa adabatasan?

PW:
Saya memberikan kebebasan pemain saya dengan satu pesan: Jangan merusak Kebebasan, dengan cara mengormati Kebebasan Orang lain. Dalam latihan-latihan saya selalu mengajak pemain menerima, menghargai dan kemudian memanfaatkan kehadiran orang lain, sehingga mereka menjadisebuah komplotan, bagaikan jari-jari yang semula terpisah lalu mengepal dalam tinju, dalam sebuah tim kerja. Kekompakan, kepaduan buat saya penting sekali.

Mandiri kalau sudah di atas panggung tidak hanya main, tetapi mereka melakukan apa saja untuk menyelamatkan pertunjukan. Mereka adalah prajurit sekaligus jendral. Setiap pemainmenjadi sutradara/pemimpin yang harus bisa membuat keputusan dalam keadaan apa pun juga. Saya selalu mengajak mereka melihat pentas sebagai sebuah pertempuran.

Vero:
Dalam pertunjukan Zero dan Zoom, khususnya, saya kurang bisamemahami pola pengadeganan dari pertunjukan mas. Karena waktu sayamenonton Zero di dvd, saya tidak menangkap alur cerita yang pasti,jalinan ceritanya tidak lurus, tapi patah-patah., misalnya habisa dengan perempuan yang sedang menari, ditarik masuk kedalam layar, semua pemain bergumul didalam layar, kemudian tiba-tiba perempuanmengeluarkan kepalanya dan tubuhnya seperti raksasa, diamenjerit-jerit, merintih kesakitan, sperti meminta pertolongan.

Semua apa yang saya lihat membuat saya tercengang, hampir bisa dibilang kaget, karena belum mengerti maksud dari adegan itu., ketika saya jadikembali teringat apa yang mas Putu katakan, bahwa mas selalu melakukan pembelokan-pembelokan, yang seakan-akan ingin mematahkan suatu empatiyang sudah terbangun. Yang saya ingin tanyakan bagaimana alur penceritaan dan pola pengadeganan dari Zero dan Zoom?

PW:
Tidak ada cerita dalam pertunjukan ZOOM dan ZERO. Yang adahanya rasa. Jadi jangan mencari arti dan sambungan, semuanya mengaliruntuk menyentuh rasa. Apa yang kamu rasakan itulah dia.

Pertunjukansaya tidak penting, yang penting adalah apa yang kemudian terjadi didalam dirimu (penonton) sesudah menonton. Teater seperti itu (terormental) , konsepnya sudah lain sekali dengan teater realis (mapan)yang ingin meniru atau menampilkan kehidupan nyata. Kami ingin mengajak penonton masuk ke dalam roh kenyataan kasat mata itu.

Vero:
Kemudian mas Putu sendiri selalu melakukan pengembangan terhadap semua pertunjukan, sehingga dari pertunjukan yang satu danyang lainnya selalu berbeda.

Apakah hal itu tidak menyulitkan mas Putu sebagai sutradara untuk mempertahankan konsep pertunjukan yang sudah jadi, dan juga apakah hal itu tidak menyulitkan pemain, karena dari setiap pertunjukan yang dilakukan semuanya berbeda-beda?

PW:
Kesulitan adalah berkah. Bahaya adalah tantangan. Kegagal;anadalah janji dan kesempatan. Itu bagian dari pelafalan konsepBERTOLAK DARI YANG ADA. Takut? Ya, siapa yang tidak takut.

Tetapi ituberarti manusiawi sekali. Dengan takut dan cemas, kita akan terangsang/termotivikasi/terstimulasi untuk berbuat lebih jauh. Hidup adalah upaya yang tak habis-habisnya menyelamatkan diri dari berbagai ketakutan yang mengejar-ngejar kita. Pertunjukan saya tidak pernah selesai, tumbuh dan memang dibiarkan berkembang terus.

Vero:
Dalam setiap Pertunjukan itu sendiri, kalau yang sayainterpretasikan, mas kemas dalam bentuk teater seni rupa. Saya mengirabahwa layar mempunyai substansi sebagai idiom mas Putu dalamberekspresi.

Layar sendiri dijadikan seperti kanvas dan media visual yang berupa cahaya, slide proyektor, gelombang kain, mas jadikan sebagai media atau alat untuk membuat sebuah lukisan di atas layar,yang akan membuat bentuk, garis, warna, tekstur, dan lain-lain.

Seperti dalam hasil wawancara kemarin mas mangatakan bahwa peranan ligthing, make-up, kostum, properti dan artistik seperti cat dalam lukisan dan seperti peranan sinar dalam lukisan impresionis. Saya mengira bahwa mas ingin melukiskan panggung teater atau sebuah peristiwa teater dengan media tersebut, dan mas Putulah pelukisnya,yang dengan idiom yang mas Putu pakai membuat sebuah lukisan hasildari ekspresi mas, dan maslah sang pemegang kuas, yang mempunyai peranan sangat penting (sutradara) dalam membentuk lukisan tersebutingin dibuat seperti apa. Apakah hal ini sudah menjadi teater yang masinginkan?

PW:
Benar. Pentas adalah kanvas saya. Kadangkala ya memuaskan,kadangkala tidak. Saya memang membuat lukisan dan patung-patung yang bergerak. Jadi teater adalah gabungan antara seni rupa dan seni sastra,tetapi bukan tempelan, sudah meluruh dalam sebuah kesatuan yang hidup.

Bagi saya teater bukan peniruan pada kehidupan, tetapi kehidupan itusendiri. Ia tumbuh, bergerak, liar dan kadangkala tak terkuasai olehbahkan kami para pelakunya.

Kadangkala saya berdialog, berdiskusi dan bantah-bantahan sendiri dengan apa yang sedang tercipta di atas pentas/layar. Jadi seakan-akan pertunjukan itu sendiri berjiwa,berekemaiuan dan mau memilih jalannya sendiri.

Kadang-kadang padasuatu malam, terjadi sesuatu yang sangat berbeda. Kalau kebetulan terlibat di pentas (sejak tahun 2000 saya aktif ikut main) saya bisa langsung mengarahkan.

Kalau tidak, pemain sendiri harus mengambilkeputusan. Tetapi sering berakhir berbeda/di luar dari apa yang sudahdirencanakan (meskipun selamanya bagus). Itu sebabnya saya berani bahwa sutradara/kreator/saya bukan dewa, bukan dictator.

Sutradara/kreator hanya salah satu partisipan. Sutradara hanya sebagaistarternya/pencerusnya, kemudian semuanya mengalir sendiri. Pementasan sering berjalan liar dan bisa tak terkendali lagi.

Namun karena kamisudah terbiasa oleh perilaku itu, semuanya akhirnya selesai denganbaik. Kalau direnungkan dalam, sebenarnya keliaran itu karena tontonan tumbuh.

Khususnya bentuknya berkembang, tetapi nhyawanyatetap datang dari hati kami yang paling dalam. Itu sebabnya sayabilang teater itu adalah peristiwa spiritual. Namun, pendapat lainyang percaya teater itu hiburan, atau apa pun, saya hormati, saya tidak ingin membuat idiologi teater.

Vero:
Mas Putu saya masih bermasalah dengan makna dari penggunaan bandot “boneka besar” yang selalu dipakai dalam setiap pertunjukan? Karena bandot besar itu kadang-kadang menganggu pikiran saya, saya mengira bahwa penggunaan bandot besar itu selain bisa menyimbolkan pada suatu tokoh penguasa yang besar yang bisa menindas rakyat kecil dengan kekuasaannya, bisa juga menjadi monster aneh yang besar, yang mengganggu pikiran dari penonton yang melihatnya, terkadang bisamenjadi sebuah boneka biasa, kadang bisa jadi alien, atau boneka wayang apabila tangannya di beri tongkat… saya jadi binggung mas…

PW:
Bandot itu anggota kelompok kami. Kedudukannya sama dengan anggota Mandiri yang lain. Ia ikut bermain. Ia memainkan salah satuperan. Ia sama dengan Alung atau Wendy. Kadang dapat peranan besar,kadang peranan kecil. Kadang hanya bengong jadi pajangan, tidakkebagian peran.

Ia hanya menjadi set, barang mati, properti yang dipergunakan untuk apa saja. Kadang-kadang hanya untuk komposisi. Bukan hanya bandot. Semua properti saya yang lain juga posisinyaseperti itu.

Ia sudah menjadi keluarga teater Mandiri. Kadang-kadangsaya tidak mau memakainya lagi, tapi ada saja pemain yang membawannya masuk. Dan begitu dia masuk, langusng dilibatkan oleh semua pemian.

Anehnya peristiwa masuknya kembali prop yang sudah lama, selalukemudian ada alasannya di kemudian hari. Hal itu menyebabkan saya bersikap terbuka dalam proses latihan.

Seringkali saya/kamimenggelinding dulu tanpa konsep, belakangan baru kami renungkan lagi,seleksoi dan susun lalu dikembalikan pada konsep pertunjukan/ide pokok pertunjukan sehingga pernik-pernik itu tidak berserakan — itulah peran sutradara. Sutradara bukan saja mencipta, tetapi adakalanya/pada saatnya dia berhenti menumbuhkan dan hanya menajamkan pertunjukan supaya siap menusuk penonton — walhasil mengemas.Pengemasan di dalam berekspresi (baca:teater ) sangat penting.

Vero:
Mas Putu, yang saya lihat dari pertunjukan Zero, adabeberapa adengan yang pemainnya menggunakan topeng, ada juga pada saattopeng itu di simbolkan sebagai wajah yang diapit oleh layar atau kainmenjadi seperti roh atau arwah penasaran yang membuat bulu kuduk saya merinding, kalau yang saya tangkap dari pertunjukan itu arwah ituingin mencari tempat atau keberadaannya, arwah itu seperti inginmembalas dendam.

Lebih-lebih pada saat perempuan yang menari dan dibelakangnya diikuti oleh dua orang yang dibalut dengan kain dan menggunakan topeng, hal itu seperti menunjukan sesuatu, seperti suatu upacara ritual pemanggilan roh….yang saya ingin tanyakan sebenarnya topeng itu bermakna apa ya mas, apakah untuk menandakan wajah-wajah seseorang yang teraniyaya, yang ingin mencari kebenaran, atau sepotong wajah mengawang kemana-mana menjadi roh penasaran…? dan juga kenapa make-up yang digunakan seperti orang yang ingin melakukan pantomim,yaitu hanya flat putih, seperti wajah yang hanya dimake-up dengan pidi putih?

PW:
Properti dan khususnya topeng yang kami pakai, dibuat sendiri olehpara pemain. Ada yang bagus, ada yang jelek. Saya tidak peduli bentuknya, asal itu dibuat oleh mereka sendiri. Jadi kami tidak pernah menyerahkannya kepada art director yang canggih.

Justru kesederhanaannya sering menjadi kelebihan. Penggunaannya juga tidak sama dengan cara penggunaan topeng pada pertunjukan orang lain. Kamitidak membuat topeng itu jadi karakter lalu pemain menghidupkannya.Tidak.

Tetapi topeng itu, didekati secara personal, oleh setiappemain. Setelah lama berkenalan, pemain dan topeng akan bersatu dan menunjukkan kehidupannya sendiri, menurut yang dia yakini, yang diciptakan oleh pemainnya.

Jadi bukan hanya sutradara, pemian jugapencipta dalam Teater Mandiri. Tentu saja sebagai sutradara sayamengarahkan dan menempatkan ciptaan-ciptaan itu agar tidakberseliweran sehingga menjadi satu jurus yang ampuh.

Itu dilakukan langusng di dalam latiahn. Artinya proses latihan menentukan. Ketika sedang berlatih saya dan semua partisipan melakukan penciptaan.Tentang artinya, pada setiap orang bisa beda-beda.

Latar belakangpenonton, akan mewarnai apa yang terlihat. Jadi kalau mau menikmati ZERO, nikmati saja apa yang terjadi dalam dirimu, itulah dia. Tentangkonsep saya, sebagaimana saya ceritakan dalam wawancara langsung anggap sebagai bandingan.

Vero:
Dalam hasil wawancara yang kemarin mas Putu mengatakan bahwadi teater Mandiri hanya mas Kribo dan mas Wendy yang dapat disebut sebagai aktor, sedangakan yang lainnya hanya orang biasa. Kalaupertunjukan Zoom dan Zero, yang saya tonton memang hanya segelintir orang saja yang mendapatkan peran yang cukup besar. Tetapi saya merasa bahwa karakter pemain pemain yang lain jadi tidak jelas bermain sebagai apa, kadang-kadang bisa dikatakan terlihat sebagai crew.

Apalagi pertunjukan Zoom yang banyak memakai banyak pemain. Saya ingin menanyakan bagaimana cara mas Putu menciptakan watak para pemain dalam pertunjukan Zero dan Zoom, dengan kondisi yang seperti itu, apakah penciptakan karakter watak itu hanya merupakan proses kreativitaspemain yang melakukan pencariannya sendiri, atau mas Putu juga turut berperan dalam penciptaan karakter watak tersebut?

PW:
Dalam “tontonan” seperti yang saya lakukan, tidak ada karakter.Yang ada adalah suasana. Kadang-kadang seseorang pemain memainkan sesuatu, tetapi kemudian dia keluar dan memainkan yang lain di saat penonton sedang asyik. Patahan itu bagi penonton teater realis yang snang “empathi” memang akan terasa menyakitkan. Tapi biasanya, kalausudah terbiasa, akan jadi kenikmatan. pertunjukan Mandiri adalah peristiwa, bukan tuturan.

Tidak ada cerita. Yang ada hanya kesan-kesan, imij dll seperti kalau kamu mimpi. Mimpi umumnya tidak bisa diartikan. Kalau mau diartikan boleh saja. Kasrena meloncat-loncat, mimpi lebih kaya bila dinikmati dengan rasa.Interpretasi sangat penting untuk memahmi mimpi.

Dengan teater saya mengajak - ingin mengajak penonton untuk mengembara ke dalam imajinasi dan melakukan penafsiran-penafsiran. Itu akan membawa mereka ke dalam dirinya sendiri. Jadi teater sebenarnya adalah sebuah pertualangan untuk mengenal lebih mendalam diri sendiri.

Karena itulah, di sekolah teater tidak harus diartikan sebagai usaha untyuk mencetak murid jadi pemain drama. Teater membelajarkan manusia untuk mengenal dirinyasendiri, agar lebih sempurna dalam menghadapi orang lain.

Vero:
Dalam setiap pertunjukan saya selalu merasa bahwa ritme pertunjukannya, dan ketukan dari para pemain dan musik sangat cepat,kadang-kadang membuat shock jantung, saya menyimpulkan bahwa inilah yang disebut mas Putu sebagai teror mental.

Menteror setiap orang darimusik dan kecepatan bermain aktor-aktor teater Mandiri. Tetapi apakah mas Putu tidak pernah mencoba menurunkan ritme itu? Agar para penontonbisa menarik nafas dulu…

PW:
Betul. Saya berguru dari tukang copet, tukang obat di pinggirjalan dan tukang sulap. Dalam sulapan, pesulap harus cepat. Kecepatan itulah yang membuat sesuatu yang biasa menjadi luar biasa.

Jadi apayang ada dipentaskan bukan tiruan hidup sehari-hari, tetapi adalah pancingan, adalah teror saja, yang membuat orang kembali kepadakehidupan nyata lewat pengaman batinnya.

Itu sebabnya saya tidak takutkalau penonton tidak percaya dengan apa yang terjadi di pentas –hubungkan dengan empathi berarti keterlibatan emosional. Bagi kamipenonton bahkan selalu diingatkan untuk melihat apa yang di pentas ituhanya “fake” bohong . Namun kebohongan itu justru mengajak merekamengintai lebih dekat kebenaran.

Vero:
Mas Putu, Musik Jangan Menangis Indonesia, karya Harry Roesly, dalam hasil skiripsi Mba Lousy yang saya baca, sudah mengiringi setiap pertunjukan yang mas lakukan, sejak tahun 1980-an.

Saya belum memperhatikan secara detail mengenai musik itu mas, dan saya juga belum tahu nadanya seperti apa. Tapi yang ingin saya tanyakan apakah musik itu juga mengiringi atau digunakan dalam pertunjukan zoom dan Zero?

PW:
Lagu Jangan Menangis Indonesia, seperti Bandot, juga salah seorang anggota Mandiri. Lagu itu salah seorang pemain saya. Kalau Harry ada, lagu itu pasti dimainkan. Saya tidak tahu kenapa kenapa dia katut terus. Saya tidak merasa lengkap kalau tidak memberinya peran.

Waktu Zero main tanpa Harry di Taipeh (2003), lagu itu juga tidak iokut main. Dan setelah 2004 (sesudah pertunjukan ZOOM) dia pergi bersama Harry Roesly.

Vero:
Mas Putu, saya sudah bertemu dengan mba Lousy, di dalam skripsinya, tertulis bahwa dalam pertunjukan JMI, penciptaan naskah JMI terdiri dari beberapa proses, seperti adanya naskah awal, yang hanya berupa konsep-konsep seperti sinopsis, ada naskah proses, dan terakhir naskah utuh sebuah naskah yang ada setelah pertunjukan.

Apakah dalam Zero dan Zoom, juga terdapat pembagian penciptaan skenario atau naskah seperti yang terjadi dalam JMI, ataukah pertunjukan Zero dan Zoom hanya memiliki konsep/fragmen saja, dan tidak memiliki naskah seperti JMI ?

PW:
Sebenarnya hampir sama. Ada proses latihan phisik. Ada proses pencarian. Ada proses pembentukan. Kemudian ada proses pemantapan. Kemudian tinggal pengembangan dan pertumbuhan dalam setiap pementasan.

Tetapi ZERO dan ZOOM tidak memakai dialog seperti JMI jadi tidak ada dokumen tertulisnya. Setiap saat bisa kami mainkan kembali tetapi sudah beda-beda. ZERO yang di TUK lain dengan yang di TIM dan lain dengan yang di GOETHE, lain dengan yang di Taipeh, juga lain dengan yang di CAIRO.

Vero:
Saya melihat dalam pertunjukan Zero lebih banyak bergumul di kain, para pemain lebih banyak mengeksplor gerak-gerak tubuh mereka, sedangkan pada Zoom yang saya tonton dulu, para pemain juga ada yang bergumul di layar besar yang sama persis dengan di Zero.

Kalau diperhatikan secara sepintas pertunjukan Zero dan Zoom hampir sama, misalnya tetap menggunakan layar besar, musik keras, efek-efek pencahayaan yang mendukung situasi pengadeganan dan untuk membangun emosi, ada juga adegan perempuan yang diperkosa, dan disiksa. Hanya pada pertunjukan Zoom lebih banyak dialognya meskipun hanya berupa kata-kata yang diulang-ulang seperti war is war, fredom is fredom.. Yang mau saya tanyakan apa yang membedakan pertunjukan Zero dan Zoom selain dari ide cerita yang ingin disampaikan?

PW:
Layar itu juga salah seorang anggota Teater Mandiri sejak 1991. Jadi ia selalu ikut main. Pada ZOOM layar masih digantung, tetapi dalam ZERO layar turun dan bergerak horisontal ke mana-mana di seluruh pentas – Perbedaan itu konsekuensinya sangat banyak dalam kinerja pemain.

Sdetiap pemain, termasuk pembawa lampu harus belajar bagaimana caranya jkeluar masuk layar. Ukuran layar sangat penting – harus pas dengan jumnlah pemain. Bahan layar juga harus tepat, karena kami pernah terjebak memakai bahan parasut yang menyebabkan pemain di dalam layar bisa semaput karena kurang O2. Dalam ZERO lampu mulai menjadi PEMAIN.

Vero:
Mas Putu, setelah saya membaca beberapa artikel koran yang meliput pertunjukan Zero dan Zoom, saya melihat adanya hubungan yang terkait atau persamaan mengenai tema yang coba diangkat oleh mas Putu. Zoom adalah sebuah esai visual yang mengambarkan mengenai perang dan permusuhan yang terjadi di antara manusia, yang tidak pernah ada habisnya.

Sedangkan Zero adalah sebuah esai visual mengenai gagasan yang coba mas Putu tawarkan untuk menyelesaikan sebuah masalah. Dari kedua karya tersebut, secara tidak langsung, mas Putu ingin mengatakan menolak pada peperangan dan permusuhan, dan kemudian mas Putu mencoba untuk mencari jalan keluar dari pemasalahan tersebut, tanpa membuat suatu permasalahan yang baru. Zoom dan Zero, merupakan karya yang mampu mencerminkan keadaan sosial-politik yang sedang terjadi di dunia sekarang ini.

Dimana Chaos (kekacauan), sedang melanda dunia.Apakah kedua pertunjukan itu benar memiliki hubungan terkait, apa seperti mata rantai pertunjukan yang saling menyambung, Kalau saya bisa dikatakan seperti trilogi, mulai dari War, ke Zero, lalu ke Zoom?

PW:
Kamu betul. Dalam konsep ZOOM DAN ZERO adalah esei tentang perang dan usaha untuk menjawabnya, walaupun saya tahu itu bukan jawaban yang paling tepat bahkan mungkin jawaban yang gagal. Minimal lami sudah berusaha menjawabnya agar ada jawaban lain datang

Vero:
Mas Putu sebenarnya apa yang melatar belakangi sehingga memilih judul Zero dan Zoom, kenapa tidak memilih judul lain yang bisa lebih menarik perhatian masyarakat awam misalnya seperti…. aduh mas saya jadi binggung mau kasih contoh apa, soalnya saya ngga jago bikin judul, ya tapi maksud saya itu ?

PW:
Bagi saya kata yang pendek itu mengandung misteri dan kepadatan arti, sehingga bila dia menjadi judul, maka yang saya lakukan baik dengan tulisan atau pementasan terhadap kata itu adalah membuat disertasi.

ZOOM berarti penggandaan ukuran. Bila kamu melihat kulit kamu dengan mikroskop maka kulit kamu menjadi gambar yang mengerikan, penuh lubang dsbnya. ZERO adalah nol adalah kosong. tetapi dalam tradisi Bali disebutkan bahwa kosong itu penuh dan penuh itu kosong.

Bagi saya itu sebuah gua pertapaan yang akan mengantarkan kita kepada makna yang beragam dan dalam. Judul satu kata buat saya jauh lebih seksi dan menteror dari judul yang puitis yang sudah biasa dipakai orang.

Vero:
Mas Putu, singkat saja pertunjukan Zero dan Zoom pernah dimainkan dimana saja mas, dan siapa saja pemainnya yang terlibat didalamnya selain mas Wendy, mas Kribo, Mr. Chung, mas Bei?

PW:
Pemain (jumlahnya tergantung desa-kala-patra) yang sering terlibat: Chandra, Kardi, Rino, Kleng, kadang-kadang Diyas (sekarang jadi istri bei), Fien (istri Wendy), Agung (pegang proyektor slide) dan Ucok (pegang lampu - dulu anak IKJ). Di Goethe pernah 125 peserta workshop ikut main (2004) .

Vero:
Mas Putu, kalau saya boleh tahu, berapa jam durasi tiap kali mas putu latihan, dan apakah pada saat mas Putu ingin memainkan Zero dan Zoom, mas Putu mempunyai schedule latihan yang pasti, dan latihan untuk itu bertempat dimana ya mas, selain di rumah mas Putu

PW:
Saya berlatih sekitar 3 atau 4 jam. Jam 10 malam atau sebelumnya sudah selesai, sebab kami latihan di dalam kompleks perumahan, di samping itu khawatir anak-anak ketinggalan bus. Kami latihan di Cirendeu di rumah saya sekarang, setiap kali produksi ada uang transport 10 ribu per kepala plus makan sebelum atau sesudah latihan.

Kalau sudah perlu tempat luas, kami menyewa di Jl. Kimia. Sekarang gedung milik departremen Budpar itu sudah terlalu tua, berbahaya dipakai. (Salah satu ruangan latihan yang kami pakai menyiapkan NGEH pada 1998, sempat runtuh, menghancurkan ptroperti kami). Jadi saya latihan di rumah.

Vero:
Mas Putu kalau saya boleh tahu, bagaimana dengan budget produksi dalam pertunjukan Zoom dan Zero, kira-kira berapa dana yang dikeluarkan untuk produksi pertunjukan Zero dan Zoom? dan berapa harga tiket untuk masing-masing pertunjukannya ya mas?

PW:
Dengan konsep Bertolak Dari Yang ADA, produksi saya selalu dimulai dengan melihat berapa uang yang ada. Setelah itu saya pisahkan untuk transport dan pembuatan properti. Sekitar 80 persen untuk honor pemain. Honor pemain Mandiri antara 750 (anak baru) sampai 3 juta (senior). Karcis urusan TIM biasanya 30 dan 50 ribu

Vero:
Mas Putu, saya kalau yang saya perhatikan pemain dari teater Mandiri hanya yang itu-itu saja, dan usia mereka juga sudah cukup tua, padahal sepengetahuan saya teater Mandiri sangat mengutamakan Fisik dari para pemain, dan membutuhkan energi yang sangat besar untuk dapat melakukan semua hal yang ada di panggung, apalagi setiap teater Mandiri mentas, semua pemainnya kan harus berada dipanggung semua.

Saya saja yang masih muda kadang-kadang kelelahan atau capek kalau melakukan hal yang seperti olah tubuh. Sebenarnya bagaimana dengan energi dari para pemain di Teater Mandiri? Dan bagaimana dengan regenerasi dari pemain teater Mandiri. Apakah tidak terjadi regenerasi pemain dalam teater Mandiri, apa alasannya ya mas?

PW:
Pertanyaanmu pernah ditanyakan okleh seorang professor di Taipeh setelah melihat pertunjukan ZERO. Saya jawab memang mengherankan, pada kami usia tidak menjadi ukuran. Kribo misalnya yang ikut Mandiri sejak tahun 1974, sampai sekarang tetap bisa melakukan apa yang saya minta.

Bahkan dia jauh lebih kuat sekarang dibandingkan dengan 34 tahun yang lalu. Pengalaman dan kematangannya membuat ia tetap kuat. Sedangkan anak-anak muda jarang yang mau bergabung, jadi saya tidak bisa memaksa,. Dalam Mandiri sekarang ada generasi KRIBO sejak tahun 1974, ada generasi WENDY dan UCOK, sejak tahun 1980 dan generasi Chandra 1991, lalu generasi Bei (1995) Kemudian generasi Agung, Kleng dan Diyas (2004). Pada Mandiri regenerasi itu tidak bisa dibuat/dipacu, mereka melahirkan dirinya sendiri.

Vero:
Mas Putu, hanya untuk menambah informasi saya saja, dalam setahun mas Putu bisa menghasilkan berapa karya, baik dalam drama, teater, maupun novel?

PW:
Minimal satu atau dua untuk masing-masing jenis. Tapi saya menulis setiap hari. Saya punya kolom setiap minggu di berbagai penerbitan yang merupakan gabungan esei dan cerpen. Menulis buat saya sudah pekerjaan.

Vero:
Mas Putu, apakah pertunjukan Zero yang mas Putu lakukan di GBB sama dengan apa yang dilakukan di TUK? Karena menurut informasi yang saya dapatkan dari mba Lousy pertunjukan yang di GBB menggunakan bandot, menunjukan gambar-gambar dari beberapa tokoh politik yang teraniyaya seperti Munir dan Marsinah, sedangkan apa yang saya tonton dari hasil dokumentasi yang di TUK, sangat berbeda sekali, meskipun dalam segi penceritaan dan makna yang diusung hampir sama.

Apakah mas Putu punya dokumentasi pertunjukan Zero yang di GBB. Kalau ada saya mau minta dicopykan untuk bahan perbandingan saya dalam menulis nanti. Kemudian saya juga belum mendapatkan hasil pertunjukan Zoom.

PW:
Beda. Pementasan itu tumbuh. ZERO yang di GBB itu hanya demo untuk membuka Festival Teater 2006, dokumentasinya ada di DKJ dibuat oleh ZOEL.

Vero:
Mas Putu bolehkan saya meminjam Booklet pertunjukan Zero dan zoom, dan beberapa foto-foto latihan teater mandiri, yang memuat tentang pertunjukan Zoom dan zero, sebagai referensi saya….

PW:
Dalam dokumentasi kami brengsek. Coba lihat di DVD yang saya berikan.

Catatan Hitam McCain

Mohamad Asrori Mulky*
http://www.jawapos.com/

Pada 4 November 2008 adalah hari paling bersejarah bagi rakyat Amerika Serikat (AS). Barack Obama, senator Illinois dari Partai Demokrat, terpilih sebagai presiden ke-44 Amerika, sekaligus presiden pertama dari kulit hitam. Kenyataan ini membuktikan tingkat kedewasaan dan kematangan rakyat Amerika, yang tidak lagi melihat perbedaan ras dan kelompok dalam menentukan pemimpin masa depannya.

Senator yang pernah tinggal di Menteng, Jakarta Pusat ini, dengan telak mengalahkan rivalnya, John McCain dari Partai Republik. Tak tanggung-tanggung Obama berhasil menyabet 349 suara elektoral, jauh melampaui syarat minimal untuk menang: 270 suara. Sedangkan rivalnya, McCain hanya mampu meraup 173 suara elektoral. Sungguh suara yang cukup jomplang.

Kini, dunia tengah menunggu langkah konkret dari Obama. Mereka berharap, ke depan dia dapat membawa perubahan yang cukup signifikan tidak hanya bagi negaranya, tapi juga bagi masyarakat dunia. Sebab, nasib dunia, saat ini bisa dikatakan, sangat bergantung pada kebijakan dan komitmennya, memberi berkah pada dunia --sesuai dengan nama Afrikanya, Barack yang berarti ''berkah''. Berkah bagi negaranya dan bagi warga dunia.

Kemenangan Obama atas McCain dalam pemilu yang lalu, bisa saja ditarik kesimpulan bahwa rakyat Amerika sepertinya sudah jenuh dengan model kepemimpinan yang diterapkan George W. Bush; suka berperang, arogan, egois, dan gemar membuat masalah. Akibatnya, McCain, sang veteran perang Vietnam, sekaligus anak didik Bush, harus rela ditinggalkan publik Amerika dalam pemilu kemarin, walaupun dalam sejarahnya ia pernah menorehkan tinta emas bagi negara adidaya itu.

Citra McCain di mata rakyat Amerika, bahkan dunia sekalipun, tak lebih sebagai monster baru dari gedung putih yang siap merongrong dan mengusik kedamaian dunia. Ia tak jauh berbeda dengan pendahulunya, Bush. Sebagaimana Bush, McCain akan selalu mengobarkan api peperangan di seluruh dunia, terutama di wilayah Timur Tengah sebagai target utamanya.

Pertanyaanya, benarkah John McCain memiliki kepribadian dan karakter yang banyak kemiripan dengan Bush?

Buku ''The Real McCain'' karya Cliff Schecter, konsultan dan komentator politik Amerika ini membeberkan sisi gelap dari senator Arizona ini. Dalam beberapa catatan disebutkan, jika McCain terpilih menjadi presiden Amerika, maka sudah dapat dipastikan dunia akan menghadapi kesulitan yang sama, bahkan boleh jadi lebih parah dari masa pemerintahan Bush. Politik pecah belah dan standar ganda yang sering diterapkan Bush, diprediksikan akan menjadi senjata utama McCain dalam hubungan diplomatiknya. Dengan begitu, setiap kebijakan luar negerinya akan selalu merugikan negara lain.

Dari beberapa kali tema kampanye yang diusungnya, secara terang-terangan McCain mengatakan bahwa perang melawan Irak dan Afghanistan adalah sebuah keniscayaan yang mesti dilakukan bangsa Amerika. Karena bagaimanapun, tegasnya, bila dua negara tersebut tidak ditumpas terlebih dahulu, keduanya akan menjadi penghalang bagi masa depan Amerika. Apalagi dua negara itu diyakini sebagai negara yang melegalkan aksi kekerasan dan terorisme global. Perang suci atau jihad adalah doktrin yang selalu digunakan mereka untuk melakukan teror dan ancaman di muka bumi ini.

Untuk menumpas terorisme global, dalam buku ini penulis menuturkan, McCain akan melakukan aksi segala cara meskipun harus mengorbankan nyawa manusia tak berdosa. McCain siap menggelontorkan dana yang cukup besar untuk menumpas teroris di muka bumi ini. Dan, cara yang paling ia sukai adalah menggunakan kekuatan militer sebagai senjata pemungkas.

Berlatar belakang militer dan pernah terlibat dalam beberapa perang penting di Vietnam, sudah cukup alasan bagi kita untuk menyimpulkan bahwa McCain sosok yang suka mengandalkan kekuatan militer, apalagi bertujuan untuk menumpas teroris.

McCain juga memiliki pandangan yang bias terhadap Islam. Ia selalu menyandingkan kata ''Islam'' dengan ''terorisme''. Baginya, Islam adalah agama satu-satunya yang merestui aksi kekerasan dan terorisme. Salah satu buktinya, kata dia, adalah serangan mengerikan 11 September yang meruntuhkan Word Trade Centre (WTC) dan Pentagon pada waktu yang hampir bersamaan.

Tragedi 11 September menyisakan ingatan pedih yang cukup mendalam bagi McCain. Mulai saat itulah ia membenci Islam dan selalu menyamakanya dengan teroris. Karena itu, baginya, Islam harus diperangi dan tak boleh berkembang. Sebaliknya, ia mendukung penuh berdirinya negara zionis Israel dengan ibu kota Yerussalem. Sebab, dengan berdirinya negara zionis di tanah Yerussalem, maka secara otomatis umat muslim yang berada di sana harus meninggalkan tempat tinggalnya.

Selain fakta mengerikan mengenai McCain, masih banyak lagi catatan hitam McCain yang diungkap dalam buku ini. Masa lalunya yang terbiasa dengan perang dan dunia militer, kehidupan pribadinya yang keras, juga rencana-rencana kabinetnya yang meneruskan kebijakan Bush. Dari segi ideologis, McCain merupakan karakter yang berubah-ubah. Ia bukan karakter yang moderat dan toleran. ''Ia adalah seorang konservatif sebelum menjadi seorang liberal, sebelum ia menjadi seorang konservatif lagi,'' kata Jacob Weisberg di majalah Slate.

Buku ini merupakan catatan kritis penulis yang membeberkan banyak fakta menakutkan tentang McCain berikut teror dan horornya. Ia adalah seorang petualang politik yang berbahaya bagi kedamaian dunia dan bagi kemanusiaan. Oleh karena itu, Joe Trippi, penulis The Revolution Will Not Be Televised, merekomendasikan buku ini untuk dibaca secara umum, khususnya bagi siapa yang ingin mengetahui seberapa bahayanya McCain jika ia terpilih sebagai presiden. Beruntung, ia takluk pada Barack Obama. (*)

Judul Buku : The Real McCain
Penulis : Cliff Schecter
Penerbit : Zahra, Jakarta
Edisi : I, Agustus 2008
Tebal : 218 halaman
---
*) Peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina Jakarta

Berpetualang di Negeri Teror

Yani Arifin Sholikin
http://www.jawapos.com/

Masih segar dalam ingatan kolektif kita bahwa pada 11 November 2008 trio bomber Bali (Amrozi, Ali Ghufron, dan Imam Samudra) dieksekusi di lembah Nirbaya, Nusakambangan, pukul 00.15. Eksekusi itu merupakan ganjaran atas aksi bom mereka di Paddy Pub dan Sari Club, Jalan Legian, Kuta, Bali.

Bagi sebagian orang, trio bomber itu adalah teroris karena telah mencederai rasa kemanusian banyak orang. Namun, di sisi lain, banyak juga simpatisan yang mengelu-elukan mereka sebagai pahlawan yang patut dikenang. Bahkan pada saat jenazah Amrozi tiba di desa kelahirannya, ratusan orang menyambutnya dengan spanduk provokatif berbunyi: Mati Tiga, Tumbuh Tiga Ribu.

Lebih dari itu, dengan dieksekusinya Amrozi Cs dan tertangkapnya beberapa pelaku tindak teror lain, bukan berarti secara otomatis aksi-aksi teror akan berlalu dari bumi Indonesia. Tidak ada yang berani memberi garansi. Sebab, tindakan kekerasan atas nama agama --untuk tidak mengatakan teror-- sudah ada dan terjadi sejak republik ini berdiri. Pada titik inilah, buku hasil investigasi Ken Conboy ini menemukan titik relevansinya. Melalui buku ini, pembaca diajak Ken Conboy kembali ke masa silam menengok sejarah panjang gerakan Kartosuwirjo hingga Kahar Muzzakar yang mengidealkan Indonesia sebagai negara Islam (Darul Islam).

Seperti gaya penulisan buku terdahulunya, Intel: Menguak Tabir Dunia Intelijen Indonesia, Ken Conboy dengan runtut dan sistematis mengurai serta menceritakan betapa gerakan Kartosuwirjo, Kahar Muzzakar, dan tokoh-tokoh sealiran yang ternyata memiliki benang merah dengan ''dunia gelap'' yang tidak diketahui orang kebanyakan. ''Dunia gelap'' pada konteks ini, tak lain adalah dunia beberapa tokoh Pesantren Ngruki, Solo, yang bersembunyi di Malaysia karena tekanan Orde Baru dan kemudian nyambung ke pergolakan Afghanistan, hingga akhirnya berujung pada tokoh popular abad 21: Osama bin Laden.

Buku dengan judul asli Inside Asia's Most Dangerous Terrorist ini mencoba mewartakan kepada pembaca tentang jaringan teroris yang bersembunyi di pelosok-pelosok desa di Malaysia, pegunungan di perbatasan Afghanistan, hutan belantara Filipina, hingga yang tinggal di desa-desa terpencil Indonesia. Dari data yang diungkap Ken Conboy terkuak bahwa Amrozi yang murah senyum, Imam Samudra yang bermata tajam, dan Ali Ghufron yang galak adalah para ''pejuang'' yang akrab dengan petualangan di dunia gersang Afghanistan.

Dalam buku ini terungkap pula fakta bahwa Hambali, salah seorang tokoh penting jaringan terorisme Asia, bisa berganti-ganti paspor karena mudah dan murahnya mencari paspor Indonesia bikinan Tanjung Pinang. Di sisi lain juga diceritakan secara detail bagaimana cara trio bomber itu merancang, mengorganisasi, dan meledakkan Bali dengan bom rakitan para lulusan Afghanistan itu. Kita benar-benar mendapatkan informasi yang luar biasa tentang rumus membuat bom dengan mengunakan bahan kimia yang bisa dibeli di toko, hingga foto-foto yang tidak pernah dimuat media massa, termasuk buku harian Azhari, dan foto orang Indonesia yang terlibat dalam aksi teror di Spanyol.

Diakui atau tidak, buku ini kaya data sepak terjang jaringan terorisme Asia. Sumber datanya didapat dari hasil wawancara penulis dengan petugas intelijen hingga agen CIA. Yang kurang, buku ini tidak ada wawancara dengan para pelaku teror. Data yang dihasilkan hanya bersifat deskriptif-eksplanatoris. Ken Conboy hanya menjelaskan dan menggambarkan bagaimana gerakan tersebut terjadi, aktivitas yang dilakukan para tokoh gerakan dan pengikutnya, serta berapa peristiwa penting yang dilakukan komunitas tersebut. Sementara itu, relasi sosial, faktor-faktor yang mendorong munculnya gerakan, implikasi sosial yang ditimbulkan, dan perubahan formasi sosial yang terjadi akibat gerakan tersebut, kurang mendapat porsi bahasan yang seimbang.

Terlepas dari kelebihan serta kekurangannya, buku ini tetap memberikan informasi yang berharga tentang sepak terjang para teroris.

Kata ''teroris'' memang sudah tidak asing bagi telinga masyarakat Indonesia. Namun, bila ditelaah lebih detail, konsep teror ataupun teroris sebenarnya mempunyai problematik semantik. Problem semantik karena aksentuasi penggunaannya yang berbeda. Bagi Amerika dan sekutunya, trio bomber Bali adalah teroris yang mengancam dunia. Tapi, sebaliknya, bagi Amrozi cs, Amerika adalah teroris nomor satu sejagad. Proses perubahan makna dalam sejarah bahasa bukanlah hal baru. Jadi, nomenklatur boleh lama tapi maknanya bisa berubah pada hal baru.

Akhirnya, selamat berpetualang di Negeri Teror. (*)

Berpetualang di Negeri Teror
Judul Buku : Medan Tempur Kedua
Penulis : Ken Conboy
Penerjemah : Syahrini Dyah N.
Penerbit : Pustaka Primatama, Jakarta
Cetakan : I, Agustus 2008
Tebal: 260 halaman + indeks
---
*)Lulusan IAIN Sunan Kalijaga Jogjakarta, tinggal di Dumpiagung, Lamongan

Kamis, 18 Desember 2008

EKSPERIMENTASI DJENAR MAESA AYU DALAM “SMS”

Maman S. Mahayana *

Djenar Maesa Ayu mencuat namanya bersamaan dengan maraknya isu sastra wangi, sebuah ungkapan bernada miring yang ditujukan pada beberapa artis cantik yang terjun ke dunia sastra. Maka, selepas terbit antologi cerpennya, Mereka Bilang, Saya Monyet! (2003), nada miring itu pun sepertinya melekat begitu saja. Namanya juga isu. Ia masih saja bergentayangan. Bahkan, ketika cerpennya “Waktu Nayla” terpilih sebagai Cerpen Terbaik Kompas 2003, publik sastra masih juga belum begitu yakin atas prestasi Djenar. Keberhasilan sebelumnya yang menempatkan cerpennya “Menyusu Ayah” sebagai Cerpen Terbaik 2002 versi Jurnal Perempuan, seolah-olah tak berarti apa-apa.

Puisi-Puisi Denny Mizhar

http://suara-sunyi.blogspot.com/
WAJAH BANGSA I

Lagi!
Ku dengar lagi
Rakyat melarat.

Tampak lukisan jejak dalam media Koran
Anak kecil menangis kelaparan.

Di protesnya kemelratan
Tapi barigade pentung menghujan.

Reportase-reportase televisi
Menayangkan darah berceceran di pertiwi.

Lagi!
Kudengar lagi
Sesama anak bangsa saling tonjok
Atas nama kebenaran tunggal yan ditenggak.

Dibangsa yang beragam
Opini dan Fatwa dibuat seragam.

Kini, porak-porandakan kedamaian
Cita-cita luhur kebangsaan.

Malang, Juni2008



SEHABIS KATA

Ruang ruang dijejali isi otak
tak terhenti hingga beku akal terjadi
mendobrak terus mendobrak
ciut nyali bila tak mengerti
tak berusaha mencari

Malang, Feb2008



SEHABIS ITU

Aku mati rasa
diguyur hujan
terdiam berselimut
gerai rambutmu

Senyummu masih melekat diingatanku
ingin kutepis arah meringis

Malang, Feb2008



BEBATUAN BERKEPALA

Bebatuan berdiri di antara genangan air
membela kokohnya bangunan
berdiri ribuan tahun
memecahkan kesunnyian

Bebatuan menancap tajam
di-lahanlahan penjaga alam tak bertuan
mewabahkan genangan tak bertuan

Berlahan, entah kemana anak manusia
murung atas kesombongan atap gedung
berkepala batu

Malang, Feb2008



AKU TAK SEPERTI

Bila dalam hatiku bicara lain,
kau jangan mengelak.

Aku tak seperti anjing
hanya bisa menjilat majikannya

Aku juga tak seperti siput
Selalu bersembunyi dalam cangkang kokohnya

Aku burung
hinggap di gedung-gedung menjulang
dan pemancar sinyal tak pernah putus

Malang, Feb2008



PEREMPUANKU

Gemericik air membasahi daun sesudah hujan redah
Sepi dan hening mencekam kesendirian
Ingatkan masa itu ketika kau lari sembunyi
Dari kejaran mata hati yang gusar nan rindu

Kecemasan tanya kondisi perempuanku
Menerobos tatanan melekat ditubuhmu
Rengkuan kuasa rantai fikiranmu
Gemerlapan lupakan siapa dirimu

Kaupun membisu dalam kegamangan hatimu
Resahkan rindu yang membatu
Nyalahkan semangat pembrontakanku
Selaraskan nada-nada sumbang hidupmu

Perempuanku,
Obati rindu pada kartini negrimu
Banggakan pesona kelembutanmu
Basuhi kerasnya dendam pada hawa yang mengoda

Sebab bukanlah nenek moyangmu yang bersalah
Kita sama-sama tidak mau mengalah

Lamongan, 29Sep2008



PUNCAK BUKIT

Ada kabut membelah kesunyian hati
Menghantarkan pada lembah-lembah kehidupan
Serumpun pepohonan membisikkan tanya tak terungkap
Membelai menanggalkan suasana duka

Rerintik hujan menyambut dengan senyum dingin
Meruntuhkan gelisah hati yang mati
Menggenang air mensucikan langkah-langkah kaki

Puncak bukit menjadi saksi teriak lantang sang pujangga
Menggumamkan bait-bait puisi untuk didedahkan
Menelusuri hutan mencari jawab akan kehidupan dalam kesunyian
Berdiam diri sambil menari-nari ungkapkan rasa hati

Memanggil-manggil dari kejauhan
Angin hadir temani pengapnya hati
Memanggil-mangil dari kejauhan
Sejuk hati tidurkan obsesi

Batu, 22Juni2008

A Musthafa A Rodhi Murtadho A Wahyu Kristianto A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Wachid BS Abdullah al-Mustofa Abdullah Khusairi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimanyu Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Maulani Adek Alwi Adhi Pandoyo Adrian Ramdani Ady Amar Afrizal Malna Agnes Rita Sulistyawati Aguk Irawan Mn Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Subiyakto Agus Sulton Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahm Soleh Ahmad Farid Tuasikal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Luthfi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadie Thaha Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rasyid AJ Susmana Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander Aur Alexander G.B. Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Rif’an Aliela Alimuddin Alit S. Rini Alunk Estohank Ami Herman Amich Alhumami Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminudin TH Siregar Ammilya Rostika Sari An. Ismanto Anaz Andaru Ratnasari Andhi Setyo Wibowo Andhika Prayoga Andong Buku #3 Andrenaline Katarsis Andri Cahyadi Angela Anies Baswedan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Sudibyo Anton Wahyudi Anwar Holid Anwar Siswadi Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Zulkifli Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayu Utami Azyumardi Azra Babe Derwan Bagja Hidayat Balada Bandung Mawardi Bayu Agustari Adha Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Bernadette Lilia Nova Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Bhakti Hariani Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budi Winarto Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Bustan Basir Maras Camelia Mafaza Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cecep Syamsul Hari Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Choirul Rikzqa D. Dudu A.R D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Dantje S Moeis Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Darmanto Jatman Dedy Tri Riyadi Delvi Yandra Denny JA Denny Mizhar Dewi Anggraeni Dian Basuki Dian Hartati Dian Sukarno Dian Yanuardy Diana AV Sasa Dinar Rahayu Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi Warsidi Edy Firmansyah EH Kartanegara Eka Alam Sari Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil Amir Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Evan Ys F. Budi Hardiman Fadly Rahman Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fani Ayudea Fariz al-Nizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatkhul Aziz Felix K. Nesi Film Fitri Yani Franditya Utomo Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Garna Raditya Gde Artawan Geger Riyanto Gendhotwukir George Soedarsono Esthu Gerakan Surah Buku (GSB) Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Tri Atmojo H. Supriono Muslich H.B. Jassin Hadi Napster Halim H.D. Hamberan Syahbana Hamidah Abdurrachman Han Gagas Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Priyatna Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasan Junus Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Helwatin Najwa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendriyo Widi Ismanto Hepi Andi Bastoni Heri Latief Heri Listianto Herry Firyansyah Heru Untung Leksono Hikmat Darmawan Hilal Ahmad Hilyatul Auliya Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur Husnun N Djuraid I Nyoman Suaka Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilenk Rembulan Ilham khoiri Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Budi Santosa Imelda Imron Arlado Imron Tohari Indiar Manggara Indira Margareta Indra Darmawan Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ingki Rinaldi Insaf Albert Tarigan Intan Hs Isbedy Stiawan ZS Ismail Amin Ismi Wahid Ivan Haris Iwan Gunadi Jacob Sumardjo Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean-Marie Gustave Le Clezio JJ. Kusni Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Julika Hasanah Julizar Kasiri Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kadir Ruslan Kartika Candra Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Ketut Yuliarsa KH. Ma'ruf Amin Khaerudin Khalil Zuhdy Lawna Kholilul Rohman Ahmad Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Krisandi Dewi Kritik Sastra Kucing Oren Kuswinarto Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lenah Susianty Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto M Shoim Anwar M. Arman A.Z. M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Harya Ramdhoni M. Kasim M. Latief M. Wildan Habibi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria hartiningsih Maria Serenada Sinurat Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Marsus Banjarbarat Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masriadi Mawar Kusuma Wulan Max Arifin Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Mezra E. Pellondou Micky Hidayat Mihar Harahap Misbahus Surur Moh Samsul Arifin Moh. Syafari Firdaus Mohamad Asrori Mulky Mohammad Afifuddin Mohammad Fadlul Rahman Muh Kholid A.S. Muh. Muhlisin Muhajir Arifin Muhamad Sulhanudin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Azka Fahriza Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Nafi’ah Al-Ma’rab Naskah Teater Nezar Patria Nina Setyawati Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noor H. Dee Noval Maliki Nunuy Nurhayati Nur Haryanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurudin Octavio Paz Oliviaks Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pamusuk Eneste Panda MT Siallagan Pandu Jakasurya PDS H.B. Jassin Philipus Parera Pradewi Tri Chatami Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R Sutandya Yudha Khaidar R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rahmat Sutandya Yudhanto Raihul Fadjri Rainer Maria Rilke Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridha al Qadri Ridwan Munawwar Rikobidik Riri Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rizky Andriati Pohan Robert Frost Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Romi Febriyanto Saputro Rosihan Anwar RR Miranda Rudy Policarpus Rukardi S Yoga S. Jai S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Gerilyawan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra SelaSastra ke #24 Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Subhan SD Suci Ayu Latifah Sulaiman Djaya Sulistiyo Suparno Sunaryo Broto Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunudyantoro Suriali Andi Kustomo Suryadi Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Susilowati Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Bahri Syam Sdp Syarif Hidayatullah Tajuddin Noor Ganie Tammalele Tan Malaka Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Tengsoe Tjahjono Th Pudjo Widijanto Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Joko Susilo Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Umar Kayam Undri Uniawati Universitas Indonesia UU Hamidy Vyan Tashwirul Afkar W Haryanto W.S. Rendra Wahyudin Wannofri Samry Warung Boenga Ketjil Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Web Warouw Wijang Wharek Wiko Antoni Wina Bojonegoro Wira Apri Pratiwi Wiratmo Soekito Wishnubroto Widarso Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Wing King WS Rendra Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yosi M. Giri Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Yuyu AN Krisna Zaki Zubaidi Zalfeni Wimra Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhaenal Fanani Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar Zulhasril Nasir